1 ABSTRACT
RACISM IN FILM SELMA
(John Fiske Semiotics Analysis on Reality, Representation, and Ideology Racism in Selma Film By Ava DuVernay)
By:
Yoga Aditya Windrawan NIM : 41811119
This thesis under the guidance of: Drs. Alex Sobur, M.Si
The objective of the study is to analyze meanings in Selma movie related on racism content. The study uses qualitative approach with semiotics analysis of John Fiske. The object of the study is movie sequences which are divided into three sequences: Prolog, Ideological Content, and Epilog and the sequences present three levels: reality, representation, and ideology.
The study also combines The Codes of Television form John Fiske and scenario plot model of Richard Krevolin to get incisive analysis.
The conclusion of the study shows that racism content in Selma movie can be identified from reality level which are indicated from the style of how the players talk, expression, and attitude; then representation level indicated from conventional code which are narration, dialog, character, conflict, and actions; the last one is ideology level based on the codes of television theory of john fiske and scenario plot model of Richard krevolin to determine a sequence to be the focus of analysis in order to get an incisive analysis of Selma movie.
The writer suggests community should be more sensitive of messages contained in movies whether they are positive or negative ones. Other suggestion is for next writer/researcher who does the same kind of study to do better.
Keyword: semiotics, john fiske, the codes of television, Selma, ideology.
I. Latar Belakang Masalah
Selma, begitu film ini diberi nama sesuai dengan nama daerah dimana gerakan
revolusioner besar dilakukan oleh seorang
Martin Luther King, Jr. Selma adalah sebuah kota di negara bagian Alabama, yang menjadi
awal perjuangan seorang Martin Luther King,
Jr dalam mengesahkan undang-undang
kesetaraan hak warga kulit hitam yang
bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi rasial kepada warga kulit hitam sekaligus
untuk menjadi bagian dalam demokrasi yaitu
memiliki hak suara dalam pemilihan umum
yang sebelumnya suara mereka “dibungkam”
oleh white supremacy atau pandangan yang menempatkan orang kulit putih diatas kulit
hitam.
Muaknya Martin Luther King, Jr
terhadap diskriminasi rasial di Selma yang berlatar belakang pengekangan hak-hak
kesetaraan sipil membuat seorang Doktor
yang juga pendeta ini memutuskan untuk
meninggalkan keluarganya di Atlanta dan
segera bertolak menuju Selma untuk membantu memperjuangkan hak-hak
masyarakat kulit hitam setelah sebelumnya ia
mendapatkan nobel perdamaian di Oslo,
2 Berawal dari pengeboman gereja yang
didalamnya berisi beberapa orang dan yang
menjadi korban adalah anak-anak negro,
Martin Luther King, Jr akhirnya tergerak
untuk melakukan sebuah unjuk rasa damai di
Selma. Ia memberikan khotbah di gereja setempat untuk memberikan motivasi kepada
para warga kulit hitam yang kemudian
mengajak mereka untuk melakukan long march dari Selma ke Montgomery yg
notabene ibukota negara bagian Alabama atau yang disebut Montgomery March.
Ribuan orang melakukan long march, berjalan kaki dari Selma ke Montgomery, sebagai bentuk protes dan desakan terhadap
Presiden Amerika Serikat, Lyndon Baines
Johnson, untuk menandatangani Voting Rights Act yang berisi kesetaraan hak-hak sipil.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan penuturan pada latar
belakang di atas, maka peneliti dapat
merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
A. Pertanyaan Makro
Bagaimana rasisme dalam film Selma?
B. Pertanyaan Mikro
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut, maka peneliti dapat mengambil
pertanyaan mikro sebagai berikut:
1. Bagaimana level realitas rasisme dalam film Selma?
2. Bagaimana level representasi rasisme dalam film Selma?
3. Bagaimana level ideologi rasisme dalam film Selma?
III. Maksud dan Tujuan Penelitian
A. Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui dan
menjelaskan secara lebih mendalam
bagaimana rasisme dalam film Selma.
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui level realitas rasisme dalam film Selma.
2. Untuk mengetahui level representasi rasisme dalam film
Selma.
3. Untuk mengetahui level ideologi rasisme dalam film Selma.
IV. Kegunaan Penelitian
A. Kegunaan Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi suatu sarana untuk
pengembangan pegembangan
penelitian kualitatif studi semiotika
khususnya pada media film. Dari
seluruh proses penelitian diharapkan
mampu memperluas kajian ilmu
komunikasi, khususnya kajian
pemaknaan perbedaan suku, ras, dan
agama dalam hal ini sebuah film.
B. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan memberi
pengetahuan dan pengalaman bagi
3 lanjut mengenai dunia perfilman,
serta sebagai pembelajaran di
dunia perfilman. Dari penelitian
ini juga dapat menunjukkan
bahwa dari sebuah film terdapat
suatu pesan atau makna tertentu.
Dalam hal ini juga ideologi
rasisme dapat menjadi
pengetahuan tersendiri bagi
peneliti.
b. Bagi Universitas
Penelitian ini diharapkan berguna
bagi mahasiswa Unikom
umumnya, khususnya bagi
Program Studi Ilmu Komunikasi.
Juga diharapkan dapat menjadi
bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini juga
diharapkan berguna bagi
masyarakat untuk memberikan
pemahaman mengenai kajian
semiotika serta pemahaman
mengenai sebuah film.
Kebanyakan khalayak belum
banyak yang mengerti apa makna
yang ada dalam sebuah film.
Masyarakat hanya menyaksikan
sebuah film dari unsur hiburannya saja, tanpa mengerti apa maksud
dari suatu film tersebut, sehingga
penelitian ini pun dirasa sangat
berguna untuk menambah
pengetahuan bagi penggemar
film. Serta penelitian ini juga
diharapkan berguna bagi para
masyarakat yang senang dalam
mempelajari hal-hal yang
menyangkut kajian ilmu
komunikasi.
V. Tinjauan tentang Komunikasi Massa
Secara sederhana, komunikasi massa
adalah komunikasi yang dilakukan melalui
media massa dan ditujukan kepada khlayak
luas. Telah banyak pula ahli yang
mendefinisikan komunikasi massa.
Komunikasi massa (mass
communication) adalah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat
kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas,
siaran radio dan televisi yang ditujukan
kepada umum, dan film yang dipertunjukkan
di gedung-gedung bioskop (Effendy,
2003:79). Definisi yang paling sederhana
tentang komunikasi massa dirumuskan oleh Bittner, “Komunikasi massa adalah pesan
yang dikomunikasikan melalui media massa
pada sejumlah besar orang” (Mass
communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people).
Dari definisi yang dirumuskan oleh
Bittner tersebut dapat diketahui bahwa
komunikasi itu harus menggunakan media
massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu
disampaikan kepada khalayak yang banyak,
seperti rapat akbar di lapangan luas yang
dihadiri ribuan, bahkan puluhan ribu orang,
jika tidak menggunakan media massa, maka
itu bukan komunikasi massa. Media
4 adalah: radio siaran dan televisi –keduanya
dikenal sebagai media elektronik; surat kabar
dan majalah –keduanya disebut media cetak;
serta media film. Film sebagai media
komunikasi massa adalah bioskop (Rakhmat,
2003:188; Ardianto, dkk, 2009:3).
VI. Kerangka Pemikiran
Dalam menganalisa Representasi rasisme dalam film Selma, peneliti
menggunakan teori The Codes of Television oleh John Fiske. Peneliti memilih beberapa
kode yang ada dalam teori the codes of television John Fiske. Beberapa kode televisi ini akan lebih mempermudah peneliti dalam
meneliti representasi rasisme dalam film.
Kode–kode televisi (Television codes)
adalah teori yang dikemukakan oleh John
Fiske atau yang biasa disebut kode–kode yang
digunakan dalam dunia pertelevisian.
Menurut Fiske, kode–kode yang muncul atau
yang digunakan dalam acara televisi tersebut
saling berhubungan sehingga terbentuk
sebuah makna. Menurut teori ini pula, sebuah
realitas tidak muncul begitu saja melalui
kode–kode yang timbul, namun juga diolah
melalui pengindraan serat referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa televisi, sehingga
sebuah kode akan dipersepsikan secara
berbeda oleh orang yang berbeda juga.
Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang
diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama. Tanda itu menunjuk sesuatu, yakni objeknya. (Fiske, 2007: 63).
Semiotika adalah studi mengenai
pertandaan dan makna dari sistem tanda, ilmu
tentang tanda, bagaimana makna dibangun
dalam teks media, atau studi tentang
bagaimana tanda dari jenis karya apapun
dalam masyarakat yang mengkonsumsi
makna. (Fiske, 2007: 282).
Menurut John Fiske, ada tiga bidang berbeda, cara–cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara–cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Sistem atau kode yang
mengorganisasikan tanda. Studi ini mencangkup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode– kode dan tanda–tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. (Fiske, 2007: 60).
VII. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memilih
untuk menggunakan analisis semiotika John
Fiske karena dirasakan cocok dengan apa
5 berpendapat bahwa realitas adalah produk
pokok yang dibuat oleh manusia. Dari
ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske
berpandangan apa yang ditampilkan di layar
kaca, seperti film, adalah merupakan realitas
sosial.
John Fiske kemudian membagi
pengkodean dalam tiga level pengkodean
tayangan televisi, dimana dalam hal ini juga
berlaku pada film, yang pertama level realitas,
lalu level representasi, dan yang terakhir level
ideologi
1. Level Reality : Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan,
kostum, riasan, lingkungan, tingkah
laku, cara berbicara, bahasa atau gerak
tubuh, ekspresi, suara, dll.
2. Level Representation : Di level kedua ini kode yang termasuk di dalamnya
adalah seputar kode kode teknik,
seperti kamera, pencahayaan, editing,
musik, dan suara. Di mana level ini
mentransmisikan kode-kode
konvensional.
3. Level Ideology : Level ini adalah hasil dari level realita dan level
representasi yang terorganisir atau
terkategorikan kepada penerimaan dan
hubungan sosial oleh kode-kode
ideologi, seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme,
kapitalisme, dan lain-lain.
VIII.Hasil Penelitian
Terdapat beberapa sequence yang di analisis dari film Selma ini dengan konsepsi
pemikiran John Fiske. Semiotika yang dikaji
oleh Fiske antara lain membahas bahwa
semiotika adalah studi tentang pertandaan dan
pemaknaan dari sistem tanda, ilmu tentang
tanda, tentang bagaimana makna dibangun, dalam “teks” media, atau studi bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam
masyarakat yang mengkomunikasikan makna.
Film merupakan merupakan bidang
kajian yang sangat relevan bagi analisis
srtuktural atau semiotika. Film umumnya
dibangun oleh banyak tanda-tanda yang
bekerja sama dengan baik dalam upaya
mencapai efek yang diharapkan. Dalam
menganalisis teks berbentuk gambar bergerak
atau moving picture yang sering digunakan adalah teori tentang The Codes of Television. Teori ini menyatakan bahwa sebuah peristiwa
yang digambarkan dalam sebuah gambar
bergerak memiliki kode sosial,
kode-kode teknik, kode-kode-kode-kode representasional serta
kode-kode konvesional
IX. Pembahasan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa beberapa kode-kode
sosial mengintepretasikan ideologi rasisme.
Beberapa tentunya tidak menerjemahkan
rasisme itu sendiri, namun ada beberapa kode
penunjang seperti kode percakapan, lingkungan, perilaku, dan lain sebagainya.
Kode-kode tersebut berfungsi sebagai alat
kesatuan yang menyatukan keselarasan satu
kode dan kode lainnya dalam film tersebut,
sehingga penonton dapat melihat peristiwa
6 nyata dan segala bentuk yang berupa
tindakan, ideologi, dan gambaran tentang
rasisme dalam film dapat ditangkap dan
dipahami.
Peneliti melihat bahwa perpaduan
kode-kode yang saling melengkapi dalam
menyampaikan makna dalam film Selma. Selain itu peneliti juga melihat bahwa film
Selma ini sesuai dengan The Codes of Television milik John Fiske yang mana
menurutnya realitas dapat dikodekan. atau
lebih tepatnya satu – satunya cara penonton
dapat melihat dan menganggap film sebagai
suatu realitas ketika kode-kode dalam film
tersebut sesuai dengan budaya yang berlaku.
Peneliti dalam hal ini melihat adanya
keterkaitan antara teori The Codes of Television dari John Fiske dan model alur skenario (scene-o-gram) dari Richard Krevolin yang mana keduanya
menggolongkan tiga sub bagian dalam
analisis utamanya yaitu awal cerita (prolog),
inti cerita (ideological content), dan akhir
cerita (epilog) yang mengilhami peneliti
untuk mengambil tiga sequence utama untuk dianalisis.
Metode Tujuh Besar dari Richard Krevolin berpengaruh besar dalam “mengatur ritme” analisis sekaligus agar analisis tidak keluar jalur. Berdasarkan metode Tujuh Besar
tersebut peneliti dapat menyimpulkan inti film
secara keseluruhan sesuai dengan alur
penulisan skenario yang baik dan benar.
Bagaimana sebuah film dapat dikatakan
berhasil mengadaptasi berbagai unsur
kehidupan ke dalam skenario adalah dengan
memenuhi aspek tersebut (Richard Krevolin,
2003).
Martin Luther King, Jr berhasil
didaulat menjadi tokoh utama, karena
dianggap paling memenuhi ketujuh aspek
tersebut dapat dilihat dari sequence pertama (prolog) yaitu dalam level realitas (ekspresi) yang menampilkan Martin Luther King, Jr
dua scene sekaligus yang berarti menjawab poin pertama dalam metode Tujuh Besar
Richard Krevolin.
Kemudian poin kedua dapat dijawab
dari sequence kedua (ideological content) yaitu dalam level realitas (speech) yang mana
Martin Luther King, Jr menggelar pidato yang
sekaligus mengawali perjuangan warga kulit
hitam dari Selma memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara.
Poin selanjutnya yaitu poin ketiga
(siapa yang menghalangi tokoh utama dalam mencapai tujuannya?) masih terdapat pada sequence kedua yaitu ideological content yang didalamnya terdapat level representasi (character) yang mana menjelaskan bahwa siapakah tokoh skeptis dalam film ini.
Bagaimana tokoh utama berhasil mencapai tujuannya dengan cara yang luar biasa? atau poin keempat dalam metode
Tujuh Besar, dijawab dalam level ideologi yang terdapat dalam sequence epilog. Perjuangan Martin Luther King, Jr yang
mengerahkan massa untuk melakukan unjuk
rasa tanpa kekerasan dalam rangka
memperjuangkan kesetaraan hak warga kulit
hitam berhasil meluluhkan orang nomor satu
7 Lyndon Baines Johnson berubah pikiran dan
dengan segera mengesahkan undang-undang
kesetaraan hak warga kulit hitam didepan
parlemen pemerintahan yang sekaligus
menjawab poin keempat dalam metode Tujuh Besar Richard Krevolin (bagaimana akhirnya tokoh utama mencapai tujuannya dengan cara yang luar biasa).
Poin kelima mengacu lebih kepada
bagaimana peneliti melihat bagaimana cerita
dalam film ini berakhir atau Apa yang ingin disampaikan dengan mengakhiri cerita
seperti ini?. Peneliti melihat bahwa film ini ingin menyampaikan (setelah menganalisis
kode-kode yang terdapat dalam setiap
sequence) bagaimana seharusnya rakyat berjuang, yaitu perjuangan tanpa henti, aksi
damai tanpa kekerasan, dan menghapuskan
ideologi rasisme.
Bagaimana cerita ini dikisahkan?. Secara keseluruhan film ini diadaptasi dari
kejadian aslinya (based in true story). Atau biasa disebut film Biography.
Kemudian poin terakhir (bagaimana tokoh utama dan karakter-karakter lain berubah?), ditampilkan oleh bagaimana Martin Luther King, Jr berubah pikiran ketika
sedang memimpin long march sehingga
akhirnya memutuskan untuk kembali dan
otomatis menarik massa kembali ke kota Selma dengan alasan tidak ingin melihat
korban jatuh untuk yang kesekian kalinya.
Terlepas dari semua metode dan
model analisis yang digunakan, peneliti
melihat bahwa Selma memiliki pesan persuasif yang tersamarkan oleh kode-kode
baik itu realitas, representasi/konvensional,
dan ideologi. Namun kembali lagi, kembali
kepada penafsiran penonton itu sendiri
bagaimana mereka menangkap makna yang
tersamarkan melalui kode-kode yang
diciptakan oleh sutradara dalam film ini.
Film Selma adalah sebuah film biografi yang menceritakan tentang
bagaimana keadaan negara bagian Alabama
khususnya kota Selma yang tindak
diskriminasi rasialnya sangat
mengkhawatirkan. Sesuai dengan cerita
aslinya, digambarkan seorang tokoh yang
menjadi fokus utama dalam film yaitu Martin
Luther King, Jr. Martin adalah seorag tokoh
penghapusan tindak rasisme di Amerika
bersama Rosa Parks dan Malcolm X yang
juga dianggap sebagai pelopor pejuang
kesetaraan hak-hak warga kulit hitam di
Amerika.
Malcolm X yang hanya ditampilkan
sebagai pemeran sidekick, cukup merepresentasikan kode berupa karakter.
Dengan menampilkan karakter Malcolm X,
Ava DuVernay berhasil menyelipkan kode
yang nantinya dapat dimaknai oleh para
penontonnya. Kecermatan dalam memaknai kode akan dapat dengan baik menerjemahkan
maksud yang tersembunyi di dalam film.
Dengan karakter Malcolm X sebagai tokoh perjuangan melawan rasisme, penonton akan
dapat dapat tergiring terhadap sebuah ideologi
yang menurut Karl Marx adalah kesadaran
palsu yaitu ideologi rasisme. Sutradara Ava
8 memasukkan tokoh Malcolm X untuk
menguatkan ideologi film ini.
Selain Malcolm X yang ditampilkan
sebagai karakter, masih banyak kode-kode
yang ditemukan oleh peneliti dalam film
Selma, seperti contohnya perilaku (behavior), dari gubernur George Wallace yang secara
terang-terangan ditampilkan sebagai tokoh
skeptis. Kode sosial berupa perilaku
(behavior) tersebut kontras membuat film ini
terkesan pro negro yang dikuatkan dengan
mayoritas pemerannya yang berkulit hitam
serta sutradara yang juga berkulit hitam.
Selain itu, peneliti juga melihat bahwa
seharusnya praktik rasisme dapat dihapuskan
melalui media film sebagai cara yang kreatif
karena berkaitan dengan fenomena sosial dan
emosional. Melalui tayangan film yang
menunjukan fenomena yang tepat serta
pengemasan yang baik, pesan perlawanan
terhadap rasisme melalui film dapat menjadi
pengetahuan baru bagi masyarakat khususnya
penonton yang tidak mengetahui sebelumnya,
dan menjadi pengetuk pintu hati bagi
orang-orang yang sedang dihadapkan pada masalah
diskriminasi sosial. Dan secara khusus
peneliti juga berharap bahwa film ini dapat
menjadi cambukan bagi para pelaku tindak
diskriminasi rasial yang sampai saat ini tidak
dapat dipungkiri bahwa masih banyak kasus-kasus yang mencederai indahnya
keberagaman suku dan ras.
A. Pembahasan level realitas, representasi, dan ideologi
Berdasarkan uraian peneliti
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
film Selma sangat kental dengan nuansa rasisme. Walaupun tidak
semua scene dalam film ini
menampakkan nuansa rasisme namun
dari semua kode-kode yang
terkandung dalam film ini mengacu
kepada “The Codes of Television” milik John Fiske, pada akhirnya
semuanya akan saling berkaitan
membentuk dan mengerucut menjadi
sebuah representasi dari rasisme itu
sendiri, karena kode-kode dalam film
seperti dikatakan John Fiske akan
saling menunjang. Walaupun
kode-kode tersebut sebagai penunjang,
namun keberadaan kode-kode tersebut
tidak dapat dihilangkan
keberadaannya, karena kode-kode
penunjang berfungsi sebagai alat
kesatuan yang menyatukan
keselarasan satu kode dan kode
lainnya dalam film tersebut, sehingga
penonton dapat melihat peristiwa yang
terjadi dalam film sebagai sesuatu
yang nyata dan representasi rasisme
dalam film dapat ditangkap dan
dipahami.
Dari perpaduan kode-kode
tersebut yang saling melengkapi
makna dari film Selma, maka peneliti menganggap bahwa film Selma sangat
satu-9 satunya cara penonton dapat melihat
dan menganggap film sebagai suatu
realitas ketika kode-kode dalam film
tersebut sesuai dengan budaya yang
berlaku. Pada film Selma yang diangkat dari kejadian asli tersebut
penonton dapat menerjemahkan
dengan mudah kode-kode telah
dipaparkan dengan sedemikian rupa
sebagai sebuah realitas dan makna
dengan baik.
Film Selma sendiri diadaptasi dari kisah nyata perjuangan seorang
Martin Luther King, Jr. Selma diharapkan dapat memacu semangat
pluralisme di negeri liberal atau
singkatnya dapat setidaknya
mengurangi diskriminasi rasial di
Amerika Serikat dewasa ini. Martin
Luther King, Jr yang notabene seorang
pengagum Mahatma Gandhi,
mengikuti langkah Gandhi untuk tidak
melakukan aksi kekerasan dalam
memperjuangkan hak. Martin Luther
King, Jr adalah seorang pejuang
kemanusiaan kulit hitam yang menjadi
sejarah di Amerika Serikat bersama
Rosa Parks dan Malcolm X.
Ava DuVernay selaku
sutradara berhasil memoles David Oyelowo sedemikian rupa sehingga
sosoknya dipuji banyak orang dalam
film ini karena kualitas aktingnya
mampu membawa ingatan para
penonton kembali melihat sosok
Martin Luther King, Jr. Bersama
Oprah Winfrey yang juga mengalami
tindakan diskriminasi rasial sejak
kecil, Ava DuVernay berhasil
menyulap film biografi ini menjadi
sesuatu yang luar biasa. Masuk ke
dalam beberapa nominasi di ajang
penghargaan film besar dunia,
memengangkan beberapa piala
termasuk Oscar.
B. Level Realitas
Secara keseluruhan level
realitas dalam film Selma berusaha digambarkan secara eksplisit sesuai
dengan cerita aslinya. Walaupun tidak
mungkin sama persis dengan cerita
asli, namun peneliti menilai usaha Ava
DuVernay dalam menggambarkan
seni transformasi kode-kode sosial
sangat baik.
Dari segi Appereance (penampilan), David Oyelowo berhasil
disulap menjadi seorang Martin Luther
King, Jr. Ia harus mengorbankan
kumis dan jenggotnya demi berperan
total dalam film ini, namun usahanya
pun berbuah manis, ia mendapatkan
beberapa penghargaan sebagai aktor
terbaik dari beberapa asosiasi film.
Diadaptasi dari The Codes of Television karya John Fiske yang kemudian digabungkan dengan model
Richard Krevolin, peneliti berhasil
menemukan kode sosial yang
merepresentasikan rasisme di awal
cerita. Dimulai dari bagaimana tokoh
10 berupa cara berbicara, ekspresi, dan
perilaku dengan baik sehingga
penonton dapat menyimpulkan sendiri
bahwa tokoh utama yaitu Martin
Luther King, Jr sesuai dengan karakter
aslinya.
C. Level Representasi
Setelah melakukan analisis,
sesuai dengan judul dari penelitian ini
maka tidak dapat dipungkiri bahwa
analisis level representasi adalah salah
satu poin penting yang harus
diperhatikan. Diantaranya kode-kode
sosial yang telah dijelaskan oleh John
Fiske dalam bukunya The Codes of Television khususnya dalam menganalisis poin-poin penting dalam
level representasi. Adalah teknik pengambilan gambar, editing, pencahayaan, dan suara.
Kode-kode representasional
tersebut, kemudian ditransmisikan dan
direpresentasikan melalui kode-kode
konvensional, kode-kode tersebut
terdiri dari karakter, konflik, aksi,
setting, dialog, dan narasi.
D. Level Ideologi
Persoalan rasisme ini
menimbulkan berbagai sikap dan
dampak yang beragam dalam masyarakat diantaranya adalah
kekerasan rasial (racial harassment) yang merupakan tindakan ancaman,
intimidasi baik secara psikologis,
sosial maupun fisik yang diarahkan
kepada individu atau kelompok dari
ras tertentu (Liliweri, 2005: 29).
Dengan begitu hasil analisis untuk
level ideologi ini sangatlah bergantung kepada apa yang makna yang didapat
dari banyaknya kode-kode sosial yang
ditampilkan.
X. Kesimpulan
Film Selma adalah sebuah film biografi yang menceritakan tentang kisah
perjuangan warga kulit hitam khususnya di kota Selma dengan tokoh yang menjadi fokus
utama yaitu Martin Luther King, Jr. Kisah
perjuangan Martin Luther King, Jr yang kala
itu baru saja mendapatkan nobel perdamaian
di Oslo, Norwegia, harus pulang dengan
kekecewaan setelah mendengar bahwa telah
terjadi kasus diskriminasi rasial berat di
Selma yang mana salah satunya adalah pengeboman gereja yang didalamnya terdapat
beberapa orang anak dari warga kulit hitam.
Dari analisis yang telah dilakuan,
peneliti dapat menangkap makna rasisme
dalam film ini dengan memadukan teori The Codes of Television dari John Fiske dengan model alur skenario (scene-o-gram) dan metode Tujuh Besar dari Richard Krevolin yang menghasilkan pengambilan sequence
yang hanya mengacu kepada prolog (awal
cerita), ideological content (inti cerita), dan epilog (akhir cerita) dan agar analisis tidak
keluar jalur dan terstruktur. Setelah itu
kemudian peneliti menggabungkan kode-kode
11 dengan yang terdapat dalam The Codes of
Television dari John Fiske.
XI. Saran
A. Saran Bagi Universitas
Analisis semiotika merupakan
sebuah analisis yang tepat untuk
meneliti sebuah komunikasi yang
banyak dibangun oleh tanda, kode,
dan simbol. Dalam hal ini sebuah film
yang notabene sebuah gambar
bergerak lengkap dengan isi cerita,
teknik pengambilan gambar, dan
unsur-unsur ideologis.
B. Saran Bagi Masyarakat
Saran bagi masyarakat adalah
hendaknya jika menyaksikan sebuah
tayangan televisi atau film dengan
memandang sebuah realitas melalui
historical realism yaitu berpandangan bahwa realitas itu telah terbentuk oleh
proses sejarah, dan kekuatan sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan
sebagainya.
XII. Daftar Pustaka
Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media. Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi
Indonesiai. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Dalam Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Dahl, Robert A. 1985, Dilema Demokrasi Pluralis. Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: Rajawali Pers
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta : Jalasutra.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Fiske, John. 2007. Cultural and
Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
_________. 1987. Television Culture. London : Routledge.
Hikmat, Mahi M. 2011. Komunikasi Politik Teori dan Praktik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Indiwan, Seto. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Krevolin, Richard. 2003. How to Adapt Anything Into a Screenplay. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Liliweri, Alo, 2003. Makna Budaya Dalam
Komunikasi Antar budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
_________. 2005. Prasangka dan Konflik, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya __________.2012. Analisis Teks Media:
Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono, 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
12 Sunarjo, Djoenaesih S. 1991. Pengantar Ilmu
Komunikasi Jilid I. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Toer, Pramoedya Ananta. (1998). Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Garda Budaya Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika Dalam Riset
Komunikasi. Bogor : Ghalia Indonesia. Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Internet :
http://belajar-sejarah45.blogspot.com/2012/03/probl ems-of-racism-in-america.html
Karya Ilmiah :
Safitri, Imar. 2014. Representasi Berakhirnya Politik Apartheid dalam Film Invictus karya Sutradara Clint Eastwood (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Berakhirnya Politik Apartheid dalam Film Invictus karya Sutradara Clint Eastwood). Universitas Komputer Indonesia. Arneldi, Berry. 2013. Representasi Waktu
Dalam Film In Time (Analisis Semiotik John Fiske Mengenai Representasi Waktu Dalam Film In Time). Universitas Komputer Indonesia.
v ABSTRACT
RACISM IN FILM SELMA
(John Fiske Semiotics Analysis on Reality, Representation, and Ideology Racism in Selma Film By Ava DuVernay)
By:
Yoga Aditya Windrawan NIM: 41811119
This thesis under the guidance of: Drs. Alex Sobur, M.Si
The objective of the study is to analyze meanings in Selma movie related on racism content.
The study uses qualitative approach with semiotics analysis of John Fiske. The object of the study is movie sequences which are divided into three sequences: Prolog, Ideological Content, and Epilog and the sequences present three levels: reality, representation, and ideology.
The study also combines The Codes of Television form John Fiske and scenario plot model of Richard Krevolin to get incisive analysis.
The conclusion of the study shows that racism content in Selma movie can be identified from reality level which are indicated from the style of how the players talk, expression, and attitude; then representation level indicated from conventional code which are narration, dialog, character, conflict, and actions; the last one is ideology level based on the codes of television theory of john fiske and scenario plot model of Richard krevolin to determine a sequence to be the focus of analysis in order to get an incisive analysis of Selma movie.
The writer suggests community should be more sensitive of messages contained in movies whether they are positive or negative ones. Other suggestion is for next writer/researcher who does the same kind of study to do better.
iv ABSTRAK
RASISME DALAM FILM SELMA
(Analisis Semiotika John Fiske mengenai Realitas, Representasi, dan Ideologi Rasisme dalam Film Selma Karya Ava DuVernay)
Oleh :
Yoga Aditya Windrawan NIM : 41811119
Skripsi ini dibawah bimbingan : Drs. Alex Sobur, M.Si
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menganalisis apa saja makna yang terdapat dalam film Selma yang berkaitan dengan rasisme.
Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika John Fiske. Objek yang dianalisis merupakan sequence yang terdapat dalam film Selma dengan membagi kedalam tiga sequence yaitu sequence Prolog, Ideological Content, dan Epilog yang merepresentasikan 3 level yaitu level realitas, level representasi, level ideologi.
Dalam hasil penelitian ini selain menggunakan The Codes of Television dari John Fiske peneliti juga menggabungkan dengan model alur skenario Richard Krevolin diantaranya untuk mempertajam analisis.
Dapat disimpulkan bahwa rasisme dalam film Selma dapat dilihat dari Level realitas yang dikodekan melalui cara berbicara, ekspresi, dan perilaku, kemudian level representasi yang dimunculkan melalui kode konvensional berupa narasi, dialog, karakter, konflik, dan aksi, lalu level ideologi sesuai dengan teori The Codes of Television dari John Fiske sedangkan model alur skenario Richard Krevolin digunakan untuk menentukan sequence mana yang akan menjadi fokus analisis dan mempertajam hasil analisis dari film Selma itu sendiri.
Peneliti memberikan saran bagi peneliti selanjutnya yang akan membuat skripsi dengan metodologi serupa dengan lebih baik lagi, kemudian saran bagi masyarakat untuk lebih peka terhadap pesan-pesan yang dikodekan dalam film yang sebenarnya bermuatan positif atau bahkan negatif sekalipun.
43 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan analisis
semiotika John Fiske karena dirasakan cocok dengan apa yang akan peneliti teliti.
John Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk pokok yang dibuat oleh
manusia. Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang
ditampilkan di layar kaca, seperti film, adalah merupakan realitas sosial.
John Fiske kemudian membagi pengkodean dalam tiga level pengkodean
tayangan televisi, dimana dalam hal ini juga berlaku pada film, yang pertama level
realitas, lalu level representasi, dan yang terakhir level ideologi
1. Level Reality : Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan,
kostum, riasan, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak
tubuh, ekspresi, suara, dll.
2. Level Representation : Di level kedua ini kode yang termasuk di dalamnya
adalah seputar kode kode teknik, seperti kamera, pencahayaan, editing,
musik, dan suara. Di mana level ini mentransmisikan kode-kode
konvensional.
3. Level Ideology : Level ini adalah hasil dari level realita dan level
representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan
hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki,
44
Level Satu: Realitas
Realitas rasisme dalam sequence film Selma yang terdiri dari
penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, tingkah laku, cara
berbicara, gerak tubuh, ekspresi, suara, dll
Level Dua: Representasi
Sebagai pengirim conventional representational codes
(kode-kode representasi yang umum), yang mana merupakan bentuk
dari representasi, sebagai contoh: Cerita, konflik, karakter,
dialog, seting, dan lain-lain.
Level Tiga: Ideologi
Kemudian antara realitas dan representasi disusun kedalam
hubungan dan diterima secara sosial oleh ideological codes
(kode-kode ideologi).
Gambar 3.1
Proses kode televisi John Fiske
Sumber: Television Culture, John Fiske, (1987: 5)
Sehingga dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan bagaimana makna Realitas, Representasi, dan Ideologi
45
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini
adalah:
3.3.1 Studi Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dari sumber–
sumber tertulis untuk memperoleh informasi mengenai penelitian ini. Studi
kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan
atau sedang diteliti. Baik dari buku ataupun dari catatan lainnya. Studi
pustaka juga dilengkapi dengan dokumentasi dan internet searching.
1. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumentasi digunakan untuk
memperkuat analisis yang dilakukan.
2. Penelusuran Data Online
Dengan perkembangan teknologi saat ini, internet menjadi media
informasi untuk mencari atau mendapatkan data yang dibutuhkan
dalam penelitian. Karena itu peneliti memilih internet sebagai salah
satu alat bantu dalam tenik pengumpulan data. Selain itu internet
menjadi wadah informasi yang dapat menampung berbagai data
46
Peneliti menggunakan penelusuran data on-line dalam
penelitian ini, karena dalam internet terdapat banyak informasi, bahan
dan sumber data yang beragam dan dinamis yang kemungkinan belum
ada dalam bentuk fisknya di masyarakat. Di bantu dengan fungsi
internet itu sendiri sebagai media jejaring di seluruh dunia, maka data
yang diperoleh pun dapat dibandingkan atau ditambahkan dengan
beragam data atau informasi dari daerah, bahkan Negara di dunia.
3.3 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa pengujian
peneliti menggunakan uji credibility atau uji kepercayaan terhadap hasil
penelitian. Uji keabsahan data ini diperlukan untuk menentukan valid atau
tidaknya suatu temuan atau data yang dilaporkan peneliti dengan yang terjadi
sesuguhnya dilapangan.
Cara pengujian kredibilitas data atau kepercayaan terhadap hasil penelitian
menurut Sugiyono dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisi
kasus negatif dan member check. (Sugiyono, 2010: 270)
Dalam penelitian ini, uji keabsahan data yang digunakan oleh peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih
cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data
47
2. Diskusi Dengan Teman Sejawat
Diskusi dengan berbagai kalangan yang memahami masalah penelitian,
akan memberi informasi yang berarti kepada peneliti, sekaligus sebagai
upaya untuk mengkaji keabsahan penelitian. Cara ini dilakukan dengan
mengekspos hasil sementara dan atau hasil akhir untuk didiskusikan secara
analistis. Diskusi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran hasil
penelitian serta mencari titik–titik kekeliruan interpretasi dengan
klasifikasi penafsiran dari pihak lain.
3.4 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data merupakan teknik yang mengacu pada penelaahan atau
pengujian yang sistematik mengenai suatu hal dalam rangka mengetahui
bagian-bagian, hubungan diantara bagian-bagian, dan hubungan bagian dengan keseluruhan.
Bodgan & Biklen menyatakan bahwa Analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memmutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bodgandan Biklen dalam Moleong,
2007:248)
Logika yang dilakukan dalam penarikan kesimpulan penelitian kualitatif
dari yang khusus kepada yang umum atau bersifat induktif, seperti dikemukakan
Faisal (dalam Bungin, 2003: 68-69) bahwa dalam penelitian kualitatif digunakan
48
bukan dari umum ke khusus sebagaimana dalam logika deduktif verifikatif.
Karenanya, antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data menjadi tak
mungkin dipisahkan satu sama lain keduanya berlangsung secara simultan atau
berlangsung serempak. Prosesnya berbentuk siklus, bukan linier.
Terdapat beberapa tahap dalam analisa data yang umum dilakukan dalam
penelitian kualitatif, seperti yang dikemukakan oleh Huberman dan Miles dalam
Bungin (2003:69). Tahapan tersebut yaitu:
1. Kategorisasi dan reduksi data, peneliti mengumpulkan informasi-informasi
yang penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya
mengelompokan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.
2. Sajian data. Data yang telah terkumpul dan dikelompokan itu kemudian
disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah
komponen-komponen penting dari sajian data.
3. Penarikan kesimpulan. Pada tahap ini, peneliti melakukan interpretasi data
sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian. Dari
interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab
masalah penelitian.
Teknik analisis data pada penelitian ini dilakukan berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh John Fiske tentang “The Codes of Television” dalam buku
“Television Culture”. Teknik ini berguna untuk menunjukan bagaimana
representasi rasisme dalam film Selma.
Setelah memperoleh data penelitian, maka hal yang dilakukan selanjutnya
49
dari keseluruhan film dan memilih apa yang menjadi pokok pikiran disetiap
sequence-nya.
Pengambilan sequence untuk penelitian menggunakan fungsi narasi Propp.
Setiap fungsi narasi Propp dapat terdiri dari sejumlah adegan atau scene yang
terdapat dalam film.
Fungsi narasi Propp yang dikelompokkan oleh Fiske menjadi enam bagian,
yaitu preparation (persiapan), complication (komplikasi), transference
(pemindahan), struggle (perjuangan), return (kembalinya), serta recognition
(pengakuan).
Dari keenam bagian fungsi narasi Propp, Sequence yang di teliti dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Prolog (sequence pembuka) yang terdiri dari preparation dan
complication. Preparation merupakan tahap pembentuk cerita dalam film
dengan memperkenalkan para tokoh serta situasi awal dari permasalahan
yang terjadi dalam film. Complication merupakan tahap yang
menunjukkan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi oleh para tokoh
dalam film.
2. Ideological Content terdiri dari transference dan struggle. Transference
dimaknai sebagai tahap perjalanan para tokoh dalam melaksanakan
misinya sedangkan Struggle merupakan tahap perjuangan tokoh utama
dalam melakukan perlawanan terhadap apa yang menjadi lawannya dalam
50
3. Epilog (Sequence penutup) terdiri dari return dan recognition. Return
dimaknai sebagai kembalinya tokoh utama dari misi yang ia jalankan, dan
recognition adalah tahap penyelesaian dari masalah (Fiske 1987:135-136).
3.5 Lokasi dan waktu penelitian
3.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di kota Bandung, Jawa Barat.
3.5.1 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan dari Februari 2015 sampai dengan
51
Tabel 3.1
Waktu dan Kegiatan Penelitian
No. Kegiatan Bulan
Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus
1. Pengajuan Judul
2. Pengesahan Judul
3. Penulisan Bab I
4. Bimbingan
5. Penulisan Bab II
6. Penulisan Bab III
7. Bimbingan
8. Seminar UP
9. Pengumpulan Data
10. Pengolahan Data
11. Penulisan Bab IV
12. Bimbingan
13. Penulisan Bab V
14. Bimbingan
15. Penyusunan Seluruh Bab
16. Sidang Skripsi
17. Revisi Skripsi
RASISME DALAM FILM SELMA
(Analisis Semiotika John Fiske mengenai Realitas, Representasi, dan Ideologi Rasisme dalam Film Selma karya Ava DuVernay)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (I) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik
Disusun oleh
Yoga Aditya Windrawan
41811119
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
ix DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.2.1 Pertanyaan Makro ... 5
1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 5
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1 Maksud penelitian... 5
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 6
1.4.1 Kegunaan Teoritis... 6
x
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka ... 8
2.1.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu... 8
2.1.2 Tinjauan tentang Komunikasi ... 11
2.1.2.1 Pengertian Komunikasi ... 12
2.1.2.2 Proses Komunikasi ... 12
2.1.3 Tinjauan tentang Komunikasi Massa ... 13
2.1.3.1 Definisi Komunikasi Massa ... 13
2.1.3.2 Karakteristik Komunikasi Massa ... 14
2.1.3.3 Fungsi Komunikasi Massa ... 15
2.1.4 Tinjauan tentang Film ... 18
2.1.4.1 Sejarah Film ... 18
2.1.4.2 Pengertian Film ... 20
2.1.4.3 Jenis-jenis Film ... 19
2.1.5 Tinjauan tentang Representasi ... 21
2.1.6 Tinjauan tentang Rasisme ... 22
2.1.7 Ras, rasisme, dan rasialisme ... 22
2.1.7.1 Sejarah Rasisme di Amerika Serikat ... 24
2.1.8 Tinjauan tentang Teori Identitas Sosial ... 27
2.1.9 Tinjauan tentang Semiotik ... 28
2.2 Kerangka Pemikiran ... 30
2.2.1 Kerangka Teoretis... 30
xi BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ... 40
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 42
3.2.1 Studi Pustaka ... 42
3.3 Uji Keabsahan Data ... 43
3.4 Teknik Analisa Data ... 44
3.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47
3.6.1 Lokasi Penelitian ... 47
3.6.2 Waktu Penelitian ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil Penelitian ... 49
4.1.1 Gambaran Objek Penelitian ... 46
4.1.1.1Pemeran dan Tim Produksi Film Selma ... 62
4.1.1.2Penghargaan Film Selma ... 64
4.1.1.3Model Alur Skenario Richard Krevolin... 64
4.1.2 Hasil analisis film Selma pada sequence ke-1 (Prolog) ... 69
4.1.3 Hasil analisis film Selma pada sequence kedua (Ideological Content) ... 75
4.1.4 Hasil analisis film Selma pada sequence ke-3 (Epilog) ... 78
4.2Pembahasan ... 84
4.2.1 Pembahasan level realitas, representasi, dan ideologi ... 88
xii
4.2.3 Level Representasi ... 93
4.2.4 Level Ideologi ... 94
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 965.2 Saran ... 98
5.1.2 Saran Bagi Universitas ... 98
5.1.3 Saran Bagi Masyarakat ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN
105
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, Siti Karlinah. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi Indonesiai. Bandung. Simbiosa Rekatama Media.
Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Dalam Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Dahl, Robert A. 1985, Dilema Demokrasi Pluralis. Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: Rajawali Pers
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta : Jalasutra.
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
_________. 1987. Television Culture. London : Routledge.
Hikmat, Mahi M. 2011. Komunikasi Politik Teori dan Praktik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Indiwan, Seto. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media.
Krevolin, Richard. 2003. How to Adapt Anything Into a Screenplay. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Liliweri, Alo, 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar budaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
_________. 2005. Prasangka dan Konflik, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
106
__________.2012. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono, 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Sumarno, 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
Sunarjo, Djoenaesih S. 1991. Pengantar Ilmu Komunikasi Jilid I. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Toer, Pramoedya Ananta. (1998). Hoakiau di Indonesia. Jakarta: Garda Budaya
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika Dalam Riset Komunikasi. Bogor : Ghalia Indonesia.
Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta : Graha Ilmu
Internet :
http://belajar-sejarah45.blogspot.com/2012/03/problems-of-racism-in-america.html
Karya Ilmiah :
Safitri, Imar. 2014. Representasi Berakhirnya Politik Apartheid dalam Film Invictus karya Sutradara Clint Eastwood (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Berakhirnya Politik Apartheid dalam Film Invictus karya Sutradara Clint Eastwood). Universitas Komputer Indonesia.
Arneldi, Berry. 2013. Representasi Waktu Dalam Film In Time (Analisis Semiotik John Fiske Mengenai Representasi Waktu Dalam Film In Time). Universitas Komputer Indonesia.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Yoga Aditya Windrawan
Tempat lahir : Bandung
Tanggal lahir : 28 Mei 1990
Alamat : Komplek Tirtawening No.35/36, Kel. Cisurupan, Kec.
Cibiru Bandung
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
PENDIDIKAN
1996 – 2002 SD Ciporeat II Bandung
2002 – 2005 SMP Negeri I Gegerbitung Sukabumi
2005 – 2008 SMK Teknologi Padjadjaran Sukabumi
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur yang tak terhingga, peneliti
menyampaikan segala puji bagi Allah SWT, juga berkat usaha, doa, semangat,
bantuan, bimbingan serta dukungan yang kami terima dari berbagai pihak,
akhirnya peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya peneliti tujukan kepada Keluarga diantaranya Kakek tercinta
Soekarno Iskandar dan M. Basyar (Alm), Nenek tercinta Siti Rahayu dan Siti
Badriah, Ayahanda Hendra Hermawan, Ibunda Kintarti Widarini, adik-adikku
Billy Aprilla Windrawan dan Nasywa Aulia Windrawan yang selalu membantu
dan memberikan dukungan baik moral, spiritual, dan material serta doa kepada
peneliti hingga detik ini. Selama dalam proses penyusunan banyak kendala yang
dihadapi namun berkat bantuan yang diberikan dari berbagai pihak akhirnya
skripsi ini bisa diselesaikan.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati izinkan peneliti untuk
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
semua pihak yang telah berjasa memberikan motivasi dalam rangka
menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yth. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas
vii
2. Yth. Melly Maulin P. S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Komputer Indonesia yang berkenan untuk
membantu dalam memberikan izin dalam melakukan usulan yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi ini.
3. Yth. Drs. Alex Sobur, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah berkenan
untuk membantu dalam memberikan bimbingan juga pengarahan selama
penyusunan skripsi ini. Hormat untuk Bapak.
4. Yth. Inggar Prayoga M.I.,Kom selaku dosen wali peneliti, yang telah
membantu peneliti dalam melakukan pengarahan selama perkuliahan
hingga peneliti berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Yth. Seluruh Staf Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas
Komputer Indonesia, terima kasih dengan segala bantuan untuk membantu
kelancaran penyusunan skripsi ini.
6. Yth. Sekertariat Program Studi Ilmu Komunikasi Ibu Astri Ikawati, Amd
Kom yang telah membantu peneliti dalam proses perizinan selama
penyusunan skripsi ini.
7. Teman, adik, sahabat, dan segalanya, Niar Farisiani, Amd.KL
8. Keluarga besar Dijurnalkeun yang selalu membantu peneliti mulai dari
moril dan materil. Semangat kalian luar biasa, dukungan kalian tanpa
henti, dan semoga kita semua selalu panjang umur dan sukses.
9. Keluarga besar Ilmu Komunikasi 2010, 2011, 2012, dan 2013 bismillah
viii
10.Rekan diskusi, Guru, dan teman ngopi Tiar Renas Yutriana, S.Ikom,
Adiyana Slamet, S.IP., M.Si, dan Arie Prasetio, S.Sos., M.Si terimakasih
untuk pinjaman bukunya, sharing tentang segala hal mulai dari musik
sampai paradigma, dan terimakasih untuk pengetahuannya.
11.Tirtawening Around all generation. Terima kasih untuk spirit dan canda
tawa nya. Kalian semua keluarga terbaik.
12.Gilang Aditya Faturohman, pakar kriminalitas sekaligus saudara, teman,
kakak, adik, musuh, dan sumpah serapah. Sampai berjumpa di kesuksesan
kita masing-masing. I love you. Lang!
13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini yang
tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.
Akhir kata peneliti ucapkan terima kasih banyak pada semua pihak yang
telah membantu dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bandung, Agustus 2015
Peneliti