GAMBARAN RESILIENSI PADA PEKERJA ANAK YANG
MENGALAMI
ABUSE
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
NUZULIA RAHMATI
071301013
FAKULTAS PSIKOLOGI
SKRIPSI
GAMBARAN RESILIENSI PADA PEKERJA ANAK YANG MENGALAMI ABUSE
Dipersiapkan dan disusun oleh:
NUZULIA RAHMATI 071301013
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada tanggal 14 Agustus 2012
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, psikolog
NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Meidriani Ayu Siregar, S.Psi., M. Kes., psikolog Penguji I
NIP. 196405232000032001 Merangkap pembimbing
2. Debby Anggraini Daulay, M.Psi., psikolog
NIP. 198101222008122002 Penguji II
3. Ari Widiyanta, M.Si., psikolog
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah di ajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah di tulis sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari di temukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Medan, Agustus 2012
Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse
Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRAK
Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab
anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama
(Bagong, 2001). Harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga tentu bukanlah hal yang mudah bagi para pekerja anak, begitu banyak resiko yang akan dialaminya ia membutuhkan resiliensi agar mampu bertahan. Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk
kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden tiga orang. Tehnik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan didukung oleh observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memiliki faktor I have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan aturan dirumah, memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Ketiga responden mampu mengembangkan kekuatan pribadi (I am), yaitu disayang dan disukai oleh orang lain, mencintai dan berempati kepada orang lain, bangga pada diri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab serta memiliki harapan,keyakinan dan kepercayaan akan masa depan yang lebih baik. Selanjutnya ketiga responden juga mampu mengembangkan kemampuan interpersonalnya (I can), yaitu ketiga responden mampu mengelola berbagai ransangan, mengukur tempramen diri dan juga orang lain. Ketiga responden juga mampu mengekspresikan/mengkomunikasikan perasaannya kepada keluarga dan juga orang lain.
Resilience of the Child Labor Who Are Abuse Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRACT
Poverty in the economy has created a lot of child labor. Parents are forced to mobilize children as workers to help the family economy. At this point the emergence of vulnerability, because the children can change the role of "just help" becomes the primary breadwinner. Must work to help the family economy is certainly not an easy thing for the child workers, so many risks to be experiencing it requires resilience to survive. Grotberg (2000) suggested that resilience is the ability to assess, address, and improve or transform himself from adversity or misery in life, because everyone would have had difficulty or a problem and that no one is living in a world without a problem or difficulties. Grotberg (2000), suggests that resilience factors identified by different sources. For the power of the individual, in private use the term 'I Am', for external support and resources, used the term 'I Have', while for the interpersonal skills used istilah'I Can '.
This study aims to proviede a picture of resilience in child labor who experience abuse. This study uses qualitative methods to three the number of respondents. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations.
The results of this study showed that three the number of respondents have the factor I have and be able to develop sources of resilience that there is a
trusting relationship, has a structure and rules at home, have a
self-encouragement, have role models, health services, education, safety and welfare. Three respondents were able to develop personal strengths which loved and liked by other people, empathy for others, proud of self, confidence and optimism, autonomy and could be responsible for their own behavior and have a
hopefulness, belief and trustiness. I Can differ on the characteristics of the respondent, the respondent I was able to develop a trusting relationship with the family, able to express your feelings when communicating with the family. And then three respondents also were able to develop to measure the temperament of theirself and others, also were able to express their feelings to others. three respondents also were able to able to manage feelings when communicated with family or others outside the family.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
berkat yang diberikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak yang
Mengalami Abuse”.
Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak
mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti
ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :
1. Fakultas Psikologi dan Universitas Sumatera Utara yang telah
menyediakan sarana bagi peneliti.
2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
3. Kepada Dosen Pembimbing peneliti yaitu ibu Meidriani Ayu Siregar,
S.Psi.,M.Kes yang begitu sabar dalam membimbing peneliti dan
menyempatkan waktu dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
4. Kepada Dosen Pembimbing Akademik yaitu ibu Rika Eliana M. Psi.,
Psikolog yang selalu memberikan nasehat dan motivasi belajar kepada
peneliti.
5. Kepada ayah bunda yang tiada hentinya selalu sabar dan selalu
menyemangati peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini baik dukungan
moral maupun dukungan finansial.
6. Kepada kakak peneliti Nurul Amalia Fitri S.Psi, abang peneliti
Muhammad Shadri., Lc dan adik peneliti Muhammad Ridha Rizki sang
calon sarjana psikologi juga, yang selalu memberikan dukungan, bantuan
dan doa kepada peneliti yang selalu memberikan motivasi dan semangat
yang membuat peneliti tetap berjuang.
7. Kakak senior peneliti yang juga memberikan masukan yang sangat
bermanfaat bagi peneliti.
8. Seluruh sahabat dan teman-teman, nana, massita, kiki, vety, riah, dila,
tyas, ina, putri, juned, imel dan masih banyak lagi yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah saling memberikan dukungan dan
masukan dalam menyelesaikan skripsi ini
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dilihat dari gaya bahasa maupun materinya. Hal ini dikarenakan kemampuan
peneliti yang terbatas. Untuk itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar ke depan menjadi lebih baik.
Medan, Agustus 2012
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian... 11
D. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi ... 14
1.Definisi Resiliensi ... 14
2. Faktor-Faktor Resiliensi ... 13
3. Tahap Pembentukan Resiliensi ... 20
B. Pekerja Anak ... 22
1.Definisi Pekerja Anak ... 22
2. Resiko dari Pekerja Anak ... 25
C. Abuse ... 26
1.Definisi Abuse ... 26
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Child Abuse ... 27
D. Remaja... 28
1.Definisi Remaja ... 28
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja ... 30
E. Paradigma Penelitian... 34
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 35
B. Responden Penelitian... 36
1. Karakteristik Responden... 36
2. Jumlah Responden... 37
3. Prosedur Pengambilan Responden... 37
4. Lokasi penelitian... 38
C.Metode Pengambilan Data ... 38
E. Alat Bantu Pengumpulan Data... 40
F. Kredibilitas Penelitian... 42
G. Prosedur Penelitian ... 43
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Responden...47
B. Hasil Analisa Data Responden ...85
1. Latar Belakang Responden Menjadi pekerja Anak ... 52
2. Gambaran Resiliensi ... 58
C. Pembahasan Responden ...103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...152
B. Saran...156
DAFTAR PUSTAKA...158
Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak Yang Mengalami Abuse
Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRAK
Kemiskinan secara ekonomi telah banyak menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah munculnya kerawanan, sebab
anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar membantu” menjadi pencari nafkah utama
(Bagong, 2001). Harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga tentu bukanlah hal yang mudah bagi para pekerja anak, begitu banyak resiko yang akan dialaminya ia membutuhkan resiliensi agar mampu bertahan. Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk
kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden tiga orang. Tehnik pengambilan responden dilakukan dengan operational construct sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dan didukung oleh observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden memiliki faktor I have dan mampu mengembangkan sumber resiliensi yang ada yaitu memiliki hubungan yang dilandasi kepercayaan, memiliki struktur dan aturan dirumah, memiliki dorongan mandiri, memiliki role models, memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Ketiga responden mampu mengembangkan kekuatan pribadi (I am), yaitu disayang dan disukai oleh orang lain, mencintai dan berempati kepada orang lain, bangga pada diri sendiri, mandiri dan bertanggung jawab serta memiliki harapan,keyakinan dan kepercayaan akan masa depan yang lebih baik. Selanjutnya ketiga responden juga mampu mengembangkan kemampuan interpersonalnya (I can), yaitu ketiga responden mampu mengelola berbagai ransangan, mengukur tempramen diri dan juga orang lain. Ketiga responden juga mampu mengekspresikan/mengkomunikasikan perasaannya kepada keluarga dan juga orang lain.
Resilience of the Child Labor Who Are Abuse Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar
ABSTRACT
Poverty in the economy has created a lot of child labor. Parents are forced to mobilize children as workers to help the family economy. At this point the emergence of vulnerability, because the children can change the role of "just help" becomes the primary breadwinner. Must work to help the family economy is certainly not an easy thing for the child workers, so many risks to be experiencing it requires resilience to survive. Grotberg (2000) suggested that resilience is the ability to assess, address, and improve or transform himself from adversity or misery in life, because everyone would have had difficulty or a problem and that no one is living in a world without a problem or difficulties. Grotberg (2000), suggests that resilience factors identified by different sources. For the power of the individual, in private use the term 'I Am', for external support and resources, used the term 'I Have', while for the interpersonal skills used istilah'I Can '.
This study aims to proviede a picture of resilience in child labor who experience abuse. This study uses qualitative methods to three the number of respondents. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations. Retrieval techniques performed by the respondents operational construct sampling. Data is collected by interviews and supported by the observations.
The results of this study showed that three the number of respondents have the factor I have and be able to develop sources of resilience that there is a
trusting relationship, has a structure and rules at home, have a
self-encouragement, have role models, health services, education, safety and welfare. Three respondents were able to develop personal strengths which loved and liked by other people, empathy for others, proud of self, confidence and optimism, autonomy and could be responsible for their own behavior and have a
hopefulness, belief and trustiness. I Can differ on the characteristics of the respondent, the respondent I was able to develop a trusting relationship with the family, able to express your feelings when communicating with the family. And then three respondents also were able to develop to measure the temperament of theirself and others, also were able to express their feelings to others. three respondents also were able to able to manage feelings when communicated with family or others outside the family.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan hingga kini masih menjadi hal yang memprihatinkan bagi
sebagian besar masyarakat di dunia, apalagi negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Menurut Ellis (dalam Suharto, 2008), kemiskinan dapat didefinisikan
sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok individu. Sumber
daya dalam konteks ini tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan semua
jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dalam arti luas.
Menurut Bagong (2001) kemiskinan secara ekonomi telah banyak
menciptakan terjadinya pekerja anak. Orang tua terpaksa memobilisasi
anak-anaknya sebagai pekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Pada titik inilah
munculnya kerawanan, sebab anak-anak bisa berubah peran dari “sekadar
membantu” menjadi pencari nafkah utama. Selain itu, kemiskinan yang lekat
dengan golongan lapisan bawah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
dijadikan sebagai sebuah alasan pembenaran terhadap praktek-praktek
mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha (Achdian
dan Aminudin, 1995).
Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak
untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja
anak adalah anak-anak yang kurang lebih seperti pekerja umumnya yang
bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya
(Bagong, 2001).
Hal lain yang dapat mempengaruhi anak bekerja selain faktor ekonomi
adalah keluarga itu sendiri, dimana keluarga yang merupakan unit ekonomi atau
konsumsi dipengaruhi oleh kondisi eksternal maupun internal termasuk dalam
menentukan besarnya tenaga kerja yang dicurahkan untuk bekerja. Keadaan
internal keluarga (besarnya tanggungan, tenaga yang dimiliki, pendapatan kepala
keluarga, kebutuhan konsumsi dan lain-lain), merupakan faktor yang
mempengaruhi keterlibatan anggota keluarga ke dalam usaha mencari nafkah,
dengan demikian faktor penyebab anak ikut bekerja juga ditentukan oleh keadaan
rumah tangganya (Prijono, 1992). Seperti kutipan wawancara dengan pekerja
anak yang berinisial U (13 tahun) berikut:
“Mamak sama bapak kerja juga, tapi nggak cukup uangnya
makanya aku disuruh kerja juga, karena biar bisa tetap sekolah dan cukup buat makan kami, kalau aku ngga kerja yah aku ngga bisa sekolah karena uangnya nggak cukup”
(Sumber: Komunikasi Personal, 3 Mei 2011)
Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun.
UU No. 4 (1974) menyatakan seorang anak haruslah dipandang sebagai makhluk
yang harus dilindungi, dikembangkan, dan dijamin kelangsungan hidupnya, selain
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bukan sebaliknya,
malah anak dijadikan sebagai alat pencari nafkah, sehingga semakin meningkat
pesat jumlah pekerja anak di Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) data tahun 2010 diperoleh dari
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyebutkan, jumlah pekerja anak di
dunia mencapai 200 juta, bahkan Indonesia merupakan salah satu penyumbang
pekerja anak terbesar di dunia. Indonesia berada di urutan ketiga setelah India dan
Brazil. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 2,5 juta anak bekerja, kategori pekerja
anak yang dipakai BPS (Badan Pusat Statistik) adalah mereka yang berumur
10-14 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi, sudah pasti jumlah
pekerja anak akan lebih besar jika kategorisasi yang dipergunakan lebih luas,
yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari
upah, apalagi kategorisasi umur dinaikkan hingga kurang dari 18 tahun,
sebagaimana rujukan umur anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) dan
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No 23, 2002). Berdasarkan rentang usia
yang disebutkan para pekerja anak dapat tergolong kedalam rentang usia
anak-anak akhir dan juga remaja.
Remaja itu sendiri mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik. Selain itu masa remaja merupakan masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara
seksual matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum
antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak
ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun
masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang harus bekerja tentu sangat
beresiko mengalami abuse, eksploitasi dan diskriminasi. Peristiwa penganiayaan
anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse,
akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child
maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002). Child maltreatment meliputi
perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang
menimbulkan kerusakan pada anak, baik itu secara fisik, seksual dan emosional,
sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu
pengabaian yang merusak anak (Papalia, 2004). Kenyataan yang ditemukan
dilapangan bahwa para pekerja anak mendapatkan kekerasan tidak hanya
dilingkungan ia bekerja, melainkan juga dari keluarganya sendiri.
Masalah pekerja anak ini merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan
cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat, dimana pekerjaan tersebut tentu saja akan menimbulkan
permasalahan pada hubungan antara remaja dengan orang lain, selain itu
perlindungan keluarga terhadap remaja akan semakin menurun. Hal ini dapat
dilihat dari sikap orang tua yang mengharuskan anak-anaknya untuk bekerja baik
itu di jalanan maupun pekerja rumah tangga anak (PRTA) yang sering
berhubungan dengan tindak kekerasan. Untuk permasalahan pembantu rumah
terjadi pada PRT Anak (JALA, 2010). Seperti salah satu kasus yang didapatkan
dari artikel YLBH- Apik berikut :
“ada kasus PRTA bernama Siti Saumah (14 Tahun) mengalami
kekerasan fisik selama 2 tahun bekerja sering mengalami penganiayaan, terakhir disiram air panas dan mengalami pemukulan dan dicambuk 200 kali, selain itu juga dijanjikan upah Rp. 300.000/bln namun selama 2
tahun tidak dibayar”
(Rubrik Jaringan nasional advokasi Pekerja Rumah Tangga, 2010)
Remaja yang bekerja memperoleh pengaruh atau perlakuan yang buruk,
seperti diperas, dipukuli, dimarahi ataupun tindak kekerasan lainnya baik itu
dilakukan oleh keluarganya sendiri maupun orang lain (Robinson dkk, 2003).
Seperti kutipan wawancara dengan seorang pekerja anak berinisial T (12 tahun):
“Sering dimarahin sama mamak kalo cuma dapet dikit, dibilangnya aku
bukan jual-jualin korannya tapi asyik main sama temenku aja, padahal emang lagi sepi, kan aku jualannya siang pulang sekolah kak, terus waktu aku lagi jualan juga sering dipalakin sama abang-abang preman, daripada takut nanti aku dipukul atau ditampar terpaksa aku kasih aja sedikit, aku bilang aja baru dikit yang laku, hehehe..”
(Sumber: Wawancara Personal, 23 April 2011)
Pekerja anak juga rentan untuk menjadi korban tindak kriminal dari
orang-orang dewasa. Pekerja anak sering kali mendapatkan bentuk kekerasan seperti
tamparan, pemukulan, lemparan benda keras, disundutkan rokok ke salah satu
anggota tubuh, dijewer, bahkan sampai ditendang. Seperti kutipan wawancara
dengan anak penjual koran yg berinisial T (12 tahun) berikut:
“Kadang-kadang lagi jualan ada juga dipukulin ma abang-abang disana, dijewer, ditampar, bahkan pernah waktu aku jawab dia dilempar kaleng minum dia ke aku kak, terus kalau korannya ga laku, aku belum boleh pulang, aku baru bisa pulang kalau udah laku semua, kalau tetap ngga laku juga tepaksa bawa pulang kerumah, nyampe rumah kena marah lagi sama mamak aku, pening kali lah aku kak, borong lah semua koran aku kak?
biar nggak kena marah lagi nanti waktu aku pulang”
Kekerasan pada remaja ini tentu akan membawa dampak negatif bagi
mereka yaitu mereka kehilangan haknya untuk menikmati masa remajanya seperti
bermain bersama teman sebayanya, anak menjadi korban dari perlakuan orang
tuanya, sering menjadi korban perdagangan anak serta penindasan dari manusia
dewasa. Jika kehidupan mereka tumbuh dari penyiksaan dan tindak kekerasan,
sangat besar kemungkinan membawa dampak psikologis untuk masa mendatang
berupa ketakutan, stress, kecemasan, hilang rasa percaya diri, kemampuan untuk
bertindak pun kurang dan menunjukkan bahwa yang memperoleh tindak
kekerasan pada masa anak-anak banyak mengalami berbagai hambatan dalam
penyesuaian diri, menarik diri dari pergaulan atau dengan lawan jenis (jika
mengalami sexual abuse), sulit berkomunikasi, canggung dan kaku dalam
membina hubungan. Remaja cenderung anti sosial dan mengatasi dampak dengan
melakukan keinginan untuk sering memukul dan membalasnya dengan cara itu
semua persoalan lebih mudah terselesaikan (Huraerah, 2006).
Para pekerja anak atau remaja yang sudah harus bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga yang juga mendapatka perlakuan kasar dari keluarga dan
lingkungannya tentu memungkinkan mereka untuk menimbulkan trauma,
sehingga mereka pun menggunakan berbagai macam pilihan, untuk mengatasi
trauma yang dialaminya. Ada remaja yang mampu bertahan kemudian pulih dari
situasi traumatis tersebut secara efektif, namun ada pula remaja lain yang gagal
karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Tugade &
mengalami hal yang tidak menyenangkan menggambarkan adanya kemampuan
tertentu pada diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi.
Menurut Grotberg (2000), resiliensi individu muncul ketika individu
berhasil mengatasi kesulitan hidup (adversity). Bagaimana individu tersebut
menghadapi permasalahan dirinya sebagai korban sebuah tragedi dipengaruhi oleh
bagaimana dirinya menyikapi kesulitan yang dihadapinya dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya. Tindak kekerasan maupun kerasnya kehidupan
yang dijalani oleh para pekerja anak ini tentu sangat membutuhkan kemampuan
untuk dapat berhasil dalam mengatasi atau bangkit kembali dari pengalaman
hidup yang menyakitkan ataupun segala kepahitan hidup yang mereka alami yang
mana kemampuan tersebut biasa disebut dengan resiliensi, sebagaimana hasil
penelitian dari Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang remaja yang
mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan
istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk
menggambarkan remaja yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka
hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.
Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih
kuat, artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam
berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan
sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat dalam dunia
sekarang sekalipun (Desmita, 2005). Resiliensi adalah kemampuan seseorang
untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari
mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup
di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 2000). Menurut
Grotberg (2000), upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan
tersebut dan mengembangkan resiliensi, sangat bergantung pada pemberdayaan
tiga faktor dalam diri individu, yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya
hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri; I am
(Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga
dengan diri sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku
dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan masalah, menjalin
hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Interaksi ketiga faktor tersebut
juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang, dimana jika hanya salah
satu faktor saja yang terpenuhi, seseorang belum dapat dikatakan resilien jika
tidak memiliki ketiga faktor tersebut.
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang
berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya
keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi anak),
kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a
capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial
(seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Selain itu,
hal senada juga diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi itu
menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola
tekanan hidup sehari-hari.
Proses resiliensi itu sendiri, dimulai ketika individu pada usia berapa pun
mengalami kesulitan hidup, ia memiliki faktor-faktor pelindung (protective
factors) dan faktor resiko (risk factors). Dimana faktor pelindung terdiri dari
faktor individual, keluarga dan juga masyarakat sekitar, yang dapat
melindunginya terhadap dampak negatif, sedangkan Faktor resiko mencakup
hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan individu beresiko
untuk mengalami gangguan perkembangan atau gangguan psikologis (Garmezy,
dalam Davis, 1999). Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian
manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan
dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya
resiliensi individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut
Grotberg (2000) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada
lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan
industry.
Beratnya tekanan hidup yang harus dialami oleh pekerja anak ini, selain
kurang mendapat kasih sayang dari keluarga dan pelanggaran terhadap haknya
sebagai anak yang memang selayaknya masih bergelut dengan dunia remaja
seperti remaja lainnya, dia juga harus merasakan tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, sehingga dengan adanya resiliensi lebih
Dalam proses resiliensi terdapat dua hal penting yakni, kesulitan hidup
tidak secara otomatis mengakibatkan disfungsi, tetapi sebaliknya justru dapat
menghasilkan sejumlah pencapaian bagi individu yang mengalaminya. Selain itu
reaksi terhadap kesulitan hidup yang pada awalnya bersifat disfungsional, lama
kelamaan dapat membaik (akibat adanya penyesuaian individu dengan masalah
yang dihadapi). Dengan kata lain, resiliensi merupakan proses adaptasi yang
diawali dengan adanya stress dapat membuka kemungkinan terjadinya perubahan
pribadi menuju pada suatu yang lebih baik (Sulistyaningsih, 2009). Selain itu,
Benard (1991) juga menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada
setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan
dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan.
Fenomena di atas memperlihatkan bahwa pekerja anak merupakan suatu
pilihan pekerjaan di tengah himpitan perekonomian dan tuntutan hidup yang
begitu tinggi serta sangat rentan untuk mengalami kekerasan. Oleh karena itu
peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang resiliensi pada pekerja anak yang
mengalami abuse ini yang mana hal ini tidak hanya merupakan permasalahan
nasional, melainkan juga merupakan masalah dunia, dimana tuntutan pemenuhan
kebutuhan perekonomian keluarga membuat remaja harus bekerja walaupun
penuh dengan berbagai tindakan kekerasan yang mungkin sering di alami dan
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas timbul suatu
permasalahan yang menarik untuk diteliti yaitu :
1. Bagaimanakah gambaran resiliensi pada pekerja anak yang mengalami
abuse?
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada pekerja anak yang
mengalami abuse
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin melihat gambaran
resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse.
D. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada
psikologi khususnya pada bidang psikologi perkembangan, untuk
memperkaya teori-teori psikologi yang berkaitan dengan resiliensi
pada pekerja anak yang mengalami abuse
2. Manfaat Praktis
a. Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi
mengenai resiliensi pada pekerja anak yang mengalami abuse
kepada peneliti selanjutnya agar lebih dapat memahami
b. Remaja (pekerja Anak)
Hasil dari penelitian ini diharapkan agar remaja dapat hidup
dengan selayaknya dan dapat mengetahui hak-hak yang
dimilikinya serta dapat mengadukan pelanggaran yang
dilakukan oleh orang tua maupun lingkungan terhadapnya.
c. Orangtua
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat para
orangtua agar lebih memperhatikan kesejahteraan anak
mereka, memahami hak-hak remaja dan tidak
memaksakan/memanfaatkan anaknya untuk bekerja memenuhu
kebutuhan keluarga yang merupakan kewajiban mereka
sebagai orang tua.
d. Praktisi/Pemerhati Masalah Pekerja Anak
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi
bagi praktisi/pemerhati masalah pekerja anak untuk dapat lebih
mengetahui, dan memperhatikan dan dapat menanggulangi
masalah para pekerja anak yang mengalami abuse.
e. Pemerintah
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuat pemerintah
lebih peduli dan lebih memperhatikan kesejahteraan remaja
yang menjadi pekerja anak dengan menindak lanjuti segala
bentuk pelanggaran terhadap hak-hak remaja yang menjadi
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam penelitian ini
antara lain:
BAB I : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan
dalam penelitian ini
BAB III : Metode Penelitian
Berisi tentang pendekatan kualitatif yang
digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu
pengumpulan data, partisipan dan prosedur
penelitian.
BAB IV : Hasil Analisa Data
Bab ini menguraikan tentang deskrispsi identitas diri,
data hasil wawancara dan observasi, dan analisa data
masing-masing responden.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan penelitian serta
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Istilah resiliensi berasal dari kata Latin resilire yang artinya melambung
kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika.
Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke
bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan
sebagai istilah psikologi, resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih
dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).
Grotberg (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah
dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu
pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang
hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada diungkapkan
oleh Reivich dan Shatte (1999), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon
secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal
itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Daya lentur (resilience) merupakan istilah yang relatif baru dalam ranah
psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh
pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan
sosiologi tentang bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari kondisi
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat di simpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan
meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan
dalam hidup.
2. Faktor - Faktor Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang
berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan
eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya
keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi remaja),
kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a
capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial
(seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Grotberg (2000), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang
diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan
individu, dalam diri pribadi digunakan istilah „I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah „I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’.
a. I Have
Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam
meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am)
atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal
dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan
merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi.
Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :
a. Trusting relationships (mempercayai hubungan)
Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang
mengasihi dan menerima remaja tersebut. Anak-anak dari segala usia
membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi
perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih
sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih
sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi
terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.
b. Struktur dan aturan di rumah
Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan
remaja mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk
melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang
diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut
dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak
dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah,
kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu
dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa.
Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada
c. Role models
Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan
cara yang menunjukkan perilaku remaja yang diinginkan dan dapat
diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan
bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan
informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka
menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan remaja tersebut dengan
aturan-aturan agama.
d. Dorongan agar menjadi otonom
Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan
sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang
mereka perlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Mereka
memuji remaja tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan
otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen remaja, sebagaimana
temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan
dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.
e. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan.
Remaja secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan
yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh
keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan
b. I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor
ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada beberapa
bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :
a. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik
Remaja tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak
akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika
menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang
lain.
b. Mencintai, empati, dan altruistik
Remaja mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut
dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan
menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Remaja merasa
tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan
sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan.
c. Bangga pada diri sendiri
Remaja mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga
pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar
keinginannya. Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan
atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup,
kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan
d. Otonomi dan tanggung jawab
Remaja dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima
konsekuensi dari perilakunya tersebut Remaja merasa bahwa ia bisa
mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti
batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat
orang lain bertanggung jawab.
e. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan
Remaja percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang
dan institusi yang dapat dipercaya. Anak merasakan suatu perasaan benar
dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan
untuk hal ini. Remaja mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam
moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai
kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.
c. I Can
“I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan
masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan
sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu :
a. Berkomunikasi
Remaja mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain
dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan
b. Pemecahan masalah
Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah
dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Anak dapat mendiskusikan
solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan
teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah
hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
d. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan
Remaja dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan
menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar
perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola
rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai
tindakan yang tidak menyenangkan.
e. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.
Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan
juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk
mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,
membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa
banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi
f. Mencari hubungan yang dapat dipercaya.
Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah
personal dan interpersonal.
3. Tahap Pembentukan Resiliensi
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor I have, I am, dan I
can. Untuk menjadi seorang yang resilien tidak cukup hanya memiliki satu faktor
saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lainnya (Desmita, 2005). Oleh
sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus
saling berinteraksi satu sama lain, interaksi ketiga faktor tersebut sangat
dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup (Desmita,
2005).
Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang
akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan
bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi
individu (Sulistyaningsih, 2009). Pengembangan resiliensi menurut Grotberg
(2000, dalam Sulistyaningsih, 2009) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan
mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy,
identity, initiative, dan industry.
1. Rasa Percaya/trust (usia 0-1 tahun)
Rasa percaya merupakan tahapan perkembangan pertama pembangun
resiliensi. Rasa percaya ini berhubungan dengan bagaimana lingkungan
mengembangkan rasa percaya remaja. Perkembangan trust sangat
dipengaruhi oleh orang-orang yang dekat dengan individu, terutama orang
memiliki kepercayan terhadap orang lain mengenai hidupnya,
kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaannya, serta kepercayaan terhadap diri
sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya.
2. Otonomi/ autonomy (usia 1- 4 tahun)
Dimensi pembentuk resiliensi yang kedua adalah atonomi. Autonomy
dapat diartikan sebagai dimensi pembentuk yang berkaitan dengan
seberapa jauh remaja menyadari bahwa dirinya terpisah dan berbeda dari
lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri pribadi. Pemahaman bahwa
dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari
lingkungan sekitar, akan membentuk kekuatan-kekuatan tertentu pada
remaja. Kekuatan tersebut akan menentukan tindakan remaja ketika
menghadapi masalah.
3. Inisiatif/initiative (usia 4-5 tahun)
Inisiatif merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berperan dalam
penumbuhan minat remaja melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga
berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam
aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif,
remaja menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari
berbagai macam aktivita, dimana ia dapat mengambil bagian untuk
4. Industri/Industry (usia 6-12 tahun)
Industri merupakan dimensi pembentuk resiliensi yang berhubungan
dengan pengembangan keterampilan-keterampilan berkaitan dengan
aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan
keterampilan-keterampilan tersebut, remaja akan mampu mencapai
prestasi, baik di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial. Dengan
prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan remaja di lingkungannya.
5. Identitas/Identity (usia remaja)
Tahap identity merupakan tahap perkembangan kelima dan terakhir dari
pemebntukan resiliensi. Identitas merupakan dimensi pembentuk resiliensi
yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman remaja akan dirinya
sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu
remaja mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi self image-nya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki
karakteristik yang terdiri dari pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan
yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya (I Have), kekuatan yang
terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku,
dan kepercayaan yang ada dalam dirinya (I Am), kemampuan individu untuk
melakukan hubungan sosial dan interpersonal (I Can). Dimana ketiga karakteristik
tersebut masing-masing memiliki faktor yang memberikan konstribusi pada
berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi.
Individu yang resilien tidak membutuhkan semua faktor dari setiap
tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang
mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan
yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I
Am), ia tidak termasuk orang yang resilien. Resiliensi juga memiliki lima dimensi
pembentuk yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Dimensi
pembentuk tersebut saling berkaitan dengan faktor-faktor resiliensi yang dimiliki
oleh remaja.
B. Pekerja anak
1. Definisi Pekerja Anak
Pekerja anak merupakan sebuah fenomena yang cukup menarik, perhatian
terhadap pekerja anak sendiri sebenar nya telah dimulai sejak tahun 1924, ketika
nasib pekerja anak terutama anak-anak yang dijadikan budak mendapat perlakuan
yang sangan buruk. Membicarakan masalah pekerja anak lebih dahulu berangkat
dari defenisi pekerja anak atau konsep pekerja anak itu. Defenisi pekerja anak
tidaklah sederhana, sebab konsep pekerja anak meliputi batasan yang sulit
mengenai “anak”(child), “bekerja”(work) dan “pekerja” (ILO, dalam M. Joni, 1996).
Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak
yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau
untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan atau tidak. Menurut karakteristik pekerjaan yang dilakukannya, pekerja
bertujuan untuk membiayai kehidupan ekonomi untuk dirinya dan keluarganya
(Bagong, 2001). Jandraningsih (1995) memberi defenisi tanpa menyebut batas
usia, tetapi adanya aktifitas yang dilalukan anak-anak, dengan mencurahkan
waktu yang besar, banyak dan mendapatkan upah. Menurutnya pekerja anak
adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orangtuanya atau
untuk orang lain yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan maupun tidak, namun dalam penelitian ini para pekerja anak yang
diperoleh semunya mendapatkan upah atas jerih payahnya.
Bila merujuk pada UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
disebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun.
Menururt Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah tentang
penanggulangan pekerja anak pasal 1 dinyatakan bahwa pekerja anak adalah
anak-anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan
dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Yang dimaksud tumbuh
kembang anak adalah tumbuh dalam arti bertambahnya ukuran dan masa yaitu
tinggi, berat badan, tulang dan panca indra tumbuh sesuai dengan usia kembang
dalam arti bertambahnya kematangan fungsi tubuh yaitu pendengaran,
penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab.
Dalam laporan UNICEF „The State if The Worlds Children 1997” UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah eksploitasi jika menyangkut :
a. Pekerjaan penuh waktu (full time)
c. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang tidak
patut terjadi
d. Bekerja dan hidup dijalanan dalam kondisi buruk
e. Upah yang tidak mencukupi
f. Tanggung jawab yang terlalu banyak
g. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan
h. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak, seperti
perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi seksual
Keadaan dan bentuk pekerjaan menururt kriteria yang disebutkan dalam
laporan tahunan UNICEF tersebut, ditemukan dalam issu anak-anak yang bekerja
sepanjang timur sumatra. Pekerja anak tersebut termasuk dalam kelompok pekerja
anak-anak yang bekerja dalam tekanan yang sangat kuat. Kategorisasi prioritas
pekerja anak yang dilakukan ILO-IPEC di Indonesia pada bobot resiko eksploitasi
yang dialami anak yakni :
1. Anak-anak yang dalam bekerja telah dirampas hak-haknya sebagai pribadi.
Ini dikenal sebagai Bunded labour. Dalam kasus ini, anak sering tidak
mendapatkan upah dan dipekerjakan secara paksa
2. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walau upah
masih diberikan. Tipe pekerjaan ini dapat ditemui dalam kasus-kasus anak
yang bekerja pada Jermal-Jermal liar di Sumatera Utara atau anak-anak
yang dilacurkan.
3. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi
anak yang bekerja diberbagai tempat pembuanagan sampah telah menjadi
prioritas IPEC Indonesia.
Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005), anak
yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang
dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta
tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja
anak apabila memenuhi indikator antara lain :
a. Anak bekerja setiap hari.
b. Anak tereksploitasi.
c. Anak bekerja pada waktu yang panjang.
d. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.
2. Resiko dari Pekerja Anak
Menurut Bagong (2001), anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung
mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja lebih dahulu atau putus
sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja
adalah beban ganda yang sering kali dinilai terlalu berat, sehingga setelah
ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain yang sifatnya struktural, sehingga
mereka terpaksa putus sekolah ditengah jalan atau tidak dapat maksimal dalam
belajar.
Secara empiris banyak bukti menunjukkan bahwa keterlibatan anak-anak
dalam aktivitas ekonomi, baik di sektor formal maupun informal yang terlalu dini
perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anak Gootear dan Kanbur (dalam
Bagong, 2001). Berikut merupakan beberapa dampak pekerjaan terhadap pekerja
anak, baik fisik, psikologis dan sosial menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2005) :
a. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan fisik
Secara fisik pekerja anak lebih rentan dibanding orang dewasa karena fisik mereka
masih dalam masa pertumbuhan. Bekerja sebagai pekerja anak dapat mempengaruhi perkembangan kesehatan fisik mereka karena pekerjaan yang mereka lakukan dapat menimbulkan kecelakaan maupun penyakit. Dampak kecelakaan terhadap pekerja anak dapat berupa luka-luka atau cacat akibat tergores, terpotong, terpukul, terbentur dan lain-lain, sedang kondisi yang menimbulkan penyakit antara lain kondisi tempat kerja yang sangat panas atau terlalu dingin, tempat kerja terlalu bising, terhirup debu, terhirup bahan kimia berupa uap lem, uap cat sablon, tempat kerja yang memungkinkan terjadinya eksploitasi seksual dan lain-lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).
b. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan emosi
atau yang lebih muda, kurang mempunyai rasa kasih sayang terhadap orang lain dan adanya perasaan empati terhadap orang lain (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).
c. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan sosial
Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi kesekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan. Sebagaimana dijelaskan disub bab terdahulu bahwa anak sebagai potensi dan generasi muda berkewajiban untuk meneruskan cita–cita perjuangan bangsa (generasi penerus bangsa) dan menjamin eksistensi bangsa dimasa depan. Untuk mewujudkan cita – cita tersebut merupakan kewajiban dan tugas generasi sebelumnya untuk memberikan pengarahan, pembinaan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk maju dan berkembang dan mengupayakan pencegahan dan penghapusan pekerja anak di Indonesia secara bertahap (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005).
C. Abuse
Abuse menurut Black’s Law Dictionary, adalah penyiksaan yang dapat
terjadi pada siapa saja tidak hanya anak-anak bahkan orang dewasa pun bisa
mengalaminya meliputi segala kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik.
Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional
dengan istilah child abuse, akan tetapi banyak ahli perkembangan yang lebih suka
menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 2002).
Menurut Bosoeki (1999) menyatakan child abuse adalah istilah untuk
anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun yang mendapatkan gangguan dari
orangtua atau pengasuhnya yang merugikan anak secara fisik dan mental serta
perkembangannya. Barnett (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse
sebagai tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap
baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak,
menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak. Child
maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku
atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect
mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang merusak
anak (Papalia, 2004).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa abuse
adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang
terhadap orang lain yang meliputi kekejaman terhadap mental, moral, dan fisik,
dalam hal penganiayaan terhadap anak lebih dikenal masyarakat dan para
2. Tipe-Tipe Child Abuse
Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan
neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,
sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu
pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi
lagi menjadi :
a. Physical abuse
Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh
anak seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain.
b. Sexual abuse
Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan
seksual yang melibatkan anak.
c. Neglect
Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan
fisik, emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.
d. Emotional Abuse
Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama
sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi
anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi,
eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak
abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah
kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan
hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak
mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku
anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi,
dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga
yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial
sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan
membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan
orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.
Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan
domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).
Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang
berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang
menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi
krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino,
dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan
dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan
(Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)
D. REMAJA 1. Definisi Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah tersebut mempunyai arti
yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik
(Hurlock, 1980).
Piaget (dalam Hurlock, 1980) mengatakan bahwa secara psikologis masa
remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak.
Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008), masa remaja adalah masa
transisi kembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada
umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan
tahun atau awal dua puluhan tahun.
Monks (2004) juga membagi masa remaja ke dalam tiga tahap disertai
karakteristiknya sebagai berikut:
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Pada rentang ini, remaja sudah mulai memperhatikan bentuk dan pertumbuhan
seksual dan fisiknya. Hal ini disebabkan karena pada masa ini remaja mulai
b. Remaja Madya (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada
kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih
menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan
dirinya. Umumnya pada usia remja madya seseorang berintegrasi dengan
sebayanya.
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan
pencapaian:
1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memutuskan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa remaja adalah individu yang menjalani masa transisi dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, yang berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun,
dengan pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah