FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUNCULNYA PEKERJA ANAK DI DUSUN AMAL BAKTI DESA PASAR V KEBUN KELAPA
KECAMATAN BERINGIN KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun oleh
Dede Nurcholis
100902046
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
Lembar Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Dede Nurcholis
Nim : 100902046
Judul : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang
Medan, Agustus 2015
PEMBIMBING
Drs. Bengkel, M.Si NIP 196301031989031003
Ketua Departemen
Hairani Siregar, S.Sos, MSP NIP 197109271998012001
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
NAMA : DEDE NURCHOLIS
NIM : 100902046
ABSTRAK
(
Skripsi ini terdiri dari: 6 bab, 92 halaman, 38 kepustakaan, 7 tabel, dan lampiran)
Skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat meraih gelar sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, dengan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak Di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang”. Masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak.
Informan dari penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu informan utama yang terdiri dari 5 orang pekerja anak dan informan kunci yang terdiri dari 5 orang tua para pekerja anak. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisi bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak yaitu faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan motivasi diri.
Kesimpulan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak adalah faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan motivasi diri.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE
NAME : DEDE NURCHOLIS
NIM : 100902046
ABSTRACT
(This thesis consists of: 6 chapters, 92 pages, 38 libraries, 7 tables, and attachments)
This thesis submitted in order to achieve a degree qualified Social Welfare, with the title "The Factors Affecting Emergence Child Labour at hamlet of Amal Bakti Village of Pasar V Kebun Kelapa Subdistrict of Beringin District of Deli Serdang". The problem addressed in this thesis are the factors that influence the emergence of child labour.
Informants of this research is divided into 2 there are main informants consisting of 5 child labours and key informants consisting of 5 parents of child labour. The method used is descriptive method with qualitative approach. The technique of collecting data through literature study and field studies by means of in-depth interviews and observation. The data obtained in this thesis were analyzed by qualitatively technique.
Based on the data that has been collected and has been analyzed that there are several factors affecting emergence of child labour is a factor of economic, social, cultural, educational, job availability, and self-motivation.
The conclusion that the factors affecting emergence of child labor is a factor of economic, social, cultural, educational, job availability, and self-motivation.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya kepada penulis sehingga dapat memulai,
melaksanakan, dan menyelesaikan masa perkuliahan di Jurusan Ilmu
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara (FISIP USU) dan atas izinNya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak Di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Orangtua penulis,Oman dan
Nurhayati yang dengan penuh cinta dan kasih sayang telah merawat, membesarkan, mendidik, mendukung, serta selalu berupaya memenuhi kebutuhan
penulis. Semoga apa yang penulis berikan ini dapat menambah kebanggaan bagi
kedua orang tua.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini dan yang telah
membantu penulis selama kuliah sampai penulis lulus, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik.
2. Ibu Hairani Siregar, S.sos, M.Sp, selaku Ketua Departemen Ilmu
3. Bapak Drs. Bengkel, M.Si, selaku Dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan
dukungan serta masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Husni Thamrin, S.Sos, M.SP, selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.
5. Kepada seluruh Dosen Depertemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Dosen
pengajar mata kuliah, yang telah memberikan materi kuliah selama penulis
menjalankan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
6. Kepada Kak Zuraidah yang telah banyak membantu penulis dalam
melengkapi segala berkas perkuliahan khususnya dalam penyelesaian
skripsi ini.
7. Kepada Kak Debby dan Bang Ria yang telah banyak membantu saya
dalam mengurus segala berkas untuk perkulihan.
8. Kepada adik tercinta Laila Farhanah dan Siti Fatinah yang selalu mendoakan dan memberikan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada para sahabat terdekat Dimas Alfisyahri, Iqbal Fazuani, Puri Nugraha, Arief Rahman Hakim Nanda Nugraha, Ferdian Erman, Intan Rahmadhani, Ria Adriana, dan Dwi Jayanti terima kasih yang luar biasa untuk dukungannya dalam segala proses penyelesaian skripsi ini termasuk memberikan semangat dan tak pernah bosan mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Kalian lebih dari sekedar sahabat bagiku, kalian adalah keluargaku. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian semua.
Rahma, Fauziah, Icha, Kristin, Desi Ginting, Sofian, dan semua nya yang tidak tersebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama ini dan sukses untuk kita semua.
11.Kepada Lili Suryani yang telah banyak membantu penulis dalam
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan Nining yang sering mengingatkan tentang “veteran FISIP” yang memacu
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
12.Kepada para staff KKSP Bang Jai, Pak Edong, Bang Jimy, Bang Maman,
Bang Samsul Bang Eko, Ocik, Kak Inong, Kak Susi, yang telah
memberikan dukungan baik semangat maupun bahan pustaka yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Kepada para alumni Smart Ekselensia Indonesia terkhusus alumni Smart
Medan yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
14.Kepada semua pihak yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini,
dan tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk
dukungannya.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam
menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari
segi isi maupun penulisan dari skripsi ini, maka dari itu penulis mengharapkan
saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang
Medan, Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 10
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 11
1.4 Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak ... 13
2.1.1 Pengertian Anak ... 13
2.1.2 Hak-Hak Anak ... 15
2.1.3 Konvensi Hak Anak ... 19
2.1.4 Perlindungan Anak ... 22
2.1.4.1 Pengertian Perlindungan Anak ... 22
2.1.4.2 Prinsip Perlindungan Anak ... 24
2.2 Pekerja Anak ... 26
2.2.1 Pengertian Pekerja Anak ... 26
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Pekerja Anak ... 28
2.2.4 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Untuk Anak ... 34
2.2.5 Dampak-Dampak yang Dialami oleh Pekerja Anak ... 40
2.3 Kesejahteraan Anak ... 41
2.4 Kerangka Pemikiran ... 44
2.5 Definisi Konsep ... 46
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 48
3.2 Lokasi Penelitian ... 48
3.3 Informan ... 48
3.3.1 Informan Kunci ... 49
3.3.2 Informan Utama ... 49
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 49
3.5 Teknik Analisis Data ... 51
BAB IV DESKRIPSI LOKASI 4.1 Gambaran Umum Dusun Amal Bakti ... 52
4.1.1 Komposisi Penduduk ... 53
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Hasil Temuan ... 62
5.1.1 Informan Utama ... 62
5.1.2 Informan Kunci ... 76
5.2 Analisis Data ... 84
5.2.1 Faktor Ekonomi ... 85
5.2.2 Faktor Sosial ... 85
5.2.4 Faktor Pendidikan ... 87
5.2.5 Faktor Ketersediaan Lapangan Pekerjaan ... 88
5.2.6 Faktor Motivasi Diri ... 89
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ... 91
6.2 Saran ... 92
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Spesifikasi Wilayah ... 53
Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk Desa Pasar V Kebun Kelapa
Kecamatan Beringin ... 54
Tabel 4.3 Data Anak-Anak di Desa Pasar V Kebun Kelapa
Kecamatan Beringin ... 54
Tabel 4.4 Data Tamatan Pendidikan di Desa Pasar V Kebun Kelapa
Kecamatan Beringin ... 55
Tabel 4.5 Data Etnis di Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan
Beringin ... 57
Tabel 4.6 Data Agama di Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan
Beringin ... 58
Tabel 4.7 Data Mata Pencaharian Pokok di Desa Pasar V Kebun Kelapa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
NAMA : DEDE NURCHOLIS
NIM : 100902046
ABSTRAK
(
Skripsi ini terdiri dari: 6 bab, 92 halaman, 38 kepustakaan, 7 tabel, dan lampiran)
Skripsi ini diajukan guna memenuhi syarat meraih gelar sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, dengan judul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak Di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang”. Masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak.
Informan dari penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu informan utama yang terdiri dari 5 orang pekerja anak dan informan kunci yang terdiri dari 5 orang tua para pekerja anak. Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisi bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak yaitu faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan motivasi diri.
Kesimpulan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pekerja anak adalah faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan motivasi diri.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE
NAME : DEDE NURCHOLIS
NIM : 100902046
ABSTRACT
(This thesis consists of: 6 chapters, 92 pages, 38 libraries, 7 tables, and attachments)
This thesis submitted in order to achieve a degree qualified Social Welfare, with the title "The Factors Affecting Emergence Child Labour at hamlet of Amal Bakti Village of Pasar V Kebun Kelapa Subdistrict of Beringin District of Deli Serdang". The problem addressed in this thesis are the factors that influence the emergence of child labour.
Informants of this research is divided into 2 there are main informants consisting of 5 child labours and key informants consisting of 5 parents of child labour. The method used is descriptive method with qualitative approach. The technique of collecting data through literature study and field studies by means of in-depth interviews and observation. The data obtained in this thesis were analyzed by qualitatively technique.
Based on the data that has been collected and has been analyzed that there are several factors affecting emergence of child labour is a factor of economic, social, cultural, educational, job availability, and self-motivation.
The conclusion that the factors affecting emergence of child labor is a factor of economic, social, cultural, educational, job availability, and self-motivation.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Negara berkembang seperti Indonesia secara berkelanjutan melakukan
pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan negara yang
tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Agar tujuan negara dapat terlaksana dibutuhkan sumber daya manusia yang
mampu melaksanakannya dengan baik sehingga perlu dipersiapkan sejak dini.
Upaya peningkatan dan pengembangan kualitas generasi bangsa tidak dapat
dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya
dan anak pada khususnya, yang diwarnai dengan upaya pendalaman dibidang
pendidikan, kesehatan, dan intelektual.
Ironinya saat ini kesejahteraan bagi masyarakat sangat sulit didapat
terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kesejahteraan yang
merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 belum mampu
diwujudkan oleh negara, akibatnya masyarakat yang tidak mampu bersaing akan
terpinggirkan atau mengalami kemiskinan. Berdasarkan Berita Resmi Statistik,
Maret 2013 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang
(11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta orang dibandingkan dengan penduduk
Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta orang pada September 2012
menjadi 10,33 juta orang pada Maret 2013), sementara di daerah perdesaan
berkurang 0,35 juta orang (dari 18,09 juta orang pada September 2012 menjadi
17,74 juta orang pada Maret 2013) (http://www.bps.go.id).
Kemiskinan yang terjadi mengakibatkan tidak mampu terpenuhinya
kebutuhan dasar keluarga, sehingga seluruh anggota keluarga mau tidak mau
harus mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak terkecuali
anak-anak. Orang tua sangat membutuhkan tenaga anak-anaknya untuk membantu
meningkatkan pendapatan rumah tangga. Asra (dalam Usman & Nachrowi, 2004:
101) mengemukakaan bahwa 35 persen orang tua akan mengalami penurunan
pendapatan rumah tangganya jika anak mereka berhenti bekerja. Imawan (dalam
Usman & Nachrowi, 2004: 101) menemukan bahwa 23,5 persen pendapatan
anak-anak yang bekerja diberikan untuk orang tuanya. Hal ini disebabkan anak-anak-anak-anak
membutuhkan pekerjaan justru karena keluarga ekonomi yang miskin. Hal
tersebut menjadi cikal bakal dari permasalahan anak yang terjadi di Indonesia
seperti anak jalanan, anak terlantar, anak terjerat dengan masalah hukum dan
buruh anak atau pekerja anak.
Fenomena pekerja anak merupakan fenomena global yang tidak hanya
terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Namun demikian,
permasalahan pekerja anak di tiap-tiap negara berbeda derajat kualitas dan
kuantitas permasalahannya yang semakin kompleks, sementara disisi lain
luas terjadi
(http://analisis-kontribusi-anak-bekerja-terhadap-pendapatan-keluarga-untuk-memperoleh-pendidikan-yang-layak-pdf.html).
Sumbangan pekerja anak untuk ekonomi keluarga memang tidak kecil.
Diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20% bagi ekonomi
keluarga. Angka ini muncul dalam sebuah laporan yang diungkap dalam
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai masalah pemukiman
(Habitat II) di Turki tahun 1996, dengan jumlah sebesar itu wajar jika orang tua
dengan ekonomi pas-pasan merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan
(www.Fokus No. 70 Volume. 02 Januari 2013).
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, dari 6,5 juta
pekerja anak berusia 6-18 tahun, sebanyak 26 persen di antaranya bekerja di
lingkungan yang berbahaya bagi anak. Karena itu, 1,7 juta anak tersebut harus
diprioritaskan untuk ditarik dari tempat mereka bekerja, lalu disekolahkan
kembali. Mereka bekerja di jalanan, di pabrik yang berurusan dengan bahan
kimia, prostitusi, bahkan bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah
tangga yaitu sebanyak 60 persen
(http://www.tempo.co/read/news/2012/06/04/173408068/17-Juta-Anak-Bekerja-di-Lingkungan-Berbahaya).
Berdasarkan sumber dari detik.com disebutkan bahwa kasus-kasus
pekerjaan yang terburuk bagi anak sudah cukup memprihatinkan. Data dari BPS
dan ILO pada bulan Februari 2010 disebutkan pada 2009 jumlah anak sebanyak
58,8 juta. Pada tahun 2008 pekerja anak di sektor perkebunan di Sumut mencapai
155.196 anak, sementara Dinas Sosial Sumut menemukan anak-anak berusia di
(Deli Serdang), Bukit Maraja (Simalungun), dan Warung Bebek (Serdang
Bedagai). Jumlah ini belum termasuk yang dijumpai di diskotik, dan pub yang
mencapai 500 orang, dan masih banyak anak-anak yang dilacurkan yang belum
terdata
(http://news.detik.com/read/2010/06/12/112038/1376912/10/ratusan-anak-berpawai-tolak-pekerja-anak?browse=frommobile).
Keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen
di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan
anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan pekerja anak. Dari
jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen
bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7 juta
atau 11,4 persen tergolong sebagai „idle‟, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu
di rumah dan tidak bekerja
(http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_122351/lang--en/index.html).
Isu tentang pekerja anak sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia
dan tidak hanya bersifat nasional tetapi bersifat internasional. Masyarakat
internasional telah menaruh perhatian serius terhadap masalah pekerja anak. Hal
ini terbukti dengan terwujudnya kesepakatan internasional yang dituangkan dalam
berbagai konvensi, antara lain Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja dan Konnvensi ILO Nomor 182
mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kedua konvensi
tersebut dan telah mengadopsi substansinya kedalam Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selanjutnya pemerintah juga telah
faktual masyarakat, potensi yang dimiliki dan tingkat kemajuan masyarakat
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf).
Pekerja Anak memiliki sifat dan kebutuhan yang spesifik, maka mereka
memerlukan perlindungan khusus pula agar tetap eksis berpartisipasi dalam
pembangunan. Perlindungan khusus yang diberikan kepada pekerja anak
diarahkan untuk mengurangi dan atau menghilangkan pengaruh buruk dari
pekerjaan yang dilakukan anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental, sosial dan intelektualnya.
Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan
rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda
kemiskinan. Hal ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan
pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya.
Keberadaan pekerja anak ini dilematis. Disatu sisi anak-anak bekerja untuk
memberikan kontribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan dengan
eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya, sulit untuk memisahkan
antara partisipasi anak dan eksploitasi anak.
Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut semakin terkungkung
dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian. Efek lebih lanjut adalah
ketidakpastian anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan
kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi
keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertical sang anak dalam
perjalanan hidupnya (http://pekerja-anak-bermasalah-sejak-definisi.html).
Berbagai pekerjaan digeluti oleh anak yang bersekolah, putus sekolah,
bahkan ada yang tidak sempat bersekolah. Kebutuhan anak yang seharusnya
dipenuhi oleh orang tua adalah mendapatkan pendidikan dan juga mempunyai
waktu yang cukup untuk bermain dalam masa perkembangan fisik dan mentalnya
serta mendapatkan kasih sayang dari orangtua. Kemampuan fisik anak masih
terbatas sesuai dengan pertumbuhannya. Pada prinsipnya anak tidak boleh
bekerja, namun dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan anak boleh bekerja demi kepentingan dan kondisi tertentu seperti
pekerjaan ringan, pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum dan pendidikan dan
pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat anak.
Ironinya saat ini banyak anak yang bekerja bukan dalam konteks
pembelajaran sebagaimana undang-undang Nomor 13 tahun 2003, namun mereka
melakukan pekerjaan berat dan mengancam kehidupan dalam segala aspek. Anak
yang bekerja tidak mendapatkan kesempatan untuk memperoleh hak-hak
sebagaimana mestinya, seperti mendapatkan kasih sayang, pendidikan, dan
bermain.
Indonesia tidak mengatur bagaimana sistem jam kerja pada pekerja anak,
faktanya pekerja anak bekerja relatif panjang tanpa pengawasan dan sangat
menganggu jam bermain dan belajar anak. Namun sebagai tuntutan anak harus
bekerja dan mengorbankan hak-hak mereka sebagai anak dan juga bisa dilihat
180 derajat baik dari segi kasih sayang, pengawasan, jam bermain serta pola pikir
anak.
Data Sakernas tahun 2009 menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja bagi
pekerja anak adalah 27 jam. Ini berarti bahwa separuh dari mereka bekerja
sedikitnya 27 jam dalam seminggu.Terlihat terlalu tinggi untuk jenis pekerjaan
yang „aman/safe' bagi anak-anak. Pekerja anak yang memiliki jam kerja relatif rendah, 1-20 jam, adalah sekitar 36 persen. Sebaliknya, mereka yang memiliki
jam kerja lebih dari 45 yang cukup tinggi, hampir 22 persen untuk laki-laki dan 29
persen untuk perempuan (Sukroni, 2009: 32)
Di daerah perkotaan anak-anak yang bekerja dalam jangka waktu 20 jam
per minggu kurang dari 50%, sedangkan di daerah pedesaan lebih dari 50%.
Sebagian besar pekerja anak di perkotaan bekerja selama 21-35 jam per minggu.
Satu hal yang kiranya perlu menjadi perhatian bahwa 29% pekerja anak di
perkotaan ternyata mempunya jam kerja yang sangat panjang, yaitu lebih dari 40
jam per minggu (Nachrowi, 2004: 34)
Menurut penelitian ILO di Kotamadya Bandung, lebih dari setengah (60,2
%) pekerja anak harus bekerja sekitar 40 jam per minggu atau sekitar 7 - 10 jam
per hari dengan waktu kerja antara jam 7-8 atau sampai jam 4-5 sore. Bahkan di
Bekasi dan Tangerang pekerja anak bisa bekerja sampai 14 jam per hari. Melihat
jadwal kerja yang begitu padat tentu saja tidak memungkingkan seorang
pekerja/buruh anak untuk mendapatkan pendidikan, kurangnya waktu istirahat
Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya pekerja anak dapat dilihat
dalam perspektif yang lengkap, yaitu dengan melihat dua sisi yang berbeda seperti
sisi penawaran dan sisi permintaan. Meskipun, masyarakat menyediakan tenaga
kerja anak, tetapi jka tidak ada perusahaan yang mempekerjakannya, sudah pasti
pekerja anak tidak muncul. Demikian pula sebaliknya, bila permintaan terhadap
pekerja anak tinggi, tetapi masyrakat tidak menyediakan maka pekerja anak juga
tidak muncul (Nachrowi, 2004: 4).
Dusun Amal Bakti merupakan salah satu dusun di kabupaten Deli
Serdang, dimana banyak pekerja anak yang bekerja sebagai pembuat batu bata.
Pekerja anak tersebut bekerja membuat batu bata dimulai ketika mereka pulang
sekolah sekitar jam 1 hingga jam 5 sore atau setengah hari. Pekerja anak
tergantung pada faktor cuaca, mereka hanya dapat bekerja pada saat cuaca panas,
sebaliknya pada saat hujan mereka tidak dapat bekerja karena tanah yang menjadi
bahan baku pembuatan batu bata menjadi terlalu lunak. Mereka dapat
menghasilkan lebih banyak batu bata ketika tanah yang digunakan untuk membuat
batu bata tersebut lembut, yaitu tidak terlalu lunak dan tidak juga keras.
Mayoritas pekerja anak sebagai pembuat batu bata di dusun Amal Bakti
disebabkan lingkungan yang sangat memungkinkan anak untuk bekerja karena di
desa tersebut terdapat banyak kilang batu bata yang menerima pekerja tanpa
melihat usia dan tidak memerlukan kemampuan khusus. Selain itu tawaran kerja
dari pemilik kilang batu bata dan ajakan teman-teman sepermainan juga menjadi
Sistem kerja yang digunakan pekerja anak di kilang batu bata yaitu sistem
harian dan borongan. Sistem harian artinya anak-anak bekerja dan digaji sesuai
dengan banyak batu bata yang dihasilkan, sedangkan borongan artinya anak-anak
bekerja secara berkelompok yang terdiri dari 6-9 orang untuk menghasilkan batu
bata sebanyak 15.000-25.000 buah.
Pendapatan rata-rata pekerja anak di kilang batu bata dengan sistem harian
sekitar Rp.60.000-Rp.70.000 jika full day dan Rp.30.000 jika bekerja setengah hari, sedangkan upah untuk anak-anak yang memilih sistem borongan sekitar
Rp.70.000-Rp.90.000. Penghasilan dengan sistem borongan memang lebih besar,
namun tanggung jawab mereka lebih besar pula, mereka harus menyelesaikan
belasan ribu bahkan puluhan ribu batu bata dalam sehari sehingga mereka harus
bekerja dengan cepat. Berbeda dengan sistem harian, dengan sistem ini anak-anak
tidak terbebani dengan hasil minimal batu bata dalam sehari sehingga mereka bisa
bekerja lebih santai. Adapun penghasilan yang diperoleh dari membuat batu
sebagian diberikan kepada orang tua dan sebagian lagi dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan si anak tersebut.
Tidak semua pekerja anak memiliki sifat peduli dengan ekonomi orang tua
mereka. Faktanya di dusun Amal Bakti sebagian kecil anak menyalahgunakan
penghasilan yang mereka dapat dengan melakukan perbuatan menyimpang seperti
berjudi, balap liar dan seks bebas. Hal ini tidak dapat diawasi karena orang tua
yang bekerja seharian penuh jarang berkumpul dengan anak-anak mereka, jarang
berkomunikasi dan tidak mengetahui aktivitas anak mereka di lingkungan
masyarakat. Orang tua mengetahui informasi anak mereka dari masyarakat
Permasalahan yang dilihat peneliti adalah apa yang menjadi faktor
munculnya pekerja anak pembuat batu bata yaitu anak-anak yang bekerja selepas
pulang sekolah. Beberapa teori menjelaskan bahwa faktor utama munculnya
pekerja anak adalah faktor ekonomi keluarga yang rendah, namun hasil pra
observasi peneliti melihat rumah keluarga anak-anak yang bekerja tergolong
permanen yaitu dengan konstruksi pondasi, dinding batu bata, atap genteng, dan
lantai keramik. Sekilas dapat disimpulkan dengan keadaan rumah tersebut tidak
tergolong miskin. Berkaca dari hal tersebut peneliti ingin menggambarkan lebih
detail faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya pekerja anak. Sehubungan
dengan hal tersebut maka untuk dapat mengetahui apa yang menyebabkan
munculnya pekerja anak perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Berdasarkan uraian
yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk
meneliti faktor-faktor penyebab munculnya pekerja anak yang hasilnya akan
dituangkan dalam penelitian berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Pekerja Anak Di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa
Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “apa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
pekerja anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V Kebun Kelapa Kecamatan
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi munculnya pekerja anak di Dusun Amal Bakti Desa Pasar V
Kebun Kelapa Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang.
1.3.2 Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam
rangka:
a. Memperkaya wawasan serta pengetahuan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi munculnya pekerja anak.
b. Mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah dan
penelitian ini.
c. Menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam menanggulangi masalah
pekerja anak.
1.4Sistematika Penelitian
Sitematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab,
dengan urutan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang teori teori yang mendukung dalam penelitian,
kerangka pemikiran dan definisi konsep.
BAB III: METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, unit analisis
dan informan, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN\
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dan
data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V: ANALISIS DATA
Bab ini berisikaan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil
penelitian serta analisis pembahasannya.
BAB VI: PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anak
2.1.1 Pengertian Anak
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah
penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak perlu mendapat kesempatan
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik,
mental, maupun sosial, dan mempunyai akhlak yang mulia (Herlina, 2003:4).
Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari
perkawinan antar seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak
menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah
melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal
lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa
dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah aset bangsa.
Masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak
sekarang. Semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula
kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak
tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada
umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang
seringkali dianggap tidak ada akhirnya, sehingga mereka tidak sabar menunggu
saat yang didambakan yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi
anak-anak tapi orang dewasa.
Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka
yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak
sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 04 tahun 1979 tentang Kesejahtaraan Anak,
menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum
menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun
(Huraerah, 2006: 31).
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk pada saat
dalam kandungan. Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga
mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu
merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada
tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu
fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya. Menurut Konvensi Hak Anak pasal 1,
anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun kecuali,
berdasarkan undang undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah
Pengakuan terhadap anak secara internasional dilakukan oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) melalui suatu konvensi pada tahun 1989 (UNICEF).
Prinsip-prinsip yang dianut dalam konveksi hak anak adalah
a. Non Diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam
KHA (Konvensi Hak Anak) harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip
universalitas HAM
b. Yang terbaik bagi anak (Best Interests Of The Child), artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah
menjadi pertimbangan yang utama.
c. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Survival And Development), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui
dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus
dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip indivisibility HAM
d. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama yang menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan.
2.1.2 Hak-Hak Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak Bab II
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Yang dimaksud
dengan asuhan adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak-anak
yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak yang
mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara sebagai pengganti
orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar,
baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
b. Hak atas pelayanan
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa
untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
c. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup
Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
e. Hak mendapat pertolongan pertama
Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama
f. Hak memperoleh asuhan
Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan
olehnegara atau orang atau badan lain. Dengan demikian anak yang tidak
mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik
jasmani, rohani maupun sosial.
g. Hak memperoleh bantuan
Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam
lingkungankeluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
h. Hak diberi pelayanan dan asuhan
Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan
asuhan yangbertujuan mendorong guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
i. Hak memperoleh pelayanan khusus
Anak cacat berhak memperoleh pelayan khusus untuk mencapai
tingkatpertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan
kesanggupannya.
j. Hak mendapat bantuan dan pelayanan
Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan
mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak, tanpa
membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan dan kedudukan sosial
(Prinst, 1997: 57).
Adapun hak-hak dasar anak menurut Undang-undang Nomor 23 tahun
a. Hak untuk hidup layak
Setiap anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat
tinggal dan perawatan kesehatan
b. Hak untuk berkembang
Setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa
halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan
pendidikan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih
agama, mempertahankan keyakinan, dan semua hak yang memungkinkan
mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya.
c. Hak untuk mendapat perlindungan
Setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah.
d. Hak untuk berperan serta
Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat termasuk
kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang
lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan.
e. Hak untuk memperoleh pendidikan
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar.
Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal di
daerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk
2.1.3 Konvensi Hak Anak
Konsep tentang perlindungan Anak pertama kali dicetuskan pasca
berakhirnya perang dunia ke-1 yang merupakan respon dari berbagai penderitaan
yang kebanyakan dialami oleh kaum perempuan dan anak akibat peperangan.
Pada saat itu beberapa aktivis perempuan menggelar aksi untuk meminta
perhatian dunia agar peduli akan nasib perempuan dan anak- anak yang menjadi
korban perang. Pada tahun 1923 seorang aktivis perempuan berkebangsaan
Inggris bernama Eglantyne Jebb merumuskan dan menyuarakan 10 Hak Dasar
yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh Anak yaitu:
a. Hak untuk memiliki Nama (identitas)
b. Hak Mendapatkan makanan (asupan gizi yang layak)
c. Hak Bermain
d. Hak Rekreasi
e. Hak Kebangsaan
f. Hak Mendapat Persamaan (non diskriminasi)
g. Hak Perlindungan
h. Hak Pendidikan
i. Hak Kesehatan
j. Hak untuk Berperan Dalam pembangunan.
Pada tahun 1924 kesepuluh Hak Dasar Anak tersebut dideklarasikan dan
diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan
Deklarasi Jenewa. Setelah berakhirnya Perang Dunia II tepatnya pada tanggal 10
Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi
(DUHAM). Peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari Hak Azasi
Manusia (HAM) Sedunia tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah
HAM. Beberapa hal yang menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup pula
dalam deklarasi ini. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan
pernyataan mengenai hak anak sekaligus merupakan deklarasi internasional kedua
di bidang hak khusus bagi anak-anak. Selanjutnya perhatian dunia terhadap
eksistensi bidang hak ini semakin berkembang.
Tahun 1979 bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun Anak
Internasional, pemerintah Polandia mengajukan usul disusunnya perumusan suatu
dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak
anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya Konvensi
Hak Anak. Tahun 1989 rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada
tahun itu juga tanggal 20 November naskah akhir tersebut disahkan dengan suara
bulat oleh Majelis Umum PBB. Rancangan inilah yang hingga saat ini dikenal
sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Pada 2 September 1990 KHA mulai
diberlakukan sebagai hukum internasional. Indonesia meratifikasi KHA pada 25
September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Konvensi Hak Anak memberikan definisi bahwa ”Anak” adalah manusia
yang berumur di bawah 18 tahun dan memiliki hak-hak yang harus di penuhi
seperti hak untuk hidup, hak tumbuh berkembang, perlindungan dan partisipasi.
Hak-hak tersebut tidak dapat diabaikan dan semestinya harus dipenuhi oleh
lingkungan dimana anak berdomisili dan berinteraksi sebagai mahluk sosial.
Konvensi Hak Anak lahir dari sebuah kesadaran bahwa sesuai kodratnya anak
perawatan dan perlindungan yang khusus dari orang dewasa agar fisik dan
mentalnya dapat bertumbuh dengan baik. Tujuan Konvensi Hak Anak adalah agar
anak sebagai individu mampu memainkan peranan yang konstruktif dalam
masyarakat. Hal ini di tegaskan dalam mukadimah KHA paragraf ke-7 yaitu : ”...anak harus sepenuhnya di persiapakan untuk menjalani kehidupannya
baik sebagai pribadi yang utuh maupun masyarakat”.
Sistem struktural masyarakat, anak seringkali dianggap sebagai pelaksana
dari keputusan yang ditetapkan oleh orang dewasa karena masih belum memiliki
kapasitas untuk mandiri. Anak hanya dianggap sebagai konsumen dari budaya
yang telah dikembangkan oleh orang dewasa. Agar proses menuju kematangan
sebagai seorang individu diperlukan tindakan sosialisasi dari orang-orang dewasa
sekitarnya. Sehubungan dengan konsep pemaknaan anak (children), pada masa kanak-kanak (childhood) beberapa ahli sosiologi seperti Jenks serta James dan Prout menyatakan ada beberapa ciri-ciri paradigma tentang anak yaitu:
a. Masa kanak-kanak (childhood) dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Pandangan ini memilki perbedaan dan kematangan biologis yang
memandang bahwa masa kanak-kanak sebagai sebuah gambaran natural dan
universal. Memandang childhood sebuah komponen struktural dan kultural
yang khusus dari berbagai masyarakat.
b. Childhood merupakan sebuah variabel dari analisis sosial. Hal ini tidak bisa terlepas dari variabel lain seperti gender, kelas dan etinisitas. Analisis
c. Hubungan sosial anak. Hubungan sosial anak dan budaya merupakan studi
yang berguna dalam hak (right) anak, bebas dari perspektif dan kepentingan orang dewasa (adults).
d. Anak merupakan dan harus dipandang sebagai subjek yang aktif dalam
konstruksi dan determinasi dari kehidupan sosial mereka sendiri, kehidupan
di seputar mereka dan dari masyarakat dimana mereka tinggal. Anak
bukanlah subjek pasif dari struktur dan proses sosial
e. Childhood merupakan sebuah fenomena dalam kaitan dengan mana hermeneutik ganda dari ilmu pengetahuan sosial merupakan pernyataan
yang benar atau tajam (acutely). Untuk menyatakan sebuah paradigma baru dari sosiologi, childhood juga perlu ikut terlibat dalam proses rekonstruksi childhood dalam masyarakat (James, Prout, & Allans, 1997: 8).
2.1.4 Perlindungan Anak
2.1.4.1 Pengertian Perlindungan Anak
Anak yang ada dalam kandungan perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan. Bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya atau berarti bayi
dalam kandungan ibu haruslah telah dianggap sebagai insan atau individu demi
perlindungan dilakukan orang tua sedini mungkin, yaitu sejak anak dalam
kandungam baik secara adat maupun agama telah dilakukan atau dibiasakan oleh
sebagian besar rakyat Indonesia.
Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi
antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu apabila kita
tidak tepat maka kita harus memperhatikan fenomena mana yang relevan yang
mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak (Gosita,
2004: 12).
Perlindungan anak menjelaskan segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-Undang Nomor
23 tahun 2003 pasal 1 ayat 2).
Konsep perlindungan anak mencakup dalam empat kelompok
permasalahan yaitu perlindungan aspek sosial budaya, ekonomi, politik atau
hukum dan pertahanan keamanan. Dalam aspek sosial budaya, tidak boleh ada
paksaan atas anak yang berdalih adat istiadat atau tradisi yang menganggu atau
menghambat pertumbuhan si anak menjadi manusia berkualitas. Dalam aspek
ekonomi tidak ada pekerja anak atau buruh anak yang bekerja tidak sesuai dengan
persyaratan kerja bagi anak-anak. Aspek politik atau hukum tidak boleh ada
peraturan perundangan yang mengindahkan harkat dan martabat anak dalam
penghukuman serta perlakuan terhadap anak bermasalah harus selalu diutamakan
kepentingan pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai manusia yang baik.
Sedangkan dalam aspek pertahanan keamanan, anak harus dilindungi dari
penyalahgunaan di dalam segala bentuk kejahatan seperti prostitusi dan
2.1.4.2Prinsip Perlindungan Anak
Adapun 4 prinsip mengenai perlindungan anak meliputi:
a. Anak yang tidak dapat berjuang sendiri.
Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak sebagai
modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu
haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri
hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan
masayarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak
anak.
b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child).
Demi kepentingan terbaik anak merupakan filsafah utama dibalik
konvensi hak anak adalah bahwa anak juga setara, sebagai manusia mereka
memiliki nilai melekat yang sama seperti orang dewasa. Penegasan tentang
hak anak menyoroti penekanan bahwa masa kanak-kanak sangat berharga
bagi anak belakangan ini bukan semata-mata periode pelatihan untuk
menuju kekehidupan manusia dewasa. Adanya gagasan bahwa anak-anak
memiliki setara mungkin terdengar seperti kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi tetapi sesungguhnya merupakan pemikiran radikal yang sama
sekali dihargai pada saat ini.
Perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik dengan
menganut prinsip yang menyatakan kepentingan terbaik anak harus
dipandang sebagai of promount importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini
Prinsip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak sebagai korban disebabkan ketidaktahuan karena usia
perkembangannya.
The best interest of the child merupakan salah satu prinsip yang terkandung dalam KHA sebagaimana telah diadopsi dalam prinsip-prinsip
penyelengggaraan perlindungan anak selain dari non diskriminasi, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan
terhadap pendapat anak. Kepentingan yang terbaik bagi anak dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif maka kepentingan terbaik
bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Penjelasan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002).
c. Ancangan daur kehidupan (Life-Circleapproach)
Perlindungan anak mengacu pada pemahaman perlidungan harus
dimulai sejak dini dan terus menerus. Janin yang berada dalam kandungan
perlu dilindungi dengan gizi, termasuk yodium dan kalsium yang abaik
melalui ibunya. Jika ia lahir maka diperlukan air susu ibu dan pelayanan
kesehatan primer dengan memberikan pelayanan imunisasi dan lain-lain,
sehingga anak terbebas dari berbagai kemungkinan cacat dan penyakit.
d. Lintas sektoral
Nasib anak tergantung dari berbagai faktor mikro maupun makro yang
langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala
penggusuran, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan
sebagainya tidak dapat ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu
sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan
sumbangan semua orang di semua tingkatan (Irwanto, 1997: 4).
2.2. Pekerja Anak
2.2.1 Pengertian Pekerja Anak
Pekerja anak diartikan sebagai anak yang harus melakukan pekerjaan yang
menghalangi mereka bersekolah dan membahayakan kesehatan, fisik dan
mentalnya (Damanik, 2006). Pekerja anak juga diartikan sebagai anak yang aktif
bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak
semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai
pekerja.
Pekerja anak merupakan suatu realitas sosial yang perlu disikapi secara
bijaksana. Istilah pekerja anak seringkali menimbulkan perdebatan. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilah anak-anak yang terpaksa
bekerja untuk menyebutkan pekerja anak. Biro Pusat statistic menggunakan istilah
pekerja anak sebagai anak-anak yang aktif secara ekonomi, tepatnya bahwa
pekerja anak adalah anak yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh
atau membantu memperoleh pendapatan. Sedangkan definisi pekerja anak
menurut Organisasi Buruh Internasioanl (The International Labour Organization) ILO adalah anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang membahyakan
atau menganggu fisik, mental, intelektual dan moral
Pekerja anak, buruh atau anak-anak yang terpaksa bekerja adalah
istilah-istilah untuk menggabungkan profil anak-anak yang kurang beruntung, anak-anak
dari keluarga miskin yang dalam masa kanak-kanaknya terpaksa tidak dapat
menikmati waktu bermain secara cukup dan bahkan terlantar kelangsungan
pendidikannya bahkan perkembangan moral juga tidak mendapat perhatian yang
cukup karena berbenturan dengan waktu bekerja.
Secara yuridis formal, berbagi Negara di dunia mengikuti batasan usia
pekerja anak dengan semangat variatif. Dalam konteks pekerja anak, Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak anak (The United Nations Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 tahun 1990 dan Konvensi ILO Nomor 182
mengenai pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan pekerja terburuk
untuk anak, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 01 tahun 2001
menjelaskan bahwa batas usia anak adalah belum berusia 18 tahun. Menurut
Undang-Undang Kesejahteraan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 04 tahun
1979 anak adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 03 tahun 1997 menetapkan anak
sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun
(http://Pekerja-anak<<erka.html).
Pekerja anak melakukan pekerjaan tertentu sebagai aktivitas rutin harian
dan jam kerjanya relatif panjang. Ini menyebabkan mereka tidak dapat bersekolah,
tidak memiliki waktu yang cukup untuk bermain dan beristirahat dan secara tidak
langsung aktivitas tersebut berbahaya bagi kesehatan anak. Pekerja anak
masa depan Negara kehilangan generasi terdidik. Belum lagi tekanan mental pada
anak-anak yang bisa mengarah kepada masalah kriminal. Dengan demikian
membiarkan anak bekerja dan tidak sekolah, sama dengan tidak memberikan
bekal yang bermanfaat bagi kehidupan masa depan karena anak adalah
anak-anak bangsa yang akan menjadi sumber daya manusia dimasa mendatang (Prinst,
1997: 87).
Dalam Modul Penanganan Pekerja Anak yang disusun oleh Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI menyebutkan bahwa pekerja anak memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
a. Bekerja setiap hari
b. Tereksploitasi
c. Terganggu waktu sekolahnya atau tidak sekolah lagi
d. Terganggu kesehatannya
e. Bekerja dalam waktu yang panjang
f. Bekerja untuk ikut memenuhi kebutuhan keluarga
(http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf)
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Pekerja Anak
Keterlibatan anak dalam dunia kerja tidaklah terjadi dengan sendirinya,
melainkan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab tersebut ada
yang berasal dari dalam diri anak maupun karena pengaruh lingkungan terdekat
dengan anak. Secara garis besar faktor penyebab ini dapat dikelompokkan dalam
a. Faktor Intern
Faktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak yang
mendorong anak untuk melakukan aktivitas tertentu dan menghasilkan
uang. Dengan hasil yang diperoleh anak akan menjadi senang dan dorongan
tersebut akan terpuaskan. Adapun faktor intern yang menyebabkan anak
memilih menjadi pekerja anak antara lain kemiskinan yang dialami orang
tua, adanya budaya dan tradisi yang memandang anak wajib melakukan
pekerjaan sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua, relatif sulitnya
akses ke pendidikan serta tersedianya pekerjaan yang mudah diakses tanpa
membutuhkan persyaratan tertentu.
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar diri anak. Faktor
inilah yang menjadi alasan bagi dunia kerja untuk menerima anak bekerja.
Anak dipandang sebagai tenaga kerja yang murah dan cenderung tidak
banyak menuntut. Pekerja anak dipandang tidak memiliki kemampuan yang
memadai baik secara fisik maupun kemampuan. Dengan demikian para
pengusaha akan cenderung memilih anak karena upah yang diberikan akan
cenderung lebih murah daripada orang dewasa. Disamping itu anak lebih
patuh dan penurut terhadap intruksi yang diberikan oleh orang dewasa
(http;//Pekerja-anak<<erka.html).
Selain faktor tersebut, penyebab anak bekerja dapat dilihat dari beberapa
a. Faktor Ekonomi
Kemiskinan menyebabkan ketidakmampuan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pokok. Ditemukan juga munculnya kesadaran di
tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan
orang tua untuk membayar biaya pendidikan. Akibatnya mereka tidak
memiliki aktivitas (menganggur) sehingga anak berusaha untuk berkegiatan,
terlebih lagi jika kegiatan tersebut dapat menghasilkan uang. Kondisi ini
menyebabkan anak dengan kesadaran sendiri atau dipaksa oleh keluarga
untuk bekerja, sehingga kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi dan
membantu keluarga dalam mencari nafkah.
Terdapat beberapa profil rumah tangga miskin yaitu:
a. Sosial Demografi yang meliputi rata-rata jumlah anggota rumah tangga,
persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala
rumah tangga dan pendidikan kepala rumah tangga.
b. Kemampuan membaca dan menulis, tingkat pendidikan
c. Sumber penghasilan utama
d. Tempat tinggal (perumahan) yang dilihat dari luas lantai, jenis lantai,
jenis atap, jenis dinding, jenis penerangan, sumber air, jenis jamban,
status pemilikan rumah tinggal (Sub Direktorat Analisis Statistik: 2008).
Kemiskinan tidak hanya dilihat dari satu sisi saja, tetapi terdapat
beberapa aspek yang disebut kelompok atau keluarga miskin, yaitu:
1. Hidup dibawah garis kemiskinan dimana tidak memiliki faktor produksi
sendiri sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan
2. Tidak memiliki peluang untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri dimana hanya cukup untuk konsumsi
3. Tingkat pendidikan yang rendah, keluarga miskin rata-rata memiliki
tingkat sosial ekonomi rendah yang memiliki jumlah anak lebih besar
4. Setengah menganggur dimana untuk terjun ke sektor formal agak tertutup
rapat karena rendahnya pendidikan dan keterampilan rendah, akibatnya
mereka masuk ke sektor-sektor informal atau tidak bekerja sama sekali
(Siagian, 2012: 21-23).
b. Faktor Sosial
Ketidakharmonisan hubungan antar anggota keluarga dan pengaruh
pergaulan dengan teman merupakan faktor yang menyebabkan anak menjadi
pekerja anak. Bagi anak, bekerja bukan sekedar kegiatan mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tetapi juga sebagai palampiasan atas
ketidakharmonisan hubungan diantara anggota keluarga. Selain itu
pekerjaan dan teman-teman di tempat bekerja merupakan tempat yang dapat
dijadikan tempat bergantung bagi anak.
c. Faktor Budaya
Adanya pandangan dari sebagian masyarakat yang lebih menghargai
anak yang bekerja merupakan bentuk pengabdian kepada orang tua.
Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada
anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung
jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja,
d. Faktor Pendidikan
Berawal dari pendidikan orangtua yang rendah, adanya keterbatasan
ekonomi dan tradisi maka banyak orangtua mengambil jalan pintas agar
anaknya berhenti sekolah dan lebih baik bekerja dengan alasan :
1) Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
2) Biaya pendidikan mahal
3) Sekolah tinggi akhirnya jadi pengangguran
Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi,
orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya
sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat
meningkatkan kesejahteraan anak dimasa datang. Situasi tersebut yang
mendorong anak untuk bekerja.
e. Faktor ketersediaan lapangan pekerjaan
Tersedianya sumber lokal yang dapat menjadi lahan pekerjaan bagi
anak, pola rekruttmen yang mudah dan anak merupakan tenaga kerja yang
murah dan mudah diatur, kurangnya pengetahuan masyarakat terutama
orang tua tentang hak-hak anak serta masih diskriminatifnya cara pandang masyarakat Indonesia atas “keberadaan” seorang anak
(http://analisis-situasi-pekerja-anak.or.id).
Faktor-faktor yang menjadi penyebab anak-anak bekerja dapat ditinjau
dari dua sisi, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Sisi penawaran ditunjukkan untuk melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat yang
menunjukkan faktor-faktor yang mendukung pengusaha memutuskan untuk
menggunakan pekerja anak sebagai faktor produksi (Nachrowi, 2004: 100).
Dari sisi penawaran, menurut berbagai penelitian yang dilakukan di dalam
maupun luar negeri, kemiskinan merupakan faktor utama yang membuat
anak-anak masuk ke pasar tenaga kerja. ILO dan UNICEF (1994) menyebutkan bahwa
kemiskinan merupakan akar permasalahan terdalam dan faktor utama anak-anak
terjun ke dunia kerja. Bencana alam, buta huruf, ketidakberdayaan, kurangnya
pilihan untuk bertahan hidup, serta kemiskinan orangtua yang membuat semakin
buruknya keadaan yang dihadapi oleh keluarga sehingga mereka merasa terpaksa
meletakkan anaknya ke dunia kerja.
Fenomena pekerja anak di Indonesia merupakan masalah serius karena
mengancam kualitas kehidupan anak, hak-hak mereka dan masa depan mereka
sekaligus masa depan bangsa. Oleh karena itulah pekerja anak merupakan salah
satu kategori anak-anak yang perlu mendapat perlindungan khusus. Konvensi ILO
Nomor 138 (disahkan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000) mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja menyatakan
bahwa usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika
pekerjaan itu tidak mengganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan, dan
pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau
melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun. Namun
ternyata masih banyak anak berusia kurang dari 15 tahun yang harus bekerja di
2.2.3 Teori Pengerahan Tenaga Kerja
Di Sektor Produksi (menghasilkan suatu barang), rumah tangga pedesaan di
Indonesia menerapkan pola nafkah ganda (pengerahan tenaga kerja) yang
merupakan sebuah strategi survival (strategi bertahan hidup) dimana keseluruan
anggota rumah tangga terlibat untuk mencari nafkah dari berbagai sumber baik
dalam kegiatan usaha sendiri ataupun buruh. Bagi rumah tangga miskin pola
nafkah ganda merupakan sebuh strategi untuk bertahan hidup dimana
pemanfaatan alokasi tenaga kerja rumah tangga baik pria, wanita, dewasa maupun
anak-anak yang bekerja di sektor-sektor produksi atau non produksi (Ihromi,
1999: 242).
2.2.4 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Untuk Anak
Bentuk-bentuk pekerjaan untuk anak menurut ILO (International Labour Organization) Nomor 138 adalah
a. Bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak
Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi
dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Bentuk pekerjaan tersebut antara lain:
1. Pekerjaan Ringan
Anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan
dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Pengusaha yang mempekerjakan
a. Ijin tertulis dari orang tua atau wali
b. Perjanjian kerja antara Pengusaha dan Orang tua atau Wali
c. Waktu kerja maksimal 3 jam
d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu sekolah
e. Perlindungan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja)
f. Adanya hubungan kerja yang jelas
g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan
Anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang dengan ketentuan:
a. Usia paling sedikit 14 tahun.
b. Harus memenuhi syarat :
1) Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan
serta mendapat bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakn
pekerjaan
2) Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat.
Untuk mengembangkan bakat dan minat anak dengan baik, anak
perlu diberikan kesempatan untuk menyalurkan bakat dan minatnya.
Untuk menghindarkan terjadinya eksploitasi terhadap anak, pemerintah
telah mengesahkan kebijakan berupa Kepmenakertrans Nomor Kep.
115/Men/VII/2004 tentang Perlindungan bagi anak yang melakukan
Dalam Kepmenakertrans tersebut dijelaskan bahwa pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minat, harus memenuhi kriteria:
a. Pekerjaan tersebut bisa dikerjakan anak sejak usia dini
b. Pekerjaan tersebut diminati anak
c. Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak
d. Pekerjaan tersebut menambahkan kreativitas dan sesuai dengan dunia
anak
Dalam mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat
yang berumurkurang dari 15 tahun, Pengusaha wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua / wali yang
mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
2. Mempekerjakan diluar waktu sekolah
3. Memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 ( tiga ) jam sehari dan 12
(dua belas) jam seminggu.
4. Melibatkan orang tua atau wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan
pengawasan langsung.
5. Menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan
penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-hal
sejenis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan fisik,
mental dan sosial anak.
b. Bentuk-Bentuk Pekerjaan Yang Dilarang Untuk Anak