PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP
GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH
TAHUN 2011
T E S I S
Oleh :
NOFIDAHANUM 097032110/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP
GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH
TAHUN 2011
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOFIDAHANUM 097032110/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2011
Nama Mahasiswa : Nofidahanum Nomor Induk Mahasiwa : 097032110
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) (dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 17 Januari 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)
Anggota : 1.dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S 2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP
GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH
TAHUN 2011
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2012
ABSTRAK
Pekerja industri meubel merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami gejala gangguan saluran pernafasan. Gangguan saluran pernafasan menduduki urutan pertama 10 penyakit terbesar di kota Banda Aceh yaitu sebesar 46,8%.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu) riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerjaan industri meubel di Kota Banda Aceh. Penelitian ini bersifat survai dengan desain cross sectional, dilaksanakan pada bulan Januari 2011-Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja pada 42 industri meubel kayu di Kota Banda Aceh yang berjumlah 285 orang. Sampel dipilih dengan kriteria inklusi adalah 3 industri meubel dan 50 sampel. Analisis data dilakukan regresi logistik pada α = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi debu dan kebiasaan merokok terhadap gejala gangguan saluran pernafasan. Variabel konsentrasi debu adalah yang paling dominan berpengaruh terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.
Pekerja disarankan untuk menggunakan APD dan tidak merokok pada waktu masuk area industri pengolahan meubel dan kepada pihak manajemen industri agar dapat menyediakan APD. Kepada instansi terkait UKM agar dapat melakukan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan APD.
ABSTRACT
Furniture industry worker is one of the worker who are at risk of the symptom of respiratory tract disorder. Respiratory tract disorder rank first (46,8%) among the 10 largest diseases in the City of Banda Aceh.
The purpose of this survey was to analyze the environmental factor (ventilation, temperature, humidity and dust concentration), employment history, smoking habit and the use of Self-Protection Device on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the City of Banda Aceh. The study was survey with cross sectional design, conducted from January 2011 until Januari 2012 . The population were all worker in 42 wood furniture industries in Banda Aceh for 285 worker. The selected sample with inclusion criteria was 3 industries and 50 samples. Data analysis was done with logistic regretion at α = 0,05.
The result of this study showed that there was an influence dust concentration and smoking habit on the symptom of respiratory tract disorder. Dust concentration was the most dominant variable which had influence on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the city of Banda Aceh.
The worker are suggested to use the Self-Protection Device and not to smoke when entering the area of furniture processing industry and the management of the industry should provide the Self-Protection Device for the worker. The related small and medium scale business company is suggested to provide and implement an extension on the importance of using the Self-Protection Device.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat dan karunianya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Pengaruh Faktor Lingkungan, Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan
Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada
Pekerja Industri Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2011.“
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K), selaku ketua komisi pembimbing yang
telah banyak membantu, mengarahkan serta meluangkan waktu dan pikiran
6. dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang telah
banyak membantu serta mengarahkan dengan penuh kesabaran membimbing
penulis dalam proses penyusunan tesis ini.
7. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku dosen pembanding yang telah
memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
8. dr. Taufik Ashar, M.K.M, selaku dosen pembanding yang telah memberikan
masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
9. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.
Selanjutnya terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda (Alm) M.Saleh
Ahmad dan Ibunda Syamsiar Abdul Hamid, kedua mertua M.Ali Hanafiah dan
Juwairiah Ali, suami Bukhari dan anak-anak Sausan Nabilah, Naura Athira dan
Haura Athifah yang banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan kepada
penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Nofidahanum lahir pada tanggal 25 Nopember 1972 di Kabupaten Bireuen,
anak pertama dari pasangan Alm. M. Saleh Ahmad dan Syamsiar Abdul Hamid.
Pendidikan formal penulis dimulai dari Pendidikan di Sekolah Dasar Negeri
No. 1 Matangglungpang Dua tamat tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama Negeri
No. 1 Matangglungpang Dua tamat tahun 1987, Sekolah Menengah Atas Negeri No.
1 Bireuen tamat tahun 1990, Akper Depkes RI tamat tahun 1993, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Banda Aceh tamat tahun 2000.
Mulai bekerja sebagai Staf pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Banda Aceh
tahun 1998 sampai sekarang.
Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Hipotesis ... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Gangguan Saluran Pernafasan ... 10
2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut …….. 10
2.1.2 Penyebab ISPA ... 10
2.1.3 Klasifikasi ISPA ... 11
2.1.4 Gejala ISPA ... 11
2.1.5 Cara Penularan Penyakit ISPA ... 14
2.1.6 Diagnosa ISPA ... 14
2.1.7 Pengobatan ISPA ... 15
2.2 Faktor-Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Gangguan Saluran Pernafasan ... 15
2.2.1 Ventilasi ... 16
2.2.2 Suhu ... 17
2.2.3 Kelembaban ... 18
2.2.4 Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja ... 19
2.2.4.1Pengertian Debu ... 19
2.2.4.2Pengertian Debu Kayu ... 20
2.2.4.3Pencemaran Udara oleh Debu ... 20
2.2.4.4Efek Debu terhadap Kesehatan ... 21
2.3 Riwayat Pekerjaan (Lama Bekerja dan Jam Kerja) ... 27
2.5 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ... 30
2.6 Perajin Meubel Kayu ... 35
2.6.1 Pengertian ... 35
2.6.2 Bahan Baku yang Digunakan ... 35
2.6.3 Mesin dan Peralatan ... 35
2.6.4 Proses Produksi Meubel Kayu ... 35
2.7 Bahaya Potensial dan Akibatnya ... 40
2.7.1 Penggergajian ... 40
2.7.2 Penyiapan Bahan Baku/Penyiapan Komponen ... 40
2.7.3 Penyerutan dan Pengamplasan ... 41
2.7.4 Perakitan ... 41
2.7.5 Pemutihan/Pengecatan ... 41
2.8 Landasan Teori ... 42
2.9 Kerangka Konsep ... 44
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45
3.1 Jenis Penelitian ... 45
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 45
3.2.2 Waktu Penelitian ... 45
3.3 Populasi dan Sampel ... 45
3.3.1 Populasi ... 45
3.3.2 Sampel ... 46
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 47
3.4.1 Data Primer ... 47
3.4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 48
3.5.1 Variabel Independen ... 48
3.5.2 Variabel Dependen ... 49
3.6 Metode Pengukuran ... 49
3.6.1 Pengukuran Variabel Keadaan Lingkungan Kerja Industri Meubel ... 49
3.6.2 Pengukuran Variabel Riwayat Pekerjaan ... 52
3.6.3 Pengukuran Variabel Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD ... 53
3.6.4 Pengukuran Variabel Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 54
3.7 Metode Analisis Data ... 55
3.7.1 Analisis Univariat ... 55
3.7.2 Analisis Bivariat ... 55
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 56
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 56
4.2 Karakeristik Pekerja ... 57
4.3 Analisis Univariat ... 58
4.3.1 Faktor Lingkungan ... 58
4.3.2 Riwayat Pekerjaan ... 59
4.3.3 Kebiasaan Merokok ... 62
4.3.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 64
4.3.5 Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 66
4.4 Analisis Bivariat ... 67
4.4.1 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh ... 67
4.4.2 Hubungan Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh . 69 4.5 Analisis Multivariat ... 71
BAB 5. PEMBAHASAN ... 75
5.1 Faktor Lingkungan ... 75
5.1.1 Ventilasi ... 75
5.1.2 Suhu ... 76
5.1.3 Kelembaban ... 76
5.1.4 Konsentrasi Debu ... 77
5.2 Riwayat Pekerjaan (Lama Kerja dan Jam Kerja) ... 78
5.3 Kebiasaan Merokok ... 78
5.4 Penggunaan APD ... 79
5.5 Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 80
5.6 Pengaruh Faktor Lingkungan (Ventilasi, Suhu, Kelembaban dan Konsentrasi Debu) terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 80
5.6.1 Ventilasi ... 80
5.6.2 Suhu ... 81
5.6.3 Kelembaban ... 82
5.6.4 Konsentrasi debu ... 83
5.7 Pengaruh Riwayat Pekerjaan (Lama Kerja dan Jam Kerja) terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 85
5.9 Pengaruh Penggunaan APD terhadap Gejala Gangguan
Saluran Pernafasan ………... . 88
5.10Upaya Penanggulangan Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel dengan Pendekatan Teori Simpul ... 91
5.11Keterbatasan penelitian ... 93
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
6.1 Kesimpulan ... 94
6.2 Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96
DAFTAR TABEL No. 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 Judul
Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru Pada Manusia ...
Aspek Pengukuran Variabel Faktor Lingkungan ………
Aspek Pengukuran Variabel Riwayat Pekerjaan ……….
Aspek Pengukuran Variabel Kebiasaan Merokok dan
Penggunaan APD ……….
Aspek Pengukuran Variabel Gejala Gangguan Saluran
Pernafasan ………
Karakteristik Pekerja Berdasarkan Umur, Lama Kerja dan Pendidikan pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Frekuensi Ventilasi, Suhu dan Kelembaban pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ………..
Distribusi Frekuensi Pengukuran Konsentrasi Debu di Lima Titik 3 Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……..
Distribusi Riwayat Pekerjaan pada Perusahaan Sebelumnya dan Perusahaan yang Sekarang pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Riwayat Pekerjaan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Jawaban Responden Tentang Kebiasaan Merokok pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Katagori Kebiasaan Merokok pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Jawaban Responden Mengenai Penggunaan APD pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011.
4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16
Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Kategori Penggunaan APD pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 …
Distribusi Jawaban Responden Mengenai Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Kategori Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Hubungan Faktor Lingkungan dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….
Hubungan Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ………..
Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model ………...
Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model p < 0,25 ……….
Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model p < 0,05 ……….
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Alat Pelindung Pernafasan ... 33
2.2 Proses Penggergajian Kayu ... 36
2.3 Proses Penyiapan Bahan Baku ... 37
2.4 Proses Penyiapan Komponen ... 37
2.5 Proses Perakitan dan Pembentukan ... 38
2.6 Proses Penyelesaian Akhir ... 39
2.7 Proses Pengepakan ... 39
2.8 Landasan Teori ... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 99
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 104
3. Master Data Penelitian ... 112
4. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 119
5. Foto-foto Kegiatan Penelitian ………... 149
6. Surat Keterangan Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara ... 152
ABSTRAK
Pekerja industri meubel merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami gejala gangguan saluran pernafasan. Gangguan saluran pernafasan menduduki urutan pertama 10 penyakit terbesar di kota Banda Aceh yaitu sebesar 46,8%.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu) riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerjaan industri meubel di Kota Banda Aceh. Penelitian ini bersifat survai dengan desain cross sectional, dilaksanakan pada bulan Januari 2011-Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja pada 42 industri meubel kayu di Kota Banda Aceh yang berjumlah 285 orang. Sampel dipilih dengan kriteria inklusi adalah 3 industri meubel dan 50 sampel. Analisis data dilakukan regresi logistik pada α = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi debu dan kebiasaan merokok terhadap gejala gangguan saluran pernafasan. Variabel konsentrasi debu adalah yang paling dominan berpengaruh terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.
Pekerja disarankan untuk menggunakan APD dan tidak merokok pada waktu masuk area industri pengolahan meubel dan kepada pihak manajemen industri agar dapat menyediakan APD. Kepada instansi terkait UKM agar dapat melakukan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan APD.
ABSTRACT
Furniture industry worker is one of the worker who are at risk of the symptom of respiratory tract disorder. Respiratory tract disorder rank first (46,8%) among the 10 largest diseases in the City of Banda Aceh.
The purpose of this survey was to analyze the environmental factor (ventilation, temperature, humidity and dust concentration), employment history, smoking habit and the use of Self-Protection Device on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the City of Banda Aceh. The study was survey with cross sectional design, conducted from January 2011 until Januari 2012 . The population were all worker in 42 wood furniture industries in Banda Aceh for 285 worker. The selected sample with inclusion criteria was 3 industries and 50 samples. Data analysis was done with logistic regretion at α = 0,05.
The result of this study showed that there was an influence dust concentration and smoking habit on the symptom of respiratory tract disorder. Dust concentration was the most dominant variable which had influence on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the city of Banda Aceh.
The worker are suggested to use the Self-Protection Device and not to smoke when entering the area of furniture processing industry and the management of the industry should provide the Self-Protection Device for the worker. The related small and medium scale business company is suggested to provide and implement an extension on the importance of using the Self-Protection Device.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen
politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan
tersebut, pembangunan industri yang dipilih harus berwawasan lingkungan, dengan
tujuan sedikit mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai
akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhana, 2001).
Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia memberikan berbagai dampak
positif yaitu terbukanya lapangan kerja, membaiknya sarana transportasi dan
komunikasi serta meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Suatu kenyataan
dapat disimpulkan bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum juga
merupakan sektor yang potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan
bagi kesehatan dan lingkungan (Khumaidah, 2009).
Salah satu dampak penting akibat pembangunan industri adalah perubahan
kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran udara. Pencemaran udara yang
terjadi selain pencemaran udara di ambien (outdoor air pollution) juga pencemaran
udara dalam ruangan (indoor air pollution). Pencemaran udara di ambien terjadi
pembakaran hutan, letusan gunung berapi dan pembangkit tenaga listrik (Fardiaz,
1992).
Polutan-polutan hasil kegiatan industri dapat berupa gas dan debu yang
berisiko terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap kesehatan dipengaruhi oleh
intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kesehatan
penduduk yang terpajan (Kusnoputranto, 2000).
Perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan
lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin
meningkat karena peranannya terhadap gangguan saluran pernafasan. Pajanan bahan
berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti
asma, kanker, dermatitis dan tuberculosis. Diperkirakan jumlah kasus baru penyakit
akibat kerja di Amerika Serikat 125.000 sampai 350.000 kasus pertahun dan terjadi
5,3 juta kecelakaan kerja pertahun. Sedangkan penyakit saluran pernafasan
merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara berkembang, prevalensinya
bervariasi antara 2 – 20 % (Wahyuningsih, 2003).
Program pengendalian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) menetapkan
bahwa semua kasus yang ditemukan harus mendapat tata laksana sesuai standar,
dengan demikian penemuan angka kasus ISPA juga menggambarkan penatalaksanaan
kasus ISPA. Jumlah kasus ISPA di masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari
populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada balita sebesar 76% dari
perkiraan jumlah kasus, namun pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007,
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang penting
di Indonesia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi dengan proporsi 3,8%
untuk penyebab kematian di semua umur, sementara prevalensi nasional ISPA
sebesar 25,5%. Untuk angka kunjungan pasien ke rumah sakit dengan penyakit
gangguan sistem pernafasan berada di peringkat pertama yaitu sebesar 18,6% (Ditjen
Bina Yanmedik, 2009).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, prevalensi Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 63,78% dan pada tahun
2009 sebesar 70,36%, urutan pertama terbanyak dari 10 jenis penyakit menular
(Profil Dinas Kesehatan Propinsi Aceh, 2008, 2009), dan data dari Dinas Kesehatan
Kota Banda Aceh, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada tahun
2008 sebesar 50,91% dan pada tahun 2009 sebesar 46,8%, urutan pertama terbanyak
dari 10 jenis penyakit menular (Profil Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2008,
2009).
Industri pengolahan kayu merupakan salah satu industri yang
pertumbuhannya sangat pesat. Keadaan ini memengaruhi konsumsi hasil hutan yang
mencapai 33 juta m3 per tahun. Konsumsi hasil hutan yang sedemikian besar itu
antara lain diserap oleh industri plywood, sawmill, furniture, partikel board dan pulp
kertas. Industri pengolahan kayu membutuhkan energi dan penggunaan bahan baku
alami yang besar, seperti kayu keras antara lain: jati, meranti, mahoni dan kayu lunak
meubel cenderung menghasilkan polusi seperti partikel debu kayu. Industri meubel
tersebut berpotensi menimbulkan polusi udara di tempat kerja yang berupa debu
kayu. Partikel debu kayu sekitar 10 sampai 13 % yang digergaji dan dihaluskan akan
berbentuk debu kayu yang berterbangan di udara (Yunus, 2006).
Di Kota Banda Aceh, Industri meubel telah berkembang dengan pesat dalam
5 tahun terakhir. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi
dan UKM kota Banda Aceh (2010), di Kota Banda Aceh terdapat 55 industri meubel
yang terdiri dari 7 (tujuh) industri ukiran kayu, 5 (lima) industri ketam/kusen, 42
(empat puluh dua) industri furniture, dan 1 (satu) industri furniture logam (Profil
Dinas Perindustrian Kota Banda Aceh, 2010).
Perlu diketahui bahwa industri meubel di Kota Banda Aceh belum mendapat
perhatian dalam pelayanan kesehatan kerja khususnya penyakit yang berhubungan
dengan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pemilik usaha tidak
menyediakan jaminan kesehatan kepada pekerja. Pelayanan kesehatan yang diterima
oleh pekerja adalah pelayanan kesehatan di Puskesmas, sebagai anggota masyarakat
yang menderita penyakit umum.
Faktor lingkungan yang memengaruhi gangguan kesehatan pada pekerja
industri meubel adalah tempat kerja (ventilasi, suhu, kelembaban, konsentrasi debu)
pencahayaan, kebisingan, perilaku penggunaan APD dan posisi kerja pada proses
penggergajian, penyiapan bahan baku, penyerutan dan pengamplasan, perakitan serta
pengecatan yaitu pemakaian zat kimia seperti H2O2, thenner, sanding sealer, melanic
nafas dengan gejala batuk, pilek, sesak nafas dan demam, juga dapat terjadi iritasi
pada mata dengan gejala mata pedih, kemerahan dan berair (Wahyuningsih, 2003).
Di samping itu, faktor individual yang meliputi mekanisme pertahanan paru,
anatomi dan fisiologi saluran napas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada
manusia perlu dipertimbangkan antara lain sumber paparan, jenis pabrik, lamanya
paparan, paparan dari sumber lain. Pola aktivitas sehari-hari dan faktor penyerta yang
potensial seperti umur, jenis kelamin, etnis, kebiasaan merokok dan faktor allergen
(Jeremy et.al, 2007).
Dampak negatif dari industri pengolahan kayu adalah timbulnya pencemaran
udara oleh debu yang timbul pada proses pengolahan atau hasil industri meubel
tersebut. Debu kayu ini akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga pekerja
industri meubel dapat terpapar debu karena bahan baku, bahan antara ataupun produk
akhir. Bahan pencemar tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia
khususnya gangguan fungsi paru (Khumaidah, 2009).
Dalam industri meubel, bahan buangan partikulat merupakan hasil dari proses
pemotongan, penggergajian, penyerutan dan pengamplasan. Dalam konsentrasi yang
besar, partikulat dari kayu dapat menimbulkan pemaparan pada pekerja secara
intensif. Partikulat yang dihasilkan dalam berbagai bentuk ukuran. Partikulat yang
melayang di udara berukuran 0,001 – 100 mikron. Kelompok partikulat yang
berukuran 10 mikron merupakan partikulat yang masuk atmosfer dan dapat bertahan
lama melayang di udara. Dalam kaitannya dengan kesehatan jika pertikulat terhirup.
terhadap pekerja, seperti gangguan saluran pernafasan. Gangguan pernafasan
merupakan kondisi tidak normal yaitu ada kelainan satu atau lebih berupa batuk pilek
disertai dahak/tidak, napas cepat baik disertai demam atau tidak (Putranto, 2007).
Efek kesehatan pada saluran pernafasan dapat dinilai melalui gejala penyakit
pernafasan. Gejala penyakit pernafasan banyak dipakai dalam penelitian efek
kesehatan oleh partikulat adalah batuk, sakit kerongkongan, ronkhi, bunyi mengi, dan
sesak nafas (Robertson, 1984, dalam Purwana,1999).
Pekerja industri meubel kayu mempunyai risiko yang sangat besar untuk
penimbunan debu pada saluran pernafasan. Proses produksi meubel kayu meliputi
beberapa tahap yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, penyiapan
komponen, perakitan dan pembentukan, dan proses akhir pengamplasan dan
pengepakan. Dalam tahapan produksi yang paling banyak menghasilkan debu adalah
pada tahapan penggergajian, penyiapan bahan baku, penyerutan dan pengamplasan.
Gambaran umum keluhan pekerja antara lain batuk, sesak nafas, banyak dahak,
kelelahan umum dan lain-lain.
Berbagai studi tentang debu yang berhubungan dengan gangguan pernafasan
antara lain menurut penelitian Naeim (1992) bahwa debu dari berbagai jenis kayu
dapat menimbulkan berbagai penyakit saluran pernafasan seperti asma, rhinitis, dan
alveolitis.
Studi di London dan New York juga menunjukkan rata-rata konsentrasi
partikulat setiap hari di atas 250 µg/m3 mengakibatkan peningkatan penyakit saluran
Penelitian mengenai debu kayu respirabel yang ditimbulkan oleh pengolahan
kayu telah dilakukan oleh Vanwiclen dan Beard pada tahun 1993 membuktikan
babwa persentase terbesar dari debu kayu respirabel partikelnya berdiamater antar 1
sampai 2 mikron. Sedangkan prosentase terbesar kedua ditempati dengan diameter
0,5 sampai 0,7 mikron (Triatmo, 2006).
Braun-Fahrlander et.al (1997), bahwa batuk dan bronchitis berhubungan
secara signifikan dengan konsentrasi debu kayu. Penelitian Holmess (1989), dari 50
pekerja furniture, ditemukan konsentrasi debu kayu 109 µg/m3 menyebabkan
terjadinya faal paru pekerja sebanyak 31%, dan penelitian Shamssain (1992), yang
melakukan penelitian terhadap pekerja kayu, menemukan konsentrasi debu 229
µg/m3
Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan Februari
2011, bahwa keadaan lingkungan kerja tidak disiapkan untuk memberikan
perlindungan dalam bekerja terhadap pemaparan debu. Proses produksi meubel
dilakukan di luar ruangan, sehingga konsentrasi debu di lingkungan industri meubel
tidak hanya bersumber dari proses produksi tetapi juga berasal dari jalanan. Dan
akibat keterbatasan modal, pemilik usaha tidak menyediakan alat pelindung diri,
sehingga umumnya pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya
sebagian kecil yang menggunakan penutup hidung dan mulut ketika bekerja serta
sebagian pekerja merokok sambil bekerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pekerja, diantaranya ada yang mengalami batuk dan pilek.
menyebabkan terjadinya penurunan faal paru sebanyak 31% tenaga kerja
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan
kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan
saluran pernafasan yang terdapat pada pekerja industri meubel.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah pada penelitian ini
adalah “ Adakah pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok
dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan
yang terdapat pada pekerja industri meubel?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor
lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu), riwayat pekerjaan,
kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri terhadap terjadinya gejala
gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dilakukan, maka hipotesis pada
penelitian ini yaitu “Ada pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban,
konsentrasi debu), riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaan alat
pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh dan pengusaha
industri meubel tentang pengaruh faktor lingkungan kerja, riwayat pekerjaan,
kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri yang dapat
memengaruhi terjadinya gejala gangguan saluran pernafasan.
2. Sebagai masukan bagi pekerja industri meubel untuk menambah pengetahuan
tentang pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok
dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran
pernafasan.
3. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan
pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Saluran Pernafasan
2.1.1. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga
kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar
hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2009).
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan
keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin
gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan
kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan
pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian
mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih
berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam
kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).
2.1.2 Penyebab ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman
yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA
atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah
pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah
disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan
herpesvirus (Parker, 1985 dalam Putranto, 2007).
2.1.3 Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes 2009, klasifikasi dari ISPA adalah :
1. Ringan ( bukan pneumonia )
Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /
berair, tenggorokan merah, telinga berair.
2. Sedang ( pneumonia sedang )
Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar
cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar
limfe yang nyeri tekan ( adentis servikal ).
3. Berat ( pneumonia berat )
Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring, kejang,
apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada
dinding dada sebelah bawah ke dalam.
2.1.4 Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan
virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran
pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya
menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi
peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga
berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di
daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan
cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan
terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret
menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,
gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah
sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga
bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).
Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada
dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir
yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan
kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk
menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap
gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga
dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan
memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis,
bunyi mengi dan sesak nafas (Robertson, 1984 dalam Purwana, 1992).
Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar
Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa
dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran.
Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit
pernafasan :
1. Batuk
Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan
pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga
timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi
refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam
bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.
2. Dahak
Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel
goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan
mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam
saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang
berdegenerasi.
3. Sesak nafas
Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran
pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran
pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara.
4. Bunyi mengi
Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut
diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.
2.1.5 Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, maka penyakit ISPA
termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak
dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan
melalui udara, dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang
penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Halim, 2000).
2.1.6 Diagnosa ISPA
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA
oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan
cairan pleura (Halim, 2000).
Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu
frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan
yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia
berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis
atau penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).
2.1.7 Pengobatan ISPA
ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul
persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang
khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara
rasional. dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman
penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan
mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan
mikrobiologik, baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).
Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan
memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru
diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal,
tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan
adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab
beserta anti mikroba yang sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.
2.2 Faktor-Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Gangguan Saluran Pernafasan
Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya
pada aspek tenaga kerja adalah kebiasan merokok, penggunaan alat pelindung diri
2.2.1 Ventilasi
Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan ventilasi atau
penghawaan minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan ventilasi silang. Untuk
ruangan yang menggunakan air conditioner secara periodik harus dibersihkan,
dimatikan, dan diupayakan mendapat pergantian udara secara alamiah dengan cara
membuka seluruh pintu dan jendela atau dengan kipas angin. Dalam lingkungan
industri, sistem ventilasi atau penghawaan dibangun berdasarkan kepentingan ruang
yaitu sebagai ruang produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem
ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan
exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pergantian udara menjadi
lebih lancar (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002).
Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara
dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi
atau kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar
suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi
kesehatan dan keselamatan pekerja.
Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat
prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara dan
mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak ada sistem
kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar
pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi (Khumaidah, 2009).
Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan
peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan,
dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah yang
tekanannya rendah.
Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan
kondisi panas, udara akan memuai dan naik lalu keluar melalui vena di atap.
Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui
lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan.
Pertukaran udara secara mekanik dilakukan dengan cara memasang sistem
pengeluaran udara (exchaust system) dan pemasukan udara (supply system) dengan
menggunakan fan. Exhaust system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta
kontaminan yang ada sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja
atau dekat dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang
untuk memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan
tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja (Khumaidah, 2009).
2.2.2 Suhu
Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja
adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja
yaitu berkisar antara 18 0C sampai 30 0C dengan tinggi langit-langit dari lantai
air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 0
2.2.3 Kelembaban
C perlu
menggunakan alat pemanas ruangan (Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).
Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang
terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada
dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.
Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan
pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu
dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri. Pada umumnya
kondisi optimal perkembangbiakan mikroorganisme adalah pada kondisi kelembaban
tinggi. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat
menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang
tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid
dari material bangunan (Suma’mur, 1996).
Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah
berkisar antara 65 % - 95 %. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95 % perlu
menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65 % perlu
menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri
2.2.4 Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja
Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan
Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10
mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total
suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA
sebesar 260 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu
pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu
pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3
2.2.4.1 Pengertian Debu
untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004
dalam Putranto, 2007).
Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan
yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun
anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya
(Suma’mur, 1996).
Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat
mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan
bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses
produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara
mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat
membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996).
Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor
and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan
ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti, 2002).
2.2.4.2 Pengertian Debu Kayu
Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat (kayu) yang dihasilkan oleh
kekuatan-kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran,
pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan
organik maupun anorganik misalnya kayu, biji logam dan arang batu (Yunus, 2006).
Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi 2 yaitu (Malaka, 1996) :
1. Deposit particulate matter
Partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera
mengendap karena daya tarik bumi.
2. Suspended particulate matter
Partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.
2.2.4.3 Pencemaran Udara Oleh Debu
Partikel debu menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti
letusan gunung, hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktifitas manusia juga
dari bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses
pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber partikel yang utama
adalah pembakaran dari bahan bakar sumbernya diikuti proses-proses industri.
Partikel debu di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikel
padat dan cair. Ukurannya dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01 mikron.Terdapat
hubungan antara partikel, polutan dengan sumbernya (Fardiaz, 1992).
Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam
keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap
kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya
pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.
1. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori
tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis.
2. Merubah iklim global regional maupun internasional.
3. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan
sosial ekonomi di masyarakat.
4. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi,
gangguan pernafasan dan kanker pada paru-paru.
2.2.4.4 Efek Debu Terhadap Kesehatan
Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel
apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan
ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala
utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum.
Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut:
debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang
berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang
berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran
1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan
dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan
alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang
berukuran 0,1 – 1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002).
Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007) :
1. Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia)
Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus,
partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran
udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk selaput lendir dan hinggap di
paru-paru.
2. Pengendapan (Sedimentasi)
Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm per
detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan
mengendapnya.
3. Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel tersebut
Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007) :
1. Inhalation adalah jalan masuk (rute) yang paling signifikan di mana substansi
yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat menyebabkan
penyakit baik akut maupun kronis.
2. Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi kulit di
mana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit, tetapi
menyebabkan kerusakan serius pada kulit.
3. Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan (jarang terjadi).
Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru.
Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan
karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi
partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.
1. Jenis debu
Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan
sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.
Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.
Suma’mur (1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik
Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia
No Jenis Debu Contoh (jenis debu)
1 Organik a. Alamiah
1. Fosil Batu bara, karbon hitam, arang, granit 2. Bakteri TBC, antraks, enzim bacillus substilis
3. Jamur Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus thermophilic actinomycosis.
4. Virus Psikatosis, cacar air, Q fever
5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, atap alang-alang, katun, rami, serta nanas
6. Binatang Kotoran burung merpati, kesturi, ayam. b. Sintesis
1. Plastik Politetra fluoretilen diesosianat 2. Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik 2 Anorganik
a. Silica bebas
1. Crystaline Quarrz, trymite cristobalite 2. Amorphus Diatomaceous earth, silica gel b. Silika
1. Fibrosis Asbestosis, silinamite, talk 2. Lain-lain Mika, kaolin, debu semen c. Metal
1. Inert Besi, barium, titanium, tin, alumunium, seng 2. Lain-lain Berilium
3. Bersifat keganasan Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes, khrom
2. Ukuran Partikel
Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.
Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel
dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli.
Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan
terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).
Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle
adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar
partikel debu di udara (pope, 2003).
3. Konsentrasi Pertikel Debu dan Lama Paparan
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.
Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit
menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter
kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang
melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya
pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).
Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak
lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun.
Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian
gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).
4. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi
Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun
ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu
menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat,
namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama
Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem
pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Murray &
Lopez (2006), dilakukan dengan cara yaitu:
a. Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang
ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan
berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus
dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu cilia yang
terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat
pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang
terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk
yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas
bagian atas maupun bronkus.
b. Secara kimia yaitu cairan dan cilia dalam saluran nafas secara fisik dapat
memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan cilia yang
mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid.
Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan
perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar
menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
c. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga
sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel
yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme
2.3 Riwayat Pekerjaan (Lama Bekerja dan Jam Kerja)
Jenis pekerjaan dalam industri meubel mempengaruhi risiko terjadinya
pemaparan debu kayu. Pekerja yang mempunyai risiko terjadinya pemaparan adalah
pekerja yang berhubungan dengan proses produksi.
Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin
lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi
paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu
lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai
kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri
yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).
Pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan
25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun
timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia,
usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan
dan kematian (Triatmo, 2006).
Lamanya kerja seseorang dapat juga dikaitkan dengan pengalaman yang
didapatkan di suatu tempat kerja. Semakin lama kerja sesorang, maka pengalaman
yang diperolehnya akan bertambah. Umumnya pekerja yang baru belum terbiasa
dengan lingkungan kerjanya dan belum kenal dan memahami risiko pekerjaan,
bahkan kurang berhati-hati dan mengabaikan langkah pengamanan dan pencegahan.
Durasi dan frekuensi pemajanan tunggal atau multiple akan menghasilkan
mendapatkan pemajanan dan seberapa kerap pemajanan mengenai subyek
dampaknyapun semakin bervariasi (Kusnoputranto, 1991).
Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu kayu di tempat kerja, maka
perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan
waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per
minggu (UU Nomor 13, 2003).
2.4 Kebiasaan Merokok
Definisi kebiasaan merokok adalah seseorang yang pernah merokok 100 atau
lebih rokok selama hidupnya dan dilaporkan sekarang masih terus atau
kadang-kadang merokok. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan bahwa rokok
meningkatkan kekerapan kelainan paru, dengan demikian rokok memperburuk efek
debu terhadap paru (Putranto, 2007).
Masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok terkait dengan kandungan zat
kimia yang terdapat di dalam asap rokok, kandungan zat kimia dalam asap rokok
ditentukan oleh beberapa faktor karakteristik rokok, yaitu jenis tembakau, desain
rokok misalnya, pemakaian filter, kertas yang dipakai dan bahan-bahan penambah
dan pola menghisap rokok. Asap rokok mengandung bermacam-macam jenis
senyawa diantaranya 4000 jenis senyawa yang telah di identifikasikan. Beberapa
senyawa tersebut bersifat sebagai asfiksan kimiawi, iritan, siliastik, karsinogen,
Lebih dari 1200 bahan merupakan campuran kompleks yang terdapat dalam
asap rokok. Sebagian besar terdiri dari zat-zat organik. Partikel-partikel yang
terkandung di dalamnya adalah nikotin dan tar, yang bersifat karsinogenik dan
siliotoksik. Asap rokok juga mengandung oksida–oksida yang dapat mengurangi anti
tripsin Alfa satu, dan juga dapat mengakibatkan kenaikan kadar enzim elastolitien
yang mampu merusak jaringan alveolus (Moeller, 1992).
Rokok mengandung substansi yang bersifat racun terhadap silika mukosa
saluran nafas sehingga dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jalan nafas
besar berupa hipertropi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada jalan nafas kecil yang
berdiameter 2 mm akan menimbulkan efek akut berupa obstruksi parsial dan
bervariasi, inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena
proses inflamasi, hiperplasi sel goblet dan sekret intraluminar sehingga mempercepat
penurunan faal paru. Perubahan struktur karena merokok dapat dideteksi setelah
merokok 10 – 15 tahun. Komposisi kimia rokok ialah nikotin, tar dan komponen yang
berisi gas. Komponen pada rokok diduga memberikan pengaruh menahun dalam paru
(Putranto, 2007).
Secara normal faal paru akan berkurang dengan bertambahnya umur dan ini
akan lebih cepat terjadi pada seorang perokok. Kebiasaan merokok dapat
menyebabkan bronkhitis kronik sehingga faal paru menahun dan ada hubungannya
dengan penyakit obstruksi. Kebiasaan merokok berhubungan dengan keluhan saluran
Asap rokok juga dapat menyebabkan iritasi persisten pada saluran pernafasan
sehingga menyebabkan kerentanan terhadap berbagai penyakit.
2.5 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Perlindungan tenaga kerja yang utama melalui upaya teknis pengamanan
tempat, peralatan dan lingkungan kerja. Penggunaan alat pelindung diri merupakan
upaya terakhir dalam usaha perlindungan tenaga kerja. Oleh karena itu alat pelindung
diri harus memenuhi persyaratan antara lain enak dipakai, tidak mengganggu kerja
dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada.
Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak
selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit
akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif
pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan. Pilihan yang
sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan
suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun
1970 tentang keselamatan kerja, pasal 12 mengatur mengenai hak dan kewajiban
tenaga kerja untuk memakai alat pelindung diri. Pada pasal 14 menyebutkan bahwa
pengusaha wajib menyediakan secara cuma-cuma sesuai alat pelindung diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan
bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk
Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar
aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya. Alat
pelindung diri untuk pekerja di Indonesia sangat banyak sekali permasalahannya dan
masih dirasakan banyak kekurangannya (Husaeri & Yunus, 2003).
Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar
keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation), apabila pekerja
memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan
memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja
atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).
Menurut Budiono (2002), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :
1. Masker
Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang
masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran
pori-pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu :
a. Masker penyaring debu
Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam,
penggerindaan atau serbuk kasar lainya.
b. Masker berhidung
Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila
kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti
c. Masker bertabung
Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung.
Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas
tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang
sesuai dengan jenis masker yang digunakan.
d. Masker kertas
Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara
disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang
terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.
e. Masker plastik
Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk jakur pernafasan.Ukuran masker ini sama dengan masker
kertas.namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara,
tetapi tidak bisa menyaring udara,fungsi penyaring udara terletak pada sebuah
tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Di dalam tabung ini
diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun.
2. Respirator
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam,
a. Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan
dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat
pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau
tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.1).
b. Respirator penyalur udara
Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara
dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan
tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara
bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained
Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat
[image:53.612.191.452.453.635.2]kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen (gambar 2.1).