• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Lingkungan, Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Lingkungan, Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2011"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP

GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2011

T E S I S

Oleh :

NOFIDAHANUM 097032110/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP

GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2011

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOFIDAHANUM 097032110/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2011

Nama Mahasiswa : Nofidahanum Nomor Induk Mahasiwa : 097032110

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) (dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 17 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

Anggota : 1.dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S 2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN, RIWAYAT PEKERJAAN, KEBIASAAN MEROKOK DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP

GEJALA GANGGUAN SALURAN PERNAFASAN PADA PEKERJA INDUSTRI MEUBEL DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2011

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

(6)

ABSTRAK

Pekerja industri meubel merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami gejala gangguan saluran pernafasan. Gangguan saluran pernafasan menduduki urutan pertama 10 penyakit terbesar di kota Banda Aceh yaitu sebesar 46,8%.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu) riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerjaan industri meubel di Kota Banda Aceh. Penelitian ini bersifat survai dengan desain cross sectional, dilaksanakan pada bulan Januari 2011-Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja pada 42 industri meubel kayu di Kota Banda Aceh yang berjumlah 285 orang. Sampel dipilih dengan kriteria inklusi adalah 3 industri meubel dan 50 sampel. Analisis data dilakukan regresi logistik pada α = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi debu dan kebiasaan merokok terhadap gejala gangguan saluran pernafasan. Variabel konsentrasi debu adalah yang paling dominan berpengaruh terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.

Pekerja disarankan untuk menggunakan APD dan tidak merokok pada waktu masuk area industri pengolahan meubel dan kepada pihak manajemen industri agar dapat menyediakan APD. Kepada instansi terkait UKM agar dapat melakukan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan APD.

(7)

ABSTRACT

Furniture industry worker is one of the worker who are at risk of the symptom of respiratory tract disorder. Respiratory tract disorder rank first (46,8%) among the 10 largest diseases in the City of Banda Aceh.

The purpose of this survey was to analyze the environmental factor (ventilation, temperature, humidity and dust concentration), employment history, smoking habit and the use of Self-Protection Device on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the City of Banda Aceh. The study was survey with cross sectional design, conducted from January 2011 until Januari 2012 . The population were all worker in 42 wood furniture industries in Banda Aceh for 285 worker. The selected sample with inclusion criteria was 3 industries and 50 samples. Data analysis was done with logistic regretion at α = 0,05.

The result of this study showed that there was an influence dust concentration and smoking habit on the symptom of respiratory tract disorder. Dust concentration was the most dominant variable which had influence on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the city of Banda Aceh.

The worker are suggested to use the Self-Protection Device and not to smoke when entering the area of furniture processing industry and the management of the industry should provide the Self-Protection Device for the worker. The related small and medium scale business company is suggested to provide and implement an extension on the importance of using the Self-Protection Device.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,

berkat rahmat dan karunianya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Pengaruh Faktor Lingkungan, Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan

Penggunaan Alat Pelindung Diri terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada

Pekerja Industri Meubel Di Kota Banda Aceh Tahun 2011.“

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K), selaku ketua komisi pembimbing yang

telah banyak membantu, mengarahkan serta meluangkan waktu dan pikiran

(9)

6. dr. Mohd. Makmur Sinaga, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang telah

banyak membantu serta mengarahkan dengan penuh kesabaran membimbing

penulis dalam proses penyusunan tesis ini.

7. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku dosen pembanding yang telah

memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

8. dr. Taufik Ashar, M.K.M, selaku dosen pembanding yang telah memberikan

masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

9. Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Selanjutnya terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda (Alm) M.Saleh

Ahmad dan Ibunda Syamsiar Abdul Hamid, kedua mertua M.Ali Hanafiah dan

Juwairiah Ali, suami Bukhari dan anak-anak Sausan Nabilah, Naura Athira dan

Haura Athifah yang banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan kepada

penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan

kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Januari 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nofidahanum lahir pada tanggal 25 Nopember 1972 di Kabupaten Bireuen,

anak pertama dari pasangan Alm. M. Saleh Ahmad dan Syamsiar Abdul Hamid.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Pendidikan di Sekolah Dasar Negeri

No. 1 Matangglungpang Dua tamat tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama Negeri

No. 1 Matangglungpang Dua tamat tahun 1987, Sekolah Menengah Atas Negeri No.

1 Bireuen tamat tahun 1990, Akper Depkes RI tamat tahun 1993, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Muhammadiyah Banda Aceh tamat tahun 2000.

Mulai bekerja sebagai Staf pada Kantor Kesehatan Pelabuhan Banda Aceh

tahun 1998 sampai sekarang.

Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Gangguan Saluran Pernafasan ... 10

2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut …….. 10

2.1.2 Penyebab ISPA ... 10

2.1.3 Klasifikasi ISPA ... 11

2.1.4 Gejala ISPA ... 11

2.1.5 Cara Penularan Penyakit ISPA ... 14

2.1.6 Diagnosa ISPA ... 14

2.1.7 Pengobatan ISPA ... 15

2.2 Faktor-Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Gangguan Saluran Pernafasan ... 15

2.2.1 Ventilasi ... 16

2.2.2 Suhu ... 17

2.2.3 Kelembaban ... 18

2.2.4 Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja ... 19

2.2.4.1Pengertian Debu ... 19

2.2.4.2Pengertian Debu Kayu ... 20

2.2.4.3Pencemaran Udara oleh Debu ... 20

2.2.4.4Efek Debu terhadap Kesehatan ... 21

2.3 Riwayat Pekerjaan (Lama Bekerja dan Jam Kerja) ... 27

(12)

2.5 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ... 30

2.6 Perajin Meubel Kayu ... 35

2.6.1 Pengertian ... 35

2.6.2 Bahan Baku yang Digunakan ... 35

2.6.3 Mesin dan Peralatan ... 35

2.6.4 Proses Produksi Meubel Kayu ... 35

2.7 Bahaya Potensial dan Akibatnya ... 40

2.7.1 Penggergajian ... 40

2.7.2 Penyiapan Bahan Baku/Penyiapan Komponen ... 40

2.7.3 Penyerutan dan Pengamplasan ... 41

2.7.4 Perakitan ... 41

2.7.5 Pemutihan/Pengecatan ... 41

2.8 Landasan Teori ... 42

2.9 Kerangka Konsep ... 44

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 45

3.2.2 Waktu Penelitian ... 45

3.3 Populasi dan Sampel ... 45

3.3.1 Populasi ... 45

3.3.2 Sampel ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 47

3.4.1 Data Primer ... 47

3.4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 48

3.5.1 Variabel Independen ... 48

3.5.2 Variabel Dependen ... 49

3.6 Metode Pengukuran ... 49

3.6.1 Pengukuran Variabel Keadaan Lingkungan Kerja Industri Meubel ... 49

3.6.2 Pengukuran Variabel Riwayat Pekerjaan ... 52

3.6.3 Pengukuran Variabel Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD ... 53

3.6.4 Pengukuran Variabel Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 54

3.7 Metode Analisis Data ... 55

3.7.1 Analisis Univariat ... 55

3.7.2 Analisis Bivariat ... 55

(13)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 56

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 56

4.2 Karakeristik Pekerja ... 57

4.3 Analisis Univariat ... 58

4.3.1 Faktor Lingkungan ... 58

4.3.2 Riwayat Pekerjaan ... 59

4.3.3 Kebiasaan Merokok ... 62

4.3.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri ... 64

4.3.5 Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 66

4.4 Analisis Bivariat ... 67

4.4.1 Hubungan Faktor Lingkungan dengan Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh ... 67

4.4.2 Hubungan Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh . 69 4.5 Analisis Multivariat ... 71

BAB 5. PEMBAHASAN ... 75

5.1 Faktor Lingkungan ... 75

5.1.1 Ventilasi ... 75

5.1.2 Suhu ... 76

5.1.3 Kelembaban ... 76

5.1.4 Konsentrasi Debu ... 77

5.2 Riwayat Pekerjaan (Lama Kerja dan Jam Kerja) ... 78

5.3 Kebiasaan Merokok ... 78

5.4 Penggunaan APD ... 79

5.5 Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 80

5.6 Pengaruh Faktor Lingkungan (Ventilasi, Suhu, Kelembaban dan Konsentrasi Debu) terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 80

5.6.1 Ventilasi ... 80

5.6.2 Suhu ... 81

5.6.3 Kelembaban ... 82

5.6.4 Konsentrasi debu ... 83

5.7 Pengaruh Riwayat Pekerjaan (Lama Kerja dan Jam Kerja) terhadap Gejala Gangguan Saluran Pernafasan ... 85

(14)

5.9 Pengaruh Penggunaan APD terhadap Gejala Gangguan

Saluran Pernafasan ………... . 88

5.10Upaya Penanggulangan Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel dengan Pendekatan Teori Simpul ... 91

5.11Keterbatasan penelitian ... 93

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

6.1 Kesimpulan ... 94

6.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(15)

DAFTAR TABEL No. 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 Judul

Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru Pada Manusia ...

Aspek Pengukuran Variabel Faktor Lingkungan ………

Aspek Pengukuran Variabel Riwayat Pekerjaan ……….

Aspek Pengukuran Variabel Kebiasaan Merokok dan

Penggunaan APD ……….

Aspek Pengukuran Variabel Gejala Gangguan Saluran

Pernafasan ………

Karakteristik Pekerja Berdasarkan Umur, Lama Kerja dan Pendidikan pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Frekuensi Ventilasi, Suhu dan Kelembaban pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ………..

Distribusi Frekuensi Pengukuran Konsentrasi Debu di Lima Titik 3 Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……..

Distribusi Riwayat Pekerjaan pada Perusahaan Sebelumnya dan Perusahaan yang Sekarang pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Riwayat Pekerjaan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Jawaban Responden Tentang Kebiasaan Merokok pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Katagori Kebiasaan Merokok pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Jawaban Responden Mengenai Penggunaan APD pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011.

(16)

4.9 4.10 4.11 4.12 4.13 4.14 4.15 4.16

Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Kategori Penggunaan APD pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 …

Distribusi Jawaban Responden Mengenai Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Kategori Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Hubungan Faktor Lingkungan dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ……….

Hubungan Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan Merokok dan Penggunaan APD dengan Terjadinya Gejala Gangguan Saluran Pernafasan pada Pekerja Industri Meubel di Kota Banda Aceh Tahun 2011 ………..

Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model ………...

Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model p < 0,25 ……….

Hasil Uji Regresi Logitik Ganda untuk Identifiksasi Variabel yang akan Masuk dalam Model p < 0,05 ……….

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Alat Pelindung Pernafasan ... 33

2.2 Proses Penggergajian Kayu ... 36

2.3 Proses Penyiapan Bahan Baku ... 37

2.4 Proses Penyiapan Komponen ... 37

2.5 Proses Perakitan dan Pembentukan ... 38

2.6 Proses Penyelesaian Akhir ... 39

2.7 Proses Pengepakan ... 39

2.8 Landasan Teori ... 43

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 99

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 104

3. Master Data Penelitian ... 112

4. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 119

5. Foto-foto Kegiatan Penelitian ………... 149

6. Surat Keterangan Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara ... 152

(19)

ABSTRAK

Pekerja industri meubel merupakan salah satu pekerja yang berisiko mengalami gejala gangguan saluran pernafasan. Gangguan saluran pernafasan menduduki urutan pertama 10 penyakit terbesar di kota Banda Aceh yaitu sebesar 46,8%.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu) riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerjaan industri meubel di Kota Banda Aceh. Penelitian ini bersifat survai dengan desain cross sectional, dilaksanakan pada bulan Januari 2011-Januari 2012. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja pada 42 industri meubel kayu di Kota Banda Aceh yang berjumlah 285 orang. Sampel dipilih dengan kriteria inklusi adalah 3 industri meubel dan 50 sampel. Analisis data dilakukan regresi logistik pada α = 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh konsentrasi debu dan kebiasaan merokok terhadap gejala gangguan saluran pernafasan. Variabel konsentrasi debu adalah yang paling dominan berpengaruh terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.

Pekerja disarankan untuk menggunakan APD dan tidak merokok pada waktu masuk area industri pengolahan meubel dan kepada pihak manajemen industri agar dapat menyediakan APD. Kepada instansi terkait UKM agar dapat melakukan penyuluhan tentang pentingnya penggunaan APD.

(20)

ABSTRACT

Furniture industry worker is one of the worker who are at risk of the symptom of respiratory tract disorder. Respiratory tract disorder rank first (46,8%) among the 10 largest diseases in the City of Banda Aceh.

The purpose of this survey was to analyze the environmental factor (ventilation, temperature, humidity and dust concentration), employment history, smoking habit and the use of Self-Protection Device on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the City of Banda Aceh. The study was survey with cross sectional design, conducted from January 2011 until Januari 2012 . The population were all worker in 42 wood furniture industries in Banda Aceh for 285 worker. The selected sample with inclusion criteria was 3 industries and 50 samples. Data analysis was done with logistic regretion at α = 0,05.

The result of this study showed that there was an influence dust concentration and smoking habit on the symptom of respiratory tract disorder. Dust concentration was the most dominant variable which had influence on the symptom of respiratory tract disorder in the worker of furniture industry in the city of Banda Aceh.

The worker are suggested to use the Self-Protection Device and not to smoke when entering the area of furniture processing industry and the management of the industry should provide the Self-Protection Device for the worker. The related small and medium scale business company is suggested to provide and implement an extension on the importance of using the Self-Protection Device.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen

politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan

kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan

tersebut, pembangunan industri yang dipilih harus berwawasan lingkungan, dengan

tujuan sedikit mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai

akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhana, 2001).

Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia memberikan berbagai dampak

positif yaitu terbukanya lapangan kerja, membaiknya sarana transportasi dan

komunikasi serta meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Suatu kenyataan

dapat disimpulkan bahwa perkembangan kegiatan industri secara umum juga

merupakan sektor yang potensial sebagai sumber pencemaran yang akan merugikan

bagi kesehatan dan lingkungan (Khumaidah, 2009).

Salah satu dampak penting akibat pembangunan industri adalah perubahan

kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran udara. Pencemaran udara yang

terjadi selain pencemaran udara di ambien (outdoor air pollution) juga pencemaran

udara dalam ruangan (indoor air pollution). Pencemaran udara di ambien terjadi

(22)

pembakaran hutan, letusan gunung berapi dan pembangkit tenaga listrik (Fardiaz,

1992).

Polutan-polutan hasil kegiatan industri dapat berupa gas dan debu yang

berisiko terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap kesehatan dipengaruhi oleh

intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh status kesehatan

penduduk yang terpajan (Kusnoputranto, 2000).

Perhatian atas dampak pajanan bahan-bahan berbahaya di tempat kerja dan

lingkungan terhadap kesehatan sejak beberapa dekade terakhir tampak makin

meningkat karena peranannya terhadap gangguan saluran pernafasan. Pajanan bahan

berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan atau memperburuk penyakit seperti

asma, kanker, dermatitis dan tuberculosis. Diperkirakan jumlah kasus baru penyakit

akibat kerja di Amerika Serikat 125.000 sampai 350.000 kasus pertahun dan terjadi

5,3 juta kecelakaan kerja pertahun. Sedangkan penyakit saluran pernafasan

merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara berkembang, prevalensinya

bervariasi antara 2 – 20 % (Wahyuningsih, 2003).

Program pengendalian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) menetapkan

bahwa semua kasus yang ditemukan harus mendapat tata laksana sesuai standar,

dengan demikian penemuan angka kasus ISPA juga menggambarkan penatalaksanaan

kasus ISPA. Jumlah kasus ISPA di masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari

populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada balita sebesar 76% dari

perkiraan jumlah kasus, namun pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru

(23)

Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007,

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang penting

di Indonesia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi dengan proporsi 3,8%

untuk penyebab kematian di semua umur, sementara prevalensi nasional ISPA

sebesar 25,5%. Untuk angka kunjungan pasien ke rumah sakit dengan penyakit

gangguan sistem pernafasan berada di peringkat pertama yaitu sebesar 18,6% (Ditjen

Bina Yanmedik, 2009).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, prevalensi Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada tahun 2008 sebesar 63,78% dan pada tahun

2009 sebesar 70,36%, urutan pertama terbanyak dari 10 jenis penyakit menular

(Profil Dinas Kesehatan Propinsi Aceh, 2008, 2009), dan data dari Dinas Kesehatan

Kota Banda Aceh, prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada tahun

2008 sebesar 50,91% dan pada tahun 2009 sebesar 46,8%, urutan pertama terbanyak

dari 10 jenis penyakit menular (Profil Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, 2008,

2009).

Industri pengolahan kayu merupakan salah satu industri yang

pertumbuhannya sangat pesat. Keadaan ini memengaruhi konsumsi hasil hutan yang

mencapai 33 juta m3 per tahun. Konsumsi hasil hutan yang sedemikian besar itu

antara lain diserap oleh industri plywood, sawmill, furniture, partikel board dan pulp

kertas. Industri pengolahan kayu membutuhkan energi dan penggunaan bahan baku

alami yang besar, seperti kayu keras antara lain: jati, meranti, mahoni dan kayu lunak

(24)

meubel cenderung menghasilkan polusi seperti partikel debu kayu. Industri meubel

tersebut berpotensi menimbulkan polusi udara di tempat kerja yang berupa debu

kayu. Partikel debu kayu sekitar 10 sampai 13 % yang digergaji dan dihaluskan akan

berbentuk debu kayu yang berterbangan di udara (Yunus, 2006).

Di Kota Banda Aceh, Industri meubel telah berkembang dengan pesat dalam

5 tahun terakhir. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi

dan UKM kota Banda Aceh (2010), di Kota Banda Aceh terdapat 55 industri meubel

yang terdiri dari 7 (tujuh) industri ukiran kayu, 5 (lima) industri ketam/kusen, 42

(empat puluh dua) industri furniture, dan 1 (satu) industri furniture logam (Profil

Dinas Perindustrian Kota Banda Aceh, 2010).

Perlu diketahui bahwa industri meubel di Kota Banda Aceh belum mendapat

perhatian dalam pelayanan kesehatan kerja khususnya penyakit yang berhubungan

dengan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pemilik usaha tidak

menyediakan jaminan kesehatan kepada pekerja. Pelayanan kesehatan yang diterima

oleh pekerja adalah pelayanan kesehatan di Puskesmas, sebagai anggota masyarakat

yang menderita penyakit umum.

Faktor lingkungan yang memengaruhi gangguan kesehatan pada pekerja

industri meubel adalah tempat kerja (ventilasi, suhu, kelembaban, konsentrasi debu)

pencahayaan, kebisingan, perilaku penggunaan APD dan posisi kerja pada proses

penggergajian, penyiapan bahan baku, penyerutan dan pengamplasan, perakitan serta

pengecatan yaitu pemakaian zat kimia seperti H2O2, thenner, sanding sealer, melanic

(25)

nafas dengan gejala batuk, pilek, sesak nafas dan demam, juga dapat terjadi iritasi

pada mata dengan gejala mata pedih, kemerahan dan berair (Wahyuningsih, 2003).

Di samping itu, faktor individual yang meliputi mekanisme pertahanan paru,

anatomi dan fisiologi saluran napas serta faktor imunologis. Penilaian paparan pada

manusia perlu dipertimbangkan antara lain sumber paparan, jenis pabrik, lamanya

paparan, paparan dari sumber lain. Pola aktivitas sehari-hari dan faktor penyerta yang

potensial seperti umur, jenis kelamin, etnis, kebiasaan merokok dan faktor allergen

(Jeremy et.al, 2007).

Dampak negatif dari industri pengolahan kayu adalah timbulnya pencemaran

udara oleh debu yang timbul pada proses pengolahan atau hasil industri meubel

tersebut. Debu kayu ini akan mencemari udara dan lingkungannya sehingga pekerja

industri meubel dapat terpapar debu karena bahan baku, bahan antara ataupun produk

akhir. Bahan pencemar tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia

khususnya gangguan fungsi paru (Khumaidah, 2009).

Dalam industri meubel, bahan buangan partikulat merupakan hasil dari proses

pemotongan, penggergajian, penyerutan dan pengamplasan. Dalam konsentrasi yang

besar, partikulat dari kayu dapat menimbulkan pemaparan pada pekerja secara

intensif. Partikulat yang dihasilkan dalam berbagai bentuk ukuran. Partikulat yang

melayang di udara berukuran 0,001 – 100 mikron. Kelompok partikulat yang

berukuran 10 mikron merupakan partikulat yang masuk atmosfer dan dapat bertahan

lama melayang di udara. Dalam kaitannya dengan kesehatan jika pertikulat terhirup.

(26)

terhadap pekerja, seperti gangguan saluran pernafasan. Gangguan pernafasan

merupakan kondisi tidak normal yaitu ada kelainan satu atau lebih berupa batuk pilek

disertai dahak/tidak, napas cepat baik disertai demam atau tidak (Putranto, 2007).

Efek kesehatan pada saluran pernafasan dapat dinilai melalui gejala penyakit

pernafasan. Gejala penyakit pernafasan banyak dipakai dalam penelitian efek

kesehatan oleh partikulat adalah batuk, sakit kerongkongan, ronkhi, bunyi mengi, dan

sesak nafas (Robertson, 1984, dalam Purwana,1999).

Pekerja industri meubel kayu mempunyai risiko yang sangat besar untuk

penimbunan debu pada saluran pernafasan. Proses produksi meubel kayu meliputi

beberapa tahap yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, penyiapan

komponen, perakitan dan pembentukan, dan proses akhir pengamplasan dan

pengepakan. Dalam tahapan produksi yang paling banyak menghasilkan debu adalah

pada tahapan penggergajian, penyiapan bahan baku, penyerutan dan pengamplasan.

Gambaran umum keluhan pekerja antara lain batuk, sesak nafas, banyak dahak,

kelelahan umum dan lain-lain.

Berbagai studi tentang debu yang berhubungan dengan gangguan pernafasan

antara lain menurut penelitian Naeim (1992) bahwa debu dari berbagai jenis kayu

dapat menimbulkan berbagai penyakit saluran pernafasan seperti asma, rhinitis, dan

alveolitis.

Studi di London dan New York juga menunjukkan rata-rata konsentrasi

partikulat setiap hari di atas 250 µg/m3 mengakibatkan peningkatan penyakit saluran

(27)

Penelitian mengenai debu kayu respirabel yang ditimbulkan oleh pengolahan

kayu telah dilakukan oleh Vanwiclen dan Beard pada tahun 1993 membuktikan

babwa persentase terbesar dari debu kayu respirabel partikelnya berdiamater antar 1

sampai 2 mikron. Sedangkan prosentase terbesar kedua ditempati dengan diameter

0,5 sampai 0,7 mikron (Triatmo, 2006).

Braun-Fahrlander et.al (1997), bahwa batuk dan bronchitis berhubungan

secara signifikan dengan konsentrasi debu kayu. Penelitian Holmess (1989), dari 50

pekerja furniture, ditemukan konsentrasi debu kayu 109 µg/m3 menyebabkan

terjadinya faal paru pekerja sebanyak 31%, dan penelitian Shamssain (1992), yang

melakukan penelitian terhadap pekerja kayu, menemukan konsentrasi debu 229

µg/m3

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti pada bulan Februari

2011, bahwa keadaan lingkungan kerja tidak disiapkan untuk memberikan

perlindungan dalam bekerja terhadap pemaparan debu. Proses produksi meubel

dilakukan di luar ruangan, sehingga konsentrasi debu di lingkungan industri meubel

tidak hanya bersumber dari proses produksi tetapi juga berasal dari jalanan. Dan

akibat keterbatasan modal, pemilik usaha tidak menyediakan alat pelindung diri,

sehingga umumnya pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya

sebagian kecil yang menggunakan penutup hidung dan mulut ketika bekerja serta

sebagian pekerja merokok sambil bekerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan

pekerja, diantaranya ada yang mengalami batuk dan pilek.

menyebabkan terjadinya penurunan faal paru sebanyak 31% tenaga kerja

(28)

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan

kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan

saluran pernafasan yang terdapat pada pekerja industri meubel.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah pada penelitian ini

adalah “ Adakah pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok

dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan

yang terdapat pada pekerja industri meubel?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor

lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban dan konsentrasi debu), riwayat pekerjaan,

kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri terhadap terjadinya gejala

gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri meubel di Kota Banda Aceh.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dilakukan, maka hipotesis pada

penelitian ini yaitu “Ada pengaruh faktor lingkungan (ventilasi, suhu, kelembaban,

konsentrasi debu), riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan penggunaan alat

pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran pernafasan pada pekerja industri

(29)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh dan pengusaha

industri meubel tentang pengaruh faktor lingkungan kerja, riwayat pekerjaan,

kebiasaan merokok dan penggunaan alat pelindung diri yang dapat

memengaruhi terjadinya gejala gangguan saluran pernafasan.

2. Sebagai masukan bagi pekerja industri meubel untuk menambah pengetahuan

tentang pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok

dan penggunaan alat pelindung diri terhadap gejala gangguan saluran

pernafasan.

3. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

tentang Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan

pengaruh faktor lingkungan, riwayat pekerjaan, kebiasaan merokok dan

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Saluran Pernafasan

2.1.1. Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga

kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar

hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2009).

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan

keluhan-keluhan dan gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin

gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan

kegagalan pernafasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan

pernafasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian

mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih

berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam

kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).

2.1.2 Penyebab ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan kuman

yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Pada ISPA

atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara berkembang, ISPA bawah

(31)

pnemokokus, bordetella dan korinebakterium, sedang di negara maju ISPA bawah

disebabkan oleh virus, miksovirus, adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan

herpesvirus (Parker, 1985 dalam Putranto, 2007).

2.1.3 Klasifikasi ISPA

Menurut Depkes 2009, klasifikasi dari ISPA adalah :

1. Ringan ( bukan pneumonia )

Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /

berair, tenggorokan merah, telinga berair.

2. Sedang ( pneumonia sedang )

Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar

cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar

limfe yang nyeri tekan ( adentis servikal ).

3. Berat ( pneumonia berat )

Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring, kejang,

apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang kuat pada

dinding dada sebelah bawah ke dalam.

2.1.4 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem

kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan

virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran

pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya

(32)

menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala.

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi

peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga

berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di

daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan

cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan

terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret

menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi,

gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah

sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga

bronkhitis dan pneumonia (Halim, 2000).

Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada

dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir

yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan

kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk

menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO menganjurkan pengamatan terhadap

gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga

dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan

memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis,

bunyi mengi dan sesak nafas (Robertson, 1984 dalam Purwana, 1992).

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar

(33)

Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa

dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran.

Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit

pernafasan :

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan

pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga

timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi

refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam

bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel

goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan

mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam

saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang

berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran

pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran

pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara.

(34)

4. Bunyi mengi

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut

diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.1.5 Cara Penularan Penyakit ISPA

Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,

bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, maka penyakit ISPA

termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak

dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan

melalui udara, dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang

penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang

mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (Halim, 2000).

2.1.6 Diagnosa ISPA

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah

biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA

oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan

cairan pleura (Halim, 2000).

Diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu

frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan

yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia

berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya

(35)

diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis

atau penyakit non pnemonia lainnya (Halim, 2000).

2.1.7 Pengobatan ISPA

ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul

persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada obat yang

khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah pengobatan secara

rasional. dengan mendapatkan antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman

penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi terlebih dahulu dengan

mengambil material pemeriksaan yang tepat, kemudian dilakukan pemeriksaan

mikrobiologik, baru setelah itu diberikan antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).

Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan

memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu baru

diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman komensal,

tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan yang digunakan

adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah diketahui kuman penyebab

beserta anti mikroba yang sesuai, terapi selanjutnya disesuaikan.

2.2 Faktor-Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Gangguan Saluran Pernafasan

Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya

pada aspek tenaga kerja adalah kebiasan merokok, penggunaan alat pelindung diri

(36)

2.2.1 Ventilasi

Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan ventilasi atau

penghawaan minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan ventilasi silang. Untuk

ruangan yang menggunakan air conditioner secara periodik harus dibersihkan,

dimatikan, dan diupayakan mendapat pergantian udara secara alamiah dengan cara

membuka seluruh pintu dan jendela atau dengan kipas angin. Dalam lingkungan

industri, sistem ventilasi atau penghawaan dibangun berdasarkan kepentingan ruang

yaitu sebagai ruang produksi atau administrasi. Sebagai ruang produksi, sistem

ventilasi umumnya terbuka atau setengah terbuka, dan banyak dilengkapi dengan

exhauster yang berfungsi sebagai penyedot udara sehingga pergantian udara menjadi

lebih lancar (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1405/MENKES/SK/XI/2002).

Ventilasi industri merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara

dan menciptakan udara suatu ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi

atau kenyamanan pekerja. Di samping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar

suatu kontaminan di udara tempat kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi

kesehatan dan keselamatan pekerja.

Prinsip sistem ventilasi yang digunakan dalam suatu industri adalah membuat

prinsip suatu proses pertukaran udara di dalam ruang kerja. Pertukaran udara dan

mengganti udara segar yang dilaksanakan secara bersama-sama. Jika tidak ada sistem

(37)

kerja. Sehingga kontaminan akan tetap berada di sekitar sumber dan di daerah sekitar

pernafasan pekerja dengan konsentrasi yang tinggi (Khumaidah, 2009).

Pertukaran udara dapat dilakukan baik secara alami maupun dengan bantuan

peralatan mekanik. Pertukaran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan,

dimana udara bergerak dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi ke daerah yang

tekanannya rendah.

Pertukaran udara secara alami karena adanya kondisi ruangan panas. Dengan

kondisi panas, udara akan memuai dan naik lalu keluar melalui vena di atap.

Keluarnya udara panas akan diganti dengan udara segar yang masuk melalui

lubang-lubang bangunan, seperti melalui pintu yang terbuka, jendela atau kisi-kisi bangunan.

Pertukaran udara secara mekanik dilakukan dengan cara memasang sistem

pengeluaran udara (exchaust system) dan pemasukan udara (supply system) dengan

menggunakan fan. Exhaust system dipasang untuk mengeluarkan udara beserta

kontaminan yang ada sekitar ruang kerja, biasanya ditempatkan disekitar ruang kerja

atau dekat dengan sumber dimana kontaminan dikeluarkan. Supply system dipasang

untuk memasukkan udara ke dalam ruangan, umumnya digunakan untuk menurunkan

tingkat konsentrasi kontaminan di dalam lingkungan kerja (Khumaidah, 2009).

2.2.2 Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja

adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja

yaitu berkisar antara 18 0C sampai 30 0C dengan tinggi langit-langit dari lantai

(38)

air conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu udara luar < 18 0

2.2.3 Kelembaban

C perlu

menggunakan alat pemanas ruangan (Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang

terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada

dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.

Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan

pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan suhu

dan keduanya merupakan pemicu pertumbuhan jamur dan bakteri. Pada umumnya

kondisi optimal perkembangbiakan mikroorganisme adalah pada kondisi kelembaban

tinggi. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat

menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang

tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid

dari material bangunan (Suma’mur, 1996).

Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah

berkisar antara 65 % - 95 %. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95 % perlu

menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65 % perlu

menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri

(39)

2.2.4 Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja

Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Sesuai dengan

Surat Keputusan tersebut, nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10

mg/m3 untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi total

suspended solid (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA

sebesar 260 µg/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 75 µg/m3 untuk waktu

pengukuran 1 tahun. Sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar 150 µg/m3 untuk waktu

pengukuran 24 jam dan 50 µg/m3

2.2.4.1 Pengertian Debu

untuk waktu pengukuran 1 tahun (US.EPA, 2004

dalam Putranto, 2007).

Debu yaitu partikel zat padat, yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan

alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan

yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun

anorganik, misalnya batu, kayu, biji logam, arang batu, butir-butir zat dan sebagainya

(Suma’mur, 1996).

Definisi lain mengatakan debu merupakan salah satu polutan yang dapat

mengganggu kenikmatan kerja. Debu juga dapat mengakibatkan gangguan pernafasan

bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu pada proses

produksinya. Debu juga sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara

(40)

mikron. Polutan merupakan bahan-bahan yang ada di udara yang dapat

membahayakan kehidupan manusia (Amin, 1996).

Dalam kasus pencemaran udara baik dalam maupun di luar gedung (indoor

and out door pollution) debu merupakan campuran dari berbagai bahan dengan

ukuran dan bentuk yang relatif berbeda-beda dan sering dijadikan salah satu indikator

pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya, baik terhadap

lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Pudjiastuti, 2002).

2.2.4.2 Pengertian Debu Kayu

Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat (kayu) yang dihasilkan oleh

kekuatan-kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran,

pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan

organik maupun anorganik misalnya kayu, biji logam dan arang batu (Yunus, 2006).

Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi 2 yaitu (Malaka, 1996) :

1. Deposit particulate matter

Partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera

mengendap karena daya tarik bumi.

2. Suspended particulate matter

Partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap.

2.2.4.3 Pencemaran Udara Oleh Debu

Partikel debu menyebar di atmosfer akibat dari berbagai proses alami seperti

letusan gunung, hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktifitas manusia juga

(41)

dari bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses

pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber partikel yang utama

adalah pembakaran dari bahan bakar sumbernya diikuti proses-proses industri.

Partikel debu di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang terdiri atas partikel

padat dan cair. Ukurannya dari 100 mikron hingga kurang dari 0,01 mikron.Terdapat

hubungan antara partikel, polutan dengan sumbernya (Fardiaz, 1992).

Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam

keadaan melayang-layang di udara, kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui

pernafasan. Menurut Pudjiastuti (2002), selain dapat membahayakan terhadap

kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan aestetik dan fisik seperti terganggunya

pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran.

1. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori

tumbuhan sehingga mengganggu jalannya fotosintesis.

2. Merubah iklim global regional maupun internasional.

3. Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan

sosial ekonomi di masyarakat.

4. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi,

gangguan pernafasan dan kanker pada paru-paru.

2.2.4.4 Efek Debu Terhadap Kesehatan

Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel

apabila masuk ke dalam organ pernafasan manusia maka dapat menimbulkan

(42)

ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala

utama yang sering terjadi adalah batuk, sesak nafas dan kelelahan umum.

Mekanisme penimbunan debu dalam paru dapat dijelaskan sebagai berikut:

debu diinhalasi dalam partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap, debu yang

berukuran antara 5-10 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian atas, debu yang

berukuran 3-5 μ akan ditahan oleh saluran nafas bagian tengah, debu yang berukuran

1-3 μ disebut respirabel, merupakan ukuran yang paling bahaya, karena akan tertahan

dan tertimbun mulai dari bronchiolus terminalis sampai hinggap di permukaan

alveoli/selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru. Sedangkan debu yang

berukuran 0,1 – 1 μ melayang di permukaan alveoli (Pudjiastuti, 2002).

Mekanisme timbulnya debu dalam paru, menurut Putranto (2007) :

1. Kelembaban dari debu yang bergerak (inertia)

Pada waktu udara membelok ketika jalan pernafasan yang tidak lurus,

partikel-partikel debu yang bermasa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran

udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk selaput lendir dan hinggap di

paru-paru.

2. Pengendapan (Sedimentasi)

Pada bronchioli kecepatan udara pernafasan sangat kurang, kira-kira 1 cm per

detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu dan

mengendapnya.

3. Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 μ, partikel-partikel tersebut

(43)

Jalan masuk dalam tubuh, menurut Putranto (2007) :

1. Inhalation adalah jalan masuk (rute) yang paling signifikan di mana substansi

yang berbahaya masuk dalam tubuh melalui pernafasan dan dapat menyebabkan

penyakit baik akut maupun kronis.

2. Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi kulit di

mana ada yang tidak menyebabkan perubahan berat pada kulit, tetapi

menyebabkan kerusakan serius pada kulit.

3. Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan (jarang terjadi).

Tidak semua partikel yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di paru.

Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan

karakterisrik debu sendiri yang meliputi jenis debu, ukuran partikel debu, konsentrasi

partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.

1. Jenis debu

Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan

sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.

Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.

Suma’mur (1996) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik

(44)
[image:44.612.117.533.140.466.2]

Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia

No Jenis Debu Contoh (jenis debu)

1 Organik a. Alamiah

1. Fosil Batu bara, karbon hitam, arang, granit 2. Bakteri TBC, antraks, enzim bacillus substilis

3. Jamur Koksidimikosis,histoplasmosis,kriptokokus thermophilic actinomycosis.

4. Virus Psikatosis, cacar air, Q fever

5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus, atap alang-alang, katun, rami, serta nanas

6. Binatang Kotoran burung merpati, kesturi, ayam. b. Sintesis

1. Plastik Politetra fluoretilen diesosianat 2. Reagen Minyak isopropyl, pelarut organik 2 Anorganik

a. Silica bebas

1. Crystaline Quarrz, trymite cristobalite 2. Amorphus Diatomaceous earth, silica gel b. Silika

1. Fibrosis Asbestosis, silinamite, talk 2. Lain-lain Mika, kaolin, debu semen c. Metal

1. Inert Besi, barium, titanium, tin, alumunium, seng 2. Lain-lain Berilium

3. Bersifat keganasan Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, asbes, khrom

2. Ukuran Partikel

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.

Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel

dengan diameter 0,5-0,1 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli.

Partikel berdiameter 0,5-0,1 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan

terjadinya pneumokoniosis (Malaka, 1996).

Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle

(45)

adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar

partikel debu di udara (pope, 2003).

3. Konsentrasi Pertikel Debu dan Lama Paparan

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama

paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.

Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit

menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter

kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru. Konsentrasi yang

melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya

pneumokoniosis (Mangkunegoro, 2003).

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak

lama dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun.

Dengan demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian

gangguan fungsi paru (Yunus, 2006).

4. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi

Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun

ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu

menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat,

namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama

(46)

Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem

pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Murray &

Lopez (2006), dilakukan dengan cara yaitu:

a. Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang

ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan

berlangsung di hidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus

dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu cilia yang

terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat

pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang

terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk

yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas

bagian atas maupun bronkus.

b. Secara kimia yaitu cairan dan cilia dalam saluran nafas secara fisik dapat

memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan cilia yang

mucociliary escalator ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan bakterisid.

Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan

perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar

menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

c. Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga

sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel

yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme

(47)

2.3 Riwayat Pekerjaan (Lama Bekerja dan Jam Kerja)

Jenis pekerjaan dalam industri meubel mempengaruhi risiko terjadinya

pemaparan debu kayu. Pekerja yang mempunyai risiko terjadinya pemaparan adalah

pekerja yang berhubungan dengan proses produksi.

Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin

lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi

paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu

lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa kerja mempunyai

kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri

yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).

Pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan

25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun

timbul batuk produktif, usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak hipoksemia,

usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernafasan

dan kematian (Triatmo, 2006).

Lamanya kerja seseorang dapat juga dikaitkan dengan pengalaman yang

didapatkan di suatu tempat kerja. Semakin lama kerja sesorang, maka pengalaman

yang diperolehnya akan bertambah. Umumnya pekerja yang baru belum terbiasa

dengan lingkungan kerjanya dan belum kenal dan memahami risiko pekerjaan,

bahkan kurang berhati-hati dan mengabaikan langkah pengamanan dan pencegahan.

Durasi dan frekuensi pemajanan tunggal atau multiple akan menghasilkan

(48)

mendapatkan pemajanan dan seberapa kerap pemajanan mengenai subyek

dampaknyapun semakin bervariasi (Kusnoputranto, 1991).

Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu kayu di tempat kerja, maka

perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan

kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan

waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per

minggu (UU Nomor 13, 2003).

2.4 Kebiasaan Merokok

Definisi kebiasaan merokok adalah seseorang yang pernah merokok 100 atau

lebih rokok selama hidupnya dan dilaporkan sekarang masih terus atau

kadang-kadang merokok. Dalam beberapa penelitian menyimpulkan bahwa rokok

meningkatkan kekerapan kelainan paru, dengan demikian rokok memperburuk efek

debu terhadap paru (Putranto, 2007).

Masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok terkait dengan kandungan zat

kimia yang terdapat di dalam asap rokok, kandungan zat kimia dalam asap rokok

ditentukan oleh beberapa faktor karakteristik rokok, yaitu jenis tembakau, desain

rokok misalnya, pemakaian filter, kertas yang dipakai dan bahan-bahan penambah

dan pola menghisap rokok. Asap rokok mengandung bermacam-macam jenis

senyawa diantaranya 4000 jenis senyawa yang telah di identifikasikan. Beberapa

senyawa tersebut bersifat sebagai asfiksan kimiawi, iritan, siliastik, karsinogen,

(49)

Lebih dari 1200 bahan merupakan campuran kompleks yang terdapat dalam

asap rokok. Sebagian besar terdiri dari zat-zat organik. Partikel-partikel yang

terkandung di dalamnya adalah nikotin dan tar, yang bersifat karsinogenik dan

siliotoksik. Asap rokok juga mengandung oksida–oksida yang dapat mengurangi anti

tripsin Alfa satu, dan juga dapat mengakibatkan kenaikan kadar enzim elastolitien

yang mampu merusak jaringan alveolus (Moeller, 1992).

Rokok mengandung substansi yang bersifat racun terhadap silika mukosa

saluran nafas sehingga dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jalan nafas

besar berupa hipertropi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada jalan nafas kecil yang

berdiameter 2 mm akan menimbulkan efek akut berupa obstruksi parsial dan

bervariasi, inflamasi ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena

proses inflamasi, hiperplasi sel goblet dan sekret intraluminar sehingga mempercepat

penurunan faal paru. Perubahan struktur karena merokok dapat dideteksi setelah

merokok 10 – 15 tahun. Komposisi kimia rokok ialah nikotin, tar dan komponen yang

berisi gas. Komponen pada rokok diduga memberikan pengaruh menahun dalam paru

(Putranto, 2007).

Secara normal faal paru akan berkurang dengan bertambahnya umur dan ini

akan lebih cepat terjadi pada seorang perokok. Kebiasaan merokok dapat

menyebabkan bronkhitis kronik sehingga faal paru menahun dan ada hubungannya

dengan penyakit obstruksi. Kebiasaan merokok berhubungan dengan keluhan saluran

(50)

Asap rokok juga dapat menyebabkan iritasi persisten pada saluran pernafasan

sehingga menyebabkan kerentanan terhadap berbagai penyakit.

2.5 Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Perlindungan tenaga kerja yang utama melalui upaya teknis pengamanan

tempat, peralatan dan lingkungan kerja. Penggunaan alat pelindung diri merupakan

upaya terakhir dalam usaha perlindungan tenaga kerja. Oleh karena itu alat pelindung

diri harus memenuhi persyaratan antara lain enak dipakai, tidak mengganggu kerja

dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap jenis bahaya yang ada.

Suatu kegiatan industri, paparan dan risiko yang ada ditempat kerja tidak

selalu dapat dihindari. Upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan penyakit

akibat kerja dan kecelakaan kerja harus senantiasa dilakukan. Ada beberapa alternatif

pengendalian (secara tehnik dan administratif) yang bisa dilaksanakan. Pilihan yang

sering dilakukan adalah melengkapi tenaga kerja dengan alat pelindung diri dijadikan

suatu kebiasaan dan keharusan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun

1970 tentang keselamatan kerja, pasal 12 mengatur mengenai hak dan kewajiban

tenaga kerja untuk memakai alat pelindung diri. Pada pasal 14 menyebutkan bahwa

pengusaha wajib menyediakan secara cuma-cuma sesuai alat pelindung diri yang

diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan

bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk

(51)

Alat pelindung diri untuk pekerja adalah alat pelindung untuk pekerja agar

aman dari bahaya atau kecelakaan akibat melakukan suatu pekerjaannya. Alat

pelindung diri untuk pekerja di Indonesia sangat banyak sekali permasalahannya dan

masih dirasakan banyak kekurangannya (Husaeri & Yunus, 2003).

Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar

keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and acceptation), apabila pekerja

memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan

memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja

atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009).

Menurut Budiono (2002), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada

lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :

1. Masker

Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang

masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran

pori-pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu :

a. Masker penyaring debu

Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam,

penggerindaan atau serbuk kasar lainya.

b. Masker berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila

kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti

(52)

c. Masker bertabung

Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung.

Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas

tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang

sesuai dengan jenis masker yang digunakan.

d. Masker kertas

Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara

agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara

disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang

terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.

e. Masker plastik

Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara

agar tidak masuk jakur pernafasan.Ukuran masker ini sama dengan masker

kertas.namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara,

tetapi tidak bisa menyaring udara,fungsi penyaring udara terletak pada sebuah

tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Di dalam tabung ini

diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun.

2. Respirator

Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam,

(53)

a. Respirator pemurni udara

Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan

dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat

pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau

tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.1).

b. Respirator penyalur udara

Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara

dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan

tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara

bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained

Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat

[image:53.612.191.452.453.635.2]

kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Alat Pelindung Pernafasan

(54)

Gambar

Tabel 2.1 Jenis Debu yang Dapat Menimbulkan Penyakit Paru pada Manusia
Gambar 2.1 Alat Pelindung Pernafasan
Gambar 2.2 Proses Penggergajian Kayu
Gambar 2.4 Proses Penyiapan Komponen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menanya - Guru mempersilahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dari gambar yang diamati dan dari renungan yang telah dikaji - Guru memberikan kesempatan kepada siswa yang

berkaitan dengan peristiwa tertentu yg sifatnya universal : anak sedang menangis – dilukiskan sikapnya dsb..  Option : kejadian di

Selective combination of highly resolved topographic data from different sources is evaluated for an investigation plot in the fragile marl landscape of Andalusia

Sistem informasi SKPI yang telah dikembangkan dengan arsitektur Microservice tentunya telah memenuhi tahap evaluasi dengan hasil yang cukup baik terhadap prinsip-

ke Kota Makassar untuk mencari pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang batu dan kuli bangunan. Istri-istri nelayan yang masih muda banyak yang bekerja di kota

Studi Kelayakan Pengembangan Angkutan Sungai di Jawa Tengah. PEMERINTAH PROVINSI

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan

kehidupan sehari-hari mereka tidak ada hubungannya dengan laut (Purwana, 2015, hlm. Dari beberapa pokok pikiran yang diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan