• Tidak ada hasil yang ditemukan

zollingeriana DAN NON LEGUM Setaria italica (L.) BEAUV DALAM MODEL SISTEM

TUMPANGSARI

Pendahuluan

Latar Belakang

Tumpangsari merupakan penanaman dua atau lebih tanaman secara berdekatan untuk mendukung interaksi antar tanaman tersebut (Sullivan 2003) pada tempat dan waktu yang sama secara terus-menerus (Andrews dan Kassam 1976). Di Indonesia, praktek tumpangsari ini banyak dilakukan terutama selain untuk menyiasati keterbatasan lahan, juga bertujuan untuk penganekaragaman hasil panen dan ketahanan pangan keluarga petani. Kegiatan peternakan biasanya tidak terlepas dari kegiatan pertanian di daerah pedesaan di Indonesia,. Hasil limbah pertanian yang dihasilkan biasanya juga dimanfaatkan untuk pakan ternak, meskipun kualitas nutrisi dari pakan hasil limbah pertanian sudah relatif menurun. Salah satu upaya yang perlu diuji coba untuk menjaga ketahanan pangan dan sekaligus pakan dalam keluarga petani/peternak dengan tetap mempertahankan status nutrisi yang baik dari tanaman dapat dilakukan dengan tumpangsari antara tanaman hijauan pakan ternak dengan tanaman pangan alternatif, misalnya pertanaman campuran antaraIndigofera zollingeriana(Indigofera) denganSetaria italica(L.) Beauv (Hotong).

Legum pemfiksasi nitrogen dapat menjadi bagian dari sistem tumpangsari. Legum berkontribusi dalam menjaga kesuburan tanah melalui peningkatan fiksasi nitrogen dalam sistem sehubungan dengan karakter kompetitif yang lebih dari tanaman sereal (biji-bijian) terhadap nitrogen inorganik tanah. Hal ini akan memicu pada pelengkapan dan penggunaan yang lebih efisien dari sumber N tanah. Tumpangsari tanaman legum dan sereal membuka kesempatan untuk meningkatkan input fiksasi N ke dalam agroekosistem tanpa mempertimbangkan penggunaan N oleh sereal, tingkat produksi dan stabilitas (Intercrop 2002). Indigofera merupakan suatu genus dari Famili Fabaceae (Leguminosae) yang

potensial, namun belum banyak dieksplorasi di Indonesia. Indigoferamerupakan tanaman semak tahunan atau semak tumbuh rendah dengan tinggi dari 1 – 4 m dengan daun yang menyirip dan karakter bunga Papilionaceous dari famili Fabaceae. Spesies yang berbeda beradaptasi pada kisaran iklim tropik dan subtropik (Bechtol dan Rita 2009). I. zollingeriana merupakan salah satu jenis Indigofera yang banyak terdapat di daerah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan, genangan air, dan tahan terhadap salinitas. Kandungan protein kasar dan mineral yang tinggi menjadikan tanaman ini berpotensi sebagai sumber protein pengganti konsentrat disamping juga sebagai sumber mineral. Menurut Abdullah dan Suharlina (2010) kandungan protein kasarIndigofera20.4–27.60%, serat kasar 10.97–21.40%, NDF sebesar 49.40–59.97%, ADF sebesar 26.23–37.82% dengan KCBK dan KCBO masing-masing sebesar 67.39 – 81.80% dan 65.77 – 80.47%. Hassen et al (2007) menyatakan bahwa kandungan CaIndigoferasebesar 0.97–4.52%, 0.19–0.33% P, dan 0.21 – 1.07% Mg. Penggunaan Indigofera pada ternak kambing mampu meningkatkan produksi susu sampai 18% dan meningkatkan bobot kambing perah dara sampai 75% (Tarigan 2009). Studi yang dilakukan oleh Hassenet al.(2007) mendapatkan spesiesIndigoferajuga dapat memenuhi Ca, Mg, Zn dan Mn ternak ruminansia, tetapi penting untuk mensuplementasi P dan Cu dari sumber lainnya untuk memenuhi kebutuhan mineral ternak ruminansia.

S. italica(L) Beauv yang di daerah asalnya lebih dikenal dengan nama Hotong, merupakan komoditas sumber karbohidrat harapan baru yang saat ini sedang dikembangkan, terutama di Pulau Buru (Maluku). Hotong dapat tumbuh pada daerah semi arid, tropis, subtropis dengan kondisi tanah mulai dari tanah pasir sampai liat (Brink 2006). Tanaman Hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik (Krishiworld 2005). Hotong merupakan alternatif pengganti beras yang baik, tercatat mengandung karbohidrat sebesar 63.2–81.32%, protein 11.2–14.05%, lemak 2.4 - 4%, kalsium 31% dan Fe 2.8% per 100g (Brink 2006; Herodian 2008). Biji hotong mengandung komponen bioaktif yang mempunyai sifat antioksidan, antara lain adalah tanin dan vitamin

E. Tanin merupakan polifenol, salah satu antigizi yang terkandung di dalam bahan makanan. Komponen ini terutama banyak terkandung pada kulit arinya (Herodian 2008). Komposisi asam amino per 100 g biji adalah 103 mg tryptophan, 233 mg lysine, 296 mg methionin, 708 mg phenylalanine, 328 mg threonin, 728 mg valine, 1764 mg leucine dan 803 mg isoleucine (FAO 1970). Bijinya digunakan untuk konsumsi manusia dan juga sebagai pakan ternak unggas dan burung yang dikandangkan (FAO). Penanaman Hotong dengan sistem irigasi di China tercatat dapat memproduksi biji sekitar 11 t/ha dengan hasil jerami Hotong sekitar 2.5 t/ha/tahun. Sebagai hijauan, Hotong dapat menghasilkan sekitar 15 – 20 ton hijauan segar/ha atau 3.5 t/ha dalam bentuk hay (Brink 2006).

KeunggulanIndigoferasebagai pakan sumber protein dan mineral dan Hotong baik sebagai pangan berkualitas maupun pakan yang berproduktivitas tinggi menjadikan kedua tanaman ini sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa respon terhadap nitrogen berbeda pada setiap tanaman. Hal yang sama diduga terjadi pada penggunaan hara fosfor. Fosfor merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman legum dan biji-bijian/sereal (Marchner 1999) dan hanya dapat diserap akar sebagai fosfat terlarut. Fosfor secara normal merupakan unsur hara yang paling sedikit pada tanah tropis (Souchie et al. 2006). Fosfor, di dalam tanah tersedia bagi tanaman kurang dari 1% P total tanah. Konsentrasi P dalam larutan tanah rendah (0.05– 0.3 µgP/ml) (Bolan 1991) dan 1.5 µM dalam bentuk P-PO4- (Marchner 1999). Kecepatan pengambilan hara oleh sistem perakaran tanaman bergantung pada kecepatan hara tanah mencapai permukaan akar tanaman. Efisiensi P dengan pupuk yang berbeda yang digunakan dalam sistem pertanian bergantung pada kapasitasnya untuk menyediakan P dalam bentuk terlarut dan tersedia untuk diambil tanaman, salah satu contohnya anion orthophosphate (Whitehead 2000). Ion P secara kimiawi berikatan dengan ion Fe dan Al pada permukaan tanah berliat yang bereaksi masam. Fosfor yang diaplikasikan dalam bentuk pupuk yang larut dalam air (water-soluble fertilizer) sangat cepat dikonversi ke dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Pada kondisi ini, keberadaan sumber organik yang mempunyai kandungan hara yang tinggi dapat dimanfaatkan lebih optimum. Limbah cair hasil pengolahan Monosodium Glutamat (sipramin) mempunyai

kandungan hara yang cukup baik yaitu pH 5.6, C organik 6.11%, N total 4.28%, P2O5 0.15%, K2O 0.40%, (Suharlina 2010). Efisiensi penggunaan nitrogen pada tanaman tebu keprasan (Saccharum officininarum L.) yang dipupuk dengan Sipramin 3.500 l ha-1 (18,47 kg kristal gula kg N-1) lebih besar dari efisiensi penggunaan nitrogen dengan pemupukan Sipramin dosis tinggi maupun ZA (Rusprasitaet al. 2008). Penggunaan sipramin dengan penambahan unsur P dari rock phosphate- fosfat alam yang murah dan mudah tersedia akan menghasilkan pupuk sumber P yang murah, tinggi kandungan hara N, namun lambat tersedia bagi tanaman.

Kemampuan tanaman untuk mengekstrak P sangat dipengaruhi oleh karakteristik akar dan kinerja mikoriza. Sehubungan dengan penyerapan P, Souchie et al. (2006) menyatakan bahwa kelompok komunitas mikroba tanah yang paling penting adalah mikroba pelarut P dan FMA-fungi mikoriza arbuskula. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan komponen esensial pada sistem tanah-tanaman yang berkelanjutan (Smith dan Read 1997). FMA mempunyai kemampuan melarutkan mineral P dan meningkatkan ketersediaannya bagi tanaman (Dupponoiset al. 2005) dan beberapa unsur hara mikro seperti Cu, Zn dan Bo, sehingga penggunaan FMA dapat digunakan sebagai alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk buatan terutama P (Setiadi 1998). Hifa fungi mikoriza arbuskula dapat memediasi transfer unsur hara antara tanaman (Bethlenfalvay et al. 1996). Mikroorganisme ini menyediakan unsur hara bagi tanaman dengan mensekuestrasi/menangkap unsur hara dari tanah dan mentranslokasikannya ke tanaman dan kemudian mikroorganisme ini mendapatkan energi dari tanaman inangnya. Hal ini akan mengakibatkan penggunaan unsur hara yang sangat efisien dan menurunkan ketergantungan terhadap input kimia dari luar (Uppal et al. 2008). Peningkatan penyerapan P dengan adanya mikoriza tanaman diketahui karena adanya peningkatan luas permukaan penyerapan (Abbot dan Robson 1977).

Sejauh ini, studi tentang absorbsi P (bersumber dari fosfat alam) dan fungsi mikoriza pada tanaman pakan telah banyak dilakukan. Namun studi yang dilakukan lebih banyak terfokus pada respon tanaman terhadap aplikasi P dan mikoriza pada satu jenis tanaman (Manjunath et al. 1988; Liu et al. 2003;

Duponnois et al. 2005, Karanja et al. 2004; Sabannavar dan Lakshman 2009), tetapi belum mempelajari banyak tentang proses transfer dan pertukaran hara dalam sistem tumpangsari. Hingga saat ini, dasar fisiologi cendawan mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan tanaman belum sepenuhnya dimengerti.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini menguraikan proses transfer hara pada tanaman legum dan non legum dalam model sistem tumpangsari. Dalam penelitian ini diaplikasikan penggunaan mikoriza pada tanaman Hotong dan pemberian pupuk P buatan (slow release P- dari fosfat alam) pada tanaman legum pakan Indigoferayang ditanam secara bersamaan dalam model sistem tumpangsari.

Bahan dan Metode

Dokumen terkait