• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Kitab Al-Hikam (kata-kata hikmah) yang ditulis oleh seorang sufi Ibnu Atha‟illah As-Sakandary, membagi zikir kepada tiga bagian, yaitu zikir jali (zikir jelas dan nyata), zikir khafi (zikir yang samar-samar) dan zikir haqiqi (zikir yang sebenar-benarnya).

1. Zikir jali (zikir jelas dan nyata) adalah mengingat Allah Swt dengan ucapan lisan yang mengandung arti pujian, rasa syukur dan doa kepada Allah Swt yang lebih menampakkan suara yang jelas untuk menuntun gerak hati. Misalnya, membacakan tahlil, tasbih, takbir, membaca al-Quran atau doa lainnya. Zikir ini. biasanya dilakukan oleh orang awam (orang kebanyakan). Yang Mula-mula zikir diucapkan lisan, mungkin tanpa disertai ingatan hati, dimaksudkan untuk mendorong agar hatinya hadir menyertai ucapan-ucapan lisan itu.

Zikir jali terbagi menjadi dua bagian, yakni zikir yang bertsifat muqoyyad (terikat) dan zikir yang bersifat Mutlak (tidak terikat dengan waktu atau tempat). Zikir yang bertsifat muqoyyad (terikat) yakni, dengan waktu, tempat, atau amalan tertentu lainnya.

Misalnya ucapan-ucapan dalam shalat, ketika melakukan ibadah haji, doa-doa yang diucapkan ketika akan makan, sesudah makan, akan tidur, bangun tidur, pergi keluar rumah, mulai bekerja, mulai belajar, melihat teman berbaju baru dan sebagainya.

Sedangkan zikir yang bersifat Mutlak (tidak terikat dengan waktu atau tempat) misalnya, mengucapkan tahlil, tasbih, tahmid dan takbir dimana saja dan kapan saja.

2. Zikir Khafi (zikir yang samar-samar) adalah mengingat Allah yang dilakukan secara khusyu‟ oleh ingatan hati, baik disertai zikir lisan, ataupun tidak. Orang yang sudah terbiasa melakukan zikir khafi, hatinya merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah Swt dan selalu merasakan kehadiran Allah kapan dan dimana saja.

3. Zikir Haqiqi (zikir yang sebenar-benarnya), yakni tingkat zikir yang paling tinggi yaitu zikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga, lahiriah dan batiniah, kapan dan dimana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa raga dari larangan Allah Swt dan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Selain itu tidak yang di ingat selain Allah Swt untuk mencapai tingkatan zikir haqiqi ini perlu dijalani latihan-latihan mulai dari tingkatan zikir jali dan khafi.60

60 Abdul Aziz Dahlan et al, Op.,Cit, hlm. 2016.

Zikir itu pada hakikatnya adalah zikir lisan dan orang yang megucapkannya bernilai pahala. Dalam zikir itu tidak disyaratkan konsentrasi penghayatan arti zikir itu, tapi hanya disyaratkan, bahwa zikir itu tidak dimaksudkan selain Allah. Jika orang yang berzikir itu menggabungkan zikir lisan dan zikir hati, maka itulah zikir yang paling sempurna. Dan jika zikir lisan dan zikir hati itu digabungkan dengan konsentrasi penghayatan makna zikir tersebut bersama apa yang terkandung dalam zikir itu seperti pengagungan Allah Swt dan menyucikan Allah dari segala kelemahan dan kekurangan, maka nilai zikirnya bertambah sempurna lagi. Jika konsentrasi semua zikir itu dalam setiap amal shaleh yang termasuk fardhu seperti shalat, atau jihad atau selain keduanya, maka nilainya sangat tinggi. Lalu jika betul niatnya dan ikhlas karena Allah, maka zikir itu paling tinggi lagi kesempurnaannya.61

Menurut Fakhruddin al-Razi sebagaimana kutip oleh Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani, zikir lidah adalah ungkapan penyucian (tashbih), pujian (tahmid), pengagungan (tamjid), sedangkan zikir hati mencakup perenungan atas dalil nas yang menunjukan Zat dan sifat-sifat Allah. Sedangkan zikir anggota badan adalah dengan cara menjadikan anggota badan itu asyik melaksanakan kepatuhan atau ibadah kepada Allah. Itulah sebabnya Allah Swt menamai shalat itu dengan zikir, sebagai mana Firman-Nya dalam QS.

Al-Jumu‟ah (62): 9, yang berbunyi: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Diriwayatkan dari para ahli marifatullah (ulama tasawuf) bahwa zikir memiliki tujuh bagian:

1. Zikir kedua mata dengan menangis sewaktu mengingat dan menyebut nama Allah.

2. Zikir dua telinga dengan mendengarkan ajaran Allah dengan penuh perhatian.

3. Zikir lidah dengan sanjungan dan pujian.

4. Zikir dua tangan dengan suka memberi pertolongan.

5. Zikir badan dengan kesetiaan dan pemenuhan kewajban.

6. Zikir hati dengan takut dan harap kepada Allah, disertai harap kepada-Nya.

61 Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani, Ensiklopedia Akidah Ahlussunah: Energi Dikir dan Shalawat, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 17.

7. Zikir ruh dengan penyerahan sepenuhnya dan Ridha kepada-Nya.62

Sudah tertera dalam hadis yang menunjukan bahwa zikir itu seutama-utamanya amal seluruhnya. Rasulallah bersabda: Telah menceritakan kepada kami Ya‟qub bin Humaid bin Kasib telah menceritakan kepada kami Al Mughirah bin Abdurrahman dari Abdullah bin Sa‟id bin Abu Hind dari Ziyad bin Abu Ziyad bekas budak Ibnu Abbas dari Abu Bahriyah dari Abu Darda bahwa Nabi shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Maukah kalian saya beritahukan tentang sebaik-baik amalan kalian dan yang lebih dicintai oleh Rabb kalian, lebih mulia bagi kalian dari bersedekah dengan emas dan perak serta dari berperang dengan musuh-musuh kalian kemudian kalian tebas batang leher mereka dan (atau) mereka menebas batang leher kalian?” para sahabat bertanya: ”Apakah amalan itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Berdzikir kepada Allah.” Mu'adz bin Jabal berkata;

“Tidaklah suatu amalan yang di kerjakan oleh seseorang lebih dapat melindungi dirinya dari adzab Allah Azza Wa Jalla selain berdzikir kepada Allah.”63

Hamka menjelaskan beberapa ayat yang berkaitan dengan zikir lisan, zikir hati dan zikir anggota badan, yakni di bawah ini:

a. Zikir Hati

Zikir hati terdapat pada salah satu ayat QS. Az-Zumar (39): 22, yang termasuk makiyah akhir, yang berbunyi:











































22. Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.(QS. Az-Zumar (39): 22)

Hamka menafsirkan ayat di atas bahwasanya orang yang dibukakan Tuhan hatinya menerima Islam, yakni orang-orang yang percaya kepada Allah Swt, maka dadanya menjadi lapang, jiwanya menjadi tentram. Orang yang beriman wali atau pemimpinnya ialah Allah (QS. Al Baqarah (2): 257). berbeda dengan orang yang kesat hati, tertutup ketika kebenaran akan masuk, yakni orang yang menolak kepercayaan

62 Ibid, hlm. 18.

63 Kitab Sunan Ibnu Majah, Bab Kitab Al-Adab, Juz 4, 705.

kepada Allah dialah orang-orang kafir pemimpinnya adalah thagut. Thagut itu adalah berhala atau manusia yang di berhalakan dan di dewa-dewakan. Karena itu orang yang kesat hati akan berada dalam kesesatan yang nyata. Sebab akibat dari kesesatan itu akan nyata kelihatan perbuatan apa saja yang dilakukan tidak akan dicapainya, melainkan bertambah keruh, karena rencananya tidak di ridhoi Allah Swt.64

Kemudian di jelaskan juga pada QS. Al-Mujadilah (58): 19, yang termasuk pada ayat madaniyah, yang berbunyi:

19. syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi. (QS.

Al-Mujadilah (58): 19)

Hamka menafsirkan ayat di atas bahwa orang yang telah jatuh ke bawah pengaruh orang lain tidak lagi mempunyai kemerdekaan untuk bertindak sendiri. Apalagi telah dipengaruhi oleh syaithan. Bertambah lemahlah kepribadiannya sendiri untuk melawan pengaruh itu. Atau laksana anak-anak muda yang telah terlanjur meminum ganja atau morphine. Bagaimanapun sengsara dirinya karena meminum atau memakan makanan yang berbahaya itu, namun dia tidak mempunyai kekuatan untuk membebaskan diri dari perbuatannya itu. “Itulah yang telah membuat mereka lupa mengingat Allah”, karena mereka telah dibuat mabuk oleh syaithan. Maka sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh syaithan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena mereka telah masuk dalam golongan syaitan dan sesungguhnya syaitan itu adalah jalan kesesatan. Maka orang-orang yang telah jadi alat-alat syaitan itu akan merugi, sebab mereka tidak dapat masuk lagi dalam golongan orang yang dinikmati Allah Swt.65

b. Zikir Lisan

Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 200, termasuk ayat madaniyah, berbunyi:

64 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟XX IV, (Jakarta: Puataka Panjimas, 1983), hlm. 37.

65 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟XXVII, (Jakarta: PT. Pustaka Islam Surabaya, 1975), hlm. 54-55.

200. apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS.

Al-Baqarah (2): 200)

Hamka menafsirkan pada ayat diatas tentang seruan orang-orang yang telah beribadah kepada Allah, meneguhkan iman dan taqwa, supaya waktu di Mina memperbanyak menyebut Allah sebagai dahulu menyebut nama ayah dan nenek moyang. Justru lebih hendaknya dari itu. Karena apabila orang telah Islam, kebanggaannya bukanlah nenek moyang. Tetapi iman dan amal shalih. Kemudian Hamka juga menjelaskan kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah. Mereka mohonkan segala sesuatu yang berkenaan dengan dunia dan harta benda dan tidak sedikit pun mengingat memohon keselamatan untuk akhirat. Maka kehidupan dunialah yang mereka dapat serta mereka tidak akan mendapat kebahagaiaan apa-apa di akhirat. Di sini kita mendapat pengetahuan bahwa orang Jahiliyah pun naik haji, tetapi hanya semata-mata karena telah menjadi adat kebiasaan sejak dahulu. Hati mereka lebih terpaut kepada dunia.66

Kemudian dijelaskan juga pada QS. Al-Jumu‟ah (62): 10, termasuk madaniyah yang berbunyi:

































10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS. Al-Jumu‟ah (62): 10)

Hamka menafsirkan pada ayat di atas, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk selalu mengingat-Nya dengan menunaikan sembahyang shalat jumat ketika seruan azan berkumandang dan apabila sembahyang Jum‟at telah selesai dilaksanakan, manusia boleh kembali bertebaran ke muka bumi dan berjual-beli untuk mencari dan memperoleh rezeki yang telah Allah anugrahkan supaya memperoleh kehidupan yang jaya di dunia dan akhirat. “Dan ingatlah Allah banyak-banyaknya”, maksudnya dalam kondisi dan suasana apa pun kemana saja kamu berada, dimana saja pun, dalam suasana apa saja, jangan lupa kepada Allah Swt. Karena dengan selalu ingat kepada Allah akan

66 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ II, (Jakarta: Puataka Panjimas, 1983), hlm. 142-143.

dapat mengendalikan diri supaya tidak terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah Swt.67 Kemudian supaya mendapat keberunungan berupa rizki dari Allah Swt.

c. Zikir Anggota Badan

Allah berfirman dalam QS. Al-Jumu‟ah (62): 9, termasuk ayat madaniyah berbunyi:













































9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu‟ah (62): 9)

Hamka menafsirkan ayat di atas bahwa Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk selalu mengingat-Nya dengan menunaikan sembahyang shalat jumat dan meninggalkan jual beli ketika seruan azan berkumandang.68 Kemudian dijelaskan pada ujung ayat 9, dengan melaksanakan shalat jum‟at akan mempererat hubungan antara sesama umat manusia. Dan orang-orang yang beriman akan terpelihara agamanya karena persatuan langkah, merapatnya barisan karena kesatuan iman, dan akan timbul kesadaran diri dalam berjama‟ah di bawah pimpinan Rasul. Dan sangat bersyukur jika yang melaksanakan itu adalah masyarakat sendiri. Mereka akan beruntung jika mengetahui bahwa betapa sangat penting sekali perpaduan umat di dalam menjunjung tinggi perintah Allah Swt.69

Dokumen terkait