• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep adil dalam izin poligami ( analisis yurisprudensi putusan pengadilan agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.BKS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep adil dalam izin poligami ( analisis yurisprudensi putusan pengadilan agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt.G/2008/PA.BKS)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh: AHMAD NAFI’I NIM: 107044201863

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh: AHMAD NAFI’I NIM: 107044201863

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982031012

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULAH

JAKARTA

(3)

Yurisprudensi Putusan Pengadilan Agama Bekasi Perkara No. 205/Pdt. G/PA. Bks) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyah Administrasi Keperdataan Islam.

Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001 Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA

NIP. 196906102003122001

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag NIP. 197210101997031003 Penguji II : Dr. Yayan Sopyam, M. Ag

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang dajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 04 Mei 2011

(5)

i

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang telah memberikan rahmat, karunia dan berbagai nikmatnya, terutama nikmat iman, Islam

serta sehat wal „afiat, hanya dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Khatimul Anbiya wa al-Mursalin, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliah sampai zaman terang benderang seperti sekarang ini. Semoga tercurahkan pula kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau, mudah-mudahan kita termasuk bagian dari umatnya yang akan mendapat syafa‟at di akhirat nanti.

Proses penyelesaian skripsi ini adalah karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak memberikan perhatian, bimbingan, kritik, saran dan banyak meluangkan waktunya dalam membimbing dengan penuh kesabaran.

(6)

ii

Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung.

4. Segenap jajaran karyawan akademik fakultas dan universitas berikut jajaran karyawan perpustakaan fakultas dan universitas.

5. Umi dan Abiku, Hj. Aliyah binti H. Adih dan H. Arsyad bin H. Muhur yang dicintai yang tak pernah jemu mendoakan dan senantiasa memberikan didikan, kasih sayang, semangat, perhatian, dorongan serta bantuan keuangan dalam menyelesaikan proses penulisan ini.

6. Para staf di Pengadilan Agama Bekasi yang memberikan kerjasama yang amat memuaskan kepada penulis.

7. Kakak-kakakku, Tuti Alawiya beserta suami, H. Adang beserta isteri, Nur Qomariyah beserta suami dan adikku Ahmad Baihaki yang selalu memberikan motifasi dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, yang selalu membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

iii

kenangan indah yang telah kita lalui bersama akan menjadi kenangan yang indah di dalam memori.

11.Terakhir, terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini sehingga selesai.

Demikian penulis menyelesaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, harapan penulis semoga Allah SWT membalas semua jasa kalian. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang berkaitan maupun pada pembaca pada umumnya.

Ciputat, 6 April 2011 M, 2 Jumadil Akhir 1432 H

(8)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review Kajian Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI A. Pengertian, Dasar Hukum, Sejarah, Syarat-syarat dan Hikmah Poligami ... 12

B. Pendapat Ulama Tentang “Ta‟ddud al-Zaujah” ... 24

C. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam .... 27

D. Konsep Adil Dalam Poligami Menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974 dan KHI ... 52

(9)

v

B. Landasan Yuridis Putusan Pengadilan Agama ... 66

C. Penetapan Pengadilan Agama Dalam Perkara Izin Poligami ... 68

D. Prosedur Penetapan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami ... 69

E. Analisis Tentang Keadilan Poligami ... 76

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 80

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia mengandung asas perkawinan monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat pengarahan kepada terbentuknya perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali praktik poligami.1 Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu orang, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat terpenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana cara pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan, maka kita memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dengan rinci.2

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki

1

Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal. 77

2

(11)

sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.3

Menurut Undang-Undang ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan terpenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu.4

Pengadilan harus melakukan pemeriksaan sejak diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pengadilan juga harus memanggil dan mendengarkan alasan-alasan isteri mengizinkan suaminya melakukan poligami. Apabila alasan-alasan itu sudah terpenuhi, maka pengadilan harus meneliti apakah apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif.

Pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seseorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonana izin, yaitu:

3

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 156

4

(12)

1. Adanya persetujuan dari isteri;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.5

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut

berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila:

1. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.6

Apabila syarat-syarat secara tersebut sudah terpenuhi, maka pengadilan barulah memberi izin kepada pemohon untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut berdasarkan hukum dan pada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana terdapat dalam pasal 44 dan 45 Undang-Undang perkawinan.

Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar aktualisasi hukum tetap ada juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak dilaksanakan dengan alasan tetap. Maka kemudahan

5

Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 2

6

(13)

memperoleh izin poligami dalam prakteknya di Pengadilan Agama menimbulkan persepsi inkonsistensi Pengadilan Agama dalam memberikan izin poligami karena secara fakta memberikan mengizinkan pemohon berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan.7

Dalam pandangan fiqih, poligami yang didalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta‟addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam. Dalam kitab al-Mabsut, yang ditulis as-Sarakhsi tidak ditemukan tentang asas perkawinan tetapi hanya keharusan suami yang berpoligami untuk berlaku adil kepada para isterinya.8 Dalam kitab al-Muwatha, karya Imam Malik hanya ditulis kasus seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan memiliki isteri sepuluh dan ternyata nabi hanya menyuruh untuk mempertahankan empat saja.9 Dengan syarat berlaku adil, walaupun menurut Syafi‟i keadaan tersebut hanya bisa dilakukan menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau siang hari, bukan keadilan secara batin seperti kecenderungan hati kepada salah seorang isteri, yang tidak dapat tersanggupi oleh manusia.10

7

Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 10

8

Syam ad-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1409-1989), v. 217

9

Imam Malik, Al- Muwatha, Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi (tt: ttp, tth), hal. 362

10

(14)

Disinilah menurut penulis walaupun boleh poligami dengan segala ketentuan dan persyaratan baik dalam agama maupun perundang-undangan, kecenderungan suami tidak dapat berlaku adil sulit, maka perlu adanya pertimbangan dengan seksama.

Beranjak dari latar belakang permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas banyak sekali permasalahan yang muncul, untuk menghindari pembahasan yang sangat luas itu maka penulis menguraikan dasar-dasar hukum dan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Agama Bekasi dalam mengabulkan permohonan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks.

2. Perumusan Masalah

(15)

hati. Maka dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada di luar kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya.

Namun dari realita yang ada di masyarakat seorang suami tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. Apalagi diluar kesanggupannya, seperti: perasaan cinta dan kecenderungan hati.

Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis merinci masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan, yaitu:

a. Hal-hal apa yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberikan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks? b. Bagaimana konsep keadilan menurut hakim dalam memberi izin poligami

dalam putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

a. Mengetahui hal-hal yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan yang dipergunakan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami pada putusan No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks

(16)

2. Manfaat Penelitian

a. Secara akademik, menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang syariah, khususnya dalam bidang perkawinan dan mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemberian izin poligami.

b. Secara praktis, agar masyarakat mengetahui gambaran pengaturan poligami dalam hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia.

D. Review Kajian Terdahulu

Sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan poligami baik ditinjau menurut perspektif hukum Islam maupun perundang-undangan.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Walaupun objek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar, misalnya judul skripsi Analisis Yuridis Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Timur Tentang Permohonan Izin Poligami (No. 137/Pdt.G/2005/PA.JT) dan (No.

3303/Pdt.G/2005/PA.JT), yang disusun oleh Anita Harun Tagun 1427 H/2006 M. skripsi ini lebih fokus kepada proses penyelesaian pemeriksaan perkara permohonana izin poligami di PA. Jaktim dengan alasan-alasan dua putusan.

(17)

Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Barat) tahun 1428 H/2007 M. Skripsi ini lebih fokus kepada adanya kepada kesesuaian prosedur dan persyaratan dalam mengajukan izin poligami di PA. Jakbar dengan UU No. 1 Tahun 1974, tanpa melihat hukum Islam dan hukum positif lainnya di Indonesia.

Dari kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari kajian mengenai poligami sepengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang menjadikam judul penelitian “Konsep Adil Dalam Izin Poligami (Analisis Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks)"

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Data

Dilihat dari segi datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma, atau aturan-aturan dari kasus yang diteliti, oleh karena itu penulis berupaya mencermati mengenai izin poligami yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama. Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian lapangan yang menggambarkan data-data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. 2. Sumber Data

(18)

wawancara terhadap pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis bahas. Sedangkan data sekunder adalah putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks dan beberapa dokumentasi hukum yang terkait dengan permasalahan izin poligami

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah sebagai berikut:

a. Studi Putusan Yurisprudensi

Studi putusan yurisprudensi yaitu teknik pengumpulan putusan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosoial yang sama.11 Dalam hal ini, studi putusan yuresprudensi yang dilakukan adalah studi putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor: 205/Pdt. G/2008/PA.Bks.

b. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep dari beberapa literatul yang terkait dengan materi pokok permasalahan yang akan penulis bahas, baik dari buku-buku karangan ilmiah, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kompilasi

11

(19)

Hukum Islam serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.

c. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 205/Pdt. G/2008/PA.Bks sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal skripsi ini kurang lebih penulis uraikan sebagai berikut:

Bab I Merupakan pendahuluan yang memuat beberapa sub-bab, diantaranya adalah: Letar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penulisan dan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Didalamnya mengurai landasan teoritis mengenai poligami yang menyangkut tentang: pengertian poligami, dasar hukum poligami, syarat-syarat poligami dan hikmah poligami, pendapat ulama

(20)

perspektif hukum Islam, konsep adil dalam poligami menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI.

Bab III Merupakan pemaparan tentang izin poligami sebuah ambivalensi hukum yang di dalamnya terdiri dari: Deskripsi putusan Pengadilan Agama Bekasi, landasan yuridis putusan Pengadilan Agama, penetapan Pengadilan Agama dalam perkara izin poligami, prosedur penetapan hukum Islam terhadap izin poligami, analisis penulis tentang keadilan poligami

(21)

12 BAB II

LANDASAN TEORITIS TENTANG POLIGAMI

A. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat-syarat dan Hikmah Poligami 1. Pengertian Poligami

Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologinya “poli” artinya “banyak” dan “gami” artinya “istri”. Jadi poligami itu artinya beristeri banyak. Sedangkan secara terminologinya, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Atau seorang laki-laki beristeri lebih dari satu orang.1

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani pecahan dari kata “poly” yang artinya banyak, dan “gamein” yang berarti pasangan, kawin atau perkawinan. Secara epistemologis poligami adalah “suatu perkawinan yang banyak” atau dengan kata lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari

seorang, seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu pada waktu yang bersamaan.2

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

pengertian poligami adalah “ikatan perkawinan yang salah satu pihak

1

Zaleha Kamaruddin, Kamus Istilah Undang-Undang Keluarga Islam, (Kuala Lumpur: Zebra Editions Sdn Bhd, 2002), Cet. Ke-1, hal. 14

2

(22)

memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang

bersamaan”.3

Term poligami ini sebenarnya mempunyai makna umum, yaitu memiliki dua orang isteri atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Adapun kebalikan dari perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami hanya memiliki seorang isteri.4

Dalam Islam poligami mempunyai arti memiliki isteri lebih dari satu, dengan batasan umum yang telah ditentukan. Al-Qur‟an memberi penjelasan empat untuk jumlah isteri meskipun ada yang mengatakan lebih dari itu. perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran tentang ayat yang menyatkan boleh berpoligami.5

Opini masyarakat Islam mengenai kebolehan berpoligami yaitu anggapan jumlah perempuan yang semakin bertambah dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang ada, tersebutkan dalam rasio perbandingan 1:3. Dengan alasan tersebut para ulama berpendapat bahwa tujuan ideal dalam Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang konsep poligami yang jelas-jelas tertulis dalam ayat Al-Qur‟an itu, menurut sebagian mereka adalah hanya karena tuntutan zaman ketika masa nabi, yang ketika itu banyak anak yatim atau janda yang ditinggal bapak atau suaminya. Sedangkan sebagian pendapat

3

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 18

4

Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, ( Yogyakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999), cet. Ke-1, h. 71

5

(23)

yang lain meyatakan bahwa kebolehan berpoligami hanyalah bersifat darurat atau kondisi terpaksa, karena agama adalah memberikan kesejahteraan (mashlahat) bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat atau kesusahan. Darurat dikerjakan jika hanya sangat terpaksa.6

2. Dasar Hukum Poligami

a. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam

Mengenai dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh dengan proses sejarah poligami dan juga hal-hal yang berkaitan dengan konsep tujuan berpoligami. Bangsa Arab dan non Arab sebelum Islam datang sudah terbiasa berpoligami. Ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam mengajarkan dan memberikan arahan untuk berpoligami yang adil sejahtera.7

Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu orang isteri saja.8 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisaa ayat 3 yang berbunyi:

6

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 117

7

Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 119

8

(24)



































































4

3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisa/4: 3)

Apabila seorang laki-laki merasa tidak mampu berlaku adil, atau tidak memiliki harta untuk membiayai isteri-isterinya, dia harus menahan diri dengan hanya menikah dengan satu orang saja.

Sayyid kutub berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam kehidupan hal-hal yang tidak dapat dipungkiri dan dilewatkan keberadaannya, seperti halnya melihat masa subur laki-laki yang berlangsung hingga umur 70 tahun atau diatasnya, sementara kesuburan seorang perempuan terhenti ketika mencapai umur 50 tahun atau sekitanya. Maka dari itu, terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur laki-laki dibandingkan masa subur perempuan.9

Imam Malik berkata dalam al-Muwatha‟ bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah SAW bersabda:

9

(25)

10

Artinya: “Dari Usman bin Muhammad bin Abi Suwayd: Sesungguhnya

Rasulullah SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri. Beliau bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”. (HR. Daruquthni)

Dalam hadits lain, Imam Daruquthni meriwayatkan:

11

Artinya: Dari Ar-Rabi‟ bin Qais berkata: “Sesungguhnya kakeknya Haris bin Qais telah memeluk agama Islam dan ia memiliki delapan orang isteri, maka Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk memilih empat isteri saja dari mereka”. (HR. Daruquthni)

Mempunyai isteri lebih sari satu sangatlah penting bagi seorang suami untuk berlaku seadil mungkin terhadap isteri-isterinya. Karena tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, suami dan isteri-isterinya serta anak-anaknya dapat hidup rukun, damai dan berkasih sayang. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam

al-Qur‟an surat ar-Ruum ayat 21:

10

Ali bin Umar Daruquthni, Sunan Daruquthni, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 2, h. 166

11

(26)

























































30

21

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfiki.” (QS. Ar-Ruum/30: 21)

Ayat selanjutnya yang berkaitan dengan perkawinan poligami yaitu yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129:















































4

129

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa/ 4: 129)

(27)

Islam memandang poligami lebih banyak membawa madharat/resiko dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anaknya, maupun konflik antara isteri beserta anaknya masing-masing.12

Oleh karena itu asas perkawinan dalam Islam adalah menganut asas monogami.

b. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Penetapan dasar hukum mengenai poligami selain yang tertera dalam surat an-Nisaa ayat 3 mengenai kebolehan poligami, juga didasari oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam Pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang bersangkutan mengenai poligami berikut juga persyaratannya.

Pada dasarnya Undang-Undang perkawinan di Indonesia menganut prinsip monogami, prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:

12

(28)

“Pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami”.13

Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip monogani tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang yang tertentu saja yang dapat melakukannya.14

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristeri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3,4 dan 5 yang berisikan alasan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beristeri lebih dari seorang. Pasal 3 ayat (2) menerangkan bahwa:

“Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri

lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”. Ayat ini jelas sekali bahwa Undang-Undang perkawinan

telah melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.15

13

Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), cet,. Ke- 37, hal. 538

14

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156

15

(29)

Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) menerangkan bahwa: “Apabila

seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan

permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya

dalam ayat (2) disebutkan: “Alasan-alasan pengadilan mengizinkan

seorang suami berpoligami apabila: 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; 2. Isteri mendapat cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seoarang suami yang akan beristeri lebih dari satu.16 Diantaranya adalah: a. Adanya persetujuan dari isteri pertama; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya; dan c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Namun apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai dalam perjanjiannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, dan sebab-sebab lain

16

(30)

yang mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak dapat memerlukan persetujuan dari isterinya.17

Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat melakukan poligami. Sedangkan Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif, dimana seluruh persyaratan harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.

3. Sejarah Poligami

Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu sebelum agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami merupakan hal yang biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman, Cekoslovakia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah Negara-negara yang berpoligami. Dengan demikian bangsa-bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang berpoligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut

17

(31)

Islam, seperti Afrika, Cina, India, dan Jepang.18 Maka tidaklah benar jika poligami hanya terbatas di negeri-negeri Islam.

Sebenarnya Kristen pun tidak melarang adanya poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu pun dengan tegas melarang poligami. Para pemeluk Kristen bangsa Eropa, dahulu mempunyai adat istiadat hanya boleh kawin dengan seorang wanita saja. hal ini disebabkan karena sebagian besar bangsa Eropa penyembah berhala, yang kemudia didatangi oleh agama Kristen, adalah orang-orang Yunani dan Romawi yang terlebih dahulu mempunyai kebiasaan yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat istiadat nenek moyang mereka tetap dipertahankan dalam agama Naru itu. jadi sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama Kristen semata, tetapi merupakan warisan agama berhala (Paganisme). Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai aturan agama.19

4. Syarat-syarat Poligami

Mengenai syarat-syarat poligami, seperti yang dijelaskan pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana

18

Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), cet. Ke-1, h. 60

19

(32)

poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonana izin, yaitu:

a. Adanya persetujuan dari isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.20

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.21

Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan yang sangat ketat jelaslah bahwa asas Undang-Undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka.22

20

Undang-Undang Pokok Perkawinan, hal. 2

21

Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34

22

(33)

5. Hikmah Poligami

Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah SWT pasti terdapat hikmah yang dapat diambil oleh manusia. Karena setiap permasalahan pasti terdapat hikmah di dalamnya, demikian pula ketika Allah menurunkan ayat tentang poligami. Mengenai hikmah poligami, antara lain adalah sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang

mandul;

b. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapt disembuhkan;

c. Untuk menyelamatkan suami dari hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya;

d. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di masyarakat yang jumlah wanitanya lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang sangat lama.

B. Pendapat Ulama Tentang “Ta’ddud al-Zaujah”

Dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta‟addud al-Zaujat yang artinya bertambahnya jumlah isteri. Dengan

demikian ta‟addud al-zaujah berarti dapat dikatakan perkawinan yang tidak

(34)

persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam.

Dalam Islam ta‟ddud al-zaujah mempunyai isteri lebih dari satu, dengan batasan umum yang telah ditentukan di dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan empat untuk jumlah isteri. Namun terdapat perbedaan yang disebabkan karena perbedaan penafsiran tentang ayat tersebut, yakni:



































































4

3

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak

berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa: 3)

Maksud dari kata dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat. Ulama ahli bahasa sepakat, bahwa kalimat-kalimat itu adalah kalimat hitungan, yang masing-masing menunjukkan jumlah yang disebut itu. matsna berarti: dua, dua; tsulasa berarti: tiga, tiga; ruba‟ berarti: empat, empat. Jadi maksud dari ayat di atas adalah kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai sesukamu dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat.

(35)

orang banyak: bagikanlah uang ini 1000 dirham misalnya dua dirham, dua dirham, tiga dirham, tiga dirham atau empat dirham, empat dirham. Jika omongan itu disebutkan dalam bentuk tunggal (ifrad), maka tidak mempunyai arti, misalnya engkau mengatakan: bagikanlah uang ini dua dirham. Tetapi jika engkau mengatakan: dua dirham, dua dirham maka maknanya berarti masing-masing mendapatkan dua dirham saja, bukan empat dirham.

Jadi, menurut ayat ini kawin lebih dari empat itu adalah haram. Dan semua ulama ahli fiqih telah sepakat atas perkara tersebut. Sedangkan para ahli

bid‟ah (orang yang membuat model dalam agama), menyatakan bahwa kawin

Sembilan itu boleh, karena dalam ayat di atas dipergunakan “wawu” (dan) liljam‟i

untuk menggabungkannya, yakni 2+3+4=9.

Al-„allamah al-Qurtubi berkata: ketahuilah bahwa bilangan yang terdapat

pada ayat di atas (matsna, tsulatsa, ruba‟) tidak dibolehkannya kawin Sembilan,

sebagaimana pengertian orang yang jauh dari pengertian al-Qur‟an dan al -Sunnah, dan menentang yang menjadi kesepakatan ulama-ulama terdahulu,

dengan beranggapan bahwa “wawu” disini adalah liljam‟i.

Aku (Shabuni) mengatakan bahwa: Ijma‟ ulama menetapkan haram kawin

lebih dari empat. Masa mereka yang telah berijma‟ itu telah berlalu, sebelum

datangnya orang-orang belakang yang banyak menyimpang itu. oleh karena itu anggapan mereka ini sama sekali tidak berharga, bahkan menunjukkan kebodohannya.23

23 Mu‟ammal Hamidy dan Imron A. Manan,

(36)

C. Konep Adil Dalam Poligami Menurut Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian Adil

Banyak sekali istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang kompleks dan sulit untuk merumuskan secara baku. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut dia belum tentu adil juga bagi masyarakat yang lain. Adil menurut orang sekarang, belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa mendatang.24

Adil secara bahasa adalah musytaq dari kata „adala, ya‟dilu, „adalan fahuwa „aadilun. Al-„Adl berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau

menyamakan yang satu dengan yang lain. Istilah lain dari al-„adl adalah al -Qisth, al-Mitsl, dan al-Mizan.

Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, maupun dari segi ukuran sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Dengan kata lain adil berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Ada juga yang mengartikan adil itu dengan “wad‟u al-Syai fi mahallihi” (meletakkan sesuatu pada tempatnya).25

Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa adil kata adil mengandung dua pengertian. Pertama, adil berarti berbuat sama

24

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Lampiran UU No. 1 Tahun 1974, (Jakarta:Tintamas, 1975), h. 13

25

(37)

terhadap siapa pun, tidak memihak atau tidak berat sebelah.26 Adil jenis ini disebut dengan adil komutatif. Bahwa setiap orang akan diperlakukan sama tanpa melihat latar belakangnya.

Bentuk keadilan komutatif ini bisa relevan dalam satu konteks, tetapi belum tentu dalam konteks yang lain. Misalnya dalam pembagian waris. Keadilan jenis ini tidak berlaku, karena adil menurut hukum yang berlaku adalah tidak menyamakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapatkan dua bagian sedangkan perempuan mendapatkan satu bagian saja.

Pengertian adil yang kedua yaitu i‟tau kulli dzi haqqin haqqah (berbuat kepada orang lain apa yang menjadi haknya). Adil jenis ini disebut juga dengan keadilan distrebutif. Setiap seseorang akan diperlakukan sama sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Misalnya, seorang suami akan membedakan perlakuan terhadap isteri baru, yang masih gadis dengan isterinya yang pertama yang sudah tidak gadis. Maka ia akan bermukim lebih lama di rumah isteri yang baru itu.

Abdul Karim Usman mengemukakan bahwa, keadilan disteributif

adalah keadilan hukum. Ia mengatakan: “la yatahaqqaqu al‟adlu fi al-hukmi

alla biisholi kulli dzi haqqin haqqahu (keadilan hukum tidak akan tercapai

kecuali dengan memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya)”.27

26

Abd. Karim Usman, Ma‟alim al-Tsaqaafahal-Islamiyyah, (Beirut:Muassasah al-Risalah, 1982), h. 78

27

(38)

2. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah a. Konsep Adil Menurut Al-Qur’an

Al-Qur‟an yang secara harfiyah berarti “bacaan sempurna”

merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur‟an al-Karim, bacaan yang sempurna dan mulia itu.

Khusus mengenai pembahasan tentang keadilan, banyak teks

al-Qur‟an yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk keadilan sesuai dengan

konteks yang sedang dibicarakan. Keadilan diungkapkan oleh al-Qur‟an antara lain dengan kata-kata al-„adl, al-Qist, al-Mizan atau menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim dari kezaliman.

Kata al-„adl yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak

atau lebih, Karena jika ada hanya satu pihak tidak terjadi “persamaan”.

Al-Qist arti asalnya adalah “bagian”. Dan bagian biasanya dapat diperoleh

oleh satu pihak saja, karena itu kata Qist lebih umum dari pada kata

al-„adl, dan karena itu pula ketika al-Qur‟an menuntut seseorang untuk

(39)

















































...

4

135

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S an-Nisa:135).

Sedangkan kata al-Mizan merupakan derivasi dari kata “wazn” yang berarti “timbangan”. Oleh karena itu kata al-Mizan sering digunakan sebagai kata menunjukan alat untuk menimbang. Namun dapat ula diartikan “keadilan”, karena bahasa seringkali menyebut “alat” untuk makna hasil penggunaan alat itu.28

Jadi pembicaraan tentang keadilan dalam al-Qur‟an tidak hanya dalam proses penetepan hukum atau terhadap pihak berselisih, melainkan

al-Qur‟an juga menuntut keadilan terhadap dirinya sendiri, baik ketika

berucap, menulis atau bersikap batin.29

....











....

6

152

“....dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)....”. (QS Al-An‟am: 152)

28

M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), cet. Ke-13, h. 114

29

(40)

Lebih rinci lagi, Rifyal Ka‟bah menyebutkan beberapa ayat yang

berbicara tentang keadilan sebagai berikut:30

1) Keadilan yang berhubungan dengan tauhid. Seperti firman Allah SWT:

















































3

18

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Imran: 18).

Jadi, keyakinan akan keesaan Allah SWT merupakan suatu bentuk keadilan menusia terhadapnya, karena Dialah yang menciptakan dan memberikan kehidupan kepada manusia.

Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW berada di Madinah. Pada saat itu ada dua orang cendikiawan dari Syam yang berkunjung ke Madinah. Salah seorang berkata, “alangkah persisnya keadaan kota ini

dengan kota yang akan melahirkan nabi akhir zaman”. Kemudian,

ketika bertemu dengan Rasulullah SAW, mereka berdua melihatnya adanya sifat-sifat kenabian yang melekat pada dirinya. Kedua bertanya,

“anda Muhammad?”, “Ya!” jawab nabi, “Anda Muhammad?”, Tanya

mereka lagi, “Ya!” tegasnya. Keduanya berkata lagi, “kami ingin

30Rafyal Ka‟bah,

(41)

menanyakan kepadamu tentang suatu kesaksian, yang jika kamu memberitahu kami tentang hal itu, maka kami akan beriman, dan membenarkan segala ucapanmu, lalu Rasulullah SAW berkata kepada

keduanya, “(kalau begitu) tanyalah (kepadaku)!”. Keduanya pun

bertanya seraya mengujinya, “sebutkanlah kepada kami kesaksian apa

yang paling agung dalam kitab Allah?”, untuk menjawabnya, lalu turunlah ayat diatas dan akhirnya keduanya pun masuk agama Islam.31 2) Keadilan juga terkait dengan meletakkan sesuatu pada pada tempatnya,

seperti yang disebutkan pada ayat berikut ini:





























..

33

5

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” (QS al-Ahzab: 5)

Ayat di atas menunjukan bahwa penempatan nama ayah di belakang nama menunjukkan sikap yang adil. Ada pendapat bahwa orang yang menisbatkan dirinya kepada seseorang padahal dia bukan bapaknya, dan dia menganggapa hal tersebut sah-sah saja, maka ia dianggap kafir, tetapi jika ia dalam hatinya menganggap hal tersebut

31

(42)

tetap perbuatan dosa, maka ia masih tetap dianggap muslim yang kufur nikmat.32

Adapun kebiasaan masyarakat barat yang juga diikuti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang mengganti nama ayah dibelakang nama kecil dengan nama suaminya, dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak adil, karena dia menghubungkan diri kepada orang yang bukan asal-usulnya. Bagaimana pun sebagai pria dan wanita itu berasal dari ayahnya sendiri, bukan dari suaminya.33

3) Keadilan adalah sebagian dari ketakwaan. Siapa pun harus berlaku adil kepada diri sendiri, orang tua atau kerabat. Seperti firman Allah SWT:

















































...

4

135

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu”. (Q.S an-Nisa:135).

Dari bantuknya ayat yang menjelaskan tentang keadilan, menurut Quraish Shihab secara umum ada empat konsep keadilan, dan konsep ini juga yang dipegang oleh para ulama. Yang pertama, adil dalam arti

“sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut

adalah persamaan dalam hak. Kedua, keadilan yang ditunjukan untuk

32

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, h. 253

33Rafyal Ka‟bah,

(43)

pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok

yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju pada suatu tetentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oeh setiap bagian. Keadilan disini identik dengan kesesuaian, bukan lawan kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.34

Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang mengandung pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.

Yang ke emapat adalah adil yang dinisbatkan kepada ilahi. Konsepsi adil ini berarti memeilihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak kelanjutkan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. keadilan ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikannya. Keadilannya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya.35

34

M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udu‟I Atas Berbagai Permasalahan Umat, h. 114-115

35

(44)

b. Konsep Adil Menurut al-Sunnah

Salah satu sumber hukum terpenting dalam Islam setelah al-Qur‟an adalah al-Sunnah. Menurut para ulama, al-Sunnah merupakan wahyu Allah selain al-Qur‟an, yang tidak kalah pentingnya dengan al-Qur‟an. Dikatakan wahyu, sebab al-Sunnah adalah sekumpulan praktek keagamaan

yang berasal dari seorang utusan Allah, yang membawa syari‟atnya.

Karena itu segala tindakannya merupakan suatu amaliah yang tidak lepas dari peran dia sebagai penyambung antara Allah dan makhluknya.36

Dengan bahasa lain, al-Sunnah merupakan wahyu yang ghair al-Matluw (tidak dibacakan), melainkan hanyalah berupa wahyu dimanifestasikan dalam pekerjaan, perkataan dan ketetapan Rasulullah SAW. Karena itu al-Sunnah berbeda dengan al-Qur‟an yang lafaz dan maknanya dari Allah, sehingga al-Sunnah dapat saja disampaikan dari sisi mananya saja, yang tidak persis sama dari redaksi yang diterima dari sebelumnya. Sedangkan al-Qur‟an tidak demikian, al-quran harus sama dengan redaksinya, tidak boleh ditambah atau dikurang.37

Dengan demikian posisi Sunnah sama pentingnya dengan

al-Qur‟an, oleh karena itu banyak hukum al-Qur‟an yang butuh penjelasan

36

Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits Wa al-Muhadditsun aw-„Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Kairo: Syirkah Syahamah, tth), h. 11

37

(45)

lebih lanjut dari al-Sunnah, atau bahkan al-Sunnah menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur‟an.38

Banyak hal yang dibicarakan dalam al-Sunnah. Segala segi kehidupan dari mulai persoalan pribadi hingga dalam persoalan sosial dapat ditemukan di dalamnya. Banyak ulama dari generasi ke generasi yang mengkaji kandungannya, bahkan banyak diantara mereka yang mengawal sekuat tenaga kehujjahan al-Sunnah sebagai hukum ke dua setelah al-Qur‟an.

Salah satu tema yang dibicarakan dalam al-Sunnah adalah keadilan. Berbagai riwayat yang menjelaskan tentang adil itu penting, menunjukkan bahwa tema ini mendapat perhatian yang cukup segnifikan dari al-Sunnah.

Sebab sudah menjadi tabi‟at manusia tidak mau diperlakukan tidak adil.

Karena itu siapapun yang dapat mewujudkan keadilan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, dia termasuk orang yang istimewa, baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia pada umumnya.

Dalam khazanah ilmu hadis, ilmu yang mengkaji riwayat dan kandungan hadis, dikenal istilah „adalah seorang rawi sebagai salah satu syarat bagi sebuah hadis. Menurut pakar disiplin ilmu hadis, „adalah merupakan derivasi dari kata „adalah, ya‟dili, „adlan wa „adalalatan.39 Itu berarti suatau sifat yang dimiliki oleh seorang mubaligh yang berakal sehat,

38

Adil Muhammad Darwis, Nazarat fi al-Sunnah wa Ulum al-Hadits, (Kairo:Kulliyah

Da‟wah al-Islamiyyah, 1998), h. 32

39Ibrahim Anis dkk, Mu‟jam al

(46)

dia juga harus selam dari hal-hal yang menyebabkan kefasikan dari rusaknya kehormatan diri, yang kuat ingatannya (tidak mudah lupa), dia juga harus hafal jika ia menceritakan dari hafalannya dan ia terpecaya tulisannya jika menceritakan dari tulisannya, yang mengetahui terhadap apa yang merusak makna jika ia meriwayatkan dengan apa yang ditulisnya tersebut.40 Jadi dalam perspektif ilmu hadis, ilmu yang mengkaji al-Sunnah, orang yang adil disini adalah orang yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Sama halnya dengan al-Qur‟an didalam al-Sunnah juga terdapat tiga kata yang biasa digunakan untuk menunjukkan makna keadilan. Ketiga kata itu adalah al-„adl, al-Qist dan al-Mizan. Masing–masing kata ditunjukkan kepada pengertian adil sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan. Khusus kata al-‟adl, banyak riwayat yang berkaitan dengan kata al-„adl yang ditujukan kepada makna keadilan. Diantaranya adalah:

41

40

Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Syuyuthi, Tadrib al-Rawi fa Syarh Taqrib an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), h. 163

41

(47)

Artinya: Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “tujuh orang

yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat, yaitu imam yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang dalam ibadah kepada Tuhannya, orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul ddan berpisah karenanya, dan seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik menawan, dan ia berkata

kepada wanita itu: “Saya takut kepada Azab Allah”, dan seorang yang bersedakah secara sembunyi, sampai-sampai tangan kirinya sendiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berlinang air mata dalam

kesendiriannya”. (HR. Al-Bukhaari).

Imam Ibnu Hajar berpendapat bahwa kata al-„adil pada redaksi hadis di atas merupakan isim fail (pelaku) dari kata al-„adl. Dalam satu riwayat juga ada yang menggunakan istilah al-Imam al-„adl sebagai kata pengganti dari dari kata al-Imam al-„adil, yang oleh Imam Ibnu Abdil Barr dianggap lebih kuat maknanya, karena orang yang berlaku adil disebut dengan menggunakan kata bendanya, yakni al-„adl.42

Adapun yang dimaksud dengan Imam ialah orang yang memiliki jabatan yang besar. Masuk dalam pengertian ini juga setiap orang yang berkuasa atas berbagai urusan kaum muslimin. Sedangkan pengertian dari adil itu sendiri ialah orang yang mengikuti perintah Allah SWT dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan tanpa melampaui batas, tidak lebih dan tidak kurang.43

42

Ibu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1374 H), juz. 2, h. 144

43

(48)

Masih tentang keadilan yang menggunakan kata al-„adl adalah hadis berikut:

44

Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “tiga orang yang tidak akan ditolak doanya, yaitu orang yang berpuasa sehingga ia berbuka, imam yang adil, dan doanya orang yang dizalimi. Allah mengangkat doa tersebut ke atas awan dan dibukakan baginya

pintu langit, lalu Tuhan berkata: “sesunggugnya aku yang akan

menololngmu”. (HR. Ibnu Majah).

Selain kata al-„adl untuk menunjukkan makna keadilan, hadis juga sering menggunakan kata al-Qist, seperti hadis berikut:

45

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil mendapat tempat yang mulia di sisi Allah, kedua tangannya disamping orang-orang yang berlau adil dalam menghukumi, dan terhadap keluarga mereka, dan terhadap apa

yang mereka kuasai”. (HR. Muslim).

Imam Nawawi mengatakan, baahwa yang dimaksdu al-Muqsitun

adalah al-„adilun(orang-orang yang adil). Kata al-Qist yang dibaca kasrah qafnya berarti al-„adl. Adapun al-Qasthu dengan dibaca fathah huruf qafnya berarti menyimpang, seperti yang diungkapkan dalam surat al-Jin

44

Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), vol. 1, h. 547

45

(49)

ayat 15: “wa ammal qosithuna fakanu lijahannama hathoba (adapun orang

yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi

neraka jahannam)”.46

47

Artinya: Dari Ibn al-Musayyab, dia mendengar Abu Hurairah berkata,

Rasulullah SAW bersabda: “Demi zat yang juwaku berada dalam

genggamannya, hampir saja aku turun diantara kalian Ibnu Maryam (Nabi Isa AS) sebagaimana orang memutuskan perkara (hakim) yang berlaku adil , mematahkan salib, membunuh babi, dan meninggalnya jizyah, dan harta berlimpah ruah, hingga tidak ada seorangpun yang menerimanya”. (HR. Muslim).

Di samping kedua kata di atas, yakni kata al-„adl dan al-Qist, kata

al-Mizan juga bisa digunakan untuk pengertian keadilan. Al-Mizan secara bahasa berarti timbangan atau neraca. Al-Mizan juga dapat diberi makna

al-„adl (keadilan) oleh karena dengan timbangan yang benar itulah salah satu

pihak tidak merasa terzalimi, sehingga keduanya merasakan keadilan.

48

46

Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya al-Taurats al-„araby, 1392 H), vol. 12, h. 211

47

Muslim bin Hijjaj, Sahih Muslim, h. 85

48

(50)

Artinya: Dari Abu Musa RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kita dengan memberikan lima kalimat, beliau

bersabda: “Sesungguh

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dalil hukum hakim Pengadilan Agama Lamongan mengabulkan permohonan izin poligami yaitu dengan alasan bahwa pemohon dengan calon

Mlg, bahwa selain penguraian alasan diatas penggugat juga menyertakan tentang gugatan komulasi yang berupa hak kebendaan yang melekat pada dirinya nafkah dan

1) nyeri diam, nyeri gerak pada sendi hip sinistra dan nyeri tekan pada otot piriformis , 2) penurunan lingkup gerak sendi hip sinistra, 3) penurunan kemampuan

Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih

Alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon

Dari peristiwa hukum tersebut, Pemohon yang merupakan isteri Termohon I, mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Banyumas agar mengabulkan Permohonan

Pemohon juga mengemukakan bahwa hendak menikah lagi (poligami) dengan NL yang akan dicatatkan di KUA Kecamatan Gebog, dengan alasan bahwa isteri pemohon yaitu

sangat ketat, perusahaan harus mampu memberikan harga dan kualitas produk yang berkualitas terhadap pembelinya karena perusahaan dikatakan berhasil mencapai