• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Tablet Ibuprofen Dengan Sistem Dispersi Padat Diuji Secara In Vitro dan In Situ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Formulasi Tablet Ibuprofen Dengan Sistem Dispersi Padat Diuji Secara In Vitro dan In Situ"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

FORMULASI TABLET IBUPROFEN DENGAN SISTEM

DISPERSI PADAT DIUJI SECARA

IN VITRO DAN IN SITU

OLEH:

ANTETTI TAMPUBOLON

NIM 097014004

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

FORMULASI TABLET IBUPROFEN DENGAN SISTEM

DISPERSI PADAT DIUJI SECARA

IN VITRO DAN IN SITU

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ANTETTI TAMPUBOLON

NIM 097014004

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : Antetti Tampubolon

No. Induk Mahasiswa : 097014004

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Formulasi Tablet Ibuprofen Dengan

Sistem Dispersi Padat Diuji Secara In

Vitro dan In Situ

Tempat dan Tanggal Ujian Lisan Tesis : Medan, 24 Januari 2012

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001

Ketua

Prof. Dr. Karsono, Apt.

NIP 195409091982011001

Anggota

Medan, 17 Pebruari 2012 Ketua Program Studi, Dekan,

(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Antetti Tampubolon

No. Induk Mahasiswa : 097014004

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Formulasi Tablet Ibuprofen dengan

Sistem Dispersi Padat Diuji Secara In

Vitro dan In Situ

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji Tesis pada hari Selasa tanggal dua puluh empat bulan Januari tahun dua ribu dua belas

Mengesahkan:

Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt.

Anggota Tim Penguji : Prof. Dr. Karsono, Apt.

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

(5)

FORMULASI TABLET IBUPROFEN DENGAN SISTEM DISPERSI PADAT DIUJI SECARA IN VITRO DAN IN SITU

Abstrak

Tablet merupakan sediaan yang banyak mengalami perkembangan dari segi formulasi. Pengembangan formulasi ditujukan agar diperoleh sediaan yang cepat larut dengan sistem dispersi padat. Teknik dispersi padat dibuat dengan tujuan memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut air. Sistem dispersi padat dalam penelitian ini menggunakan ibuprofen sebagai bahan aktif yang praktis tidak larut air, merupakan analgesik antiinflamasi non steroid yang membutuhkan onset kerja yang cepat.

Untuk membuat dispersi padat digunakan ibuprofen sebagai bahan aktif dan PEG 6000 sebagai pembawa, untuk mempercepat waktu hancur tablet ditambahkan superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon. Dispersi padat dibuat dengan metode peleburan dalam beberapa perbandingan berat antara ibuprofen dan PEG 6000 yaitu: 1 : 0,25; 1 : 0,5; 1 : 0,75; 1 : 1; 1 : 1,25 dan 1 : 1,5 sebagai pembanding dibuat campuran fisik dengan perbandingan yang sama. Serbuk dispersi padat yang terbentuk dikarakterisasi sifat fisiko kimia meliputi : penetapan kadar zat aktif, pola difraksi sinar –X, SEM, DTA, IR dan uji laju disolusi. Dispersi padat 1 : 0,5 kemudian diformulasi menjadi tablet dengan komposisi superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon dengan perbandingan : 3% : 0 (A1); 5% : 0 (A2); 7% : 0 (A3); 0 : 3% (A4); 0 : 5% (A5); 0 : 7% (A6) dan 0 : 0 (A7). Tablet dikarakterisasi meliputi : kadar zat berkhasiat, kekerasan, kerengasan, waktu hancur, keseragaman sediaan dan dissolusi. Tablet dispersi padat A2 digunakan untuk pengujian absorpsi secara in situ teknik perfusi single pass yang dibandingkan dengan serbuk ibuprofen dan tablet generik.

Hasil penelitian menunjukkan dispersi padat 1 : 0,5 memperlihatkan persen kumulatif pelepasan obat paling baik yang berbeda signifikan (p<0,05) dengan formula dispersi padat dan campuran fisik lain. Hasil evaluasi dari tujuh formula tablet dispersi padat menunjukkan tablet A2 merupakan formula terbaik ditinjau dari waktu hancur dan persen kumulatif pelepasan obat yang berbeda signifikan (p<0,05) dari formula tablet yang lain. Pengujian absorpsi secara in situ teknik perfusi single pass menunjukkan tablet A2 paling banyak diabsorpsi dibandingkan tablet generik dan bahan baku tetapi tidak berbeda signifikan (p>0,05) pada menit ke 20, 30, 45, 60 dan 90.

(6)

IBUPROFEN TABLET FORMULATION WITH SOLID DISPERSION SYSTEM TESTED IN VITRO AND IN SITU

Abstract

Tablet is the most developed pharmaceutical dosage form. Formulation development was purposed to achieve solvable dosage form using solid dispersion system. Solid dispersion technique is made to reduced the particle size, increased the dissolution rate, and water-insoluble drug absoption. Solid dispersion system in this research was using ibuprofen as the active ingredient that practically not solvable in water, ibuprofen was an on non-steroid antiinflammation analgesic that needed a rapid on set of action.

Ibuprofen was used as active ingredients while PEG 6000 as an inert vehicle in making the solid dispersion, sodium crosskarmelose and crosspovidone, two superdesintegrants added to fasten the dissolution rate. The solid dispersion was made using melting method at diffrent ratios between ibuprofen and PEG 6000 included: 1 : 0.25; 1: 0.5; 1 : 0.75; 1 : 1; 1 : 1.25 and 1 : 1.5, as comparing, the physical mixture was made with the same ratio. The solid dispersion powder formed was characterized for its physicochemical properties included : active ingredient determination, X-ray diffraction pattern, SEM, DTA, IR, and dissolution rate test. The ratio 1 : 0.5 of solid dispersion was formulated to tablet with composition of sodium crosskarmelose superdisintegrant and crosspovidone with ratio of: 3% : 0% (A1); 5% : 0% (A2); 7% : 0% (A3); 0% : 3% (A4); 0% : 5% (A5); 0% : 7% (A6) and 0% : 0% (A7). The tablet was characterized for: the active ingredient content, friability, disintegration time, uniformity of dosage unit, and dissolution rate. A2 solid dispersion tablet was used for in situ absorption test using single pass perfusion technique that compared with ibuprofen standardized materiall and its generic tablet.

The result was ratio 1 : 0.5 of solid dispersion showed the drug release cumulative percentage which significantly different in statistic calculation (p<0.05) with solid dispersion formulation and other physical mixture. The evaluation result showed that of the seven solid dispersion formulation tablets, the A2 tablet was the best formula assessed from disintegration time and showed the best cumulative percentage in drug release that significantly different in statistical calculation (p<0.05) compared to the other tablet formula. The result of in situ absorption test using single pass perfusion technique, A2 solid dispersion tablet was the most absorbed compared to generic tablet and standarized material. The result showed that there was no significant difference in statistic calculation (p<0.05) at 20, 30, 45, 60 and 90 minutes.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih

dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Formulasi Tablet

Ibuprofen Dengan Sistem Dispersi Padat Diuji Secara In Vitro dan In Situ sebagai

salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak

mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.

Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terimakasih yang tiada

terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A(K)., atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan program Magister.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt., yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi

penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.

3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., dan juga selaku pembimbing II yang

memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis terpacu untuk

menyelesaikan pendidikan Program Magister Farmasi.

4. Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., selaku pembimbing I dan

juga selaku Kepala Laboratorium Biofarmasetika dan Farmakokinetika yang telah

membimbing, mengarahkan dan memberikan dorongan dengan penuh kesabaran

(8)

5. Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga,

MS., Apt., sebagai penguji.

6. Bapak Dr. Nurul Taufiqu Rochman, Kepala Laboratorium Penelitian Fisika LIPI

beserta staf.

7. Ibu Dra. Fat Aminah, M.Sc., Apt., Kepala Laboratorium Formulasi Tablet beserta

staf.

8. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., Kepala Laboratorium

Penelitian beserta staf.

Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu dalam penelitian tesis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa

memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah

diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga

tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya

bidang farmasi.

Medan, Pebruari 2012 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ………... i

LEMBAR PENGESAHAN ………... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 6

1.4 Hipotesis Penelitian ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 6

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Dispersi Padat ... 8

2.1.1 Latar Belakang Sejarah ... 8

2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat .. 9

2.1.2.1 Definisi ... 9

(10)

2.1.2.2.1 Metode Pelelehan ... 9

2.1.2.2.2 Metode Pelarutan ... 10

2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan 10

2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat ... 11

2.1.4 Pembawa Dispersi Padat ... 13

2.1.5 Metode Pembuatan Tablet ... 14

2.2 Ibuprofen ... 15

2.2.1 Sifat Fisikokimia ... 15

2.2.2 Farmakokinetik ... 16

2.2.3 Farmakodinamik ... 16

2.2.4 Indikasi dan Dosis Terapi ... 17

2.3 Absorpsi ... 17

2.3.1 Membran Sel ... 18

2.3.2 Transpor Molekul melalui Membran ... 19

2.3.3 Metode Absorpsi In Situ ... 21

2.3.3.1 Metode Perfusi Intestinal... 21

2.3.3.2 Metode Perfusi Intestinal Loop Terbuka atau Teknik Perfusi Single Pass ... 22

2.4 Usus Halus ... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Rancangan Penelitian ... 25

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Bahan dan Alat ... 26

3.3.1 Bahan ... 26

(11)

3.4 Hewan Percobaan ... 27

3.5 Prosedur Kerja ... 27

3.5.1 Pembuatan Pereaksi ... 27

3.5.1.1 Air Bebas Karbondioksida ... 27

3.5.1.2 Natrium Hidroksida 0,1 N... 27

3.5.1.3 Natrium Hidroksida 0,2 N ... 27

3.5.1.4 Kalium Fosfat Monobasa 0,2 M ... 27

3.5.1.5 Dapar Fosfat pH 5,9 isotonis ... 28

3.5.1.6 Dapar Fosfat pH 7,2 ... 28

3.5.1.7 Larutan Fisiologis NaCl 0,9 % ... 28

3.5.2 Pembuatan Kurva Serapan Ibuprofen ... 28

3.5.2.1 Dalam Medium NaOH 0,1 N ... 28

3.5.2.2 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 5,9 Isotonis ... 29

3.5.2.3 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 7,2 ... 29

3.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Ibuprofen ... 29

3.5.3.1 Dalam Medium NaOH 0,1 N ... 29

3.5.3.2 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 5,9 Isotonis ... 30

3.5.3.3 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 7,2 ... 30

3.5.3.4 Pembuatan Dispersi Padat dan Campuran Fisik ... 31

3.5.4 Karakterisasi Serbuk Dispersi Padat ... 31

3.5.4.1 Uji perolehan kembali zat aktif dalam sistem dilakukan dengan penetapan kadar zat berkhasiat dalam serbuk dispersi padat dan campuran fisik ... 31

(12)

3.5.4.3 Scanning Elektron Mikroskop (SEM) ... 32

3.5.4.4 Diffrensial Thermal Analyzer (DTA) ... 32

3.5.4.5 Spectra Fourier-Transform IR …………... 33

3.5.4.6 Uji Disolusi ……… 33

3.5.5 Pembuatan Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat 34

3.5.6 Uji Praformulasi ... 34

3.5.6.1 Sudut Diam ... 34

3.5.6.2 Waktu Alir Granul ... 35

3.5.6.3 Indeks Tap ... 35

3.5.7 Karakterisasi Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat ... 36

3.5.7.1 Penetapan kadar Zat berkhasiat ... 36

3.5.7.2 Uji Kekerasan ... 36

3.5.7.3 Uji Kerengasan ... 37

3.5.7.4 Keseragaman Sediaan ... 37

3.5.7.5 Uji Waktu Hancur ... 38

3.5.7.6 Uji Disolusi ... 38

3.5.7 Absorbsi Secara In Situ dalam Duodenum Tikus ... 39

3.5.8.1 Pembedahan ... 39

3.5.8.2 Pengujian Absorbsi secara In Situ Teknik Perfusi Single Pass ... 39

3.6 Analisa Data ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Karakterisasi Dispersi Padat ... 42

4.1.1 Difraksi sinar - X (X.R.D) ... 42

(13)

4.1.3 Scanning Elektron Microscopy (SEM) ... 48

4.1.4 Spektra Fourier Transform Infra Merah ... 51

4.1.5 Uji Perolehan kembali Zat Aktif ... 55

4.1.6 Uji Pelepasan Obat ... 55

4.2 Pembuatan Tablet Ibuprofen sistem Dispersi Padat ... 58

4.3 Karakterisasi Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat ... 59

4.3.1 Penetapan Zat Berkhasiat ... 59

4.3.2 Uji Kekerasan ... 59

4.3.3 Uji Kerengasan ... 60

4.3.4 Uji Waktu Hancur ... 61

4.3.5 Keseragaman Sediaan ... 62

4.3.6 Uji Pelepasan Obat secara In Vitro ... ... 63

4.4. Pengujian Absorpsi secara In Situ Teknik Perfusi Single Pass ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1 Kesimpulan ... 70

5.2 Saran ... 70

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Formula Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat dengan

Variasi Komposisi Superdisintegrant ... 34

Tabel 4.1 Hasil Penetapan Kadar Ibuprofen dalam berbagai Formula

Dispersi Padat dan Campuran Fisik ... 55

Tabel 4.2 Hasil Uji Pra Formulasi berbagai Formula Tablet Ibuprofen

Sistem Dispersi Padat ... 58

Tabel 4.3 Hasil Penetapan Kadar Ibuprofen dalam berbagai Formula

Tablet Sistem Dispersi Padat ... 59

Tabel 4.4 Hasil Uji Kekerasan dari berbagai Formula Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat ... 60

Tabel 4.5 Hasil Uji Friabilitas dari berbagai Formula Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat ... 60

Tabel 4.6 Hasil Uji Waktu Hancur berbagai Formula Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat ... 61

Tabel 4.7 Hasil Uji Keragaman Bobot berbagai Formula Tablet IbuprofenSistem Dispersi Padat ... 62

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian ……….... 5

Gambar 2.1 Fase Diagram Sistem Eutetik ... 12

Gambar 2.2 Rumus Bangun Ibuprofen ... 16

Gambar 4.1 Grafik hasil Difraksi Sinar- X dari: (a) Ibuprofen (b) PEG 6000 (c) Dispersi Padat 1 : 0,5 (d) Dispersi Padat 1 : 1 (e) Campuran Fisik 1 : 0,5 dan (f)

Campuran Fisik 1 : 1 ... 45

Gambar 4.2 Grafik yang menggambarkan Diffrential Thermal Analyzer dari: (a) Ibuprofen (b) PEG 6000 (c) Dispersi Padat 1 : 0,5 (d) Dispersi Padat 1 : 1 (e)

Campuran Fisik 1 : 0,5 dan (f) Campuran Fisik 1 : 1 ... 47

Gambar 4.3 Ukuran partikel dilihat menggunakan SEM dari: (a) Ibuprofen (b) PEG 6000 (c) Dispersi Padat 1 : 0,5 (d) Dispersi Padat 1 : 1 (e) Campuran Fisik 1 : 0,5

dan (f) Campuran Fisik 1 : 1 ... 51

Gambar 4.4 Grafik Spektrum Fourier-Transform Infra Red dari: (a) Ibuprofen (b) PEG 6000 (c) Dispersi Padat 1 : 0,5 (d) Dispersi Padat 1 : 1 (e) Campuran Fisik 1 : 0,5 dan

(e) Campuran Fisik 1 : 1 ... 54

Gambar 4.5 Profil disolusi dari: (a) Ibuprofen, berbagai formula Dispers i padat dan campuran fisik (b) Ibuprofen dan berbagai formula dispersi padat dan (c)

Ibuprofen dan berbagai Formula campuran fisik ... 58

Gambar 4.6 Profil disolusi dari: (a) Berbagai formula tablet dispersi Padat (b) Tablet dispersi padat dengan superdesinteg- rant natrium kroskarmelosa dan (c) Tablet dispersi

padat dengan superdesintegrant Krospovidon ... 65

Gambar 4.7 Tablet Dispersi Padat dalam berbagai Formula ... 66

Gambar 4.8 Grafik Ibuprofen yang tidak terabsorpsi ... 67

Gambar 4.9 Grafik Ibuprofen yang terabsorpsi ... 67

Gambar 4.10 Grafik Ibuprofen yang terabsorpsi dengan persamaan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kurva Absorpsi Ibuprofen dalam NaOH 0,1N ……… 76

Lampiran 2 Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam NaOH 0,1N ……… 77

Lampiran 3 Kurva Absorpsi Ibuprofen dalam Dapar Fosfat pH 7,2 78

Lampiran 4 Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam Dapar Fosfat pH 7,2 . 79

Lampiran 5 Kurva Absorpsi Ibuprofen pada Duodenum Tikus secara In Situ dalam Dapar Fosfat pH 5,9

Isotonis ... ... 80

Lampiran 6 Kurva Kalibrasi Ibuprofen dalam Dapar Fosfat

pH 5,9 Isotonis ... 81

Lampiran 7 Data Uji Penetapan Kadar Ibuprofen dalam

Dispersi Padat dan Campuran Fisik ... 82

Lampiran 8 Data Uji Pelepasan Obat In Vitro Menggunakan Dissolution Tester dari Ibuprofen, Dispersi Padat

dan Campuran Fisik... 88

Lampiran 9 Data Uji Penetapan Kadar Tablet Ibuprofen Sistem

Dispersi Padat ... 127

Lampiran 10 Perhitungan Keragaman Bobot ………... 131

Lampiran 11 Data Uji Keragaman Bobot Tablet Ibuprofen Sistem

Dispersi Padat ……… 135

Lampiran 12 Data Uji Pelepasan Obat In Vitro Menggunakan Dissolution Tester dari Tablet Ibuprofen Sistem

Dispersi Padat ... 142

Lampiran 13 Contoh Perhitungan Konsentrasi Larutan Obat

Ibuprofen 0,9977 mmol ... 163

Lampiran 14 Contoh Perhitungan Konsentrasi Ibuprofen yang Terabsorbsi dari Ibuprofen secara In Situ dalam

Duodenum Tikus Jantan Galur Wistar ... 164

(17)

Duodenum Tikus Jantan Galur Wistar ... 166

Lampiran 16 Data Uji Ibuprofen yang Terabsorbsi dari Ibuprofen, Tablet Dispersi Padat dan Tablet Generik secara In Situ dalam Duodenum Tikus

Jantan Galur Wistar ... 167

Lampiran 17 Penentuan Persamaan Regresi Ibuprofen yang Terabsorpsi secara In Situ dalam Duodenum Tikus

Jantan Galur Wistar ... 168

Lampiran 18 Hasil Uji Anova dan Duncan Pelepasan Obat Secara in vitro dari Ibuprofen, dan berbagai

Formula Dispersi Padat serta Campuran Fisik ... 170

Lampiran 19 Hasil Uji Anova dan Duncan Pelepasan Obat Secara In Vitro dari Berbagai Formula Tablet

Sistem Dispersi Padat ... . 178

Lampiran 20 Hasil Uji Anova dan Duncan Ibuprofen yang Terabsorpsi dari Sediaan Ibuprofen, Tablet Dispersi Padat dan Generik secara In Situ ... 185

Lampiran 21 Sertifikat Analisa Bahan Baku Ibuprofen ... 188

Lampiran 22 Sertifikat Hewan Percobaan …………... 189

Lampiran 23 Gambar Percobaan Absorpsi secara In Situ

Teknik Perfusi Single Pass ... 190

(18)

FORMULASI TABLET IBUPROFEN DENGAN SISTEM DISPERSI PADAT DIUJI SECARA IN VITRO DAN IN SITU

Abstrak

Tablet merupakan sediaan yang banyak mengalami perkembangan dari segi formulasi. Pengembangan formulasi ditujukan agar diperoleh sediaan yang cepat larut dengan sistem dispersi padat. Teknik dispersi padat dibuat dengan tujuan memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut air. Sistem dispersi padat dalam penelitian ini menggunakan ibuprofen sebagai bahan aktif yang praktis tidak larut air, merupakan analgesik antiinflamasi non steroid yang membutuhkan onset kerja yang cepat.

Untuk membuat dispersi padat digunakan ibuprofen sebagai bahan aktif dan PEG 6000 sebagai pembawa, untuk mempercepat waktu hancur tablet ditambahkan superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon. Dispersi padat dibuat dengan metode peleburan dalam beberapa perbandingan berat antara ibuprofen dan PEG 6000 yaitu: 1 : 0,25; 1 : 0,5; 1 : 0,75; 1 : 1; 1 : 1,25 dan 1 : 1,5 sebagai pembanding dibuat campuran fisik dengan perbandingan yang sama. Serbuk dispersi padat yang terbentuk dikarakterisasi sifat fisiko kimia meliputi : penetapan kadar zat aktif, pola difraksi sinar –X, SEM, DTA, IR dan uji laju disolusi. Dispersi padat 1 : 0,5 kemudian diformulasi menjadi tablet dengan komposisi superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon dengan perbandingan : 3% : 0 (A1); 5% : 0 (A2); 7% : 0 (A3); 0 : 3% (A4); 0 : 5% (A5); 0 : 7% (A6) dan 0 : 0 (A7). Tablet dikarakterisasi meliputi : kadar zat berkhasiat, kekerasan, kerengasan, waktu hancur, keseragaman sediaan dan dissolusi. Tablet dispersi padat A2 digunakan untuk pengujian absorpsi secara in situ teknik perfusi single pass yang dibandingkan dengan serbuk ibuprofen dan tablet generik.

Hasil penelitian menunjukkan dispersi padat 1 : 0,5 memperlihatkan persen kumulatif pelepasan obat paling baik yang berbeda signifikan (p<0,05) dengan formula dispersi padat dan campuran fisik lain. Hasil evaluasi dari tujuh formula tablet dispersi padat menunjukkan tablet A2 merupakan formula terbaik ditinjau dari waktu hancur dan persen kumulatif pelepasan obat yang berbeda signifikan (p<0,05) dari formula tablet yang lain. Pengujian absorpsi secara in situ teknik perfusi single pass menunjukkan tablet A2 paling banyak diabsorpsi dibandingkan tablet generik dan bahan baku tetapi tidak berbeda signifikan (p>0,05) pada menit ke 20, 30, 45, 60 dan 90.

(19)

IBUPROFEN TABLET FORMULATION WITH SOLID DISPERSION SYSTEM TESTED IN VITRO AND IN SITU

Abstract

Tablet is the most developed pharmaceutical dosage form. Formulation development was purposed to achieve solvable dosage form using solid dispersion system. Solid dispersion technique is made to reduced the particle size, increased the dissolution rate, and water-insoluble drug absoption. Solid dispersion system in this research was using ibuprofen as the active ingredient that practically not solvable in water, ibuprofen was an on non-steroid antiinflammation analgesic that needed a rapid on set of action.

Ibuprofen was used as active ingredients while PEG 6000 as an inert vehicle in making the solid dispersion, sodium crosskarmelose and crosspovidone, two superdesintegrants added to fasten the dissolution rate. The solid dispersion was made using melting method at diffrent ratios between ibuprofen and PEG 6000 included: 1 : 0.25; 1: 0.5; 1 : 0.75; 1 : 1; 1 : 1.25 and 1 : 1.5, as comparing, the physical mixture was made with the same ratio. The solid dispersion powder formed was characterized for its physicochemical properties included : active ingredient determination, X-ray diffraction pattern, SEM, DTA, IR, and dissolution rate test. The ratio 1 : 0.5 of solid dispersion was formulated to tablet with composition of sodium crosskarmelose superdisintegrant and crosspovidone with ratio of: 3% : 0% (A1); 5% : 0% (A2); 7% : 0% (A3); 0% : 3% (A4); 0% : 5% (A5); 0% : 7% (A6) and 0% : 0% (A7). The tablet was characterized for: the active ingredient content, friability, disintegration time, uniformity of dosage unit, and dissolution rate. A2 solid dispersion tablet was used for in situ absorption test using single pass perfusion technique that compared with ibuprofen standardized materiall and its generic tablet.

The result was ratio 1 : 0.5 of solid dispersion showed the drug release cumulative percentage which significantly different in statistic calculation (p<0.05) with solid dispersion formulation and other physical mixture. The evaluation result showed that of the seven solid dispersion formulation tablets, the A2 tablet was the best formula assessed from disintegration time and showed the best cumulative percentage in drug release that significantly different in statistical calculation (p<0.05) compared to the other tablet formula. The result of in situ absorption test using single pass perfusion technique, A2 solid dispersion tablet was the most absorbed compared to generic tablet and standarized material. The result showed that there was no significant difference in statistic calculation (p<0.05) at 20, 30, 45, 60 and 90 minutes.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et

al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

sediaan tablet. Tablet merupakan salah satu sediaan yang banyak mengalami

perkembangan dari segi formulasi. Pengembangan formulasi ditujukan agar

diperoleh sediaan yang lebih cepat larut sehingga dapat meningkatkan laju absorpsi

dan bioavailabilitas obat (Aiache, 1982). Pengembangan formula dimaksud adalah

tablet dengan sistem dispersi padat.

Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam suatu pembawa

inert atau matriks dalam bentuk padat yang dibuat dengan metode peleburan,

pelarutan atau pelarutan-peleburan. Teknik dispersi padat pertama kali diperkenalkan

oleh Sekiguchi dan Obi tahun 1961 dengan pembawa yang mudah larut diantaranya:

polivinilpirolidon, polietilen glikol, dan urea dengan tujuan untuk memperkecil

ukuran partikel, meningkatkan laju dissolusi dan absorpsi obat yang tidak larut dalam

air (Chiou dan Riegelman, 1971).

Laju disolusi atau kecepatan melarut obat yang relatif tidak larut dalam air telah

lama menjadi masalah pada industri farmasi. Ibuprofen termasuk pada senyawa

model biopharmaceutical classifikasi system (BCS) II, permeabilitas tinggi kelarutan

rendah (Daham dan Amidon, 2009). Untuk obat yang mempunyai kelarutan rendah

laju disolusi merupakan tahap penentu pada proses absorpsi obat (Shargel dan Yu,

(21)

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas

digunakan diantaranya adalah polietilen glikol (PEG). Umumnya, PEG dengan bobot

molekul 1500 - 20.000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan

bobot molekul 4000 - 6000 paling sering digunakan untuk pembuatan dispersi padat.

Umumnya proses pembuatan dispersi padat dengan PEG 6000 menggunakan metode

peleburan karena lebih sederhana dan murah (Leuner dan Dressman, 2000).

Sistem dispersi padat menggunakan ibuprofen sebagai bahan aktif yang praktis

tidak larut dalam air dan polietilen glikol 6000 digunakan sebagai pembawa inert

yang mudah larut dalam air. Ibuprofen merupakan golongan obat anti-inflamasi non

steroid derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas anti radang dan analgesik

yang tinggi, terutama digunakan untuk mengurangi rasa nyeri akibat peradangan

pada kondisi rematik dan arthritis (Trevor, et al., 2005). Terapi demikian umumnya

membutuhkan pelepasan obat yang cepat dan segera mendapatkan respon

farmakologi yang diinginkan, sehingga ibuprofen sesuai dibuat dengan sistem

dispersi padat.

Hasil penelitian melaporkan bahwa sistem dispersi padat dapat meningkatkan

kelarutan dan bioavailabilitas dari ibuprofen dengan menggunakan PEG 8000 (Newa,

et al., 2008a). Demikian pula halnya, dapat terjadi peningkatan kelarutan ibuprofen

dengan menggunakan PEG 4000 (Newa, et al., 2008b). Beberapa penelitian

sebelumnya melaporkan bahwa terjadi pembentukan kompleks dan interaksi antara

ibuprofen dengan polivinilasetat ftalat dan polivinilpirolidon serta interaksi antara

ibuprofen dengan eudragit RL 100 dalam sistem dispersi yang dibuat dengan tehnik

pelarutan (Kumar dan Yang 2001; Pignatello, et al., 2004). Pembentukan campuran

eutektik ibuprofen dengan setil alkohol terjadi selama proses penyalutan tablet

(22)

Sistem dispersi padat dengan obat ibuprofen digunakan untuk pengembangan

formula tablet. Tablet diformulasi dengan metode cetak langsung karena metode ini

lebih mudah dan murah (Lieberman, et al., 1990). Untuk mempercepat desintegrasi

tablet ditambahkan superdesintegrant (bahan penghancur). Bahan penghancur akan

membantu hancurnya tablet menjadi granul, selanjutnya menjadi partikel penyusun,

sehingga akan meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Pemilihan jenis dan jumlah

superdesintegrant yang tepat sangat penting dalam pengembangan formula tablet.

Untuk mempercepat hancurnya tablet sistem dispersi padat dipilih krospovidon dan

natrium kroskarmelosa sebagai superdesintegrant, karena bahan ini mempunyai

mekanisme aksi kapiler (wicking) dan mengembang (swelling) (Rowe, et al., 2003).

Menurut Ansel (1989) obat yang diberikan secara oral harus menembus

membran lambung usus (lambung-usus halus dan usus besar). Absorpsi obat melalui

saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif. Absorpsi obat di usus halus

selalu lebih cepat dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh

lebih luas dibandingkan epitel lambung (Ganiswara, 1995).

Banyak variasi metode yang digunakan untuk meneliti absorpsi obat di usus,

diantaranya adalah metode in situ. Metode ini adalah metode yang paling dekat

dengan sistem in vivo. Metode in situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in

vitro, meskipun hewan telah dianastesi dan dimanipulasi secara pembedahan aliran

darah mesentrik masih tetap utuh (Griffin dan Driscol, 2006).

Dari uraian tersebut diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang

formulasi tablet ibuprofen dengan sistem dispersi padat yang diuji secara in vitro dan

(23)

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka diharapkan sistem dispersi padat dapat

meningkatkan laju disolusi ibuprofen yang kemudian dikembangkan menjadi tablet

cepat larut dengan menggunakan superdesintegrant. Pengamatan dimulai dari

pembuatan dispersi padat dan karakterisasinya, pembuatan sediaan tablet,

karakterisasi fisik, pelepasan secara in vitro dan absorpsi in situ pada usus halus

tikus. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah : 1) untuk dispersi padat

adalah uji perolehan kembali zat aktif, pola difraksi sinar X, SEM, DTA, IR serta

disolusi, dan 2) untuk tablet dispersi padat, antara lain: kadar zat aktif, kekerasan,

kerengasan, keragaman bobot, waktu hancur, disolusi, dan absorpsi secara in situ.

Secara skematis kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

(24)

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian PEG

6000

Ibuprofen

Dispersi padat

Karakterisasi

Pola difraksi sinar

S E M

Uji perolehan kembali zat aktif

Karakterisasi Fisik

Kekerasan

Kerengasan

Keseragaman bobot

Waktu hancur

Profil pelepasan

in vitro

Super Desintegrant

Tablet dispersi

padat

Absorpsi secara

in situ

D.T.A

I.R

Disolusi

Kadar zat berkhasiat

Disolusi Uji

Praformulasi

Sudut Diam

Waktu Alir Granul

(25)

1.3 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a) Apakah perbedaan jumlah PEG 6000 dan ibuprofen dalam sistem dispersi padat

mempengaruhi laju disolusi ibuprofen?

b) Apakah superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon dalam tablet

sistem dispersi padat akan mempengaruhi laju disolusi tablet ibuprofen?

c) Apakah tablet ibuprofen sistem dispersi padat dapat diabsorpsi secara in situ pada

usus halus tikus?

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian diatas, maka dapat diambil

hipotesis sebagai berikut:

a) Perbedaan jumlah PEG 6000 dan ibuprofen dalam sistem dispersi padat

mempengaruhi laju disolusi ibuprofen.

b) Perbedaan superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan krospovidon dalam

tablet sistem dispersi padat mempengaruhi laju disolusi tablet ibuprofen.

c) Tablet ibuprofen sistem dispersi padat dapat diabsorpsi secara in situ pada usus

halus tikus.

1.5 Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui perbedaan jumlah PEG 6000 dan ibuprofen dalam sistem

dispersi padat mempengaruhi laju disolusi ibuprofen.

b) Untuk mengetahui perbedaan superdesintegrant natrium kroskarmelosa dan

krospovidon dalam tablet sistem dispersi padat mempengaruhi laju disolusi

(26)

c) Untuk mengetahui tablet ibuprofen sistem dispersi padat dapat diabsorpsi

secara in situ pada usus halus tikus.

1.6 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi formulasi pada industri farmasi dalam memformulasi

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispersi Padat

2.1.1 Latar Belakang Sejarah

Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau

ulang secara komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada

saluran pencernaan dibatasi oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya

meningkatkan laju absorpsi dan bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat

yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis terapi griseofulvin menurun sampai

50% dengan mikronisasi (Chiou dan Riegelman, 1971), dan juga menghasilkan level

darah yang lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun

sampai setengahnya hanya dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963).

Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat

dilakukan dengan: a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling

(balmilling), c) mikronisasi energi cairan, d) pengendapan terkontrol dengan

perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik, dan semprot kering

(spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f)

pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral

akan mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan.

2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat

(28)

Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert

atau matris pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau

pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2 Metode Persiapan Dispersi Padat

2.1.2.2.1 Metode Pelelehan

Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk

membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air

dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan

dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat

dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut

biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu

kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai

tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan

mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah

kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses

pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem

campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah

banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses

(29)

2.1.2.2.2 Metode Pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal

campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi

padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut

umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat

dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965),

sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Salah satu syarat penting

untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan adalah bahwa obat dan

pembawa cukup larut dalam pelarut. Suhu yang digunakan untuk penguapan pelarut

biasanya terletak pada kisaran 23-65º C (Leuner dan Dressman, 2000). Keuntungan

utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena

penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal,

kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari

pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut

umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal

(Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan

Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang

sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah

(30)

2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat

Sistem dispersi padat dapat digolongkan berdasarkan mekanisme lepas

cepatnya. Sistem ini dapat digolongkan menjadi enam kelompok sebagai berikut

(Chiou dan Riegelman, 1971; Leuner dan Dressman, 2000);

1. Campuran eutetik sederhana.

2. Larutan padat.

3. Larutan kaca dan suspensi kaca.

4. Endapat amorf obat dalam pembawa kristal.

5. Pembentukan senyawa atau kompleks antara obat dan pembawa.

6. Berbagai kombinasi dari kelompok 1 sampai 5.

Campuran Eutetik Sederhana

Campuran ini dibuat dengan pemadatan cepat dari cairan yang melebur dari dua

komponen yang menunjukkan ketercampuran cairan sempurna dan kelarutan

padat-padat yang dapat diabaikan (Chiou dan Riegelman, 1971). Sifat ini dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

Ketika eutetis yang terdiri dari obat yang sukar larut terpapar pada air atau

cairan saluran pencernaan, obat dapat dilepas ke dalam medium cairan dalam bentuk

kristal halus (Sekiguchi dan Obi, 1961). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kedua

komponen dapat terkristalisasi menjadi ukuran partikel kecil secara bersamaan

(Chiou dan Riegelman, 1971). Peningkatan area spesifik karena pengurangan ukuran

partikel ini, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi oral dari obat yang sukar larut.

Sebagai tambahan atas pengurangan ukuran partikel, faktor berikut dapat membantu

(31)

Gambar 2.1 Fase Diagram Sistem Eutetik

1. Peningkatan kelarutan obat dapat terjadi jika sebagian obat kristalnya sangat

kecil (Martin, et al., 1969).

2. Efek pelarutan oleh pembawa mungkin terjadi pada lapisan difusi yang

menyelubungi partikel obat pada tahap awal disolusi karena pembawa larut

sempurna dalam waktu yang singkat (Goldberg, et al., 1966)

3. Tidak adanya agregasi dan aglomerasi antara kristal halus obat hidrofobik

murni, memainkan peranan penting dalam peningkatan laju disolusi dan

absorpsi (Chiou dan Riegelman, 1971).

4. Keterbasahan dan dispersibilitas obat dari sistem eutetik atau sistem dispersi

padat lain yang dibuat dari matriks yang larut air menghasilkan peningkatan

laju disolusi obat dalam media cair. Hal ini dikarenakan setiap kristal obat

dikelilingi oleh pembawa larut yang siap larut dan menyebabkan air

bersentuhan dan membasahi partikel obat (Sekiguchi dan Obi, 1961).

5. Peningkatan laju disolusi dan juga dapat terjadi jika obat terkristalisasi

dalam bentuk metastabil setelah pemadatan larutan. Bentuk metastabil

memiliki kelarutan yang lebih tinggi sehingga laju disolusi menjadi lebih

(32)

Eutetik dibentuk oleh interaksi atom atau molekuler yang longgar yang tidak

terlibat dalam pembentukan ikatan kimia.

2.1.4 Pembawa Dispersi Padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah

luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG),

polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula,

poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer tambahan

dari etilen oksida dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah

rata-rata gusus oksietilen (Ditjen POM, 1995). PEG umumnya mempunyai bobot

melekul antara 200-300.000, konsistensinya sangat dipengaruhi oleh berat

molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 berbentuk cair, PEG dengan bobot

molekul 800-1500 konsistensinya seperti vaselin, PEG dengan bobot molekul

2000-6000 menyerupai lilin dan bobot molekul diatas 20.000 berbentuk kristal keras dan

kaku pada temperatur kamar (Leuner dan Dressman, 2000). Umumnya PEG dengan

bobot molekul 1500-20.000 digunakan untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan

bobot molekul 4000-6000 paling sering digunakan untuk pembuatan sistem dispersi

padat. Titik lebur PEG untuk setiap tipenya dibawah 65º C (misalnya PEG 1000

mempunyai titik lebur 30-40º C, PEG 4000 mempunyai titik lebur 50-58º C dan PEG

20.000 mempunyai titik lebur 60-63º C). Titik lebur yang relatif rendah

menguntungkan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan (Price,

(33)

2.1.5 Metode Pembuatan Tablet

Secara umum cara pembuatan tablet adalah dengan metode granulasi basah,

granulasi kering dan cetak langsung (Ditjen POM, 1995). Sistem dispersi padat

dengan obat ibuprofen digunakan untuk pengembangan formula tablet. Tablet

diformulasi dengan metode cetak langsung karena metode ini lebih mudah dan murah

(Lieberman, et al., 1990). Metode cetak langsung juga merupakan pilihan utama

untuk membuat tablet dengan kandungan zat aktif yang termolabil dan sensitif

terhadap kelembaban (Goel, et al., 2008). Cara ini hanya dilakukan untuk

bahan-bahan tertentu saja, yang berbentuk kristal/butir-butir granul yang mempunyai

sifat-sifat yang diperlukan untuk membuat tablet yang baik, dan dapat mengalami

peristiwa deformasi plastis pada saat pencetakan. Bahan-bahan ini mempunyai sifat

free-flowing, sehingga memungkinkan untuk dicetak langsung dan mempunyai

kohesifitas dan kekompakan yang baik (Lachman, et al., 1994). Tablet yang dibuat

cetak langsung mempunyai waktu hancur tablet yang relatif lebih cepat. Bahan

tambahan yang digunakan agar tablet cepat hancur adalah bahan penghancur

(desintegrant).

Menurut Dobetti (2000) beberapa non-effervescent desintegrant yang dapat

digunakan antara lain:

a. Amilum dan amilum termodifikasi (modified amylum). Kelompok ini meliputi

amilum alamiah (seperti amilum jagung dan amilum kentang), amilum cetak

langsung (seperti starch 1500), amilum termodifikasi (seperti

carboxymethylstarches dan natrium amilum glikolat/sodium starch glokolate) dan

turunan amilum (seperti amilosa)

(34)

c. Selulosa termodifikasi seperti natrium CMC serkait silang (cross-linked sodium

carboxymethylcellulose)

d. Asam alginat dan natrium alginat

e. Selulosa mikrokristal (microcrystaline cellulose)

f. Garam kopolimer asam metakrilat-divinilbenzene (methacrylic

acid-devinylbenzene copolymer salts).

Selulose termodifikasi (modified cellulose) merupakan bahan yang sangat

penting dalam sistem disintegrasi oral karena bahan ini menghasilkan desintegrasi

yang cepat sehingga disebut juga superdesintegrant (Goel, et al., 2008). Natrium

kroskarmelosa merupakan garam natrium terkait silang dari karboksimetil selulosa,

yang memiliki kapasitas mengembang yang besar serta digunakan pada konsentrasi

antara 0,5 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).

Krospovidon merupakan turunan polivinilpirolidon yang tak larut dalam air,

menunjukkan aktivitas kapiler yang tinggi dan meningkatkan kapasitas hidrasi,

dengan kecenderungan yang kecil untuk membentuk gel. Konsentrasi efektifnya

dicapai pada 2,0 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).

2.2 Ibuprofen

2.2.1 Sifat Fisikokimia

Ibuprofen

(

(±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat

)

dengan rumus molekul

C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang

(35)

Gambar 2.2 Rumus Bangun Ibuprofen

Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.

Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol,

aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995). Larut

dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat (Reynolds, 1989). Senyawa ini

mempunyai titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4 ; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0

(Moffat, et al., 2005).

2.2.2 Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan

bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai

setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan

protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif

rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2-4 jam.

Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit

atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi

(Stoelting, 2006; Katzung, 1995; Sinatra, et al., 1992).

2.2.3 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan

(36)

tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam

pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,

basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,

mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan

menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

2.2.4 Indikasi dan Dosis Terapi

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang,

khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout

(Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan hingga

sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri

haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk

demam pada anak-anak 5 mg/ kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/ kg

berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, et al.,

2002).

2.3 Absorpsi

Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh

setelah melewati sawar biologik.

Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab itu

laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan tubuh

(saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam cairan

tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

Zat aktif Penyerapan

(37)

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip yang diungkapkan oleh Bennet :

sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam

cairan disekitar membran.

Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat

aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut

tahapan sebagai berikut;

Pelepasan Pelarutan Difusi

Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan

mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan

zat aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif

sediaan obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.

Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan

zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat

mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)

(Aiache, 1982).

2.3.1 Membran Sel

Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen

yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur

membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa

kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran

cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel

organ atau reseptor obat.

Obat (Zat aktif +pembawa)

Zat Aktif terlepas

Zat Aktif terlarut

(38)

Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari

komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu:

1. Lapisan lemak bimolekul.

Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan

fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak

bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai

hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan

gugus gliserilfosfat fosfolipid.

2. Protein

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada

pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus

hidrofil dan hidrofob.

3. Mukopolisakarida

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak

dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti

glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

2.3.2 Transpor Molekul melalui Membran

Proses transpor melewati membran terjadi melalui beberapa mekanisme

(Simanjuntak, 1991; Shargel dan Yu, 2005) yaitu;

1. Transpor Pasif

Transpor pasif terdiri dari :

(39)

Dimana proses difusi dapat berlangsung apabila ada perbedaan konsentrasi

antara kedua sisi membran. Molekul berdifusi dari daerah dengan konsentrasi

tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.

b) Teori pH – Partisi Hipotesis

Hipotesa ini berdasarkan pemikiran bahwa elektrolit lemah akan terpermeasi

melalui membran hanya dalam bentuk tidak terionkan.

c) Difusi Ionik

Pada proses ini, molekul berpindah dalam bentuk ion dan kecepatan transpor

melalui membran ditentukan oleh perbedaan potensial kimia atau listrik.

d) Difusi yang difasilitasi

Berbeda dengan difusi sederhana, difusi yang difasilitasi berlangsung melalui

pembawa (carrier) protein yang mempunyai kemampuan berikatan dengan

bahan yang spesifik dan sistem ini dapat mengalami penjenuhan.

2. Transpor Aktif

Molekul dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi misal, dari daerah

konsentrasi rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, proses ini

memerlukan energi. Transpor aktif memerlukan pembawa atau carrier yang

mengikat obat membentuk kompleks obat – pembawa.

3. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul

besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan

pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran. Mekanisme ini mirip

(40)

2.3.3 Metode Absorpsi In Situ

Banyak variasi metode perfusi usus yang digunakan sebagai model . Metode

in-situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan percobaan

sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,

neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang

terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini

lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro

(Griffin dan Driscol, 2006).

2.3.3.1 Metode Perfusi Intestinal

Pengembangan preparat usus halus yang diperfusi secara vaskular dan stabil

merupakan alat penelitian untuk melihat transpor dan metabolisme obat intestinal.

Metode ini telah digunakan secara luas karena relatif sederhana, teknik pembedahan

yang relatif mudah dan murah (Schanker, et al., 1958). Pada pendekatan ini rongga

perut hewan yang telah dibius dibuka dengan laparotomy. Sejumlah modifikasi

metode ini telah dikembangkan, pada eksperimen loop tertutup oleh Doluisio, et al.,

(1969) larutan obat diletakkan pada bagian usus yang diisolasi, sedangkan pada

metode perfusi loop terbuka dipertahankan aliran cairan secara terus menerus

menuruni usus, dan permiabilitas intestinal diperkirakan melalui perbedaan

konsentrasi perfusat masuk dan keluar pada keadaan steady (Ho dan Higuchi, 1974).

Pertimbangan tambahan jika menggunakan teknik in situ adalah volume laruran

obat seiring absorpsi selama perfusi mungkin menyebabkan kesalahan pada

perhitungan absorpsi. Berbagai metode koreksi fluks air telah dikemukakan termasuk

(41)

dapat diaplikasikan dengan persamaan yaitu :

Dimana

\

adalah konsentrasi keluar yang dikoreksi

2.3.3.2 Metode Perfusi Intestinal Loop Terbuka atau Teknik Perfusi Usus

Single Pass

Untuk perkiraan kuantitatif parameter absorpsi, metode Doluisio memiliki

kelemahan, yaitu obat menyebar luas ke seluruh permukaan usus sehingga tidak

mencerminkan in vivo yang sebenarnya. Model perfusi single pass yang diusulkan

oleh Higuchi (1974) dirancang untuk memperkirakan sifat dengan aliran cairan

secara terus menerus melalui usus. Metode ini lebih baik daripada metode Doluisio

karena menghasilkan kontrol hidrodinamik yang lebih baik dan meningkatkan luas

permukaan (Ho, et al., 1983a ; Stewart, et al., 1997). Metode single pass memberikan

laju yang lebih reproduksibel dan variasi yang lebih kecil dalam penelitian

(Schurger, et al., 1986). Pada penelitian ini larutan obat diperfusi terus menerus

menuruni panjang usus yang telah diatur melalui kanula duodenum dan perfusat

dikumpulkan dari kanula ileum dengan laju alir antara 0,1 dan 0,3 ml/menit. Sampel

yang dikumpulkan dari aliran keluar diuji kandungan obatnya. Perkiraan

permiabilitas usus efektif dilakukan dengan menghitung perbedaan antara cairan

yang masuk dan keluar, ketika keadaan steady telah tercapai (ketika konsentrasi

keluar telah stabil).

2.4 Usus Halus

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;

duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

(42)

Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari

peritonium (Aiache, et al., 1982). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat

erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.

Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu

dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.

Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan

jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian

bawah rongga (Fawcett, 1994). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian

atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini

lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m2

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan

bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari

jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum

4-6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental

(experimental research). Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh atau

hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam penelitian ini yang

termasuk variabel bebas adalah: ibuprofen, PEG 6000 dan superdesintegrant.

Sedangkan variabel terikat adalah karakterisasi dispersi padat, tablet sistem dispersi

padat dan absorpsi secara in situ.

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan meliputi pembuatan dispersi padat, campuran fisik dan

karakterisasinya. Kemudian dilanjutkan dengan membuat formula tablet dispersi

padat, dan evaluasinya meliputi pemeriksaan karakterisasi fisik dan profil pelepasan

obat secara in vitro. Dalam penelitian ini juga dilakukan absorpsi tablet sistem

dispersi padat secara in situ pada usus halus tikus jantan dari galur wistar.

Hewan terbagi dalam tiga kelompok dan tiap kelompok terdiri dari enam

hewan uji dengan uraian sebagai berikut:

1. Kelompok pertama diberi ibuprofen yang dilarutkan dalam larutan buffer fosfat

pH 5,9 isotonis dengan konsentrasi 1 mmol.

2. Kelompok kedua diberi tablet ibuprofen sistem dispersi padat yang dilarutkan

dalam buffer fosfat pH 5,9 isotonis dengan konsentrasi 1 mmol.

3. Kelompok ketiga diberi tablet generik yang dilarutkan dalam buffer fosfat pH 5,9

(44)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK), Tangerang,

Provinsi Banten dan Laboratorium Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera

Utara, Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan

Bahan baku ibuprofen (Hubei Granules-Biocause Pharmaceutical, Co. Ltd),

polietilen glikol 6000 (E. Merck), krospovidon, natrium kroskarmelosa (Ac-Di-Sol®,

FMC BIO Polymer), Sellulosa mikrokristal (Ceolus ®, Asahi Kasei Chemicals

Corp.), talkum dan magnesium stearat (PT. Brataco), NaOH p.a (E. Merck), kalium

fosfat mono basa p.a (E.Merck), natrium dihidrogen fosfat p.a (E. Merck), dinatrium

hidrogen fosfat p.a (E. Merck), NaCl p.a (E.Merck).

3.3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : neraca analitik (Vibra),

mesin cetak tablet (Ateliers), strong cobb hardness tester (Erweka), desintegration

tester (Erweka), roche friabilator (Erweka), disolution tester (Erweka),

spektrofotometer ultra violet-visible (Shimadzu mini 1240), ayakan (mesh 40),

difraktometer sinar -X, scanning electron mikroskop, diffrential thermal analyzer,

fourier-transform IR, timbangan hewan, thermometer, satu rangkaian alat infus,

kanul, three way, statip, benang, satu set alat bedah, sarung tangan, stop watch,

penangas air listrik, gelas ukur, pipet volume, maat pipet, pH meter, labu tentukur,

(45)

3.4 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah tikus jantan galur wistar berat 250-300 gram.

Hewan dikondisikan di laboratorium selama lebih kurang satu minggu sebelum

percobaan. Selama pemeliharaan tikus diberi makanan dan minuman yang sesuai

dengan kebutuhannya.

3.5 Prosedur Kerja

3.5.1 Pembuatan Pereaksi

3.5.1.1 Air bebas Karbondioksida

Air suling yang telah dididihkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan

sampai dingin dan tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM,

1995).

3.5.1.2 Natrium Hidroksida 0,1 N

Dilarutkan 4 gram natrium hidroksida P dalam air bebas karbondioksida

secukupnya hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.1.3 Natrium Hidroksida 0,2 N

Dilarutkan 8 gram natrium hidroksida P dalam air bebas karbondioksida

secukupnya hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5.1.4 Kalium Fosfat Monobasa 0,2 M

Dilarutkan 27,22 gram kalium fosfat monobasa P dalam air suling dan

(46)

3.5.1.5 Dapar Fosfat pH 5,9 Isotonis

Dicampur 90 ml natrium dihidrogenfosfat 0,8% dengan 10 ml dinatrium

hidrogenfosfat 0,947% dan ditambahkan dengan 0,52 gram/100 ml natrium klorida

((Ditjen POM, 1979).

3.5.1.6 Dapar Fosfat pH 7,2

Dimasukkan 50 ml kalium fosfat monobasa 0,2 M ke dalam labu tentukur 200

ml, kemudian ditambahkan NaOH 0,2 M sebanyak 34, 7 ml dicukupkan dengan air

suling sampai garis tanda (Ditjen POM, 1995).

3.5.1.7 Larutan Fisiologis NaCl 0,9 %

Dilarutkan sebanyak 9 gram NaCl dalam air suling hingga 1000 ml ((Ditjen

POM, 1995).

3.5.2 Pembuatan Kurva Serapan Ibuprofen

3.5.2.1 Dalam Medium NaOH 0,1 N

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 100

ml kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N sampai garis tanda. Dari larutan tersebut di

pipet 11,5 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml dan ditambahkan NaOH 0,1

N sampai garis tanda. Maka diperoleh larutan dengan konsentrasi 230 ppm. Serapan

diukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan menggunakan spektrofotometer

UV. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang gelombang dimana ibuprofen

(47)

3.5.2.2 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 5,9 Isotonis

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 250

ml kemudian ditambahkan dapar fosfat pH 5,9 isotonis sampai garis tanda. Di pipet 1

ml kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, lalu ditambahkan dapar

fosfat pH 5,9 isotonis sampai garis tanda. Maka diperoleh larutan dengan konsentrasi

8 ppm. Serapan diukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan menggunakan

spektrofotometer UV. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang gelombang

dimana ibuprofen memperlihatkan serapan paling tinggi.

3.5.2.3 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 7,2

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 100

ml kemudian ditambahkan dapar fosfat pH 7,2 sampai garis tanda. Di pipet 0,4 ml

kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, lalu ditambahkan dapar fosfat

pH 7,2 sampai garis tanda. Maka diperoleh larutan dengan konsentrasi 8 ppm.

Serapan diukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan menggunakan

spektrofotometer UV. Panjang gelombang yang dipilih adalah panjang gelombang

dimana Ibuprofen memperlihatkan serapan paling tinggi.

3.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Ibuprofen

3.5.3.1 Dalam Medium NaOH 0,1 N

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 100

ml kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N sampai garis tanda. Dari larutan tersebut di

pipet masing-masing 7,5 ml, 9,5 ml, 11,5 ml, 13,5 ml dan 15,5 ml. Dimasukkan ke

dalam labu tentukur 25 ml kemudian diencerkan dengan larutan NaOH 0,1 N sampai

garis tanda. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari

(48)

digunakan NaOH 0,1 N. Kurva kalibrasi antara jumlah serapan dan konsentrasi

dibuat dari data yang diperoleh, lalu dihitung persamaan regresi dan koefisien

korelasinya.

3.5.3.2 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 5,9 Isotonis

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 250

ml kemudian ditambahkan larutan dapar fosfat pH 5,9 isotonis sampai garis tanda.

Dari larutan tersebut di pipet 0,2 ml, 0,4 ml, 0,6 ml, 0,8 ml, 1 ml, 1,2 ml, 1,4 ml, 1,6

ml dan 1,8 ml. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, kemudian masing-masing

diencerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,9 isotonis sampai garis tanda. Serapan

diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari kurva serapan

ibuprofen menggunakan spektrofotometer UV dan sebagai blanko digunakan dapar

fosfat pH 5,9 isotonis. Kurva kalibrasi antara jumlah serapan dan konsentrasi dibuat

dari data yang diperoleh, lalu dihitung persamaan regresi dan koefisien korelasinya.

3.5.3.3 Dalam Medium Dapar Fosfat pH 7,2

Ditimbang seksama 50 mg ibuprofen dimasukkan ke dalam labu tentukur 100

ml kemudian ditambahkan larutan dapar fosfat pH 7,2 sampai garis tanda. Dari

larutan tersebut di pipet 0,2 ml, 0,3 ml, 0,4 ml, 0,5 ml, 0,6 ml, 0,7 ml dan 0,8 ml

dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, kemudian masing-masing diencerkan

dengan larutan dapar fosfat pH 7,2 sampai garis tanda. Serapan diukur pada panjang

gelombang maksimum yang diperoleh dari kurva serapan ibuprofen menggunakan

spektrofotometer UV dan sebagai blanko digunakan dapar fosfat pH 7,2. Kurva

kalibrasi antara jumlah serapan dan konsentrasi dibuat dari data yang diperoleh, lalu

(49)

3.4.3.4 Pembuatan Dispersi Padat dan Campuran Fisik

Sistem dispersi padat dibuat dengan metode peleburan dengan berbagai

perbandingan berat ibuprofen dan PEG 6000 adalah 1 : 0,25; 1 : 0,5; 1 : 0,75; 1 : 1; 1

: 1,25 dan 1 : 1,5. Ditimbang masing zat sesuai perbandingan dan

masing-masing dilebur diatas penangas air sambil diaduk. Hasil leburan dicampur,

didinginkan dan dipadatkan dengan cepat dalam rendaman es dengan pengadukan

keras. Setelah memadat, simpan dalam desikator selama 24 jam. Padatan yang

dihasilkan diserbukkan dan dilewatkan pada ayakan ukuran 40 mesh. Sebagai

pembanding dibuat campuran fisik antara ibuprofen dan PEG 6000 dengan

perbandingan 1 : 0,25; 1 : 0,5; 1 : 0,75; 1 : 1; 1 : 1,25 dan 1 : 1,5. Masing-masing

bahan dihaluskan, campur dan dihomogenkan selama 10 menit, lalu lewatkan pada

ayakan ukuran 40 mesh.

3.5.4 Karakterisasi Serbuk Dispersi Padat

3.5.4.1 Uji perolehan kembali zat aktif dalam sistem dilakukan dengan penetapan kadar zat berkhasiat dalam serbuk dispersi padat dan campuran fisik

Ditimbang sejumlah serbuk setara dengan 50 mg ibuprofen dimasukkan ke

dalam labu tentukur 100 ml dilarutkan dengan NaOH 0,1 N dicukupkan sampai garis

tanda. Dari larutan tersebut dipipet 11,5 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml

dan ditambahkan dengan NaOH 0,1 N sampai garis tanda. Selanjutnya diukur secara

spektrofotoneter UV pada panjang gelombang maksimum. Dihitung kadar ibuprofen.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV Ibuprofen mengandung tidak kurang

Gambar

Gambar 2.2  Rumus Bangun Ibuprofen
Tabel 3.1 Formula Tablet Ibuprofen Sistem Dispersi Padat dengan Variasi Komposisi Superdisintegrant
Gambar 4.1  (lanjutan)
Gambar 4.1 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembentukan dispersi padat PGV-0 dengan pengompleks HPBCD diharapkan dapat meningkatkan jumlah obat yang terlarut dalam basis gel, sehingga dapat meningkatkan jumlah obat

Pembentukan dispersi padat PGV-0 dengan pengompleks PVP diharapkan dapat meningkatkan jumlah obat yang terlarut dalam basis gel sehingga akan meningkatkan jumlah obat

Penetrasi perkutan kompleks PGV-0 dan PEG 6000 dalam bentuk dispersi.. padat dan campuran fisik dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat,

Serbuk dispersi Padat yang terbentuk dikarakterisasi sifat fisikokimia meliputi: perolehan kembali zat aktif dalam sistem, jarak lebur, analisa pola difraksi sinar

Validasi metode pada penetapan kadar ibuprofen secara in vitro menggunakan matriks plasma darah tikus jantan wistar sebagai hewan percobaan perlu dilakukan untuk