• Tidak ada hasil yang ditemukan

147Yando Zakariya: Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat : 133-

Dalam dokumen Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak (Halaman 34-36)

16/465904/masyarakat-adat-produk-hukum-banyak.- hak-tradisional-belum-terjamin

4 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun

2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlin- dungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan, misalnya.

5 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak

Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan penelitian tentang masalah/ topik dimaksud (2015).

6 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo

Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan tentang Amatoa Kajang.

7 Secara teoritik, pada kebijakan untuk kelompok yang

pertama, penguatan lembaga adat, ada di seluruh kabupaten. Tanpa peraturan daerah tentang kelem- bagaan adat ini pemerintah daerah yang bersangkutan tidak bisa melakukan pembinaan kepada lembaga- lembaga ada yang memang diwajibkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Penulis mene- mukan ada 4 perda sejenis di Kutai Barat (lihat Zakaria, 2014). Oleh sebab itu, pada dasarnya perda ini tidak terkait pada advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat karena menjadi bagian dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan tentang kelemba- gaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979. Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga terjadi kerancuan kelem- bagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat Adat yang berda- sarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua- duanya adalah bentukan (atas dasar kebijakan) negara.

8 Mengingat kebijakan tentang penguatan lembaga adat

ada di seluruh kabupaten maka angka 40% yang

dikemukakan Arizona ini perlu dihitung ulang. Namun hal itu bukanlah maksud tulisan ini.

9 Pernyataan Sekretaris Jenderal AMAN pada suatu

seminar dalam rangka menyambut Putusan Mah- kamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (dilihat h t t p : / / w w w . m a h k a m a h k o n s t i t u s i . g o . i d / index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1 ) di pertengahan tahun 2013 lalu.

10 Gambaran yang sama juga dapat kita peroleh dalam

konvensi PBB tentang hak-hak sosial dan politik, serta konvensi PBB tentang hak-hak ekonomi dan sosial- budaya.

11 Putusan MK 35 Tahun 2012 adalah Putusan MK

terhadap judicial review yang diajukan AMAN dan dua komunitas masyarakat hkum adat. Tidak semua tuntutan AMAN dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Tuntutan AMAN yang ditolak, antara lain, tentang pemberlakuan prinsip self to determination (yang dianggap Mahkamah bersifat separatis) dan tentang pengakuan bersayarat yang dianut dalam peraturan perundang-undangan terkait. Bahasan yang relatif komprehensif tentang Putusan MK 35 Tahun 2012 ini lihat Arizona, Herawati, dan Cahyadi (2012). Bahasan tentang serangkaian pekerjaan rumah agar putusan efektif bagi perbaikan kehiduapan masyarakat adat, dapat pula dilihat pada 7 (tujuh) tulisan yang termuat dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masya- rakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yog- yakarta: Indonesia Society for Social Transformation.

12 Masing-masing adalah: aceh; tanah Gayo, Alas, Batak,

dan Nias; Minangkabau termasuk Mentawai); Melayu; Bangka-Belitung; Kalimantan (Tanah Dayak); minahasa; Gorontalo; Toraja; Sulawesi Selatan; Kepulauan Ternate; Maluku, Ambon; Irian; Kepulau- an Timor; Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat); Jawan tengah dan Timur (beserta Madura); Daerah- daerah Swapraja Solo dan Yogyakara; dan Jawa Barat.

13 Dalam Ilmu Antropologi konsep wilayah adat ini

adalah terjemahan dari konsep kulturkreis yang mula- mula diperkenalkan oleh F. Graebner (1877–1934), seorang Sarjana Sejarah dan Ilmu Bahasa yang menjadi konservator salah satu museum di Jerman, dan dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Schmidt, juga seorang Sarjana Bahasa (1868 – 1954), yang pengertian dasarnya adalah suatu ‘wilayah (budaya) di mana di wilayah itu ditemukan unsur- unsur kebudayaan yang sama sifatnya; yang dituju- kan untuk memahami sejarah perkembagan kebu- dayaan-kebudayaan (kulturhistorie) yang bersang- kutan’ (Koentjaraningrat, 1982: 112 – 115).

14 Soal adanya dewan adat di tingkat Nasional ini

Nasional (MADN). Uniknya, keberadaan ‘dewan adat Dayak’ ini, yang bertingkat mulai dari yang tertinggi di tingkat Pusat, Propinsi (se-Kalimantan) hingga yang paling rendah di tingkat Desa, diatur oleh Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

15 Lihat “AMAN Desak DPRD Buat Perda Masyarakat

Adat” (http://www.kabarmakassar.com/metro/ aman-desak-dprd-buat-perda-masyarakat-adat.html ); “DPRD Enrekang Kebut Pembahasan Perda Masyarakat Adat”. (http://jurnalcelebes.org/ index.php/program-kemitraan/69-dprd-enrekang- kebut-pembahasan-perda-masyarakat-adat ). 16 Lihat https://www.facebook.com/ p h o t o . p h p ? f b i d = 1 0 2 0 6 8 4 6 0 1 2 2 5 6 7 0 6 & set=a.10206846011736693.1073741831.1468584091&type=3 &theater 17 Lihat http://epistema.or.id/diskusi-dan-workshop-

dprd-lebak/ ; dan https://www.facebook.com/ perkumpulan.huma?fref=ts ; lihat juga http:// www.greeners.co/berita/menanti-perda-tentang- perlindungan-masyarakat-adat-kasepuhan-lebak/

18 Bandingkan dengan Simarmata (2006: 302 – 309 dan

353 – 357); dan Arizona (2010: 15 – 66).

19 Peraturan Menteri ATR No. 9/2015 merupakan

pengganti Permenagraria 5/1999, yakni intrumen hukum pertama yang memberikan pedoman dalam pengakuan hak-hak masyarakat hukum ada. Dalam hal ini adalah hak atas tanah. Namun kebijakan ini tidak efektif (Rachman, et.al., 2012). Masalah lain, meski prosedur pengakuan yang ada pada Permen ATR 9/2015 tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam Permenagraria 5/1999, kebijakan baru ini seperti menghapus nomenklatur ‘hak ulayat’ dalam wacana hukum pertanahan di Indonesia. Hal ini telah memicu problema baru, sebagaimana yang dibahas oleh Soemardjono (2015). Pertengahan Juni 2016, Permen ATR 9/2015 digantikan oleh Permen ATR 10/2016, yang lagi-lagi ditanggapi Sumardjono (2016) sebagai kebijakan yang masih perlu untuk disempurnakan.

20 Lihat http://print.kompas.com/baca/2015/10/10/

Penetapan-36-Daerah-Belum-Sinkron

21 Preseden tentang kemungkinan itu bukannya tidak

ada. Pada awal September 2015 lalu diketahui bahwa Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) telah mengajukan gugatan uji materil terhadap Peraturan Bersama empat kementerian dimaksud. Pada intinya gugatan itu mengatakan bahwa kedua peraturan perundangan-undangan setingkat Peraturan Menteri itu bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi, antara

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dan beberapa Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan macam subyek dan jenis hak-hak yang diakuai dalam berbagai peraturan perundangan terkait penguasaan sumber-sumber agraria itu. Dan perlu pula untuk diingat, Putusan MK 35 Tahun 2012 mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999 yang pada dasarnya memberi kewenangan pada Pemerintah untuk mengatur ketentuan pengakuan hak-hak masyarakat adat (antara lain atas hutan) itu.

22 Tentu saja, dalam tindakan strategis kelompok pertama

ini, sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur soal pengakuan dan penghormatan atas berbagai hak masyarakat adat sebagai suatu payung hukum, sebagaimana yang tengah diperjuangkan oleh AMAN dalam beberapa tahun belakang ini, perlu dilanjutkan. Hal ini diperlukan juga untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas hak-hak sosial dan budaya masyarakat adat lainnya.

Daftar Pustaka

Adhuri, Dedi Supriadi, 2013. Selling the Sea, Fish-

ing for Power. A Study of conflict over marine tenure in Kei Islands, Eastern Indonesia.

Canberra: ANU E Press.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2011.

Naskah Akademik untuk Penyusunan Rencana Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

____, 2015. “Implementasi Pengakuan Masyarakat (Hukum) Adat di Indonesia’. Bahan yang dipresentasikan pada “FGD Pengkajian Hukum tentang Mekansime Pengakuan Masyarakat Hukum Adat’. Diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta, 12 Oktober 2015.

Andiko, dan Nurul Firmansyah. 2014. Mengenal

Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk Penga- kuan Masyarakat Adat. Jakarta: HuMa.

Arizona, Yance , ed. 2010. Antara Teks dan Konteks.

Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di In- donesia. Jakarta: HuMa.

____, 2015a. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka

149

Dalam dokumen Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak (Halaman 34-36)

Garis besar

Dokumen terkait