INFORMASI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN INDEKS KEKERINGAN DAN TITIK PANAS
DI KABUPATEN SAMOSIR
Oleh
Perdamean Abadi. P 061201018 Manajemen Hutan
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian :Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks
Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir
Nama : Perdamean Abadi P
NIM : 061201018
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui Oleh :
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D
NIP.19740721 200112 2 001 NIP.19760725 200812 1 001 Yunus Afifudin S.Hut., M.Si
Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
ABSTRACT
Fire is one cause damaging to forest and land run quick and make a great
impact. Economic lossed is estimated approximately 10 bilion dollars. To reduce
fire effct are needed fire management and early warning. One of the efforts to
suggest is adopting the information system on fire. The objective of research are
to know fire danger rating on Samosir from the year 2009, 2010 and 2011.The
data analysis we conducted in laboratory of forest inventory Departemen Faculty
Of Agriculture adopted there spreadsheed exel and used software Arc.View 3.3.
Rainfall increasingly on hotspot decreasingly. The hotspot and drought index can
be used and simultaneouse early warning system for forest and land fire in
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan
dan lahan di Kabupaten Samosir dengan menggunakan data suhu maksimum,
curah hujan dan titik panas harian, bulanan dan tahunan 2009, 2010 dan 2011.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian dengan menggunakan Spreadsheet exel dan
perangkat lunak Arc. View 3.3. Banyaknya titik panas yang terdeteksi dan
tingginya indeks kekeringan yang diperoleh, terjadi jika curah hujan yang terjadi
rendah dan bahkan tidak terjadi hujuan. Titik panas dan indeks kekeringan dapat
digunakan secara bersama-sama sebagai sistem peringatan dini kebakaran sebagai
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Perdamean Abadi P, dilahirkan di Kabanjahe
pada tanggal 30 Juli 1988 dari ayah yang bernama B. Perangin-angin dan Ibu B.
Br Pandia. Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara.
Pendidikan formal pertama penulis dimulai pada SD Tingganderket tahun 1994,
kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Xaverius 1 Kabanjahe pada tahun
2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA N 1
Kabanjahe pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006 dan pada tahun 2006 pula
penulis di terima masuk di Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara
dari jalur SPMB.
Selama mengikuti perkuliahan penulis telah mengikuti berbagai kegiatan
seperti Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Pulau Sembilan dan
Tangkahan. Penulis juga telah melakukan praktek Kerja Lapangan (PKL) selam
satu bulan di HPHTI PT. Arara Abadi. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
sarjana penulis telah menyusun karya ilmiah yang berjudul Informasi Kebakaran
Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten
Samosir di bawah bimbingan ibu Rahmawaty S.Hut M. Si ph.D dan Bapak Yunus
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyusun skripsi ini. Adapun judul
yang dipilih dalam penelitian ini adalah ” Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada ketua
komisi pembimbing saya Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan anggota komisi
pembimbing saya Bapak Yunus Afifudin S.Hut., M.Si yang telah membimbing
dan memberikan masukan-masukan dalam skripsi ini. Serta ucapan terimakasih
kepada kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan moril
maupun materil, dan kepada teman-teman yang telah banyak membantu selama
melakukan penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik mengenai isi maupun dalam penulisannya. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna meningkatkan kualitas dan
kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi yang
membutuhkan. Terimakasih.
Medan, November 2012
DAFTAR ISI
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran ... 6
Kondisi pendukung ... 8
Satelit Pemantau Hotspot ... 10
National Oceanic And Atmospherric Administrarion (NOAA) ... 10
Citra Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) ... 11
Kebakaran di Kabupaten Samosir ... 12
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 15
Letak Geografis ... 15
Iklim ... 17
Penggunaan lahan ... 17
METODE PENELITIAN ... 19
Waktu dan Tempat Penelitian ... 19
Bahan dan Alat Penelitian ... 19
Bahan ... 19
Alat ... 19
Pengumpulan informasi dasar penelitian ... 20
Pengolahan data ... 20
Perhitungan indeks kekeringan KBDI ... 20
Analisis data ... 22
Analisa kebakaran dengan data hotspot ... 22
Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas ... 22
Hubungan Titik Panas Dan Indeks Kekeringan KBDI ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
Sebaran Titik Panas Bulanan Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 Dan 2011 ... 24
Peta sebaran titik panas di Kabupaten Samosir ... 26
Curah Hujan dan titik Panas Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 27
Hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
Kesimpulan ... 41
Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis-jenis data yang digunakan ... 19
2. Skala Indeks Kerawanan Kebakaran... 22
3. Sebaran Titik Panas tahun 2009, 2010 dan 2011 di Kab. Samosir ... 24
4. Curah Hujan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Segitiga Api ... 6
2. Peta Kabupaten Samosir ... 16
3. Sebaran Titik Panas Bulanan Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 25
4. Peta Sebaran Titik Panas Kabupaten Samosir ... 26
5. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011... 28
6. Kejadian Hujan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan Pangururan Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 29
7. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Simanindo Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 29
8. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan palipi Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 30
9. Kejadian hujan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan sitiotio Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Curah Hujan Harian Tahun 2009, 2010 dan 2011 ... 45
2. Data Temperatur Maximum Harian Tahun 2009, 2011 dan 2011 ... 56
ABSTRACT
Fire is one cause damaging to forest and land run quick and make a great
impact. Economic lossed is estimated approximately 10 bilion dollars. To reduce
fire effct are needed fire management and early warning. One of the efforts to
suggest is adopting the information system on fire. The objective of research are
to know fire danger rating on Samosir from the year 2009, 2010 and 2011.The
data analysis we conducted in laboratory of forest inventory Departemen Faculty
Of Agriculture adopted there spreadsheed exel and used software Arc.View 3.3.
Rainfall increasingly on hotspot decreasingly. The hotspot and drought index can
be used and simultaneouse early warning system for forest and land fire in
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan
dan lahan di Kabupaten Samosir dengan menggunakan data suhu maksimum,
curah hujan dan titik panas harian, bulanan dan tahunan 2009, 2010 dan 2011.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian dengan menggunakan Spreadsheet exel dan
perangkat lunak Arc. View 3.3. Banyaknya titik panas yang terdeteksi dan
tingginya indeks kekeringan yang diperoleh, terjadi jika curah hujan yang terjadi
rendah dan bahkan tidak terjadi hujuan. Titik panas dan indeks kekeringan dapat
digunakan secara bersama-sama sebagai sistem peringatan dini kebakaran sebagai
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bencana kebakaran hutan dan lahan akhir-akhir ini sudah semakin
mengganggu, baik ditinjau dari sudut pandang _ystem maupun ekonomi. Pada
tahun 1997/1998 sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput
terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja (CIFOR, 2006). Setyanto dan
Dermoredjo (2000) menyebutkan bahwa kebakaran hutan paling besar terjadi
sebanyak lima kali dalam kurun waktu sekitar 30 tahun (1966-1998), yakni tahun
1982/1983 (3,5 juta ha), 1987 (49.323 ha), 1991 (118.881 ha), 1994 (161.798 ha)
dan 1997/1998 (383.870 ha).
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering
mengalami kebakaran, hal ini dapat dilihat dari terjadinya kebakaran hutan dan
lahan setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah persentase titik api sebagai
_ystem_or kejadian kebakaran hutan dan lahan. Pada periode 1998–2006, jumlah
titik api tahunan di Provinsi Sumatera Utara berfluktuasi sekitar 2.116 titik.
Jumlah titik api terendah sebesar 1.037 pada tahun 1999 dan jumlah tertinggi
yaitu 3.900 titik api pada tahun 2005 (ITTO, 2010).
Sistem informasi kebakaran merupakan sistem yang bertujuan untuk
mendukung upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang
efektif dan efisien melalui kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyebaran
hutan dan lahan, yaitu: peringatan dini, pemantauan kebakaran dan penilaian
dampak kebakaran. Sistem informasi kebakaran sebenarnya sudah mulai
dikembangkan sejak 1994 oleh berbagai proyek bantuan luar negeri khususnya di
dalam upaya peringatan dini dan pemantauan kebakaran
(Solichin dkk, 2007)
Kebakaran yang terjadi di Kabupaten Samosir merupakan ancaman utama
bagi program rehabilitasi lahan. Kebakaran ini terjadi akibat dari menjalarnya api
dari lahan-lahan milik penduduk yang kemudian membakar lahan yang
direhabilitasi. Penjalaran api sangat cepat dan mudah, disebabkan oleh vegetasi
yang tumbuh di areal tersebut merupakan jenis rumput-rumputan seperti
alang-alang, sanggar, dan pinpin yang sangat mudah terbakar. Penjalaran api akan
sangat cepat disebabkan oleh hembusan angin dari danau yang kemudian
mempercepat penjalaran api searah dengan arah angin sehingga kebakaran
menjadi tidak terkontrol. Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran dan
kewaspadaan masyarakat akan bahaya kebakaran yang terjadi di areal yang
ditumbuhi jenis rumput-rumputan yang mudah terbakar.
Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir sering terjadi karena
masih kurangnya informasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang dapat
memicu kebakaran secara meluas sehingga apabila sudah terjadi kebakaran
dengan skala besar maka kebakaran itu mulai dipadamkan. Oleh sebab itu maka
penelitian tentang _ystem informasi kebakaran hutan dan lahan sangat dibutuhkan
untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan secara meluas di
Tujuan
1. Memperoleh informasi kebakaran hutan dan lahan di Daerah Kabupaten
Samosir
2. Memprediksi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten
Samosir
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
tingkatan kerawanan kebakaran yang berhubungan dengan tingkat kekeringan dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Kebakaran
Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam
berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan
penyebaran api dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-variabel bahan
bakar, cuaca atau iklim dan topografi sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhinya (Thoha, 2008).
Menurut Sagala (1999) kemungkinan kebakaran yang terjadi di hutan lebih
besar pada kawasan hutan yang tidak terlalu rimbun, sehingga banyak ditumbuhi
semak belukar yang kemudian akan menjadi bahan bakar pertama dari api. Dalam
hal ini bisa dibandingkan dengan hutan primer yang kanopinya sangat tebal
sehingga dapat menghalangi sinar matahari masuk ke lantai hutan sehingga semak
belukar tidak mungkin untuk tumbuh subur.
Proses Terjadinya Kebakaran
Pembakaran adalah proses yang stabil (Steady state) dari bentuk khusus
oksidasi dan kebalikan dari proses fotosintesis dimana dapat dibedakan dalam
flaming dan glowing. Pembakaran flaming adalah cahaya oksidasi gas-gas yang
dihasilkan dari dekomposisi bahan bakar sebagai nyala besar, turbulen dan difusi
Pada dasarnya, perkembangan kebakaran hutan terdiri dari dua proses
yang disebut dengan penyalaan dan pembakaran. Penyalaan adalah fase transisi
antara pra-pemanasan dan fase pembakaran yang tidak stabil dan mempunyai
suhu antara 204-3710C.
Dasar dari proses terjadinya kebakaran adalah proses pembakaran secara
kimia dan fisika. Energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan pada saat
bahan-bahan seperti daun, rumput dan kayu berkombinasi dengan oksigen
membentuk karbondioksida (CO2), air dan sejumlah substansi lain. Dengan kata
lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air, dan
energi matahari berkombinasi suatu energi kimia simpanan dan oksigen, seperti
yang tergambar di bawah ini:
Reaksi pembakaran:
Kebakaran dalam hutan dapat terjadi apabila sedikitnya tersedia tiga
komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara, dan penyalaan
api atau panas. Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat
merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Potensi komponen tersebut
sebagai bahan bakar, baik sendiri atau kumulatif, ditentukan oleh jumlah, kondisi
Bahan bakar Oksigen
Panas
Gambar 1. Segitiga Api
Prinsip segitiga api ini merupakan dasar dalam strategi penanggulangan
kebakaran hutan. Dengan mencegah bertemunya ketiga komponen segitiga api
tersebut maka terjadinya kebakaran dapat dihindarkan. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengurangi bahan bakar hutan yang potensial maupun sumber panas yang
dapat terjadi karena faktor alam dan manusia (Sumardi dan Widyastuti, 2002).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kebakaran
1. Karakteristik Bahan Bakar
Pada dasarnya, karakteristik bahan bakar dikelompokkan ke dalam dua
kategori: sifat bahan bakar intrinsik dimana mencakup kimia bahan bakar,
kerapatan, dan kandungan panas dan sifat ekstrinsik meliputi kelimpahan relatif
dari berbagai ukuran komponen bahan bakar, fraksi yang mati (fraction dead)
dan kekompakan bahan bakar. Di hutan tropis, karakteristik bahan bakar
bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut dan berkayu merupakan bahan
bakar yang baik karena mengandung nilai kalor sangat tinggi atau kapasitas
panas. Disamping itu, pembangunan hutan tanaman dengan spesies eksotik
pertambahan resiko kebakaran. Khususnya selama musim kering karena akan
terjadi muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.
2. Kadar Air Bahan Bakar
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar
adalah faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan, dimana
begitu jelas dan nyata mempengaruhi tingkat kebakaran khususnya daya nyala
bahan bakar hutan. Selain itu, kandungan air yang lebih tinggi panasnya
dibutuhkan untuk melepaskan uap air sebelum bahan bakar dimakan api.
Sehingga, tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Oleh
karena itu, kadar air bahan bakar dapat digunakan pada peramalan perilaku api
sebagai respon bahan bakar terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan seperti
presipitasi, kelembaban dan suhu.
Kadar air ditekankan pada kadar air bahan bakar mati dan bahan bakar
hidup. Kadar air bahan bakar mati bervariasi dari 1-2 % pada gurun, 300% pada
kayu lapuk, 200% pada lapisan-lapisan yang dalam dan pada kayu sumbu. Hal
tersebut dikendalikan oleh cuaca khususnya presipitasi, kelembaban relatif dan
suhu (Thoha, 2008).
3. Faktor Cuaca dan Iklim
Iklim dan atau cuaca adalah salah satu unsur segita lingkungan api
disamping bahan bakar dan topografi. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran
hutan pada berbagai cara yaitu menentukan jumlah total ketersediaan bahan
nyala bahan bakar hutan yang mati, berpengaruh tidak langsung pada penyalaan
dan penjalaran kebakaran hutan.
Chandler et. al (1983) dalam Thoha (2008) menyatakan bahwa cuaca dan
iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling
berhubungan yaitu:
1. Iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia
2. Iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim bahan bakar
3. Cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk
terbakar
4. Cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan
4. Topografi
Menurut Saharjo (2000) dalam Thoha (2008), dampak lereng pada satu
daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa
hingga mendekat kepada permukaan akibatnya pra-pemanasan bahan bakar
berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api.
Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan
kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat
terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.
Kondisi Pendukung
Faktor kedua penyebab kebakaran adalah kondisi pendukung yang juga
dipengaruhi oleh alam (iklim) dan juga manusia. Kemarau dan kekeringan yang
disebabkan oleh adanya fluktuasi iklim sebenarnya sudah lama terjadi, namun
tahun 70an. Kejadian kebakaran hutan tropis mulai sering muncul setelah tahun
1982/1983. Hal ini disebabkan adanya perubahan vegetasi dan dampak yang
sangat drastis serta pengaruh sosial ekonomi masyarakat.
1. Perubahan Tutupan Lahan
Perubahan tapak yang dimaksud meliputi perubahan tutupan lahan dan
perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut. Indonesia yang dulunya sebagian
besar merupakan hutan hujan tropis primer menjadi hutan bekas tebangan atau
terdegradasi akibat pengusahaan hutan dan exploitasi kayu secara besar-besaran
sejak awal tahun 70an. Hilangnya tajuk atau kanopi pohon besar menyebabkan
kondisi hutan menjadi lebih terbuka terhadap sinar matahari dan iklim mikro
menjadi lebih kering. Limbah bekas tebangan juga seringkali menjadi bahan bakar
yang sangat potensial meningkatkan intensitas kebakaran. Di hutan yang
terdegradasi menjadi semak belukar, bahkan menjadi lebih rawan lagi terhadap
kebakaran, karena mudahnya penyulutan dan penyebaran api.
2. Perubahan Hidrologi
Perubahan hidrologi khususnya di lahan gambut juga merupakan kondisi
yang sangat mendukung terjadinya kebakaran. Akibat terbatasnya lahan untuk
pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, banyak lahan gambut dalam yang
dikeringkan (drained) dengan membuat kanal-kanal yang membelah kubah
gambut. Selain mengeringkan lahan gambut, kanal juga berfungsi sebagai
aksesibilitasi bagi masyarakat untuk masuk jauh ke dalam areal lahan gambut
untuk melakukan aktifitas yang seringkali juga menimbulkan kebakaran.
Sebagai salah satu faktor utama di dalam penyebab kebakaran, perilaku
manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi serta budaya. Faktor
kemiskinan sering diusung sebagai faktor utama yang mengarahkan prilaku
membakar hutan. Karenanya banyak pendekatan pencegahan kebakaran dilakukan
melalui pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, budaya
penggunaan api sebenarnya juga sudah lama diterapkan oleh banyak masyarakat
tradisional yang hidup di sekitar hutan atau peladangan berpindah (Thoha, 2008).
Satelit Pemantau Hotspot
National Oceanic And Atmospheric Administration (NOAA)
Satelit NOAA merupakan satelit meterologi generasi ketiga milik National
Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat. Munculnya
satelit ini untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri TIROS
(Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965) dan seri IOS
(Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970-1976). Konfigurasi satelit NOAA
adalah pada ketinggian orbit 833-870 km, inklinasi sekitar 98,7 ° – 98,9 °,
mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari
semalam).
NOAA merupakan satelit yang dapat diandalkan untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan fisik lautan/samudera dan atmosfer. Seri NOAA ini
dilengkapi dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu :
1. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer),
4. DCS (Data Collection System),
5. SEM (Space Environment Monitor),
6. SARSAT (Search And Rescue Sattelite System).
Di antara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk
pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima
saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran
inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA
adalah 102 menit, sehingga setiap hari mengasilkan kurang lebih 14,1 orbit.
Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang
pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak
berubah dalam satu lintang (Rustadi, 2012).
Citra Modis (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer)
Adalah program yang luas menggunakan sensor pada dua satelit yang
masing-masing memberikan lengkap cakupan harian bumi. Data memiliki
berbagai resolusi, spektral , spasial dan temporal. Satelit TERRA yang membawa
sensor MODIS merupakan satelit pengamat lingkungan yang dapat digunakan
untuk mengekstraksi data permukaan yang bersifat regional. Satelit ini
mempunyai wilayah cakupan yang cukup luas, yakni 2330 km dengan resolusi
spasial 250 m (kalan 1 dan 2) dan resolusi spektral yang tinggi (36 kanal) serta
resolusi temporal yang kurang lebih sama dengan satelit generasi sebelumnya
yakni NOAA.
Sensor MODIS pertama diluncurkan pada satelit TERRA pada tanggal 18
perhari baik sebagai satelit Terra dan Aqua mengorbit bumi pada arah yang
berlawanan, dengan Terra melintasi khatulistiwa dari Utara ke Selatan di pagi hari
dan Aqua melintasi khatulistiwa dari Selatan ke Utara disore hari. Orbit ganda
inimemungkinkan titik yang sama di bumi untuk dapat dilihat sekitar dua kali per
hari, sekali selama pagi dan sore, yang memaksimalkan jumlah gambar bebas
awan dikumpulkan dan didownload setiap hari. Sistem satelit ini terus menyiarkan
data ganda MODIS secara real-time untuk stasiun di permukaan tanah dan semua
data MODIS disediakan gratis untuk semua pengguna.
Instrumen MODIS melihat Bumi pada di 36 panjang gelombang yang
berbeda spektrum, mulai dari cahaya tampak ke inframerah termal. Dengan
resolusi lebar spektral dan petak melihat, MODIS membuat pengukuran yang
berguna dalam berbagai macam disiplin ilmu sistem Bumi. Konsep animasi ini
contohnya dapat menunjukkan MODIS mengukur produktivitas primer dari
dedaunan hijau di darat dan fitoplankton di laut, diikuti dengan pengukuran tanah
dan suhu permukaan laut. Ini adalah contoh dua dari produk data MODIS untuk
mengumpulkan berbagai harian pada skala global (Ma’rifatullah, 2011)
Kebakaran di Kabupaten Samosir
Kebakaran hutan di Kabupaten Samosir merupakan salah satu faktor
utama yang menyebabkan degradasi lahan di areal tersebut. Sekali hutan terbakar,
maka dampaknya akan menjalar terhadap gangguan ekologi, ekonomi, dan sosial.
Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi
klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan
hutan. Karena kebakaran hutan di Kabupaten Samosir terjadi akibat adanya
aktivitas-aktivitas manusia, maka pencegahan kebakaran perlu ditegaskan dengan
cara meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peran penting serta fungsi
hutan, tanpa mengesampingkan pelaksanaan hukum maupun aspek-aspek teknis
yang lain. Pada dasarnya, terdapat tiga pendekatan dalam pencegahan kebakaran
hutan, yaitu : Pendidikan, Penegakan Hukum, dan Penguasaan Teknik. Laporan
ini adalah hasil dari kegiatan yaitu melaksanakan kajian mendalam untuk
mengetahui penyebab pokok terjadinya kebakaran hutan di lokasi. Kajian ini
terdiri dari pengumpulan data sekunder dan observasi lapangan, termasuk
wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan. Aktivitas-aktivitas
manusia yang berkaitan dengan kebakaran merupakan faktor terpenting di wilayah
kajian karena kebakaran yang disebabkan alam jarang terjadi atau bahkan tidak
pernah terjadi di negara tropis ini. Pada umumnya, penyiapan lahan di sekitar
Kabupaten Samosir menggunakan api sebagai alat yang paling sederhana. Ketika
api digunakan tanpa prosedur yang baik, dapat terjadi penyebaran yang tidak
terkendali dan membakar daerah yang berdekatan dengannya. Kemampuan bahan
bakar dari hutan dan kondisi cuaca yang kering dapat menyebarkan api secara
cepat. Berdasarkan pengamatan pada sembilan lokasi kajian, diketahui bahwa
terdapat sejumlah kecil penyebab langsung kebakaran di berbagai lokasi. Kajian
ini mengidentifikasi empat penyebab utama kebakaran:
(i) Penggunaan api sebagai alat untuk penyiapan lahan;
(ii) Kebakaran yang tidak disengaja;
(iii) Kebakaran yang disengaja;
Kajian ini mengidentifikasi lima penyebab kebakaran utama, sebagian
besar diantaranya saling berkaitan satu sama lain, diantaranya:
1. Lahan marga yang tidak dikelola dengan baik;
2. Insentif /disinsentif ekonomi;
3. Pengetahuan pengelolaan pertanian dan kebakaran yang terbatas;
4. Kapasitas institusi yang tidak memadai;
5. Program pengembangan yang tidak berkelanjutan.
Oleh karena itu solusi alternatif untuk pencegahan kebakaran hutan di
Kabupaten Samosir adalah:
1. Mengoptimalkan penggunaan lahan di wilayah kajian;
2. Program penyiapan lahan tanpa bakar;
3. Program pendampingan rehabilitasi;
4. Sekat bakar pada sistem agroforestry;
5. Formasi Masyarakat Peduli Api (MPA);
6. Skema insentif/disinsentif ekonomi
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis
Secara Geografis Kabupaten Samosir terletak pada 20 21‘ 38” - 20 49‘ 48” Lintang Utara dan 980 24‘ 00” - 990 01’ 48’‘ Bujur Timur dengan ketinggian antara 904 – 2.157 meter di atas permukaan laut.
Luas wilayahnya ± 2.069,05 km2, terdiri dari luas daratan ± 1.444,25 km2 (69,80
persen), yaitu seluruh pulau samosir yang dikelilingi Danau Toba dan sebagian wilayah
daratan Pulau Sumatera, dan luas wilayah danau ± 624,80 km2 (30,20 persen).
Batas-batas wilayah Kabupaten Samosir adalah sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, di sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pak-pak Barat dan di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
Peta Wilayah Kabupaten Samosir
Iklim
Daerah Kabupaten Samosir tergolong daerah beriklim tropis basah dengan
suhu berkisar antara 170 C – 290 C dan rata – rata kelembaban udara sebesar 85,04 persen.
Selama tahun 2010 rata-rata curah hujan perbulan yang tertinggi terdapat
di Kecamatan Harian, yaitu 206, 58 mm, disusul oleh Kecamatan Simanindo
177,25 mm, Kecamatan Palipi161, 25 mm, Kecamatan Sianjur Mulamula 159, 42
mm, Kecamatan Sitiotio 149,33 mm, Kecamata Nainggolan 145,25 mm,
Kecamatan Pangururan 130,42 mm, Kecamatan Ronggur Nihuta 97,00 mm dan
yang terendah di Kecamatan Onanrunggu yaitu 77,67 mm.
Sementara itu, rata-rata banyaknya hari hujan tiap bulan yang tertinggi
terdapat di Kecamatan Palipi yaitu 14,67 hari hujan, disusul oleh Kecamatan
Harian 12,92 hari hujan, Kecamatan Onanrunggu 12,50 hari hujan, Kecamatan
Sianjur mulamula12,25 hari hujan, Kecamatan Nainggolan dan Ronggur Nihuta
masing-masing 11,17 hari hujan, Kecamatan Pangururan 10,00 hari hujan,
Kecamatan Sitiotio 9,42 hari hujan dan yang terendah terdapat di Kecamatan
Simanindo yaitu 9, 17 hari hujan (BPS Kabupaten Samosir dalam angka, 2012).
Penggunaan Lahan
Kabupaten Samosir memiliki 10 buah sungai yang keseluruhannya
teknis (62,13 % dari luas yang ada). Panjang saluran irigasi di Kabupaten Samosir
mencapai 74,77 km, terdiri dari irigasi setengah teknis 70,63 km (21,53 km
saluran primer dan 49,10 km saluran sekunder) dan irigasi sederhana 4,14 km.
Luas lahan produktif di Kabupaten Samosir (2002) mencapai 69.798 ha, terdiri
dari lahan sawah 7.247 ha (10,4 %), dan lahan kering 62.551 ha (89,6 %).
Terbatasnya sarana irigasi, modal dan tenaga kerja kasar mengakibatkan hanya
14.110 ha (22,56 %) lahan kering yang dikelola. Selebihnya merupakan lahan
BAB IV
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir pada bulan Agustus
sampai dengan bulan November 2012
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti yang disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis data yang digunakan
NO Jenis data Sumber Skala Tahun
Ket: BPKH= Badan Pemantapan Kawasan Hutan; BMKG= Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; BBKSDA= Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perangkat keras (Hardwere) yang digunakan yaitu berupa seperangkat
Personal Computer.
2. Microsoft Office Excel untuk mengolah data yang disajikan dalam tabel.
4. Aplikasi ArcView3.3 untuk pembuatan peta administrasi Kabupaten Samosir
5. Alat tulis untuk mencatat data dan informasi yang diperoleh.
Pengumpulan Informasi Dasar Penelitian
Sebelum semua pekerjaan dimulai, dilakukan satu tahap awal yaitu
pengumpulan informasi dasar. Informasi yang dikumpulkan adalah data-data
seperti data kebakaran hutan, titik panas (hotspot), curah hujan dan suhu serta
perangkat lunak dan perangkat keras yang mendukung kegiatan penelitian.
Pengolahan Data
Perhitungan Indeks Kekeringan KBDI
Indeks kekeringan menggambarkan tingkat/nilai defisiensi kelembaban
tanah dan lahan yang dihitung berdasarkan data cuaca harian. Salah satu indeks
yang digunakan adalah Keetch Byram Drought Index (KBDI). Untuk menghitung
KBDI diperlukan beberapa data yaitu:
• suatu daerah harus memiliki data curah hujan tahunan yang berdasarkan
rata-rata selamakurang lebih 20 tahun.
• diperlukan data curah hujan harian dan suhu maksimum harian, sehingga
kualitasnya tergantung dari kualitas datacuaca tersebut.
Sedangkan mengenai informasi yang dihasilkan hanya untuk cakupan
wilayah tertentu (50 – 100 km), sehingga diperlukan beberapa stasiun cuaca.
Terdapat 4 kelas/tingkat kekeringan yang mudah dimengerti yaitu: rendah (0 –
Perhitungan nilai indeks kekeringan ini dilakukan pada stasiun pengamat
hujan yang mewakili kabupaten Samosir yaitu di Kecamatan Pangururan,
Simanindo, Palipi dan Sitio tio. Formula yang digunakan untuk menghitung nilai
indeks kekeringan KBDI dijelaskan sebagai berikut Deeming (1995) dalam
Rheidahari (2001) :
KBDI hari ini =(∑ KBDI kemarin- (10*CH)+DF hari ini
Keterangan :
CH : Curah Hujan Bersih
DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk
perkiraan bahaya kebakaran adalah, dengan formulasi sebagai berikut :
Keterangan:
Tmax : Suhu maksimum
Ann Rain : Rata-rata curah hujan tahunan
YKBDI : KBDI kemarin
Tmax adalah suhu maksimum harian dan Ann Rain adalah rata-rata curah
hujan tahunan dan YKBDI adalah Kaeetch/Byram Drougth Indeks Kemarin.
Tmax, AnnRain dan YKBDI merupakan variable, sedangkan angka-angka yang
ada merupakan konstanta yang menunjukkan evapotranspirasi dan keberadaan
vegetasi .
Penyusunan data dasar dimulai dari pengumpulan data dari Badan
Meteorologi dan Geofisika dan penyajian skala sifat untuk setiap tingkat
kebakaran. Setelah semua data cuaca terkumpul kemudian dimasukkan ke
komputer untuk mendapatkan format digitalnya. Berdasarkan perhitungan KBDI
menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran, yang diekspresikan melalui
nilai indeks yang berkisar 0-2000.
Tabel 2. Skala indeks Kerawanan Kebakaran
Skala angka
Skala Sifat Keterangan
0-999 Rendah Material bakar mengandung cukup air (lembab),
mudah mencegah penyebaran api
1000-1499 Sedang Api pada permukaan dan asapnya bisa menyebar.
Kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan
tangan (Hand tools).
1500-1749 Tinggi Bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran
akan mudah menyebar dengan cepat. Perlu
penanggulangan dini untuk menahan penyebaran.
1750-2000 Ekstrim Penyebaran api sangat cepat dan intensif.
(BMG, 2007)
Analisis Data
Analisa Kebakaran dengan Data Hotspot
Analisis kebakaran dengan data hotspot dilakukan dengan cara
menghitung jumlah titik hotspot yang terdapat pada daerah Kabupaten Samosir
yang terjadi setiap hari sepanjang tahun 2009, 2010 dan 2011. Data tersebut akan
ditampilkan pada peta dan grafik.
Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas
Data sebaran titik panas yang dianalisis dan telah diketahui bulan yang
korelasi antara jumlah sebaran titik panas dan kejadian hujan disajikan dalam
tabel dan grafik.
Hubungan Titik Panas dan Indeks Kekeringan KBDI
Data sebaran titik panas yang telah dianalisis dan telah diketahui bulan
yang terbanyak terdapat titik panas kemudian dikorelasikan dengan indeks
kekeringan KBDI bulan yang sama, dimana korelasi antara jumlah sebaran titik
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Titik Panas Bulanan Di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011
Sebaran titik panas yang dianalisis melalui perangkat sistem informasi
geografis dari data satelit, menunjukkan adanya perbedaan jumlah titik panas yang
terdeteksi pada tiap bulannya seperti ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran titik panas tahun 2009, 2010 dan 2011 di Kab. Samosir.
Tahun
Sumber : Data satelit NOAA, FFPMP2-PHKA/JICA
Tabel 3 di atas menunjukkan, bahwa pada tahun 2009 jumlah titik panas
yang terdeteksi sebanyak 14 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada bulan
Maret sebanyak 12 titik, sedangkan pada bulan Januari-Februari dan April-Juni
serta Agustus-Desember tidak terdeteksi adanya titik panas. Sebaran titik panas
pada tahun 2009 relatif tinggi yang terjadi pada bulan Maret. Tahun 2010 jumlah
titik panas yang terdeteksi sebanyak 5 titik. Titik panas terdeteksi pada bulan
Maret sebanyak 1 titik, bulan Agustus sebanyak 1 titik, bulan September sebanyak
1 titik dan bulan Oktober sebanyak 2 titik. Titik panas tertinggi terdeteksi pada
bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Juli,
tahun 2011 yang terdeteksi sebanyak 12 titik panas. Sebaran titik panas terdeteksi
pada bulan Januari dan Juni-Oktober. Dimana jumlah tertinggi terdeteksi pada
bulan Juli sebanyak 7 titik. Sedangkan pada bulan Februai-Mei dan
Nopember-Desember tidak terdeteksi titik panas. Jumlah sebaran titik panas di Kabupaten
Samosir pada tahun 2009, 2010 dan 2011 mengalami fluktuasi yang berbeda,
yaitu jumlah titik panas yang terdeteksi pada tiap tahunnya terjadi pada
bulan-bulan yang berbeda seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 3. Sebaran titik panas bulanan Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011
Gambar 6 di atas menunjukkan, bahwa sebaran titik panas terdeteksi mulai
bulan Januari-Oktober, titik panas relatif tinggi terjadi pada bulan Maret dan Juli,
sedangkan jumlah titik panas mengalami penurunan pada bulan
Oktober-Desember. Tingginya jumlah Hotspot pada bulan Maret-Juli disebabkan karena
bulan Maret-Juli merupakan bulan kering dimana jumlah hari hujan pada
umumnya sangat sedikit, sedangkan pada bulan Oktober-Desember merupakan
bulan basah dengan jumlah hari hujan lebih besar.
Peta Sebaran Titik Panas Di Kabupaten Samosir
Titik panas menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Samosir hampir
setiap tahun. Sebaran titik panas pada tahun 2009, 2010 dan 2011 disajikan dalam
bentuk peta pada gambar 7 . Dari peta sebaran titik panas tersebut dapat dilihat
bahwa hampir di Seluruh kecamatan di Kabupaten Samosir terdapat titik panas.
Hal ini disebebkan karena Penduduk di Kabupaten Samosir dominan adalah
petani. Para petani melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar semak
belukar sehingga ,menyebabkan timbulnya titik Hotspot.
Curah Hujan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir Tahun 2009, 2010 dan 2011
Curah hujan dan titik panas mempunyai hubungan yang sangat erat,
dimana semakin tingginya curah hujan maka kemungkinan terjadinya titik panas
semakin rendah dan sebaliknya, apabila curah hujan rendah maka kemungkinan
terjadinya titik panas akan tinggi.
11 188.25 0 207 0 227.25 0
12 198.5 0 242.25 0 118 0
Keterangan : CH= Curah Hujan, TP= Titik Panas.
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dengan jumlah curah
hujan yang terjadi berkisar antara 24-248 mm/bln, titik panas hanya dijumpai pada
bulan Maret sebanyak 12 titik dan bulan Juli sebanyak 2 titik. Pada tahun 2010
titik panas terdeteksi pada bulan Maret, Agustus, September dan Oktober.
Dimana jumlah curah hujan berkisar antara 81-242mm/bln dan Merata sepanjang
tahun. Pada tahun 2011, titik panas terdeteksi pada bulan Januari, Juni, Juli,
Agustus, September dan Oktober. Dimana curah hujan berkisar antara
2.5-239mm/bln dan merata sepanjang tahun. Menurut Thoha (2006) kecenderungan
terjadinya titik panas menunjukkan bahwa curah hujan mempunyai pengaruh
terhadap titik panas meskipun dari segi jumlah titik panas yang terpantau tidak
memiliki kecenderungan yang tetap. Keberadaan titik panas akan ditemukan pada
suatu daerah, bila curah hujan menurun, sebaliknya bila curah hujan mulai
meningkat di suatu daerah maka titik panas akan makin menurun bahkan tidak
ditemukan titik panas. Hal ini menunjukkan hubungan yang negatif antara
terdeteksinya titik panas dan besarnya kejadian hujan. Kecenderungan yang tidak
tetap akan naik dan turunnya jumlah titik panas dengan curah hujan yang terjadi
diduga akibat aktifitas manusia berupa pembakaran dalam hal pembukaan lahan
yang dilakukan secara tidak terkontrol serta waktu pelaksanaan kegiatan
pengolahan lahan yang berbeda di lapangan. Seperti yang dikatakan Irwanto
(2005), kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi
terakhir ini, pertama untuk memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk
membuka petak-petak pertanian di dalam hutan.
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan 2011.
Indeks kekeringan harian di Kabupaten Samosir tahun 2009, 2010 dan
2011 diwakili oleh 4 stasiun pengamat hujan yaitu di Kecamatan Pangururan,
Simanindo, Palipi, Sito-tio. Besarnya indeks kekeringan di suatu daerah di
pengaruhi oleh faktor cuaca seperti curah hujan, suhu, dan kelembaban.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, indeks kekeringan yang diekspresikan
berkisar dari 0-2000 di Kabupaten Samosir ditampilkan dalam bentuk grafik pada
Gambar 6. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Pangururan tahun 2009, 2010 dan 2011
Indeks kekeringan KBDI yang dihitung dari rata-rata curah hujan yang
diperoleh dari pengukuran di stasiun pengamat hujan Pangururan berada antara
rendah sampai dengan tinggi dengan nilai indeks 0 - 1749., tidak ada ditemui
tingkat kekeringan yang ekstrim. Hal ini disebabkan karena curah hujan dan
jumlah hari hujan relatif tinggi sehingga tingkat kekeringan semakin rendah.
Seperti yang di nyatakan Borger, dkk (2007), nilai KBDI akan semakin tinggi
dengan semakin rendahnya nilai curah hujan, begitu pula sebaliknya nilai KBDI
akan semakin menurun dengan naiknya jumlah curah hujan. Indeks kekeringan di
Kabupaten Samosir dapat dilihat berdasarkan curah hujan rata-rata tahunan.
Gambar 7. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Simanindo tahun 2009, 2010 dan 2011
Indeks kekeringan KBDI yang dihitung berdasarkan curah hujan dan
jumlah hari hujan pada stasiun pengamat hujan Simanindo cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan indeks kekeringan yang dihitung berdasarkan curah hujan di
stasiun pengamat hujan Pangururan. Pada stasiun pengamat hujan Simanindo
terlihat jelas pada grafik bahwa tingginya pengaruh curah hujan terhadap Indeks
kekeringan KBDI. Apabila curah hujan dan hari hujan rendah maka secara
otomatis tingkat kekeringan KBDI akan meningkat.
Gambar 8. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Palipi tahun 2009, 2010 dan 2011
Indeks kekeringan KBDI pada stasiun pengamat hujan Palipi
menunjukkan besarnya pengaruh jumlah hari hujan terhadap tingginya tingkat
kekeringan KBDI. Semakin sering hujan terjadi maka tingkat kekeringan akan
menjadi rendah. Hal ini jelas ditunjukkan pada Gambar di atas dimana intensitas
hujan pada tahun 2009 sangat besar sehingga tingkat kekeringan sangat rendah
dengan skala sifat kekeringan rendah dengan nilai antara 0 – 600.
Gambar 9. Kejadian hujan dan indeks kekeringan di stasiun pengamat hujan Sitiotio tahun 2009, 2010 dan 2011
Grafik tersebut menunjukkan fluktuasi yang berbeda pada keempat stasiun
pengamat hujan dalam menggambarkan hubungan keadaan indeks kekeringan dan
curah hujan. Pada stasiun pengamat hujan Pangururan, grafik cenderung tinggi
pada saat skala indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah
bahkan tidak terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Mei sampai
indeks kekeringan tinggi-ekstrim dengan curah hujan yang rendah bahkan tidak
terjadi hujan. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Juni sampai Juli dan
mengalami penurunan pada bulan Agustus sampai April, sedangkan pada stasiun
pengamat hujan Palipi dan Sitio-tio, indeks kekeringan dan hujan menunjukkan
fluktuasi naik turun yang terjadi pada hampir setiap bulannya.
Keempat gambar tersebut dapat menjelaskan secara umum indeks
kekeringan yang terjadi di Kabupaten Samosir tahun 2009 adalah berada di skala
sifat tinggi. Tingginya indeks kekeringan yang didapatkan di sebabkan curah
hujan yang terjadi pada tahun tersebut relatif rendah. Pada tahun 2010 indeks
kekeringan terendah dengan curah hujan tertinggi sehingga titik api hanya sedikit.
Tahun 2011 indeks kekeringan mulai meningkat dengan curah hujan yang rendah
sehingga titik api kembali meningkat yaitu sebanyak 12 titik.
Analisis yang dilakukan menunjukkan indeks kekeringan mencapai nilai
tertinggi pada bulan Maret dan Juli, hal ini mengindikasikan daerah tersebut
berada dalam kondisi kering. Deeming (1995) dalam Thoha (2006) bila KBDI
menunjukkan nilai 2000 mendeskripsikan sama sekali tidak ada kelembaban
tanah, sehingga bila tanah kering tentunya tidak ada daya dukung yang cukup
untuk menumbuhkan tanaman di atasnya. Pada kondisi tanah dan vegetasi kering,
menyebabkan pasokan bahan bakar api menjadi lebih besar. Kondisi ini dapat
mendukung dugaan bahwa peningkatan jumlah hotspot yang terpantau oleh satelit
disebabkan kondisi kekeringan yang meningkat.
Perhitungan indeks kekeringan yang dihubungkan dengan kejadian hujan,
menurunkan nilai indeks kekeringan, sedangkan apabila tidak terjadi hujan atau
jumlah curah hujan <5mm/hari akan menaikkan nilai indeks kekeringan yang
terjadi. Besarnya nilai indeks kekeringan di Kabupaten Samosir terjadi pada
bulan dengan curah hujan yang rendah yaitu bulan Maret dan Juli, dan nilai indeks
kekeringan mengalami penurunan pada bulan dengan curah hujan yang tinggi
yaitu pada bulan Oktober-Desember. Hal ini menunjukkan hubungan negatif
antara besarnya indeks kekeringan dan jumlah hujan yang terjadi. Dimana
semakin tinggi jumlah curah hujan yang terjadi maka semakin rendah indeks
kekeringan, sebaliknya semakin rendah jumlah hujan yang terjadi, semakin tinggi
indeks kekeringan.
Hubungan sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI
Tabel 5. Jumlah titik panas dan indeks kekeringan bulan Juli kecamatan pangururan tahun 2009, 2010 dan 2011.
20 929.69 R 929.69 R 1176.17 M
R= Rendah; M= Menengah/sedang; T= Tinggi; E= Ektstrim
Tabel 5. berikut dapat dijelaskan bahwa titik panas yang terdeteksi di
bulan Juli terjadi pada saat tingkat kekeringan berada pada skala sifat
tinggi-ekstrim. Hal ini menunjukkan pada saat kondisi daerah dalam keadaan kering
(indeks kekeringan tinggi-ekstrim) jumlah titik panas yang terdeteksi banyak
namun pada skala indeks kekeringan rendah-sedang sedikit ditemukan adanya
titik panas bahkan tidak ada ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa titik panas
yang mengindikasikan terjadinya kebakaran mempunyai kecenderungan yang
tidak tetap. Dimana pada saat indeks kekeringan mencapai kisaran tinggi-ekstrim
pada tanggal tertentu pada bula Juli tidak ditemukannya titik panas.
Informasi sebaran titik panas dan indeks kekeringan KBDI pada umunya
disajikan hanya untuk melihat secara umum hubungan sebaran titik panas dan
indeks kekeringan. Titik panas yang diperoleh dari pengamatan satelit berupa
suatu titik yang mengindikasikan terjadinya suatu kebakaran dan indeks
kekeringan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik daerah dalam keadaan
kering. Besarnya nilai indeks kekeringan pada bulan-bulan tertentu dapat
daerah terjadi pada saat indeks kekeringan berada dalam tingkat tinggi-ekstrim.
Dengan mengetahui bulan-bulan yang mempunyai indeks kekeringan dan titik
panas yang tinggi di suatu daerah dapat digunakan sebagai suatu peringatan dini
terhadap besarnya kemungkinan terjadinya kebakaran dan kesiapsiagaan dalam
pencegahan dan penanggulangan. Menurut Solichin (2004) data titik panas
sebaiknya diartikan sebagai indikasi adanya kemungkinan kebakaran yang harus
dianalisa, dimonitor, dan terkadang perlu di chek di lapangan untuk mengetahui
apakah perlu dilakukan tindakan penanggulangan dini (initial attack), khususnya
saat musim kering, dimana penyebaran api akan sangat cepat. Hal tersebut
merupakan tindakan penting dalam penanggulangan kebakaran.
Prediksi ancaman kebakaran berdasarkan Indeks KBDI dan titik panas.
Hubungan indeks KBDI dan titik panas mempunyai peran yang penting
dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran umumnya terjadi pada
saat curah hujan rendah yang secara otomatis meningkatnya nilai KBDI.
Peningkatan nilai indeks KBDI tersebut mempunyai arti bahwa kondisi bahan
bakar yang kering sehingga sangat mudah terbakar. Secara umum nilai KBDI
berbanding lurus dengan jumlah titik api. Semakin tinggi nilai KBDI maka jumlah
titik api pun semakin banyak di temukan. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi
bahan bakar yang semakin kering apabila nilai KBDI tinggi. Hubungan antara
nilai indeks KBDI dengan kondisi bahan bakar dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Hubungan nilai KBDI dengan kondisi bahan bakar.
0-999 Rendah Material bakar mengandung cukup air (lembab)
mudah mencegah penyebaran api
1000-1499 Sedang Permukaan bahan bakar kering. Api pada permukaan
dan asapnya bisa menyebar. Kebakaran dapat
dikendalikan dengan peralatan tangan (Hand tools).
1500-1749 Tinggi Bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran
akan mudah menyebar dengan cepat. Perlu
penanggulangan dini untuk menahan penyebaran.
1750-2000 Ekstrim Bahan bakar sangat kering. Penyebaran api Sangat
cepat dan intensif.
(BMG. 2007)
Nilai KBDI umumnya juga berpengaruh terhadap ditemukannya titik
panas. Nilai KBDI yang tinggi menyatakan bahwa kondisi bahan bakar yang
cukup kering sehingga mudah timbul titik-titik api baik yang berasal dari
pembakaran yang dilakukan secara sengaja ataupun yang terjadi secara alami.
Titik api umumnya terjadi pada saat nilai KBDI berada pada skala sifat
tinggi-ekstrim dengan nilai antara 1500-1749 dan 1750-2000.
Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi pada bulan Maret-Juli,
dimana pada bulan tersebut merupakan musim kemarau yang lumayan panjang
sehingga curah hujan dan kelembaban sangat rendah. Rendahnya curah hujan dan
kelembaban memnyababkan secara otomatis nilai KBDI menjadi tinggi sehingga
mudah timbul titik-titik api baik yang terjadi secara alami atau karena perbuatan
manusia. Nilai KBDI pada bulan Maret-Juli dominan berada pada tingkat
tinggi-ekstrim yaitu dengan nilai antra 1500-1749 dan 1750-2000. Hal ini dapat dilihat
curah hujan rendah maka suhu menjadi naik dan sebaliknya, apabila curah hujan
tinggi maka suhu akan menjadi turun dan dapat juga dilihat dari grafik hubungan
curah hujan dan KBDI, dimana pada saat curah hujan rendah maka nilai KBDI
akan tinggi.
Curah hujan dan jumlah hari hujan bukan menjadi faktor utama dalam
munculnya titik-titik api di Kabupaten Samosir. Titik api juga banyak muncul
pada saat masyarakat Kabupaten Samosir yang dominan berprofesi sebagai petani
melakukan penyiapan lahan dengan cara pembakaran. Penyiapan lahan dengan
cara pembakaran sering kali tidak terkontrol sehingga api merambat ke areal hutan
sehinga memicu terjadinya kebakaran yang besar.
Kebakaran di Kabupaten Samosir umumnya terjadi akibat pembakaran
yang dilakukan para petani terhadap lahan semak belukar dengan tujuan untuk
pembersihan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian. Kebakaran yang terjadi
secara alami sangat jarang terjadi bahkan hamper tidak ditemui. Pembakaran
lahan yang dilakukan petani pada lahan semak belukar sering kali merambat
secara tidak terkontrol sehingga terjadi kebakaran yang besar. Kebakaran inilah
yang kemudian menjadi titik-titik api yang terekam dalam Satelit luar angkasa.
Nilai KBDI yang tinggi dan terdapatnya jumlah titik api yang tinggi
merupakan prediksi awal dari terjadinya bahaya kebakaran yang meluas. Perlu
diadakan antisipasi dan pencegahan awal agar tidak terjadi kebakaran yang
meluas dan tidak terkontrol. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan
pemadaman titik-titik api yang terdapat pada lahan yang kering serta lahan yang
pada skala tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan, skala sifat rendah yang
menunjukkan material bakar mengandung cukup air (lembab), mudah mencegah
penyabaran api, skala sifat sedang menunjukkan api pada permukaan dan asapnya
bisa menyebar, kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan tangan (hard
tools). Skala sifat tinggi menunjukkan bahan bakar kering dan mudah terbakar,
kebakaran akan menyebar dengan cepat perlu penanggulangan dini untuk
menahan penyebaran, sedangkan skala sifat ekstrim menunjukkan penyebaran api
sangat cepat dan intensif.
Sistem informasi kebakaran di Kabupaten Samosir.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu sistem informasi
kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Samosir, sebagai upaya untuk
meminimalisasi terjadinya kebakaran. Bagan system informasi kebakaran hutan
dan lahan di Kabupaten Samosir
Pengumpulan data cuaca dan Hotspot
Pengolahan Data
KBDI
Tinggi-Ekstrim (1500-2000) Rendah-Sedang (0-1499) Tidak ada Hotspot Terdapat Hotspot
Hotspot
SIAGA
Gambar 10. Sistem Informasi Tingkat Kebakaran di Kabupaten Samosir
Bagan diatas merupakan aplikasi data hasil penelitian yang diharapkan
dapat digunakan sebagai suatu sistem informasi kebakaran hutan dan lahan di
Kabupaten Samosir, sebagai upaya meminimalisasi terjadinya kebakaran di
Kabupaten Samosir. Bagan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengambil
langkah-langkah yang harus dilakukan apabila terjadi ancaman kebakaran.
Data suhu maksimum harian dan curah hujan harian yang merupakan data
yang digunakan untuk menghitung indeks kekeringan. Data dapat bersumber dari
BMKG provinsi maupun BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) yang ada di daerah.
Data kemudian dikelola dan ditentukan skala sifat bahaya kebakarannya, hal ini
dapat dilakukan pemerintahan setempat (baik provinsi dan kabupaten) yang
kemudian data tersebut dapat didistribusikan dalam bentuk-bentuk peta lokasi
rawan kebakaran, grafik, dan kalender siaga api kepada masyarakat yang secara
tidak langsung dapat diwakilkan pada pemerintah desa dan perusahaan dan
instansi lainnya. Dinas kehutanan daerah secara langsung sebagai badan yang
bertanggungjawab terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta
badan yang tertinggi dalam pengambilan keputusan mendistribusikan secara
langsung kepada regu siaga api untuk melakukan patroli dan monitoring ke lokasi
dengan rawan kebakaran dengan menggunakan data titik panas digunakan
sebagai data awal yang tercepat terhadap lokasi yang terdeteksinya adanya
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Tingkat kerawanan kebakaran di Kabupaten Samosir cenderung rendah
dimana kebakaran hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun
yaitu antara bulan Maret-Juli.
2. Prediksi bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir berada pada bulan
Maret-Juli dimana nilai curah hujan sangat rendah sehingga nilai KBDI
tinggi dengan nilai indeks kekeringan berada pada skala tinggi-ekstrim
yaitu antara 1500-1749 dan 1750-2000.
SARAN
Informasi kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat digunakan untuk
memprediksi ancaman bahaya kebakaran di Kabupaten Samosir sehingga
informasi tersebut hendaknya dapat digunakan untuk meminimalisir terjadinya
DAFTAR PUSTAKA
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2007. Interpretasi Bahaya Kebakaran. Oktober 2007)
Boorger, B, Medy, S, dan Liam, F. 2007. Sistem Peringatan Dini dan Penentuan Tingkat Bahaya Kebakaran di PT. Inhutani I (Early Warning System and
Fire Danger Rating in Inhutani I). Berau Forest Management Project
Ministry of Forestry and Estate Crops.
November 2007)
http://www.cifor.org
Eko, B., 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Arcview GIS. Penerbit: Andi Yogyakarta. Yogyakarta
. Dikutip tanggal 9 September 2011.
Elly, M. J., 2009. Sistem Informasi Geografis Menggunakan Aplikasi ArcView 3.2 dan ERMapper 6.4. Penerbit: Graha Ilmu.Yogyakarta
Ginting, T, 2009. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Partisipasi
Masyarakat:Prosiding. Workshop Tehnik Pencegahan Kebakaran Hutan
Melalui Partisipasi Masyarakat. Kabanjahe
Irwanto, 2005. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia.
ITTO, 2010. Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah tangkapan Air Danau Toba. ITTO PD 394/06 Rev. I (F)
Ma’rifatullah., 2011. Pemahaman Awal Tentang Modis.
Rustadi, A., 2012. Satelit Penginderaan Jauh “National Oceanic And Atmospheric Administration” (NOAA).
Desember 2012)
http:/rustadi14 newsartike.blogspot.com/2011/2012/satelit-penginderaan-jauh-national.html.(Desember 2012)
Sagala, P., 1999. Desain Kehutanan Holistik. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia.Jakarta
Solichin. 2004. Hotspot Tidak Selalu Titik Kebakaran (Mengenal Hotspot Bagian 1). Palembang. South Sumatera Forest Fire Management Project
(SSFFMP) Newsletters Hotspot. (Februari 2004)
Solichin, Tarigan,L., Kimman,P., firman, B., Bagyono, R., 2007. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran. South Sumatera Forest Fire Management Project.
Solichin, Hasanuddin, Christiana, 2007. Panduan Pengumpulan Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan melalui Internet.SSFFMP
Sumardi dan Widyastuti. S. M, 2002. Bahan Ajar Pengantar Perlindungan Hutan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Tahun Anggaran 2002.
Thoha, A. S, 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan Di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara Thoha, A. S., 2008. Keterkaitan Iklim Mikro Dengan Perlakuan Api Pada
Lampiran 1. Data curah hujan harian tahun 2009, 2010 dan 2011 INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)
LOKASI PENGAMATAN /
STASIUN : PANGURURAN KAB. SAMOSIR
BADAN INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)
GEOFISIKA
NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009 TANGGAL : 31 Juli 2009
PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)
GEOFISIKA
NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009 TANGGAL : 31 Juli 2009
PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI CURAH HUJAN HARIAN (mm)
Lampiran 2. Data Temperatur Maximum Harian Tahun 2009, 2010 dan 2011
METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA NOMOR : KEP.15 TAHUN 2009
TANGGAL : 31 Juli 2009
PELAYANAN JASA INFORMASI KLIMATOLOGI INFORMASI TEMPERATUR MAXIMUM HARIAN (°C)
LOKASI PENGAMATAN / STASIUN
Tanggal Tahun 2011
Tahun 2009 2010 2011
Bulan
1 0 0 1
2 0 0 0
3 12 1 0
4 0 0 0
5 0 0 0
6 0 0 1
7 2 0 7
8 0 1 1
9 0 1 1
10 0 2 1
11 0 0 0