• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

i

Harun Nasution merupakan satu dari sekian banyak pemikir Islam di Indonesia yang membawa perubahan terhadap IAIN. Hal tersebut dapat dilihat pada pemikiran-pemikirannya dalam bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Namun belum ditemukan para sarjana yang meneliti mengenai kehidupan Harun Nasution dari segi ibadah, moral dan pemikiran Harun Nasution. Oleh karena itu, ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupannya ini menjadi amat penting, layak dan menarik untuk diteliti. Adapun pokok masalah penelitian ini bagaimana kehidupan Harun Nasution mengenai ibadah, moral dan pemikirannya.

Dalam penelitian ini, tenik pengumpulan data yang digunakan adalah metode kepustakaan (library reserach) dengan menggunakan sumber primer karya Harun Nasution, selain itu juga akan mengkomparasikan dengan referensi dari karya-karya yang telah ditulis mengenai pemikiran-pemikiran Harun Nasution ataupun lainnya yang sekiranya dapat dalam penelitian semua karya yang terkait dengan penelitian ini, penulis jadikan bahan rujukan untuk membaca pemikiran tokoh. Sedangkan dalam penelitian metode yang digunakan adalah deskriptif-analisis, yang akan mendeskripsikan secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti.

(6)

ii

taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

berudul Ibadah, Moral dan Pemikiran Dalam Kehidupan Harun Nasution dapat

terselesaikan tanpa ada kendala yang berarti.

Penyelesaian skripsi ini bukan hanya dalam rangka untuk memenuhi salah

satu persyaratan dalam penyelesaian studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

program studi Aqidah Filsafat, akan tetapi juga merupakan sebuah ketertarikan

penulis terhadap pemikiran Harun Nasution. Namun penelitian ini tidak akan

terselesaikan pula jika tanpa adanya berbagai pihak dalam membantu baik itu spirit

atau materil yang turut memegang andil dalam terselesainya skripsi ini.

Ucapan terimakasi kepada Prof. Dr. Dede Rosada, MA. Selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada Prof. Dr. Masri

Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. Dr. Syamsuri, MA selaku Ketua

Jurusan Aqidah Filsafat. Kepada Dra. Tien Rahmatin, MA, selaku Sekretaris Jurusan

Aqidah Filsafat. Dan Drs. Ramlan Abdul Ghani, MA sebagai dosen Pembimbing

Akademik (PA) yang telah memberikan arahan dan nasehahatnya terhadap

penulisan skripsi ini.

Terimakasih yang tak terhingga, penulis sampaikan kepada Drs. Fakhuruddin,

MA, selaku dosen pembimbing penulisan skripsi ini, atas saran-saran membangun

(7)

iii mengajar atau hal-hal yang lain.

Ucapan terimakasih pula kepada segenap dosen Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dan

memperluas pemikirannya, juga sudut pandang penulis. Kepada pimpinan dan

seluruh staf Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang

member kemudahan kepada penulis dengan berbagai kumpulan-kumpulan atau

koleksi karya-karya ilmiah yang dimiliki.

Salam kasih dan penghormatan yang tak terhingga penulis haturkan kepada

kedua orang tua, ayahanda Heri dan ibunda Rasima yang senantiasa selalu berdoa

tanpa henti-hentinya kepada Ilahi untuk keselamatan dan kesuksesan anaknya, kepada

beliaulah karya ini saya persembahkan. Ucapan terimakasih pula kepada istri tercinta

Innani Musyarofah yang selalu ngasih dukungan semangat dan kesabaran dalam

membantu penulisan skripsi ini. Dan tak lupa pula kepada saudaraku Siti Amina

yang memberi semangat dan moril kepada penulis.

Ucapan terimakasih kepada Abdus Syakur yang telah banyak membantu

dalam penulisan dan pengoreksian penelitian ini. Juga kepada sahabat-sahabat

Aqidah Filsafat (AF) 2010 tanpa terkcuali, yang saling tukar pikiran dalam diskusi di

kelas. Dan tak lupa Kakak-kakaku, Slamet Riadi, Ahmad Baidowi, Moh. Jakfar yang

selalu memberikan semangat lewat canda tawanya.

Selagi lagi, saya ucapkan saya ucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya dan

(8)
(9)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ا

a a

ط

ṭ ṭ

ب

b b

ظ

ẓ ẓ

ت

t t

ع

، ،

ث

ts th

غ

gh gh

ج

j j

ف

f f

ح

ḥ ḥ

ق

q q

خ

kh kh

ك

k k

د

d d

ل

l l

ذ

dz dh

م

m m

ر

r r

ن

n n

ز

z z

و

w w

س

s s

ه

h h

ش

sy sh

ء

ʼ

ʼ

ص

ṣ ṣ

ي

y y

ض

ḍ ḍ

ة

h h

Vokal Panjang

Arab Indonesia Inggris

أ

ā ā

يإ

ī ī

(10)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI... ... v

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Tinjauan Pustaka ... 4

(11)

1 BAB I

PENDAHULAUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1970-an Indonesia dikagetkan oleh kehadiran Harun Nasution

dengan pembaharuan pemikiran yang ia kembangakan. Pembaharuan itulah yang

kemudian memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di IAIN

(Institut Agama Islam Negeri). Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim

yang sangat mendalami berbagai bidang kajian keislaman.1 Harun Nasution juga dikenal sebagai pemikir rasional yang membawa pengaruh besar terhadap pemikiran

Islam di Indonesia. Dengan kemampuan intelektualnya, Harun Nasution

mengupayakan agar pemikiran Islam yang ada sebelumnya dianggap tradisional

menjadi modern.2

Harun Nasution memiliki kecenderungan rasional yang sangat tinggi. Ia

banyak menyoroti dan mengkritik pemikiran tradisional yang berpandangan sempit

tentang Islam. Oleh karena itu, Harun Nasution menampilkan ajaran Islam secara

utuh sehingga terlihat sangat luas. Islam tidak hanya dipahami dari aspek ibadah,

fiqih, dan tauhid. Namun, bagi Harun Nasution Islam dipandang lebih luas daripada

itu. Ajaran Islam dikatakan luas bila tidak hanya terpaku pada satu mazhab atau satu

1

Abdul Halim (ed.), Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 183.

(12)

aliran saja. Dalam upaya tersebut, Harun Nasution juga mengacu kepada

pandangan-pandangan para filosof, baik filosof-filosof Barat maupun filosof-filosof Timur.3

Harun Nasution memberikan pemahaman baru tentang Islam secara lebih utuh, tidak

hanya dalam arti pengamalan ajaran Islam dari segi ibadah, tetapi dalam arti ajaran

Islam mengandung bermacam-macam aspek, seperti aspek sosial, politik, pemikiran

Islam, dan pembaharuan dalam Islam.4

Di samping itu, sosok Harun Nasution tidak menolak atau menerima begitu

saja suatu bentuk pemikiran tanpa adanya analisis yang cermat terlebih dahulu. Bagi

Harun Nasution kelebihan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang

menyebabkan seseorang mempunyai tanggung jawab sosial. Harun Nasution tampil

kepermukaan dan memberi contoh bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka,

menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang

dianggap benar, dan ia pun berani bertanggungjawab atas kesalahannya.5

Meskipun pribadi Harun Nasution sangat cenderung bersikap rasional dalam

memahami agama, Harun Nasution dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang

memiliki pola hidup sederhana, jujur, amanah, rendah hati, dan sangat konsisten

dalam melaksanakan ibadah. Di samping itu, Harun Nasution juga memiliki

pandangan yang tegas mengenai keterkaitan Islam rasional yang ia maksud dengan

prinsip-prinsip moral dan hubungan sosial. Fakta tersebut menunjukkan bahwa

3

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), hal. 3-4.

4

Nurhidayat Muh. Said. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun Nasution (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hal. iv.

5

(13)

pandangan Harun Nasution tentang ibadah, moral, dan pemikiran Islam yang

dikembangkan berjalan selaras.

Setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk menilai sosok Harun

Nasution. Ada yang beranggapan bahwa Harun Nasution adalah pemikir liberal yang

cara pandangnya dianggap berbahaya terhadap Islam. Ada pula yang beranggapan

bahwa konsepsi Islam rasional yang dikembangkan Harun Nasution justru berdapak

positif terhadap perkembangan pemikiran Islam khususnya di Indonesia.

Terlepas dari fakta di atas, kajian lebih mendalam terhadap pemikiran Harun

Nasution masih perlu dikembangkan. Banyak karya-karya sebelumnya yang

membahas tentang Harun Nasution hanya bertumpu kepada pemikiran Islam yang ia

bangun. Akan tetapi, kajian tentang pemikiran Islam yang dikembangkan Harun

Nasution yang kemudian dibenturkan dengan konsepsinya tentang moral dan ibadah

belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai kehidupan Harun Nasution tentang keterkaitan pemikiran dan ketaatan

beragama di bawah judul Ibadah, Moral, dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun

Nasution.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam skripsi ini penulis memfokuskan diri pada pemikiran Harun Nasution

(14)

merumuskan permasalahan yang akan dikaji pada skripsi penulis, yakni: Bagaimana

ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan Harun Nasution?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Skripsi dengan judul “Ibadah, Moral dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun

Nasution” ini disusun melalui penelitian pustaka untuk mencapai beberapa tujuan di

bawah ini:

1. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan Harun Nasution baik dari segi

ibadah, moral dan pemikiranya.

2. Untuk mendapatkan gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program

Studi Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini akan bermanfaat pada terciptanya persepsi baru dan berusaha

memberikan penjelasan menyangkut kehidupan Harun Nasution tentang ibadah,

moral dan pemikiranya, yang diharapkan dapat menjadi khazanah baru baik dalam

bidang akademis maupun pada kajian Islam di Indonesia pada umumnya.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, terdapat banyak tulisan

(15)

berasal dari lingkungan UIN Jakarta, tetapi ada pula yang berasal dari luar lingkungan

UIN Jakarta. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution.”6 Sebuah

skripsi yang ditulis oleh Ach. Khomaidi. Skripsi tersebut membahas pandangan

Harun Nasution tentang hubungan akal dan wahyu. Akan tetapi penelitian tersebut

tidak menganalisis pemikiran Harun Nasution mengenai empat persoalan yang

dibahas dalam penelitian ini.

Kedua, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution.”7 Sebuah tesis yang ditulis oleh Junni. Tesis tersebut menjelaskan hubungan antara akal dan pendidikan

dalam perspektif Harun Nasution. Pendidikan akal secara aplikatif dihubungkan

dengan beberapa tema penting dalam kajian Islam, yakni sejarah, teologi, falsafat,

tasauf, hukum, politik dan pembaharuan dalam Islam.

Ketiga, “Perkembangan Teologi Rasional di Indonesia: Studi atas Pemikiran

Pembaharuan Islam Harun Nasution.”8 Sebuh disertasi yang ditulis oleh M. Imron

Abdullah. Beberapa tema penting tentang teologi rasional yang dimunculkan dalam

6 Ach. Khumaidi, “Akal dan Wahyu dalam Perspektif Harun Nasution” (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005)

7 Junni, “Pendidikan Akal Perspektif Harun Nasution” (Tesis Program Pascasarjan UIN Syarif Hidayatulalh Jakarta, 2004), hal. 113.56.

8

(16)

karya ini adalah kedudukan akal dan wahyu serta hubungannya dengan iman, ajaran

absolut dan relatif dalam al-Qur’ān, teologi sunnah Allah, free will dan

predestination, dan kekuasaan serta keadilan Tuhan.

Keempat, “Konsep Pendidikan Islam Menurut Harun Nasution.”9 Sebuah tesis

yang ditulis oleh Dicky Salahuddin. Tesis tersebut menjelaskan pendidikan dalam

perspektif Harun Nasution.

Kelima, Pembaharuan dalam Islam di Indonesia: Studi Pemikiran Harun

Nasution, Nurhidayat Muh. Said, Jakarta: pustaka Mapan, 2006. Buku ini

menguraikan berbagai pemikiran Harun Nasution secara umum dan pemikiran Harun

Nasution secara khusus.

Sejauh ini penulis belum mendapatkan hasil penelitian (skripsi, tesis, dan

desertasi) yang spesifik membahas ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan

Harun Nasution. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini belum banyak dibahas

sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Sehubungan dengan judul yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian

ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan

(library research), yaitu mencari dan mengumpulkan literatur yang relevan. Data

(17)

yang terkumpul diambil dari beberapa karya-karya Harun Nasution sebagai referensi

pokok. Untuk referensi selebihnya dijadikan sebagai penguat sekaligus pembanding.

Metode penulis yang digunakan pada skripsi ini bersifat kualitatif dengan

teknik pembahasan deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu

memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang

terkait. Sementara analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam

bentuk yang sistematis sehingga inti permasalahan yang dinginkan dapat tercapai

dengan baik.

Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar pedoman

karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality

Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk

pedoman transiliterasinya disesuaikan dengan pedoman Akademik Stara 1

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah membahas tentang penulisan yang lebih sistematis,

maka penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub

bab, yaitu:

Bab I, adalah pendahuluan, bab ini berisi latar belakang masalah sehingga

(18)

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II, membahas tentang biografi Harun Nasution. Ada dua sub pembahasan

yang ditulis dalam biografi Harun Nasution, yaitu riwayat hidup dan karya-karyanya.

Riwayat hidup Harun Nasution sangat penting untuk diketahui untuk melacak

pemikirannya lebih mendalam. Dengan mengetahui karya-karyanya secara lebih

mendetail, kita juga dapat melacak pemikiran Harun Nasution secara lebih

komprehensif.

Bab III, berisi pembahasan tentang moral dan ibadah. Pembahasan tersebut

dimulai dengan teori-teori umum menyangkut paham ibadah dan moral, kemudian

diikuti dengan ibadah dan moral dalam perspektif Harun Nasution.

Bab IV, berisi pembahasan tentang pemikiran Harun Nasution yang meliputi

tiga aspek, yakni teologi, filsafat, dan mistisisme. Dalam bab ini juga dilakukan

analisis secara lebih mendalam mengenai keterkaitan konsepsi Harun Nasution

mengenai ibadah dan moral serta bagaimana keterkaitan dua hal tersebut dengan

corak pemikirannya.

Bab V, adalah penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.

Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dirumuskan.

Sementara saran-saran adalah berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang penelitian

yang sudah dilakukan serta memberikan beberapa kemungkinan lain untuk penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan ibadah, moral dan pemikiran dalam kehidupan

(19)

9

BIOGRAFI HARUN NASUTIOM

A. Riwayat Hidup

Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919 di Pematang

Siantar, Sumatera Utara.1 Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Saudaranya dari yang tertua adalah Mohammad Ayyub, Kholil, dan Sa„idah. Sementara adiknya

bernama Hafsah. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad yang berasal dari

Mandailing, Tanah Bato, Tapanuli Selatan.2 Sedangkan ibunya bernama Maimunah3 keturunan seorang ulama yang juga berasal dari Tapanuli.4

Harun Nasution memulai pendidikan formalnya di sekolah Belanda, HIS

(Hollandsch Inlandche School), pada tahun 1926.5 Setelah itu Harun Nasution melanjutkan pendidikannya ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) sejak

1

Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution

(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 5. 2

Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution hal. 3.

3

Ariendonika, “Pemikiran Harun Nasution tentang Islam Rasional”. Disertasi (Psp IAIN Jakarta, 2002), hal. 30.

4

Waktu masih gadis, Maemunah, ibu Harun Nasution, pernah bermukim di Makkah sehingga bisa berbahasa Arab dengan baik. Dia banyak mengenal tentang Masjid al-Ḥarāmserta berbagai kegiatannya Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution

(Jakarta: LSAF, 1989), hal. 4. 5

(20)

tahun 1934.6 Tiga tahun kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan di MIK, Harun Nasution melanjutkan pendidikannya ke Mesir.7

Setelah tiba di Mesir pada tahun 1938, Harun Nasution di situ tingal serumah

dengan para pelajar dari Tapanuli. Dari teman serumahnya itulah Harun Nasution

tahu bahwa di Al-Azhar ketika itu ada dua macam pelajaran. Satu sudah moderen,

sedangkan yang satunya lagi proses belajarnya menghafal.

Ketika itu, Harun Nasution tidak bisa langsung masuk ke Universitas karena

hanya memegang surat keterangan selesai kelas tiga dari MIK. Beberapa temannya

menyarankan ia harus mengambil pelajaran untuk memperoleh Ijazah Ahliyah.

Setelah belajar dengan giat, Harun Nasution memperoleh tanda lulus untuk masuk ke

Universitas. Ia masuk Universitas Al-Azhar mengambil Ushuluddin.8

Setelah menyelesaikan kuliahnya di Al-Azhar, Harun Nasution melanjutkan

kuliah di Kairo. Ia mengambil jurusan pendidikan sampai ia lulus. Harun Nasution

juga melanjutkan kuliahnya di McGill pada tahun 1962 dan mendapatkan gelar

doktor dari Institute of Islamic Studies, McGill University, pada tahun 1969.9

Begitu mendapatkan gelar doktor, Harun Nasution bercita-cita untuk

merombak pendidikan Islam melalui pendidikan tinggi. Harun Nasution menemui

6

MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta milik Abdul Ghaffar Jambek, putra Syaikh Jamil Jambek. Sekolah tersebut menggunakan bahasa Belanda sebagai salah satu bahasa pAqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, hal. 7.

7

Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, hal. 9-12.

8

Said Agil Husin Al-Munawar dkk., Teologi Islam Rasional (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 6

9

(21)

jalanya ketika Harun Nasution mulai menapakkan kakinya di IAIN Jakarta. Maka

sejak itulah Harun Nasution bergabung dengan konsep untuk merombak IAIN.10

Setelah lebih dari empat tahun Harun Nasution mengabdikan dirinya di IAIN,

ia diangkat menjadi rektor oleh Kementerian Agama pada masa Prof. Dr. Mukti Ali.

Setelah dilantik, Harun Nasution merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan

berdasarkan pada tujuan dan fungsi IAIN atas dasar kebutuhan masyarakat. Langkah

yang dilakukannya antara lain: Pertama, mengubah kurikulum IAIN. Kedua, merubah

pemahaman agama pemahaman tradisional menjadi pemahaman rasional.11

Di samping itu, Harun Nasution juga membuka program Stara dua (S2) dan

membuka Stara tiga (S3). Dari beberapa usaha yang telah dilakukan Harun Nasution

dengan pembenahan dari segala sektor, telah melahirkan satu citra IAIN Jakarta

sekaligus menjadi identitas yang perlu terus diisi dan diperjuangkan oleh seluruh

civitas akademik. Identitas tersebut adalah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai

pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam.12

B. Karya-Karya

Harun Nasution telah banyak menulis karya ilmiah. Melalui karya-karyanya,

dia mampu memperlihatkan apa yang sebelumnya belum berani disentuh dalam

kajian Islam di Indonesia. Dia berusaha menampilkan dinamika pemikiran Islam

10

Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi ( Jakarta: Gema Insani ,2007), hal. 79.

11

Harun Nasution, Teologi Islam Rasional Apresiasi TerhadapWacana dan Peraksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 14-15.

12

(22)

dalam sejarah melalui pendekatan dan perspektif baru. Karena itulah karya-karyanya

nampak kontroversial. Kalau mau disadari, justru dari situlah letak “kekuatan”

tulisan-tulisan. Dari situ kita mengerti bahwa dalam Islam tidak ada hal yang tabu

untuk diperbincangkan. Berikut karya-karya Harun Nasution yang masih bisa kita

baca sampai hari ini beserta pokok kandungannya.

Pertama, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974). Seperti yang sudah

disinggung di awal, buku ini adalah salah satu karya Harun Nasution yang paling

monumental. Harun Nasution menulis buku tersebut untuk memberikan perspektif

dan pendekatan baru dalam kajian Islam di Indonesia, baik dalam bidang akademis

maupun kajian Islam pada umumnya. Untuk itu, pada tahun 1973, ketika Harun

Nasution menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta, buku tersebut dijadikan buku

wajib bagi seluruh mahasiswa IAIN se-Indonesia. Buku tersebut adalah buku pertama

di Indonesia yang secara komprehensif berusaha menampilkan Islam dari berbagai

aspek, yakni dari aspek filsafat, teologi, mistisisme, sejarah, sosial, ekonomi, politik,

dan sebagainya.

Kedua, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan

(1972). Buku ini memberikan gambaran yang cukup rinci mengenai berbagai aliran

dalam teologi Islam. Pembahasannya dimulai dari sejarah kemunculan

persoalan-persoalan teologis sehingga dari perdebatan persoalan-persoalan-persoalan-persoalan tersebut muncul

berbagai paham dan aliran. Paham dan aliran tersebut misalnya Syī„ah, Khawārij,

Qadariyyah dan Jabariyyah, Mu„tazilah, dan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā„ah. Dalam

(23)

lain. Keterkaitan tersebut dilihat dari segi historis dan tema-tema yang diperdebatkan.

Kemudian, diikuti dengan studi analisis dari masing-masing aliran terhadap

tema-tema tertentu yang menjadi perbincangan dalam teologi Islam. Tema-tema-tema tersebut

adalah fungsi akal dan wahyu, free will dan predestination, kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan

konsep iman dalam Islam. Buku tersebut menyimpulkan bahwa berbagai perbedaan

yang ada dalam Islam dikarenakan perbedaan penafsiran terhadap al-Qur‟ān dan

Ḥadīst sehingga aliran-aliran tersebut tidak bisa dikatakan keluar dari Islam.13

Ketiga, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1973). Buku ini terdiri dari dua

pokok pembahasan. Bagian pertama, membahas falsafat Islam. Bagian ini diawali

dengan pembahasan mengenai kontak pertama Islam dan falsafat Yunani serta

pengaruhnya pada Islam. Dilanjutkan dengan pembahasan tokoh-tokoh penting dalam

falsafat Islam seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazzālī dan Ibn Rusyd. Bagian

kedua, membahas tentang tasawuf. Pembahasan ini diawali dengan berbagai definisi

tentang tasawuf. Kemudian dilanjutkan dengan tema-tema penting dalam ajaran

tasawuf seperti al-zuhd, al-maabbah, al-ma‘rifah, al-fanā’dan al-baqā’, al-ittiād, al-ulūl dan wadah al-wujūd.

Keempat, Falsafat Agama (1973). Pertama, Harun Nasution memulai

penjelasannya dengan memberikan keterangan tentang definisi falsafat agama,

epistemologi dan kebenaran wahyu sebagai sumber pengetahuan. Kedua, tentang

13

(24)

konsep-konsep ketuhanan dan argumen-argumen keberadaan Tuhan. Terakhir,

membahas tema-tema penting dalam falsafat agama seperti roh, perbuatan baik dan

buruk, serta kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Kelima, Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini berasal dari teks

ceramah yang disampaikan di depan sivitas akademik di IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 23 September 1978, yakni ceramah wajib sebagai syarat kenaikan

pangkat. Ceramah tersebut juga pernah disampaikan di Gedung Kebangkitan

Nasional Jakarta pada 17 Januari 1979 yang diselenggarakan oleh Yayasan Idayu

Jakarta. Ceramah tersebut diberi judul Kedudukan Akal dalam Islam.14 Kemudian

naskah ceramah tersebut diterbitkan oleh UI-Press Jakarta dengan judul yang

berbeda, yaitu Akal dan Wahyu dalam Islam. Dalam buku itu dijelaskan pengertian

akal dan wahyu, kedudukan akal dalam al-Qur‟ān dan Ḥadīts, perkembangan ilmu

pengetahuan dalam Islam, dan peran akal dalam Islam. Buku ini menyimpulkan

bahwa penggunaan akal dalam Islam memang atas dasar perintah al-Qur‟ān. Oleh

karena itu, akal dan wahyu dalam Islam itu tidak bertentangan.15

Keenam, Muammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (1986). Isi buku ini merupakan kandungan pokok dari pembahasan disertasi Harun Nasution The

Pleace of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and

14

Ceramah tersebut sempat diterbitkan sebagai buku stensilan dengan judul yang sama,

Kedudukan Akal dalam Islam (Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1979). Kemudian pada tahun 1982 naskah tersebut diterbitkan kembali oleh UI-Press Jakarta dengan judul Akal dan Wahyu dalam Islam

dan tersebar lebih luas. Sementara isinya tidak jauh berbeda, kecuali sedikit tambahan penjelasan.

15

(25)

Views (Posisi Akal dalam Teologi Muḥammad „Abduh: Pengaruh terhadap Sistem

dan Pendapat Teologinya). Buku ini diterbitkan pertama kali oleh UI-Press Jakarta

pada 1987. Dalam buku ini dijelaskan sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan, dan konsep

iman yang merupakan studi analisis terhadap pemikiran teologi Muḥammad „Abduh

dan Mu„tazilah. Dalam buku ini Harun Nasution menyimpulkan bahwa pemikiran

Muḥammad „Abduh punya banyak kesamaan dengan pemikiran Mu„tazilah. Bahkan

Muḥammad „Abduh menempatkan kedudukan akal lebih tinggi daripada kedudukan

akal dalam pandangan Mu„tazilah. Oleh karena itu, Muḥammad „Abduh lebih

cenderung disebut sebagai failasuf daripada sebagai seorang teolog.16

Ketujuh, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975).

Buku ini menggambarkan pembaharuan Islam yang secara dinamis memberikan

respon terhadap berbagai perkembangan modern. Di dalam buku tersebut

digambarkan dengan jelas bagaimana pergolakan ide dan gagasan para tokoh

pembaharu Islam dengan gagasan dan gerakannya yang berbeda-beda, tetapi masih

dalam satu tujuan, yakni untuk memajukan dan menyelaraskan Islam dengan

perkembangan modern. Perbedaan gagasan pembaharuan tersebut memunculkan

berbagai gerakan yang berbeda-beda. Gagasan dan gerakan tersebut muncul sebagai

respon terhadap situasi dan kondisi sosial-politik yang berbeda-beda, sehingga

membutuhkan penyelesaian yang berbeda pula. Gerakan pembaharuan tersebut

misalnya dalam bidang budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan sistem

16

(26)

pemerintahan. Buku tersebut mengambil bentuk pembaharuan yang terjadi di Mesir,

Turki, dan India-Pakistan dengan menunjukkan sejumlah tokoh yang dianggap

berperan penting dalam pembaharuan tersebut. Pembaharuan modern pada tiga

negara tersebut dianggap representatif untuk menggambarkan berbagai pembaharuan

yang terjadi di dunia Islam pada umumnya.

Kedelapan, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Buku ini adalah

kumpulan naskah-naskah ceramah dan diskusi sejak tahun 1970 sampai 1974 yang

diberikan oleh Harun Nasution dalam berbagai tempat dan kesempatan. Buku ini

diterbitkan oleh penerbit Mizan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1994.

Dengan membaca seluruh naskah dalam buku tersebut di atas, pembaca bisa

memahami pemikiran Harun Nasution secara lebih utuh dan komprehensif tentang

(27)

18 BAB III

KONSEPSI IBADAH DAN MORAL HARUN NASUTION

A. Ibadah

1. Pengertian Ibadah

Kata ibadah berasal dari bahasa Arab, ‘ibādah yang merupakab bentuk

masdar dari ‘abada-ya’budu- ‘ibādah yang artinya pengabdian. Secara lebih luas kata

ibadah berarti al-țā’ah (patuh), al-khudū’ (tunduk) dan al-tāzallul (merendahkan diri). 1 Berdasarkan pengertian di atas, secara terminologis ibadah berarti kebaktian dan ketundukan kepada yang Maha Esa atau perbuatan untuk menyatakan bakti kapada Allah yang disadari dengan ketaatan dan keikhlasan mengerjakan perintah-Nya dan meningalkan

apa yang dilarang-Nya.2

Para ulama membagi ibadah menjadi ibadah maḥḍah dan ghayr maḥḍah.

Ibadah maḥḍah adalah suatu pekerjaan yang diperintah Allah dan merupakan

hubungan langsung antara manusia dengan Allah, seperti salat, puasa, zakat dan haji.

Sedangkan ibadah ghayr maḥḍah adalah segala macam perbuatan untuk mencapai

rida Allah, seperti belajar, bekerja, bertani dan berdagang.3 Ibadah maḥḍah dan ghayr maḥḍah ini mempunyai jalan yang berbeda, tapi tujuannya sama.

1

Lahmuddin Nasution, Fiqih 1 (Jakarta: lobos,1995), hal.2.

2

Anton M. Moliono dkk., Kamus bersar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 318

3

(28)

Terkait dengan ibadah maḥḍah, Nabi Muḥammad dalam satu kesempatan

ditanya oleh malaikat Jibrīl tentang arti dari keimanan, keislaman dan akhlak, Nabi

menjawab:

Islam di bangun atas lima pondasi: melafalkan syahadatain (dua persaksian), tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa dan haji. (HR. Imam al-Bukhari).4

Sementara itu, ibadah ghayr maḥḍah adalah ibadah yang pelaksanaanya tidak

memiliki hubungan langsung dengan Sang Khalik, tetapi berhubungan dengan

sesama manusia dan makhluk Tuhan lainnya. Di samping sebagai bentuk pengabdian

kepada Tuhan, ibadah ghayr maḥḍah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan

sosial, alam, dan budaya. Hal ini ditinjau dari produk kreatifitasnya, meskipun model

ibadah ini tidak murni. Dengan kata lain, ibadah model ini adalah kemaslahatan yang

sejatinya memiliki dalil tidak langsung dari al-Qur’ān dan adīts. Artinya, prinsip

dari ibadah ini hanya disinggung secara umum dalam teks keagamaan.5 Dalam hal ini

Nabi pernah bersabdah:

Jika terkait dengan persoalan (kemaslahatan) urusan duniawi kalian tetapi, maka itu terserah kalian (mana yang terbaik). Tetapi apabila terkait dengan agama kalian maka itu urusanku”. (HR. Ibn Majah)6

Jika merujuk kembali kepada al-Qur’ān dan Sunnah, niscaya kita akan

mendapatkan kesimpulan bahwa pengertian ibadah secara umum tidak hanya terbatas

4

Muḥammad ibn Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhari (Dār Thawqīn

al-Najat), cet I, hal.11. 5

Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta: Grafindo Media Utama, 2008), hal. 225 6 Al-Qazwaynī, Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yāzid,

Sunan Ibn Majah (Dār Iḥyā’ al-Kutub

(29)

pada perkara-perkara yang bersifat wajib, akan tetapi mencangkup segala sisi

kehidupan. Jadi makna kehidupan adalah satu kesatuan, segala sesuatu yang terdapat

di dalamnya hanya milik Allah. Bagi setiap hamba yang saleh, tiada yang berlalu

tanpa ibadah. Dalam pelaksanaan ibadah, manusia tentu saja memilih ibadah yang

dianggap paling utama, baik kelipatan pahalanya, maupun manfaat langsung yang

bisa dirasakannya. Ibadah adalah wujud ketundukan dan pemujaan manusia kepada

Tuhan. Hanya dengan Tuhanlah manusia bisa menjalin hubungan semacam itu, tidak

dengan yang lainnya. Tidak ada yang melebihi kekuasaan Allah dan tidak ada yang

lebih kuasa selain diri-Nya. Allah adalah Sang Pencipta dan satu-satunya penguasa

alam. Manusia harus mengabdi kepada-Nya dan tidak boleh menyekutukannya.7 Hakikat ibadah dan pendekatan diri kepada Allah dibangun atas dua hal.

Pertama, menyembah, yaitu merendahkan diri kapada Allah dengan melakukan

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, yang disembah meliputi segala

sesuatu yang dicintai dan diridoinya oleh Allah, yang berupa kenyataan dan

perbuatan, yang nampak dan yang tersembunyi seperti doa, zikir, salat. Misalnya,

salat merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk sarana yang

paling efektif untuk beribadah kepada Allah. Menyembah semata-mata karena Allah

dan merendahkan diri kepada-Nya, mengagumkan-Nya dan tidak menyembah kecuali

yang telah disyari‘atkan-Nya.8

7

Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin ( Jakarta: Serambi, 2007 ), hal. 14.

(30)

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna di antara

makhluk-makhluk lainnya. Ajaran agama menunjukan dengan jelas bahwa pada hakikatnya

manusia adalah mahkluk yang menyembah Tuhan. Jika ternyata mereka menyembah

binatang, bulan atau sesama manusia, itu adalah penyimpangan yang terjadi pada diri

manusia. Yang disembah pertama kali bukan patung, manusia, atau objek-objek

lainnya, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini karena manusia memiliki naluri

beribadah, atau yang disebut naluri keberagamaan.9

Manusia beribadah sepenuhnya kepada Allah dalam segala hal akidah,

perkataan, dan perbuatan, serta pengamal segala perintah dan larangannya tanpa

meminta imbalan. Karena Allah menciptakan manusia supaya mereka beribadah

kepadanya. Akan tetapi, ibadah yang dilakukan manusia tidaklah membawa manfaat

apapun bagi-Nya dan kedurhakaan manusia pun tidak akan menambah besar dan

kemuliaan-Nya. Allah tidak akan memerintahkan manusia kecuali dengan hal-hal

yang membawa kebijakan bagi diri manusia sendiri. Mereka yang patuh akan diberi

pahala yang baik di surga, dengan berbagai nikmat yang tiada taranya.10 Allah Swt. berfirman:

Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (al-An‘ām: 162-163).11

9

Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah, hal, 11.

10

Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, hal. 6. 11

(31)

Penjelasan di atas menunjukan bahwa segala sesuatu yang telah dilakukan

oleh manusia hanya untuk Allah tiada sekutu bagi-Nya. Dengan melakukan ibadah,

manusia akan tau dan selalu sadar bahwa betapa hina dan lemah dirinya bila

berhadapan dengan kekuasaan Allah. Jadi, ibadah merupakan wujud ketundukan

manusia kepada Tuhan karena sesuatu yang datang kepada manusia berawal dari

Tuhan dan akan kembali pada Tuhan dan manusia diciptakan hanya untuk

menyembah-Nya bukan untuk menyekutukan-Nya.

2. Ibadah Menurut Harun Nasution

Harun Nasution berpendapat bahwa manusia tersusun dari dua unsur: unsur

jasmani dan rohani. Unsur jasmani maksudnya adalah bahwa manusia tersusun dari

materi (jasad) yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan materi dan unsur ini bisa

membawa manusia kepada perilaku kejahatan. Sedangkan yang dimaksud dengan

rohani adalah bahwa manusia berasal dari immateri sehingga mempunyai kebutuhan

immateri (batin) dan unsur ini bisa membawa manusia kepada kebaikan.12 Oleh karena itu, seseorang seharusnya bisa menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan

immateri agar hidup manusia serasi dan tidak berat sebelah. Kemudian Harun

Nasution memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan bahwa ibadahlah yang

bisa menyeimbangkan antara rohani dan jasmani. Semua yang ada dalam ibadah

Islam bertujuan membuat rohani manusia bisa bersih dari kotoran-kotoran yang

menjadi penghalang dalam beribadah.

12

(32)

Harun Nasution mengungkapkan bahwa ibadah adalah mengerjakan perintah

Tuhan dan menjalankannya dengan tidak meminta imbalan. Semua ibadah baik itu

salat, puasa, haji, dan zakat, semuanya bertujuan supaya roh manusia tidak lupa pada

Tuhan, bahkan senantiasa dekat dengan-Nya.13

Di antara ibadah yang membawa manusia dekat dengan Tuhannya adalah

salat, karena ibadah salat adalah sistem peribadatan yang diwajibkan oleh Allah

kepada umat manusia melalui Nabi Muḥammad. Sistem peribadatan salat merupakan

panduan dari Allah kepada manusia tentang tata cara berhubungan atau menghadap

kehadirat-Nya, baik panduan unsur jasmani, maupun unsur rohani.14

Kedekatan manusia dengan Tuhan di saat salat merupakan penyerahan diri

kapada Tuhan dan memohon supaya rohani manusia untuk disucikan atau

dibersihkan. Jasmani dan rohani adalah satu kesatuan yang ada dalam diri manusia,

yang diciptakan Tuhan hanya untuk menyembah kepadanya. Pengembangan daya

jasmani seseorang tanpa dilengkapi dengan daya rohani akan menjadi berat sebelah

dan tidak seimbang di dalam hidupnya.

Oleh karena itu, sangatlah penting supaya roh yang ada dalam diri manusia

mendapat latihan dengan ibadah, sebagaimana badan manusia dapat latihan. Dalam

salat seseorang melakukannya hal-hal berikut: menuju Kemahasucian Tuhan,

menyerahkan diri pada Tuhan, memohon supaya dilindungi dari godaan setan,

13

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: jalid I , hal. 31. 14

(33)

memohon petunjuk ke jalan yang benar, dan memohon dijauhkan dari segala yang

tidak baik.15

Selain dari apa yang telah dikatakan Harun Nasution, misalnya bahwa salat

membawa manusia dekat dengan Tuhan, Harun Nasution juga melaksanakan ibadah

lainnya seperti zakat, puasa wajib atau sunnah, dan haji. Ia tidak hanya berpendapat

apa yang dimaksud dengan ibadah, tetapi ia mengerjakan dan memperaktekan dari

apa yang dikatakannya.

Terlihat dari perkataan Sumarso—anak angkat Harun Nasution bahwa Harun

Nasution sangat tekun dalam menjalankan ibadah. Terutama sebelum Harun Nasution

melaksanakan salat subuh, ia sudah bangun untuk salat sunah dan berzikir, kira-kira

subuh tinggal setengah jam lagi Harun Nasution membangunkan keluarganya untuk

salat berjamaah bersama. Hal itu berlangsung secara berkelanjutan dan istiqomah

setiap hari.16

Selain yang telah dikatakan oleh anak angkatnya, berkenaan dengan pribadi

Harun Nasution dalam melaksanakan ibadah, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan juga

mengungkapkan,

Peribadatan Harun Nasution sangat tekun. Hal ini terlihat pada waktu salat jum’at. Beliau berangkat ke masjid setengah jam sebelum azan atau khotbah dimulai. Tempat duduk Harun Nasution ada di barisan pertama. Akan tetapi, beliau tidak di dalam, melainkan di luar, di dekat kaca atau dinding pembatas

15

Andang B. Malla, Merasakan Allah: Salat yang Disambut Allah, hal. 31. 16

(34)

bagian dalam dengan bagian luar masjid. Beliau juga berzikir dan membaca ayat al-Qur’ān.17

Selain dari itu, pelaksanaan ibadah yang ditempatkan dalam konteks

kehidupan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari filsafat kehidupan

Islam. Ibadah mengandung dua pengertian, yakni ibadah praktik sekaligus konsep.

Ibadah bukan semata-mata merupakan serangkaian praktek, ritual, dan simbol.18

Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah seperti

halnya penyembahan yang terdapat dalam ajaran agama-agama primitif. Manusia

diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah, mengabdi, dan sebenarnya Tuhan

tidak berhajad untuk disembah atau dipuja manusia karena Tuhan adalah Maha

Sempurna.19

Menurut Harun Nasution ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan

pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’ān dikaitkan dengan takwa, dan takwa

(patuh) berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya. Perintah

Tuhan berkaitan dengan baik buruk, sedangkan larangan Tuhan berkaitan dengan

berbuatan-berbuatan yang tidak baik.20 Orang bertakwa dengan demikian orang yang

melaksanakan perintah Tuhan dan menjahui larangan-Nya, seseorang yang bertakwa

adalah orang yang berahlak mulia.21

17

Hasil wawancara dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan M.A., tangal 06 Oktober 2015 pukul 12: 25.

18

Muhammad Muhyidin, Hidup di pusaran Al-Fatihah ( Bandung: Mizan, 2008 ), hal. 12. 19

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jalid I ( Jakarta-UI Press, 1985 ), hal 32.

20

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran ( Bandung: Mizan, 1995 ), hal. 57.

21

(35)

3. Tujuan Iibadah

Ibadah bukanlah sekedar bentuk kegiatan fisik. Lebih dari itu, ibadah

memiliki tujuan mulia. Salat misalnya, tidak bermakna apapun bila tidak berdampak

pada pencegahan dari perbuatan keji dan mungkar. Begitu juga dengan puasa, ia tidak

bermakna apapun bila tidak mampu membuat pelakunya meninggalkan perilaku

kebohongan. Sama halnya dengan haji dan zakat yang dilakukan hanya karena ingin

dipuji (riyā’) dan pamer kepada orang lain. Meski demikian, tidak berarti bahwa

ibadah boleh ditinggalkan ketika tujuannya tidak dicapai. Yang dimaksud di sini

adalah ibadah yang dilakukan harus menimbulkan dampak bagi pembentukan jiwa

yang ikhlas dan tercapainya tujuan ibadah.22 Dalam hal ini, Harun Nasution mengartikan bahwa manusia diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah kepada

Tuhan yaitu mengerjakan perintah-Nya dan menyerahkan diri untuk tunduk dan

menjaga diri dari hukuman hari kiamat, melakukan perintahnya dan menjahui

larangannya.23 Ungkapan Harun Nasution di atas menunjukan bahwa ibadah itu membawa kebaikan dan menghilangkan kepada keburukan. Kemudian Allah

berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 21-22 sebagai berikut:

Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan tujuan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan

22

Musthafa Dib Al-Bugha, Al-Wafi: Syarah Hadits Arbain Imam An-Nawawiyya (Jakarta: Mizan Publik, 2007), hal. 20.

23

(36)

sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya. (al-Baqarah: 21-22).24

Berdasarkan Firman Allah di atas, jelas bahwa manusia beserta isinya

diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan. Karena itu, manusia beserta isinya tidak

boleh menyekutukan-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Sebagaimana menurut Muḥammad ‘Abduh, ibadah adalah suatu bentuk ketundukan

dan ketaatan yang mencapai puncak sebagai dampak dari rasa pengagungan yang

bersemai dalam lubuk hati seseorang. Rasa itu lahir akibat keyakinan dalam diri

seseorang bahwa objek dari ibadah memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau

hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa yang disembah dalam

ibadahnya adalah Allah yang menguasai jiwa raganya, namun Allah berada di luar

jangkauannya.25

Menurut Harun Nasution tujuan dari ibadah ialah mendekatkan diri kepada

Tuhan yang menguasai alam beserta isinya, karena dengan ibadah manusia bisa ingat

kepada hal-hal yang bersih dan suci, sehingga akhirnya rasa kesucian seseorang akan

kuat oleh dorongan ibadah kepada Allah.26 Dengan demikian, ibadah dari segala

bentuknya adalah tujuan hidup, bahkan hakikat kehidupan itu sendiri. Maka, rutinitas

hidup seorang Muslim hakikatnya adalah pelaksanaan berbagai bentuk ibadah.

Rasulullah bersabda, pada akhir zaman terjadilah ummatku tiga golongan.

Pertama, golongan yang beribadah kepada Allah secara ikhlas. Kedua, golongangan

24

Endang Hendra dkk., Al-Quran Cordoba (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2012). Hal. 4.

25

M. Fauzi Rahman, Ibadah-Ibadah Saat Haid (Bandung: Mizania Pustaka,2010), hal. 45. 26

(37)

yang beribadah kepada Allah secara riyā’. Ketiga, golongan yang beribadah kepada

Allah untuk mencari makan (kekayaan) dengan memperalat manusia.27

Dari ketiga golongan di atas sudah jelas bahwa tidak semua ibadah yang di

laksanakan manusia betul-betul mengikhlaskan diri kepada Allah, melainkan

mempunyai tujuan tersendiri di antara ibadah-ibadah yang dilaksanakannya. Ibadah

dalam Islam tidak hanya terbatas dalam ucapan atau bacaan dan doa tertentu, tetapi

mencakup aktifitas duniawi sepanjang dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas,

serta mencangkup syarat-syarat yang telah ditentukan. Hal ini dapat dipahami dari

firman Allah surat al-Dzāriyāt ayat 51 yang artinya:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.28

Hal ini menjelaskan tentang tujuan diciptakan jin dan manusia. Tidak ada satu

pun yang bermanfaat dan bermakna, tanpa dilakukannya ibadah. Oleh karena itu,

bentuk peribadatan yang dilakukan manusia mempunyai tujuan keikhlasan dan

ketundukan kepada Tuhan. Manfaat dari ibadah yang dilakukan oleh manusia, maka

akan kembali kepada manusia sendiri.29

Tujuan akhir ibadah yang diwajibkan Allah kepada manusia adalah setiap

perkataan, perbuatan, tingkah laku, akhlak sehari-hari, dan hubungan manusia dengan

27

Hamim Thohari, Cara-Cara Ibadah (Jakarta: Pustaka Inti, 2002), hal 37. 28

Syuhud Muchson, Dahsyatnya Shalat Tasbih (Jakarta: Qultum Media,2009), hal. 35. 29

(38)

sesamanya sesuai dengan manhaj (Jalan)30 dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Hendaklah setiap muslim melaksanakan semua perintah

dan menjauhi semua larangan-Nya, dan menyerahkan seluruh kepercayaan hanya

kepada Allah semata. Karena seseorang tidak boleh memisahkan ibadah dengan

tujuan. 31

Jadi bisa dipahami bahwa, ibadah tujuannya adalah untuk mendekatkan diri

kepada Allah dan mejauhi larangan-Nya. Dengan demikian roh manusia senantiasa

diangkat kepada hal-hal bersih dan suci, dan akhirnya rasa kesucian seseorang

menjadi kuat dan tajam. Roh yang suci membawa kepada budi pekerti yang baik dan

luhur, oleh karena itu ibadah di samping latihan spiritual, juga merupakan latihan

moral.32

Ibadah yang ada dalam Islam erat hubungannya dengan pembinaan moral

manusia. Misalnya salat, seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’ān bahwa salat

diperintahkan untuk menjauhkan manusia dari perbuatan jahat dan perbuatan tidak

terpuji. Puasa juga demikian, dalam al-Qur’ān dijelaskan bahwa puasa yang

dilakukan dengan ikhlas menimbulkan rasa takwa. Haji, ditegaskan dalam al-Qur’ān,

orang tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Mengenai zakat,

berhubungan dengan seruan pada perbuatan baik, baik yang berbentuk senyuman atau

lain sebagainya serta larangan berbut jahat. Oleh karena itu, wajar apabila Harun

30

Mahaj dalam bahasa Arab sama dengan Minhaj yang bermakna sebuah jalan yang terang lagi mudah. Dalam buku Ahmad Sihidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa (Jakarta: Impulse, 2007), hal. 45.

31

Abdur Rahman Abdul Kholiq, Sistem Da’wah Salafiyah Generasi Pertama Islam (Jakarta: Gema Insani, 2007 ). Hal. 36.

32

(39)

Nasution sering mengungkapkan bahwa ibadah dalam Islam berkaitan erat dengan

pembinaan akhlak. Apabila ibadahnya baik maka akhlak juga baik.33

Dengan demikian, berbagai hal mengenai ibadah yang dijelaskan oleh Harun

Nasution tampak lebih mementingkan (menekan) aspek kualitasnya dari pada aspek

hukum formal dari ibadah tersebut. Artinya, bagi Harun Nasution perwujudan ibadah

dalam realitas kehidupan seseorang lebih berharga daripada hanya mengerjakan

ibadah itu secara formal. Ibadah yang hanya dilakukan secara rutinitas formal saja,

tanpa ada pengaruhnya dalam setiap aktifitas seseorang, tidak punya banyak arti,

bahkan akan sia-sia saja, dalam arti tidak punya daya guna.

B. Moral

1. Pengertian Moral

Kata moral34 berasal dari kata latin ”mos-moris” yang berarti “adat kebiasaan”. Pengertian moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum yang

berkenaan dengan perbuatan, sikap, kewajiban manusia. Moral adalah aturan kongkrit

bagi penilaian baik buruknya perilaku manusia.

Di samping kata moral, terdapat istilah lain yang secara umum sering

dianggap memilki pengertian yang sama, yakni “etika”. Secara etimologis, kata etika

berasal dari kata Yunani “ethos”, yang secara harfiah juga berarti, “adat kebiasaan”,

33

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, hal. 444. 34

(40)

watak, atau “kelakuan manusia”. Istilah etika dipakai untuk menyambut ilmu dan

prinsip-prinsip dasar penilaian baik buruknya perilaku manusia.35

Berdasarkan definisi tersebut maka istilah moral dan etika memiliki

pengertian yang sama, yakni sebuah penilaian yang sesuai dengan ide-ide yang

diterima secara umum dari tindakan manusia yang berkaitan dengan makna yang baik

dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan

ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh manusia secara umum, yang meliputi

kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik

buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.36 Dengan demikian, moral hanya

berlaku pada manusia serta tidak terdapat pada makhluk selain manusia.37

Moral melekat pada diri manusia secara rohani. Orang yang memahami nilai

moral pasti mengerti tentang baik buruk dari apa yang dikerjakannya. Ketika

mengkaji tentang moral, berarti membahas terminologi yang sangat substansial yang

mengandung makna tentang norma kebaikan yang dihadapkanpada norma keburukan

seseorang.38

Di dalam bahasa agama, istilah moral atau etika juga sering diungkapkan

dengan istilah akhlak, yang mana di dalamnya terkandung nilai-nilai budi pekerti

baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari kebudayaan manusia. Berkenaan

35

Sudarminta, Etika Umum, (Yogyakarta: Kanisius IKAPI, 2013), hal. 3. 36

Imam Sukardi dkk., Pilar Islam bagi Pularalisme Modern (Solo:Tiga Serangkai, 2003), hal. 80.

37

Octa Dwienda Ristica, Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan

(Yogyakarta: Budi Utama, 2012), hal. 4. 38

(41)

dengan ini, agama Islam datang ke dunia untuk membimbing manusia agar mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tujuan dari agama Islam untuk

membina manusia agar beralih pada kebaikan dan kesehatan mental yang mendorong

untuk berbuat baik semata.

Seperti halnya perilaku Harun Nasution pada masa hidupnya baik di kalangan

keluarga maupun di kalangan masyarakat. Ia dikenal baik, ramah, sopan, tegas,

konsisten dan tepat waktu. Seperti halnya apa yang telah dikatakan Prof. Dr. Abdul

Aziz Dahlan, bahwa Harun Nasution sangat konsisten, apabila ingin bertemu dengan

beliau harus janji terlebih dahulu dan ditentukan jamnya dan biasanya malah Harun

Nasution lebih dulu datang dari pada yang ia janjikan dari jam sebelumnya. Harun

Nasution juga sangat menghargai orang lain dan selalu mengayomi

murid-murindnya.39

Dengan demikian, moral berarti tindakan manusia yang sesuai dengan ukuran

yang diterima oleh umum, sehingga tolak ukurnya adalah kebiasaan yang berlaku.

Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seseorang yang berbudaya kerja Islam itu

adalah nilai keikhlasan. Karena ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih

sayang dan pelayanan tanpa ikatan.

Kemudian untuk memperkuat argumentasi di atas maka Harun Nasution

menegaskan bahwa moral juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dalam diri

manusia, moral juga merupakan keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak

39

(42)

baik atau buruk walaupun situasi berbeda, karena tujuan dari ajaran Islam, untuk

mencegah manusia dari perbuatan buruk atau jahat dan selalu mendorong manusia

untuk mengerjakan kelakuan baik. Dari sinilah budi pekerti luhur masyarakat baik

dapat diwujudkan. Di samping membuat latihan spiritual dan moral manusia,

al-Qur’ān juga membawa ajaran-ajaran atau norma-norma yang harus dilaksanakan dan

dipegang oleh umat Islam. Allah berfirman dalam Ayat 58 dari Surah al-Nisā’ yang

artinya:

Tuhan memperintahkan supaya kamu menyampaikan kepada yang berhak apa yang dipercayakan padamu dan supaya bersikap adil jika menentukan hukum di antara manusia .40

Dari penjelasan ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk

berbuat adil kepada sesama. Perbuatannya tersebut tidak bisa lepas dari aturan-aturan

dan adat istiadat, baik dan buruk yang dikerjakan manusia untuk melihat baik

buruknya manusia harus dilihat dari aspek moral. Seperti halnya apa yang telah

dikatakan Immanuel Kant, ia berpendapat bahwa perbuatan baik menjadi baik, karena

akibat-akibat baik yang timbul dari berbuatan itu dan tidak pula bahwa karena ajaran

agama mengerjakan bahwa perbuatan itu baik.

Oleh karena itu suatu perbuatan adalah baik, karena manusia tahu dari

perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk mengerjakan

yang baik dan mejauhi perbuatan-perbuatan buruk. Selain dari itu Harun Nasution

mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam hidupnya, sehingga

40

(43)

manusia setiap hari selalu mengadakan pilihan antara tunduk perintah hati sanubari

dan patuh pada kemauan.41

Dalam kehidupan manusia sehari-hari jelas kelihatan bahwa manusia

mempunyai pilihan untuk menempuh jalan hidupnya karena dalam diri manusia ada

perintah sanubari dan rayuan kemauan hati. Hati membawa kepada kebaikan,

sedangkan kemauan bisa membawa kebaikan dan keburukan.42 Yang dimaksud baik dalam tulisan di sini adalah dengan perbuatan baik bukan hanya yang merupakan

ibadah, tetapi perbuatan duniawi yang setiap hari dilakukan manusia, bahkan juga

dengan mahluk lain, termasuk binatang. Demikian juga dengan berbuatan buruk atau

jahat adalah perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan manusia, juga terhadap

sesama manusia, di samping terhadap sesama manusia dan mahluk lain di dunia ini.43

2. Hubungan Manusia dengan Alam

Hidup di dunia ini tidak akan bisa sendiri, melainkan butuh kepada

mahluk-mahluk lain yang ada di dalam bumi, baik benda hidup, maupun benda mati. Dengan

kata lain, yang hidup di dunia ini bukan hanya manusia saja, begitu juga dengan

hubungan yang kita lakukan setiap harinya tidak hanya berhubungan dengan sesama

manusia, melainkan dengan dunia sekitarnya. Islam adalah agama yang beretika di

41

Harun Nasution, Filsafat Agama ( Jakarta: Bulan Bintang, 2003 ), hal. 66. 42

Harun Nasution, Filsafat Agama, hal. 66.

43

(44)

dalamnya terdapat sebuah konsep ajaran. Moral merupakan bangunan dasar

bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk bersikap ramah terhadap lingkungan.44

Dalam ajaran Islam, hubungan manusia dengan alam adalah satu kesatuan

yang tidak bisa dipisahkan, karena manusia menurut ciptaannya merupakan unsur

alam dan gerak untuk melakukan aktivitas hidup. Maka alam adalah ladang hidup

manusia.45

Manusia dan alam secara bersamaan adalah sebagai pihak kedua, dari dua

pihak dualisme wujud (Allah dan alam), sebagai pihak pertama adalah Allah, sebagai

asal dari segala wujud dan mengatur dari segala urusan, termasuk di dalamnya adalah

alam semesta dan keseluruhan kesatuannya yang tampak. Di antara tanda-tanda

kesatuan manusia dan alam adalah kesatuan dalam asal dan tempat kembali.

Masing-masing datang dari ketiadaan dengan ‘Irādah Ilāhyyah (kegiatan Tuhan), sebab

Allahlah yang menciptakan sesuatu dan menentukan takdirnya.46.

Sedangkan menurut Harun Nasution alam merupakan tempat di mana

manusia berada di dalamnya telah menyediakan segala kebutuhan manusia. Dari alam

manusia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.47 Sedangkan manusia menurut ciptaannya merupakan unsur alam. Oleh karena itu, ajaran Islam memaparkan

hubungan manusia dan alam terdiri atas tiga dasar, kesatuan manusia dan alam,

Abdul Majid An-Najar, Khilafah, tinjauan Wahyu dan Akal ( Jakarta: Gema Insani, 1999 ), hal. 61.

46

Abdul Majid An-Najar, Khilafah, Tinjauan dan Akal (Jakarta: Gema Insani Press 1999). Hal 61.

47

(45)

ketinggian manusia, dan mendayagunakan alam bagi manusia. Dalam al-Qur’ān surah

Al-Baqarah: ayat, 164 menjelaskan kejadian alam semesta, diiringi dengan perintah

supaya “ayat” dalam arti tanda-tanda Tuhan yang terdapat di alam ini dipikirkan dan

manusia bisa berfikir dalam jiwanya.

Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti. (QS. Al-Baqarah: 164).48

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi semua yang berakal. (QS. Ali-Imran: 190).49

Ayat ini menggambarkan bahwa dalam jiwa terdapat dua daya. Pertama, daya

berfikir yang disebut akal. Kedua, daya rasa yang disebut kalbu atau hati nurani.

Selain dari manusia, makhluk yang lainnya tidak dikarunia akal oleh Tuhan. Dengan

daya yang ada dalam diri manusia, yakni daya jasmani yang di dalamnya terdapat

daya hidup dan daya berfikir, manusia bisa berkembang di bumi. Dengan daya berfkir

bisa menghasilkan ilmu, baik ilmu keakhiratan, maupun ilmu dunia atau yang disebut

sains.50

Manusia secara alamiah tidak saja makhluk rasional, tetapi juga makhluk

sosial. Aturan tersebut secara alamiah berlaku untuk manusia dan ditentukan oleh

48

Endang Hendra, Al-Quran Qordoba ( Bandung: Qordoba Internasional Indonesia, 2012 ), hal. 25.

49

Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 79. 50

(46)

manusia sendiri, sehingga manusia mempunyai kebebasan memilih. Mereka (umat

manusia) tidak mungkin melanggar hukum alam selama ia melakukan

tindakan-tindakanya di bawah kontrol akalnya. Dengan begitu, manusia bisa hidup harmonis

satu dengan lainnya.

Seperti halnya apa yang dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya

baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Harun Nasution juga menghargai

apa yang ada di alam. Harun Nasution menghargai hewan dan lingkungan sekitarnya.

Seperti halnya apabila ada orang menginjak rumput yang di pelihara, maka beliau

menegur meski orang yang ditegur sangat akrab dengannya.51

Terlihat apa yang telah dilakukan oleh Harun Nasution pada masa hidupnya

bahwa keadaan manusia di dunia tidak terlepas dengan hukum alam dan semestinya

selalu memelihara apa yang ada di alam. Maka manusia harus patuh dengan hukum

alam dan melindungi apa yang ada di alam ini. Selain itu, Harun Nasution juga

menegaskan bahwa manusia sebetulnya tidak mempunyai kebebasan dan

kemerdekaan di alam karena manusia tersusun dari unsur materi, mempunyai sifat

terbatas karena dalam diri manusia juga terikat pada hukum alam sehingga hal ini

membawa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mutlak karena

dibatasi unsur materi dan hukum alam. Kemauan manusia mungkin tidak tebatas, tapi

daya dan tenaganya bisa terbatas.52

51

Hasil wawanca dengan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan MA, tangal 06 Oktober 2015 jam: 12: 25.

52

(47)

Di dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menegaskan bahwa alam diciptakan

Tuhan untuk menyediakan kebutuhan manusia. Salah satunya dijelaskan dalam ayat

berikut yang artinya:

Allah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan hujan dari langit yang dengannya ia keluarkan buah-buahan untuk makanan manusia (al-Nḥl [14]: 32).

Dengan begitu, Allah menciptakan bumi dan langit ini tidak sia-sia, tetapi

hanya untuk kepentingan manusia. Allah menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan,

melainkan untuk kepentingan manusia.53

Sesuai dengan perintah al-Qur’ān yang mana manusia harus memakai akalnya

untuk menyelidiki alam sekitarnya, bahwa alam diatur oleh Tuhan menurut hukum

alam. Tuhan menciptakan hukum alam supaya dipatuhi oleh alam. Segala yang terjadi

di alam ini sesuai dengan hukum alam yang diciptakan Tuhan. Harun Nasution

menegaskan bahwa dengan mengetahui hukum alam, manusia memperkirakan apa

yang akan dilakukannya. Sehingga dengan adanya hukum alam ini, manusia dapat

menyusun rencana masa depannya dalam hidup di dunia. Apabila manusia telah

menyusun masa depannya manusia bisa tercapai yang ditujunya.54

3. Hubungan Manusia dengan Manusia

Manusia adalah makhluk rasional, manusia memikirkan bagaimana ia

menghidupi relasinya agar tidak pernah berhenti. Ia mempertanyakan lingkungan

53

Endang Hendra, Al-Quran Qordoba, hal. 274. 54

(48)

yang membentuknya untuk melakukan relasi secara tertentu. Manusia selalu

mempertanyakan kodrat dirinya dengan apa yang ia yakini sebagai asal dan tujuan

hidup. Manusia memahami bahwa bagi dirinya kedekatan dengan manusia lain

merupakan hal penting bagi kelangsungan hidupnya.55

Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan, manusia mempunyai kewajiban dan

hak (berbakti atau bekerja dan memohon) kepada Tuhan untuk kepentingan dirinya

dan masyarakat. Hal ini merupakan kesadaran bahwa sebagai manusia, ia tidak dapat

hidup menyendiri. Artinya, manusia membutuhkan kerjasama dengan sesama

manusia lainnya. Seperti halnya orang tua, keluarga, tetangga, masyarakat,

lingkungan, bangsa, umat manusia, serta makhluk lainnya.56

Harun Nasution menjelaskan bahwa manusia berasal dari sumber yang satu.

Hal tersebut seharusnya membawa kepada kesadaran bahwa manusia seluruhnya

bersaudara, meskipun berlainan warna, bangsa dan bahasa, bahkan sungguhpun

berlainan agama. Manusia secara fitrah mempunyai keinginan yang selalu mendorong

menuju segala sesuatu yang menguntungkan, baik dari aspek materi—berupa

keluarga dan anak-anak serta harta benda—maupun dari aspek spiritual, seperti rasa

aman, harga diri, dan percaya diri. Semua itu dapat diraih oleh manusia sekaligus

55

Prof. Dr. M. Sastra Pratedja, Manusia Teka-Teki yang Mencari Solusi (Yogyakarta: kanisius, 2009), hal. 13.

56

(49)

merupakan refleksi yang baik untuk menghasilkan manusia-manusia yang

berkualitas.57

Hubungan antar sesama manusia yang saling menghormati, mencintai dan

menyayangi dapat diterapkan pada berbagai situasi dan keadaan. Misalnya, dalam

kehidupan keluarga dan masyarakat, hubungan dengan suami istri, hubungan dengan

anak, hubungan dengan orang tua, hubungan dengan saudara harus tetap harmonis,

saling memelihara, memanfaatkan dengan baik, dan hubungan guru dengan

muridnya. Apabila hubungan dengan sesama baik, maka hidup di dunia akan merasa

aman, nyaman, dan sejahtera. Seperti halnya hubungan guru dengan muridnya yang

terlihat dalam kehidupan Harun Nasution. berkenaan dengan itu, Prof.Dr. Zainun

Kamal mengatakan,

“Pak Harun tidak pernah membedakan antara guru dengan muridnya. Yang dilihat oleh Harun Nasution adalah segi keilmuannya”.58

Manusia dengan manusia terdapat hubungan yang sangat kuat. Keduanya

saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi, dan saling bergantung

sama lain. Sumarso mengatakan bahwa dalam kehidupan kesehariannya, Harun

Nasution tidak pernah membedakan satu sama lainnya. Dalam keluarga Harun

Nasution membuat undang-undang supaya dipatuhi oleh keluarga; apabila ada yang

melanggar Harun Nasution tidak segan-segan untuk memberikan hukuman pada anak

57

Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan ( Yogyakarta:; LKiS, 2009), hal. 234.

58

Referensi

Dokumen terkait

Menurut stanford d.school mengartikan proses empati sebagai,” Empatize is the foundation of human centered design. The problem you’re trying to solve is rarely your own, they are

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan terlihat bahwa faktor yang mendorong bergabung dengan kelompok karena adanya kebutuhan dari dalam diri

Penyediaan tempat bertelur agar mudah mengambil telur dan kulit telur tidak kotor, Penyediaan tempat bertelur agar mudah mengambil telur dan kulit telur tidak kotor, dapat

Dampak reformasi birokrasi terhadap kinerja KPK terlihat dari tugas koordinasi yang telah dilakukan dalam hal pemberantasan korupsi dengan instansi yang berwewenang

Dokter sebagai individu yang memiliki keahlian di bidang kesehatan secara administratif profesi dipercaya oleh rumah sakit untuk menangani pasien yang ada di rumah sakit

Skripsi yang berjudul “PEMBUATAN PUPUK GRANULA CRF BERBAHAN LEMPUNG DAN KAJIAN PROFIL PELEPASAN KCl KE DALAM MEDIA AQUADEST PADA BERBAGAI SUHU” ini disusun untuk

Menyediakan material hasil peledakan Melaksanakan meeting harian dilapangan untuk mendukung agar proses produksi berjalan lancar Melakukan kontrol kualitas, sehingga proses