KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA
DI JALAN PELAK DESA SEKIP
KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG
TESIS
Oleh
MUTIARA GINTING
127024003/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA DI JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUTIARA GINTING 127024003/SP
PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA DI JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM KABUPATEN DELI SERDANG
Nama Mahasiswa : Mutiara Ginting Nomor Induk : 127024003
Program Studi : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si) (Husni Thamrin, S. Sos, MSP)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Telah Diuji Pada Tanggal 7 April 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si Anggota : 1. Husni Thamrin, S.Sos, MSP
KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA DI JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2014 Penulis,
KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA DI JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG
ABSTRAK
Pekerja anak merupakan salah satu masalah sosial karena berkaitan erat dengan tingginya tingkat keluarga miskin di suatu negara. Anak-anak keluarga miskin dibiarkan bekerja dengan upah yang rendah untuk membantu perekonomian keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan anak. Hal ini mengakibatkan dampak negatif dalam perkembangan diri anak tersebut. Anak menjadi kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai sehingga berpengaruh buruk pada pembangunan di suatu negara karena anak merupakan generasi penerus bangsa. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Keseluruhan proses penelitian, sejak persiapan, observasi, wawancara, studi kepustakaan, analisis data dan penulisan laporan berlangsung selama 5 bulan. Wawancara dilakukan terhadap 14 orang informan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan pekerja anak, faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja dan dampak bekerja bagi diri anak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain faktor ekonomi, lingkungan sosial merupakan faktor pendorong lain anak bekerja. Pengaruh dari teman sebaya yang juga memiliki latar belakang keluarga miskin dan cenderung bekerja membantu ekonomi keluarga, mendorong anak-anak lainnya yang juga berasal dari keluarga miskin ikut terlibat bekerja. Interaksi yang terjadi di antara para pekerja anak menimbulkan solidaritas diantara mereka. Pekerja anak cenderung didik dengan pola asuh otoriter dan menjadi korban dari kemiskinan struktural dalam sebuah keluarga. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa dampak pada diri anak, diantaranya: proses enkulturasi pada anak, rendahnya kualitas belajar anak serta mengakibatkan anak menjadikan bekerja sebagai suatu kebutuhan hidup mereka.
THE LIFE OF CHILD LABOR OF BRICKS IN JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM KABUPATEN DELI SERDANG
ABSTRACT
Child labor is one of social problems that is related closely to high rates of poor families in a country. Children of poor families were left to work with low wages to help the economy of the family so that it can meet the needs of the child. It caused negative impact on the development of the child’s self. Children become less attention and adequate education so that resulting the bad effect on development in a country because they are the nation’s next generation. The research method is descriptive qualitative. This research was conducted in Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. The entire process, from the preparation of the study, observation, interviews, the study of libraranship, analysis of data and report writing lasted for 5 months. The interview was conducted to 14 persons informant. The study aims to describe the lives of child labor, the factors that cause children to work, and the impact of the work for theirself. The results showed that in in addition to economic factors, the social environment is another factor children worked. The influence of peers who also have poor family background and tend to work to help the family economy, push other children from poor families get involved work. Interactions that occur between child labors raising solidarity among them. Child labor tend to be educated by authoritarian parenting and became victims of structural poverty in a family. This has resulted in the emergence of some impact on children, among them: the process of enculturation in children, poor quality of learning and resulting in a child makes working as a requirement of their lives.
KATA PENGANTAR
Terpujilah Allah yang Esa yang saya sembah di dalam Yesus sebagai Tuhan, yang menjadi pusat pengharapan dan tujuan hidup saya. Oleh karena kemurahan dan penyertaan-Nya, saya mampu menyelesaikan program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Atas anugerah-Nya, saya dapat menyusun dan menyelesaikan Tesis yang berjudul
Kehidupan Pekerja Anak Penyusun Batu Bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang.
Saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua saya, yaitu Bapak J. Ginting dan Mama H. Br. Barus, Spd yang telah memberikan perhatian, kasih sayang dan doa di sepanjang hidup saya. Saya sungguh merasakan kasih Allah melalui kehidupan mereka. Demikian pula, abang yang terkasih Pdt. Natal Nael Ginting, STh yang memberikan dukungan, motivasi dan doa kepada saya sehingga saya merasakan kasih sayang seorang abang untuk adiknya. Kiranya kita menjadi keluarga yang mengasihi Allah melebihi apapun dan menjadi berkat dimanapun.
Dalam pengerjaan tesis ini saya menyadari bahwa ada banyak pihak yang telah terlibat bahkan yang memberikan doa, semangat dan kerja sama yang membuat saya terus berjuang dalam memberikan yang terbaik sebagai mahasiswa berprestasi. Oleh karena itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Seketaris Program Studi Magister Studi Pembangunan sekaligus sebagai dosen pembimbing I saya yang telah memberikan waktu, semangat dan saran-saran yang membangun guna mendukung pengerjaan tesis ini menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan.
5. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP selaku dosen pembimbing II saya yang telah memberikan waktu, semangat dan saran-saran yang membangun guna mendukung pengerjaan tesis ini menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan.
7. Seluruh dosen pengajar Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada saya.
8. Seluruh pegawai pada Program Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Terima kasih kepada kak Tika, kak Dina, Bang Iwan dan Ibu Nisa, yang telah banyak membantu saya dalam proses penyusunan administrasi dan memberikan semangat.
9. Ibu Dr. Harmona Daulay, S.Sos, M.Si yang menjadi salah satu motivator dan sahabat saya dalam belajar menjadi mahasiswa berprestasi. Terima kasih karena telah memberikan banyak waktu untuk sharing, memberikan perhatian seorang ibu kepada anaknya, dan yang telah membimbing saya dengan kasih sayang.
10.Teman-teman KTB saya, kakak Dorismawati, S.Sos, kakak Rosianna Simarmata, S.Sos, kakak Rusmawati Nainggolan, S.Sos, Abang Daniely Aroz Daeli, S.Sos, Abang Nalon Ginting, S.Sos. Terima kasih telah menjadi bagian dalam proses belajar dalam pengenalan akan Allah dan dalam pengaplikasian firman Allah.
11.Ketiga kelompok kecil adik-adik rohani saya, kelompok kecil Joel Isahya dari departemen Ilmu Komunikasi Stambuk 2009 (Rebekka Purba, S.Ikom, Rina Maria Hutagaol, S.Ikom, Sarah Rogatianni Artati, S.Ikom), kelompok kecil Calvary Evangelion dari departemen Sosiologi Stambuk 2010 (Sri Handayani Ginting, Yolanda F. Sembiring, Santiur Manurung) dan kelompok kecil Reminiscere Deveno dari departemen Sosiologi stambuk 2012 (Putri Pakpahan, Binsar S. Pirngadi Lumban Gaol, Riana Astrinda Sitompul). Saya mengucap syukur kepada Allah yang telah mempercayakan mereka di dalam proses pertumbuhan iman saya. Terima kasih atas dukungan semangat dan doa adik-adik semua. Semakin menjadi berkat dan terus menjadi hamba Allah yang setia.
12.Sahabat doa saya yang senantiasa setia mendoakan saya.
13.Seluruh Tim Pengurus Pelayanan dan keluarga besar UKM KMK USU UP PEMA FISIP dan UKM KMK USU yang telah memberikan dukungan semangat di dalam doa dan firman. Semoga Allah memberkati dan berkenan atas setiap pelayanan yang telah dipercayakan.
14.Seluruh mahasiswa program magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun 2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah kita pelajari di lingkungan masyarakat secara bertanggung jawab.
16.Seluruh pekerja anak, keluarga pekerja anak, pekerja dewasa kilang batu bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang dan masyarakat di sekitarnya yang telah membantu dalam memberikan informasi guna proses penyelesaian tesis ini.
17.Seluruh staf pegawai di kantor desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang sehingga saya dapat memperoleh data-data sekunder yang mendukung proses penelitian.
Medan, April 2014
Peneliti,
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang memiliki nama lengkap Mutiara Ginting merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara dari pasangan Bapak Jaramin Ginting dan Ibu Hokni Br Barus, Spd. Adik dari Pdt. Natal Nael Ginting, STh ini lahir di Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang pada tanggal 22 April 1989. Pendidikan Sekolah Dasar penulis, ditempuh SD Negeri 101898 dan lulus pada tahun 2001. Selanjutnya penulis menjalani pendidikan di SMP Negeri 1 Lubuk Pakam dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lubuk Pakam. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri yaitu di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan dinyatakan lulus dengan nilai Cumlaude pada bulan Juni 2011. Pada tahun 2012, penulis kembali melanjutkan pendidikan pada program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan lulus pada bulan April 2014 dengan nilai Cumlaude.
Selama menikmati pendidikan S1, penulis aktif di Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU dan pernah menjabat sebagai pengurus di bagian pembinaan KMK FISIP USU pada tahun 2010 sampai tahun 2011. Sejak tahun 2009 telah dipercayakan sebagai pemimpin kelompok kecil Penelaahan Alkitab (PA) KMK FISIP USU sampai sekarang. Pada tahun 2010, penulis pernah beberapa kali menjabat sebagai Enumerator dalam beberapa penelitian ilmiah, salah satunya dalam survei migrasi desa-kota The Rural-Urban Migration in China and Indonesia yang diadakan di kota
Setelah lulus dari pendidikan S1, penulis bekerja sebagai guru privat untuk anak sekolah dasar kelas 5 dan menjabat sebagai guru TK di sekolah Bethany Indonesia selama satu tahun hingga tahun 2013. Pada tahun 2014, penulis dipercayakan bekerja sebagai asisten dosen untuk mata kuliah Sosiologi Keluarga di Departemen Sosiologi Fisip USU.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
2.5.2.1. Pendekatan holistik pada tumbuh kembang anak 25 2.5.2.2. Gaya mendidik anak yang tidak efisien ... 26
2.6. Proses Enkulturasi Pada Anak ... 28
2.7. Perubahan Fungsi Keluarga ... 29
2.9. Kemiskinan ... 32
2.10. Definisi Konsep ... 34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 36
3.2. Lokasi Penelitian ... 36
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 37
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 39
3.5. Teknik Analisa ... 40
BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41
4.1.1. Sejarah Kabupaten Deli Serdang ... 41
4.1.2. Deskripsi Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam ... 47
4.1.3. Deskripsi Kilang Batu Bata ... 52
4.2.2. Orangtua/Keluarga Pekerja Anak 4.2.2.1. Informan AS ... 59
4.2.3. Pekerja Dewasa
4.6. Hubungan Patron-Klien diantara Mandor dan Para Pekerja Anak ... 70
4.7. Faktor Ekonomi Keluarga dan Lingkungan Sosial Mendorong Anak Bekerja ... 71
4.7.1. Faktor Ekonomi Keluarga ... 72
4.7.2. Faktor Lingkungan Sosial ... 74
4.8. Solidaritas Sesama Pekerja Anak ... 75
4.9. Pola Asuh Otoriter dalam Kehidupan Pekerja Anak ... 76
4.10. Pekerja Anak Korban dari Kemiskinan Struktural ... 79
4.11. Dampak Pekerja Anak Penyusun Batu Bata ... 82
4.11.1. Proses Enkulturasi Bekerja di Usia Dini Pada Anak . 82 4.11.2. Rendahnya Kualitas Belajar Pada Anak ... 84
4.11.3. Bekerja Sebagai Suatu kebutuhan ... 87
4.12. Pekerja Dewasa Mantan Pekerja Anak ... 88
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 91
5.2. Saran ... 92
5.3. Keterbatasan Penelitian ... 93
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1. Jenis Mata Pencaharian Penduduk ... 48
4.2 Industri Perekonomian ... 49
4.3. Sarana Rumah Ibadah ... 49
4.4. Tabel Sarana Kesehatan ... 50
4.5. Sarana Pendidikan ... 50
4.6. Jenis Rumah ... 51
DAFTAR BAGAN
No. Judul Halaman
2.1. Bagan Pendekatan Holistik Pada Tumbuh Kembang Anak ... 25
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Interview Guide Terhadap Pekerja Anak ... 98
2. Interview Guide Terhadap Orangtua/Keluarga ... 100
3. Interviw Guide Terhadap Pekerja Dewasa ... 102
4. Dokumentasi ... 104
KEHIDUPAN PEKERJA ANAK PENYUSUN BATU BATA DI JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM
KABUPATEN DELI SERDANG
ABSTRAK
Pekerja anak merupakan salah satu masalah sosial karena berkaitan erat dengan tingginya tingkat keluarga miskin di suatu negara. Anak-anak keluarga miskin dibiarkan bekerja dengan upah yang rendah untuk membantu perekonomian keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan anak. Hal ini mengakibatkan dampak negatif dalam perkembangan diri anak tersebut. Anak menjadi kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan yang memadai sehingga berpengaruh buruk pada pembangunan di suatu negara karena anak merupakan generasi penerus bangsa. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Keseluruhan proses penelitian, sejak persiapan, observasi, wawancara, studi kepustakaan, analisis data dan penulisan laporan berlangsung selama 5 bulan. Wawancara dilakukan terhadap 14 orang informan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kehidupan pekerja anak, faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja dan dampak bekerja bagi diri anak tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain faktor ekonomi, lingkungan sosial merupakan faktor pendorong lain anak bekerja. Pengaruh dari teman sebaya yang juga memiliki latar belakang keluarga miskin dan cenderung bekerja membantu ekonomi keluarga, mendorong anak-anak lainnya yang juga berasal dari keluarga miskin ikut terlibat bekerja. Interaksi yang terjadi di antara para pekerja anak menimbulkan solidaritas diantara mereka. Pekerja anak cenderung didik dengan pola asuh otoriter dan menjadi korban dari kemiskinan struktural dalam sebuah keluarga. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa dampak pada diri anak, diantaranya: proses enkulturasi pada anak, rendahnya kualitas belajar anak serta mengakibatkan anak menjadikan bekerja sebagai suatu kebutuhan hidup mereka.
THE LIFE OF CHILD LABOR OF BRICKS IN JALAN PELAK DESA SEKIP KECAMATAN LUBUK PAKAM KABUPATEN DELI SERDANG
ABSTRACT
Child labor is one of social problems that is related closely to high rates of poor families in a country. Children of poor families were left to work with low wages to help the economy of the family so that it can meet the needs of the child. It caused negative impact on the development of the child’s self. Children become less attention and adequate education so that resulting the bad effect on development in a country because they are the nation’s next generation. The research method is descriptive qualitative. This research was conducted in Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. The entire process, from the preparation of the study, observation, interviews, the study of libraranship, analysis of data and report writing lasted for 5 months. The interview was conducted to 14 persons informant. The study aims to describe the lives of child labor, the factors that cause children to work, and the impact of the work for theirself. The results showed that in in addition to economic factors, the social environment is another factor children worked. The influence of peers who also have poor family background and tend to work to help the family economy, push other children from poor families get involved work. Interactions that occur between child labors raising solidarity among them. Child labor tend to be educated by authoritarian parenting and became victims of structural poverty in a family. This has resulted in the emergence of some impact on children, among them: the process of enculturation in children, poor quality of learning and resulting in a child makes working as a requirement of their lives.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keadaan perekonomian negara yang sedang terpuruk harus diakui mempunyai
pengaruh terhadap munculnya pekerja anak. Permasalahan pekerja anak di
Indonesia tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan
menunjukkan bahwa keluarga miskin di Indonesia sangat membutuhkan pekerjaan
bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarga, maupun
melangsungkan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak memang tidak perlu
bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial dan ekonomi memaksa mereka bekerja,
maka menghapus pekerja anak dianggap sebagai tindakan yang tidak logis. Hal ini
menegaskan bahwa pekerja anak tidak dapat dilarang, tetapi dengan ketentuan
anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan pekerja anak
mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini
sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak diperbolehkan bekerja, tetapi harus
dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga
hak-haknya agar senantiasa dipenuhi (Hardius Usman, 2004:2).
Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara pekerja anak yang ditemukan
sekarang merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga pekerja anak. Mereka
tidak punya banyak pilihan selain terus menjadi pekerja anak dan ini bisa
berlangsung hingga generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang
Kondisi ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang
menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
Understanding Children's Work (UCW) melaporkan bahwa jumlah pekerja
anak di Indonesia cukup tinggi. Sementara itu lebih dari dua pertiga orang muda
memasuki dunia kerja dengan bekal pendidikan dasar atau kurang. Laporan
menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia 7-14 tahun merupakan pekerja anak
di bawah umur. Mereka tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan,
keselamatan fisik, perlindungan, bermain, dan rekreasi. Kebanyakan anak-anak
yang bekerja masih sekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh
lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang tidak bekerja.
Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2012 mencatat, ada sekitar
1,7 juta sebagai pekerja anak. Tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia masih
menjadi salah satu masalah serius yang harus ditangani secara komprehensif.
Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Nasional Pekerja Anak oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) dan International Labour Organization (ILO) tahun 2009,
ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara ekonomi. Sekitar 1,8 juta dari
mereka masuk dalam kategori pekerja anak. Sementara itu, Komisi Nasional
Perlindungan Anak juga mencatat 11 juta anak usia 7-8 tahun tidak terdaftar
sekolah di 33 provinsi di Indonesia. Tingginya jumlah pekerja anak ini membuat
ILO menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjadi target utama dalam
Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak atau
sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama sejumlah pihak terkait
baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan mengurangi jumlah
pekerja anak secara signifikan terutama pada sejumlah jenis pekerjaan yang
dikategorikan sebagai pekerjaan berbahaya bagi anak. Sejumlah pekerjaan
berbahaya itu diantaranya adalah pelacuran, pertambangan, penyelam mutiara,
sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan dengan proses produksi
menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah tangga
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah
anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk
orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu,
dengan menerima imbalan atau tidak. Dengan demikian, anak-anak tersebut
bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa
orang lain. Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena
faktor kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin, anak-anak umumnya
bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga,
anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi
makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang
tidak layak.
Dalam era industrialisasi sekarang, pengusaha industri justru memperoleh
keuntungan yang sangat besar dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat
diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa
diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa
dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi
memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa memberontak dengan berbagai
tuntutan seperti peningkatan upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan
soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi
obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Berdasarkan
peraturan yang ditetapkan Pemerintah tentang Ketenagakerjaan (UU Nomor 13
Tahun 2003), usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun
hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per
hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan
di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja
rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor
berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak.
Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera
untuk mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, ada empat
pekerjaan terburuk bagi ana
yakni:
1. Semua bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai praktik
perbudakan, seperti penjualan dan perhambaan, serta kerja paksa atau
wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk
2. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan prostitusi,
produksi pornografi, atau pertunjukkan pornografi;
3. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan terlarang,
terutama untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan
psikotropika;
4. Pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan
kesehatan, keselamatan, dan moral anak.
Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara pekerja anak yang ditemukan
sekarang merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga pekerja anak. Mereka
tidak punya banyak pilihan selain terus menjadi pekerja dan ini bisa berlangsung
hingga generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan
anak tidak memiliki pemahaman dan akses yang cukup pada pendidikan. Kondisi
ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang
menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
UU RI Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 menjamin bahwa hak anak
untuk mendapatkan kehidupan layak, tumbuh kembang, hak yang terbaik bagi
anak, tidak diskriminasi dan hak berpartisipasi dalam menyatakan pendapat.
Kesejahteraan anak merupakan Hak Asasi Manusia yang melekat pada setiap
anak-anak Indonesia.
Secara hukum, negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak,
baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada
kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk
melindungi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang masih terjadi adalah
membawa dampak-dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun
psikis. Lebih jauh, bekerja dikhawatirkan akan menggangu masa depan anak-anak
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Pekerja anak tersebut kehilangan
kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis,
sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya
menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.
Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak
bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena
keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul
beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka
akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak
rentan putus sekolah.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa permasalah besar yang
dihadapi pekerja anak, khususnya pada anak yang tingkat ekonomi keluarganya
sangat rendah dan berada dalam kondisi kemiskinan adalah anak dituntut untuk
mencari nafkah dengan bekerja sebagai pekerja anak untuk menolong
perekonomian keluarga. Penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan
kehidupan pekerja anak, dalam hal ini adalah pekerja anak penyusun batu bata dan
apa saja faktor-faktor yang mengakibatkan anak bekerja di Desa Sekip Kecamatan
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kehidupan pekerja anak penyusun batu bata di Jalan
Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja di kilang batu
bata tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menjelaskan kehidupan pekerja anak penyusun batu bata di Jalan Pelak
Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang
2. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja
3. Menjelaskan dampak dari bekerja bagi diri anak tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah
bagi mahasiswa khususnya mahasiswa studi pembangunan serta dapat
memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu sosial, masyarakat
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis
dalam membuat karya tulis ilmiah tentang pekerja anak penyusun batu bata
di kilang batu bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Hasil studi yang dilakukan Bagong Suyanto pada tahun 2001 dalam jurnal
yang ditulis Eny Hikmawati, menyebutkan jumlah pekerja anak usia 7-14 tahun di
Indonesia meningkat 1,64 juta pada bulan Oktober 1997 menjadi 1,73 juta pada
Agustus 1998, dan meningkat menjadi 1,81 juta pada Desember 1998.
Pertambahan jumlah pekerja anak ini meningkat 6 kali lipat di wilayah perkotaan
dibandingkan wilayah pedesaan. Hasil penelitian juga mengungkap munculnya
pekerja anak berusia 5-9 tahun yang jumlahnya mencapai 203 ribu orang pada
Desember 1998 (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial: 2011, 43)
Dari hasil penelitian oleh Tuti Atika, dkk, dalam Jurnal Studi Pembangunan
Magister Studi Pembangunan USU diperoleh bahwa faktor penyebab anak bekerja
adalah untuk memenuhi kebutuhan sekolah yang sering tidak bisa dipenuhi
seluruhnya oleh orang tuanya. Adapun alasan yang lain adalah untuk membantu
ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, mendorong
anak bekerja meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, motivasi anak
bekerja karena ingin memperoleh penghasilan sendiri. Hal ini berkaitan dengan
gesekan-gesekan sosial dan globalisasi ide tentang gaya hidup menyebarnya
budaya konsumerisme yang menyebabkan pentingnya akses terhadap uang bagi
anak (Jurnal Studi Pempangunan, 2006 : 76)
Dari survei mengenai pekerja anak yang dilaksanakan oleh YKAI (Yayasan
orangtua untuk memenuhi kebutuhan anak dan ketidakmampuan untuk
membiayai sekolah anak (84%) merupakan faktor utama yang mendorong anak
untuk bekerja. (Abu Huraerah, 2007: 80)
Hasil riset yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sebelas
Maret (P3G LPPM UNS) dengan koordinator peneliti Drs. D. Priyo Sudibyo,
M.Si, dkk pada tahun 2010 mengkaji tentang pekerja anak dengan mendasarkan
atas Konvensi Hak Anak (KHA) dari PBB serta pemberlakuan UU No. 23 Tahun
2002, menunjukkan bahwa dari 45 anak yang terdiri dari 12 anak perempuan (10
anak berusia 10 - 17 tahun) dan 33 anak laki-laki (16 anak berusia 10 - 17 tahun),
bekerja di berbagai sektor atau bidang diantaranya, 5 anak bekerja di sektor
konstruksi, 5 anak terlibat AYLA (anak yang dilacurkan), 6 anak sebagai
pemulung sampah, 10 anak menjadi anak jalanan, 1 anak sebagai PRT, 11 anak
bekerja di industri rumahan dan 7 anak bekerja di sektor mengandung bahan
kimia berbahaya. Bila dilihat dari jam kerjanya, 32 anak bekerja 4-8 jam, 6 anak
bekerja selama kurang dari 4 jam dan 7 anak lebih dari 8 jam. Sedangkan
berdasarkan pendapatan 28 anak memperoleh pendapatan kurang dari Rp.
25.000,00 sehari dan 17 anak memperoleh lebih atau sama dengan Rp. 25.000,00
perhari. Untuk pemanfaat atau penggunaan pendapatan anak-anak yang
dieksplorasi mengungkapkan untuk diri sendiri dan orang tua sebanyak 19 anak
dan ada sebanyak 18 anak yang menggunakan untuk diri sendiri
2.2. Definisi Anak
Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang
anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam
Convention on the Rights of the Child (1989) yang diratifikasi pemerintah
Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebuthkan bahwa anak adalah
mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan
anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa
anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan
Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Abu Huraerah,
2007:31)
Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak
terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21
tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan
sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan peribadi dan
kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah sese0rang
melampaui usia 21 tahun.
2.3. Pekerja Anak
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah
anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk
dengan menerima imbalan atau tidak (Bagong Suyanto, 2010). Dengan demikian,
anak-anak tersebut bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan
hidup dan dipaksa orang lain.
Pekerja anak merupakan suatu istilah yang seringkali menimbulkan
perdebatan, meskipun sama-sama digunakan untuk menggantikan istilah buruh
anak. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah anak-anak
yang terpaksa bekerja. Biro Pusat Statistik menggunakan istilah anak-anak yang
aktif secara ekonomi. Definisi Pekerja Anak menurut ILO/ IPEC adalah anak
yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu
fisik, mental, intelektual dan moral. Konsep pekerja anak didasarkan pada
Konvensi ILO No 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang
menggambarkan definisi internasional yang paling komprehensif tentang usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja, mengacu secara tidak langsung pada
“kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO menetapkan kisaran usia minimum dibawah
ini dimana anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum menurut Konvensi ILO
No 138 untuk negara-negara dimana perekonomian dan fasilitas pendidikan
kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11 tahun yang melakukan
kegiatan-kegiatan ekonomi adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan.
Anak-anak usia 12 – 14 tahun yang bekerja dianggap sebagai pekerja Anak-anak, kecuali jika
mereka melakukan tugas ringan. Sedangkan usia sampai dengan 18 tahun tidak
diperkenankan bekerja pada pekerjaan yang termasuk berbahaya.
Pekerjaan ringan dalam Konvensi No 138 Pasal 7, menyatakan bahwa
menggangu sekolahnya serta berpartisipasinya dalam pelatihan kejuruan atau
“kapasitas untuk memperoleh manfaat dari instruksi yang diterimanya. Tugas
yang dilaksanakan dalam pekerjaan ringan tidak boleh merupakan pekerjaan yang
berbahaya dan tidak boleh lebih dari 14 jam per minggu. Ambang batas ini
didukung oleh Konvensi ILO no 33 tahun 1932 mengenai usia minimum (Pekerja
di bidang Non Industri) dan temuan tentang dampak anak bekerja terhadap tingkat
kehadiran prestasi di sekolah dan terhadap kesehatan anak.
Pekerja anak melakukan pekerjaan tertentu sebagai aktifitas rutin harian, jam
kerjanya relatif panjang. Ini menyebabkan mereka tidak dapat bersekolah, tidak
memiliki waktu yang cukup untuk bermain dan beristirahat, dan secara tidak
langsung aktifitas tersebut berbahaya bagi kesehatan anak. Sedangkan anak
bekerja, mereka melakukan aktifitas pekerjaan hanya sebagai latihan. Kegiatan
tersebut tidak dilakukan setiap hari, jam kerja yang digunakan juga sangat pendek,
dan aktifitasnya tidak membahayakan bagi kesehatan anak serta mendapatkan
pengawasan dari orang yang lebih dewasa atau ahlinya. Dalam hal ini anak masih
melakukan aktifitas rutinnya seperti sekolah, bermain dan beristirahat.
2.4. Faktor Penyebab Anak Bekerja
Keterlibatan anak dalam dunia kerja tidaklah terjadi dengan sendirinya,
melainkan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab tersebut ada
dengan anak. Secara garis besar faktor penyebab ini dapat dikelompokkan dalam
dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik.
Faktor pendorong merupakan faktor yang berasal dari dalam diri si anak, yang
mendorong anak untuk melakukan aktifitas tertentu yang menghasilkan uang.
Dengan hasil yang diperoleh anak akan menjadi senang dan dorongan tersebut
akan terpuaskan. Faktor pendorong yang menyebabkan anak memilih menjadi
pekerja anak antara lain : kemiskinan yang dialami orangtua, adanya budaya dan
tardisi yang memandang anak wajib melakukan pekerjaan sebagai bentuk
pengabdian kepada orangtua, relatif sulitnya akses ke pendidikan, tersedianya
pekerjaan yangmudah diakses tanpa membutuhkan persyaratan tertentu, dan tidak
tersedianya fasilitas penitipan anak pada saat orangtua bekerja.
Faktor penarik adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Faktor inilah
yang menjadi alasan bagi dunia kerja untuk menerima anak bekerja. Anak
dipandang sebagai tenaga kerja yang murah dan cenderung tidak banyak
menuntut. Pekerja anak dipandang tidak memiliki kemampuan yang memadai,
baik secara fisik maupun kemampuan. Dengan demikian para pengusaha akan
cenderung memilih anak karena upah yang diberikan akan cenderung lebih murah
dari pada orang dewasa. Di samping itu anak lebih patuh dan penurut terhadap
instruksi yang diberikan oleh orang dewasa.
Selain beberapa faktor di atas, penyebab anak memasuki dunia kerja dapat
dilihat dari beberapa faktor antara lain: ekonomi, sosial, budaya dan faktor-faktor
lain. Dari faktor ekonomi, kemiskinan keluarga menyebabkan ketidak
dengan kesadaran sendiri atau dipaksa oleh keluarga untuk bekerja, sehingga
kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi dan membantu keluarga dalam mencari
nafkah. Secara sosial ketidak harmonisan hubungan antar anggota keluarga dan
pengaruh pergaulan dengan teman, merupakan faktor yang menyebabkan anak
bekerja. Bagi anak, bekerja bukan sekedar kegiatan mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. Tetapi juga sebagai pelampiasan atas ketidak
harmonisan hubungan diantara anggota keluarga. Di samping itu pekerjaan dan
teman-teman di tempat bekerja merupakan tempat yang dapat dijadikan tempat
bergantung bagi anak.
Faktor budaya yang menyebabkan anak bekerja adalah adanya pandangan dari
sebagian masyarakat yang lebih menghargai anak yang bekerja. Mereka
menganggap bahwa anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian kepada
orangtua. Faktor-faktor lain yang turut menjadi penyebab anak memasuki dunia
kerja adalah tersedianya sumber lokal yang dapat menjadi lahan pekerjaan bagi
anak, pola rekriutmen yang mudah dan anak merupakan tenaga kerja yang murah
dan mudah diatur.
Dampak dari pekerja anak yang secara tidak langsung akan ditanggung oleh
masyarakat dan negara antara lain : pertama, anak tidak memiliki bekal
pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga akan memperpanjang
siklus kemiskinan yang selama ini sudah dialami keluarga anak. Kedua, Anak
yang bekerja pada usia dini akan cenderung memilliki fisik yang lebih rapuh,
merasa takut dan tidak memiliki rasa percaya diri ketika berinteraksi dengan orang
Memperhatikan pada dampak negatif terhadap perkembangan anak tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa pekerja anak merupakan suatu masalah yang perlu
mendapat perhatian berbagai pihak. Masalah pekerja anak bukanlah masalah yang
memiliki faktor penyebab tunggal, sehingga penanganannya pun perlu melibatkan
beberapa pihak yang berhubungan dengan anak. Pandangan yang
mempermasalahkan pekerja anak juga dapat dilihat dari perspektif hak anak.
Perspektif hak anak memandang bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara Internasional.
Setiap anak tanpa terkecuali memiliki 4 hak dasar yang meliputi : hak atas
kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan
perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Hak untuk tumbuh kembang
merupakan hak anak untuk memperoleh pendidikan, informasi, waktu luang,
kegiatan seni dan budaya, kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama serta
hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.
Membiarkan anak untuk menjadi pekerja anak merupakan bentuk pelanggaran
terhadap hak anak, terutama hak untuk berkembang. Pekerja anak menghabiskan
sebagian waktunya untuk bekerja. Ini menyebabkan mereka tidak memiliki
kesempatan lagi untuk memperoleh pendidikan, melakukan aktfitas yang
berkaitan dengan seni dan budaya, tidak memiliki waktu luang yang
memungkinkannya untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan cenderung
2.5. Hak dan Kebutuhan Anak
Setiap anak memiliki hak dan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtua
atau keluarga maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya. Pemenuhan hak dan
kebutuhan pada anak akan berpengaruh besar pada tumbuh kembang anak, baik
dalam hal fisik maupun emosional anak sebagai generasi penerus bangsa.
Semakin terpenuhinya hak dan kebutuhan anak maka semakin besar kemungkinan
untuk menghasilkan generasi yang membangun bangsa dan negaranya.
2.5.1. Hak-hak Anak
Anak merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional dan penerus
cita-cita perjuangan bangsa yang kelak diharapkan mampu menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya demi kelestarian bangsa dan negara. Membuat
perencanaan masa depan tanpa memperhitungkan variabel anak adalah
sebuah pikiran amoral dan historis, karena tidak meletakkan manusia
sebagai faktor determinan dalam perubahan masyarakat. Bila itu terjadi,
maka dalam prosesnya akan dengan mudah melupakan faktor-faktor
kepentingan anak dan lebih untuk menuruti egoisme manusia dewasa yang
berfikir hanya untuk kepentingan sesaat. Anak-anak karena
ketidakmampuan ketergantungaan dan ketidakmatangan, baik fisik, mental
maupun intelektual, perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan
dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak adalah
kewajiban agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari
Dalam sebuah keluarga terdapat anak-anak yang menjadi tanggung
jawab orang tua, baik yang masih dalam kandungan, masa bayi hingga anak
mencapai usia dewasa dan mandiri. Sebagai bagian dari masyarakat bangsa,
anak juga memiliki hak yang berguna dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya. Pengakuan terhadap hak anak secara Internasional
dilakukan oleh PBB melalui suatu konvensi yaitu pada tahun 1989.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam Konvensi Hak Anak adalah (Buletin Kalingga:
November-Desember 2004)
1. Non Diskriminasi (Pasal 2). Semua hak anak yang diakui dan
terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
perbedaan apapun.
2. Kepentingan terbaik untuk anak (Pasal 3). Semua tindakan yang
menyangkut anak, pertimbangannya adalah apa yang terbaik untuk
anak.
3. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Hak hidup
yang melekat pada diri setiap anak harus diakui atas perkembangan
hidup dan perkembangannya harus dijamin.
4. Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 12). Pendapat anak
terutama yang menyangkut hal-hal yang dapat mempengaruhi
kehidupannya perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Konvensi hak anak tersebut diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam
Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa
berkembang, hak untuk dilindungi, hak untuk berperan serta, hak untuk
menolak menjadi pekerja anak, dan hak untuk memperoleh pendidikan.
Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 (disetujui DPR RI tanggal
23 September 2002), perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki
landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap dan cukup
banyak dicantumkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Pasal-pasal
yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut.
Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
Pasal 6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya, dalam bimbingan orangtua.
Pasal 7 : (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orangtuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orangtuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat
keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan
jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial
Pasal 9 : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak
yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus
Pasal 10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 : Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh
rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.
Pasal 13 : (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali,
atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
1. Diskriminasi;
2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. Penelantaran;
4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. Ketidakadilan; dan
6. Perlakuan salah lainnya
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan
segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman
Pasal 14 : Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri,
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15 : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari:
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan
5. Pelibatan dalam peperangan
Pasal 16 : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai
hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana pendjara
anak hanya dilakukan apabila dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.
Pasal 17 : (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
1. Mendapat perlakukan secara manusiawi dan
2. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya
secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum
yang berlakuuu dan
3. Membela diri dan memperoleh memperoleh keadilan
di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak
memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan
Pasal 18 : Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
2.5.2. Kebutuhan Anak
Huttman dalam Abu Huraerah (2012:38) merinci kebutuhan anak
adalah:
1. Kasih sayang orangtua
2. Stabilitas emosional
3. Pengertian dan perhatian
4. Pertumbuhan kepribadian
5. Dorongan kreatif
7. Pemeliharaan kesehatan
8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat
dan memadai
9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif
10.Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan.
Menurut Suharto yang dikutip oleh Abu Huraerah (2012 : 39), untuk
menjamin pertumbuhan fisik anak, anak membutuhkan makanan yang
bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka
memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orangtua sebagai perantara
dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya,
anak memerlukan kasih sayang, pemahaman, suasana rektratif, stimulasi
kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka
perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggung jawab sosial,
peran-peran sosial dan ketrampilan dasar agar menjadi warga masyarakat
yang bermanfaat. Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut
akan berdampak negatif pada pemenuhan kebutuhan tersebut akan
berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual,
mental, dan sosial anak. Anak bukan saja mengalami kerentanan fisik akibat
gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan juga menalami hambatan
mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku mal-adaptif, seperti:
autis, ‘nakal’, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia
2.5.2.1. Pendekatan holistik pada tumbuh kembang anak
Seorang psikiater terkenal, Dadang Hawari berpendapat bahwa
pertumbuhan dan perkembangan anak seutuhnya dipengaruhi empat
faktor yang saling berinteraksi satu dengan yang lain: faktor
organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spritual (agama).
Anak akan tumbuh dan berkembang sehat apabila keempat faktor
tersebut terpenuhi dengan baik. interaksi dari keempat faktor tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut (Abu, Huraerah, 2012 : 40) :
Gambar 2.1. Bagan Pendekatan Holistik Pada Tumbuh Kembang Anak
Dalam hal agama, anak harus mendapapat pendidikan agama sejak
dini sehingga dapat menjalankan peraturan dengan pemahaman yang
benar. Dalam hal organo-biologik, anak membutuhkan pemenuhan
jasmaninya secara fisik demikian pula dengan tingkat gizi yang
seharusnya mereka terima sehingga dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat. Dalam hal psiko-edukatif, anak membutuhkan pendidikan Agama/
Spiritual
Organo-Biologik
Psiko-Edukatif
baik secara formal maupun informal yang sangat berpengaruh pada
kecerdasan dan mental anak guna masa depan yang baik. Dalam
sosial-budaya, anak membutuhkan pola-pola interaksi yang baik dan
ajaran budaya yang bernilai positif untuk dijalankan sebagai makhluk
sosial.
2.5.2.2. Gaya mendidik anak yang tidak efisien
Daniel Golemen mengungkapkan tiga gaya mendidik anak yang
secara emosional pada umumnya tidak efisien, yaitu:
1. Sama sekali mengabaikan perasaan
Orangtua seperti ini memperlakukan masalah emosional
anaknya sebagai hal kecil atau gangguan, sesuatu yang mereka
tunggu-tunggu untuk dibentak. Mereka gagal memanfaatkan
momen emosional sebagai peluang untuk menjadi lebih dekat
dengan anak atau untuk menolong anak untuk memperoleh
pelajaran-pelajaran dalam ketrampilan emosional.
2. Terlalu membebaskan
Orangtua seperti ini peka akan perasaan anak, tetapi jarang
berusaha memperlihatkan respon-respon alternatif kepada anaknya.
akan menggunakan tawar-menawar serta suap agar anak berhenti
bersedih hati dan marah.
3. Menghina dan tidak menunjukkan penghargaan terhadap
perasaan anak
Orang tua seperti ini suka mencela, mengecam, dan
menghukum keras anak mereka. Misalnya, mereka mencegah
setiap ungkapan kemarahan anak dan menjadi kejam jika melihat
tanda kemarahan paling kecil sekalipun. Mereka adalah orangtua
yang akan berteriak marah pada anak yang mecoba menyampaikan
alasannya, “Jangan Membantah!” (Hermanta dalam Abu Huraerah,
2012 : 42)
Gaya mendidik anak yang tidak efisien akan menimbulkan
pengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Anak yang didik
dengan pola dan aturan tertentu di dalam sebuah keluarga,
cenderung akan mengikuti dan meregenerasikan pola dan aturan
yang sudah ia terima sebelumnya tersebut. Jika pola dan aturan
yang anak terima bersifat menyimpang, maka anak akan cenderung
2.6. Proses Enkulturasi Pada Anak
Istilah yang sesuai untuk kata enkulturasi adalah “pembudayaan”. Dalam
bahasa Inggris digunakan istilah institutionalization. Proses enkulturasi adalah
proses seorang individu nmempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya terhadap adat, sistem norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. (Koentjaraningrat, 2009: 189)
Proses enkulturasi sudah berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil
(keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Anak kecil mulai belajar
dengan cara menirukan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, yang lama
kelamaan menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tingkah
lakunya “dibudayakan”. Selain di lingkungan keluarga, norma-norma tersebut
dapat pula dipelajari dari pengalamannya bergaul dengan sesama warga
masyarakat dan secara formal di lingkungan sekolah.
Pada mulanya, yang dipelajari oleh seorang anak tentu hal-hal yang menarik
perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya,
ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat
abstrak. Meskipun enkulturasi hampir memiliki makna yang sama dengan
sosialisasi, namun keduanya memiliki arti yang berbeda. Di dalam enkulturasi
seorang anak mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan
yang telah menjadi kebudayaannya. sedangkan di dalam sosialisasi, seorang anak
2.7. Perubahan Fungsi Keluarga
Perubahan fungsi keluarga dapat menimbulkan munculnya disorganisasi
keluarga. Keluarga tradisional merupakan suatu lembaga multifungsi dan
mempunyai berbagai fungsi ekonomi, perlindungan, pendidikan, religi, rekreasi,
biologis, kasih sayang dan status. Perubahan sosial telah merubah fungsi-fungsi
dari keluarga kepada lembaga-lembaga yang lain, dan dalam banyak hal keluarga
sekarang merupakan bayangan dari yang lama itu sendiri. (Khairuddin, 1999 :
123)
Fungsi ekonomi, misalnya, merupakan kepentingan yang menentukan karena
keluarga bukanlah selamanya merupakan unit produksi yang utama.
Kecenderungan menempatkan beban pendidikan formal hampir sepenuhnya pada
masyarakat, dan keluarga telah kehilangan sebagian besar fungsi pendidikannya
kecuali pada masa-masa awal si anak. Sekolah gereja moderen telah banyak
mengambil alih pendidikan agam dan sama sekali memperkecil fungsi agama
keluarga. Negara telah memegang hak untuk melindungi kesejahteraann
wargannya mulai dari ayunan sampai kel liang kubur. Pada satu tujuan tentang
perjalanan hidup, negara telah meningkatkan peranan perlindungannya atas si
anak, pada tujuan lain, program-program bantuan terhadap orang-orang jompo
seterusnya telah menurun fungsi perlindungan keluarga terhadap mereka-mereka
yang berusia lanjut.
Fungsi-fungsi tradisional tertentu sebagian besar telah dipegang oleh
lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi lain. Rekreasi yang bersifat komersil telah menjadi
pusat-pusat kota. Fungsi status yang ada dalam suatu negara berubah terus
menerus dan tidak dapat diganti oleh agen yang sama. Pada awalnya, status
sebagian besar ditentukan oleh kelahiran. Posisi dalam masyarakat dengan ukuran
luas menghasilkan keanggotaan seseorang dalam suatu keluarga khusus. Sekarang
banyak yang lebih menekankan pada individu dan prestasinya daripada
berdasarkan keanggotaannya di dalam suatu kelompok keluarga. Hal ini
cenderung untuk demokratis, dan hal ini juga memperlihatkan menurunnya fungsi
tradisional. Nilai pokok dari keluarga zaman sekarang terletak pada tiga hal yang
fungsinya tidak dapat dijalankan oleh lembaga lain yakni fungsi biologis, fungsi
sosialisasi, dan fungsi kasih sayang.
Fungsi biologis menentukan peranan keluarga dalam melaksanakan hubungan
sosial yang serasi yang didalamnya anak-anak dikandung dan dilahirkan. Fungsi
biologis merupakan alat pengerahan masyarakat dengan tambahan angota-anggota
baru. Hal ini merupakan fungsi yang terpenting dari segala fungsi-fungsi, tanpa
dengan ini keluarga dan masyarakat biasanya akan bertambah buruk dan musnah.
Dalam fungsi sosialisasi, proses kepribadian si anak ditentukan lewat interaksi
sosial. Agen utama dalam hubungan ini adalah keluarga dan masyarakat. Setiap
masyarakat seharusnya mengajar si anak untuk menjadi anggota yang
bertanggung jawab dan paling utama adalah melalui keluarga. Melalui keluarga si
anak belajar menerima norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-nilai, serta
pola-pola tingkah laku sehingga bahasa, pola-pola-pola-pola seks, keyakinan agama, sopan
santun, dan cara pengaplikasian elemen-elemen kebudayaan diatasi melalui
Fungsi kasih sayang termasuk pengertian simpatik, kepuasan diri, perasaan
aman, dan keinginan untuk dicintai dan dihargai. Fungsi kasih sayang juga
memerlukan kasih sayang perkawinan, perasaan cinta dan penghargaan diantara
pasangan suami istri, akan tetapi kebutuhan-kebutuhan perkawinan lebih daripada
sekedar kasih sayang romantis untuk memastikan keabadiannya.
2.8. Pekerja Anak Rawan Eksploitasi
Hampir semua studi tentang pekerja anak membuktikan adanya tindakan yang
merugikan anak. Para pekerja anak umumnya selain dalam posisi tak berdaya,
juga sangat rentan terhadap eksploitasi ekonomi. Di sektor industri formal,
mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah,
menghadapi resiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi
sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa.
Kecenderungan eksploitasi terhadap anak berkaitan secara signifikan dengan
ranah eksternal makro yang saling mempengaruhi dengan keterdesakan dan atau
marginalisasi kelompok anak-anak baik secara sosial, psikologis, dan ketahanan
mental dari serangan budaya atau gaya hidup materialistis yang semakin meluas.
Dinamika sosial ekonomi secara tidak disadari telah menimbulkan persoalan yang
tidak terduga, sebagaimana pelacuran anak, fenomena ABG (Anak Baru Gede),
aborsi, dan pornografi anak.
Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi, bila dilakukan secara
proporsional dan mengikuti aturan hukum yang berlaku barangkali persoalan ini
masyarakat yang relatif belum berkembang, peran anak sebagai salah satu sumber
penghasilan keluarga bagaimnapun tidak akan dapat diingkari begitu saja. Tetapi
yang memprihatinkan meski secara resmi pemerintah telah menerbitkan sejumlah
aturan hukum, dalam praktik berbagai pelanggaran tetap saja terjadi.
Di berbagai daerah, pekerja anak sering dipekerjakan pada malam hari dan
sering 10-12 jam sehari bahkan tidak jarang lebih. Studi yang dilakukan Irwanto
dkk (Bagong Suyanto : 2010) menemukan bahwa sekitar 71,9 % pekerja anak
bekerja selama lebih dari 7 jam sehari. Pekerja anak yang menjadi pembantu
rumah tangga dan mereka yang bekerja di jermal bahkan bekerja lebih dari 12 jam
sehari. Tidak sedikit anak-anak juga bekerja dalam kondisi lingkungan kerja yang
buruk dan berbahaya.
2.9. Kemiskinan
Dalam membicarakan masalah kemiskinan dan/atau pemiskinan, akan ditemui
istilah kategoritatif kemiskinan (Johanes Mardinin: 1996), diantaranya:
1. Kemiskinan Absolut
Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi
kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat
bekerja penuh dan efisien. Orang yang dalam kondisi ini sangat ditentukan
oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan
bekerja. Di Indonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang
ditentukan BPS sebesar 2.100 kalori per kapita per hari.
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok
orang dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, Karto adalah
orang yang sangat kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan
orang-orang di kota ternyata Karto tergolong miskin.
3. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok
orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya
yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah.
Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena tidak mau berusaha
memperbaiki nasibnya, tetapi karena usaha yang mereka lakukan selalu
kandas dan terbentur pada sistem atau struktur masyarakat yang berlaku.
4. Kemiskinan Situasional atau Kemiskinan Natural
Kemiskinan situasional atau kemiskinan natural terjadi jika seseorang
atau sekelompok orang tinggal di daerah-daerah yang kurang
menguntungkan dan oleh karenanya mereka menjadi miskin. Dengan kata
lain, kemiskinan itu terjadi sebagai akibat dari situasi yang tidak
menguntungkan seperti kemarau panjang, tanah tandus, gagal panen, atau
5. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur masyarakatnya. Masyarakat
rela dengan keadaan miskinnya karena diyakini sebagai upaya untuk
membebaskan diri dari sikap serakah yang pada gilirannya akan membawa
kepada ketamakan. Misalnya, masyarakat yang menganut pietisme-dualistis
mempunyai anggapan bahwa manusia terdiri dari dua bagian yang saling
bertentangan, yaitu jiwa (suci) dan raga (yang dianggap hina). Sementara
itu, mereka juga beranggapan bahwa keselamatan manusia sangat ditentukan
oleh pietas, yaitu kesalehan yang menolak kehinaan.
2.10. Definisi Konsep
1. Pekerja anak merupakan setiap anak yang berusia antara 5 sampai
dengan 17 tahun yang telah bekerja sebagai penyusun batu bata minimal
selama 1 tahun di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam.
2. Kilang batu bata merupakan tempat terjadinya proses produksi dan
perdagangan batu bata yang menjadi lingkungan anak penyusun batu
bata bekerja untuk memperoleh uang.
3. Teman sebaya adalah anak yang menjadi teman bermain dan bekerja
pekerja anak yang di dalam hubungannya merasakan adanya kesamaan
satu dengan yang lain, seperti usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat
4. Kehidupan sosial ekonomi merupakan perilaku sosial dari anak yang
menyangkut interaksinya dan perilaku ekonomi dari anak yang
berhubungan dengan pendapatan dan pemanfaatannya
5. Kondisi pekerja anak adalah kondisi kerja anak yang meliputi jam kerja,
upah atau gaji, jenis dan sifat pekerjaan, resiko pekerjaaan, dan interaksi
anak yang bekerja dengan sesama pekerja anak lainnya.
6. Keluarga adalah orang yang pernah mengasuh, mendidik dan merawat si
anak hingga anak tersebut bekerja sebagai penyusun batu bata dan diakui
oleh si anak sebagai keluarga.
7. Hak-hak anak merupakan hak untuk dilindungi baik secara jasmani
maupun rohani, hak untuk mendapat perhatian dan kasih sayang secara
penuh dari keluarga dan lingkungan sosial di sekitarnya, hak untuk
memperoleh pendidikan dan hak untuk menolak menjadi pekerja anak.
8. Enkulturasi merupakan proses anak menjadikan aktifitas bekerja di usia
dini sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari sehingga menganggap
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kondisi kehidupan sosial ekonomi
pekerja anak penyusun batu bata. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian
pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang
ada dalam kehidupan sosial. Dalam pendekatan ini yang menjadi sasaran
penelitian adalah kehidupan sosial dan masyarakat sebagai satu kesatuan atau
seebuah kesatuan yang menyeluruh (Rudianto dan Famiola, 2008:78-79)
Maksud dari pendekatan kualitatif ini adalah untuk mendapatkan data dan
informasi dari para informan dalam lingkungan hidup kesehariannya. Melalui
metode ini, peneliti sedapat mungkin berinteraksi secara dekat dengan para
informan, mengenal secara mendalam kehidupan mereka, serta mengamati dan
mengikuti alur kehidupan informan secara apa adanya. Jenis penelitian ini
bertujuan untuk memahami permasalahan dari pekerja anak sehingga diharapkan
dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kehidupan pekerja anak penyusun
batu bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli
Serdang.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di kilang batu bata di Jalan Pelak Desa Sekip
1. Kilang batu bata ini merupakan kilang batu bata terbesar di desa Sekip
yang menjadi tempat mata pencaharian sebagian besar masyarakat di
Jalan Pelak Desa Sekip guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pada umumnya, para pekerja di kilang batu bata ini didominasi oleh
masyarakat yang tinggal di sekitarnya, baik sebagai pencetak batu bata,
penyusun batu bata, dan supir truk pengangkut batu bata.
2. Kilang batu bata ini memberikan peluang kerja kepada setiap anak yang
mampu dan mau bekerja guna dibayar dengan upah yang rendah.
3. Kilang batu bata ini dikenal sebagai penghasil batu bata terbaik di desa
Sekip Kecamatan Lubuk Pakam
3.3. Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Adapun yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam
penelitian ini adalah seluruh anak yang sedang bekerja di kilang
batu bata di Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli
Serdang.
3.3.2. Informan
3.3.2.1. Informan kunci
Pekerja anak dan keluarga merupakan informan kunci dalam