BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keadaan perekonomian negara yang sedang terpuruk harus diakui mempunyai pengaruh terhadap munculnya pekerja anak. Permasalahan pekerja anak di Indonesia tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan
menunjukkan bahwa keluarga miskin di Indonesia sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarga, maupun
melangsungkan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial dan ekonomi memaksa mereka bekerja, maka menghapus pekerja anak dianggap sebagai tindakan yang tidak logis. Hal ini
menegaskan bahwa pekerja anak tidak dapat dilarang, tetapi dengan ketentuan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan pekerja anak
mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak diperbolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga
hak-haknya agar senantiasa dipenuhi (Hardius Usman, 2004:2).
Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara pekerja anak yang ditemukan sekarang merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga pekerja anak. Mereka
tidak punya banyak pilihan selain terus menjadi pekerja anak dan ini bisa berlangsung hingga generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang
Kondisi ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang
menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
Understanding Children's Work (UCW) melaporkan bahwa jumlah pekerja
anak di Indonesia cukup tinggi. Sementara itu lebih dari dua pertiga orang muda memasuki dunia kerja dengan bekal pendidikan dasar atau kurang. Laporan menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia 7-14 tahun merupakan pekerja anak
di bawah umur. Mereka tidak dapat menikmati hak-hak dasar atas pendidikan, keselamatan fisik, perlindungan, bermain, dan rekreasi. Kebanyakan anak-anak
yang bekerja masih sekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh lebih sedikit dibandingkan anak-anak yang tidak bekerja.
Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2012 mencatat, ada sekitar
1,7 juta sebagai pekerja anak. Tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia masih menjadi salah satu masalah serius yang harus ditangani secara komprehensif. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Nasional Pekerja Anak oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) dan International Labour Organization (ILO) tahun 2009, ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara ekonomi. Sekitar 1,8 juta dari
mereka masuk dalam kategori pekerja anak. Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga mencatat 11 juta anak usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia. Tingginya jumlah pekerja anak ini membuat
ILO menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjadi target utama dalam Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak atau
sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama sejumlah pihak terkait
baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan mengurangi jumlah pekerja anak secara signifikan terutama pada sejumlah jenis pekerjaan yang
dikategorikan sebagai pekerjaan berbahaya bagi anak. Sejumlah pekerjaan berbahaya itu diantaranya adalah pelacuran, pertambangan, penyelam mutiara, sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan dengan proses produksi
menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah tangga
Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk
orang lain, atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. Dengan demikian, anak-anak tersebut
bekerja bukan karena pilihan melainkan karena keterpaksaan hidup dan dipaksa orang lain. Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan struktural. Dalam keluarga miskin, anak-anak umumnya
bekerja demi meningkatkan pendapatan keluarga. Sebagai tenaga kerja keluarga, anak-anak tersebut biasanya tidak mendapatkan upah karena mereka telah diberi
makan. Sebagai buruh, anak-anak tersebut seringkali mendapatkan upah yang tidak layak.
Dalam era industrialisasi sekarang, pengusaha industri justru memperoleh
keuntungan yang sangat besar dari pekerja anak. Bahkan pekerja anak sangat diminati karena mereka bisa bekerja secara produktif seperti orang dewasa
diupah dengan murah. Intinya, dalam hubungan kerja, pekerja anak tersebut bisa
dieksploitasi tanpa ada perlawanan. Berbeda dengan pekerja dewasa (apalagi memiliki serikat pekerja) yang sewaktu-waktu bisa memberontak dengan berbagai
tuntutan seperti peningkatan upah.
Masalah eksploitasi terhadap pekerja anak bukan hanya soal upah, melainkan soal jam kerja yang panjang, resiko kecelakaan, gangguan kesehatan, dan menjadi
obyek pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa. Berdasarkan peraturan yang ditetapkan Pemerintah tentang Ketenagakerjaan (UU Nomor 13
Tahun 2003), usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, usia 13-14 tahun hanya boleh bekerja 3 jam per hari, dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 8 jam per hari tetapi dalam kondisi yang tidak membahayakan fisik dan mental. Kenyataan
di lapangan, pekerja anak sebagian besar berusia 13-14 tahun yang bekerja rata-rata selama 6-7 jam per hari. Bahkan banyak anak-anak tersebut bekerja di sektor
berbahaya dan tidak manusiawi untuk dilakukan oleh anak-anak. Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera untuk mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, ada empat
pekerjaan terburuk bagi ana
yakni:
1. Semua bentuk perbudakan atau praktik yang menyerupai praktik perbudakan, seperti penjualan dan perhambaan, serta kerja paksa atau
2. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan prostitusi,
produksi pornografi, atau pertunjukkan pornografi;
3. Penggunaan, penyediaan, dan penawaran anak untuk kegiatan terlarang,
terutama untuk produksi dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan psikotropika;
4. Pekerjaan yang pada dasarnya dan lingkungannya membahayakan
kesehatan, keselamatan, dan moral anak.
Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara pekerja anak yang ditemukan
sekarang merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga pekerja anak. Mereka tidak punya banyak pilihan selain terus menjadi pekerja dan ini bisa berlangsung hingga generasi berikutnya. Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan
anak tidak memiliki pemahaman dan akses yang cukup pada pendidikan. Kondisi ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian masyarakat yang
menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah. UU RI Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 menjamin bahwa hak anak untuk mendapatkan kehidupan layak, tumbuh kembang, hak yang terbaik bagi
anak, tidak diskriminasi dan hak berpartisipasi dalam menyatakan pendapat. Kesejahteraan anak merupakan Hak Asasi Manusia yang melekat pada setiap
anak-anak Indonesia.
Secara hukum, negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, pada
kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang masih terjadi adalah
membawa dampak-dampak buruk bagi anak-anak, baik secara fisik maupun
psikis. Lebih jauh, bekerja dikhawatirkan akan menggangu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Pekerja anak tersebut kehilangan
kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.
Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena
keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar. Bagaimanapun juga mereka akan kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak
rentan putus sekolah.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa permasalah besar yang dihadapi pekerja anak, khususnya pada anak yang tingkat ekonomi keluarganya
sangat rendah dan berada dalam kondisi kemiskinan adalah anak dituntut untuk mencari nafkah dengan bekerja sebagai pekerja anak untuk menolong
perekonomian keluarga. Penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan kehidupan pekerja anak, dalam hal ini adalah pekerja anak penyusun batu bata dan apa saja faktor-faktor yang mengakibatkan anak bekerja di Desa Sekip Kecamatan
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah kehidupan pekerja anak penyusun batu bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja di kilang batu bata tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Menjelaskan kehidupan pekerja anak penyusun batu bata di Jalan Pelak
Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang
2. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan anak bekerja
3. Menjelaskan dampak dari bekerja bagi diri anak tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa khususnya mahasiswa studi pembangunan serta dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi ilmu sosial, masyarakat
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang pekerja anak penyusun batu bata