• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS

DI KABUPATEN SAMOSIR

Oleh

Perdamean Abadi. P 061201018 Manajemen Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian :Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks

Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir

Nama : Perdamean Abadi P

NIM : 061201018

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh :

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D

NIP.19740721 200112 2 001 NIP.19760725 200812 1 001 Yunus Afifudin S.Hut., M.Si

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

(3)

ABSTRACT

Fire is one cause damaging to forest and land run quick and make a great

impact. Economic lossed is estimated approximately 10 bilion dollars. To reduce

fire effct are needed fire management and early warning. One of the efforts to

suggest is adopting the information system on fire. The objective of research are

to know fire danger rating on Samosir from the year 2009, 2010 and 2011.The

data analysis we conducted in laboratory of forest inventory Departemen Faculty

Of Agriculture adopted there spreadsheed exel and used software Arc.View 3.3.

Rainfall increasingly on hotspot decreasingly. The hotspot and drought index can

be used and simultaneouse early warning system for forest and land fire in

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan

dan lahan di Kabupaten Samosir dengan menggunakan data suhu maksimum,

curah hujan dan titik panas harian, bulanan dan tahunan 2009, 2010 dan 2011.

Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian dengan menggunakan Spreadsheet exel dan

perangkat lunak Arc. View 3.3. Banyaknya titik panas yang terdeteksi dan

tingginya indeks kekeringan yang diperoleh, terjadi jika curah hujan yang terjadi

rendah dan bahkan tidak terjadi hujuan. Titik panas dan indeks kekeringan dapat

digunakan secara bersama-sama sebagai sistem peringatan dini kebakaran sebagai

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Perdamean Abadi P, dilahirkan di Kabanjahe

pada tanggal 30 Juli 1988 dari ayah yang bernama B. Perangin-angin dan Ibu B.

Br Pandia. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal pertama penulis dimulai pada SD Tingganderket tahun 1994,

kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Xaverius 1 Kabanjahe pada tahun

2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA N 1

Kabanjahe pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006 dan pada tahun 2006 pula

penulis di terima masuk di Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara

dari jalur SPMB.

Selama mengikuti perkuliahan penulis telah mengikuti berbagai kegiatan

seperti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Pulau Sembilan dan

Tangkahan. Penulis juga telah melakukan praktek Kerja Lapangan (PKL) selam

satu bulan di HPHTI PT. Arara Abadi. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar

sarjana penulis telah menyusun karya ilmiah yang berjudul Informasi Kebakaran

Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten

Samosir di bawah bimbingan ibu Rahmawaty S.Hut M. Si ph.D dan Bapak Yunus

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyusun skripsi ini. Adapun judul

yang dipilih dalam penelitian ini adalah ” Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada ketua

komisi pembimbing saya Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan anggota komisi

pembimbing saya Bapak Yunus Afifudin S.Hut., M.Si yang telah membimbing

dan memberikan masukan-masukan dalam skripsi ini. Serta ucapan terimakasih

kepada kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan moril

maupun materil, dan kepada teman-teman yang telah banyak membantu selama

melakukan penelitian.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan, baik mengenai isi maupun dalam penulisannya. Penulis

mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan kualitas dan

kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi yang

membutuhkan. Terimakasih.

Medan, November 2012

(7)

DAFTAR ISI

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran ... 6

Kondisi pendukung ... 8

Satelit Pemantau Hotspot ... 10

National Oceanic And Atmospherric Administrarion (NOAA) ... 10

Citra Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) ... 11

Kebakaran di Kabupaten Samosir ... 12

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 15

Letak Geografis ... 15

(8)

Iklim ... 17

Penggunaan lahan ... 17

METODE PENELITIAN ... 19

Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Bahan ... 19

Alat ... 19

Pengumpulan informasi dasar penelitian ... 20

Pengolahan data ... 20

Perhitungan indeks kekeringan KBDI ... 20

Analisis data ... 22

Analisa kebakaran dengan data hotspot ... 22

Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas ... 22

Hubungan Titik Panas Dan Indeks Kekeringan KBDI ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Sebaran Titik Panas Bulanan Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 Dan 2011 ... 24

Peta sebaran titik panas di Kabupaten Samosir ... 26

Curah Hujan dan titik Panas Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 27

Hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI ... 34

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis-jenis data yang digunakan ... 19

2. Skala Indeks Kerawanan Kebakaran... 22

3. Sebaran Titik Panas tahun 2009, 2010 dan 2011 di Kab. Samosir ... 24

4. Curah Hujan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 27

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Segitiga Api ... 6

2. Peta Kabupaten Samosir ... 16

3. Sebaran Titik Panas Bulanan Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 25

4. Peta Sebaran Titik Panas Kabupaten Samosir ... 26

5. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011... 28

6. Kejadian Hujan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan Pangururan Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 29

7. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Simanindo Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 29

8. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan palipi Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 30

9. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan sitiotio Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Curah Hujan Harian Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 45

2. Data Temperatur Maximum Harian Tahun 2009, 2011 dan 2011 ... 56

(13)

ABSTRACT

Fire is one cause damaging to forest and land run quick and make a great

impact. Economic lossed is estimated approximately 10 bilion dollars. To reduce

fire effct are needed fire management and early warning. One of the efforts to

suggest is adopting the information system on fire. The objective of research are

to know fire danger rating on Samosir from the year 2009, 2010 and 2011.The

data analysis we conducted in laboratory of forest inventory Departemen Faculty

Of Agriculture adopted there spreadsheed exel and used software Arc.View 3.3.

Rainfall increasingly on hotspot decreasingly. The hotspot and drought index can

be used and simultaneouse early warning system for forest and land fire in

(14)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan

dan lahan di Kabupaten Samosir dengan menggunakan data suhu maksimum,

curah hujan dan titik panas harian, bulanan dan tahunan 2009, 2010 dan 2011.

Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian dengan menggunakan Spreadsheet exel dan

perangkat lunak Arc. View 3.3. Banyaknya titik panas yang terdeteksi dan

tingginya indeks kekeringan yang diperoleh, terjadi jika curah hujan yang terjadi

rendah dan bahkan tidak terjadi hujuan. Titik panas dan indeks kekeringan dapat

digunakan secara bersama-sama sebagai sistem peringatan dini kebakaran sebagai

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bencana kebakaran hutan dan lahan akhir-akhir ini sudah semakin

mengganggu, baik ditinjau dari sudut pandang _ystem maupun ekonomi. Pada

tahun 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput

terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja (CIFOR, 2006). Setyanto dan

Dermoredjo (2000) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi

sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun

1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha)

dan 1997/1998 (383.870 ha).

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering

mengalami kebakaran, hal ini dapat dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan

lahan setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah persentase titik api sebagai

_ystem_or kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode 1998–2006, jumlah

titik api tahunan di Provinsi Sumatera Utara berfluktuasi sekitar 2.116 titik.

Jumlah titik api terendah sebesar 1.037 pada tahun 1999 dan jumlah tertinggi

yaitu 3.900 titik api pada tahun 2005 (ITTO, 2010).

Sistem informasi kebakaran merupakan sistem yang bertujuan untuk

mendukung upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang

efektif dan efisien melalui kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyebaran

(16)

hutan dan lahan, yaitu: peringatan dini, pemantauan kebakaran dan penilaian

dampak kebakaran. Sistem informasi kebakaran sebenarnya sudah mulai

dikembangkan sejak 1994 oleh berbagai proyek bantuan luar negeri khususnya di

dalam upaya peringatan dini dan pemantauan kebakaran

(Solichin dkk, 2007)

Kebakaran yang terjadi di Kabupaten Samosir merupakan ancaman utama

bagi program rehabilitasi lahan. Kebakaran ini terjadi akibat dari menjalarnya api

dari lahan-lahan milik penduduk yang kemudian membakar lahan yang

direhabilitasi. Penjalaran api sangat cepat dan mudah, disebabkan oleh vegetasi

yang tumbuh di areal tersebut merupakan jenis rumput-rumputan seperti

alang-alang, sanggar, dan pinpin yang sangat mudah terbakar. Penjalaran api akan

sangat cepat disebabkan oleh hembusan angin dari danau yang kemudian

mempercepat penjalaran api searah dengan arah angin sehingga kebakaran

menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran dan

kewaspadaan masyarakat akan bahaya kebakaran yang terjadi di areal yang

ditumbuhi jenis rumput-rumputan yang mudah terbakar.

Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir sering terjadi karena

masih kurangnya informasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang dapat

memicu kebakaran secara meluas sehingga apabila sudah terjadi kebakaran

dengan skala besar maka kebakaran itu mulai dipadamkan. Oleh sebab itu maka

penelitian tentang _ystem informasi kebakaran hutan dan lahan sangat dibutuhkan

untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan secara meluas di

(17)

Tujuan

1. Memperoleh informasi kebakaran hutan dan lahan di Daerah Kabupaten

Samosir

2. Memprediksi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten

Samosir

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan

tingkatan kerawanan kebakaran yang berhubungan dengan tingkat kekeringan dan

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Kebakaran

Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam

berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan

penyebaran api dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-variabel bahan

bakar, cuaca atau iklim dan topografi sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhinya (Thoha, 2008).

Menurut Sagala (1999) kemungkinan kebakaran yang terjadi di hutan lebih

besar pada kawasan hutan yang tidak terlalu rimbun, sehingga banyak ditumbuhi

semak belukar yang kemudian akan menjadi bahan bakar pertama dari api. Dalam

hal ini bisa dibandingkan dengan hutan primer yang kanopinya sangat tebal

sehingga dapat menghalangi sinar matahari masuk ke lantai hutan sehingga semak

belukar tidak mungkin untuk tumbuh subur.

Proses Terjadinya Kebakaran

Pembakaran adalah proses yang stabil (Steady state) dari bentuk khusus

oksidasi dan kebalikan dari proses fotosintesis dimana dapat dibedakan dalam

flaming dan glowing. Pembakaran flaming adalah cahaya oksidasi gas-gas yang

dihasilkan dari dekomposisi bahan bakar sebagai nyala besar, turbulen dan difusi

(19)

Pada dasarnya, perkembangan kebakaran hutan terdiri dari dua proses

yang disebut dengan penyalaan dan pembakaran. Penyalaan adalah fase transisi

antara pra-pemanasan dan fase pembakaran yang tidak stabil dan mempunyai

suhu antara 204-3710C.

Dasar dari proses terjadinya kebakaran adalah proses pembakaran secara

kimia dan fisika. Energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan pada saat

bahan-bahan seperti daun, rumput dan kayu berkombinasi dengan oksigen

membentuk karbondioksida (CO2), air dan sejumlah substansi lain. Dengan kata

lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air, dan

energi matahari berkombinasi suatu energi kimia simpanan dan oksigen, seperti

yang tergambar di bawah ini:

Reaksi pembakaran:

Kebakaran dalam hutan dapat terjadi apabila sedikitnya tersedia tiga

komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara, dan penyalaan

api atau panas. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat

merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut

sebagai bahan bakar, baik sendiri atau kumulatif, ditentukan oleh jumlah, kondisi

(20)

Bahan bakar Oksigen

Panas

Gambar 1. Segitiga Api

Prinsip segitiga api ini merupakan dasar dalam strategi penanggulangan

kebakaran hutan. Dengan mencegah bertemunya ketiga komponen segitiga api

tersebut maka terjadinya kebakaran dapat dihindarkan. Hal ini dapat dilakukan

dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang

dapat terjadi karena faktor alam dan manusia (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kebakaran

1. Karakteristik Bahan Bakar

Pada dasarnya, karakteristik bahan bakar dikelompokkan ke dalam dua

kategori: sifat bahan bakar intrinsik dimana mencakup kimia bahan bakar,

kerapatan, dan kandungan panas dan sifat ekstrinsik meliputi kelimpahan relatif

dari berbagai ukuran komponen bahan bakar, fraksi yang mati (fraction dead)

dan kekompakan bahan bakar. Di hutan tropis, karakteristik bahan bakar

bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut dan berkayu merupakan bahan

bakar yang baik karena mengandung nilai kalor sangat tinggi atau kapasitas

panas. Disamping itu, pembangunan hutan tanaman dengan spesies eksotik

(21)

pertambahan resiko kebakaran. Khususnya selama musim kering karena akan

terjadi muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.

2. Kadar Air Bahan Bakar

Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar

adalah faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan, dimana

begitu jelas dan nyata mempengaruhi tingkat kebakaran khususnya daya nyala

bahan bakar hutan. Selain itu, kandungan air yang lebih tinggi panasnya

dibutuhkan untuk melepaskan uap air sebelum bahan bakar dimakan api.

Sehingga, tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Oleh

karena itu, kadar air bahan bakar dapat digunakan pada peramalan perilaku api

sebagai respon bahan bakar terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan seperti

presipitasi, kelembaban dan suhu.

Kadar air ditekankan pada kadar air bahan bakar mati dan bahan bakar

hidup. Kadar air bahan bakar mati bervariasi dari 1-2 % pada gurun, 300% pada

kayu lapuk, 200% pada lapisan-lapisan yang dalam dan pada kayu sumbu. Hal

tersebut dikendalikan oleh cuaca khususnya presipitasi, kelembaban relatif dan

suhu (Thoha, 2008).

3. Faktor Cuaca dan Iklim

Iklim dan atau cuaca adalah salah satu unsur segita lingkungan api

disamping bahan bakar dan topografi. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran

hutan pada berbagai cara yaitu menentukan jumlah total ketersediaan bahan

(22)

nyala bahan bakar hutan yang mati, berpengaruh tidak langsung pada penyalaan

dan penjalaran kebakaran hutan.

Chandler et. al (1983) dalam Thoha (2008) menyatakan bahwa cuaca dan

iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling

berhubungan yaitu:

1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia

2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim bahan bakar

3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk

terbakar

4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan

4. Topografi

Menurut Saharjo (2000) dalam Thoha (2008), dampak lereng pada satu

daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa

hingga mendekat kepada permukaan akibatnya pra-pemanasan bahan bakar

berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api.

Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan

kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat

terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.

Kondisi Pendukung

Faktor kedua penyebab kebakaran adalah kondisi pendukung yang juga

dipengaruhi oleh alam (iklim) dan juga manusia. Kemarau dan kekeringan yang

disebabkan oleh adanya fluktuasi iklim sebenarnya sudah lama terjadi, namun

(23)

tahun 70an. Kejadian kebakaran hutan tropis mulai sering muncul setelah tahun

1982/1983. Hal ini disebabkan adanya perubahan vegetasi dan dampak yang

sangat drastis serta pengaruh sosial ekonomi masyarakat.

1. Perubahan Tutupan Lahan

Perubahan tapak yang dimaksud meliputi perubahan tutupan lahan dan

perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut. Indonesia yang dulunya sebagian

besar merupakan hutan hujan tropis primer menjadi hutan bekas tebangan atau

terdegradasi akibat pengusahaan hutan dan exploitasi kayu secara besar-besaran

sejak awal tahun 70an. Hilangnya tajuk atau kanopi pohon besar menyebabkan

kondisi hutan menjadi lebih terbuka terhadap sinar matahari dan iklim mikro

menjadi lebih kering. Limbah bekas tebangan juga seringkali menjadi bahan bakar

yang sangat potensial meningkatkan intensitas kebakaran. Di hutan yang

terdegradasi menjadi semak belukar, bahkan menjadi lebih rawan lagi terhadap

kebakaran, karena mudahnya penyulutan dan penyebaran api.

2. Perubahan Hidrologi

Perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut juga merupakan kondisi

yang sangat mendukung terjadinya kebakaran. Akibat terbatasnya lahan untuk

pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, banyak lahan gambut dalam yang

dikeringkan (drained) dengan membuat kanal-kanal yang membelah kubah

gambut. Selain mengeringkan lahan gambut, kanal juga berfungsi sebagai

aksesibilitasi bagi masyarakat untuk masuk jauh ke dalam areal lahan gambut

untuk melakukan aktifitas yang seringkali juga menimbulkan kebakaran.

(24)

Sebagai salah satu faktor utama di dalam penyebab kebakaran, perilaku

manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi serta budaya. Faktor

kemiskinan sering diusung sebagai faktor utama yang mengarahkan prilaku

membakar hutan. Karenanya banyak pendekatan pencegahan kebakaran dilakukan

melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, budaya

penggunaan api sebenarnya juga sudah lama diterapkan oleh banyak masyarakat

tradisional yang hidup di sekitar hutan atau peladangan berpindah (Thoha, 2008).

Satelit Pemantau Hotspot

National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA)

Satelit NOAA merupakan satelit meterologi generasi ketiga milik National

Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat. Munculnya

satelit ini untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri TIROS

(Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965) dan seri IOS

(Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970-1976). Konfigurasi satelit NOAA

adalah pada ketinggian orbit 833-870 km, inklinasi sekitar 98,7 ° – 98,9 °,

mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari

semalam).

NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh

informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Seri NOAA ini

dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu :

1. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer),

(25)

4. DCS (Data Collection System),

5. SEM (Space Environment Monitor),

6. SARSAT (Search And Rescue Sattelite System).

Di antara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk

pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima

saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran

inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA

adalah 102 menit, sehingga setiap hari mengasilkan kurang lebih 14,1 orbit.

Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang

pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak

berubah dalam satu lintang (Rustadi, 2012).

Citra Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)

Adalah program yang luas menggunakan sensor pada dua satelit yang

masing-masing memberikan lengkap cakupan harian bumi. Data memiliki

berbagai resolusi, spektral , spasial dan temporal. Satelit TERRA yang membawa

sensor MODIS merupakan satelit pengamat lingkungan yang dapat digunakan

untuk mengekstraksi data permukaan yang bersifat regional. Satelit ini

mempunyai wilayah cakupan yang cukup luas, yakni 2330 km dengan resolusi

spasial 250 m (kalan 1 dan 2) dan resolusi spektral yang tinggi (36 kanal) serta

resolusi temporal yang kurang lebih sama dengan satelit generasi sebelumnya

yakni NOAA.

Sensor MODIS pertama diluncurkan pada satelit TERRA pada tanggal 18

(26)

perhari baik sebagai satelit Terra dan Aqua mengorbit bumi pada arah yang

berlawanan, dengan Terra melintasi khatulistiwa dari Utara ke Selatan di pagi hari

dan Aqua melintasi khatulistiwa dari Selatan ke Utara disore hari. Orbit ganda

inimemungkinkan titik yang sama di bumi untuk dapat dilihat sekitar dua kali per

hari, sekali selama pagi dan sore, yang memaksimalkan jumlah gambar bebas

awan dikumpulkan dan didownload setiap hari. Sistem satelit ini terus menyiarkan

data ganda MODIS secara real-time untuk stasiun di permukaan tanah dan semua

data MODIS disediakan gratis untuk semua pengguna.

Instrumen MODIS melihat Bumi pada di 36 panjang gelombang yang

berbeda spektrum, mulai dari cahaya tampak ke inframerah termal. Dengan

resolusi lebar spektral dan petak melihat, MODIS membuat pengukuran yang

berguna dalam berbagai macam disiplin ilmu sistem Bumi. Konsep animasi ini

contohnya dapat menunjukkan MODIS mengukur produktivitas primer dari

dedaunan hijau di darat dan fitoplankton di laut, diikuti dengan pengukuran tanah

dan suhu permukaan laut. Ini adalah contoh dua dari produk data MODIS untuk

mengumpulkan berbagai harian pada skala global (Ma’rifatullah, 2011)

Kebakaran di Kabupaten Samosir

Kebakaran hutan di Kabupaten Samosir merupakan salah satu faktor

utama yang menyebabkan degradasi lahan di areal tersebut. Sekali hutan terbakar,

maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial.

Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi

klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan

(27)

hutan. Karena kebakaran hutan di Kabupaten Samosir terjadi akibat adanya

aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan

cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta fungsi

hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis

yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran

hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Laporan

ini adalah hasil dari kegiatan yaitu melaksanakan kajian mendalam untuk

mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini

terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan, termasuk

wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas

manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting di wilayah

kajian karena kebakaran yang disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak

pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar

Kabupaten Samosir menggunakan api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika

api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak

terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan

bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara

cepat. Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa

terdapat sejumlah kecil penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian

ini mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran:

(i) Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan;

(ii) Kebakaran yang tidak disengaja;

(iii) Kebakaran yang disengaja;

(28)

Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian

besar diantaranya saling berkaitan satu sama lain, diantaranya:

1. Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik;

2. Insentif /disinsentif ekonomi;

3. Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran yang terbatas;

4. Kapasitas institusi yang tidak memadai;

5. Program pengembangan yang tidak berkelanjutan.

Oleh karena itu solusi alternatif untuk pencegahan kebakaran hutan di

Kabupaten Samosir adalah:

1. Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian;

2. Program penyiapan lahan tanpa bakar;

3. Program pendampingan rehabilitasi;

4. Sekat bakar pada sistem agroforestry;

5. Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA);

6. Skema insentif/disinsentif ekonomi

(29)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis

Secara Geografis Kabupaten Samosir terletak pada 20 21‘ 38” - 20 49‘ 48” Lintang Utara dan 980 24‘ 00” - 990 01’ 48’‘ Bujur Timur dengan ketinggian antara 904 – 2.157 meter di atas permukaan laut.

Luas wilayahnya ± 2.069,05 km2, terdiri dari luas daratan ± 1.444,25 km2 (69,80

persen), yaitu seluruh pulau samosir yang dikelilingi Danau Toba dan sebagian wilayah

daratan Pulau Sumatera, dan luas wilayah danau ± 624,80 km2 (30,20 persen).

Batas-batas wilayah Kabupaten Samosir adalah sebelah Utara berbatasan dengan

Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, di sebelah Selatan berbatasan dengan

Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, di sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pak-pak Barat dan di sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir

(30)

Peta Wilayah Kabupaten Samosir

(31)

Iklim

Daerah Kabupaten Samosir tergolong daerah beriklim tropis basah dengan

suhu berkisar antara 170 C – 290 C dan rata – rata kelembaban udara sebesar 85,04 persen.

Selama tahun 2010 rata-rata curah hujan perbulan yang tertinggi terdapat

di Kecamatan Harian, yaitu 206, 58 mm, disusul oleh Kecamatan Simanindo

177,25 mm, Kecamatan Palipi161, 25 mm, Kecamatan Sianjur Mulamula 159, 42

mm, Kecamatan Sitiotio 149,33 mm, Kecamata Nainggolan 145,25 mm,

Kecamatan Pangururan 130,42 mm, Kecamatan Ronggur Nihuta 97,00 mm dan

yang terendah di Kecamatan Onanrunggu yaitu 77,67 mm.

Sementara itu, rata-rata banyaknya hari hujan tiap bulan yang tertinggi

terdapat di Kecamatan Palipi yaitu 14,67 hari hujan, disusul oleh Kecamatan

Harian 12,92 hari hujan, Kecamatan Onanrunggu 12,50 hari hujan, Kecamatan

Sianjur mulamula12,25 hari hujan, Kecamatan Nainggolan dan Ronggur Nihuta

masing-masing 11,17 hari hujan, Kecamatan Pangururan 10,00 hari hujan,

Kecamatan Sitiotio 9,42 hari hujan dan yang terendah terdapat di Kecamatan

Simanindo yaitu 9, 17 hari hujan (BPS Kabupaten Samosir dalam angka, 2012).

Penggunaan Lahan

Kabupaten Samosir memiliki 10 buah sungai yang keseluruhannya

(32)

teknis (62,13 % dari luas yang ada). Panjang saluran irigasi di Kabupaten Samosir

mencapai 74,77 km, terdiri dari irigasi setengah teknis 70,63 km (21,53 km

saluran primer dan 49,10 km saluran sekunder) dan irigasi sederhana 4,14 km.

Luas lahan produktif di Kabupaten Samosir (2002) mencapai 69.798 ha, terdiri

dari lahan sawah 7.247 ha (10,4 %), dan lahan kering 62.551 ha (89,6 %).

Terbatasnya sarana irigasi, modal dan tenaga kerja kasar mengakibatkan hanya

14.110 ha (22,56 %) lahan kering yang dikelola. Selebihnya merupakan lahan

(33)

BAB IV

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir pada bulan Agustus

sampai dengan bulan November 2012

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang disajikan

dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-jenis data yang digunakan

NO Jenis data Sumber Skala Tahun

Ket: BPKH= Badan Pemantapan Kawasan Hutan; BMKG= Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; BBKSDA= Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perangkat keras (Hardwere) yang digunakan yaitu berupa seperangkat

Personal Computer.

2. Microsoft Office Excel untuk mengolah data yang disajikan dalam tabel.

(34)

4. Aplikasi ArcView3.3 untuk pembuatan peta administrasi Kabupaten Samosir

5. Alat tulis untuk mencatat data dan informasi yang diperoleh.

Pengumpulan Informasi Dasar Penelitian

Sebelum semua pekerjaan dimulai, dilakukan satu tahap awal yaitu

pengumpulan informasi dasar. Informasi yang dikumpulkan adalah data-data

seperti data kebakaran hutan, titik panas (hotspot), curah hujan dan suhu serta

perangkat lunak dan perangkat keras yang mendukung kegiatan penelitian.

Pengolahan Data

Perhitungan Indeks Kekeringan KBDI

Indeks kekeringan menggambarkan tingkat/nilai defisiensi kelembaban

tanah dan lahan yang dihitung berdasarkan data cuaca harian. Salah satu indeks

yang digunakan adalah Keetch Byram Drought Index (KBDI). Untuk menghitung

KBDI diperlukan beberapa data yaitu:

• suatu daerah harus memiliki data curah hujan tahunan yang berdasarkan

rata-rata selamakurang lebih 20 tahun.

• diperlukan data curah hujan harian dan suhu maksimum harian, sehingga

kualitasnya tergantung dari kualitas datacuaca tersebut.

Sedangkan mengenai informasi yang dihasilkan hanya untuk cakupan

wilayah tertentu (50 – 100 km), sehingga diperlukan beberapa stasiun cuaca.

Terdapat 4 kelas/tingkat kekeringan yang mudah dimengerti yaitu: rendah (0 –

(35)

Perhitungan nilai indeks kekeringan ini dilakukan pada stasiun pengamat

hujan yang mewakili kabupaten Samosir yaitu di Kecamatan Pangururan,

Simanindo, Palipi dan Sitio tio. Formula yang digunakan untuk menghitung nilai

indeks kekeringan KBDI dijelaskan sebagai berikut Deeming (1995) dalam

Rheidahari (2001) :

KBDI hari ini =(∑ KBDI kemarin- (10*CH)+DF hari ini

Keterangan :

CH : Curah Hujan Bersih

DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk

perkiraan bahaya kebakaran adalah, dengan formulasi sebagai berikut :

Keterangan:

Tmax : Suhu maksimum

Ann Rain : Rata-rata curah hujan tahunan

YKBDI : KBDI kemarin

Tmax adalah suhu maksimum harian dan Ann Rain adalah rata-rata curah

hujan tahunan dan YKBDI adalah Kaeetch/Byram Drougth Indeks Kemarin.

Tmax, AnnRain dan YKBDI merupakan variable, sedangkan angka-angka yang

ada merupakan konstanta yang menunjukkan evapotranspirasi dan keberadaan

vegetasi .

Penyusunan data dasar dimulai dari pengumpulan data dari Badan

Meteorologi dan Geofisika dan penyajian skala sifat untuk setiap tingkat

kebakaran. Setelah semua data cuaca terkumpul kemudian dimasukkan ke

(36)

komputer untuk mendapatkan format digitalnya. Berdasarkan perhitungan KBDI

menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran, yang diekspresikan melalui

nilai indeks yang berkisar 0-2000.

Tabel 2. Skala indeks Kerawanan Kebakaran

Skala angka

Skala Sifat Keterangan

0-999 Rendah Material bakar mengandung cukup air (lembab),

mudah mencegah penyebaran api

1000-1499 Sedang Api pada permukaan dan asapnya bisa menyebar.

Kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan

tangan (Hand tools).

1500-1749 Tinggi Bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran

akan mudah menyebar dengan cepat. Perlu

penanggulangan dini untuk menahan penyebaran.

1750-2000 Ekstrim Penyebaran api sangat cepat dan intensif.

(BMG, 2007)

Analisis Data

Analisa Kebakaran dengan Data Hotspot

Analisis kebakaran dengan data hotspot dilakukan dengan cara

menghitung jumlah titik hotspot yang terdapat pada daerah Kabupaten Samosir

yang terjadi setiap hari sepanjang tahun 2009, 2010 dan 2011. Data tersebut akan

ditampilkan pada peta dan grafik.

Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas

Data sebaran titik panas yang dianalisis dan telah diketahui bulan yang

(37)

korelasi antara jumlah sebaran titik panas dan kejadian hujan disajikan dalam

tabel dan grafik.

Hubungan Titik Panas dan Indeks Kekeringan KBDI

Data sebaran titik panas yang telah dianalisis dan telah diketahui bulan

yang terbanyak terdapat titik panas kemudian dikorelasikan dengan indeks

kekeringan KBDI bulan yang sama, dimana korelasi antara jumlah sebaran titik

(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Titik Panas Bulanan Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011

Sebaran titik panas yang dianalisis melalui perangkat sistem informasi

geografis dari data satelit, menunjukkan adanya perbedaan jumlah titik panas yang

terdeteksi pada tiap bulannya seperti ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran titik panas tahun 2009, 2010 dan 2011 di Kab. Samosir.

Tahun

Sumber : Data satelit NOAA, FFPMP2-PHKA/JICA

Tabel 3 di atas menunjukkan, bahwa pada tahun 2009 jumlah titik panas

yang terdeteksi sebanyak 14 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada bulan

Maret sebanyak 12 titik, sedangkan pada bulan Januari-Februari dan April-Juni

serta Agustus-Desember tidak terdeteksi adanya titik panas. Sebaran titik panas

pada tahun 2009 relatif tinggi yang terjadi pada bulan Maret. Tahun 2010 jumlah

titik panas yang terdeteksi sebanyak 5 titik. Titik panas terdeteksi pada bulan

Maret sebanyak 1 titik, bulan Agustus sebanyak 1 titik, bulan September sebanyak

1 titik dan bulan Oktober sebanyak 2 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada

bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli,

(39)

tahun 2011 yang terdeteksi sebanyak 12 titik panas. Sebaran titik panas terdeteksi

pada bulan Januari dan Juni-Oktober. Dimana jumlah tertinggi terdeteksi pada

bulan Juli sebanyak 7 titik. Sedangkan pada bulan Februai-Mei dan

Nopember-Desember tidak terdeteksi titik panas. Jumlah sebaran titik panas di Kabupaten

Samosir pada tahun 2009, 2010 dan 2011 mengalami fluktuasi yang berbeda,

yaitu jumlah titik panas yang terdeteksi pada tiap tahunnya terjadi pada

bulan-bulan yang berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 3. Sebaran titik panas bulanan Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011

Gambar 6 di atas menunjukkan, bahwa sebaran titik panas terdeteksi mulai

bulan Januari-Oktober, titik panas relatif tinggi terjadi pada bulan Maret dan Juli,

sedangkan jumlah titik panas mengalami penurunan pada bulan

Oktober-Desember. Tingginya jumlah Hotspot pada bulan Maret-Juli disebabkan karena

bulan Maret-Juli merupakan bulan kering dimana jumlah hari hujan pada

umumnya sangat sedikit, sedangkan pada bulan Oktober-Desember merupakan

bulan basah dengan jumlah hari hujan lebih besar.

(40)

Peta Sebaran Titik Panas Di Kabupaten Samosir

(41)

Titik panas menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Samosir hampir

setiap tahun. Sebaran titik panas pada tahun 2009, 2010 dan 2011 disajikan dalam

bentuk peta pada gambar 7 . Dari peta sebaran titik panas tersebut dapat dilihat

bahwa hampir di Seluruh kecamatan di Kabupaten Samosir terdapat titik panas.

Hal ini disebebkan karena Penduduk di Kabupaten Samosir dominan adalah

petani. Para petani melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar semak

belukar sehingga ,menyebabkan timbulnya titik Hotspot.

Curah Hujan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011

Curah hujan dan titik panas mempunyai hubungan yang sangat erat,

dimana semakin tingginya curah hujan maka kemungkinan terjadinya titik panas

semakin rendah dan sebaliknya, apabila curah hujan rendah maka kemungkinan

terjadinya titik panas akan tinggi.

(42)

11 188.25 0 207 0 227.25 0

12 198.5 0 242.25 0 118 0

Keterangan : CH= Curah Hujan, TP= Titik Panas.

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dengan jumlah curah

hujan yang terjadi berkisar antara 24-248 mm/bln, titik panas hanya dijumpai pada

bulan Maret sebanyak 12 titik dan bulan Juli sebanyak 2 titik. Pada tahun 2010

titik panas terdeteksi pada bulan Maret, Agustus, September dan Oktober.

Dimana jumlah curah hujan berkisar antara 81-242mm/bln dan Merata sepanjang

tahun. Pada tahun 2011, titik panas terdeteksi pada bulan Januari, Juni, Juli,

Agustus, September dan Oktober. Dimana curah hujan berkisar antara

2.5-239mm/bln dan merata sepanjang tahun. Menurut Thoha (2006) kecenderungan

terjadinya titik panas menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai pengaruh

terhadap titik panas meskipun dari segi jumlah titik panas yang terpantau tidak

memiliki kecenderungan yang tetap. Keberadaan titik panas akan ditemukan pada

suatu daerah, bila curah hujan menurun, sebaliknya bila curah hujan mulai

meningkat di suatu daerah maka titik panas akan makin menurun bahkan tidak

ditemukan titik panas. Hal ini menunjukkan hubungan yang negatif antara

terdeteksinya titik panas dan besarnya kejadian hujan. Kecenderungan yang tidak

tetap akan naik dan turunnya jumlah titik panas dengan curah hujan yang terjadi

diduga akibat aktifitas manusia berupa pembakaran dalam hal pembukaan lahan

yang dilakukan secara tidak terkontrol serta waktu pelaksanaan kegiatan

pengolahan lahan yang berbeda di lapangan. Seperti yang dikatakan Irwanto

(2005), kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi

(43)

terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk

membuka petak-petak pertanian di dalam hutan.

Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011.

Indeks kekeringan harian di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan

2011 diwakili oleh 4 stasiun pengamat hujan yaitu di Kecamatan Pangururan,

Simanindo, Palipi, Sito-tio. Besarnya indeks kekeringan di suatu daerah di

pengaruhi oleh faktor cuaca seperti curah hujan, suhu, dan kelembaban.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, indeks kekeringan yang diekspresikan

berkisar dari 0-2000 di Kabupaten Samosir ditampilkan dalam bentuk grafik pada

(44)

Gambar 6. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Pangururan tahun 2009, 2010 dan 2011

Indeks kekeringan KBDI yang dihitung dari rata-rata curah hujan yang

diperoleh dari pengukuran di stasiun pengamat hujan Pangururan berada antara

rendah sampai dengan tinggi dengan nilai indeks 0 - 1749., tidak ada ditemui

tingkat kekeringan yang ekstrim. Hal ini disebabkan karena curah hujan dan

jumlah hari hujan relatif tinggi sehingga tingkat kekeringan semakin rendah.

Seperti yang di nyatakan Borger, dkk (2007), nilai KBDI akan semakin tinggi

dengan semakin rendahnya nilai curah hujan, begitu pula sebaliknya nilai KBDI

akan semakin menurun dengan naiknya jumlah curah hujan. Indeks kekeringan di

Kabupaten Samosir dapat dilihat berdasarkan curah hujan rata-rata tahunan.

(45)

Gambar 7. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Simanindo tahun 2009, 2010 dan 2011

Indeks kekeringan KBDI yang dihitung berdasarkan curah hujan dan

jumlah hari hujan pada stasiun pengamat hujan Simanindo cenderung lebih tinggi

dibandingkan dengan indeks kekeringan yang dihitung berdasarkan curah hujan di

stasiun pengamat hujan Pangururan. Pada stasiun pengamat hujan Simanindo

terlihat jelas pada grafik bahwa tingginya pengaruh curah hujan terhadap Indeks

kekeringan KBDI. Apabila curah hujan dan hari hujan rendah maka secara

otomatis tingkat kekeringan KBDI akan meningkat.

(46)

Gambar 8. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Palipi tahun 2009, 2010 dan 2011

Indeks kekeringan KBDI pada stasiun pengamat hujan Palipi

menunjukkan besarnya pengaruh jumlah hari hujan terhadap tingginya tingkat

kekeringan KBDI. Semakin sering hujan terjadi maka tingkat kekeringan akan

menjadi rendah. Hal ini jelas ditunjukkan pada Gambar di atas dimana intensitas

hujan pada tahun 2009 sangat besar sehingga tingkat kekeringan sangat rendah

dengan skala sifat kekeringan rendah dengan nilai antara 0 – 600.

Gambar 9. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Sitiotio tahun 2009, 2010 dan 2011

Grafik tersebut menunjukkan fluktuasi yang berbeda pada keempat stasiun

pengamat hujan dalam menggambarkan hubungan keadaan indeks kekeringan dan

curah hujan. Pada stasiun pengamat hujan Pangururan, grafik cenderung tinggi

pada saat skala indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah

bahkan tidak terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Mei sampai

(47)

indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah bahkan tidak

terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Juni sampai Juli dan

mengalami penurunan pada bulan Agustus sampai April, sedangkan pada stasiun

pengamat hujan Palipi dan Sitio-tio, indeks kekeringan dan hujan menunjukkan

fluktuasi naik turun yang terjadi pada hampir setiap bulannya.

Keempat gambar tersebut dapat menjelaskan secara umum indeks

kekeringan yang terjadi di Kabupaten Samosir tahun 2009 adalah berada di skala

sifat tinggi. Tingginya indeks kekeringan yang didapatkan di sebabkan curah

hujan yang terjadi pada tahun tersebut relatif rendah. Pada tahun 2010 indeks

kekeringan terendah dengan curah hujan tertinggi sehingga titik api hanya sedikit.

Tahun 2011 indeks kekeringan mulai meningkat dengan curah hujan yang rendah

sehingga titik api kembali meningkat yaitu sebanyak 12 titik.

Analisis yang dilakukan menunjukkan indeks kekeringan mencapai nilai

tertinggi pada bulan Maret dan Juli, hal ini mengindikasikan daerah tersebut

berada dalam kondisi kering. Deeming (1995) dalam Thoha (2006) bila KBDI

menunjukkan nilai 2000 mendeskripsikan sama sekali tidak ada kelembaban

tanah, sehingga bila tanah kering tentunya tidak ada daya dukung yang cukup

untuk menumbuhkan tanaman di atasnya. Pada kondisi tanah dan vegetasi kering,

menyebabkan pasokan bahan bakar api menjadi lebih besar. Kondisi ini dapat

mendukung dugaan bahwa peningkatan jumlah hotspot yang terpantau oleh satelit

disebabkan kondisi kekeringan yang meningkat.

Perhitungan indeks kekeringan yang dihubungkan dengan kejadian hujan,

(48)

menurunkan nilai indeks kekeringan, sedangkan apabila tidak terjadi hujan atau

jumlah curah hujan <5mm/hari akan menaikkan nilai indeks kekeringan yang

terjadi. Besarnya nilai indeks kekeringan di Kabupaten Samosir terjadi pada

bulan dengan curah hujan yang rendah yaitu bulan Maret dan Juli, dan nilai indeks

kekeringan mengalami penurunan pada bulan dengan curah hujan yang tinggi

yaitu pada bulan Oktober-Desember. Hal ini menunjukkan hubungan negatif

antara besarnya indeks kekeringan dan jumlah hujan yang terjadi. Dimana

semakin tinggi jumlah curah hujan yang terjadi maka semakin rendah indeks

kekeringan, sebaliknya semakin rendah jumlah hujan yang terjadi, semakin tinggi

indeks kekeringan.

Hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI

Tabel 5. Jumlah titik panas dan indeks kekeringan bulan Juli kecamatan pangururan tahun 2009, 2010 dan 2011.

(49)

20 929.69 R 929.69 R 1176.17 M

R= Rendah; M= Menengah/sedang; T= Tinggi; E= Ektstrim

Tabel 5. berikut dapat dijelaskan bahwa titik panas yang terdeteksi di

bulan Juli terjadi pada saat tingkat kekeringan berada pada skala sifat

tinggi-ekstrim. Hal ini menunjukkan pada saat kondisi daerah dalam keadaan kering

(indeks kekeringan tinggi-ekstrim) jumlah titik panas yang terdeteksi banyak

namun pada skala indeks kekeringan rendah-sedang sedikit ditemukan adanya

titik panas bahkan tidak ada ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa titik panas

yang mengindikasikan terjadinya kebakaran mempunyai kecenderungan yang

tidak tetap. Dimana pada saat indeks kekeringan mencapai kisaran tinggi-ekstrim

pada tanggal tertentu pada bula Juli tidak ditemukannya titik panas.

Informasi sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI pada umunya

disajikan hanya untuk melihat secara umum hubungan sebaran titik panas dan

indeks kekeringan. Titik panas yang diperoleh dari pengamatan satelit berupa

suatu titik yang mengindikasikan terjadinya suatu kebakaran dan indeks

kekeringan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik daerah dalam keadaan

kering. Besarnya nilai indeks kekeringan pada bulan-bulan tertentu dapat

(50)

daerah terjadi pada saat indeks kekeringan berada dalam tingkat tinggi-ekstrim.

Dengan mengetahui bulan-bulan yang mempunyai indeks kekeringan dan titik

panas yang tinggi di suatu daerah dapat digunakan sebagai suatu peringatan dini

terhadap besarnya kemungkinan terjadinya kebakaran dan kesiapsiagaan dalam

pencegahan dan penanggulangan. Menurut Solichin (2004) data titik panas

sebaiknya diartikan sebagai indikasi adanya kemungkinan kebakaran yang harus

dianalisa, dimonitor, dan terkadang perlu di chek di lapangan untuk mengetahui

apakah perlu dilakukan tindakan penanggulangan dini (initial attack), khususnya

saat musim kering, dimana penyebaran api akan sangat cepat. Hal tersebut

merupakan tindakan penting dalam penanggulangan kebakaran.

Prediksi ancaman kebakaran berdasarkan Indeks KBDI dan titik panas.

Hubungan indeks KBDI dan titik panas mempunyai peran yang penting

dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran umumnya terjadi pada

saat curah hujan rendah yang secara otomatis meningkatnya nilai KBDI.

Peningkatan nilai indeks KBDI tersebut mempunyai arti bahwa kondisi bahan

bakar yang kering sehingga sangat mudah terbakar. Secara umum nilai KBDI

berbanding lurus dengan jumlah titik api. Semakin tinggi nilai KBDI maka jumlah

titik api pun semakin banyak di temukan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi

bahan bakar yang semakin kering apabila nilai KBDI tinggi. Hubungan antara

nilai indeks KBDI dengan kondisi bahan bakar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Hubungan nilai KBDI dengan kondisi bahan bakar.

(51)

0-999 Rendah Material bakar mengandung cukup air (lembab)

mudah mencegah penyebaran api

1000-1499 Sedang Permukaan bahan bakar kering. Api pada permukaan

dan asapnya bisa menyebar. Kebakaran dapat

dikendalikan dengan peralatan tangan (Hand tools).

1500-1749 Tinggi Bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran

akan mudah menyebar dengan cepat. Perlu

penanggulangan dini untuk menahan penyebaran.

1750-2000 Ekstrim Bahan bakar sangat kering. Penyebaran api Sangat

cepat dan intensif.

(BMG. 2007)

Nilai KBDI umumnya juga berpengaruh terhadap ditemukannya titik

panas. Nilai KBDI yang tinggi menyatakan bahwa kondisi bahan bakar yang

cukup kering sehingga mudah timbul titik-titik api baik yang berasal dari

pembakaran yang dilakukan secara sengaja ataupun yang terjadi secara alami.

Titik api umumnya terjadi pada saat nilai KBDI berada pada skala sifat

tinggi-ekstrim dengan nilai antara 1500-1749 dan 1750-2000.

Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi pada bulan Maret-Juli,

dimana pada bulan tersebut merupakan musim kemarau yang lumayan panjang

sehingga curah hujan dan kelembaban sangat rendah. Rendahnya curah hujan dan

kelembaban memnyababkan secara otomatis nilai KBDI menjadi tinggi sehingga

mudah timbul titik-titik api baik yang terjadi secara alami atau karena perbuatan

manusia. Nilai KBDI pada bulan Maret-Juli dominan berada pada tingkat

tinggi-ekstrim yaitu dengan nilai antra 1500-1749 dan 1750-2000. Hal ini dapat dilihat

(52)

curah hujan rendah maka suhu menjadi naik dan sebaliknya, apabila curah hujan

tinggi maka suhu akan menjadi turun dan dapat juga dilihat dari grafik hubungan

curah hujan dan KBDI, dimana pada saat curah hujan rendah maka nilai KBDI

akan tinggi.

Curah hujan dan jumlah hari hujan bukan menjadi faktor utama dalam

munculnya titik-titik api di Kabupaten Samosir. Titik api juga banyak muncul

pada saat masyarakat Kabupaten Samosir yang dominan berprofesi sebagai petani

melakukan penyiapan lahan dengan cara pembakaran. Penyiapan lahan dengan

cara pembakaran sering kali tidak terkontrol sehingga api merambat ke areal hutan

sehinga memicu terjadinya kebakaran yang besar.

Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi akibat pembakaran

yang dilakukan para petani terhadap lahan semak belukar dengan tujuan untuk

pembersihan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian. Kebakaran yang terjadi

secara alami sangat jarang terjadi bahkan hamper tidak ditemui. Pembakaran

lahan yang dilakukan petani pada lahan semak belukar sering kali merambat

secara tidak terkontrol sehingga terjadi kebakaran yang besar. Kebakaran inilah

yang kemudian menjadi titik-titik api yang terekam dalam Satelit luar angkasa.

Nilai KBDI yang tinggi dan terdapatnya jumlah titik api yang tinggi

merupakan prediksi awal dari terjadinya bahaya kebakaran yang meluas. Perlu

diadakan antisipasi dan pencegahan awal agar tidak terjadi kebakaran yang

meluas dan tidak terkontrol. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan

pemadaman titik-titik api yang terdapat pada lahan yang kering serta lahan yang

(53)

pada skala tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan, skala sifat rendah yang

menunjukkan material bakar mengandung cukup air (lembab), mudah mencegah

penyabaran api, skala sifat sedang menunjukkan api pada permukaan dan asapnya

bisa menyebar, kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan tangan (hard

tools). Skala sifat tinggi menunjukkan bahan bakar kering dan mudah terbakar,

kebakaran akan menyebar dengan cepat perlu penanggulangan dini untuk

menahan penyebaran, sedangkan skala sifat ekstrim menunjukkan penyebaran api

sangat cepat dan intensif.

Sistem informasi kebakaran di Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sistem informasi

kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir, sebagai upaya untuk

meminimalisasi terjadinya kebakaran. Bagan system informasi kebakaran hutan

dan lahan di Kabupaten Samosir

Pengumpulan data cuaca dan Hotspot

Pengolahan Data

KBDI

Tinggi-Ekstrim (1500-2000) Rendah-Sedang (0-1499) Tidak ada Hotspot Terdapat Hotspot

Hotspot

SIAGA

(54)

Gambar 10. Sistem Informasi Tingkat Kebakaran di Kabupaten Samosir

Bagan diatas merupakan aplikasi data hasil penelitian yang diharapkan

dapat digunakan sebagai suatu sistem informasi kebakaran hutan dan lahan di

Kabupaten Samosir, sebagai upaya meminimalisasi terjadinya kebakaran di

Kabupaten Samosir. Bagan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengambil

langkah-langkah yang harus dilakukan apabila terjadi ancaman kebakaran.

Data suhu maksimum harian dan curah hujan harian yang merupakan data

yang digunakan untuk menghitung indeks kekeringan. Data dapat bersumber dari

BMKG provinsi maupun BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) yang ada di daerah.

Data kemudian dikelola dan ditentukan skala sifat bahaya kebakarannya, hal ini

dapat dilakukan pemerintahan setempat (baik provinsi dan kabupaten) yang

kemudian data tersebut dapat didistribusikan dalam bentuk-bentuk peta lokasi

rawan kebakaran, grafik, dan kalender siaga api kepada masyarakat yang secara

tidak langsung dapat diwakilkan pada pemerintah desa dan perusahaan dan

instansi lainnya. Dinas kehutanan daerah secara langsung sebagai badan yang

bertanggungjawab terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta

badan yang tertinggi dalam pengambilan keputusan mendistribusikan secara

(55)

langsung kepada regu siaga api untuk melakukan patroli dan monitoring ke lokasi

dengan rawan kebakaran dengan menggunakan data titik panas digunakan

sebagai data awal yang tercepat terhadap lokasi yang terdeteksinya adanya

(56)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Tingkat kerawanan kebakaran di Kabupaten Samosir cenderung rendah

dimana kebakaran hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun

yaitu antara bulan Maret-Juli.

2. Prediksi bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir berada pada bulan

Maret-Juli dimana nilai curah hujan sangat rendah sehingga nilai KBDI

tinggi dengan nilai indeks kekeringan berada pada skala tinggi-ekstrim

yaitu antara 1500-1749 dan 1750-2000.

SARAN

Informasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat digunakan untuk

memprediksi ancaman bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir sehingga

informasi tersebut hendaknya dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya

(57)

DAFTAR PUSTAKA

[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Interpretasi Bahaya Kebakaran. Oktober 2007)

Boorger, B, Medy, S, dan Liam, F. 2007. Sistem Peringatan Dini dan Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran di PT. Inhutani I (Early Warning System and

Fire Danger Rating in Inhutani I). Berau Forest Management Project

Ministry of Forestry and Estate Crops.

November 2007)

(58)

http://www.cifor.org

Eko, B., 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Arcview GIS. Penerbit: Andi Yogyakarta. Yogyakarta

. Dikutip tanggal 9 September 2011.

Elly, M. J., 2009. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Aplikasi ArcView 3.2 dan ERMapper 6.4. Penerbit: Graha Ilmu.Yogyakarta

Ginting, T, 2009. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Partisipasi

Masyarakat:Prosiding. Workshop Tehnik Pencegahan Kebakaran Hutan

Melalui Partisipasi Masyarakat. Kabanjahe

Irwanto, 2005. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia.

ITTO, 2010. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah tangkapan Air Danau Toba. ITTO PD 394/06 Rev. I (F)

Ma’rifatullah., 2011. Pemahaman Awal Tentang Modis.

Rustadi, A., 2012. Satelit Penginderaan Jauh “National Oceanic And Atmospheric Administration” (NOAA).

Desember 2012)

http:/rustadi14 newsartike.blogspot.com/2011/2012/satelit-penginderaan-jauh-national.html.(Desember 2012)

Sagala, P., 1999. Desain Kehutanan Holistik. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia.Jakarta

Solichin. 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang. South Sumatera Forest Fire Management Project

(SSFFMP) Newsletters Hotspot. (Februari 2004)

Solichin, Tarigan,L., Kimman,P., firman, B., Bagyono, R., 2007. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran. South Sumatera Forest Fire Management Project.

Solichin, Hasanuddin, Christiana, 2007. Panduan Pengumpulan Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Internet.SSFFMP

Sumardi dan Widyastuti. S. M, 2002. Bahan Ajar Pengantar Perlindungan Hutan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Tahun Anggaran 2002.

Thoha, A. S, 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara Thoha, A. S., 2008. Keterkaitan Iklim Mikro Dengan Perlakuan Api Pada

(59)
(60)

Lampiran 1. Data curah hujan harian tahun 2009, 2010 dan 2011 INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)

LOKASI PENGAMATAN /

STASIUN : PANGURURAN KAB. SAMOSIR

(61)
(62)
(63)

BADAN INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)

(64)
(65)
(66)

GEOFISIKA

NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009 TANGGAL : 31 Juli 2009

PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)

(67)
(68)
(69)

GEOFISIKA

NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009 TANGGAL : 31 Juli 2009

PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)

(70)
(71)
(72)

Lampiran 2. Data Temperatur Maximum Harian Tahun 2009, 2010 dan 2011

METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009

TANGGAL : 31 Juli 2009

PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI TEMPERATUR MAXIMUM HARIAN (°C)

LOKASI PENGAMATAN / STASIUN

(73)
(74)

Tanggal Tahun 2011

(75)

Tahun 2009 2010 2011

Bulan

1 0 0 1

2 0 0 0

3 12 1 0

4 0 0 0

5 0 0 0

6 0 0 1

7 2 0 7

8 0 1 1

9 0 1 1

10 0 2 1

11 0 0 0

Gambar

Gambar 1. Segitiga Api
Gambar 2. Peta Kabupaten Samosir
Tabel 1. Jenis-jenis data yang digunakan
Tabel 2. Skala indeks Kerawanan Kebakaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai P = 0,243 yang berarti lebih besar dari

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

Jika nilai e kecil maka momen yang terjadi menjadi kecil ( M=P.e) sehingga sera tarik pada sisik kiri kolom menjadi kecil dan serat tekan pada sisi kanan beton menjadi cukup

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang

Dari analisis ragam pada Tabel 1 menunjukan kombinasi perlakuan tata letak penanaman bujur sangkar dengan benih, umur bibit 6 dan 9 hari setelah semai serta

motivasi kerja karyawan juga berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap. peningkatan

Suatu perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, ini mengandung arti, bahwa menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak patut

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura&gt;bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan