• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Kejadian bencana di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus meningkat, baik dari segi besaran, intensitas maupun sebarannya. Selama tahun 2015, jumlah bencana yang terjadi sebanyak 1 229 bencana dan 375 (31.3%) merupakan bencana banjir. Dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut merusak sebanyak 1 944 rumah (BNPB 2012). Pengamatan Jha et al. (2011) menunjukkan bahwa

beberapa kota di seluruh dunia memang rentan terhadap banjir. Tingkat dampak banjir yang ada pada saat ini dan ke depan menuntut semakin mendesaknya pembuatan pengelolaan risiko banjir di wilayah tempat tinggal perkotaan sebagai prioritas tinggi dalam agenda politik dan kebijakan. Oleh karena itu, tindakan untuk memahami faktor penyebab dan dampak banjir yang ditimbulkan serta upaya menyusun rancangan, biaya dan implementasi untuk meminimalisasi risiko merupakan kewajiban dari pemikiran utama pembangunan dan merupakan bagian dari tujuan-tujuan pembangunan.

Menurut Kodoatie (2013) perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun berdampak terhadap peningkatan banjir karena sistem tata air tanah dan drainase menjadi sangat kurang. Terjadinya perubahan penggunaan lahan untuk pembangunan kawasan permukiman baru dan peningkatan infrastruktur pada wilayah-wilayah yang semestinya menjadi daerah preservasi dan konservasi alami untuk melestarikan sumber daya alam khususnya air permukaan dan air tanah.

Perubahan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi lahan terbangun akan mendorong perluasan daerah banjir. Hal ini terjadi karena semakin sempitnya ruang untuk air dapat melakukan infiltrasi, dan sebaliknya akan meningkatkan aliran permukaan dan wilayah genangan. Di Kota Padang antara tahun 1988-2014 telah terjadi dinamika tutupan lahan. Lahan terbangun (permukiman) terus bertambah luasannya, sebaliknya luasan daerah resapan mengalami penyempitan dari tahun ke tahun. Luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Padang sebesar 95.6% dari luas wilayah pada tahun 1988 dan mengalami penyempitan menjadi 88.1% dari luas wilayah tahun 1998, tahun 2008 berkurang menjadi 83.8% dari luas wilayah, dan pada tahun 2014 berkurang menjadi 83.5% dari luas wilayah. Jadi antara tahun 1988- 2014 RTH di Kota Padang mengalami konversi menjadi lahan terbangun sebesar 12.1% dari luas wilayah (BPS 2015).

Kawasan permukiman di Kota Padang sebagian besar berkembang pada wilayah yang secara geomorfologi terbentuk oleh proses fluvial. Proses fluvial yang mendorong pembentukan Kota Padang antara lain berasal DAS Kuranji, DAS Arau, DAS Airdingin dan DAS Kandih. Secara geomorfologi kawasan fluvial merupakan kawasan yang rentan terhadap banjir. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum/DPU Sumatera Barat (2015) pada tahun 1988 sekitar 7% dari 3 157 ha permukiman mengalami banjir, pada tahun 1998 meningkat menjadi 13% dari 8 288 ha luas permukiman, pada tahun 2008 meningkat menjadi 24% dari 11 287 ha luas permukiman, dan tahun 2014 meningkat menjadi 32% dari 11 477 ha.

Bertambah luasnya kawasan terkena banjir disebabkan banyaknya pengembangan permukiman tanpa mempertimbangkan kesesuaian lahan untuk permukiman. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan luasan dan zonasi kawasan rawan dan berisiko banjir di Kota Padang.

Metode Penelitian

Analisis risiko banjir ditentukan dengan menggunakan tiga parameter yaitu kerawanan, kerentanan, dan kapasitas penanggulangan risiko banjir. Indikator yang digunakan untuk menentukan kerawanan banjir adalah curah hujan, elevasi, kelerengan, bentuk lahan, penggunaan lahan, jenis tanah, dan frekuensi banjir. Untuk menentukan tingkat kerentanan banjir menggunakan indikator kepadatan penduduk, kepadatan permukiman, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, dan rasio kelompok umur. Selain itu, kapasitas penanggulangan risiko banjir menggunakan lima indikator yaitu: a) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; b) peringatan dini dan kajian risiko bencana; c) pendidikan kebencanaan; d) pengurangan faktor risiko dasar; dan e) pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini.

Zonasi kerawanan banjir

a) Ketersedaan data penelitian

Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting dalam kajian banjir. Data curah hujan dari lima stasiun curah hujan di Kota Padang periode 1975–2012 menunjukkan bahwa jumlah rata-rata curah hujan tahunan adalah 3 683 mm/tahun. Jumlah curah hujan tertinggi terdapat pada Stasiun Gunung Sarik (3 809 mm/tahun), sedangkan jumlah curah hujan terendah terdapat pada Stasiun Curah Hujan Batu Busuk (3 443 mm/tahun). Sebaran rata-rata curah hujan di Kota Padang periode 1975–2012 disajikan pada Lampiran 3.

Gambar 9. Grafik rata-rata curah hujan bulanan di Kota Padang periode 1975-2012 (BMKG Tabing 2013)

Jumlah rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan November sedangkan jumlah curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Februari. Pada

bulan November jumlah rata-rata curah hujan tertinggi terdapat pada stasiun Ladang Padi yaitu 468 mm/bulan, sedangkan jumlah rata-rata curah hujan terendah terdapat pada stasiun Batu Busuk yaitu 413 mm/bulan. Sebaliknya, pada bulan Februari jumlah rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terdapat pada stasiun Gunung Sarik yaitu 260 mm/bulan, sedangkan jumlah rata-rata curah hujan terendah terdapat pada stasiun Gunung Nago yaitu 204 mm/bulan. Gambar 9 memperlihatkan grafik rata- rata curah hujan bulanan di Kota Padang periode 1975–2012.

Gambar 10. Grafik rata-rata curah hujan tahunan di Kota Padang periode 1975-2012 (BMKG Tabing 2013)

Peta curah hujan diperoleh dari interpolasi data curah hujan lima stasiun curah hujan di Kota Padang yang membentuk garis isohyet. Berdasarkan peta curah hujan Kota Padang, sebagian besar wilayah memiliki intensitas curah hujan 3 500–4 000 mm/tahun. Data curah hujan rata-rata Kota Padang periode 1975–2012 menunjukkan adanya kecenderungan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Rata-rata curah hujan Kota Padang periode 1975–2012 yakni 3 789 mm/tahun. Intensitas curah hujan tertinggi 6 054 mm/tahun pada tahun 1981, sedangkan intensitas curah hujan terendah sebesar 2 065 mm/tahun tahun 1997. Distribusi curah hujan di Kota Padang periode 1975-2012 disajikan pada Gambar 11a.

Kota Padang berdasarkan Peta Jenis Tanah (PPT 1990) skala 1 : 250 000 dibedakan atas enam jenis tanah yaitu: tanah aluvial (13.8%), tanah andosol (39.9%), tanah latosol (25.5%), tanah regosol (9%), tanah organosol (0.3%), dan tanah kompleks podsolik merah kuning (11.5%). Selanjutnya, berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 50 000, kemiringan lereng Kota Padang dapat dibedakan atas empat kategori yaitu: lereng 0–8% dengan luas 17 614 ha (25%), lereng 9–16% dengan luas 10 373 ha (14.93%), lereng 17–26% dengan luas 31 559 ha (45.41%), dan lereng lebih dari 27 % dengan luas 9 950 ha (14.32 %).

Gambar 11. Peta curah hujan (a), peta jenis tanah (b), peta bentuk lahan (c), peta lereng (d) di Kota Padang

Sumber : Data BMKG Tabing(1975-2012)

Sumber : PPT (1990)

Gambar 12. Peta elevasi (a), peta frekuensi banjir (b), peta penggunaan lahan 2014 (c) di Kota Padang

Sumber : Citra Landsat (2014)

Karakteristik geomorfologi Kota Padang dapat dibedakan atas: backswamp, dataran aluvial pantai, dataran bajir, beting gisik, kipas aliran piroklastik, kipas fluvio vulkanik, kompleks pegunungan volkanik, perbukitan kapur, perbukitan vulkanik, dan tanggul alam. Bentuk lahan komplek pegunungan vulkanik merupakan bentuk lahan yang paling dominan menyusun daerah penelitian, yang mempunyai kemiringan lereng miring sampai curam dan dengan bentuk lereng cekung, cembung, dan kompleks. Gambar 11 disajikan distribusi curah hujan, jenis tanah, bentuk lahan, dan lereng di Kota Padang.

Dengan menggunakan citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) bisa

dihasilkan Digital Evation Model (DEM) dan menghasilkan peta ketinggian/elevasi di

Kota Padang. Elevasi Kota Padang dibedakan atas tujuh kategori yaitu: 0-10 meter dpl (12.5%), 10-30 meter dpl (8.5%), 30-50 meter dpl (3.8%), 50-150 meter dpl (10.7%), 150-450 meter dpl (21.6), 450-1 000 meter dpl (25,8%), dan >1 000 meter dpl (17,1%). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang menggambarkan frekuensi banjir pada wilayah penelitian dengan tiga kategori yaitu: 3.3% dari wilayah selalu banjir (lebih dari 6 kali dalam setahun), 2.6% merupakan wilayah sering banjir (4-6 kali dalam setahun), 1.4% merupakan wilayah jarang banjir (kurang dari 4 kali dalam setahun), dan 92.7% merupakan wilayah yang tanpa banjir. Adapun penggunaan lahan Kota Padang pada penelitian ini dihasilkan dari interpretasi citra Landsat ETM tahun 2014 dan dibedakan atas enam jenis

penggunaan yaitu: permukiman (16.5%), sawah (9.3%), kebun campuran (3.8%), semak (0.6%), lahan kosong (0.6%), dan hutan (69.3%). Distribusi elevasi, frekuensi banjir, dan penggunaan lahan dari Kota Padang disajikan pada Gambar 12.

b) Analisis kerawanan (bahaya) banjir

Kerawanan (bahaya) banjir dianalisis menggunakan metode multi criteria

evaluation (MCE). Penentuan bobot dan harkat dilakukan berdasarkan pendapat

pakar dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pakar menentukan penilaian yang berdasarkan skala 1 sampai 9 secara perbandingan berpasangan/ pairwise comparision (Tabel 6). Pendapat pakar yang digunakan dalam

penentuan bobot dan harkat kerawanan banjir berasal dari beberapa lembaga antara lain; a) BPBD Kota Padang; b) Pusat Kajian Kebencanaan Universitas Negeri Padang; c) Bappeda Kota Padang; d) Dinas Tata Kota Padang; dan e) Perguran Tinggi. Jumlah pakar yang digunakan dalam penentuan bobot dan harkat kerawanan sebanyak 15 orang pakar.

Tabel 6. Kriteria penilaian dalam AHP

Nilai Keterangan

1 A sama penting dengan B

3 A sedikit lebih penting dari B 5 A jelas lebih penting dari B

7 A sangat jelas lebih penting dari B

9 A mutlak lebih penting dari B

2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Sumber: Saaty (1983), Marimin dan Maghfiroh (2010)

Persamaan 1 digunakan untuk penggabungan pendapat pakar. Penelitian ini menggunakan nilai consistency ratio (CR) pakar kurang dari 0.1. Nilai CR yang melebihi dari 0.1 dalam penelitian ini tidak digunakan.

(1)

= rata-rata geometrik n = jumlah responden

xi = penilaian responden ke – i

∏ = perkalian

Nilai bobot dan harkat yang dihasilkan dengan metode AHP dari pendapat pakar terhadap indikator dijadikan nilai bobot dan harkat dalam analisis GIS, dengan menggunakan metode pendekatan analisis overlay parameter-parameter kerawanan banjir dalam ArcGIS 10.1. Overlay dilakukan dengan input peta tematik, yaitu: a)

peta jenis tanah; b) peta lereng; c) peta bentuk lahan; d) peta curah hujan; e) peta elevasi atau ketinggian; f) peta penggunaan lahan; dan g) peta frekuensi banjir. Persamaan 2 digunakan untuk menentukan kelas interval bahaya banjir.

(2)

I = besar jarak interval kelas c = jumlah skor tertinggi b = jumlah skor terendah

k = jumlah kelas yang diinginkan

Zonasi kerentanan dan upaya penanggulangan risiko banjir

a) Ketersediaan data penelitian

Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi bencana (BNPB 2012). Selain itu, indikator yang digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan pada pelitian ini antara lain: a) tingkat kepadatan penduduk; b) rasio jenis kelamin; c) rasio kemiskinan; d) rasio kelompok umur; dan e) kepadatan permukiman.

Tingkat kepadatan penduduk merupakan perbandingan jumlah penduduk dengan luas kecamatan. Data tingkat kepadatan penduduk diperoleh dari BPS Kota Padang tahun 2015, adapun tingkat kepadatan penduduk dibedakan atas tiga kategori, yakni: a) rendah (< 500 jiwa/km2); b) sedang (500–1 000 jiwa/km2); dan c) tinggi (>1 000 jiwa/km2). Berdasarkan BNPB (2012) tingkat kepadatan penduduk memiliki bobot 30%. Indikator kepadatan penduduk dalam kerentanan banjir merupakan gambaran kondisi masyarakat yang berhubungan dengan jumlah penduduk per km2.

k b c

Artinya semakin banyak jumlah penduduk setiap km2, maka semakin tinggi tingkat kerentanannya dalam menghadapi bencana.

Gambar 13. Peta kepadatan penduduk (a), peta pola permukiman (b), dan peta rasio kemiskinan (c) di Kota Padang

Gambar 13a menyajikan distribusi tingkat kepadatan penduduk pada wilayah penelitian. Di Kota Padang tingkat kepadatan penduduk dapat dibedakan atas tiga yaitu:

a. Terdapat dua kecamatan dengan tingkat kepadatan rendah (<500 jiwa/km2), yaitu: Kecamatan Pauh dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung;

Sumber : Citra SRTM (2014), RBI (2012), dan Google Earth (2014)

Sumber : Analisis data BPS Kota Padang (2014)

Sumber : Analisis data BPS Kota Padang (2014)

b. Dua kecamatan dengan tingkat kepadatan sedang (500–1 000 jiwa/km2), yaitu Kecamatan Koto Tangah dan Kecamatan Lubuk Kilangan; dan

c. Tujuh kecamatan dengan tingkat kepadatan tinggi (>1 000 jiwa/km2), yaitu Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang Timur; Kecamatan Padang Barat; Kecamatan Padang Selatan; Kecamatan Nanggalo; Kecamatan Kuranji; dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung.

Gambar 13b menyajikan pola permukiman di Kota Padang. Pola permukiman dibedakan atas empat kategori yaitu padat, agak padat, jarang, dan tanpa permukiman. Permukiman di Kota Padang tidak tersebar secara merata. Gambar 14 menyajikan grafik persebaran permukiman di Kota Padang dengan rincian 9.03% merupakan permukiman padat; 0.7% permukiman agak padat; 22.7% merupakan permukiman jarang; dan 67.5% merupakan wilayah tanpa permukiman. Permukiman yang padat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sebaliknya semakin jarang permukiman semakin rendah tingkat kerentanan terhadap banjir. Berdasarkan BNPB (2012) bobot kepadatan permukiman terhadap kerentanan banjir sebesar 25%.

Gambar 14. Grafik persebaran permukiman di Kota Padang (Interpretasi Citra

Landsat 2014, RBI 2012, dan Google Earth 2014)

Rasio tingkat kemiskinan merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam penentuan tingkat kerentanan banjir. Rasio tingkat kemiskinan dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan penduduk maka semakin besar tingkat kerentanannya dalam menghadapi bahaya banjir, karena semakin lama untuk pemulihan ekonomi dari dampak bencana banjir. BNPB (2012) menetapkan bobot tingkat kemiskinan terhadap kerentanan banjir sebesar 15%. Rasio tingkat kemiskinan dapat dikategorikan atas tiga yakni: a) rendah (<20 persen); b) sedang (20–40 persen); dan c) tinggi (> 40 persen). Gambar 13c merupakan distribusi tingkat kemiskinan di Kota Padang yang dibedakan atas tiga kategori yaitu:

a. Terdapat lima kecamatan dengan rasio tingkat kemiskinan rendah yakni: Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Timur, Kecamatan Lubuk Begalung, dan Kecamatan Pauh;

b. Lima kecamatan dengan rasio tingkat kemiskinan sedang yakni: Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang Selatan, dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung; dan

c. Satu kecamatan dengan rasio tingkat kemiskinan tinggi yakni Kecamatan Lubuk Kilangan.

Gambar 15. Peta rasio kelompok umur (a) dan rasio jenis kelamin (b) di Kota Padang (Analisis data BPS Kota Padang 2014)

Rasio kelompok umur merupakan persentase perbandingan usia produktif dengan usia non produktif. Kategori usia produktif yakni usia 15–64 tahun, sedangkan usia non produktif yakni usia 0–14 tahun dan usia lebih dari 65 tahun. Rasio kelompok umur dibedakan atas tiga yakni: rendah (< 20 persen); sedang (20– 40 persen); dan tinggi (> 40 peresen). Indikator rasio kelompok umur dalam kerentanan banjir merupakan gambaran kelompok umur dalam menghadapi bahaya banjir, artinya semakin besar usia non produktif maka semakin tinggi tingkat kerentanan dalam menghadapi banjir. Gambar 15a merupakan distribusi rasio kelompok umur di Kota Padang. Berdasarkan hasil analisis rasio kelompok umur (Gambar 15a) sebagian besar di Kota Padang memiliki rasio kelompok umur lebih dari 40 persen. Empat kecamatan dengan rasio kelopok umur kategori sedang (20–40 persen), yakni: Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang Timur, dan Kecamatan Nanggalo.

Rasio jenis kelamin merupakan persentase perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan. Artinya dalam ukuran kerentanan semakin besar rasio jenis kelamin perempuan maka semakin rentan suatu masyarakat dalam menghadapi bencana banjir. BNPB (2012) menetapkan nilai rasio jenis kelamin diperoleh dari perbandingan jumlah laki-laki dengan perempuan. Rasio jenis kelamin dibedakan atas tiga kategori yakitu: a) rendah (<20 persen); b) sedang (20–40 persen); dan c) tinggi (> 40 persen). Gambar 15b merupakan distribusi rasio jenis kelamin di Kota Padang. a. Terdapat empat kecamatan dengan indeks kerentanan rendah, yaitu: Kecamatan

Padang Utara, Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang Timur, dan Kecamatan Kuranji; dan

b. Delapan kecamatan dengan indeks kerentanan sedang, yaitu: Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh, Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Padang Barat, Kecamatan Lubuk Begalung, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, dan Kecamatan Lubuk Kilangan.

b) Analisis kerentanan dan upaya penanggulangan risiko banjir

Dalam penentuan kerentanan, penelitian ini mengunakan indikator kepadatan penduduk, kepadatan permukiman, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (30%), kepadatan permukiman (25%), rasio jenis kelamin (15%), rasio kemiskinan (15%) dan rasio kelompok umur (15%). Indeks kepadatan penduduk dibedakan atas tiga yaitu: rendah (< 500 jiwa/km2), sedang (500–1 000 jiwa/km2), dan tinggi (> 1 000 jiwa/km2). Selain itu, kepadatan permukiman dibedakan atas empat kategori padat, agak padat, jarang, dan tanpa permukiman. Selanjutnya, data rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, dan rasio kelompok umur diperoleh dari BPS Kota Padang dan kantor kecamatan setempat. Indeks kerentanan pada rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, dan rasio kelompok umur dibedakan atas tiga kategori yaitu: rendah (< 20%), sedang (20–40%), dan tinggi (>40%). Untuk penentuan kelas interval digunakan persamaan 2 (halaman 37).

Metode analisis kapasitas penanggulangan risiko banjir yang digunakan adalah indeks kapasitas yang dihitung berdasarkan indikator dalam Hyogo Framework for

Actions (Kerangka Aksi Hyogo-HFA). Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian

ketahanan daerah maka dapat dibagi tingkat ketahanan tersebut kedalam 5 tingkatan. Nilai kapasitas penanggulangan risiko banjir ditentukan berdasarkan hasil wawancara pakar dan instansi terkait antara lain: a) kecamatan se Kota Padang; b) BPBD Kota Padang; c) Pusat Kajian Kebencanaan Universitas Negeri Padang; dan d) Pemerhati Lingkungan. Jumlah pakar yang terlibat dalam penentuan nilai kapasitas penanggulanganan risiko banjjir adalah 15 orang. Untuk menentukan validitas nilai kapasitas penanggulangan risiko banjir, peneliti melakukan survey lapangan untuk melihat dan memastikan dari penetapan penilaian yang telah ditetapkan oleh pakar kebencanaan. Tabel 7 merupakan tingkatan dan indikator yang digunakan dalam penilaian kapasitas penanggulangan banjir.

Tabel 7. Tingkatan dan indikator ketahanan daerah dalam menghadapi bencana banjir

Tingkat Indikator

Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan.

Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.

Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas terkait pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif dari bencana.

Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.

Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan. Sumber : Kerangka Aksi Hyogo-HFA (BNPB 2012)

Indikator yang digunakan untuk nilai kapasitas penanggulangan risiko banjir adalah indikator HFA yang terdiri dari: a) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; b) peringatan dini dan kajian risiko bencana; c) pendidikan kebencanaan; d) pengurangan faktor risiko dasar; dan e) pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Parameter konversi Indeks dan persamaan ditunjukkan pada Tabel 8 .

Tabel 8. Indikator kapasitas penanggulangan bencana banjir

No Parameter Bobot (%) Rendah Sedang Kelas Tinggi

1 Aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana

100 <0.33 0.33-0.66 >0.66 2 Peringatan dini dan kajian risiko

bencana

3 Pendidikan kebencanaan

4 Pengurangan faktor risiko dasar 5 Pembangunan kesiapsiagaan

pada seluruh lini

Zonasi risiko banjir

Stoica dan Iancu (2011) dan BNPB (2012) menjelaskan hubungan antara kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), kapasitas penanggulangan (capacity) dan risiko (risk) yang dirumuskan pada persamaan 3. Selanjutnya untuk

menghasilkan peta risiko banjir dilakukan overlay peta bahaya banjir, peta

kerentanan, dan indeks kapasitas penanggulangan dengan menggunakan ArcGIS 10.1. Indeks risiko dan zona risiko dihasilkan dengan menggunakan persamaan 2

(halaman 37).

Resiko (R) =

(3)

Hasil Penelitian Zona kawasan rawan (bahaya) banjir

Hasil penilaian pakar terhadap faktor-faktor penentu kerawanan atau bahaya banjir di Kota Padang yang dianalisis secara parwise comparisons (Lampiran 1)

menunjukkan bahwa nilai bobot yang tertinggi yaitu elevasi/ ketinggian tempat dari permukaan laut. Nilai bobot elevasi berdasarkan penilaian pakar dalam menentukan deliniasi kawasan rawan banjir yaitu 24%. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi suatu lokasi pada wilayah penelitian maka kemungkinan mengalami banjir semakin rendah. Selain itu, kemiringan lereng memiliki nilai bobot 20.6% dalam menentukan zonasi rawan banjir. Artinya semakin datar morfologi wilayah penelitian maka semakin rawan untuk terkena banjir.

Faktor-faktor curah hujan, jenis tanah, bentuk lahan, penggunaan lahan dan frekuensi banjir merupakan faktor yang memberikan kontribusi dalam penentuan kawasan rawan banjir. Nilai bobot masing-masing faktor yaitu: curah hujan (11.3%), jenis tanah (10.1%), bentuk lahan (15.9%), dan penggunaan lahan (10.7%), dan nilai bobot terendah yaitu frekuensi banjir sebesar 7.4%.

Berdasarkan analisis pakar, intensitas curah hujan memberikan kontribusi sebesar 11.3% dalam penentuan kerawanan banjir pada wilayah penelitian. Hasil penilaian pakar (Lampiran 1) menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas curah

hujan maka semakin rawan untuk mengalami banjir. Nilai harkat tertinggi sebesar 37% dengan intensitas curah hujan lebih dari 5 000 mm/tahun, dan nilai harkat terendah sebesar 5.2% dengan intensitas curah 2 500-3 000 mm/tahun. Untuk nilai harkat jenis tanah pada kawasan rawan banjir di Kota Padang, jenis tanah Organosol memiliki harkat tertinggi pada kawasan rawan banjir yakni sebesar 36.3%, dan jenis tanah Latosol memiliki nilai harkat terendah yakni sebesar 7.6% dalam kontribusi zonasi kawasan rawan banjir di Kota Padang. Bentuk lahan memberikan kontribusi sebesar 15.4% dalam penentuan kawasan rawan banjir, dimana Rawa belakang memiliki nilai harkat tertinggi yakni 21.2%, dan perbukitan vulkanik memiliki nilai harkat terendah yakni 3%.

Tabel 9. Indikator bahaya banjir

Indikator Sub. Indikator Luas (ha) Bobot Harkat Skor

Jenis Tanah* Aluvial 9 612 10.1 24.7 249.5

Andosol 27 709 11.5 116.2 Organosol 196 36.6 369.7 Regosol 6 225 7.8 78.8 Latosol 17 733 76 76.8 Komp. Padsolik MK 8 020 12.1 122.2 Lereng (%) ** 0-89 -15 17 617 10 376 20.6 53.525.9 1 102.1533.5 16-26 31 558 13.1 269.9 >27 9 952 7.5 154.5 Bentuklahan

** Dataran AluvialKipas Aluvial 9 0978 486 15.9 8.39.8 132.0155.8

Dataran Aluvial Pantai 70 9.5 151.1

Beting Gesik 292 12.9 205.1

Depresi Antar Beting 709 19.6 311.6

Komp. Peg. Vulkanik 33 692 3.1 49.3

Perbukitan Vulkanik 11 773 3.0 47.7 Rawa Belakang 3 857 21.2 337.1 Perbukitan Karst 1 209 3.1 49.3 Tanggul Alam 0 9.5 151.1 Curah Hujan * > 50004500-5000 5 2750 11.3 24.637 418.1278.0 4000-4500 16 047 16.2 183.1 3500-4000 27 520 9.9 111.9 3000-3500 13 823 7.1 80.2 2500-3000 6 832 5.2 58.8 Elevasi ** 0-10 meter dpl 8 687 24 38.5 924.0 10-30 meter dpl 5 900 21.8 523.2 30-50 meter dpl 2 634 14.4 345.6 50-150 meter dpl 7 415 9.3 223.2 150-450 meter dpl 15 004 6.6 158.4 450-1000 meter dpl 17 965 5.3 127.2 > 1000 meter dpl 11 891 4.1 98.4 Penggunaan

Lahan * PermukimanSawah 11 478 6 436 10.7 33.321.7 356.3232.2

Kebun campuran 2 615 8.9 95.2 Semak belukar 424 7.9 84.5 Lahan kosong 404 15.1 161.6 Hutan 48 140 4.8 51.4 Frekuensi*** Selalu 2 280 7.4 56.9 421.1 Sering 1 779 23.7 175.4 Jarang 945 11.8 87.3 Tanpa 64 493 7.5 55.5

Sumber klasifikasi sub indikator: * MAFF-Japan (Zain 2002, Hermon 2012), ** Haryani et al. (2012), dan *** Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)

Elevasi/ketinggian tempat dari permukaan laut memiliki nilai kontribusi terbesar dalam menentukan kerawanan banjir di Kota Padang. Semakin tinggi suatu lokasi dari permukaan laut, maka semakin rendah tingkat kerawanan terhadap bahaya banjir. Penilaian pakar menunjukkan bahwa ketinggian yang paling rawan terhadap banjir yakni 0-10 meter dpl yakni sebesar 38.5%, dan ketinggian lebih dari 1 000 meter dpl merupakan ketinggian yang relatif aman dengan nilai 4.1%.

Hasil penilaian pakar menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk permukiman dan lahan terbangun memiliki nilai tertinggi penentu rawan banjir yakni sebesar 33.3%, dan kawasan hutan memiliki nilai terendah yakni sebesar 4.8%. Hal ini berarti semakin besar penggunaan lahan terbangun, maka semakin rawan suatu wilayah terhadap banjir. Nilai harkat frekuensi banjir menunjukkan bahwa frekuensi banjir lebih 6 bulan banjir dalam satu tahun (selalu) merupakan nilai harkat tertinggi yakni 56.9%, dan kawasan tidak pernah banjir sepanjang tahun yakni sebesar 7.5%. Selanjutnya pada kemiringan lereng nilai harkat tertinggi yakni kemiringan lereng 0–