MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN
PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN
WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR
HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Hamzah
HAMZAH. Management Pollution Model for Sustainability Tourism and Fisheries in Coastal Areas of Makassar City. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN
Coastal areas of Makassar have a rapid development growth deployed with various activities including tourism and fisheries. Such resource utilizations have impacted coastal environment particularly its water quality. This research is intended to assess bio-physical condition, water quality, pollution loading, pollution level, land suitability, land carrying capacity for tourism and fisheries activities, and to develop sustainable management model of the activities for the coastal area. Geographical information system was applied to determine land suitability, whereas computation of pollution total loading, assimilative capacity, and pollution index were applied to determine water quality. Sustainable management model was developed using Stella version 9.0.2 software. Research results showed that the coastal area of Makassar was generally suitable for tourism and fisheries activities, with exclusion in several locations. Furthermore, pollution loading from Jenneberang and Tallo rivers along with several major water channels was high. Pollution index of Jenneberang river, harbor, and Tallo river stations were low, and pollution index for Tanjung Bunga, Losari beach, Potere, downstream of Tallo river, Panampu channel, Benteng, H Bau, and Jongaya stations were moderate. Amongst measured water quality parameters, only BOD5 has value below allowed concentration standard, while values of other parameters, specifically COD, NO3 and PO4,
Keywords:
have surpassed allowed standard, and in some stations have even surpassed assimilative capacity. Modeling result using base, pessimistic, and optimistic models showed that coastal management of Makassar City can sustain if water quality of the area was preserved through pollution loading controls.
HAMZAH. Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN
Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan
Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan wisata di daerah daratan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik. Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan. Selain itu untuk mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi sertaMembuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar
spasial dengan pendekatan Sistim Informasi Geografis (SIG), sedangkan untuk mengetahui kualitas perairan pantai dilakukan perhitungan jumlah beban limbah, kapasitas asimilasi perairan dan mengukur indeks pencemaran dari limbah yang masuk melalui sungai dan kanal. Untuk mengetahui keberlanjutan dari pemanfaatan wisata dan perikanan dianalisi dengan membuat model dinamik dengan bantuan software stella versi 9.0.2 yang dibuat dalam 3 skenario yakni basis model, skenario pesismis dan optimis, yang selanjutnya dibuat rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan.
Hasil perhitungan daya dukung lahan untuk KJA 8,796 ha, jumlah unit KJA yang dapat di dukung adalah 3.258 unit. Dengan menggunakan metode budidaya sistem long line dengan ukuran 40 x 60 m dan kapasitas lahan yang memungkinkan 50% dari kapasitas lahan, diperoleh 231 unit pada kawasan seluas 554,25 ha. Daya dukung wisata pantai: P kayangan 15 orang;P Lae-lae 53 orang; Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akarena 162 orang; pantai Losari 137 orang; Pantai Barombong 47 orang, sedang daya dukung untuk kegiatan wisata selam pada perairan pantai kota Makassar adalah 344 org/hari.
Hasil analisis kualitas perairan menunjukkan bahwa aliran beban limbah yang berasal dari sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta beberapa kanal utama yang bermuara di pantai kota Makassar cukup tinggi. Beban limbah bulanan rata-rata (ton/bulan) adalah BOD5 25596.42, COD 146178.40, NO3 227.82, PO4 1565.28. Indeks pencemaran yang menunjukkan tingkat pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Jenneberang, Muara Sungai Jenneberang, Pelabuhan, Sungai Tallo tercemar ringan, sedangkan stasiun Tanjung Bunga, Pantai losari, Potere, Muara Sungai Tallo, Kanal Panampu, Benteng, H Bau, Jongaya termasuk tercemar sedang.Parameter limbah yang belum melampaui kapsitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD5. Namun untuk parameter COD, NO3 dan PO4
Hasil analisis model pengelolaan dengan penerapan 3 skenario yakni model basis, skenario pesimis dan skenario optimis menunjukkan bahwa pengelolaan pesisir pantai Kota Makassar dapat berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan perairan yang ada dengan penerapan pengendalian beban limbah. Beberapa kebijakan yang penting dilakukan agar pengelolaan di pantai kota Makassar dapat berkelanjutan diantaranya adalah pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk, tingkat kesadaran masyarakat akan lingkungan, penyediaan instalasi pengolahan air limbah untuk setiap sumber pencemar, dan peningkatan alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan terutama terumbu karang
telah melewati batas baku mutu dan beberapa stasiun telah melampaui kapasitas asimilasinya.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR
HAMZAH
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Makassar Nama : Hamzah NRP : C261060051
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui oleh : Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
Anggota Anggota
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-Nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah pengelolaan pencemaran pantai dengan judul Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Kota Makassar
Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi akibat Pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan, terutama beban pencemaran . Hal ini sering terjadi untuk wilayah pesisir yang berada dikawasan perkotaan seperti di Pantai Kota Makassar. Model pengelolaan pesisir dirasa sangat perlu untuk dijadikan sebagai acuan pembangunan dalam pengelolaan pesisir sekaligus memperkirakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan pesisir
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si serta Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tak lupa ucapan terima kasih buat seluruh staf pengajar pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS, dan pimpinan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan izin studi. ucapan terima terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Koji Tanaka dan Prof okamoto Masaaki atas bimbingan dan izin yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Sandwich di Universitas Kyoto. Tak lupa ucapan terima kasih buat rekan-rekan di SPL yang terus memberikan semangat dan berbagai bantuan yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu
Ucapan terima kasih tak terhingga dan terhusus kepada istri tercinta Fatmawaty Amry dan anak-anakku tersayang Nurul Inayah Febriani, dan Anisah Jasmine Puspita yang telah memberikan cinta dan kasih sayang,pengertian, kesabaran, doa dan pengorbanannya, mulai dari awal studi sampai disertasi ini terselesaikan.
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
Bogor, Januari 2012
Hamzah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 Januari 1971 sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. Tahang Dg Passanre dan Hj Intang. Selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Watampone tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar pada Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan S2 pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) untuk Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan studi program Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
xix
2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan …….... 11
2.3 Konsep Kesesuain Lingkungan ... 13
2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan... 15
2.5 Sistem dan Pemodelan .……… 21
2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) …... 23
2.7 Wisata Pantai ………... 27
4. KARAKTERISTIK UMUM WILAYAH STUDI 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah ……… 55
4.2 Kondisi Biofisik .……….. 55
4.3 Ekosistem Pantai ……….. 62
4.4 Demografi ……… 63
4.5 Pariwisata .……… 66
4.6 Potensi dan Permasalahan Kawasan Pantai Losari Makassar . 68
4.7 Isu-isu Pengelolaan Sepanjang Pantai Kota Makassar ……… 71
4.8 Arahan Pengendalian Saat ini .………. 72
5. PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar ………… 75
xix
5.3 Kapasitas Asimilasi Perairan Pantai Kota Makassar ………... 80
5.4 Hubungan Pencemaran Perairan dan Perikanan ……….. 83
5.5 Pencemaran dan Daya Dukung lingkungan Pantai ..………… 95
6. MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model .……….. 103
6.2 Pembangunan Model .……….. 104
6.3 Simulasi Model Pengelolaan .……….. 107
6.4 Basis Model Pengelolaan Pencemaran ..……….. 112
6.5 Skenario Pesimis ..………... 123
6.6 Skenario Optimis ..………... 133
6.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pesisir ……… 144
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ……….. 147
7.2 Saran ……… 148
DAFTAR PUSTAKA ……… 149
xix DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari……….……. 14
2. Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang
perikanan ………. 26
3. Nilai beberapa parameter kualitas air di muara sungai Tallo
dan Jenneberang………... 35
4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara
Sungai Tallo dan Sungai Jenneberang………. 36
5 Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya ………... 41
6. Komponen data dan parameter yang diukur………. 42 7. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ... 50
8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata …….. 51 9. Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai
dan perikanan……… 53 10. Jumlah penduduk menurut kecamatan, jenis kelamin dan sex rasio
di kota Makassar ………. 64
11. Jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan di kota Makassar …….
65 12. Beban pencemaran Bulanan dari Sungai. Jenneberang dan Sungai
Tallo di pantai Kota Makassar ……… 77
13. Tingkat pencemaran di lingkungan pantai kota Makassar ………….. 79
14. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ………. 86
15. Lokasi dan daya dukung untuk wisata pantai ………. 100 16. Nilai dugaan parameter pada sub-sub model pengelolaan
pengelolaan pencemamaran pantai kota Makassar .………. 104 17. Kebijkan dan program pengelolaan pesisir Kota Makassar
xix DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Kerangka pemikiran dinamika dan dampak pencemaran terhadap
aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar .………. 8 2. Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk
keberlanjutan wisata dan perikanan ... 39 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri,1999) 44 4. Diagram lingkar Sebab Akibat (causal loop) model pengelolaan
wisata dan perikanan berkelanjutan di pantai Kota Makassar ... 52 5. Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan
perikanan di pantai Kota Makassar..……… 54 6. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Makassar 2007 – 2009 ……… 65 7. Komposisi beban limbah BOD5
77 dan COD berdasarkan aliran sungai
dan kanal ………
8. Komposisi beban limbah NO3 dan PO4 berdasarkan aliran sungai 78
dan kanal ……….
9 . Kapasitas asimilasi BOD5 dan COD di pantai Kota Makassar ……… 81
10. Kapasitas asimilasi NO3 dan PO4 di pantai Kota Makassar………….. 82
11. Sebaran suhu pada berbagai stasiun pengamatan ………. 84 12. Sebaran pH pada berbagai stasiun pengamatan………. 85 13. Sebaran kadar salinitas pada berbagai stasiun pengamatan…………... 87 14. Sebaran kadar DO pada berbagai stasiun pengamatan ………. 89 15.Sebaran kadar BOD5 pada berbagai stasiun pengamatan ………. 91
16. Sebaran kadar COD pada berbagai stasiun pengamatan ……….. 92 17. Sebaran kadar NO3pada berbagai stasiun pengamatan ………... 94
18. Sebaran kadar PO4 pada berbagai stasiun pengamatan ……… 95
19 Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar ……… 106 20. Sub model beban limbah BOD5 ………... ……… 108
21. Sub model beban limbah COD ……… 109 22. Sub model beban limbah NO3 ... 110
23. Sub model beban limbah PO4 ……….. 111
24. Sub Model Ekonomi dan IPAL ………... 112 25. Hasil Simulasi Beban limbah BOD5 Skenario Basis ………... 113
26. Hasil Simulasi Beban limbah COD Skenario Basis ……… 114 27. Hasil simulasi beban limbah NO3 skenario basis ……… 115
28. Hasil simulasi beban limbah PO4 skenario basis ………. 115
29. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
xix
30. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah COD skenario basis ………. 117 31. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah NO3 skenario basis ...……… 118
32. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah PO4 skenario basis ...………... 119
33. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan
wisata skenario basis ……….... 120 34. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan
dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis ………. 122 35. Hasil simulasi beban limbah BOD5 Skenario pesimis 124
36. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario pesimis …...………... 124 37. Hasil simulasi beban limbah NO3 Skenario pesimis 125
38. Hasil simulasi beban limbah PO4 Skenario pesimis ...……….. 126
39. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
Limbah BOD5 skenario pesimis 127
40. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
Limbah COD skenario pesimis … ……… 128 41. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah NO5 skenario pesimis 129
42. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
Limbah PO4 skenario pesimis 130
43. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan
wisata skenario pesimis ………... 131 44. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan
manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis ………... 133 45. Hasil simulasi beban limbah BOD5 Skenario optimis………... 134
46. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis ……….……... 135 47. Hasil simulasi beban limbah NO3 Skenario optimis 136
48. Hasil simulasi beban limbah PO4 Skenario optimis ………. 137
49. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah BOD5 skenario optimis ………. 138
50. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah COD skenario optimis ……….. 139 51. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah NO3 skenario optimis 139
52. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban
limbah PO4 skenario optimis ...………. 140
53. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan
wisata skenario optimis ………... 141 54. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan
xix
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Data Pengukuran Parameter Fisik di Pantai Kota Makassar ...…..
2 Data Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Kota Makassar ..….. 159
3 Perhitungan beban Pencemaran bulanan pantai Kota Makassar … 160
4 Perhitungan Indeks Pencemaran Pantai Kota Makassar …………. 161 5 Sub Model beban Limbah BOD ………. 165
6 Sub Model beban Limbah COD ………. 167
7 Sub Model beban Limbah NO3 ……….. 168
8 Sub Model beban Limbah PO4 ………... 170
9 Sub Model Ekonomi IPAL ………. 172
10 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut untuk
wisata Bahari ………... 174
11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri ………..………..
1.1 Latar Belakang
Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling
padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua
pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat
di wilayah pantai (UNESCO, 1993; Edgen, 1993; dalam Kay dan Alder, 1999).
Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yang hampir 60% jumlah penduduk
kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar)
menyebar di kawasan pantai (Dahuri, dkk, 2001). Pertumbuhan dan konsentrasi
penduduk yang tinggi seperti Kota Makassar mengakibatkan tekanan yang tinggi
terhadap lingkungan pantai, sepert pencemaran perairan
Berdasarkan rencana tata ruang, wilayah pantai Kota Makassar akan
menjadi berbagai kawasan yang dibagi berdasarkan kesesuaian lingkungan dan
pemanfaatannya. Kawasan-kawasan tersebut diantaranya kawasan pariwisata,
perikanan terpadu, pelabuhan terpadu, bisnis dan perdagangan serta kawasan
pemukiman. Dalam perkembangan terakhir, pantai kota Makassar telah banyak
mengalami perubahan dan perkembangan akibat dari adanya kegiatan
pembangunan. Kawasan pantai Kota Makassar sendiri telah mengalami
perubahan sesuai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang mengalami
kendala dalam penyediaan lahan untuk pembangunan. Salah satu cara untuk
mengatasi keterbatasan lahan akibat pembangunan adalah dengan melakukan
reklamasi.
Beberapa daerah di Indonesia juga melakukan kegiatan reklamasi untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan akan lahan seperti reklamasi pantai utara
Jakarta untuk kawasan pemukiman, reklamasi laut Bali Benoa seluas 300 Ha,
Pantai utara semarang serta reklamasi pantai utara Surabaya. Pada Negara-negara
maju lainnya, kegiatan reklamasi merupakan salah satu alternative solusi dalam
mengantisipasi kebutuhan lahan untuk pembangunan. Salah satu contoh kegiatan
reklamasi pantai dan laut yang terkenal adalah Jepang yang membangun bandara
Sejak tahun 2003 pemerintah Kota Makassar menerapkan sistem
manajemen pesisir dan lautan terpadu (integrated coastal zone Management) pada pantai kota dengan revitalisasi, yaitu upaya untuk memperbaiki kembali suatu
kawasan atau bagian kota yang dulunya baik tetapi mengalami kemunduran atau
degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali
dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra
dari suatu tempat) (Danisworo, 2002). Kegiatan revitalisasi yang dilakukan untuk
memperbaiki kondisi perairan dan lingkungan pantai kota agar dapat mendukung
aktivitas pemanfaatan. Pendekatan pembangunan pesisir secara terpadu sangat
diperlukan mengingat adanya berbagai kegiatan pemanfaatan antara lain
pariwisata, perikanan, bisnis dan pemukiman, sehingga diharapkan berbagai jenis
kegiatan pemanfaatan pada pantai kota dapat berjalan dengan baik.
Kegiatan reklamasi di kawasan pantai kota selain memberikan manfaat
ketersediaan ruang untuk pembangunan juga akan menimbulkan sisi negatif
berupa perubahan habitat dan ekosistem seperti penurunan kualitas lingkungan,
perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi yang akan merusak ekosistem pantai
diantaranya terumbu karang dan padang lamun. Akibat-akibat negatif ini juga
akan terjadi bila kegiatan pembangunan berupa revitalisasi dan reklamasi tidak
dilakukan dengan bijak dan pertimbangan yang matang. Reklamasi dalam artian
umum adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah/pengurukan pada suatu kawasan
atau lahan yang relatif tidak berguna/masih kosong dan berair menjadi lahan
berguna. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di
tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Tekanan terhadap ekosistem pantai
kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi dengan adanya proyek
Central Point of Indonesia (CPI). Proyek CPI ini sendiri telah dimulai tahun 2009, dengan membangun berbagai fasilitas di sepanjang pantai kota antara lain
museum, kawasan bisnis, taman dan lapangan golf. Luas area yang dibangun dari
reklamasi pantai adalah sekitar 157 ha
Pada berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada di kawasan pantai Kota
Makassar seperti kegiatan wisata pantai, pemukiman, pelabuhan, dapat
adanya pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang ada.
Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Fardiaz
(1992) mengemukakan bahwa polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari
keadaan normal, dengan demikian perairan yang sudah tidak lagi berfungsi secara
normal dapat dikategorikan sebagai perairan tercemar. Ketchum (1971) lebih jauh
menegaskan bahwa pencemaran disebabkan oleh masuknya zat-zat asing ke
dalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat
fisik, kimia, dan biologis lingkungannya. Bahan-bahan pencemar tersebut
digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu: (1) patogenik (menyebabkan penyakit pada
manusia), (2) estetik (menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman
berdasarkan panca indera) dan (3) ekomorpik (bahan cemar yang menyebabkan
perubahan sifat sifat fisika lingkungan).
Pencemaran pada perairan pantai Makassar diduga sangat tinggi karena
terdapat 2 sungai besar yakni Jenneberang dan Tallo serta kanal dan drainase kota
yang kesemuanya bermuara di Pantai Kota Makassar. Kualitas perairan dapat
diperkirakan dengan membandingkan dengan standar baku mutu kualitas air.
Dinamika kualitas air pantai ditentukan oleh laju beban limbah yang masuk pada
perairan yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal. Selain itu tingkat pencemaran
yang ada juga berasal dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas
pemanfaatan yang ada disepanjang pantai. Apabila pencemaran berupa limbah
yang masuk ke dalam perairan pantai kota tidak tertangani dengan baik, maka
diperkirakan daya dukung perairan pantai akan mengalami penurunan dan tidak
mampu menopang aktivitas pemanfaatan yang ada
Dalam Perda Kota Makassar No 6 tahun 2006 tentang Tata Ruang
Wilayah kota Makassar mencakup kawasan wisata pantai dan perikanan.
Aktivitas pada kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan ekologis
yang ada. Selain dari faktor ekologis, aktivitas pemanfaatan pada kawasan ini
juga dipengaruhi oleh faktor lain yakni kondisi sosial dan ekonomi. Berbagai
faktor sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi aktivitas wisata dan
perikanan diantaranya pertumbuhan penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat
Faktor sosial seperti jumlah penduduk misalnya selain mempangaruhi
banyaknya limbah yang dihasilkan, juga mempengaruhi jumlah pengunjung serta
besarnya permintaan terhadap wisata. Jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari
aktivitas perikanan, juga dpengaruhi oleh jumlah penduduk. Adapun faktor
ekonomi misalnya tingkat pendapatan akan menentukan kemampuan konsumsi
dan daya beli masyarakat yang berkaitan dengan jumlah kunjungan untuk wisata,
serta jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan yang ada di
pantai kota Makassar. Jadi keberadaan dan keberlanjutan aktivitas wisata pantai
dan perikanan yang ada di Pantai Kota Makassar bukan saja ditentukan oleh
kelayakan ekologis berupa daya dukung lingkunan, tetapi juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor sosial dan ekonomi
Beban limbah yang masuk ke parairan pesisir Kota Makassar saat ini sedang
diusahakan untuk dapat diatasi oleh pemerintah Kota Makassar. Salah satu
program yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah membangun sistem
pengolahan air limbah (IPAL). Dengan adanya IPAL ini diharapkan beban
limbah yang berasal dari penduduk dan industry kecil yang ada di Kota Makassar
dapat diatasi, yakni dengan mengalirkan limbah dari rumah penduduk yang
dialirkan melalui pipa-pipa limbah untuk diolah di IPAL. Setelah limbah-limbah
tersebut diolah sampai memenuhi standar yang aman bagi lingkungan, kemudian
akan dibuang ke perairan. Jadi dengan dibangunnya IPAL diharapkan akan
membuat lingkungan perairan pesisir Kota Makassar dapat bebas dari limbah.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah bagaimana IPAL tersebut dapat dibangun
oleh pemerintah mengingat biaya pembuatan IPAL yang relatif besar.
Mengacu pada uraian di atas, kegiatan pemanfaaan lingkungan pantai
untuk wisata dan perikanan terpadu yang ada di pantai Kota Makassar tidak hanya
didukung oleh faktor ekologis tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial
dan ekonomi. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara aktivitas
pemanfaatan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan dengan kualitas
perairan dan ekosistem serta kondisi sosial dan ekonomi. Kualitas air yang ada di
perairan pantai yang baik, kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif akan
mendukung aktivitas perikanan dan wisata pantai, sebaliknya wisata pantai dan
perairan pantai dari limbah atau sampah yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan
suatu penelitian yang diarahkan untuk mengelola dan mengatasi beban dan
dampak pencemaran terhadap lingkungan pesisir Kota Makassar. Selain itu
dibutuhkan suatu model dan rancangan pengelolaan pencemaran yang baik untuk
aktivitas wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar.
1.2 Perumusan Masalah
Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan
perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang
besar. Perkembangangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari
pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis.
Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota Makassar dapat
kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya
perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi
kawasan ini. Pengelolaan sumberdaya pesisir pantai Kota Makassar apakah dapat
dilakukan dengan konsep dan tujuan pemanfaatan yang terpadu dan berkelanjutan
seperti yang dikemukakan Dahuri (2001)
Pemanfaatan yang ada di pantai Kota Makassar selama ini mengalami
berbagai perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini ditandai dengan adanya
berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya di sepanjang pantai kota
Makassar. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di
lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung
Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat
perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja
berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari
limbah yang dihasilkan
Pencemaran di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari
aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu
pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo
dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara
di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai
dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan pertanian di daerah
Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar dan
kontribusi limbah yang dibawa oleh aliran sungai dan kanal akan mempengaruhi
kualitas perairan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor
diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik,
biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik,
akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat
pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga
dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang
baik
Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi
pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas
wisata bahari dan perikanan. Pengaruh yang terjadi bukan saja pada penurunan
daya dukung terhadap aktivitas perikanan dan wisata, akan tetapi sekaligus dapat
mengancam keberlanjutannya. faktor sosial dan ekonomi diantaranya laju
pertumbuhan penduduk, industri dan perhotelan serta pemukiman juga turut
mempengaruhi keberlanjutan dari kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota
Makassar. Dari uraian permasalahan tersebut diatas maka diperlukan suatu
penelitian tentang pengelolaan pencemaran di perairan pesisir dan mengukur
tingkat keberlanjutan wisata pantai dan perikanan di Kota Makassar yang
dirumuskan sebagai berikut :
a) Bagaimana tingkat pencemaran dan beban limbah serta kapasitas asimilasi di
perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta
kanal yang berasal dari daratan
b) Bagaimana pengaruh pencemaran terhadap kondisi daya dukung lahan yang
diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar
c) Apakah kegiatan wisata pantai dan perikanan dapat berkelanjutan dan
bagaimana membentuk model pengelolaan pencemaran di pantai Kota
Makassar
1.3 Tujuan dan manfaat
Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
pemanfaatan untuk kegiatan pembangunan di sepanjang pantai kota akibat dari
pencemaran yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :
a) Mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas
asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran
sungai serta kanal yang berasal dari daratan
b) Mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan
wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi
c) Membuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir
untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama
pengelolaan untuk mengatasi pencemaran di kawasan perikanan dan
wisata.
2. Sumber informasi bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam upaya
pengelolaan wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari dinamika dan dampak pencemaran terhadap
aktivitas pemanfaatan sumberdaya pantai bagi kegiatan perikanan dan wisata
Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak Pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan
Pertumbuhan penduduk
Pengelolaan Pesisir Kota Makassar
Pemukiman Penduduk
Tata ruang pesisir Kota Makassar
Lingkungan Pesisir
Perikanan Wisata
Daya Dukung (Kelayakan ekologis)
Pencemaran
Industri dan Perdagangan Wisata
Pantai
Perikanan Terpadu
Desain Model pengelolaan pencemaran
Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan Perubahan Habitat
Aktivitas daratan (Up land)
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat
produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik
dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang
berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air
dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan
dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka.
Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang,
pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang
mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan
(Davies, 1972 in Soetikno, 1993).
Wilayah Pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan
produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya
yang tidak dapat pulih, serta jasa–jasa lingkungan (Bengen, 2002; Bengen, 2004).
Beberapa ekosistim utama yang terdapat di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan
mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, dan
berlumpur), dan pulau kecil (Bengen, 2002).
Menurut Bengen (2004) wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam
yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun
kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki
aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti
transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian,
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya
dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan terancam rusak.
Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan pengalaman membangun
sumberdaya pesisir masa lalu, selain telah menghasilkan berbagai keberhasilan,
juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan sosial-ekonomis
yang justru dapat mengancam kesimanbungan pembangunan nasional. Secara
Utara Jawa, Bali dan Makasar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya
akbibat adanya pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumerdaya
alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan. Secara
sosial-ekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial
termiskin di tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat
besar.
Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir sebagaimana
dikemukakan di atas ternyata banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang
terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan),
sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik
langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan
pesisir. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya
bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai,
sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan
kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengen, 2004).
Secara konseptual pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pembangunan atau pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan dapat menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautan itu sendiri.
Perubahan-perubahan itu tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup.
Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, makin tinggi pula
tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak
mernpertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan
hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir
(Dahuri et al, 1996).
Kegiatan pembangunan, terutama yang melakukan pembukaan atau
pemanfaatan lahan dan atau mengubah suatu bentuk bentang alam secara fisik di
wilayah pesisir sudah tentu harus diukur dan dilakukan penilaian untuk
menentukan keberlanjutan penggunaan atau pemanfaatan lahan tersebut. Kegiatan
pembangunan di wilayah pesisir yang juga melakukan suatu penataan dan
seperti pengembangan kawasan untuk pemukiman, rekreasi, budidaya, serta
kegiatan lainnya, apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan mengakibatkan
terjadinya degradasi kualitas lingkungan yaitu terjadinya erosi tanah, menurunnya
tingkat estetika lingkungan, pencemaran, menurunnya jumlah dan jenis populasi
satwa, serta berbagai bentuk vandalism lainnya. Karena itu, pembangunan atau pemanfaatan di wilayah pesisir harus betul – betul dilakukan secara efisien,
efektif, optimal, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung
lingkungan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan
sumberdaya pesisir
2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan
Menurut Dahuri et al. (1996); Dahuri (1999) untuk keberlanjutan pemanfaatan, salah satu dimensi yang harus diperhatikan adalah dimensi ekologis,
dengan tiga persyaratan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas assimilasi
dan daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan sumberdaya secara
berkesinambungan. Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata
ruang pembangunan wilayah secara tepat dan akurat berdasarkan potensi
sumberdaya yang ada
Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama
adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang
diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, dan kedua perbedaan antara
kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tampa adanya
pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya
pembangunan. Jadi dampak dapat bersifat negatif dan bisa positif. Hal ini seperti
yang dinyatakan oleh Sorensen et.al.(1999) dalam Ismail (2000), bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan saling
mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan
negatif Pencemaran air merupakan akibat logis dari pemanfaatannya, sehingga
tidak dapat ditiadakan, namun dapat dikurangi dengan cara-cara pengolahan
tertentu (Suriawiria, 1993). Limbah yang dibuang langsung ke perairan bebas
tanpa dikelola terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran yang
menyebabkan gangguan serius pada lingkungan, bahkan dapat mematikan hewan,
Dengan pertumbuhan peduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang
sangat tinggi di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukkan (pemukiman,
perikanan, pelabuhan, dan lain sebagainya), maka tekanan ekologis terhadap
ekoistem dan sumberdaya pesisir akan semakin meningkat ( Bengen, 2004).
Meningkatnya tekanan ini sudah tentu akan mengancam keberadaan dan
kelansungan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir baik secara langsung
(misal kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran
oleh limbah dari berbagai kegiatan pembangunan).
Pencemaran dapat mengubah struktur ekosistem dan mengurangi jumlah
spesies dalam suatu komunitas, sehingga keragamannya berkurang. Dengan
demikian indeks diversitas ekosistem yang tercemar selalu lebih kecil dari pada
ekosistem alami. Diversitas di suatu perairan biasanya dinyatakan dalam jumlah
spesies yang terdapat di tempat tersebut. Semakin besar jumlah spesies akan
semakin besar pula diversitasnya. Hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah
individu dapat dinyatakan dalam bentuk indeks diversitas.(Astirin,dkk. 2001)
Pencemaran organik merupakan limbah paling banyak di perairan yang
sumbernya berasal dari pemukiman, pertanian, industri, pengolahan makanan,
pengolahan material alam (tekstil). Kebanyakan limbah organik mengandung
sebagian besar bahan tersuspensi. Pencemaran oleh bahan organik dapat
ditelusuri dari kandungan oksigen terlarut (DO) di air dan sedimen. Persyaratan
batas maksimum yang aman bagi budidaya perikanan adalah COD = 50 ppm
(Poernomo, 1992)
Menurut Sastrawijaya (2000), adanya amonia merupakan indikator
masuknya buangan permukiman. Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia
dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara
mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini
didukung oleh Kumar De(1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik
mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein
tanaman/hewan dan kotoran.
Pencemaran dapat berdampak pada suplai air minum, ekosistem, ekonomi,
termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak-anak meninggal karena diare.
Negara-negara berkembang sangat rentan terkena dampak negatit dari
pencemaran khususnya perkampungan miskin dan kotor (Andreas, et al., 2001) 2.3 Konsep Kesesuaian Lingkungan Perairan
Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang
secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin
kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan
pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan
tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut.
Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah
penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan
kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan
biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan
karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian
ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah
pesisir dan laut. Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View
(Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi
karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan,
peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir
dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun,
terumbu karang dan lain-lain.
Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan
Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik.
Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian
ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya
Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata
bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009):
1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar,
kemiringan pantai (idealnya <25o
2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang,
kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong
1991).
) dan material dasar perairan pantai (idealnya
berpasir) (Wong 1991).
3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan
biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).
Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan
berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan
Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku
mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 1 :
Tabel 1 Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari
No
Parameter Satuan Baku Mutu Air Laut Wisata Bahari Budidaya Laut
1 DO mg/l >5 >5
1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malamdan musim)
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0 .2 satuan pH
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata musiman
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
Tabel Baku mutu ini akan dijadikan sebagai acuan penyusunan matriks
kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri pH 6-9, DO
>5 mg/lt, salinitas 30-35 ppm, fosfat 0-0.5 mg/lt, nitrat 0-0.5 mg/lt, suhu
permukaan laut 26-30 °C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m .
Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk kesesuaian
pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l,
kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar perairan berpasir,
sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar
<=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan
komunitas karang >75% (Bakosurtanal,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001;
Soselisa, 2006).
2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan
Sejak pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan, Odum (1971)
menyatakan bahwa daya dukung merupakan pembatasan penggunaan dari suatu
areal yang mempunyai beberapa faktor alam dan lingkungan. Handee et.al (1978), dalam tulisannya di Wilderness Management, menyatakan bahwa daya dukung merupakan suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan
kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti
ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung atau air.
Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara
lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources)
Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan
pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran
kemampuannya. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk
mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan
saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap
berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan juga awalnya digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi
dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian
yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah : (1)
penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu
jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2)
penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam
keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam
suatu areal tertentu.
Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan
juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa – jasa lingkungan dari
wilayah tersebut. Misalnya, daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat
kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan atau
penerapan teknologi. Contoh lain adalah produktivitas tambak udang yang hanya
mengandalkan alam tanpa teknologi (tradisional) adalah sekitar 200 kg/ha/tahun,
akan tetapi dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air, manajemen
pemberian pakan produktivitas dapat meningkat 6 ton/ha/thn.
Konsep daya dukung yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan
antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumber daya dimana populasi
tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi
yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Penggunaan konsep
daya dukung lingkungan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu
kondisi populasi atau sumber daya. Walau kadang-kadang tidak dinyatakan secara
ekspilisit, proses penentuan suatu daya dukung lingkungan untuk berbagai
aktivitas memerlukan suatu nilai justifikasi mengenai apa yang akan
dioptimumkan.
Konsep daya dukung ini sudah dikemukakan oleh banyak ilmuwan sejak
terlalu banyak mengalami perubahan. Hal yang terpenting dari definisi konseptual
daya dukung yang diajukan adalah pemeliharaan dan pengendalian integritas dari
suatu sumberdaya yang memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi dan
berkualitas bagi masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut.
Konsep ini pada tahapan dan perkembangan selanjutnya juga digunakan
untuk pengelolaan/ pengembangan wilayah pesisir dan laut (ekowisata, budidaya
(tambak dan laut), pulau – pulau kecil) serta pengembangan kegiatan lainnya di
wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan
atau melestarikan potensi alami dari kawasan tersebut pada batas – batas
penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan.
Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan oleh
Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh
satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung
mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan (Soerianegara, 1977),
yaitu :
1. Besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan
sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik
2. Ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat
memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang
lestari.
Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan
populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume
perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi).
Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai
kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama
jangka waktu yang panjang. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung
adalah batasan untuk banyaknya orgnanisme hidup dalam jumlah atau massa yang
dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung merupakan ultimate constrain yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus
predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Sistem daya dukung
yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark,
1974).
Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi
dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke
dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Piper et al (1982 in Meade, 1989) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu sistem yang dapat
mendukung beban hewan yang dinyatakan sebagai pound ikan per kubik air
(lb/ft3
Haskel (1995 in Meade, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut daya dukung sebagai berikut :
).
1. Daya dukung yang dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi
metabolit
2. Laju konsumsi oksigen dan akumulasi tersebut sebanding dengan jumlah
pakan yang dimakan per hari
Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan
di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah
kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga
tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan
ekologisnya (Krom, 1996). Sedangkan daya dukung suatu lahan perairan untuk
budidaya udang adalah biomassa udang yang dapat hidup di dalamnya secara
berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, dan bila keadaan lahannya
berubah, daya dukungnya juga akan berubah.
Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah volume perairan,
kualitas perairan, dinamika perairan, dan beban pencemar yang ada /limbah dari
hulu. Daya dukung perairan pesisir untuk menerima limbah dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Rompas, 1998) antara lain : (1) kualitas air perairan pesisir;
(2)dinamika perairan; (3) tingkat kesuburan perairan (oligotrofik, mesotrofik, atau
eutrofik); (4) beban limbah; (5) jenis dan jumlah mikroba; (6) aktivitas manusia di
pesisir. Karena itu, pengukuran kualitas air perairan pesisir penerima limbah atau
tingkat pencemarannya sangat penting untuk memperkirakan level pengenceran
dan kemampuan asimilasinya, apakah sudah berada pada level rendah (tingkat
Penentuan besarnya nilai daya dukung juga dapat dilakukan dengan
membangun suatu model hubungan kuantitatif antara faktor pembatas dan peubah
pertumbuhan, dimana nilai maksimum dan minimum pada suatu tingkat
pertumbuhan akan ditentukan pada faktor pembatas tertentu (Ortolano, 1994).
Menurut Hendee et al. (1978), bahwa penilaian kemampuan suatu kawasan berdasarkan pendekatan daya dukung cenderung merupakan suatu probabilistic concept atau teori kemungkinan jadi bukan merupakan suatu yang bersifat absolut/ mutlak karena hasil perhitungan yang diperoleh merupakan nilai optimasi
atau perpaduan dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut denga
tingkat pengelolaan yang tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan.
Selanjutnya dikatakan oleh Hendee et al (1978) bahwa penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana dan tidak terencana dengan baik dalam upaya untuk mengatasi
kerusakan sumberdaya justru akan menghancurkan lingkungan.
Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas
ditentukan umumnya dengan dua cara, yaitu : (1) suatu gambaran hubungan
antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya
terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap
dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rejim manajemen tertentu.
Daya dukung ekologis adalah maksimum (jumlah maupun volume) dalam
penggunaan suatu ekosistem atau kawasan baik berupa jumlah maupun kegiatan
yang diakomodasikan didalamnya sebelum terjadi suatu penurunan kualitas
ekologis kawasan tersebut (Supriharyono, 2002). Scones dalam Prasetyawati (2001) mengatakan juga bahwa daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) adalah jumlah maksimum hewan – hewan pada suatu lahan (tambak) yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan
maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor – faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO, dan
kandungan oksigen. Menurut Piagram (1983) bahwa daya dukung ekologis
dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem,
baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum
terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut,
utama adalah berbagai kawasan yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable) seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands) antara lain rawa payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. Ekosistem yang digunakan sebagai dasar
dari penilaian daya dukung dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan
yang utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam
alam yang mengandung makhluk hidup (unsur biotik) dan lingkungannya yang
terdiri dari zat – zat yang tidak hidup (unsur abiotik) dan saling mempengaruhi
dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang dperlukan dalam
dan untuk mempertahankan kehidupannya. Kondisi ekosistem ini harus
dipertahakan walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota
yang ada dan hidup didalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan
digantikan oleh biota lainnya yang sejenis. Namun apabila ada gangguan yang
melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan
memakan waktu yang sangat panjang.
Daya dukung fisik. Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal
merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat
diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan
atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Piagram, 1983). Kawasan
yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat
dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, konflik sosial yang
terjadi pada masyarakat karena terbatasnya ruang. Daya dukung fisik pada
hakekatnya juga merupakan suatu bentuk ukuran kapasitas rancangan dan juga
model rancangan untuk berbagai infrastruktur yang diakomodasikan pada suatu
kawasan. Sebagai contoh misalnya model konservasi yang akan dilakukan pada
kawasan yang mengalami erosi yang berlebihan. Tingkat atau jumlah erosi tanah
yang terjadi pada kawasan ini merupakan gambaran telah terlampauinya batas
daya dukung kawasan tersebut secara fisik. Penggunaan umum dari daya dukung
fisik ini adalah penghitungan terhadap jumlah populasi penduduk disuatu kawasan
berdasarkan ukuran dan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Contoh
penghitungan lain yang umum untuk daya dukung fisik ini adalah ketersediaan air
areal atau kawasan wisata yang reaktif, ketersediaan air irigasi untuk persawahan
produktif, jumlah sarana transpor dalam suatu kawasan serta daya dukung tanah
yang dinyatakan berdasarkan ukuran kemampuan dan kesesuaiannya.
2.5 Sistem dan Pemodelan
Fauzi (2005) menyatakan bahwa model adalah representasi dari suatu
realitas dari seorang pemodel, dengan kata lain, model adalah jembatan antara
dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecah suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis.
Selanjutnya dikatakan bahwa proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam
dunia model, berbagai proses transformasi atau model dapat dilakukan. Ada
model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal (bahasa), ada yang
diterjemahkan ke dalam bahasa simbolik seperti bahasa matematika sehingga
menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam
presepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif
diperlukan proses transformasi berupa alat pengukuran dan proses pengembilan
keputusan
Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan
terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan
esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001).
Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu
manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi
untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan
kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap
disiplin untuk membentuk sinergi.
Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian
persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya
sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari
sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem
umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada
dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian
dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1)
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti
faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa
depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi
kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999).
Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar
terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1) Tahap seleksi konsep dan variabel
Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki
relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan
kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitive map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara
teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap
variable dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang
dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.
2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)
Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam
model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi
dan verifikasi model simulasi.
3) Tahap analisis sensivitas
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai
pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan
mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang
(tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat
difokuskan pada variabel kunci.
4) Analisis kebijakan,
kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model
melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan