i
Harun Nasution merupakan satu dari sekian banyak pemikir Islam di Indonesia yang membawa perubahan terhadap IAIN. Hal tersebut dapat dilihat pada pemikiran-pemikirannya dalam bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Namun belum ditemukan para sarjana yang meneliti mengenai kehidupan Harun Nasution dari segi ibadah, moral dan pemikiran Harun Nasution. Oleh karena itu, ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupannya ini menjadi amat penting, layak dan menarik untuk diteliti. Adapun pokok masalah penelitian ini bagaimana kehidupan Harun Nasution mengenai ibadah, moral dan pemikirannya.
Dalam penelitian ini, tenik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reserach) dengan menggunakan sumber primer karya Harun Nasution, selain itu juga akan mengkomparasikan dengan referensi dari karya-karya yang telah ditulis mengenai pemikiran-pemikiran Harun Nasution ataupun lainnya yang sekiranya dapat dalam penelitian semua karya yang terkait dengan penelitian ini, penulis jadikan bahan rujukan untuk membaca pemikiran tokoh. Sedangkan dalam penelitian metode yang digunakan adalah deskriptif-analisis, yang akan mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti.
ii
taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
berudul Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution dapat
terselesaikan tanpa ada kendala yang berarti.
Penyelesaian skripsi ini bukan hanya dalam rangka untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam penyelesaian studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
program studi Aqidah Filsafat, akan tetapi juga merupakan sebuah ketertarikan
penulis terhadap pemikiran Harun Nasution. Namun penelitian ini tidak akan
terselesaikan pula jika tanpa adanya berbagai pihak dalam membantu baik itu spirit
atau materil yang turut memegang andil dalam terselesainya skripsi ini.
Ucapan terimakasi kepada Prof. Dr. Dede Rosada, MA. Selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. Dr. Syamsuri, MA selaku Ketua
Jurusan Aqidah Filsafat. Kepada Dra. Tien Rahmatin, MA, selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah Filsafat. Dan Drs. Ramlan Abdul Ghani, MA sebagai dosen Pembimbing
Akademik (PA) yang telah memberikan arahan dan nasehahatnya terhadap
penulisan skripsi ini.
Terimakasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Drs. Fakhuruddin,
MA, selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini, atas saran-saran membangun
iii mengajar atau hal-hal yang lain.
Ucapan terimakasih pula kepada segenap dosen Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan
memperluas pemikirannya, juga sudut pandang penulis. Kepada pimpinan dan
seluruh staf Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang
member kemudahan kepada penulis dengan berbagai kumpulan-kumpulan atau
koleksi karya-karya ilmiah yang dimiliki.
Salam kasih dan penghormatan yang tak terhingga penulis haturkan kepada
kedua orang tua, ayahanda Heri dan ibunda Rasima yang senantiasa selalu berdoa
tanpa henti-hentinya kepada Ilahi untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya, kepada
beliaulah karya ini saya persembahkan. Ucapan terimakasih pula kepada istri tercinta
Innani Musyarofah yang selalu ngasih dukungan semangat dan kesabaran dalam
membantu penulisan skripsi ini. Dan tak lupa pula kepada saudaraku Siti Amina
yang memberi semangat dan moril kepada penulis.
Ucapan terimakasih kepada Abdus Syakur yang telah banyak membantu
dalam penulisan dan pengoreksian penelitian ini. Juga kepada sahabat-sahabat
Aqidah Filsafat (AF) 2010 tanpa terkcuali, yang saling tukar pikiran dalam diskusi di
kelas. Dan tak lupa Kakak-kakaku, Slamet Riadi, Ahmad Baidowi, Moh. Jakfar yang
selalu memberikan semangat lewat canda tawanya.
Selagi lagi, saya ucapkan saya ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya dan
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ا
a aط
ṭ ṭب
b bظ
ẓ ẓت
t tع
، ،ث
ts thغ
gh ghج
j jف
f fح
ḥ ḥق
q qخ
kh khك
k kد
d dل
l lذ
dz dhم
m mر
r rن
n nز
z zو
w wس
s sه
h hش
sy shء
ʼ
ʼ
ص
ṣ ṣي
y yض
ḍ ḍة
h hVokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
أ
ā āيإ
ī īvi
PEDOMAN TRANSLITERASI... ... v
DAFTAR ISI ...vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
D. Tinjauan Pustaka ... 4
1 BAB I
PENDAHULAUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1970-an Indonesia dikagetkan oleh kehadiran Harun Nasution
dengan pembaharuan pemikiran yang ia kembangakan. Pembaharuan itulah yang
kemudian memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di IAIN
(Institut Agama Islam Negeri). Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim
yang sangat mendalami berbagai bidang kajian keislaman.1 Harun Nasution juga dikenal sebagai pemikir rasional yang membawa pengaruh besar terhadap pemikiran
Islam di Indonesia. Dengan kemampuan intelektualnya, Harun Nasution
mengupayakan agar pemikiran Islam yang ada sebelumnya dianggap tradisional
menjadi modern.2
Harun Nasution memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi. Ia
banyak menyoroti dan mengkritik pemikiran tradisional yang berpandangan sempit
tentang Islam. Oleh karena itu, Harun Nasution menampilkan ajaran Islam secara
utuh sehingga terlihat sangat luas. Islam tidak hanya dipahami dari aspek ibadah,
fiqih, dan tauhid. Namun, bagi Harun Nasution Islam dipandang lebih luas daripada
itu. Ajaran Islam dikatakan luas bila tidak hanya terpaku pada satu mazhab atau satu
1
Abdul Halim (ed.), Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 183.
aliran saja. Dalam upaya tersebut, Harun Nasution juga mengacu kepada
pandangan-pandangan para filosof, baik filosof-filosof Barat maupun filosof-filosof Timur.3
Harun Nasution memberikan pemahaman baru tentang Islam secara lebih utuh, tidak
hanya dalam arti pengamalan ajaran Islam dari segi ibadah, tetapi dalam arti ajaran
Islam mengandung bermacam-macam aspek, seperti aspek sosial, politik, pemikiran
Islam, dan pembaharuan dalam Islam.4
Di samping itu, sosok Harun Nasution tidak menolak atau menerima begitu
saja suatu bentuk pemikiran tanpa adanya analisis yang cermat terlebih dahulu. Bagi
Harun Nasution kelebihan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang
menyebabkan seseorang mempunyai tanggung jawab sosial. Harun Nasution tampil
kepermukaan dan memberi contoh bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan ia pun berani bertanggungjawab atas kesalahannya.5
Meskipun pribadi Harun Nasution sangat cenderung bersikap rasional dalam
memahami agama, Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang
memiliki pola hidup sederhana, jujur, amanah, rendah hati, dan sangat konsisten
dalam melaksanakan ibadah. Di samping itu, Harun Nasution juga memiliki
pandangan yang tegas mengenai keterkaitan Islam rasional yang ia maksud dengan
prinsip-prinsip moral dan hubungan sosial. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
3
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hal. 3-4.
4
Nurhidayat Muh. Said. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun Nasution (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal. iv.
5
pandangan Harun Nasution tentang ibadah, moral, dan pemikiran Islam yang
dikembangkan berjalan selaras.
Setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk menilai sosok Harun
Nasution. Ada yang beranggapan bahwa Harun Nasution adalah pemikir liberal yang
cara pandangnya dianggap berbahaya terhadap Islam. Ada pula yang beranggapan
bahwa konsepsi Islam rasional yang dikembangkan Harun Nasution justru berdapak
positif terhadap perkembangan pemikiran Islam khususnya di Indonesia.
Terlepas dari fakta di atas, kajian lebih mendalam terhadap pemikiran Harun
Nasution masih perlu dikembangkan. Banyak karya-karya sebelumnya yang
membahas tentang Harun Nasution hanya bertumpu kepada pemikiran Islam yang ia
bangun. Akan tetapi, kajian tentang pemikiran Islam yang dikembangkan Harun
Nasution yang kemudian dibenturkan dengan konsepsinya tentang moral dan ibadah
belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kehidupan Harun Nasution tentang keterkaitan pemikiran dan ketaatan
beragama di bawah judul Ibadah, Moral, dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun
Nasution.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada pemikiran Harun Nasution
merumuskan permasalahan yang akan dikaji pada skripsi penulis, yakni: Bagaimana
ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan Harun Nasution?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi dengan judul “Ibadah, Moral dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun
Nasution” ini disusun melalui penelitian pustaka untuk mencapai beberapa tujuan di
bawah ini:
1. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan Harun Nasution baik dari segi
ibadah, moral dan pemikiranya.
2. Untuk mendapatkan gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program
Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini akan bermanfaat pada terciptanya persepsi baru dan berusaha
memberikan penjelasan menyangkut kehidupan Harun Nasution tentang ibadah,
moral dan pemikiranya, yang diharapkan dapat menjadi khazanah baru baik dalam
bidang akademis maupun pada kajian Islam di Indonesia pada umumnya.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, terdapat banyak tulisan
berasal dari lingkungan UIN Jakarta, tetapi ada pula yang berasal dari luar lingkungan
UIN Jakarta. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution.”6 Sebuah
skripsi yang ditulis oleh Ach. Khomaidi. Skripsi tersebut membahas pandangan
Harun Nasution tentang hubungan akal dan wahyu. Akan tetapi penelitian tersebut
tidak menganalisis pemikiran Harun Nasution mengenai empat persoalan yang
dibahas dalam penelitian ini.
Kedua, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution.”7 Sebuah tesis yang ditulis oleh Junni. Tesis tersebut menjelaskan hubungan antara akal dan pendidikan
dalam perspektif Harun Nasution. Pendidikan akal secara aplikatif dihubungkan
dengan beberapa tema penting dalam kajian Islam, yakni sejarah, teologi, falsafat,
tasauf, hukum, politik dan pembaharuan dalam Islam.
Ketiga, “Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Pembaharuan Islam Harun Nasution.”8 Sebuh disertasi yang ditulis oleh M. Imron
Abdullah. Beberapa tema penting tentang teologi rasional yang dimunculkan dalam
6 Ach. Khumaidi, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution” (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)
7 Junni, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution” (Tesis Program Pascasarjan UIN Syarif Hidayatulalh Jakarta, 2004), hal. 113.56.
8
karya ini adalah kedudukan akal dan wahyu serta hubungannya dengan iman, ajaran
absolut dan relatif dalam al-Qur’ān, teologi sunnah Allah, free will dan
predestination, dan kekuasaan serta keadilan Tuhan.
Keempat, “Konsep Pendidikan Islam Menurut Harun Nasution.”9 Sebuah tesis
yang ditulis oleh Dicky Salahuddin. Tesis tersebut menjelaskan pendidikan dalam
perspektif Harun Nasution.
Kelima, Pembaharuan dalam Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun
Nasution, Nurhidayat Muh. Said, Jakarta: pustaka Mapan, 2006. Buku ini
menguraikan berbagai pemikiran Harun Nasution secara umum dan pemikiran Harun
Nasution secara khusus.
Sejauh ini penulis belum mendapatkan hasil penelitian (skripsi, tesis, dan
desertasi) yang spesifik membahas ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan
Harun Nasution. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini belum banyak dibahas
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Sehubungan dengan judul yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian
ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan
(library research), yaitu mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan. Data
yang terkumpul diambil dari beberapa karya-karya Harun Nasution sebagai referensi
pokok. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai penguat sekaligus pembanding.
Metode penulis yang digunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif dengan
teknik pembahasan deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu
memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang
terkait. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam
bentuk yang sistematis sehingga inti permasalahan yang dinginkan dapat tercapai
dengan baik.
Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar pedoman
karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality
Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk
pedoman transiliterasinya disesuaikan dengan pedoman Akademik Stara 1
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah membahas tentang penulisan yang lebih sistematis,
maka penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub
bab, yaitu:
Bab I, adalah pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah sehingga
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II, membahas tentang biografi Harun Nasution. Ada dua sub pembahasan
yang ditulis dalam biografi Harun Nasution, yaitu riwayat hidup dan karya-karyanya.
Riwayat hidup Harun Nasution sangat penting untuk diketahui untuk melacak
pemikirannya lebih mendalam. Dengan mengetahui karya-karyanya secara lebih
mendetail, kita juga dapat melacak pemikiran Harun Nasution secara lebih
komprehensif.
Bab III, berisi pembahasan tentang moral dan ibadah. Pembahasan tersebut
dimulai dengan teori-teori umum menyangkut paham ibadah dan moral, kemudian
diikuti dengan ibadah dan moral dalam perspektif Harun Nasution.
Bab IV, berisi pembahasan tentang pemikiran Harun Nasution yang meliputi
tiga aspek, yakni teologi, filsafat, dan mistisisme. Dalam bab ini juga dilakukan
analisis secara lebih mendalam mengenai keterkaitan konsepsi Harun Nasution
mengenai ibadah dan moral serta bagaimana keterkaitan dua hal tersebut dengan
corak pemikirannya.
Bab V, adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.
Sementara saran-saran adalah berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang penelitian
yang sudah dilakukan serta memberikan beberapa kemungkinan lain untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan
9
BIOGRAFI HARUN NASUTIOM
A. Riwayat Hidup
Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919 di Pematang
Siantar, Sumatera Utara.1 Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Saudaranya dari yang tertua adalah Mohammad Ayyub, Kholil, dan Sa„idah. Sementara adiknya
bernama Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad yang berasal dari
Mandailing, Tanah Bato, Tapanuli Selatan.2 Sedangkan ibunya bernama Maimunah3 keturunan seorang ulama yang juga berasal dari Tapanuli.4
Harun Nasution memulai pendidikan formalnya di sekolah Belanda, HIS
(Hollandsch Inlandche School), pada tahun 1926.5 Setelah itu Harun Nasution melanjutkan pendidikannya ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) sejak
1
Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution
(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 5. 2
Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution hal. 3.
3
Ariendonika, “Pemikiran Harun Nasution tentang Islam Rasional”. Disertasi (Psp IAIN Jakarta, 2002), hal. 30.
4
Waktu masih gadis, Maemunah, ibu Harun Nasution, pernah bermukim di Makkah sehingga bisa berbahasa Arab dengan baik. Dia banyak mengenal tentang Masjid al-Ḥarāmserta berbagai kegiatannya Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution
(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 4. 5
tahun 1934.6 Tiga tahun kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan di MIK, Harun Nasution melanjutkan pendidikannya ke Mesir.7
Setelah tiba di Mesir pada tahun 1938, Harun Nasution di situ tingal serumah
dengan para pelajar dari Tapanuli. Dari teman serumahnya itulah Harun Nasution
tahu bahwa di Al-Azhar ketika itu ada dua macam pelajaran. Satu sudah moderen,
sedangkan yang satunya lagi proses belajarnya menghafal.
Ketika itu, Harun Nasution tidak bisa langsung masuk ke Universitas karena
hanya memegang surat keterangan selesai kelas tiga dari MIK. Beberapa temannya
menyarankan ia harus mengambil pelajaran untuk memperoleh Ijazah Ahliyah.
Setelah belajar dengan giat, Harun Nasution memperoleh tanda lulus untuk masuk ke
Universitas. Ia masuk Universitas Al-Azhar mengambil Ushuluddin.8
Setelah menyelesaikan kuliahnya di Al-Azhar, Harun Nasution melanjutkan
kuliah di Kairo. Ia mengambil jurusan pendidikan sampai ia lulus. Harun Nasution
juga melanjutkan kuliahnya di McGill pada tahun 1962 dan mendapatkan gelar
doktor dari Institute of Islamic Studies, McGill University, pada tahun 1969.9
Begitu mendapatkan gelar doktor, Harun Nasution bercita-cita untuk
merombak pendidikan Islam melalui pendidikan tinggi. Harun Nasution menemui
6
MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta milik Abdul Ghaffar Jambek, putra Syaikh Jamil Jambek. Sekolah tersebut menggunakan bahasa Belanda sebagai salah satu bahasa pAqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, hal. 7.
7
Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, hal. 9-12.
8
Said Agil Husin Al-Munawar dkk., Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 6
9
jalanya ketika Harun Nasution mulai menapakkan kakinya di IAIN Jakarta. Maka
sejak itulah Harun Nasution bergabung dengan konsep untuk merombak IAIN.10
Setelah lebih dari empat tahun Harun Nasution mengabdikan dirinya di IAIN,
ia diangkat menjadi rektor oleh Kementerian Agama pada masa Prof. Dr. Mukti Ali.
Setelah dilantik, Harun Nasution merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan
berdasarkan pada tujuan dan fungsi IAIN atas dasar kebutuhan masyarakat. Langkah
yang dilakukannya antara lain: Pertama, mengubah kurikulum IAIN. Kedua, merubah
pemahaman agama pemahaman tradisional menjadi pemahaman rasional.11
Di samping itu, Harun Nasution juga membuka program Stara dua (S2) dan
membuka Stara tiga (S3). Dari beberapa usaha yang telah dilakukan Harun Nasution
dengan pembenahan dari segala sektor, telah melahirkan satu citra IAIN Jakarta
sekaligus menjadi identitas yang perlu terus diisi dan diperjuangkan oleh seluruh
civitas akademik. Identitas tersebut adalah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam.12
B. Karya-Karya
Harun Nasution telah banyak menulis karya ilmiah. Melalui karya-karyanya,
dia mampu memperlihatkan apa yang sebelumnya belum berani disentuh dalam
kajian Islam di Indonesia. Dia berusaha menampilkan dinamika pemikiran Islam
10
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi ( Jakarta: Gema Insani ,2007), hal. 79.
11
Harun Nasution, Teologi Islam Rasional Apresiasi TerhadapWacana dan Peraksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 14-15.
12
dalam sejarah melalui pendekatan dan perspektif baru. Karena itulah karya-karyanya
nampak kontroversial. Kalau mau disadari, justru dari situlah letak “kekuatan”
tulisan-tulisan. Dari situ kita mengerti bahwa dalam Islam tidak ada hal yang tabu
untuk diperbincangkan. Berikut karya-karya Harun Nasution yang masih bisa kita
baca sampai hari ini beserta pokok kandungannya.
Pertama, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Seperti yang sudah
disinggung di awal, buku ini adalah salah satu karya Harun Nasution yang paling
monumental. Harun Nasution menulis buku tersebut untuk memberikan perspektif
dan pendekatan baru dalam kajian Islam di Indonesia, baik dalam bidang akademis
maupun kajian Islam pada umumnya. Untuk itu, pada tahun 1973, ketika Harun
Nasution menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta, buku tersebut dijadikan buku
wajib bagi seluruh mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku tersebut adalah buku pertama
di Indonesia yang secara komprehensif berusaha menampilkan Islam dari berbagai
aspek, yakni dari aspek filsafat, teologi, mistisisme, sejarah, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya.
Kedua, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan
(1972). Buku ini memberikan gambaran yang cukup rinci mengenai berbagai aliran
dalam teologi Islam. Pembahasannya dimulai dari sejarah kemunculan
persoalan-persoalan teologis sehingga dari perdebatan persoalan-persoalan-persoalan-persoalan tersebut muncul
berbagai paham dan aliran. Paham dan aliran tersebut misalnya Syī„ah, Khawārij,
Qadariyyah dan Jabariyyah, Mu„tazilah, dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā„ah. Dalam
lain. Keterkaitan tersebut dilihat dari segi historis dan tema-tema yang diperdebatkan.
Kemudian, diikuti dengan studi analisis dari masing-masing aliran terhadap
tema-tema tertentu yang menjadi perbincangan dalam teologi Islam. Tema-tema-tema tersebut
adalah fungsi akal dan wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan
konsep iman dalam Islam. Buku tersebut menyimpulkan bahwa berbagai perbedaan
yang ada dalam Islam dikarenakan perbedaan penafsiran terhadap al-Qur‟ān dan
Ḥadīst sehingga aliran-aliran tersebut tidak bisa dikatakan keluar dari Islam.13
Ketiga, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1973). Buku ini terdiri dari dua
pokok pembahasan. Bagian pertama, membahas falsafat Islam. Bagian ini diawali
dengan pembahasan mengenai kontak pertama Islam dan falsafat Yunani serta
pengaruhnya pada Islam. Dilanjutkan dengan pembahasan tokoh-tokoh penting dalam
falsafat Islam seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazzālī dan Ibn Rusyd. Bagian
kedua, membahas tentang tasawuf. Pembahasan ini diawali dengan berbagai definisi
tentang tasawuf. Kemudian dilanjutkan dengan tema-tema penting dalam ajaran
tasawuf seperti al-zuhd, al-maḥabbah, al-ma‘rifah, al-fanā’dan al-baqā’, al-ittiḥād, al-ḥulūl dan waḥdah al-wujūd.
Keempat, Falsafat Agama (1973). Pertama, Harun Nasution memulai
penjelasannya dengan memberikan keterangan tentang definisi falsafat agama,
epistemologi dan kebenaran wahyu sebagai sumber pengetahuan. Kedua, tentang
13
konsep-konsep ketuhanan dan argumen-argumen keberadaan Tuhan. Terakhir,
membahas tema-tema penting dalam falsafat agama seperti roh, perbuatan baik dan
buruk, serta kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kelima, Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini berasal dari teks
ceramah yang disampaikan di depan sivitas akademik di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 23 September 1978, yakni ceramah wajib sebagai syarat kenaikan
pangkat. Ceramah tersebut juga pernah disampaikan di Gedung Kebangkitan
Nasional Jakarta pada 17 Januari 1979 yang diselenggarakan oleh Yayasan Idayu
Jakarta. Ceramah tersebut diberi judul Kedudukan Akal dalam Islam.14 Kemudian
naskah ceramah tersebut diterbitkan oleh UI-Press Jakarta dengan judul yang
berbeda, yaitu Akal dan Wahyu dalam Islam. Dalam buku itu dijelaskan pengertian
akal dan wahyu, kedudukan akal dalam al-Qur‟ān dan Ḥadīts, perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam, dan peran akal dalam Islam. Buku ini menyimpulkan
bahwa penggunaan akal dalam Islam memang atas dasar perintah al-Qur‟ān. Oleh
karena itu, akal dan wahyu dalam Islam itu tidak bertentangan.15
Keenam, Muḥammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (1986). Isi buku ini merupakan kandungan pokok dari pembahasan disertasi Harun Nasution The
Pleace of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and
14
Ceramah tersebut sempat diterbitkan sebagai buku stensilan dengan judul yang sama,
Kedudukan Akal dalam Islam (Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1979). Kemudian pada tahun 1982 naskah tersebut diterbitkan kembali oleh UI-Press Jakarta dengan judul Akal dan Wahyu dalam Islam
dan tersebar lebih luas. Sementara isinya tidak jauh berbeda, kecuali sedikit tambahan penjelasan.
15
Views (Posisi Akal dalam Teologi Muḥammad „Abduh: Pengaruh terhadap Sistem
dan Pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan pertama kali oleh UI-Press Jakarta
pada 1987. Dalam buku ini dijelaskan sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep
iman yang merupakan studi analisis terhadap pemikiran teologi Muḥammad „Abduh
dan Mu„tazilah. Dalam buku ini Harun Nasution menyimpulkan bahwa pemikiran
Muḥammad „Abduh punya banyak kesamaan dengan pemikiran Mu„tazilah. Bahkan
Muḥammad „Abduh menempatkan kedudukan akal lebih tinggi daripada kedudukan
akal dalam pandangan Mu„tazilah. Oleh karena itu, Muḥammad „Abduh lebih
cenderung disebut sebagai failasuf daripada sebagai seorang teolog.16
Ketujuh, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975).
Buku ini menggambarkan pembaharuan Islam yang secara dinamis memberikan
respon terhadap berbagai perkembangan modern. Di dalam buku tersebut
digambarkan dengan jelas bagaimana pergolakan ide dan gagasan para tokoh
pembaharu Islam dengan gagasan dan gerakannya yang berbeda-beda, tetapi masih
dalam satu tujuan, yakni untuk memajukan dan menyelaraskan Islam dengan
perkembangan modern. Perbedaan gagasan pembaharuan tersebut memunculkan
berbagai gerakan yang berbeda-beda. Gagasan dan gerakan tersebut muncul sebagai
respon terhadap situasi dan kondisi sosial-politik yang berbeda-beda, sehingga
membutuhkan penyelesaian yang berbeda pula. Gerakan pembaharuan tersebut
misalnya dalam bidang budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan sistem
16
pemerintahan. Buku tersebut mengambil bentuk pembaharuan yang terjadi di Mesir,
Turki, dan India-Pakistan dengan menunjukkan sejumlah tokoh yang dianggap
berperan penting dalam pembaharuan tersebut. Pembaharuan modern pada tiga
negara tersebut dianggap representatif untuk menggambarkan berbagai pembaharuan
yang terjadi di dunia Islam pada umumnya.
Kedelapan, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Buku ini adalah
kumpulan naskah-naskah ceramah dan diskusi sejak tahun 1970 sampai 1974 yang
diberikan oleh Harun Nasution dalam berbagai tempat dan kesempatan. Buku ini
diterbitkan oleh penerbit Mizan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994.
Dengan membaca seluruh naskah dalam buku tersebut di atas, pembaca bisa
memahami pemikiran Harun Nasution secara lebih utuh dan komprehensif tentang
18 BAB III
KONSEPSI IBADAH DAN MORAL HARUN NASUTION
A. Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab, ‘ibādah yang merupakab bentuk
masdar dari ‘abada-ya’budu- ‘ibādah yang artinya pengabdian. Secara lebih luas kata
ibadah berarti al-țā’ah (patuh), al-khudū’ (tunduk) dan al-tāzallul (merendahkan diri). 1 Berdasarkan pengertian di atas, secara terminologis ibadah berarti kebaktian dan ketundukan kepada yang Maha Esa atau perbuatan untuk menyatakan bakti kapada Allah yang disadari dengan ketaatan dan keikhlasan mengerjakan perintah-Nya dan meningalkan
apa yang dilarang-Nya.2
Para ulama membagi ibadah menjadi ibadah maḥḍah dan ghayr maḥḍah.
Ibadah maḥḍah adalah suatu pekerjaan yang diperintah Allah dan merupakan
hubungan langsung antara manusia dengan Allah, seperti salat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ibadah ghayr maḥḍah adalah segala macam perbuatan untuk mencapai
rida Allah, seperti belajar, bekerja, bertani dan berdagang.3 Ibadah maḥḍah dan ghayr maḥḍah ini mempunyai jalan yang berbeda, tapi tujuannya sama.
1
Lahmuddin Nasution, Fiqih 1 (Jakarta: lobos,1995), hal.2.
2
Anton M. Moliono dkk., Kamus bersar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 318
3
Terkait dengan ibadah maḥḍah, Nabi Muḥammad dalam satu kesempatan
ditanya oleh malaikat Jibrīl tentang arti dari keimanan, keislaman dan akhlak, Nabi
menjawab:
Islam di bangun atas lima pondasi: melafalkan syahadatain (dua persaksian), tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa dan haji. (HR. Imam al-Bukhari).4
Sementara itu, ibadah ghayr maḥḍah adalah ibadah yang pelaksanaanya tidak
memiliki hubungan langsung dengan Sang Khalik, tetapi berhubungan dengan
sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Di samping sebagai bentuk pengabdian
kepada Tuhan, ibadah ghayr maḥḍah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan
sosial, alam, dan budaya. Hal ini ditinjau dari produk kreatifitasnya, meskipun model
ibadah ini tidak murni. Dengan kata lain, ibadah model ini adalah kemaslahatan yang
sejatinya memiliki dalil tidak langsung dari al-Qur’ān dan adīts. Artinya, prinsip
dari ibadah ini hanya disinggung secara umum dalam teks keagamaan.5 Dalam hal ini
Nabi pernah bersabdah:
Jika terkait dengan persoalan (kemaslahatan) urusan duniawi kalian tetapi, maka itu terserah kalian (mana yang terbaik). Tetapi apabila terkait dengan agama kalian maka itu urusanku”. (HR. Ibn Majah)6
Jika merujuk kembali kepada al-Qur’ān dan Sunnah, niscaya kita akan
mendapatkan kesimpulan bahwa pengertian ibadah secara umum tidak hanya terbatas
4
Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhari (Dār Thawqīn
al-Najat), cet I, hal.11. 5
Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Grafindo Media Utama, 2008), hal. 225 6 Al-Qazwaynī, Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yāzid,
Sunan Ibn Majah (Dār Iḥyā’ al-Kutub
pada perkara-perkara yang bersifat wajib, akan tetapi mencangkup segala sisi
kehidupan. Jadi makna kehidupan adalah satu kesatuan, segala sesuatu yang terdapat
di dalamnya hanya milik Allah. Bagi setiap hamba yang saleh, tiada yang berlalu
tanpa ibadah. Dalam pelaksanaan ibadah, manusia tentu saja memilih ibadah yang
dianggap paling utama, baik kelipatan pahalanya, maupun manfaat langsung yang
bisa dirasakannya. Ibadah adalah wujud ketundukan dan pemujaan manusia kepada
Tuhan. Hanya dengan Tuhanlah manusia bisa menjalin hubungan semacam itu, tidak
dengan yang lainnya. Tidak ada yang melebihi kekuasaan Allah dan tidak ada yang
lebih kuasa selain diri-Nya. Allah adalah Sang Pencipta dan satu-satunya penguasa
alam. Manusia harus mengabdi kepada-Nya dan tidak boleh menyekutukannya.7 Hakikat ibadah dan pendekatan diri kepada Allah dibangun atas dua hal.
Pertama, menyembah, yaitu merendahkan diri kapada Allah dengan melakukan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, yang disembah meliputi segala
sesuatu yang dicintai dan diridoinya oleh Allah, yang berupa kenyataan dan
perbuatan, yang nampak dan yang tersembunyi seperti doa, zikir, salat. Misalnya,
salat merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk sarana yang
paling efektif untuk beribadah kepada Allah. Menyembah semata-mata karena Allah
dan merendahkan diri kepada-Nya, mengagumkan-Nya dan tidak menyembah kecuali
yang telah disyari‘atkan-Nya.8
7
Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin ( Jakarta: Serambi, 2007 ), hal. 14.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna di antara
makhluk-makhluk lainnya. Ajaran agama menunjukan dengan jelas bahwa pada hakikatnya
manusia adalah mahkluk yang menyembah Tuhan. Jika ternyata mereka menyembah
binatang, bulan atau sesama manusia, itu adalah penyimpangan yang terjadi pada diri
manusia. Yang disembah pertama kali bukan patung, manusia, atau objek-objek
lainnya, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini karena manusia memiliki naluri
beribadah, atau yang disebut naluri keberagamaan.9
Manusia beribadah sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal akidah,
perkataan, dan perbuatan, serta pengamal segala perintah dan larangannya tanpa
meminta imbalan. Karena Allah menciptakan manusia supaya mereka beribadah
kepadanya. Akan tetapi, ibadah yang dilakukan manusia tidaklah membawa manfaat
apapun bagi-Nya dan kedurhakaan manusia pun tidak akan menambah besar dan
kemuliaan-Nya. Allah tidak akan memerintahkan manusia kecuali dengan hal-hal
yang membawa kebijakan bagi diri manusia sendiri. Mereka yang patuh akan diberi
pahala yang baik di surga, dengan berbagai nikmat yang tiada taranya.10 Allah Swt. berfirman:
Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (al-An‘ām: 162-163).11
9
Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah, hal, 11.
10
Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, hal. 6. 11
Penjelasan di atas menunjukan bahwa segala sesuatu yang telah dilakukan
oleh manusia hanya untuk Allah tiada sekutu bagi-Nya. Dengan melakukan ibadah,
manusia akan tau dan selalu sadar bahwa betapa hina dan lemah dirinya bila
berhadapan dengan kekuasaan Allah. Jadi, ibadah merupakan wujud ketundukan
manusia kepada Tuhan karena sesuatu yang datang kepada manusia berawal dari
Tuhan dan akan kembali pada Tuhan dan manusia diciptakan hanya untuk
menyembah-Nya bukan untuk menyekutukan-Nya.
2. Ibadah Menurut Harun Nasution
Harun Nasution berpendapat bahwa manusia tersusun dari dua unsur: unsur
jasmani dan rohani. Unsur jasmani maksudnya adalah bahwa manusia tersusun dari
materi (jasad) yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan materi dan unsur ini bisa
membawa manusia kepada perilaku kejahatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
rohani adalah bahwa manusia berasal dari immateri sehingga mempunyai kebutuhan
immateri (batin) dan unsur ini bisa membawa manusia kepada kebaikan.12 Oleh karena itu, seseorang seharusnya bisa menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan
immateri agar hidup manusia serasi dan tidak berat sebelah. Kemudian Harun
Nasution memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan bahwa ibadahlah yang
bisa menyeimbangkan antara rohani dan jasmani. Semua yang ada dalam ibadah
Islam bertujuan membuat rohani manusia bisa bersih dari kotoran-kotoran yang
menjadi penghalang dalam beribadah.
12
Harun Nasution mengungkapkan bahwa ibadah adalah mengerjakan perintah
Tuhan dan menjalankannya dengan tidak meminta imbalan. Semua ibadah baik itu
salat, puasa, haji, dan zakat, semuanya bertujuan supaya roh manusia tidak lupa pada
Tuhan, bahkan senantiasa dekat dengan-Nya.13
Di antara ibadah yang membawa manusia dekat dengan Tuhannya adalah
salat, karena ibadah salat adalah sistem peribadatan yang diwajibkan oleh Allah
kepada umat manusia melalui Nabi Muḥammad. Sistem peribadatan salat merupakan
panduan dari Allah kepada manusia tentang tata cara berhubungan atau menghadap
kehadirat-Nya, baik panduan unsur jasmani, maupun unsur rohani.14
Kedekatan manusia dengan Tuhan di saat salat merupakan penyerahan diri
kapada Tuhan dan memohon supaya rohani manusia untuk disucikan atau
dibersihkan. Jasmani dan rohani adalah satu kesatuan yang ada dalam diri manusia,
yang diciptakan Tuhan hanya untuk menyembah kepadanya. Pengembangan daya
jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan daya rohani akan menjadi berat sebelah
dan tidak seimbang di dalam hidupnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting supaya roh yang ada dalam diri manusia
mendapat latihan dengan ibadah, sebagaimana badan manusia dapat latihan. Dalam
salat seseorang melakukannya hal-hal berikut: menuju Kemahasucian Tuhan,
menyerahkan diri pada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan setan,
13
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: jalid I , hal. 31. 14
memohon petunjuk ke jalan yang benar, dan memohon dijauhkan dari segala yang
tidak baik.15
Selain dari apa yang telah dikatakan Harun Nasution, misalnya bahwa salat
membawa manusia dekat dengan Tuhan, Harun Nasution juga melaksanakan ibadah
lainnya seperti zakat, puasa wajib atau sunnah, dan haji. Ia tidak hanya berpendapat
apa yang dimaksud dengan ibadah, tetapi ia mengerjakan dan memperaktekan dari
apa yang dikatakannya.
Terlihat dari perkataan Sumarso—anak angkat Harun Nasution bahwa Harun
Nasution sangat tekun dalam menjalankan ibadah. Terutama sebelum Harun Nasution
melaksanakan salat subuh, ia sudah bangun untuk salat sunah dan berzikir, kira-kira
subuh tinggal setengah jam lagi Harun Nasution membangunkan keluarganya untuk
salat berjamaah bersama. Hal itu berlangsung secara berkelanjutan dan istiqomah
setiap hari.16
Selain yang telah dikatakan oleh anak angkatnya, berkenaan dengan pribadi
Harun Nasution dalam melaksanakan ibadah, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga
mengungkapkan,
Peribadatan Harun Nasution sangat tekun. Hal ini terlihat pada waktu salat jum’at. Beliau berangkat ke masjid setengah jam sebelum azan atau khotbah dimulai. Tempat duduk Harun Nasution ada di barisan pertama. Akan tetapi, beliau tidak di dalam, melainkan di luar, di dekat kaca atau dinding pembatas
15
Andang B. Malla, Merasakan Allah: Salat yang Disambut Allah, hal. 31. 16
bagian dalam dengan bagian luar masjid. Beliau juga berzikir dan membaca ayat al-Qur’ān.17
Selain dari itu, pelaksanaan ibadah yang ditempatkan dalam konteks
kehidupan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan
Islam. Ibadah mengandung dua pengertian, yakni ibadah praktik sekaligus konsep.
Ibadah bukan semata-mata merupakan serangkaian praktek, ritual, dan simbol.18
Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah seperti
halnya penyembahan yang terdapat dalam ajaran agama-agama primitif. Manusia
diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah, mengabdi, dan sebenarnya Tuhan
tidak berhajad untuk disembah atau dipuja manusia karena Tuhan adalah Maha
Sempurna.19
Menurut Harun Nasution ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan
pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’ān dikaitkan dengan takwa, dan takwa
(patuh) berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya. Perintah
Tuhan berkaitan dengan baik buruk, sedangkan larangan Tuhan berkaitan dengan
berbuatan-berbuatan yang tidak baik.20 Orang bertakwa dengan demikian orang yang
melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya, seseorang yang bertakwa
adalah orang yang berahlak mulia.21
17
Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan M.A., tangal 06 Oktober 2015 pukul 12: 25.
18
Muhammad Muhyidin, Hidup di pusaran Al-Fatihah ( Bandung: Mizan, 2008 ), hal. 12. 19
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jalid I ( Jakarta-UI Press, 1985 ), hal 32.
20
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran ( Bandung: Mizan, 1995 ), hal. 57.
21
3. Tujuan Iibadah
Ibadah bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah
memiliki tujuan mulia. Salat misalnya, tidak bermakna apapun bila tidak berdampak
pada pencegahan dari perbuatan keji dan mungkar. Begitu juga dengan puasa, ia tidak
bermakna apapun bila tidak mampu membuat pelakunya meninggalkan perilaku
kebohongan. Sama halnya dengan haji dan zakat yang dilakukan hanya karena ingin
dipuji (riyā’) dan pamer kepada orang lain. Meski demikian, tidak berarti bahwa
ibadah boleh ditinggalkan ketika tujuannya tidak dicapai. Yang dimaksud di sini
adalah ibadah yang dilakukan harus menimbulkan dampak bagi pembentukan jiwa
yang ikhlas dan tercapainya tujuan ibadah.22 Dalam hal ini, Harun Nasution mengartikan bahwa manusia diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah kepada
Tuhan yaitu mengerjakan perintah-Nya dan menyerahkan diri untuk tunduk dan
menjaga diri dari hukuman hari kiamat, melakukan perintahnya dan menjahui
larangannya.23 Ungkapan Harun Nasution di atas menunjukan bahwa ibadah itu membawa kebaikan dan menghilangkan kepada keburukan. Kemudian Allah
berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 21-22 sebagai berikut:
Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan tujuan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan
22
Musthafa Dib Al-Bugha, Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawiyya (Jakarta: Mizan Publik, 2007), hal. 20.
23
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya. (al-Baqarah: 21-22).24
Berdasarkan Firman Allah di atas, jelas bahwa manusia beserta isinya
diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan. Karena itu, manusia beserta isinya tidak
boleh menyekutukan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.
Sebagaimana menurut Muḥammad ‘Abduh, ibadah adalah suatu bentuk ketundukan
dan ketaatan yang mencapai puncak sebagai dampak dari rasa pengagungan yang
bersemai dalam lubuk hati seseorang. Rasa itu lahir akibat keyakinan dalam diri
seseorang bahwa objek dari ibadah memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau
hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa yang disembah dalam
ibadahnya adalah Allah yang menguasai jiwa raganya, namun Allah berada di luar
jangkauannya.25
Menurut Harun Nasution tujuan dari ibadah ialah mendekatkan diri kepada
Tuhan yang menguasai alam beserta isinya, karena dengan ibadah manusia bisa ingat
kepada hal-hal yang bersih dan suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang akan
kuat oleh dorongan ibadah kepada Allah.26 Dengan demikian, ibadah dari segala
bentuknya adalah tujuan hidup, bahkan hakikat kehidupan itu sendiri. Maka, rutinitas
hidup seorang Muslim hakikatnya adalah pelaksanaan berbagai bentuk ibadah.
Rasulullah bersabda, pada akhir zaman terjadilah ummatku tiga golongan.
Pertama, golongan yang beribadah kepada Allah secara ikhlas. Kedua, golongangan
24
Endang Hendra dkk., Al-Quran Cordoba (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2012). Hal. 4.
25
M. Fauzi Rahman, Ibadah-Ibadah Saat Haid (Bandung: Mizania Pustaka,2010), hal. 45. 26
yang beribadah kepada Allah secara riyā’. Ketiga, golongan yang beribadah kepada
Allah untuk mencari makan (kekayaan) dengan memperalat manusia.27
Dari ketiga golongan di atas sudah jelas bahwa tidak semua ibadah yang di
laksanakan manusia betul-betul mengikhlaskan diri kepada Allah, melainkan
mempunyai tujuan tersendiri di antara ibadah-ibadah yang dilaksanakannya. Ibadah
dalam Islam tidak hanya terbatas dalam ucapan atau bacaan dan doa tertentu, tetapi
mencakup aktifitas duniawi sepanjang dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas,
serta mencangkup syarat-syarat yang telah ditentukan. Hal ini dapat dipahami dari
firman Allah surat al-Dzāriyāt ayat 51 yang artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.28
Hal ini menjelaskan tentang tujuan diciptakan jin dan manusia. Tidak ada satu
pun yang bermanfaat dan bermakna, tanpa dilakukannya ibadah. Oleh karena itu,
bentuk peribadatan yang dilakukan manusia mempunyai tujuan keikhlasan dan
ketundukan kepada Tuhan. Manfaat dari ibadah yang dilakukan oleh manusia, maka
akan kembali kepada manusia sendiri.29
Tujuan akhir ibadah yang diwajibkan Allah kepada manusia adalah setiap
perkataan, perbuatan, tingkah laku, akhlak sehari-hari, dan hubungan manusia dengan
27
Hamim Thohari, Cara-Cara Ibadah (Jakarta: Pustaka Inti, 2002), hal 37. 28
Syuhud Muchson, Dahsyatnya Shalat Tasbih (Jakarta: Qultum Media,2009), hal. 35. 29
sesamanya sesuai dengan manhaj (Jalan)30 dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Hendaklah setiap muslim melaksanakan semua perintah
dan menjauhi semua larangan-Nya, dan menyerahkan seluruh kepercayaan hanya
kepada Allah semata. Karena seseorang tidak boleh memisahkan ibadah dengan
tujuan. 31
Jadi bisa dipahami bahwa, ibadah tujuannya adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mejauhi larangan-Nya. Dengan demikian roh manusia senantiasa
diangkat kepada hal-hal bersih dan suci, dan akhirnya rasa kesucian seseorang
menjadi kuat dan tajam. Roh yang suci membawa kepada budi pekerti yang baik dan
luhur, oleh karena itu ibadah di samping latihan spiritual, juga merupakan latihan
moral.32
Ibadah yang ada dalam Islam erat hubungannya dengan pembinaan moral
manusia. Misalnya salat, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’ān bahwa salat
diperintahkan untuk menjauhkan manusia dari perbuatan jahat dan perbuatan tidak
terpuji. Puasa juga demikian, dalam al-Qur’ān dijelaskan bahwa puasa yang
dilakukan dengan ikhlas menimbulkan rasa takwa. Haji, ditegaskan dalam al-Qur’ān,
orang tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Mengenai zakat,
berhubungan dengan seruan pada perbuatan baik, baik yang berbentuk senyuman atau
lain sebagainya serta larangan berbut jahat. Oleh karena itu, wajar apabila Harun
30
Mahaj dalam bahasa Arab sama dengan Minhaj yang bermakna sebuah jalan yang terang lagi mudah. Dalam buku Ahmad Sihidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa (Jakarta: Impulse, 2007), hal. 45.
31
Abdur Rahman Abdul Kholiq, Sistem Da’wah Salafiyah Generasi Pertama Islam (Jakarta: Gema Insani, 2007 ). Hal. 36.
32
Nasution sering mengungkapkan bahwa ibadah dalam Islam berkaitan erat dengan
pembinaan akhlak. Apabila ibadahnya baik maka akhlak juga baik.33
Dengan demikian, berbagai hal mengenai ibadah yang dijelaskan oleh Harun
Nasution tampak lebih mementingkan (menekan) aspek kualitasnya dari pada aspek
hukum formal dari ibadah tersebut. Artinya, bagi Harun Nasution perwujudan ibadah
dalam realitas kehidupan seseorang lebih berharga daripada hanya mengerjakan
ibadah itu secara formal. Ibadah yang hanya dilakukan secara rutinitas formal saja,
tanpa ada pengaruhnya dalam setiap aktifitas seseorang, tidak punya banyak arti,
bahkan akan sia-sia saja, dalam arti tidak punya daya guna.
B. Moral
1. Pengertian Moral
Kata moral34 berasal dari kata latin ”mos-moris” yang berarti “adat kebiasaan”. Pengertian moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum yang
berkenaan dengan perbuatan, sikap, kewajiban manusia. Moral adalah aturan kongkrit
bagi penilaian baik buruknya perilaku manusia.
Di samping kata moral, terdapat istilah lain yang secara umum sering
dianggap memilki pengertian yang sama, yakni “etika”. Secara etimologis, kata etika
berasal dari kata Yunani “ethos”, yang secara harfiah juga berarti, “adat kebiasaan”,
33
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 444. 34
watak, atau “kelakuan manusia”. Istilah etika dipakai untuk menyambut ilmu dan
prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku manusia.35
Berdasarkan definisi tersebut maka istilah moral dan etika memiliki
pengertian yang sama, yakni sebuah penilaian yang sesuai dengan ide-ide yang
diterima secara umum dari tindakan manusia yang berkaitan dengan makna yang baik
dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan
ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh manusia secara umum, yang meliputi
kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik
buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.36 Dengan demikian, moral hanya
berlaku pada manusia serta tidak terdapat pada makhluk selain manusia.37
Moral melekat pada diri manusia secara rohani. Orang yang memahami nilai
moral pasti mengerti tentang baik buruk dari apa yang dikerjakannya. Ketika
mengkaji tentang moral, berarti membahas terminologi yang sangat substansial yang
mengandung makna tentang norma kebaikan yang dihadapkanpada norma keburukan
seseorang.38
Di dalam bahasa agama, istilah moral atau etika juga sering diungkapkan
dengan istilah akhlak, yang mana di dalamnya terkandung nilai-nilai budi pekerti
baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari kebudayaan manusia. Berkenaan
35
Sudarminta, Etika Umum, (Yogyakarta: Kanisius IKAPI, 2013), hal. 3. 36
Imam Sukardi dkk., Pilar Islam bagi Pularalisme Modern (Solo:Tiga Serangkai, 2003), hal. 80.
37
Octa Dwienda Ristica, Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan
(Yogyakarta: Budi Utama, 2012), hal. 4. 38
dengan ini, agama Islam datang ke dunia untuk membimbing manusia agar mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tujuan dari agama Islam untuk
membina manusia agar beralih pada kebaikan dan kesehatan mental yang mendorong
untuk berbuat baik semata.
Seperti halnya perilaku Harun Nasution pada masa hidupnya baik di kalangan
keluarga maupun di kalangan masyarakat. Ia dikenal baik, ramah, sopan, tegas,
konsisten dan tepat waktu. Seperti halnya apa yang telah dikatakan Prof. Dr. Abdul
Aziz Dahlan, bahwa Harun Nasution sangat konsisten, apabila ingin bertemu dengan
beliau harus janji terlebih dahulu dan ditentukan jamnya dan biasanya malah Harun
Nasution lebih dulu datang dari pada yang ia janjikan dari jam sebelumnya. Harun
Nasution juga sangat menghargai orang lain dan selalu mengayomi
murid-murindnya.39
Dengan demikian, moral berarti tindakan manusia yang sesuai dengan ukuran
yang diterima oleh umum, sehingga tolak ukurnya adalah kebiasaan yang berlaku.
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seseorang yang berbudaya kerja Islam itu
adalah nilai keikhlasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih
sayang dan pelayanan tanpa ikatan.
Kemudian untuk memperkuat argumentasi di atas maka Harun Nasution
menegaskan bahwa moral juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dalam diri
manusia, moral juga merupakan keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak
39
baik atau buruk walaupun situasi berbeda, karena tujuan dari ajaran Islam, untuk
mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan selalu mendorong manusia
untuk mengerjakan kelakuan baik. Dari sinilah budi pekerti luhur masyarakat baik
dapat diwujudkan. Di samping membuat latihan spiritual dan moral manusia,
al-Qur’ān juga membawa ajaran-ajaran atau norma-norma yang harus dilaksanakan dan
dipegang oleh umat Islam. Allah berfirman dalam Ayat 58 dari Surah al-Nisā’ yang
artinya:
Tuhan memperintahkan supaya kamu menyampaikan kepada yang berhak apa yang dipercayakan padamu dan supaya bersikap adil jika menentukan hukum di antara manusia .40
Dari penjelasan ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk
berbuat adil kepada sesama. Perbuatannya tersebut tidak bisa lepas dari aturan-aturan
dan adat istiadat, baik dan buruk yang dikerjakan manusia untuk melihat baik
buruknya manusia harus dilihat dari aspek moral. Seperti halnya apa yang telah
dikatakan Immanuel Kant, ia berpendapat bahwa perbuatan baik menjadi baik, karena
akibat-akibat baik yang timbul dari berbuatan itu dan tidak pula bahwa karena ajaran
agama mengerjakan bahwa perbuatan itu baik.
Oleh karena itu suatu perbuatan adalah baik, karena manusia tahu dari
perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk mengerjakan
yang baik dan mejauhi perbuatan-perbuatan buruk. Selain dari itu Harun Nasution
mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam hidupnya, sehingga
40
manusia setiap hari selalu mengadakan pilihan antara tunduk perintah hati sanubari
dan patuh pada kemauan.41
Dalam kehidupan manusia sehari-hari jelas kelihatan bahwa manusia
mempunyai pilihan untuk menempuh jalan hidupnya karena dalam diri manusia ada
perintah sanubari dan rayuan kemauan hati. Hati membawa kepada kebaikan,
sedangkan kemauan bisa membawa kebaikan dan keburukan.42 Yang dimaksud baik dalam tulisan di sini adalah dengan perbuatan baik bukan hanya yang merupakan
ibadah, tetapi perbuatan duniawi yang setiap hari dilakukan manusia, bahkan juga
dengan mahluk lain, termasuk binatang. Demikian juga dengan berbuatan buruk atau
jahat adalah perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan manusia, juga terhadap
sesama manusia, di samping terhadap sesama manusia dan mahluk lain di dunia ini.43
2. Hubungan Manusia dengan Alam
Hidup di dunia ini tidak akan bisa sendiri, melainkan butuh kepada
mahluk-mahluk lain yang ada di dalam bumi, baik benda hidup, maupun benda mati. Dengan
kata lain, yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia saja, begitu juga dengan
hubungan yang kita lakukan setiap harinya tidak hanya berhubungan dengan sesama
manusia, melainkan dengan dunia sekitarnya. Islam adalah agama yang beretika di
41
Harun Nasution, Filsafat Agama ( Jakarta: Bulan Bintang, 2003 ), hal. 66. 42
Harun Nasution, Filsafat Agama, hal. 66.
43
dalamnya terdapat sebuah konsep ajaran. Moral merupakan bangunan dasar
bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk bersikap ramah terhadap lingkungan.44
Dalam ajaran Islam, hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan, karena manusia menurut ciptaannya merupakan unsur
alam dan gerak untuk melakukan aktivitas hidup. Maka alam adalah ladang hidup
manusia.45
Manusia dan alam secara bersamaan adalah sebagai pihak kedua, dari dua
pihak dualisme wujud (Allah dan alam), sebagai pihak pertama adalah Allah, sebagai
asal dari segala wujud dan mengatur dari segala urusan, termasuk di dalamnya adalah
alam semesta dan keseluruhan kesatuannya yang tampak. Di antara tanda-tanda
kesatuan manusia dan alam adalah kesatuan dalam asal dan tempat kembali.
Masing-masing datang dari ketiadaan dengan ‘Irādah Ilāhyyah (kegiatan Tuhan), sebab
Allahlah yang menciptakan sesuatu dan menentukan takdirnya.46.
Sedangkan menurut Harun Nasution alam merupakan tempat di mana
manusia berada di dalamnya telah menyediakan segala kebutuhan manusia. Dari alam
manusia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.47 Sedangkan manusia menurut ciptaannya merupakan unsur alam. Oleh karena itu, ajaran Islam memaparkan
hubungan manusia dan alam terdiri atas tiga dasar, kesatuan manusia dan alam,
Abdul Majid An-Najar, Khilafah, tinjauan Wahyu dan Akal ( Jakarta: Gema Insani, 1999 ), hal. 61.
46
Abdul Majid An-Najar, Khilafah, Tinjauan dan Akal (Jakarta: Gema Insani Press 1999). Hal 61.
47
ketinggian manusia, dan mendayagunakan alam bagi manusia. Dalam al-Qur’ān surah
Al-Baqarah: ayat, 164 menjelaskan kejadian alam semesta, diiringi dengan perintah
supaya “ayat” dalam arti tanda-tanda Tuhan yang terdapat di alam ini dipikirkan dan
manusia bisa berfikir dalam jiwanya.
Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti. (QS. Al-Baqarah: 164).48
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi semua yang berakal. (QS. Ali-Imran: 190).49
Ayat ini menggambarkan bahwa dalam jiwa terdapat dua daya. Pertama, daya
berfikir yang disebut akal. Kedua, daya rasa yang disebut kalbu atau hati nurani.
Selain dari manusia, makhluk yang lainnya tidak dikarunia akal oleh Tuhan. Dengan
daya yang ada dalam diri manusia, yakni daya jasmani yang di dalamnya terdapat
daya hidup dan daya berfikir, manusia bisa berkembang di bumi. Dengan daya berfkir
bisa menghasilkan ilmu, baik ilmu keakhiratan, maupun ilmu dunia atau yang disebut
sains.50
Manusia secara alamiah tidak saja makhluk rasional, tetapi juga makhluk
sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia dan ditentukan oleh
48
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba ( Bandung: Qordoba Internasional Indonesia, 2012 ), hal. 25.
49
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 79. 50
manusia sendiri, sehingga manusia mempunyai kebebasan memilih. Mereka (umat
manusia) tidak mungkin melanggar hukum alam selama ia melakukan
tindakan-tindakanya di bawah kontrol akalnya. Dengan begitu, manusia bisa hidup harmonis
satu dengan lainnya.
Seperti halnya apa yang dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya
baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Harun Nasution juga menghargai
apa yang ada di alam. Harun Nasution menghargai hewan dan lingkungan sekitarnya.
Seperti halnya apabila ada orang menginjak rumput yang di pelihara, maka beliau
menegur meski orang yang ditegur sangat akrab dengannya.51
Terlihat apa yang telah dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya
bahwa keadaan manusia di dunia tidak terlepas dengan hukum alam dan semestinya
selalu memelihara apa yang ada di alam. Maka manusia harus patuh dengan hukum
alam dan melindungi apa yang ada di alam ini. Selain itu, Harun Nasution juga
menegaskan bahwa manusia sebetulnya tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan di alam karena manusia tersusun dari unsur materi, mempunyai sifat
terbatas karena dalam diri manusia juga terikat pada hukum alam sehingga hal ini
membawa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mutlak karena
dibatasi unsur materi dan hukum alam. Kemauan manusia mungkin tidak tebatas, tapi
daya dan tenaganya bisa terbatas.52
51
Hasil wawanca dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan MA, tangal 06 Oktober 2015 jam: 12: 25.
52
Di dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menegaskan bahwa alam diciptakan
Tuhan untuk menyediakan kebutuhan manusia. Salah satunya dijelaskan dalam ayat
berikut yang artinya:
Allah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan hujan dari langit yang dengannya ia keluarkan buah-buahan untuk makanan manusia (al-Nḥl [14]: 32).
Dengan begitu, Allah menciptakan bumi dan langit ini tidak sia-sia, tetapi
hanya untuk kepentingan manusia. Allah menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan,
melainkan untuk kepentingan manusia.53
Sesuai dengan perintah al-Qur’ān yang mana manusia harus memakai akalnya
untuk menyelidiki alam sekitarnya, bahwa alam diatur oleh Tuhan menurut hukum
alam. Tuhan menciptakan hukum alam supaya dipatuhi oleh alam. Segala yang terjadi
di alam ini sesuai dengan hukum alam yang diciptakan Tuhan. Harun Nasution
menegaskan bahwa dengan mengetahui hukum alam, manusia memperkirakan apa
yang akan dilakukannya. Sehingga dengan adanya hukum alam ini, manusia dapat
menyusun rencana masa depannya dalam hidup di dunia. Apabila manusia telah
menyusun masa depannya manusia bisa tercapai yang ditujunya.54
3. Hubungan Manusia dengan Manusia
Manusia adalah makhluk rasional, manusia memikirkan bagaimana ia
menghidupi relasinya agar tidak pernah berhenti. Ia mempertanyakan lingkungan
53
Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 274. 54
yang membentuknya untuk melakukan relasi secara tertentu. Manusia selalu
mempertanyakan kodrat dirinya dengan apa yang ia yakini sebagai asal dan tujuan
hidup. Manusia memahami bahwa bagi dirinya kedekatan dengan manusia lain
merupakan hal penting bagi kelangsungan hidupnya.55
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan, manusia mempunyai kewajiban dan
hak (berbakti atau bekerja dan memohon) kepada Tuhan untuk kepentingan dirinya
dan masyarakat. Hal ini merupakan kesadaran bahwa sebagai manusia, ia tidak dapat
hidup menyendiri. Artinya, manusia membutuhkan kerjasama dengan sesama
manusia lainnya. Seperti halnya orang tua, keluarga, tetangga, masyarakat,
lingkungan, bangsa, umat manusia, serta makhluk lainnya.56
Harun Nasution menjelaskan bahwa manusia berasal dari sumber yang satu.
Hal tersebut seharusnya membawa kepada kesadaran bahwa manusia seluruhnya
bersaudara, meskipun berlainan warna, bangsa dan bahasa, bahkan sungguhpun
berlainan agama. Manusia secara fitrah mempunyai keinginan yang selalu mendorong
menuju segala sesuatu yang menguntungkan, baik dari aspek materi—berupa
keluarga dan anak-anak serta harta benda—maupun dari aspek spiritual, seperti rasa
aman, harga diri, dan percaya diri. Semua itu dapat diraih oleh manusia sekaligus
55
Prof. Dr. M. Sastra Pratedja, Manusia Teka-Teki yang Mencari Solusi (Yogyakarta: kanisius, 2009), hal. 13.
56
merupakan refleksi yang baik untuk menghasilkan manusia-manusia yang
berkualitas.57
Hubungan antar sesama manusia yang saling menghormati, mencintai dan
menyayangi dapat diterapkan pada berbagai situasi dan keadaan. Misalnya, dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat, hubungan dengan suami istri, hubungan dengan
anak, hubungan dengan orang tua, hubungan dengan saudara harus tetap harmonis,
saling memelihara, memanfaatkan dengan baik, dan hubungan guru dengan
muridnya. Apabila hubungan dengan sesama baik, maka hidup di dunia akan merasa
aman, nyaman, dan sejahtera. Seperti halnya hubungan guru dengan muridnya yang
terlihat dalam kehidupan Harun Nasution. berkenaan dengan itu, Prof.Dr. Zainun
Kamal mengatakan,
“Pak Harun tidak pernah membedakan antara guru dengan muridnya. Yang dilihat oleh Harun Nasution adalah segi keilmuannya”.58
Manusia dengan manusia terdapat hubungan yang sangat kuat. Keduanya
saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling bergantung
sama lain. Sumarso mengatakan bahwa dalam kehidupan kesehariannya, Harun
Nasution tidak pernah membedakan satu sama lainnya. Dalam keluarga Harun
Nasution membuat undang-undang supaya dipatuhi oleh keluarga; apabila ada yang
melanggar Harun Nasution tidak segan-segan untuk memberikan hukuman pada anak
57
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan ( Yogyakarta:; LKiS, 2009), hal. 234.
58