• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG DAPAT DIAMBIL Menurut Bupati Tanah Datar

Dalam dokumen DARI MEJA REDAKSI. Redaksi (Halaman 45-52)

USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) *) Oleh : Andang Setyobudi, SE **)

YANG DAPAT DIAMBIL Menurut Bupati Tanah Datar

program tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro dari kesulitan modal kerja dan jeratan rentenir. Pemerintah menyadari bahwa pengusaha mikro baik pedagang pasar maupun pedagang kaki lima yang ada di pusat pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan modal untuk

3 Pimpinan Cabang Bank Nagari Batusangkar.

peningkatan usaha. Sedangkan karakteristik pengusaha mikro tidak menginginkan adanya prosedur dan persyaratan yang rumit dalam mendapatkan modal usaha. Hal yang sangat berharga dari pelaksanaan program ini adalah para pengusaha mikro sangat bisa dipercaya untuk mendapat pinjaman modal jika diciptakan manajemen kredit yang baik.

Keberlanjutan

Afendi, Ketua Pengurus Pedagang Pasar Batusangkar menyatakan bahwa rencana aksi lembaga yang dipimpinnya akan membentuk Lembaga Mikro Keuangan sebagai reaksi dari keberhasilan program yang diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar. Selain itu, pengurus akan melakukan pembenahan organisasi pedagang pasar.

Sebagai kelanjutan dan kesinambungan program ini, Bupati Tanah Datar akan menyalurkan kredit dengan pola yang sama kepada 14 (empat belas) pasar yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Pemerintah akan meningkatkan permodalan dan kualitas SDM melalui pelatihan-pelatihan. Oleh karena itu, Bupati optimis terhadap program pemberdayaan usaha mikro akan dapat terus berlanjut.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43 Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007 IV. KESIMPULAN

Melihat kondisi usaha mikro di daerah lain di Indonesia yang memiliki sifat dan karakteristik sama dalam hal permodalan, Program Perbaikan Usaha Mikro melalui Pemberian Kredit Tanpa Agunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, seyogianya dapat ditransfer atau diadopsi oleh daerah lain, sesuai kemampuan daerah yang bersangkutan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 44 RESENSI BUKU

Judul : Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan

Penulis : M. Arief Amrullah, SH Penerbit : Bayu Media Publishing Oleh : Satrio Pramono, S.H.

Penasehat Hukum Yunior, Direktorat Hukum Bank Indonesia ---Pendahuluan

Buku yang berjudul Politik Hukum Pidana : “Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan”1 ini membahas mengenai politik (kebijakan) hukum pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan. Dalam buku tersebut terdapat 2 (dua) isu hukum yang penting yaitu:

a. Politik hukum pidana terhadap perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana positif, meliputi:

? kedudukan korban dan; ? perlindungan korban

kejahatan.

1 Merupakan disertasi M. Arief Amrullah, SH, MHum penerbit Bayumedia Publishing, yang disusun dalam rangka memperoleh gelar doktor dalam bidang Program Pascasarjana UNAIR dan telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka pada tanggal 4 Juli 2002.

b. Politik hukum pidana terhadap perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang, yang meliputi:

? integrasi politik hukum pidana dengan kebijakan

ekonomi di bidang

perbankan dan;

? perlindungan korban

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang. Latar Belakang

Buku ini menguraikan permasalahan yang menyangkut perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, konsepsi perlindungan korban, baik perlindungan terhadap calon korban maupun perlindungan terhadap korban nyata, pandangan politik (kebijakan) hukum pidana sebagai upaya untuk memberikan wawasan teoritis, dan pengertian

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 45

kejahatan dan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, serta dampak dari kejahatan ekonomi di bidang perbankan terhadap perekonomian nasional yang juga dapat mengakibatkan timbulnya korban. Korban akibat kejahatan ekonomi di bidang perbankan meliputi nasabah penyimpan dana, bank yang bersangkutan, bank-bank yang memberi pinjaman (bank-bank kreditor baik swasta maupun pemerintah), rakyat dalam arti abstrak, serta karyawan dan karyawati yang harus meninggalkan pekerjaannya (sebagai akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja) karena bank tempat mereka bekerja telah bangkrut serta ekonomi yang terganggu atau rusak.

Upaya-upaya Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan

Upaya perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan tidak dapat sepenuhnya dibebankan hanya pada hukum pidana, mengingat hukum pidana merupakan sub sistem dari sistem yang lebih luas, dan keterbatasan-keterbatasan dalam hukum pidana, sehingga upaya perlindungan korban tersebut juga harus dibantu dengan sarana lain di luar hukum pidana.

Dalam menentukan kebijakan ekonomi di bidang perbankan, sejak

awal seharusnya dipikirkan dampak dari kebijakan itu, yang berupa timbulnya faktor kriminogen dan viktimogen sehingga diharapkan tercipta jalinan harmonis antara politik hukum pidana dengan kebijakan sosial (kebijakan ekonomi di bidang perbankan).

Penulis berusaha memaparkan pengalaman terkait upaya perlindungan terhadap korban kejahatan perbankan, misalnya di Amerika Serikat yang mengalami perkembangan pesat. Pada tahun 1960-an, perhatian terhadap korban masih hanya sebatas pada korban kejahatan kekerasan (victims of crime of violence). Pada tahun 1965 pembuat Undang-Undang di California Amerika Serikat yang mengeluarkan sebuah Undang-Undang yang berkaitan dengan bantuan keuangan terhadap korban kejahatan kekerasan. Langkah tersebut disusul oleh negara bagian New York sebagai the second victim-compensating state of the United Stated (Stephen Schafer, 1968:131-134). Pada saat itu perhatian terhadap korban tersebut telah mencakup pula pada victims of fraud and economic crime.

Terkait dengan perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dalam hukum pidana dikenal 3 (tiga) pilar, yaitu:

a. Masalah tindak pidana (kriminalisasi)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 46

Mengkriminalisasikan beberapa perbuatan yang berpotensi bagi timbulnya korban (potential victim and actual victim) merupakan suatu langkah preventif dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Perbuatan-perbuatan yang telah diidentifikasi tersebut antara lain meliputi fraudulent mis-representation, praktek bank dalam bank, pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) belum tegas dinyatakan sebagai kejahatan, serta menyalahgunakan kewenangan baik untuk kepentingan pribadi maupun orang lain yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. b. Masalah pertanggungjawaban

pidana (korporasi)

Pertanggung jawaban pidana (korporasi) bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan ekonomi di bidang hukum perbankan. Namun demikian perlu diperhatikan pula mengenai pertanggungjawaban pidana terkait korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana. Hukum pidana positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam perundang-undangan lain, seperti UU Perbankan belum mengatur mengenai hal tersebut.

Namun, korporasi sebagai subyek hukum sebenarnya telah datur dalam Undang-Undang lain2, meskipun hal tersebut masih menjadi persoalan terkait doktrin dalam hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”.

c. Masalah pidana dan pemidanaan serta perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan

Perlindungan tidak hanya terhadap potential victim atau calon korban melainkan juga terhadap actual victim, sehingga menciptakan antara pelaku dan korban, serta antara calon korban dan korban langsung. Sehubungan dengan hal tersebut, perumusan ancaman pidana denda yang tinggi tidak akan menjamin pencegahan pihak korporasi atau bank melakukan kejahatan ekonomi di bidang perbankan, apabila tanpa

2 Undang-Undang Nomor 71 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 47

dikombinasikan dengan sanksi alternatif lainnya seperti publicity sanction serta sanksi berupa penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank dan pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Dalam buku ini penulis juga memaparkan pengalaman di negara penganut Anglo Saxon yang mengenal pengecualian “tidak dicantumkannya unsur kesalahan dalam mempertanggungjawabkan pelaku kejahatan” termasuk korporasi dengan menggunakan doktrin strict liability dan vicarious liability.

Pertanggungjawaban pidana menurut Peter Gilles (1990: 78-79) dikategorikan menjadi strict apabila perbuatan yang telah dilakukan tidak lagi memperhatikan adanya kesalahan seseorang. Sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan hanya karena adanya unsur kesengajaan (consisting in intention) meskipun yang bersangkutan tidak melakukan kesalahan.

Release and Discharge

Penulis menjelaskan beberapa hal menyangkut hukum pidana dalam

kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)3 terkait proses pemberian release and discharge kepada para obligor dengan alasan “demi kepentingan umum”.

Pemberian release and discharge tersebut dihubungkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: a. apakah apabila para obligor

dihukum dengan dijatuhi pidana yang seharusnya berlaku

memang akan dapat

menggoyahkan perekonomian nasional; atau

b. apakah apabila para obligor tidak dihukum dengan pidana yang berlaku maka kepentingan menyangkut perekonomian nasional akan cepat pulih.

Hal-hal seperti ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik, karena dalam praktek-praktek penyelesaian kasus BLBI tersebut hanya mengedepankan alasan dan pendekatan dari sisi ekonomi,

sehingga seharusnya

dipertimbangkan kembali untuk dikaji ulang dan diintegrasikan dengan aturan dalam hukum pidana.

Sementara itu di sisi lain, praktek seperti itu telah menciptakan sebuah

3 Dituangkan dalam INPRES Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Beditur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 5, Nomor 2 , Agustus 2007 48

“ketidaktertiban hukum” atau “ketidaktaatan asas” atau bahkan menimbulkan faktor kriminogen dan viktimogen. Namun apabila dikaitkan dengan asas equality before the law (persamaan di depan hukum), juga akan menjadi sulit

dimana hukum harus

mempersamakan sesuatu yang memang tidak sama. Dalam hal ini adalah adanya perbedaan perlakuan hukum bagi masyarakat golongan ekonomi kuat dengan masyarakat golongan ekonomi lemah.

Penutup

Buku ini merupakan hasil penelitian secara akademik sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi dalam membangun suatu sistem hukum yang lebih baik lagi terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan ekonomi di bidang perbankan.

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007 CAKRAWALA HUKUM

Oleh : Tim Direktorat Hukum

DISKUSI DENGAN UNCITRAL DAN “ELECTRONIC EVIDENCE &

Dalam dokumen DARI MEJA REDAKSI. Redaksi (Halaman 45-52)

Dokumen terkait