KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID
HASYIM (1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN
ORMAS MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
DISUSUN OLEH:
NUUR HAIRRY PURWANTI
103022027518
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDATULLAH
KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID
HASYIM (1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN
ORMAS MUSLIMAT NAHDLATUL ULAMA
DISUSUN OLEH:
NUUR HAIRRY PURWANTI
NIM : 103022027518
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Mei 2008
“Ketahuilah, Aku wasiatkan kalian untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik-baiknya. Kamu tidak memiliki mereka sedikitpun, mereka pun tidak memiliki kamu sedikitpun.” (Diriwatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad. Berasal dari pesan Nabi Muhammad SAW di depan jamaah haji pertama.)
KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID HASYIM
(1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN ORMAS MUSLIMAT
NAHDATUL ULAMA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Nuur Hairry Purwanti NIM: 103022027518
Di bawah bimbingan
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum NIP. 150 236 276
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KIPRAH PERJUANGAN SOLICHAH A. WAHID HASYIM
(1950-1994) DALAM PEMBERDAYAAN ORMAS MUSLIMAT
NAHDATUL ULAMA telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Juni 2008. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora
(S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 6 Juni 2008
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota,
Drs. Ma’ruf Misbah, MA Drs. Usep Abdul Matin, M.A,
M.A
NIP. 150 247 010 NIP. 150 288 304
Anggota,
Pembimbing, Penguji,
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M. Hum Imas Emalia, M. Hum
ABSTRAK
Nuur Hairry Purwanti
Kiprah Perjuangan Solichah A. Wahid Hasyim dalam Pemberdayaan
Ormas Muslimat Nahdlatul Ulama
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada setiap makhluk ciptaan-Nya.
Hanya dengan ridho dan inayah-Nya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan
kita baginda Nabi Muhammad SAW dan seluruh utusannya.
Selama dalam proses pembuatan skripsi ini banyak hambatan dan
kesulitan yang dialami penulis, baik yang mengenai pengaturan waktu,
pengumpulan data, pembiayaan, dan proses penyusunan. Namun berkat limpahan
rahmat-Nya dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,
maka kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya-lah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat
Illahi Rabbi dan mengucapkan terimakasih serta menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing Akademik
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003.
2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, MA, MA,
3. Bapak Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang selalu bersahabat dalam memberikan pengarahan dan
bimbingan.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu
pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan
dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa
dan bangsa.
5. Rasa Ta’dzim dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada Ibu dan Bapak-ku tercinta dan tersayang yang selalu memberikan
limpahan kasih sayang dan mengasuh hingga penulis dapat menempuh
pendidikan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan
memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya.
Kepada keluargaku tercinta (mas Nuur, mba’ Nur, de Imah, de Fathur,
“kura-kura kecilku”, dan aziz “bawel”). Keberadaan kalian memberikan motivasi kepadaku untuk terus maju. I always love you all forever.
6. Ibu Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Ibu Hj. Asmah Syachroni, Ibu Hj. Latifah
Hasyim, yang telah memberikan banyak informasi, saran-saran, dan
data-data yang dibutuhkan penulis dalam penulisan ini. “Perjuanganmu selalu membawaku untuk terus melangkah ke arah yang lebih baik!.”
7. Kepada Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas
Perpustakaan DPR RI, Data-data dari Muslimat NU Pusat dan sebagainya.
Yang telah banyak memberikan bantuan dalam pustaka penulis.
8. Untuk teman-temanku di SPI (bu shinta, mpo’ aci, nenenoe, nuril, hamid,
agus, bu riza, babay, deni, mas willy, mpo’ dena dll), teman-teman UKM
(bang jebil/ Muzbi, dynamoet, tante genjreng, k’ abi, bang ar, dll),
teman-teman SAHID (elah, ita, nur, nunik, dhika, acha, teh yayah, the ikah, dll)
yang selalu memberi kesan tersendiri di hati penulis dan yang tak bisa
sebutkan satu persatu.
9. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang
telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis. (Mohon
tingkatkan lagi ya manajemen pelayanan dan SDM-nya).
Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga apa yang telah diberikan
kepada penulis diterima sebagai amal saleh dan mendapatkan pahala dari Allah
SWT. Amien.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karenanya penulis sangat saran dan kritik pembaca sehingga memotivasi penulis
untuk dapat berkarya lebih baik lagi di masa mendatang. Insya Allah.
Jakarta, 17 Mei 2008
DAFTAR ISI
ABSTRAK………...i
KATA PENGANTAR………...ii
DAFTAR ISI………...v
DAFTAR ISTILAH……….vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………...7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan……….8
E. Survey Pustaka………...10
F. Sistematika Penulisan……….12
BAB II SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA A. Perempuan dan Isu Gender……….……...…13
B. Sejarah Pergerakan Perempuan………..18
C. Pergerakan Perempuan Islam……….25
BAB III SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM
A. Riwayat Hidup………...………33
B. Aktifitas………..40
BAB IV SOLICHAH A. WAHID HASYIM DALAM MEMBERDAYAKAN
MUSLIMAT NAHDATUL ULAMA
A. Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun Muslimat NU……..45
B. Pejuang Peningkatan Status, Hak, dan Peran Perempuan...………...49
C. Solichah Membangun Image Organisasi Perempuan di Mata
Umum………55
D. Memberdayakan Perempuan Muslimat melalui Kursi DPR………...…..59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………...……….62
B. Saran-saran……….63
DAFTAR ISTILAH
Ahlus Sunnah wal Jamaah : Biasa disingkat dengan Aswaja, aliran dalam islam yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah tetapi baru
muncul pada abad ke-3 Hijriyah. Ajaran ini
bersumber dari Quran, as-Sunnah, Ijma, dan
al-Qiyas. Secara harfiah adalah penganut sunnah Nabi
Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya.
BPS : Biro Pusat Statistik.
Comenda : Sebuah ketentuan yang mengatur tata cara pelayaran dan perniagaan serta pembelian, penjualan, dan sistem
sewa, juga perjanjian bagi hasil yang dilakukan di
abad ke XVIII dan XIX di Nusantara. Dalam hukum
kelautan dipakai untuk menggambarkan adanya
perjuangan, perebutan, dan perdebatan ketika
penguasa melakukan intervensi dalam perdagangan
melalui kebijakan dan regulasi.
Comrade in arms : Teman seperjuangan.
Dibaan : Pembacaan Kitab Diba’ yaitu sebuah kitab berbahasa Arab yang berisi riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya.
kiyai akan menikah dengan anak kiyai pula. Saling
menjodohkan antar sesama keluarga pesantren sudah
menjadi tradisi masyarakat Jombang. Intensitas
komunikasi antar pesantren, ditradisikan dalam forum
Mudzakaroh. Dalam forum inilah masing-masing pihak dapat saling mengenal.
Fujinkai : Organisasi perempuan di bawah kekuasaan Jepang yang diizinkan hidup. Kegiatan organisasi ini adalah
di bidang pemberantasan buta huruf dan berbagai
pekerjaan sosial. Perkumpulan wanita yang dibentuk
oleh Jepang. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari
impian Jepang akan pembentukan Asia Timur Raya
dengan gerakan AAA (Nippon Pelindung Asia,
Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia).
Gerakan Genjer-Genjer : Menurut dokumen-dokumen rahasia PKI yang telah jatuh ke tangan ABRI pada masa Gestapu, gerakan ini
adalah gerakan yang direncanakan oleh PKI untuk
melakukan tindakan penganiayaan-penganiayaan,
penculikan-penculikan, serta
pembunuhan-pembunuhan terhadap komunitas yang kontra
terhadap keberadaan PKI. Selain itu, ada pula rencana
di setiap sumur penduduk yang bukan dari
golongannya.
Godhong Jarak : Daun jarak muda yang dipanaskan diatas api lampu minyak kemudian dipilin-pilin. Setelah halus
ditempelkan pada bagian pusar dan punggung.
Gupuh : Ramah menerima tamu.
Gus : Panggilan untuk anak laki-laki yang berasal dari keturunan bangsawan atau kiayi di daerah Jawa
Timur.
Kadam : Santri yang merangkap sebagai pembantu rumah tangga di rumah kiyai. Pada umumnya mereka lebih
banyak mengabdi pada keluarga kiyai karena
dipercaya mendapatbarokah.
Kongres : Mukatamar, Rapat, Pertemuan, Perundingan.
Kothekan : Seni lagu dengan diiringi irama musik yang berasal dari pukulan kayu, kentongan, bangku, atau ala-alat
lain yang dipandang bisa mengeluarkan bunyi ketika
dipukul.
Hadrah : Seni melatunkan baca shalawat yang dilagukan dengan irama musik rebana.
Jamu Toga : Jamu yang diminumkan pada anak-anak kecil di pedesaan. Biasanya terbuat dari kunci, kencur, sinom,
dibungkus dengan kain. Lalu dimasukkan kedalam
mulut anak kecil sambil diperas agar tetesan sarinya
tertelan oleh si anak. Rakyat pedesaan biasanya selalu
melakukan hal tersebut yang sudah dilakukan secara
turun-temurun.
Lungguh : Mendudukkan di tempat terhormat.
Macak : Pandai berpakaian, berdandan dan bersolek sebagai pendamping suami.
Majruron : Seni melantunkan bacaan shalawat atau lagu-lagu irama gambus dengan musik rebana.
Makarti : Seorang perempuan harus memiliki kemampuan dan keterampilan.
Manak : Melahirkan dan membesarkan anak-anak dengan kasih sayang.
Manakkiban : Selamatan sebagai ungkapan rasa syukur atas suatu keberhasilan, atau biasa disebut selamatan nazar.
Dengan dilengkapi sajian sega gurih (nasi kuning),
engkung (ayam utuh dibumbu kare) yang ditempatkan
dalam maron (kuali tanah).
NGO UN Coorperation Forum : Didirikan pada 1988. PDF menggabungkan berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia
forum untuk mengembangkan peran serta berbagai
aktor dalam pembangunan. Kemudian berganti nama
menjadi PDF.
Ning : Panggilan untuk anak perempuan yang berasal dari keturunan bangsawan atau kiayi di daerah Jawa
Timur.
Nonik : Gadis untuk bangsa Eropa pada masa Hindia Belanda (Indonesia).
NUM/ NOM : Nahdlatul Ulama Muslimat/ Nahdlatul Oelama Muslimat. Nama yang dipakai Muslimat sebelum
menjadi badan otonom Nahdlatul Ulama
Nyonya Londo : Panggilan untuk keturunan Eropa yang sudah berumah tangga pada masa Hindia. Belanda
(Indonesia).
Ortodoks : Sebuah pemahaman keagamaan yang didasarkan pada semangat untuk menjaga warisan klasik semata
tanpa melakukan kritik terhadap “warisan kultural”
itu. Pemahaman yang demikian, dalam Nahdlatul
Ulama, adalah kehidupan ideal seorang muslim yang
Muhammad SAW merupakan praktek keagamaan
yang ideal dan sempurna.
PDF (Participatory Development Forum) : Biasa dikenal dengan Forum Pengembangan Kewaspadaan merupakan federasi
dari Forum kerjasama LSM. Diresmikan tahun 1991.
Pujian : Syair berirama dalam bahasa Arab atau Jawa yang didendangkan pada waktu setelah azan dan iqomat.
Samroh : Seni musik perpaduan antara musik gambus dan hadrah.
Suguh : Melayani dengan baik.
Transfer of learning : Pengalaman yang turun-termurun.
Qonun : Peraturan-peraturan yang dibuat dalam suatu daerah dengan memegang teguh ajaran al-Quran dan
as-Sunnah.
Wewaler : Aturan baku yang disakralkan. Dalam budaya santri tradisional di Jawa Timur aturan tersebut sudah
melekat dalam masyarakat, seperti contoh pakaian
tradisional pedesaan merupakan peraturan yang telah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam seperti halnya Barat, menganggap status perempuan adalah sama
dengan laki-laki. Perintah yang berkenaan dengan kehormatan dan penghormatan
yang diberikan kepada satu jenis kelamin juga diberikan kepada jenis kelamin
lainnya. Keduanya merupakan partisipan dan partner yang sejajar. Karenanya
perempuan harus menerima perlakuan yang sejajar dengan laki-laki dalam bidang
pendidikan, kesempatan kerja, dan politik. Walaupun dalam prakteknya,
perempuan belum berhasil sepenuhnya dalam usaha mendapatkan status yang
sama dengan laki-laki.
Bila dilihat dari jumlah penduduk secara keseluruhan, maka jumlah
perempuan Indonesia saat ini telah melebihi separuh (50,3 %) penduduk
Indonesia.1 Dengan jumlah sebesar itu, jika didukung oleh kualitas yang tinggi
maka perempuan Indonesia merupakan potensi produktif dan modal bagi
pembangunan. Tetapi, sangat disayangkan, lingkungan budaya bangsa Indonesia
yang masih memposisikan perempuan lebih rendah dalam hal pekerjaan
dibandingkan laki-laki. Oleh karenanya perempuan harus dapat memanfaatkan
peluang yang ada untuk menunjukkan peran terbaiknya dalam berbagai kegiatan
pembangunan nasional.
1
Al-Quran secara jelas menegaskan prinsip kesetaraan di antara umat
manusia, laki-laki ataupun perempuan. Dan menjelaskan perbedaan yang
meninggikan dan merendahkan seseorang bukanlah dari jenis kelamin melainkan
ketaqwaan umat manusia kepada Allah. Sebagaimana dalam Quran Surat
al-Hujurat ayat 13 yang artinya sebagai berikut:2
Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q. S. al-Hujurat: 13).
Organisasi masyarakat berbasis keagamaan, Nahdlatul Ulama menyambut
baik mengenai pembelaan perempuan dengan kesetaraan antar umat manusia.
Dalam Munas-nya Nahdlatul Ulama (Musyawarah Nasional) yang digelar di Nusa
Tenggara Timur pada November 1997, mengenai peran perempuan, memutuskan
bahwa a. untuk pertama kalinya isu-isu perempuan diangkat dan dipertimbangkan
secara serius, b. perempuan dinilai positif keluar dari lingkup domestik. Diakui
bahwa kebudayaan patrilineal yang selama ini dianut oleh kebanyakan masyarakat
Indonesia telah mengalami distorsi sehingga menimbulkan anggapan yang
merendahkan perempuan, hal ini perlu untuk ditinjau ulang. Keputusan ini
menjelaskan bahwa perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan merupakan
kodrat dimana, “peran domestik perempuan merupakan ‘kesejatian’, akan tetapi
2
peran publik perempuan, dimana ia sebagai anggota masyarakat harus melakukan peranannya lebih tegas. Dengan kata lain, kedudukan perempuan dalam negara dan bangsa telah terbuka lebar, tanpa melupakan fungsi kodrati perempuan.”3 Oleh karenanya peran perempuan sangat dibutuhkan bukan untuk dibandingkan, baik hanya dalam lingkup Nahdlatul Ulama dan juga dalam
pembangunan. Perempuan dan laki-laki memiliki fungsi yang sama, saling
menciptakan dan memajukan peradaban.
Di awal abad ke XX, adalah merupakan moment yang cukup penting dan menentukan sejarah bangsa ini. Karena dalam kurun waktu tersebut merupakan
titik balik kebangkitan bangsa Indonesia. Bangsa ini, mengalami kesadaran baru
yakni ingin bebas dari cengkraman penjajah. Mulai dari yang bersifat tradisional
sampai pada kharisma mulai bangun bahu-membahu untuk perjuangan Indonesia
dengan cara yang terorganisir. Kelahiran gerakan feminis di Indonesia, beriringan
dengan perjuang kemerdekaan, yang telah menyatu dalam kebangkitan nasional.
Emansipasi individual adalah perkembangan yang paling khas dari evolusi
modern masyarakat Indonesia, sudah seharusnyalah kondisi perempuan Indonesia
diperbaharui secara lebih menyeluruh.4
Dinamika politik kebangsaan sangat diwarnai dengan keterlibatan kaum
perempuan. Hal ini tidak hanya terlihat di dalam sekolah-sekolah yang bersifat
agama tetapi juga pada kegiatan perempuan yang bersifat radikal, seperti
Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi). Pada masa pendudukan Jepang di
3
Robin L. Bush, “Wacana Perempuan di Lingkungan Nahdlatul Ulama”, Taswirul Afkar: Jurnal Refleksi dan Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 5, (Tahun 1999), h. 28.
4
Tanah Air, semua organisasi atau kegiatan yang memiliki hubungan dengan Asia
Timur Raya, dibekukan, dilarang, termasuk pula dengan organisasi perempuan.
Adanya pergerakan yang dilakukan perempuan Indonesia merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dalam sejarah bangsa ini. Pergerakan ini dilandasi juga
dengan ajaran agama tentang kesederajatan antara sesama manusia. Pergerakan
kemajuan perempuan dimulai melalui pendidikan. Walaupun perkembangan
perempuan sangat lambat, tidak memungkinkan perempuan untuk terus maju dan
ikut dalam pembangunan negara. Banyaknya faham-faham baru yang berkembang
di Eropa juga amat berpengaruh di belahan dunia lainnya, misalnya Indonesia.
Seperti lahirnya Budi Utomo (1908) dan Syarikat Islam (1912), menggugah
kesadaran kaum pria dan elit-elit tradisional lainnya untuk untuk meningkatkan
kemajuan rakyat, terutama kaum perempuan.5 Seiring dengan perkembangan
zaman dan ilmu pengetahuan, muncul kesadaran kaum perempuan untuk
memperoleh kedudukan dan kebebasan yang sama seperti halnya perempuan di
Barat yang mendapatkan kesempatan pendidikan untuk mengembangkan diri.6
Banyaknya organisasi yang bermunculan di kalangan elit terpelajar,
sebagian didasarkan atas identitas-identitas kesukuan, dan suatu tanda yang lebih
mencolok adalah lahirnya gerakan pembaharuan Islam, misalnya Nahdatul Ulama
(NU),7 “kebangkitan para ulama”. Organisasi ini didirikan oleh ulama pesantren
dengan kesamaan sikap, tatacara, dan pemahaman, serta penghayatan Islam
5
Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa,(Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 5-13.
6
A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1984), h. 111.
7
dengan berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Didirikan pada 31 Januari 1926, salah satunya oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Organisasi
kemasyarakatan ini didirikan atas basis keagamaan yang tergabung dari para kiayi
di Jawa Timur untuk membela kaum tradisional.8
Adanya Muslimat Nahdlatul Ulama yang semula adalah bagian
perempuan dari organisasi Nahdlatul Ulama dengan nama Nahdlatul Ulama
Muslimat (NUM). Muslimat berdiri atas prakarsa kaum perempuan Nahdlatul
Ulama yang ingin memajukan perempuan dalam berbagai bidang dengan tetap
berprinsip pada ajaran Islam. Misalnya, Solichah Wahid Hasyim memiliki
peranan dalam membangun dan mengembangkan Muslimat NU yang merupakan
bagian dari NU. NU juga berkembang didaerah-daerah lain, sama halnya dengan
Muslimat NU yang memiliki cabang di berbagai daerah. Organisasi ini sangat
mendukung kemajuan pendidikan Islam tradisional, pemeliharaan fakir miskin,
dan usaha-usaha ekonomi.
Bersuamikan pejuang menjadikan Solichah memiliki jiwa pejuang.
Semasa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), ia ikut ambil bagian sebagai
kurir yang bertugas untuk mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan ke garis
depan di Mojokerto, Krian dan Jombang. Solichah pintar menyusup kedalam
pertempuran yang berbahaya. Tak heran sampai pada hari tuanya pun masih
bersemangat dalam melakukan berbagai aktivitas dan untuk mengenang jasanya,
8
pemerintah menganugerahkan tanda penghargaan sebagai veteran pejuang
kemerdekaan.9
Solichah aktif dalam pengajian-pengajian masyarakat, membuka
ranting-ranting Muslimat NU baru, dan terlibat di Fujinkai yang membuatnya terlibat di
banyak kalangan. Beliau juga aktif dalam perpolitikan Indonesia yakni aktif dari
Nahdatul Ulama yang kemudian berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan
juga sebagai anggota DPRD mewakili NU. Menurut Mahmudah Mawardi,10
Solichah adalah wanita yang berfikiran maju, ia juga menjadi salah satu motor
penggerak Muslimat NU serta dicintai para anggotanya. Beliau juga sebagai
penyelamat organisasi pada situasi sulit. Pemikirannya banyak memberikan
kemajuan dan perkembangan dalam Muslimat NU. Beliau juga banyak
mendirikan yayasan sosial bersama teman-temannya. Banyak tindakan-tindakan
beliau yang humanis yang dilakukan untuk memberdayakan masyarakat
Indonesia, khususnya perempuan melalui Muslimat NU dan kedudukannya dalam
anggota DPRGR.11
Solichah juga sebagai seorang ibu. Beliau sering berhadapan dengan
situasi zaman yang tidak nyaman. Beliau mengalami zaman yang berbahaya baik
secara fisik, politis dan ideologi. Situasi zaman yang sudah dirasakannya adalah
represi kolonial yang berkelanjutan. Perannya tak lepas bahkan setelah ditinggal
oleh suami tercinta, beliau tetap berusaha membesarkan anak-anaknya sebagai
9
Saifullah Ma’sum dan Ali Zawawi, ed., 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, (Jakarta: PP Muslimat NU, 1996), h. 126.
10
Sahabat Solichah semasa di Muslimat. Almarhumah adalah mantan Ketua Umum Muslimat Pusat periode 1950-1979. Keduanya sering disebut dengan “Dua Serangkai yang Tak Terpisahkan.”
11
pelindung utama. Kesanggupannya sebagai pemimpin domestik telah menjadi
teladan generasi berikutnya sampai menghantarkannya pada kursi pemerintahan.
Solichah mewariskan semangat humanis, kesederhanaan, dan kehangatan sebagai
dasar pembentukan emosional. Tentunya ini tidak terlepas dari pendidikannya
sedari kecil.12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih memudahkan dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi
dan lebih memfokuskan penulisan pada kiprah perjuangan Solichah A. Wahid
Hasyim dalam membangun dan mengembangkan perempuan melalui ormas
Muslimat NU. Berkaitan dengan hal tersebut, maka masalah-masalah yang harus
dirumuskan dalam sebuah pertanyaan riset (major research question) ialah:
1. Bagaimana kiprah perjuangan Solichah A. Wahid Hasyim dalam
pemberdayaan ormas Muslimat NU?
2. Apa yang dilakukan Solichah A. Wahid Hasyim dalam upaya peningkatan
status dan peran perempuan melalui organisasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui eksistensi Solichah A. Wahid Hasyim dalam Muslimat
2. Untuk memacu lahirnya penulis-penulis lain untuk menambah khazanah
penulisan sejarah
12
3. Memberikan informasi yang terkait tentang berbagai aspek peranan
Solichah A. Wahid Hasyim dalam memajukan kaum perempuan
Tentunya manfaat yang dapat penulis berikan dan harapkan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut.
1. Menambah koleksi perpustakaan agar bermanfaat, mengenai sejarah tokoh
Indonesia
2. Sebagai bahan penelitian awal untuk dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut bagi yang ingin mengetahui sejarah Solichah lebih mendalam baik
kalangan akademika ataupun umum
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan mengenai kajian sejarah
pergerakan perempuan Islam Indonesia. Oleh karenanya penulis akan
menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan sejarah
feminisme, sehingga dapat menggambarkan dan menganalisa kiprah Solichah
A. Wahid Hasyim dalam ruang publik, yakni kiprahnya dalam perkembangan
Muslimat NU. Maka hal inilah yang dapat penulis lakukan untuk mencari dan
meneliti data-data yang akan dijadikan sumber, baik primer atau sekunder.
Dalam mengkaji permasalahan di atas penulis akan mengambil langkah
dalam menggali data yaitu sebagai berikut.
1. Sumber Primer, yang dapat penulis lakukan dengan mengadakan
kunjungan dan penelitian. Dalam hal ini, yang berupa informasi lisan yaitu
pelengkap terhadap bahan documenter.13 Misalnya Ibu Asmah Syahroni
selaku teman seperjuangan semasa di mengembangkan Muslimat Pusat
dan mantan Ketua Umum periode 1984-1995. Selain itu Aisyah Hamid
Baidlowi yang merupakan putri kedua dari Solichah, aktif dalam Muslimat
dan mantan Ketua Umum Muslimat Pusat periode 1995-2004.
2. Sumber Sekunder, berupa bahan pustaka yang diperlukan, yakni berisi
informasi yang bersangkutan dengan sumber primer yakni dengan
menggali data-data dalam bentuk tertulis yakni informasi dari berbagai
perpustakaan. Seperti perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan PBNU,
Perpustakaan Wahid Institute, Perpustakaan DPR RI, Data-data dari
Muslimat NU Pusat dan sebagainya.
Dari data yang telah terkumpul dari berbagai sumber, kemudian
ditelaah kembali dan diklasifikasikan serta disusun sesuai jenisnya.
Selanjutnya, di dalam metodologi sejarah bahwa sumber-sumber yang
telah didapat tersebut akan diverifikasi keabsahannya melalui kritik intern
dan kritik ekstern.14 Langkah berikutnya adalah menginterpretasikan
data-data yang sudah dianalisa sehingga menjadi suatu karya yang utuh,
sistematis dan kronologis berdasarkan tema dari objek penelitian.
Dalam teknik penulisan ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Tahun 2007, sehingga dalam penyajianya
13
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), h. 23.
14
akan mendapatkan suatu karya tulis yang bernilai ilmiah baik dari segi isi
maupun cara penulisannya.
E. Survey Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, kajian yang dilakukan mengenai
Solichah A. Wahid Hasyim secara umum dalam buku 50 Tahun Muslimat Nahdatul Ulama Berkhidmat untuk Agama Negara dan Bangsa.15 Di sini dijelaskan sedikit, mengenai biografi Sholichah A. Wahid Hasyim,
keluarganya sampai pada kiprah beliau dalam organisasi Nahdlatul Ulama
hingga sampai di panggung perpolitikan. Beliau lebih dikenal dengan
‘Penyelamat Organisasi pada Situasi Sulit.’ Tetapi dalam buku ini tidak
digambarkan mengenai biografi Solichah secara jelas.
Dalam buku lain, “Wanita, Martabat, dan Pembangunan,” oleh Kardinas Soepardjo Roestam yang diterbitkan oleh Forum Pengembangan
Kewaspadaan (Participatory Development Forum) tahun 1993. Dijelaskan tentang perempuan secara menyeluruh mengenai peranan perempuan
untuk mensejahterakan lingkungan dan pembangunan masyarakat
terutama dalam pemberdayaan perempuan melalui berbagai kegiatan.
Seperti halnya Solichah, dalam buku ini ditekankan bahwa kesejahteraan
perempuan harus dimulai dan dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri,
baik dengan gerakan perorangan maupun terorganisir. Buku ini merupakan
15
landasan teori untuk melakukan penulisan yang terkait dengan pendekatan
sejarah feminisme.
Diketahui dalam tulisan lainnya dalam buku “Ibu Indonesia dalam Kenangan”,16 yang diterbitkan oleh Bank naskah Gramedia dan Yayasan Biografi Indonesia tahun 2004. Dijelaskan tentang sisi kehidupan Solichah
Wahid Hasyim dimasa kanak-kanak yang lebih dikenal dengan ‘Neng
Waroh’ sampai beliau dinikahkan oleh Wahid Hasyim yang tak lain adalah
putra salah satu dari pendiri Nahdlatul Ulama. Sampai kemudian menjadi
’Ibu bagi Banyak Orang’.
Cora Vreede-De Stuers, menulis dalam buku, “Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.” Menjelaskan mengenai peran perempuan Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh suasana pergerakan
nasional bangsa ini yang ditinjau dari beberapa aspek, a. mengenai
identitas perempuan Indonesia dilihat dari sosio-kultur melawan
perkawinan dan pembodohan, b. merekonstruksi kesadaran personal,
kesadaran organisasi hingga menciptakan suatu gerakan perempuan
nasional dalam ‘Perikatan Perempuan Indonesia’. Pustaka ini dijadikan
acuan bagi penulis sebagai dasar dan konsep dalam penulisan skripsi ini
karena keterkaitan antara variabel-variabel yang diteliti.
16
F. Sistematika Penulisan
Bab I, Pendahuluan yang berisi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian
dan Teknik Penulisan, Survey Pustaka dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Sejarah Perempuan Indonesia yang berisi: Perempuan dan Isu Gender,
Sejarah Pergerakan Perempuan, Pergerakan Perempuan Islam dan
Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial dan Politik.
Bab III, Sosok Solichah A. Wahid Hasyim yang berisi: Riwayat Hidup dan
Aktifitas.
Bab IV, Solichah A. Wahid Hasyim dalam Memberdayakan Muslimat Nahdatul
Ulama berisi: Solichah sebagai Motor Penggerak dan Pembangun
Muslimat NU, Pejuang Peningkatan Status, Hak dan Peran Perempuan,
Solichah Membangun Image Organisasi Perempuan di Mata Umum, dan Muslimat NU dengan Organisasi lainnya.
BAB II
SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA
E. Perempuan dan Isu Gender
Kata seks berasal dari sex, bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Pemahaman ini kemudian diperjelas dengan ciri-ciri yang membedakan antara
jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Sedangkan gender
adalah kelompok kata yang mempunyai sifat maskulin, feminis, atau tanpa
keduanya, netral.17
Perjalanan sejarah perspektif perempuan, memperlihatkan fakta bahwa
perempuan masih hidup dalam dominasi kekuasaan maskulin di sekitar
kehidupannya, baik secara keluarga dan bermasyarakat. Tetapi hal itu tidak
membuat perempuan hanya menjadi sosok sekunder yang hanya menerima
keadaan apa adanya. Baik secara individual atau kekuatan kolektif, seorang
perempuan harus mampu menyerap nilai-nilai dari dunia maskulin secara lebih
baik. Sehingga mampu mendeklarasikan dirinya menjadi rekan sejajar di hadapan
suami maupun laki-laki.18 Isu yang berkembang jika perempuan selalu
ditempatkan pada sektor domestik, perempuan akan lebih dominan tumbuh dalam
aspek emosional ketimbang rasional. Namun jika perempuan berkiprah di sektor
publik dan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki maka perempuan akan
dapat mengembangkan diri. Dari sinilah perempuan akan dapat memanfaatkan
17
Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003), h. 54.
18
kesempatan yang ada dengan jalan atau akses-akses yang telah tersedia untuk
dapat mengembangkan diri lebih maksimal dalam memanfaatkan akses-akses
pembangunan.
Perbedaan antar jenis kelamin yang diungkapkan secara ilmiah oleh
Charles Darwin dalam bukunya The Desent of Man. Uraian Darwin mengenai perbedaan cukup membuat kontroversial. Ia menyatakan bahwa, “laki-laki dan
perempuan berbeda dalam ukuran, kekuatan tubuh, dan yang lainnya juga dalam
hal pemikiran.” Setelah diteliti lebih lanjut oleh seorang ilmuwan perempuan, M.
A. Hardaker, yang menulis majalah Popular Science Monthly (1822) menjelaskan, bahwa perempuan mempunyai kemampuan berfikir dan kreatifitas yang lebih
rendah dibanding laki-laki akan tetapi perempuan mempunyai kemampuan intuisi
dan persepsi yang lebih unggul dari laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak
yang mennyangkal teori Darwin mengenai perbedan kemampuan intelejensia
laki-laki dan perempuan. Secara mendasar biologis perempuan memang berbeda
dengan laki-laki tetapi perbedaan tersebut tidak membuat perempuan memiliki
intelejensia dibawah laki-laki. Kemampuan intelejensia manusia diukur secara
keseluruhan kehidupan, dimana perempuan mampu memasuki dunia pendidikan
yang tadinya dipercaya hanya laki-laki yang mampu. Hal ini mempengaruhi
kebijakan diseluruh negara-negara di dunia, perempuan diberikan hak yang sama
untuk pendidikan dalam Undang-Undang Negara. Bahkan di beberapa negara
maju, perempuan lebih tinggi pendidikannya dibanding laki-laki. Penemuan
terakhir membuktikan bahwa perempuan lebih menggunakan kedua belah otaknya
karenanya cara berfikir perempuan lebih naratif dan kontekstual, laki-laki lebih
formal, linear dan abstrak.19
Kultur masyarakat Indonesia yang menempatkan perempuan dalam rumah
tangga, menyebabkan perempuan adalah gambaran orang yang bodoh, buta huruf,
dan sebagainya. Terlebih lagi tidak diberikannya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan karena tanggung jawabnya sebagai istri. Jika dilihat dari faktor
ekonomi perempuan tidak bisa berkembang karena bergantung pada laki-laki.
Kaum perempuan tak memiliki power, atau kontrol terhadap apapun, sehingga dalam pengambilan keputusan akan cenderung bergantung pada laki-laki. Wacana
yang berkembang bahwa pihak perempuan merasa di diskriminasikan
kedudukannya oleh laki-laki. Perkembangan selanjutnya, banyak perempuan
berusaha untuk menjadi lebih mandiri untuk mendapatkan kedudukan dan partner
yang sejajar dengan laki-laki baik dalam lingkup domestik maupun publik.
Karena mereka memahami tanggung jawabnya akan mendidik calon generasi
masa depan. Kaum perempuan menyadari bahwa pentingnya pendidikan agar
dapat menjadi ibu dan istri yang baik.
Masa sultanat Aceh, perempuan banyak memegang tampuk kekuasaan
untuk kesejahteraan rakyatnya. Perempuan turut duduk dalam pemerintahan untuk
bersama dengan laki-laki mengatur negara demi tegaknya keadilan dan
kemakmuran rakyat. Pemerintah Aceh mengambil Islam sebagai dasar negara dan
Qonun serta Hadist sebagai sumber hukum, bahwa kedudukan perempuan sejajar
dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya
19
adalah Ratu Nihrasiyah (1400-1428), dengan peranannya yang sangat menonjol
dalam bidang politik dan militer sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai.
Setelah kepergian Sultan Iskandar Muda, tampuk kekuasaan Kerajaan
Aceh berturut-turut beralih pada perempuan. Sri Ratu Safiatuddin Syah
(1641-1675), anak dari Sultan Iskandar Muda dan mantan permaisuri Sultan Iskandar
Muda Sani Alauddin Muahyatsyah. Kemudian digantikan oleh Ratu Safiatuddin
dengan gelar Sri Ratu Nurul Alam Nakiatuddin (1675-1678). Namun hanya
menjabat selama 2 tahun. Kemudian digantikan oleh Sri Ratu Nakiatuddin Inayat
Syah. Seorang yang bijaksana dengan pengetahuan yang luas dalam berbagai
bidang. Setelah mangkat digantikan oleh Ratu Kemalat Syah (1678-1688).
Berturut-turut kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang perempuan, hal ini
membuktikan perempuan mampu berdiri sebagai pemimpin seperti yang
dilakukan oleh laki-laki yang berani menghadapi berbagai masalah seperti
perjuangan melawan Belanda, Inggris, Portugis, dan lainnya. Masih banyak pula
perempuan Aceh yang turut berjuang untuk kepentingan bersama seperti Cut
Nyak Dien, Cut Mutia, Teuku Fakinah, dan Pocut Baren.20
Di panggung sejarah Kerajaan Demak abad ke-16, Ratu Kalimanyat
mempunyai peranan yang menonjol sebagai penguasa Jepara, ketika kerajaan
Demak mengalami masa-masa suram. Dalam Babad Demak Jilid 2 dimuat silsilah
yang menempatkan Ratu Kalimanyat sebagai putri sulung Sultan Trenggana.
Daerah Kalimanyat yang luas meliputi empat kota pelabuhan di pantai Utara Jawa
Tengah. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penguasa yang kaya raya, yakni
20
dengan diberlakukanya sistem comenda dalam pelayaran dan perdagangan. Ratu Kalimanyat juga seorang penguasa politik dan pedagang.
Di bawah pemerintahan Ratu Kalimanyat, Jepara lebih diarahkan kepada
sektor perdagangan dan angkatan laut. Keduanya berkembang dengan baik,
melalui dukungan dan kerjasama dengan beberapa daerah kerajaan maritim
lainnya, seperti: Johor, Maluku, Banten, dan Cirebon. Walaupun telah mengalami
kekalahan dalam pertempuran melawan Portugis, Ratu Kalimanyat tetap berkuasa
dan terus melakukan perlawanan kepada Portugis di Malaka. Orang Portugis
mengakui akan kebesaran Ratu Kalimanyat, dalam bukunya De Couto
menyebutnya sebagai Rainha de Japara, Sembora Pedoresa e rica (Ratu Jepara: seorang wanita yang kaya dan berkuasa).21
Dalam abad ke-19, selama tahun-tahun menjelang Perang Jawa
(1825-1830) terdapat bukti tentang peranan perempuan dalam perdagangan, militer
politik dan kehidupan sosial di kalangan Istana di Jawa Tengah oleh Nyi Ageng
Serang. Terdapat pula di daerah Timur Indonesia, banyak pula
perempuan-perempuan yang berjuang untuk kepentingan bangsanya. Misalnya, Christina
Tiahahu yang berjuang melawan Belanda di Maluku (1817-1819), perempuan
berperan dalam bidang kesejahteraan masyarakat.22
Di samping suami, perempuan bergerak dengan semangat kepahlawanan
dan kesatriaan untuk melawan imperealisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang
hendak menghancurkan Tanah Air. Perempuan berani tampil ke depan medan
21
Chusnul Hayati, dkk, Peranan Ratu Kalimanyat di Jepara pada Abad XVI, (Jakarta: CV. Putra Prima, 2000), h. 55-67.
22
perang untuk pemerintahan, pendidikan, dan agama. Hal tersebut membuktikan
bahwa perempuan pun dapat menjadi pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi
kalangan masyarakat.
F. Sejarah Pergerakan Perempuan
Dalam teori umum sosiologi, organisasi dalam suatu perkumpulan
seringkali dimasukkan dalam pengertian kelompok formal pada umumnya, yaitu
suatu kelompok manusia yang sengaja dibentuk karena adanya kepentingan
bersama. Mengapa ada organisasi yang anggota-anggotanya hanya terdiri dari
kaum Hawa saja? Jika dikaitkan, tentunya hal tersebut akan berhubungan dengan peranan antara laki-laki dan perempuan (sex role differentiation) yang terdapat dalam masyarakat. Peranan yang diberikan pada kaum perempuan berbeda-beda
dan ditentukan berdasarkan kebudayaan masing-masing. Maka terdapat
perbedaan-perbedaan antara lapangan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi perbedaan tersebut bukan hanya dalam masalah pekerjaan saja, dalam
perihal status, peranan, hak, dan kewajiban, serta fungsi, ditentukan oleh
kebudayaan masing-masing. Dengan berkembangnya masyarakat, maka akan
timbul gejala diferensiasi antara peranan laki-laki dan perempuan akan menjadi
lebih komplek. Misalnya dengan pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh
laki-laki, sekarang dapat dikerjakan oleh perempuan. Diferensiasi berdasarkan jenis
kelamin ialah suatu yang pokok jika dibandingkan dengan diferensiasi
berdasarkan bangsa, golongan dan sebagainya. Adanya perbedaan tersebut tetap
Lahirnya paham-paham baru dalam dunia seperti sosialime, nasionalisme,
demokrasi juga emansipasi di negara Eropa berpegaruh pada
negara-negara lain, misalnya Asia. Hal ini memicu lahirnya keinginan kaum perempuan
khususnya di Indonesia untuk sama dengan perempuan Eropa dan melahirkan
perubahan-perubahan besar dalam sejarah. Karena sejarah bukan hanya milik
laki-laki semata.
Gerakan sosial yang dimotori oleh kaum perempuan dirumuskan sebagai
suatu kolektivitas yang berlangsung dalam waktu yang panjang dan mempunyai
tujuan untuk mengadakan perubahan atau menentang terjadinya suatu perubahan
dalam masyarakat. Pendirian suatu gerakan dari suatu kelompok tertentu
mempunyai kegiatan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.23
Masyarakat Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan
sanggup berkompetisi dengan kekuatan-keuatan kolonial, penetrasi Kristen dan
perjuangan-perjuangan untuk maju di Asia apabila mereka terus menggunakan
cara-cara yang masih bersifat tradisional dalam menegakkan Islam. Mereka mulai
menyadari perlu adanya perubahan-perubahan, baik dalam bidang pendidikan,
sosial, ataupun gerakan. Mereka mulai memerlukan perubahan-perubahan, baik
dimulai dengan menggali mutiara-mutiara Islam dari masa lalu atau dengan
meningkatkan ilmu pengetahuan atau dengan mempergunakan metode-metode
baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh pihak kolinial untuk bangkit dari
keterpurukan dan penjajahan.24 Kesadaran baru yang muncul sebagai
23
Sukanti Suryonchondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), h. 31
24
reinterpretasi terhadap pengalaman sejarah yang sebelumnya mengalami
kegagalan demi kegagalan, dengan tumbangnya berbagai kekuatan tradisional.
Perjalanan sejarah sebelumnya memberikan pelajaran berharga bagi
perkembangan bangsa ini. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan dari semangat
historis pada akhirnya akan mengalami kerugian.
Dalam masa-masa kolonial, perempuan ikut ambil bagian dalam
pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka bangkit dengan pribadi
yang mandiri dan tampil di depan publik. Gerakan perempuan pada umumnya
dirumuskan oleh kaum laki-laki seperti dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada real-nya gerakan mereka bertumpu pada aktualisasi diri sebagai warga negara yang tersubordinasi, untuk bangkit dari dominasi sosial yang
membelenggu eksistensi dirinya. Kebangkitan gerakan ini dipengaruhi oleh situasi
politik nasional bangsa dibawah jajahan kolonial.
Secara faktual, politik penjajahan mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap perempuan Indonesia, terutama pada masalah poligami, pergundikan,
perkawinan dengan anak-anak perempuan. Perempuan Indonesia menanggung
dari hubungan-hubungan sosial yang tidak sederajat. Pada waktu itu juga,
pemerintah kolonial membiarkan saja seksual dan adat yang tak bermoral terus
berlaku, baik di kalangan biasa maupun bangsawan. Dari sinilah kemudian
bermunculan sosok-sosok seperti Kartini sebagai orang pertama yang mengecam
praktek hubungan sosial yang tak sederajat.25
25
Melihat perbedaan jalan kebebasan di Eropa adalah tuntutan persamaan hak dan kedudukan sosial antara kaum pria dan wanita. Sedang di Indonesia dalam perkembangan perempuan lebih mengedepankan pembebasan kaum perempuan dari ketergantungannya dengan orang lain, khususnya laki-laki, yakni dengan emansipasi yang juga berkembang di Indonesia, perempuan Indonesia
mengaharapkan peluang untuk turut dalam pengambilan keputusan sehubungan
dengan peletakan dasar-dasar kenegaraan yang akan menciptakan iklim guna
menguntungkan kaum perempuan mendapatkan kesempatan untuk menentukan
jalan hidupnya sendiri agar dapat tampil sebagai individu yang mandiri. Demikian
pula dengan bekal ilmu dan kecerdasan tinggi, kaum perempuan dapat
mengembangkan diri secara optimal dengan potensi yang ada dalam dirinya,
sehingga akan lebih mampu dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting
bagi dirinya agar dapat tampil sebagai individu yang terhormat.26
Jauh sebelum gerakan feminis terorganisir, Dewi Sartika27 telah banyak
berbicara mengenai ketidakadilan pembagian upah buruh antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki
padahal mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Tahun 1912, mengemukankan
dalam esainya tentang perbaikan derajat perempuan:
Seharusnya kaum kuno juga mempertimbangkan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, dan saya seringkali menyinggung hal
26
Syamsudin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender, artikel ini diakses pada 25 Februari 2008 dari http: //www.mulyplay.com.
27
ini... Masalahnya karena kurangnya pengajaran di sekolah-sekolah kita…Maka sangat penting memberikan pelatihan kepada bidan, perempuan yang bekerja di kantor, juru ketik, pembantu rumah tangga, pekerja perkebunan, dan lain-lain, singkatnya semua pekerjaan yang sebenarnya diperuntukkan untuk perempuan sekarang telah dikerjakan oleh laki-laki. Kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana masih banyak perempuan yang harus mengisi ‘bakul nasi’ mereka dengan bekerja di pabrik atau perkebunan, padahal mereka belum diberikan pelatihan yang memadai.28
Awalnya gerakan tersebut dilakukan secara perorangan tapi lama
kelamaan berkembang menjadi suatu gerakan yang terorganisir yang dimulai oleh
kalangan perempuan atas dan menengah. Diantaranya adalah organisasi
perempuan pertama, Putri Mardika yang didirikan di Jakarta pada 1912.29
Organisasi ini memperjuangkan pendidikan perempuan, untuk mendorong
perempuan di depan publik dan mengangkat perempuan ke tingkat yang sama
dengan laki-laki. Organisasi yang berdiri atas prakarsa Boedi Oetomo bertujuan
untuk memberikan bantuan, bimbingan, dan penerangan kepada gadis-gadis
pribumi dalam pelajaran.30 Pada 1913 organisasi ini menerbitkan surat kabar
mingguan dengan semboyan: surat kabat memperhatikan perempuan bumi putra
di Indonesia.31 Hadirnya Muslimat NU adalah bagian dari organisasi perempuan
dari golongan keagamaan, yang memberikan kontribusinya dalam tumbuhnya
pergerakan perempuan Indonesia.
28
Cora Vreede-De Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 75.
29
Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan McGill-ICIHEP, 2003), h. 20.
30
Sukanti Suryonchondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), h. 85.
31
Gerakan organisasi kebangsaan dengan berbagai corak kegiatannya,
sebenarnya telah terbingkai dalam kesatuan visi dan orientasi yang sama, yaitu
berjuang untuk kemerdekaan. Ada yang melakukannya secara radikal
revolusioner dan tidak sedikit yang melakukan pendekatan kultural dengan
memanfaatkan pendidikan sebagai basis perjuangannya. Pada tanggal 22-25
Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia untuk pertama kalinya
yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda. Berlangsungnya kongres ini merupakan
tonggak sejarah penting dimulainya kesatuan pergerakan perempuan.32 Kongres
ini berhasil membentuk ‘Perserikatan Perkoempoelan Perempuan’, yang menjadi historis badan federasi yang dinamakan KOWANI (Kongres Wanita Indonesia)
sekarang. Berbagai organisasi perempuan kemudian bergabung. Sebagai federasi,
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) diakui dapat mengakomodir dan
mempersatukan kepentingan anggotanya. Tetapi dalam hal-hal tertentu KOWANI
(Kongres Wanita Indonesia) dianggap lamban dan tidak berkutik dalam
mengambil keputusan.33 Banyak anggotanya menyatakan ke luar dari KOWANI
karena KOWANI karena dianggap KOWANI tidak setia pada bangsa dan
negaranya dan hanya mementingkan kepentingan golongan dengan bergabung
dengan Partai Komunis Indonesia untuk melakukan Gestapu.
Kesadaran baru yang diwujudkan dalam gerakan pendidikan kemudian
berkembang dalam bidang yang lebih luas. Lahirnya generasi baru dengan
seperangkat pengetahuan dan wawasan baru membawa kemajuan bagi pergerakan
32
Restu Gunawan, Seminar Kebangkitan Pergerakan Pergerakan Nasional: 25- 27 Mei 1988, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 215.
33
perempuan. Pergerakan dan berbagai macam perserikatan bermunculan, termasuk
yang dipimpin oleh kaum perempuan. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang,
organisasi-organisasi ini tidak mengalami perkembangan karena dibatasi oleh
pemerintahan Jepang.
Pada saat itu, politik kolonial Jepang membentuk organisasi perempuan
bernama Fujinkai (sejenis Dharma Wanita), Solichah adalah salah satu anggotanya. Organisasi ini banyak memberikan keterampilan pada kaum
perempuan juga perempuan pribumi. Setelah kemerdekaan Fujinkai berubah menjadi Persatuan Wanita Indonesia (PERWANI) pada bulan Desember 1945.34
Dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan ikut ambil bagian dalam
membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di kalangan Muslimah
pun tumbuh berkembang organisasi-organisasi kelaskaran bernama Laskar
Muslimat yang berpusat di Bukittinggi dan Laskar Sabil Muslimat yang ada di
Padang Panjang.
Di tahun yang sama, 1949 kaum perempuan berkumpul untuk meyatukan
kembali organisasi-organisasi perempuan. Tujuannya adalah memperlihatkan
tekad mereka untuk mendapatkan kemerdekaan nasional sepenuhnya. Konferensi
ini juga merumuskan pernyataan lengkap untuk menetapkan
kepentingan-kepentingan organisasi perempuan Indonesia.
34
Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 206.
G. Pergerakan Perempuan Islam
Jika ditelusuri, gerakan perempuan dan pembangunan dimulai dari
kepedulian orang tentang bagaimana proses pembangunan bukan saja telah
meninggalkan perempuan tetapi juga banyak hal yang telah merugikan, terutama
pada negara-negara yang sedang berkembang. Pada kenyataannya
memperlihatkan adanya akibat dari penjajahan yang sedang berkepanjangan,
keadaan ini sangat memprihatinkan. Sampai pada pembangunan untuk
memulihkan ekonomi negara banyak tak mengindahkan peran perempuan dalam
sektor pembangunan yang menjadi korban dalam pembangunan. Banyak
perempuan yang kehilangan pekerjaan di sektor pertanian sehingga menjadi
pengangguran yang tak berketerampilan. Kebijakan dan keputusan yang diambil
pemerintah tidak mengindahkan kepentingan perempuan.
Pergerakan perempuan Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam pergerakan nasional Indonesia. Pergerakan ini didorong oleh lahirnya
keinginan perempuan Indonesia tentang ajaran kesamaan manusia antara sesama
manusia dan yang membedakan hanyalah amal shaleh di sisi Allah SWT.
Organisasi-organisasi perempuan yang ada, semula dibangun dengan basis
pendidikan. Kesadaran untuk mendapatkan pendidikan di kalangan perempuan
muncul seiring dengan keinginan mereka untuk berkembang dan hampir muncul
di setiap daerah di Indonesia.35 Remaja perempuan mulai banyak yang memasuki
pendidikan umum yang didirikan oleh Belanda maupun yang didirikan kalangan
35
ulama. Banyak sekolah agama awalnya hanya menerima murid laki-laki saja,
sampai akhirnya tak sedikit pula sekolah yang menerima murid perempuan.
Organisasi perempuan selalu hadir belakangan, itupun setelah prakarsa
historis kaum laki-laki. Gerakan-gerakan perempuan hadir sebagai bagian dari
organisasi laki-laki, misalnya Aisyiyah yang didirikan tahun 1917 di Yogyakarta
sebagai bagian dari Muhammadiyah. Tahun 1923, barulah menjadi otonom.
Demikian juga dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Organisasi ini dibangun untuk
memurnikan ajaran agama dengan Ahlus Sunnah wa Jamaah (1926), yang juga membina organisasi perempuan dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM)
tahun 1946 kemudian menjadi otonom tahun 1952. Sama halnya dengan
Perempuan Syarikat Islam Indonesia tahun 1928 (perempuan PSII), Perempuan
Perti (Perti) lahir 1928, dan Persistri (Persis) lahir tahun 1923.36
Muslimat Nahdlatul Ulama merupakan bagian perempuan dan Nahdlatul
Ulama dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat. Organisasi ini berdiri 12 tahun
sejak berdirinya NU, oleh tokoh-tokoh perempuan Nahdlatul Ulama, seperti:
Chadijah Dahlan, pada Kongres Nahdlatul Ulama ke-16 di Purwokerto, Jawa
Tengah. Mereka tergerak untuk mengikutsertakan perempuan dalam organisasi
guna “meningkatkan derajat kaum perempuan”. Karena pada tahun-tahun pasca
kemerdekaan keadaan perempuan masih memprihatinkan. Setelah NU menjadi
partai politik tahun 1952, kedudukan organisasi ini meningkat menjadi badan
otonomi dari Partai NU, dengan nama Muslimat NU. Dengan status tersebut
36
Muslimat dapat meningkatkan kinerjanya dalam federasi organisasi perempuan
yang mengabdi pada negara yaitu, KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).37
Keinginan perempuan Islam Indonesia untuk ikut maju dalam
pembangunan diwujudkan melalui gerakan pendidikan dan perserikatan yang
tetap berkobar untuk merdeka. Sebab idealitas itu merupakan pemahaman
akumulatif terhadap zaman gelap bangsa Indonesia terutama yang mendera kaum
perempuan. Waktu berganti, abad ke-20 adalah kebangkitan bangsa Timur yang
berpengaruh pada perempuan Islam. Berduyun-duyun anak perempuan masuk
sekolah, mulai dari kalangan atas anak priyayi, pamong praja, orang berpangkat,
diiringi oleh kalangan anak-anak menengah, sampai kemudian anak-anak dari
rakyat jelata. Sekolah bukan hanya untuk anak laki-laki tapi juga untuk anak
perempuan. Surau-surau dan pesantren banyak dibanjiri oleh anak-anak
perempuan yang pada awalnya mereka hanya diajar oleh seorang guru dan
berkelompok kemudian memiliki kelas.
Sekolah-sekolah agama timbul bagai jamur dimusim hujan di Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lainnya. Gerak kemajuan ini berjalan terus.
Sekolah-sekolah menghasilkan perempuan-perempuan terpelajar, guru-guru dan
pemimpin-pemimpin perempuan. Guru-guru agama perempuan pun tak kalah dari
laki-laki. Beriringan dengan itu lahir pula gerakan-gerakan yang dipimpin oleh
perempuan baik yang kebangsaan maupun yang keagamaan.
Dari berbagai macam organisasi perempuan Islam, Muslimat Nahdlatul
Ulama lebih mengacu pada pemikiran lama dalam acuan ibadahnya, Ahlus
37
Sunnah wal Jamaah. Dalam bidang hukum-hukum Islam menganut Mazhab Syafi’I, dalam soal tauhid menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansyur al-Maturidi, sedangkan dalam bidang tasawuf, lebih
menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim al-Junaidi.38 Organisasi-organisasi
Islam yang berdiri pada zaman perjuangan adalah untuk bahu-membahu dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Kegiatan dan program-program yang ada lebih
mengacu pada pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial yang bernafaskan Islam,
atas dasar kebutuhan anggota.39 Salah satu wadah yang paling efektif dalam
melaksanakan agenda kegiatan tersebut, misalnya Muslimat adalah dengan
mengadakan Majelis Taklim al-Islah yang sampai sekarang masih berjalan dengan
baik di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat atau yang biasa dikenal dengan
Majelis Taklim Masjid Jamie Matraman.40
H. Kedudukan Perempuan dalam Agama, Sosial, dan Politik
Al-Quran dijelaskan secara implisit, dilarang mencela orang-orang yang
mengeluh karena dikarunai anak-anak perempuan. Alasannya cukup jelas, karena
semua anak baik laki-laki atau perempuan adalah pemberian Allah. Dalam Islam,
perempuan dan laki-laki adalah partner yang sejajar dalam mengendalikan
peradaban ini, keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing serta
memiliki peran tersendiri.
38
Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali Ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 21-22.
39
Sulastri, op. cit., h. 338
40
Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam
masyarakat dan medelegasikan mereka dalam posisi yang netral sejauh al-Quran
dan sunnah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Setiap perempuan bebas
mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritik terhadap
berbagai kebijakan pemerintah. Termaktub dalam al-Quran at-Taubah ayat 71
yang artinya sebagai berikut.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q. S. at-Taubah: 71)
Dalam ayat tersebut jelas terlihat bahwa perempuan dan laki-laki memang
sudah seharusnya untuk mengerjakan apa yang sudah diperintahkan
bersama-sama. Sehingga manusia tidak individual untuk melakukan segala sesuatunya
untuk selalu bekerjasama. Karena perempuan adalah penolong bagi laki-laki dan
sebaliknya.
Kedudukan mulia dan peranan terhormat kaum perempuan itu terdapat
dalam al-Quran sebagai perlindungan hukum hak-hak kaum perempuan
disamping kewajiban-kewajiban mereka yang wajib dijunjung tinggi. Kedudukan
perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama serta kewajiban dan
dipertanggungjawabkan. Perlindungan hukum kaum perempuan termaktub dalam
al-Quran Surat an-Nahl ayat 16 yang artinya sebagai berikut.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q. S. an-Nahl: 16)
Dalam ayat tersebut ditekankan bahwa kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam agama mempunyai hak dan kewajiban masing-masing yang
nantinya akan dipertanggungjawabkan masing-masing manusia. Dan ditekankan
pula laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama sesuai
dengan apa yang dikerjakan dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
Kedudukan perempuan dalam negara, pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan seluruh masyarakat, agar
tercipta masyarakat yang adil dan makmur serta dapat mengikutsertakan laki-laki
dan perempuan sebagai kemitraan yang sejajar. Keharusan perempuan dalam
pertisipasi pembangunan adalah perlu dan merupakan realisasi dari
Undang-Undang Keormasan No. 8 tahun 1985 yang menyatakan bahwa “Ormas-ormas yang terbentuk adalah berdasarkan sukarela atas dasar visi dan misi yang sama untuk mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dalam GBHN, pembangunan yang menyeluruh adalah mengikutsertakan
laki-laki dan perempuan secara maksimal di segala bidang. Perempuan
ikut serta dalam pembangunan. Menurut sensus 1990 jumlah penduduk Indonesia
179 juta orang, dengan jumlah perempuan 90 juta orang (50,1%) dan perempuan
Islam merupakan 87 % (BPS 1992). Jumlah yang demikian besar tentunya
terdapat potensi yang dapat diandalkan dalam pembangunan.41
Dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia, selama tiga dasawarsa
ini, pasca kemerdekaan memang sedikit banyak telah memberikan manfaat yang
cukup besar terhadap pemberdayaan perempuan. Negara mengakui secara jelas
mengenai status perempuan dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi hal ini baru
dapat dinikmati oleh sebagian kecil perempuan Indonesia. Dalam gambaran
umum mengenai posisi dan kedudukan perempuan dalam negara, terdapat dalam
UUD 1945 diantaranya:42
Pasal 27 ayat 2:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 30 ayat 1:
Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.
Bukan hanya agama saja yang memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk maju terutama dalam pendidikan, dalam Undang-Undang Dasar
41
Sulastri, op. cit, h. 334.
42
Negara Republik Indonesia pun ditekankan demikian. Karena kaum perempuan
harus dipersiapkan agar dapat membimbing diri sendiri dan calon-calon pemimpin
bangsa.
Perempuan sekarang, mulai mengalami peningkatan dari berbagai segi
dibandingkan dengan peranan perempuan dahulu. Walaupun tidak disangkal pula
masih banyak perempuan yang buta huruf, yang menunjukkan tingkatan sosial
dalam masyarakat masih dalam taraf rendah. Sejak beberapa tahun ini, pemerintah
menjadikan program tersebut sebagai program unggulan pemerintahan dengan
nama ‘keaksaraan fungsional’.43 Walaupun sudah digalakkan namun masih
terdapat kendala-kendala yang serius karena kondisi masyarakat yang masih
miskin. Dalam hal ini pemerintah banyak melibatkan ormas-ormas perempuan
seperti: KOWANI, PKK Pertiwi dan sebagainya sebanyak 80 ormas perempuan
untuk menyukseskan program tersebut. Dengan basic Islam, agama mayoritas dalam bangsa Indonesia menjadikan Aisyiah dan Muslimat sebagai ormas khusus
dalam penyelenggaraan program tersebut. Karena ini akan lebih mudah terlaksana
dengan pemahaman Islam mayoritas Indonesia adalah Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama.
43
BAB III
SOSOK SOLICHAH A. WAHID HASYIM
C. Riwayat Hidup
Solichah Wahid Hasyim atau yang biasa disapa dengan Bu Wahid,
dilahirkan pada 11 oktober 1922, di Desa Denanyar. Semula namanya adalah
Munawwarah. Biasa dipanggil dengan Neng Waroh.44 Ibunya, bernama Noer
Khadijah adalah keturunan seorang ulama besar dari pesantren Tambakberas,
Jombang di wilayah pedalaman Jawa Timur. Ayahnya adalah Kyai Bisri Syansuri
yang juga keturunan Kyai dari Pesantren Lasem di pesisir Utara Jawa Tengah.45
Kyai Bisri mendirikan pesantren di Denanyar dengan tanah pemberian dari
mertuanya. Pesantren ini kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren
Denanyar.
Solichah lahir dari sebuah keluarga terhormat, tetapi ia adalah bagian dari
pribumi. Perlakuan pemerintah kolonial yang semena-mena dan diskriminatif di
lingkungan kesehatan atau layanan publik kurang memadai, sehingga mereka
menciptakan petugas medis alternative sendiri dengan spesialisasi persalinan,
yakni dukun bayi. Solichah lahir lancar dan baik dengan dibantu oleh “paramedis
hasil didikan rakyat pribumi pedesaan” tersebut.
Pengasuhan Solichah tidak berbeda dengan anak-anak pada masanya. Ia
meminum ASI (Air Susu Ibu) dan juga makanan tambahan berupa pisang raja
44
Syaifullah Amin, Sosok Hj. Nyai Sholichah Munawwarah, artikel ini diakses pada Maret 2008 dari http://jalantrabas.blogspot.com.
45
yang dilumat dengan nasi. Sebagai tradisi beliau juga diberikan jamu Toga seperti
anak-anak desa lainnya. Bahkan ketika masuk angin pun beliau diberi godhong jarak yang telah diolesi minyak tanah di badannya. Karena Solichah anak seorang ulama desa, tentu saja pengobatan yang diberikan juga dengan supelement berupa jampi-jampi berupa permohonan doa kepada Allah SWT. Ibunda Gus Dur ini dilahirkan dalam keluarga pesantren dan putri seorang kyai besar, nuansa yang
berkembang dalam kehidupan pesantren tak jauh seperti tradisi yang berkembang
di keraton. Kyai sepuh disesejajarkan seperti seorang sultan dan anggota keluarga
terdekat terlibat dalam proses jalinan “pembangsawanan” dengan menyandang
gelar Raden atau Rara. Solichah menyandang gelar penghormatan “Ning”. Hal ini diyakini sebagai sesuatu yang memancarkan keberkahan. Dalam pandangan
mereka, menghormati putra-putri kyai sama dengan menghormati orangtuanya.46
Sebagai anak seorang Kyai, Solichah kecil lebih banyak berinteraksi
dengan warga pesantren dan orangtuanya. Pada umumnya masyarakat
beranggapan bahwa menghormati dan mematuhi Kyai dan keluarganya diyakini
akan memperoleh barokah, sedangkan mengecewakannya dipercaya tidak
mendapat barokah, khususnya bagi para santri yang sedang menuntut ilmu.
Aktifitas dan pergaulannya sehari-hari memberikan pengalaman hidup dalam
nuansa kepemimpinan. Solichah telah banyak belajar makna status sosial dari
dimensi prestige yang melekat dan diwarisi sejak lahir.
Solichah kecil banyak memiliki pengalaman, pertama, dari orangtuanya, ia belajar mematuhi dan menghormati orangtua sekaligus gurunya. Ia menjadi
46
anak dan santri yang memiliki hubungan emosional dengan gurunya.
Penghormatan tersebut memberikan pembelajaran tentang posisi sebagai
“bangsawan pesantren” dan sebagai santri. Kedua, terhadap saudara-saudara kandungnya, ia belajar saling menghargai satu sama lain. Mereka adalah para
“Gus” dan “Ning” yang sejak awal menyadari hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini ia belajar bagaimana seharusnya
memperlakukan gelar yang istimewa itu. Ketiga, terhadap para santri dan kadam,
yang setiap hari bergaul dengannya. Perlakuan tersebut memberikan pengertian
akan makna sosial terhadap hak-hak istimewa yang diwarisinya. Ia belajar
menjaga nama baik gelarnya warisan yang dihargai tinggi oleh masyarakat
lingkungannya.
Pengalaman dalam hidupnya mengajarkannya untuk memposisikan dirinya
pada budaya masyarakat yang telah terbentuk, yakni lebih khusus dunia pesantren
yang didirikan orangtuanya. Menginjak usia remaja, Solichah menghadapi dua
pandangan hidup yang saling bertentangan. Di satu sisi, dunia kolonial yang
hanya mementingkan keduniawian dengan memanfaatkan sumber-sumber
kekayaan material. Sedang di sisi lain, masyarakat pribumi yang tertindas dan
tidak memiliki kemampuan atau kesempatan untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik dalam segi kekayaan, martabat, pekerjaan dan kekuasaan politik.
Solichah remaja memiliki interaksi sosial yang luas hingga mencapai luar
pesantren, Solichah mengalami transfer of learning pandangan hidup yang ditransmisikan oleh generasi pendahulunya. Hampir semua masyarakat dari