• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN

STORE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DEA RIZSKA NIM. 070200375

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN

STORE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DEA RIZSKA NIM. 070200375

Disetujui Oleh: Ketua Departemen

Windha, SH. M.Hum NIP. 197501122005012002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH.CN. M.Hum Windha, S.H., M.Hum NIP. 197002012002122001 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-NYA, saya masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan skripsi ini serta Nabi Muhammad SAW atas doa’a dan syafaatnya.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini disadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun selepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, atau tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, untuk itu diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., sebagai Pembantu Umum Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

6. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum, Sebagai Sekretariat Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH.,CN.,M.Hum, sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., sebagai Penasihat Akademik selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., Ibu Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI., para dosen dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Kepada keluarga juga diucapkan terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua yang telah sabar dan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya dan segala pengorbanannnya serta doanya sehingga dapat mencapai pendidikan tinggi ini, kepada orang tua yang paling disayangi dan dicintai;

(5)

terima kasih Ma); dr. Dara Caprina (semoga menjadi dokter yang sukses); Dimas Poetra (rajin belajar ya dan cepat-cepat mendapatkan gelar Sarjana Teknik);

11. Untuk sahabat-sahabatku, Arini Fauziah Dalimunte, Novasella Sakinah As’ad, Viqih Kartika Murti, Feby Pratiwi, semangat terus ya;

12. Untuk teman-teman stambuk 2007, Dita Amelia Dislan, Fella Eldyah, Dewi Astuti Nasution, Bulan Pangaribuan, Dian Afriani Lubis, Dian Maya Sari, Dini Novrina, Astri Ester Silalahi, Linda Chonita Oktavia, Heru, Faisal Lubis, Adhy Iswara Sinaga, Aulia Rizky Harahap, Ninda Ausry, Kemala Atika Hayati, Alky Reby Hasibuan, Dandie Shamirza, Rizky Fauzi, Harry Christian Tobing, E. Daylon Sitanggang dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

13. Untuk semua pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada orang-orang yang selalu memberikan inspirasi dan inovasi-inovasinya yang brilian, dan orang-orang yang akan terus ada di hatiku selamanya;

(6)

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Wassalamualaikum wr.wb.

Medan, Juni 2011 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 20

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PENGATURAN MATA UANG RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA A. Mata Uang sebagai Alat Pembayaran yang Sah ... 24

B. Pengaturan Mata Uang Republik Indonesia ... 29

  C. Kejahatan Mata Uang dan Penanggulangannya ... 35

BAB III SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Perkembangan Industri Retail di Indonesia... 45

(8)

menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 54

 

C. Sistem Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store ... 62

   

D. Pelaksanaan Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan menurut UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 65 BAB IV : TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH

KONSUMEN DALAM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE

A. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store ... 69 B. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha atas Pengembalian

Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store .. 74

 

C. Tindakan Hukum yang dilakukan oleh Konsumen yang Menderita Kerugian dalam Pengembalian Uang Kembalian pada Industri Retail Departemen Store ... 78 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(9)

Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan UU

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 *) T. Keizerina Devi Azwar

**) Windha ***) Dea Rizska

ABSTRAKSI

Sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departmen store memberikan perbandingan kedudukan konsumen lebih lemah daripada dengan kedudukan pelaku usaha. Dengan adanya UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha, serta untuk menumbuhkan kesadaran konsumen akan haknya terhadap pelaku usaha yang bertindak sewenang-wenang dan juga menumbuhkan kesadaran akan kewajiban pelaku usaha.

Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah pengaturan mata uang Rupiah sebagai pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia menurut UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, sistem pengembalian uang pelanggan pada industri retail department store ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun literature yang berkaitan dengan penelitian, dimana hal ini bertujuan mengetahui sejauhmana sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departemen store.

(10)

Kata Kunci : Sistem pengembalian uang, pelanggan, retail *) Dosen pembimbing I

**) Dosen pembimbing II

(11)

Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan UU

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 *) T. Keizerina Devi Azwar

**) Windha ***) Dea Rizska

ABSTRAKSI

Sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departmen store memberikan perbandingan kedudukan konsumen lebih lemah daripada dengan kedudukan pelaku usaha. Dengan adanya UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha, serta untuk menumbuhkan kesadaran konsumen akan haknya terhadap pelaku usaha yang bertindak sewenang-wenang dan juga menumbuhkan kesadaran akan kewajiban pelaku usaha.

Permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah pengaturan mata uang Rupiah sebagai pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia menurut UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, sistem pengembalian uang pelanggan pada industri retail department store ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengambilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun literature yang berkaitan dengan penelitian, dimana hal ini bertujuan mengetahui sejauhmana sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departemen store.

(12)

Kata Kunci : Sistem pengembalian uang, pelanggan, retail *) Dosen pembimbing I

**) Dosen pembimbing II

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semakin kecilnya nilai nominal mata uang rupiah, hal itu berdampak pada semakin sedikitnya jumlah uang koin yang beredar di masyarakat. Memang di sini tidak sedang membahas masalah keekonomian uang pecahan koin, namun lebih menyoroti cadangan uang koin yang dimiliki pedagang.

Hubungannya trend saat ini, mayoritas pedagang, mulai skala kecil (minimarket) hingga hipermarket, sedang mengalami gejala kesulitan mempunyai stok uang koin dengan berbagai pecahan, yang identik dengan uang logam. Tidak pasti hal itu benar atau tidak terkait dengan semakin tidak berartinya nominal uang koin, hal itu berdampak semakin malasnya para pedagang kecil hingga kelas retail untuk menyediakan stok uang yang biasanya digunakan untuk uang kembalian.1

Di sinilah letak permasalahannya. Pada kenyataannya banyak konsumen mengalami kejadian kurang menyenangkan terkait dengan uang koin jika berurusan dengan transaksi di minimarket. Hal itu terjadi pada konsumen harus membeli sesuatu, dan ternyata uang kembaliannya oleh penjual bukannya diberikan dalam uang koin. Melainkan diganti seenaknya sendiri dengan permen.

Tidak hanya identik uang koin seratus rupiah yang kemungkinan diganti dengan permen, kelipatannya hingga lima ratus pun pernah diganti dengan permen

1

(14)

sejumlah lima bungkus. Memang penjual ketika akan menyodorkan sisa uang kembalian juga sambil bilang bahwa uangnya diganti dengan permen. Namun yang jadi masalah adalah penjual seolah tidak memberikan kesempatan kepada pembeli untuk menolak opsi satu-satunya yang ditawarkan penjual. Karena hal itu meski dalam jumlah nominal terbilang sangat kecil, tetapi berdampak psikologis cukup besar bagi ketidaknyamanan dalam konsumen. Karena, berdasarkan pengalaman para konsumen yang tepatnya masyarakat yang berbelanja di minimarket daerah Indonesia, jika menolak dan tetap menginginkan uang kembalian dalam bentuk koin silver bergambar burung kakaktua, pasti si pihak minimarket akan menjawab tidak punya stok.2

Sehingga mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas konsumen wajib menerima uang kembalian berupa permen. Hasilnya, tawaran uang kembalian diganti dengan permen seperti sebuah tawaran paksaan yang mana konsumen tak mempunyai pilihan selain berkompromi dan menerima permen dengan lapang dada, meski sebenarnya tidak sedang membutuhkan permen untuk menyegarkan mulut. Tidak jarang konsumen sering mengeluh dengan keadaan itu. Bukan mengeluh tentang uang kembalian yang tidak seberapa besarnya jika konsumen menolak hal itu, melainkan lebih pada mental pihak minimarket yang kurang mampu menangkap beban psikologis konsumennya. Harus diakui terkadang hal ini karena kesalahan konmsumen sendiri yang tak berani protes kadang konsumen menghindari untuk meributkan sesuatu yang kecil, namun tidak semestinya juga pihak minimarket mengabaikan hak konsumen yang ingin agar uang kembalian berbentuk uang

2

(15)

tunai (koin), bukan permen. Keadaan itu juga pernah di alami beberapa konsumen ketika membeli barang dari salah satu minimarket ternama, di mana saat di kasir, ternyata uang kembalian konsumen ada tambahan permen. Bukan bonus, melainkan gantinya uang seratus yang kelihatannya di kasir persediaannya sudah habis.

Dengan adanya hal ini depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika) menerangkan bahwa 80% konsumen sering menyiasatinya kondisi itu dengan membawa beberapa uang koin agar tak mengalami kejadian serupa. Dan menurut mereka juga bisa untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu bertemu dengan pengemis dan pengamen tanpa diduga. Dengan alasan karena konsumen yakin tidak akan ada pengemis maupun pengamen yang mau diberi permen oleh masyarakat, karena yang mereka butuhkan adalah uang, meskipun cuma senilai seratus rupiah. Hal itu pasti lebih baik daripada harus menerima pemberian permen dari orang lain. Dan tidak jarang konsumen yang mengeluh kembalian uang koin yang diganti permen itu sangat meresahkan karena mereka menganggap permen tidak ada gunanya.3

Di luar itu, kebiasaan pedagang yang memberi uang kembalian dengan diganti permen merupakan preseden buruk bagi terwujudnya perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Mental pedagang seperti itu setidaknya perlu dikritisi dan pemerintah berwenang wajib membina dengan memberikan pendidikan berupa sosialisasi secukupnya untuk menyadarkan dan membuka wawasannya. Karena jelas-jelas perbuatan kurang patut diikuti itu merugikan konsumen, dan

3

(16)

dalam skala besar jika dibiarkan akan menjadi sebuah budaya kurang konstruktif dalam lingkungan masyarakat.

Karena jika mengacu pada keadaan negara ini, bagaimana bisa maju sistem perekonomian Indonesia jika sebagian besar pedagang, mulai retail tingkat kecil hingga retail yang menjadi tulang punggung mengabaikan hal-hal kecil yang dapat merusak mental bangsa dengan contoh ketika memberi uang kembalian konsumen tiba-tiba langsung diberi permen tanpa pernah lebih dulu diberi opsi lain. Harusnya uang kembalian tak diganti permen begitu saja. Sudah semestinya perbuatan itu diperbaiki supaya tak menjadi masalah dikemudian hari, dengan menjadi budaya masyarakat akibat akumulatif kebiasaan buruk.

Dalam memutuskan tempat belanja yang akan di kunjungi konsumen mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, ada beberapa konsumen yang menganggap uang koin tidak begitu berguna, tetapi banyak konsumen yang ingin mendapatkan uang koin mungkin dengan belanja di minimarket yang nantinya dia akan mendapatkan uang koin sebagai kembalian. Tapi justru oleh pihak perusahaaan kembalian koin tersebut diganti dengan permen. Mungkin ada konsumen yang justru senang menerima permen sebagai gantinya uang koin, dengan alasan jika mendapatkan permen tidak perlu susah-susah membelikan anaknya permen dengan jumlah banyak, dan di sisi lain akan banyak konsumen yang kecewa dan merasa kurang puas dengan kembalian koin yang diganti permen dan berfikir kebijakan perusahaan ini akan mengurangi minat konsumen berbelanja di minimarket tersebut.4

4

(17)

Salah satu yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih barang yang akan dikonsumsi atau tempat belanja yang akan dikunjungi adalah kualitas pelayanan atau kualitas dari layanan yang disediakan oleh minimarket itu sendiri apakah sesuai dengan keinginan konsumen, karena banyak hal yang menyebabkan konsumen merasa kurang puas atas pelayanan dari pihak perusahaan. Konsumen yang puas dan loyal terhadap sebuah perusahaan cenderung kembali mengunjungi minimarket tersebut. Hal ini disebabkan faktor kepercayaan telah terbentuk. Konsumen yakin bahwa perusahaan tidak akan bersikap oportunistik dan memanfaatkan mereka untuk kepentingan sesaat. Bentuk tanggung jawab dan respons positif terhadap pentingnya perlindungan konsumen. Ini mengingat banyak keluhan atau pengaduan konsumen terkait pengembalian sisa uang belanja transaksi dalam bentuk permen atau barang lain atau sumbangan yang tercantum dalam struk belanja.

Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informatika) juga menjelasklan bahwa Gubernur Bank Indonesia yang baru terpilih, Darmin Nasution, mengatakan keengganan masyarakat untuk menggunakan kembali uang logam disebabkan tidak ada media atau tempat untuk menyalurkan uang logam itu. Karena itu, BI, Kementerian Perdagangan, dan para pengusaha retail yang tergabung dalam Aprindo bekerja sama untuk menyosialisasikan gerakan peduli koin nasional.

(18)

Carrefour, Ramayana, Hypermart, siap menerima penukaran uang logam. Retail

modern ini juga berjanji mengembalikan sisa transaksi dengan uang tunai, bukan permen atau bentuk lainnya.5

Jumlah uang logam yang beredar di masyarakat senilai Rp 3,2 triliun per 30 Juni 2010 atau sebanyak 15,5 miliar keping dengan jumlah terbanyak pecahan Rp 100, yaitu 6,7 miliar keping. Pada 2010, BI berencana mencetak 1,6 miliar keping uang logam.6

Memuat Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut dengan (UUPK) telah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukan yang sama dengan pelaku usaha, karena sebelum ditetapkannya undang-undang ini kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Dalam Pasal 4 UUPK menyebutkan pada huruf a bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa. Artinya bahwa setiap konsumen itu punya hak-hak yang sepatutnya ia dapatkan dari suatu barang/jasa yang dikonsumsinya. Salah satu hak yang diutamakan dalam konsumen adalah hak untuk memilih barang serta mendapatkan barang-barang tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, bahwa hak untuk itu adalah hak pokok dari konsumen, dan hal yang demikian diatur dalam Bab III Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 huruf b. Sedangkan dalam Pasal 4 huruf c ditegaskan bahwa konsumen punya hak atas informasi barang yang benar dan jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan atas barang

5

www.googlesearch/kembalian diganti permen.com diakses tanggal 31 Mei 2011

6

(19)

dan/atau jasa yang dibelinya. Ketentuan ini dilanjutkan dengan ketentuan Pasal 7 huruf a bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, kemudian dilanjutkan dengan huruf b, bahwa kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Jadi antara kepentingan konsumen berhadapan dengan kewajiban dari pelaku usaha.

Dalam hal ini Penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai sistem pengembalian uang kembalian pelanggan dalam praktek industri retail departemen store. Untuk itu penulis akan mengadakan penelitian akan hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

(20)

2. Bagaimana sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departemen store ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimana tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Untuk mengetahui pengaturan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia.

b. Untuk mengetahui sistem pengembalian uang kembalian pelanggan pada industri retail departemen store ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

c. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum perbankan pada sistem pengembalian uang kembalian pelanggan.

(21)

pada industri retail departemen store ditinjau dari UU No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Yuridis Terhadap Sistem Pengembalian Uang Kembalian Pelanggan Pada Industri Retail Departemen Store Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama khususnya di Industri Retail Departemen Store, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam sejarah perkembangan pola pemenuhan kebutuhan manusia yang saling interdependen, terdapat dua posisi yang saling berhadapan antara produsen dan konsumen. Pihak pembuat atau penghasil suatu barang disebut dengan produsen. Pihak yang membutuhkan sesuatu barang yang dihasilkan oleh produsen disebut konsumen.

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan7. Konsumen dalam pengertian tersebut merupakan konsumen akhir yang umumnya lemah dalam

7

(22)

bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar. Karena itu sangat dibutuhkan penyeimbangan daya tawar konsumen dan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum yang mana. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.8

Rachbini, memberikan batasan hukum konsumen yaitu: Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup.9

Sehubungan dengan itu maka perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formil makin terasa sangat penting untuk dibahas. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan hal yang urgen dan mendesak dan segera harus dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Kehadiran UUPK memang

8

Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 73.

9

(23)

dirasa sangat tepat dalam kerangka penguatan kelembagaan hukum perlindungan konsumen. Sebagaimana yang disampaikan oleh Didik. J. Rachbini dalam Zumrotin yaitu dengan kepastian hukum yang jelas dan tegas dapat dipastikan pihak pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam perkembangan uang, sehingga secara langsung memberikan perlindungan preventif terhadap konsumen.

Uang berkembang dan berevolusi mengikuti perkembangan sejarah. Dari perkembangan sejarah, uang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu :10

1. Uang barang (commodity money) : alat tukar yang memiliki nilai komoditas atau bisa diperjualbelikan apabila barang tersebut digunakan bukan sebagai uang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan tiga kondisi utama, agar suatu barang bisa dijadikan uang, antara lain:

a. Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas. b. Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama.

c. Nilai tinggi, maksudnya barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah yang banyak dalam melakukan transaksi.

Dalam sejarah, pemakaian uang barang juga pernah disyaratkan barang yang digunakan sebagai barang kebutuhan sehari-hari seperti garam. Namun kemudian uang komoditas atau uang barang ini dianggap mempunyai banyak kelemahan. Di antaranya, uang barang tidak memiliki pecahan, sulit untuk disimpan dan sulit untuk diangkut. Kemudian pilihan terhadap barang yang

10

(24)

bisa digunakan sebagai uang, jatuh pada logam-logam mulia, seperti emas dan perak. Ada sejumlah alasan mengapa emas dan perak dipilih sebagai uang. Kedua logam tersebut memiliki nilai tinggi, langka dan dapat diterima secara umum sebagai alat tukar. Kelebihan lainnya, emas dan perak dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang kecil dengan tetap mempunyai nilai yang utuh. Selain itu logam mulia ini juga tidak mudah susut atau rusak

2. Uang tanda/kertas (token money), ketika uang logam masih digunakan sebagai uang resmi dunia, ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih keuntungan dari kepemilikan mereka atas emas dan perak. Pihak-pihak ini adalah bank, orang yang meminjamkan uang dan pandai emas (goldsmith) atau toko-toko perhiasan. Mereka melihat bukti peminjaman, penyimpanan atau penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima di pasar. Kelebihan : biaya pembuatan rendah, pengirimannya mudah, penambahan dan pengurangan lebih mudah dan cepat, serta dapat dipecah-pecahkan dalam jumlah berapapun.

Kekurangan: ini tidak bisa dibawa dalam jumlah yang besar dan karena dibuat dari kertas, sangat mudah rusak.

(25)

digunakan sebagai alat pembayaran barang, jasa dan utang. Kelebihan uang giral sebagai alat pembayar adalah:11

a. Kalau hilang dapat dilacak kembali sehingga tidak bisa diuangkan oleh yang tidak berhak.

b. Dapat dipindah tangankan dengan cepat dan ongkos yang rendah.

c. Tidak diperlukan uang kembali sebab cek dapat ditulis sesuai dengan nilai transaksi.

Kekurangan uang giral : Namun di balik kelebihan sistem ini, sesungguhnya tersimpan bahaya besar. Kemudahan perbankan menciptakan uang giral ditambah dengan instrumen bunga bank membuka peluang terjadinya uang beredar yang lebih besar daripada transaksi riilnya. Inilah yang kemudian menjadi pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy).12

Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha, pada mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production oriented), maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Pelanggan/konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen. Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh

11

Ibid

12

(26)

konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar ( market oriented ). Pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan.13

Pengertian bisnis retail meliputi saluran aktivitas yang melibatkan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen. Setiap organisasi yang melakukan penjualan langsung kepada konsumen baik produsen, grosir atau eceran berarti bertindak dalam proses usaha eceran. Pengelolaan bisnis eceran tidak hanya sekedar membuka toko dan mempersiapkan barang-barang yang lengkap, tetap lebih dari itu. Pengelolaan bisnis retail harus melihat dan mengikuti perkembangan teknologi pemasaran agar dapat berhasil dan mempunyai keunggulan kompetitif.14

Industri retail meliputi semua kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan penjualan barang dan jasa kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi. Secara definitif dapat dikatakan bahwa “pengecer atau toko pengecer adalah sebuah lembaga yang melakukan kegiatan usaha menjual barang kepada

13

Johannes Gunawan, Menuju Sistem Moneter yang Adil, (Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hal 44.

14

(27)

konsumen akhir untuk keperluan pribadi (non bisnis)”. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa pengecer memberikan pelayanan sebagai titik penghubung antara konsumen akhir dengan saluran distribusi. Jadi, fungsi retail adalah memberikan pelayanan kepada konsumen agar pembeliannya dilakukan dengan cara yang semudah mungkin.15

Pengertian tentang industri retail yang hampir sama juga dikemukakan oleh Lucas, Bush dan Gresham sebagai “semua fungsi atau kegiatan yang melibatkan penjualan (atau sewa) barang dan jasa kepada pengguna akhir, yang termasuk rumah tangga, perorangan dan lainnya yang membeli barang atau jasa untuk konsumsi akhir.”16

Retail adalah tahapan terakhir dalam suatu saluran distribusi, yang membentuk bisnis dan orang-orang yang terlibat di dalam suatu pergerakan fisik dan transfer kepemilikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.17

Masing-masing golongan meliputi beberapa industri retail lagi sebagai berikut :18

a. Industri retail dalam toko:

1) Industri retail dengan servis penuh

Pada golongan ini, selain menjual barang, juga diperlukan kecakapan, demonstrasi atau penerangan dari pejual kepada konsumennya.

2) Industri retail supermarket

15

Ibid

16

Ibid

17

Gilbert, Perdagaangan Retail di Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 36

18

(28)

Pada umumnya, barang yang diperdagangkan dalam supermarket berupa makanan dan minuman. Tetapi sekarang banyak pengecer supermarket yang menjual barang-barang lain seperti sabun mandi, sikat gigi, obat pembasmi serangga, kertas tisu dan sebagainya. Supermarket menarik para konsumennya pada basis harga yang murah. Daya tarik ini ditingkatkan dengan banyaknya jumlah dan jenis barang yang memungkinkan one-stop

shooping untuk barang-barang keperluan rumah tangga. Display self

service adalah feature penting supermarket dimana konsumen dan

supermarket mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang dirasakan oleh konsumen melalui pilihan barang yang lebih cepat dan harga yang murah, sedangkan bagi pihak supermarket melalui sedikitnya satuan tenaga penjual dan biaya yang rendah.

3) Industri retail dengan potongan b. Industri retail tanpa toko:

1) Penjualan melalui tenaga penjualan di luar toko. 2) Penjualan melalui pos.

3) Penjualan dengan mesin otomatis.

(29)

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.19

Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang disusun Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum.20

Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata, diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van

dengenen die zich verbiden );

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een

verbintenis aan te gaan);

19

Shidarta., Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal 57.

20

Prasetyo HP, “Tanggung jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang No. 8/1999

(30)

3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan 4. Suatu sebab yang halal (een geloofde oorzaak).

Sedangkan Pasal 1365 KUHPerdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.

Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat ‘kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance . Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.21 Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.

Pada umumnya jual beli properti antara pelaku usaha (pengembang perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar). Perjanjian tersebut

21

(31)

mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli properti adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause). Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pelaku usaha. Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK diatur mengenai larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Masalah tanggung jawab hukum perdata (civielrechtelijke

aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUHPerdata yang

mengatur adanya pertanggungjawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di samping itu, undang-undang mengenal pula pertanggungjawaban oleh bukan si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, disebabkan oleh barang-brang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal ini nampak adanya pertanggungjawaban seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid)22.

22

(32)

Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan hukum dan per-buatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Jadi harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (schuld aansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata, tanggung jawab hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan (het veroozaken van lichamelijke letsel ).23

Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum yang paling popular dikenal adalah :

1. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.

23

(33)

2. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan penelitian itu sendiri. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research).

Dalam melaksanakan penelitian ini, perlu ditegaskan alat pengumpul data yang dipakai dalam penelitian. Dalam penelitian ini dipakai tiga alat pengumpul data, yaitu :

1. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh negara lain dan badan-badan internasional seperti UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia.

(34)

3. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

G. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.

Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. PENGATURAN MATA UANG RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Bab ini berisikan tentang mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, pengaturan mata uang Republik Indonesia, kejahatan mata uang dan penanggulangannya.

(35)

terlibat dalam industri retail departemen store menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sistem pengembalian uang kembalian pelanggan di Indonesia, pelaksanaan sistem pengembalian uang kembalian pelanggan menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV. TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH KONSUMEN DALAM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE. Bab ini berisi tentang perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store, Pertanggungjawaban pelaku usaha atas pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store dan tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen yang menderita kerugian dalam pengembalian uang kembalian pada industri retail departemen store.

(36)

BAB II

PENGATURAN MATA UANG RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DI WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A. Mata Uang sebagai Alat Pembayaran yang Sah

Uang sebagai alat pembayaran sudah dikenal berabad-abad yang lampau. Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Pada masa itu masyarakat menggunakan benda-benda produk alam sebagai uang atau disebut sebagai uang komoditas. Penggunaan benda sebagai uang sangat bervariasi dan berbeda diantara kelompok masyarakat di dunia. Penggunaan logam seperti emas, perak dan logam lainnya kemudian menggantikan benda-benda produk alam sebagai bahan membuat uang karena lebih praktis dan nilainya berumur lebih panjang dan lebih luas serta menjadi tempat penyimpan nilai yang bagus. Uang logam pada masanya sangat popular dan sampai saat ini masih digunakan walaupun sudah muncul uang kertas yang lebih praktis digunakan untuk transaksi dalam jumlah besar dan e-money yang mengunakan kartu kredit.24

Setelah logam digunakan sebagai bahan uang, kemudian kertas menjadi bahan uang yang begitu banyak digunakan negara-negara di dunia dan abad ke-20 dikatakan sebagai abad uang kertas. Uang logam dan uang kertas juga menjadi identitas negara, karena masing-masing negara mencetak uangnya sendiri-sendiri. Pada abad 20 muncul alat pembayaran yang menggunakan kartu kredit pertama yang berfungsi sebagai uang atau e-money. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

24

(37)

uang diartikan sebagai “satuan uang suatu Negara”. Untuk saat ini sesuai dengan fungsinya uang dapat diartikan sebagai “suatu benda yang dapat ditukarkan dengan benda lain, dapat digunakan untuk menilai benda lain dan dapat disimpan”. Uang Rupiah menurut UU No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang selanjutnya disebut dengan UU Mata Uang yaitu mata uang adalah uang yang dikeluarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah. Dan dari pengertian tersebut uang itu lah yang dikatakan sebagai alat pembayaran yang sah.

Dalam perkembangan mutakhir fungsi uang dapat dibedakan dalam 2 kategori, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Menurut Glyn Davies fungsi umum uang adalah sebagai aset likuid (liquid asset), faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market allocative system), faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the economy), dan faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy). Sedangkan fungsi khusus uang sebagai berikut :25

1. Uang sebagai alat tukar (medium of exchange); 2. Uang sebagai alat penyimpan nilai (store of value); 3. Uang sebagai satuan hitung (unit of account);

4. Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered

payment);

5. Uang sebagai alat pembayaran (means of exchange);

6. Uang sebagai alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of

value)

25

(38)

Kedudukan sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) ini dinyatakan di dalam uang kertas yang dikeluarkan oleh bank sentral setiap negara. Di dalam legal tender terdapat dua elemen yang esensial yaitu pertama, keberadaannya dinyatakan oleh hukum dan kedua untuk pembayaran. Ditinjau dari teori Hukum Tata Negara, suatu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu badan atau lembaga bersifat atributif artinya tidak menimbulkan kewajiban menyampaikan laporan atas pelaksanaan kekuasaan itu. Di dalam UU Mata Uang dalam Pasal 11 disebutkan bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/atau pencabutan dan penarikan Rupiah untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran.

Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antar barang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra modern. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper

(39)

paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).26

Alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (uang kertas dan logam). Uang kartal masih memainkan peran penting khususnya untuk transaksi bernilai kecil. Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, pemakaian alat pembayaran tunai seperti uang kartal memang cenderung lebih kecil dibanding uang giral. Pada tahun 2005, perbandingan uang kartal terhadap jumlah uang beredar sebesar 43,3 %. 27

Jenis uang yang dikeluarkan Bank Indonesia, yaitu uang kertas dan uang logam. Uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya. Uang logam adalah uang dalam bentuk koin yang terbuat dari alumunium, alumunium bronze, kupronikel dan bahan lainnya. Harga uang adalah nilai nominal atau pecahan uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Ciri uang adalah tanda-tanda tertentu pada setiap uang yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan tujuan untuk mengamankan uang tersebut dari upaya pemalsuan. Tanda-tanda tersebut dapat berupa warna, gambar, ukuran, berat dan tanda-tanda lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Bank Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama dan pecahan lainnya melakukan penukaran uang yang cacat atau dianggap tidak layak untuk diedarkan, menukarkan uang yang rusak sebagaian karena terbakar atau sebab lain dengan nilai nominalnya yang bergantung pada tingkat kerusakannya. Selain itu, Bank

26

Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1992), hal 51.

27

(40)

Indonesia juga melakukan pemusnahan uang yang dianggap tidak layak untuk diedarkan kembali.

Bank Indonesia dapat memberikan penggantian atas uang yang karena suatu sebab telah rusak sebagaian tetapi tanda keaslian uang tersebut masih dapat diketahui atau dikenali. Adapun besarnya penggantian atas uang yang rusak tersebut ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dari penelusuran terhadap undang- undang tentang mata uang negara lain, ternyata di dalam perundang-undangan negara-negara tersebut ditetapkan adanya pembatasan penggunaan coin. Dengan adanya pembatasan tersebut dimaksudkan bahwa undang-undang yang dibuat tidak menghambat transaksi bisnis di satu pihak dan di pihak lain tetap menghargai coin sebagai legal tender sesuai dengan tujuannya yaitu untuk transaksi kecil sehingga tidak mudah rusak karena perputarannya yang sangat intensif. Apabila mata uang dengan nilai sebesar itu dibuat dari kertas, dikhawatirkan akan cepat rusak.

Selain itu penggunaan mata uang Rupiah pada saat sekarang ini, sudah

convertible. Bisa ditukar kapan saja dan dimana saja ada. Apalagi penukaran mata

(41)

dalam penelitian ini, para pebisnis yang melakukan quotation dalam dollar, akan senang kalau dibayar dengan denominasi Rupiah dengan kurs yang ditetapkan lebih tinggi dari pada yang ada di pasar.28

B. Pengaturan Mata Uang Republik Indonesia

Memahami sejauhmana pengaturan Mata Uang Republik Indonesia pada UUBI, baik untuk Bank Indonesia secara kelembagaan atau masyakarat dan kepada pejabat Bank Indonesia termasuk karyawan Bank Indonesia atau kepada pihak lain, maka perlu dipahami tentang pengaturan mata uang dari Bank Indonesia. Jadi pengaturan mata uang ini memberikan pembatasan mengenai hal pemberian sanksi yang berhubungan dengan Bank Indonesia.

Pengaturan tentang mata uang dalam hukum positif yang berlaku saat ini secara ringkas adalah sebagai berikut:

Pengaturan dalam UU Mata Uang, yaitu:

a. Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. Rupiah wajib digunakan dalam penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. Rupiah wajib digunakan dalam transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

28

(42)

Terkait dengan kedudukan Bank Indonesia dalam konstitusi, terdapat aspek lain yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dalam tata peraturan perundang-undangan. Di dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia selanjutnya disebut dengan UUBI sedikitnya terdapat 11 pasal yang secara tegas mengamanatkan agar masalah tertentu diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Hal ini sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan/penetapan (power to regulate) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanctions). Berkenaan dengan kedudukan Peraturan Bank Indonesia sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, patut dikemukakan bahwa Peraturan Bank Indonesia sangat menentukan dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Hal ini juga terkait dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen.

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Bank Indonesia ini merupakan sebuah konsekuensi logis yang merupakan hasil dari kedudukan Bank Indonesia yang independen. UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia untuk mengatur aspek-aspek yang terkait dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Sebagai produk hukum yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang maka kedudukan Peraturan Bank Indonesia tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan pelaksana lainnya.29

29

(43)

Memuat UUBI menjadi undang-undang dijelaskan bahwa salah satu upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan agar tidak menyebabkan kesulitan pendanaan jangka pendek bagi bank karena ketidak sesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar adalah dengan merubah kriteria agunan yang dijaminkan oleh bank untuk memperoleh kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia.

Seiring dengan adanya kehidupan sehari-hari, uang merupakan sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran hutang-hutang. Uang juga sering dipandang sebagai kekayaan yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk membayar sejumlah tertentu hutang dengan kepastian dan tanpa penundaan. Begitu pentingnya uang, sehingga ada yang berpendapat bahwa dunia sebagaimana yang kita kenal ini tidak dapat berlangsung tanpa uang. Walaupun uang itu bukan faktor produksi seperti tanah dan tenaga kerja, namun uang merupakan syarat mutlak bagi metode-metode produksi modern, sehingga tanpa uang tanah, tenaga kerja dan modal tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan kehidupan perekonomian.30

Peraturan yang baik harus memiliki landasan peraturan perundang-undangan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Landasan filosofis (filosofische grondslag) menentukan bahwa suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran yang dapat

30

(44)

diterima jika dikaji secara filosofis. Landasan sosiologis (sociologische

grondslag) menentukan bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai

dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Landasan yuridis (rechtgrond) menentukan bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Di dalam peraturan mata uang juga diharapkan memiliki ketiga landasan tersebut, sehingga nantinya dapat dikualifikasikan sebagai peraturan yang baik.31

Selanjutnya mengenai materi muatan dari pengaturan mata uang, di dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan bahwa :

”Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan”.

Materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan mata uang paling tidak harus mampu menampung materi-materi yang selama ini sudah diatur baik di dalam UUBI, KUHP, maupun yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang bersifat mengatur, setelah diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan dewasa ini. Disamping itu peraturan mata uang ini harus mampu menambah materi muatan baru yang selama ini belum diatur di dalam beberapa peraturan yang telah disebut tadi. Dengan demikian peraturan mata uang yang baru mampu memberikan pencerahan baik dari segi kepastian, kelancaran

31

(45)

operasional maupun efektivitas dan efisiensi kerja serta pertumbuhan perekonomian secara nasional.

Dengan mengkombinasi materi yang sudah diatur dalam berbagai aturan tersebut dengan penyesuaian-penyesuaian secukupnya dan penambahan materi baru yang dianggap perlu, maka pokok-pokok materi muatan yang seyogianya dimuat dalam peraturan mata uang adalah sebagai berikut:32

1. Macam, satuan dan harga mata uang Negara Republik Indonesia; 2. Uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); 3. Kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral;

4. Penukaran uang;

5. Pengawasan pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia; 6. Ketentuan pidana;

7. Ketentuan peralihan; 8. Ketentuan penutup.

Maka dengan disahkannya UU Mata Uang diharapkan bisa menjadi landasan hukum yang lebih kokoh dalam pengelolaan dan pengendalian Rupiah di masa mendatang. Dengan pengelolaan dan pengendalian Rupiah, kami harap bisa meningkatkan martabat bangsa di tingkat nasional maupun internasional. Dalam UU Mata Uang juga disepakati bahwa BI perlu berkoordinasi dengan pemerintah dalam perencanaan, pencetakan, dan pemusnahan Rupiah. Sedangkan terkait dengan pengeluaran, pengedaran, pencabutan, dan penarikan Rupiah, kewenangan

32

(46)

tersebut tetap menjadi otoritas penuh Bank Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan di bidang moneter.33

Ketentuan UU Mata Uang yakni untuk memenuhi kebutuhan uang di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, uang Rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan.

Dengan disahkannya UU Mata Uang maka setiap transaksi wajib menggunakan Rupiah. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat yang berada di perbatasan yang rentan menggunakan mata uang asing milik negara tetangga. UU Mata Uang merupakan manifestasi dari kesungguhan dan kebulatan tekad Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan pembangunan hukum nasional melalui pembentukan undang-undang yang mengatur masalah mata uang. Pengaturan pengelolaan Rupiah dalam perencanaan, pelaksanaan pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan, penarikan, dan pemusnahan. Pengelolaan mata uang untuk tahap perencanaan, bank Sentral harus berkoordinasi dengan pemerintah sebagai pelaksanaan checks and balances yang merupakan wujud dari penerapan prinsip good governance. Sebagai penyeimbang atau checks and

balances dalam pengelolaan Rupiah, maka tidak hanya pada tahap perencanaan

saja, namun pada tahap pemusnahan Rupiah yang sudah tidak dipergunakan, perlu ada koordinasi antara bank sentral dengan pemerintah.34

33

http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=295:uu -mata-uang-semua-komponen-bangsa-wajib-menggunakan-rupiah, diakseskan tanggal 6 Juni

2011

34

http://monitorindonesia.com/2011/05/ruu-mata-uang-sudah-disahkan-jadi-uu/

(47)

Selain itu pengajuan undang-undang ini juga dimaksudkan untuk menata kehidupan perekonomian Indonesia dan mempertegas kedudukan mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, berfungsi sebagai alat penukar atau alat pembayaran dan pengukur harga di Indonesia dan seluruh transaksi wajib menggunakan mata uang Rupiah. Jika melanggar maka terancam pidana.

C. Kejahatan Mata Uang dan Penanggulangannya

Dalam perspektif krimonologi, definisi kejahatan dapat dibagi menjadi dua yaitu legal definition of crime dan social definition of crime. Legal definitions of

crime artinya suatu perbuatan yang oleh Negara diberi label sebagai suatu

kejahatan. Sebagaimana dikatakan oleh W.A Bonger bahwa kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi negara berupa pemberian derta dan kemudian sebagai rekasi terhadap rumusan-rumusan hukum mengenai kejahatan.35

Berdasarkan perpektif kriminologi, nampaknya pembahasan selanjutnya yang berkaitan dengan bentuk kejahatan mata uang lebih mengarah kepada legal

definition of crime. Dalam perspektif hukum pidana, kejahatan sebagai legal

definition of crime masih dibedakan lagi dengan apa yang disebut sebagai mala in

se dan mala probibita.36 Dapatlah dikatakan bahwa mala in se adalah perbuatan-perbuatan yang sejak awal telah dirasakan sebagai suatu ketidakadilan karena bertentangan oleh kaedah-kaedah dalam masyarakat sebelum ditetapkan oleh

35

W.A. Bonger, pengantar tentang Kriminologi, diterjemahkan oleh R.A. Koesmoen, cetakan keempat, (Jakarta : Pustaka Sarjana, 1997), hal 21.

36

(48)

undang-undang sebagai suatu kejahatan. Sedangkan mala probibita perbuatan-perbuatan yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai suatu ketidakadilan.

Bentuk dan jenis kejahatan mata uang yang terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Bank Indonesia, ada beberapa kejahatan mata uang sebagai berikut:

1. Kejahatan mata uang mengarah pada felonies atau mala in se. Sebab pada dasarnya pemalsuan adalah perilaku menyimpang dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan kejahatan mata uang dalam UUBI lebih mengarah pada misdemeanors atau mala probibita. Artinya, perilaku tertentu dari orang atau badan hukum yang oleh pembentuk undang-undang dinyatakan sebagai pelanggaran.

2. Kejahatan mata uang dengan pemalsuan uang dapat dijerat dengan ketentuan dalam KUHP dan masih relevan hingga saat ini, akan tetapi untuk mensinkronkan perbuatan pidana baru yang berkaitan dengan mata uang dan lebih untuk mensinergikan sistem pemidanaan terhadap kejahatan mata uang, pengaturannya perlu secara khusus. Dengan berlakunya aturan khusus tersebut yang berkaitan dengan mata uang termasuk ketentuan pidana dan terlebih proses beracaranya dalam rangka law enforcement, kejahatan mata uang dalam KUHP dapat dicabut. 37

Untuk menanggulangi kejahatan mata uang, dari segi hukum material yang berlaku saat ini sebenarnya sudah cukup mengantisipasi kejahatan mata uang baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam UUBI. Akan tetapi dari segi hukum

37

(49)

formal perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan profesionalisme aparat, sarana dan prasarana. Dalam rangka penanggulangan preventif kejahatan mata uang, khususnya yang berkaitan dengan pemalsuan dan pengedarannya, Bank Indonesia adalah institusi yang sangat memegang peranan penting. Sebab, yang berhak dan mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan palsu atau tidaknya uang yang beredar adalah Bank Indonesia.

Dalam rangka penanggulangan secara represif, tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum semata, tetapi juga perlu campur tangan institusi lain tanpa mengecilkan arti institusi penegak hukum yang ada. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu:38

1. kejahatan mata uang acap kali dilakukan sebagai kejahatan terorganisir bahkan melibatkan orang-orang yang punya kedudukan dan status dalam masyarakat. 2. kejahatan mata uang adalah transnational crime yang melewati lintas batas

negara.

3. kejahatan mata uang adalah kejahatan yang sangat kompleks dalam pengertian tidak menyangkut motivasi ekonomi semata tetapi juga motivasi politik yang bertujuan terhadap instabilitas ekonomi suatu negara. Perihal kedua dan ketiga ini, banyak modus operandi pengedaran uang palsu yang bersumber dari luar negeri.

4. kejahatan mata uang, khususnya pemalsuan, sangat bersifat teknis sehingga untuk menentukan apakah uang tersebut palsu atau tidak, dibutuhkan keahlian tersendiri.

38

(50)

5. pembuktian kejahatan mata uang yang berkaitan dengan pemalsuan tidaklah mudah karena si tersangka selalu mengatakan ketidaktahuannya bahwa uang yang dibawanya adalah palsu.

Dalam kaitannya dengan penggunaan uang rupiah sebagai legal tender bagi wilayah Republik Indonesia, maka mata uang merupakan salah satu simbol kedaulatan negara, maka penggunaan mata uang Rupiah di wilayah Negara Republik Indonesia berarti penghormatan terhadap kedaulatan Indonesia, sementara penggunaan mata uang asing di wilayah Negara Republik Indonesia dengan mengesampingkan mata uang Rupiah berarti merupakan salah satu tindakan penjajahan terhadap kedaulatan Bangsa Indonesia khususnya di bidang ekonomi yang berpotensi besar untuk menyerang bidang-bidang lain di wilayah Republik Indonesia. Salah satu upaya penegakannya adalah dengan menegaskan dalam Currency Act bahwa Rupiah adalah satu-satunya legal tender untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, yang berarti penggunaannya adalah wajib dalam transaksi apapun dan siapapun selama di wilayah Indonesia dengan konsekuensi pidana bagi yang melanggar.39

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut ini: “Rupiah satu-satunya legal

tender di Indonesia” hanya dibenarkan untuk wilayah perbatasan, transaksi

internasional, dan daerah wisata, dengan pembatasan yang diatur dalam peraturan pemerintah.40

39

Mishkin, Frederic S. Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan. (Jakarta : Salemba Empat. 2008), hal 60.

40

(51)

Sementara di Indonesia batasan tentang legal tender diatur dalam UU Mata Uang yang berbunyi sebagai berikut :

1. Uang adalah alat pembayaran yang sah;

2. Mata uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah;

3. Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka untuk kategori legal tender tidak ada pembatasan wujud uang Rupiah, berarti tidak ada keharusan bahwa uang merupakan alat pembayaran yang sah adalah uang kartal baik uang kertas maupun uang koin sebagaimana yang berlaku di Republik Indonesia. Dalam hal ini yang terpenting adalah mata uang yang digunakan adalah Rupiah merupakan model alat bayarnya adalah terserah pada user, apakah memilih uang kartal atau alat pembayaran yang lain seprti cek, kartu kredit dan kartu debit serta berbagai alat pembayaran sejenis dengan metode non-currency. Sementara uang giral akan diatur dalam uandang-undang tersendiri tentang lalu lintas pembayaran.41

Keharusan penggunaan mata uang Rupiah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengingat mata uang merupakan salah satu simbol kedaulatan negara, yang harus ditegakkan keberadaannya. Selanjutnya dengan adanya UU Mata Uang diharapkan akan menambah kesadaran masyarakat

41

(52)

mengenai uang Rupiah. Ada pun pengaturan kejahatan terhadap mata uang dari UU Mata Uang yaitu:

1. Setiap orang dilarang menolak untuk menerima uang Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan dengan masalah uang kembalian bahwa sangat tegas pembayaran atau memenuhi kewajiban harus dengan uang, maka tidak ada alasan bagi pelaku usaha untuk menukarnya dengan permen.

2. Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau melakukan perubahan pada uang Rupiah.

3. Setiap orang dilarang memalsukan uang Rupiah serta menggunakan uang Rupiah jika diketahuinya merupakan uang Rupiah palsu.

(53)

satu-satunya legal tender di Indonesia, hanya dibenarkan untuk wilayah perbatasan, transaksi internasional, dan daerah wisata dengan pembatasan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pengaturan semacam ini juga dimasudkan sebagai upaya untuk mengangkat mata uang Rupiah di dunia internasional, urgensinya adalah agar mata uang kita punya nilai di mata masyarakat dunia. Selama ini kita menyadari di luar negeri tidak semua negara menyediakan penukaran uang Rupiah Indonesia. Hal ini berarti bahwa nilai Rupiah kita terperosok jauh dari negara-negara yang lain.42

Penanggulangan kejahatan melalui menegakkan tertib sosial dan melindungi hukum. Sementara dalam rangka menegakkan tertib sosial tersebut menurut Soejono Soekanto paling tidak ada empat faktor. Aturan Pertama, hukum itu sendiri baik dalam pengertian hukum material maupun hukum formal.

Kedua profesionalisme aparat. ketiga, sarana dan pra sarana. keempat atau yang

terakhir adalah keasadaran hukum masyarakat.43

Dalam konteks penanggulangan kejatahan mata uang, dari segi hukum material yang berlaku saat ini sebenarnya sudah cukup mengantisipasi kejahatan mata uang baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam UUBI. Akan tetapi dari segi hukum formal perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan profesionalisme aparat, sarana, dan prasarana. Oleh karena itu penanggulangan kejahatan mata uang yang dilakukan baik secara proventif maupun secara represif.

Dalam penanggulan preventif kejahatan mata uang khususnya yang berkaitan dengan pemalsuan dan pengedarannya, Bank Indonesia adalah institusi

42

Ibid

43

(54)

yang sangat memegang peranan penting. Sebab, yang berhak dan mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan palsu atau tidaknya uang yang beredar adalah Bank Indonesia. Hal ini secara implicit tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah.

Dalam perkembangan kejahatan terhadap mata uang mutakhir telah terjadi perubahan paradigma kejahatan terhadap mata uang, tidak hanya sebagai alat tukar tetapi juga sebagai alat politik dan penjajahan ekonomi dengan pelaku tidak hanya individu tetapi juga korporasi yang dilakukan secara terorganisir dan bersifat transnasional. Oleh karena itu, penanggulangan kejahatan terhadap mata uang membutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif dengan mengacu pada prinsip-prinsip kriminalitas.

Dalam kejahatan mata uang, penanggulangan secara represif tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum semata, tetapi juga perlu campur tangan institusi lain tanpa mengecilkan arti institusi penegak hukum yang ada. Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan :44

1. Kejahatan mata uang acap kali dilakukan sebagai kejahatan teorganisir, bahkan melibatkan orang-orang yang punya kedudukan dan status dalam masyarakat. Dalam konteks yang demikian, kejahatan mata uang dapat dikualifikasikan sebagai white collar crime seperti yang didefinisikan oleh

Sutherland sebagai crime commited by a person of respectability and high

social status in the couse of his occupation.

44

(55)

2. Kejahatan mata uang adalah international crime yang melewati lintas batas negara.

3. Kejahatan mata uang adalah kejahatan yang sangat kompleks dalam pengertian tidak menyangkut motivasi ekonomi semata tetapi juga motivasi politik yang bertujuan terhadap instabilitas ekonomi suatu negara.

4. Kejahatan mata uang, khususnya pemalsuan, sangat bersifat teknis sehingga untuk menentukan apakah uang tersebut palsu ataukah tidak, dibutuhkan keahlian tersendiri.

5. Pembuktian kejahatan mata uang yang berkaitan dengan pemalsuan tidaklah mudah karena si tersangka selalu mengatakan ketidak tahuannya bahwa uang yang dibawanya adalah palsu.

(56)

Indonesia untuk penelitian lebih lanjut guna mencegah terjadinya pemalsuan mata uang.

(57)

BAB III

SISTEM PENGEMBALIAN UANG KEMBALIAN PELANGGAN PADA INDUSTRI RETAIL DEPARTEMEN STORE DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perkembangan Industri Retail di Indonesia

Peta Industri Retail di Indonesia mulai diramaikan oleh pelaku asing sejak dilakukannya liberalisasi perdagangan pada tahun 1998. Sejak saat itu persaingan antar peritel semakin ketat. Peritel asing tersebut sangat aktif untuk melakukan investasi terutama dalam skala besar seperti hipermarket dan Department Store. Salah satu contohnya adalah Continent, Carrefour, Hero, Walmart, Yaohan,

Lotus, Mark & Spencer, dan Sogo. Ketatnya persaingan menyebabkan peta

industri retail sering mengalami perubahan, terutama akibat intensitas keluar-masuknya peritel asing serta akuisisi yang dilakukan peritel . Akuisisi cenderung dilakukan peritel besar untuk mengembangkan usaha r

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan PkM dilakukan dengan penyampaian materi dan diskusi tentang model pembelajaran inovatif berupa pembelajaran dengan menerapkan flipped classroom , pendidikan

Putri Musi Rawas mampu mengalahkan Pansa FC dengan skor yang besar. Hasil dari data yang diperoleh peneliti dari pada tim Putri Musi Rawas melawan Pansa FC yaitu

Peluang yang cukup besar untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian dengan memanfaatkan pestisida nabati sudah menunjukkan efektivitasnya sebagai insektisida dari

A vizsgált mutatók alapján a telepeket rangsoroltuk az SRD (Sum of Ranking Difference) módszerrel.. Az SRD módszert Héberger (2010) fejlesztette ki, és a módszer

(2) Kinerja guru Pendidikan Agama Islam dalam kompetensi pedagogik dalam pelaksanaan pembelajaran media yang digunakan ialah buku paket sebagai media yang utama dalam

Kesimpulan yang didapat dalam aplikasi ini adalah Aplikasi Pengolahan Data Persediaan dan Permintaan Raw Material menggunakan bahasa pemograman PHP, dandatabase

Tujuan dari dibuatnya Peraturan Derah Nomor 15 Tahun 2010 adalah untuk mendukung koordinasi antar pemangku kepentingan pembangunan daerah; Menjamin terciptanya

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengamh pcngendalian intern persediaan terhadap efektivitas sistem akuntansi persediaan barang logistik pada PTC. Kereta Api