• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri Dharma, Kampus Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri Dharma, Kampus Universitas Sumatera Utara"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP KADAR

AIR SERASAH DI HUTAN TRI DHARMA KAMPUS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

RICHIE MIKYANO SIREGAR

031202022 / BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH IKLIM MIKRO TERHADAP KADAR

AIR SERASAH DI HUTAN TRI DHARMA KAMPUS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

RICHIE MIKYANO SIREGAR

031202022 / BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Utara Medan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara

Nama : Richie Mikyano Siregar

NIM : 031202022

Departemen : Kehutanan Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Bejo Slamet, S.Hut, M.Si

Mengetahui,

Dr. Ir.Delvian, MP

Sekretaris Departemen Kehutanan

(4)

ABSTRACT

RICHIE MIKYANO SIREGAR. The Micro Climate effect toward water

content of litters in Tri Dharma forest, University of North Sumatera. Under

Academic Supervision of BEJO SLAMET, S. Hut, M. Si.

The objective of this research paper is to know difference the micro

climate (air temperature, humidity, and wind velocity) that takes place at the

location with vegetation and location without vegetation, also to make correlation

model between element of the micro climate and water content of litters.

The result of this research shows that it have a big difference between

location with vegetation and location without vegetation specially in morning,

noon, and evening. Also the result get the correlation model between element of

the micro climate and water content of litters.

The average temperature at the vegetative location is lower, 27,85oC than

location without vegetation, average temperature is 29,64oC. Average humidity at

location with vegetation is higher, 99,43 % than location without vegetation,

average humidity is 71,64 %. Average wind velocity at location with vegetation is

lower, 5,43 m/s than location without vegetation, average wind velocity is 6,57

m/s.

For average air temperature fluctuation, the place with vegetation is lower,

23,64oC to 27,85oC than place without vegetation, 23,71oC to 29,64oC.average

humidity fluctuation at the place with vegetation is higher, 99,43 % to 78,14 %

than place without vegetation, 99,43 % to 71,64 %. Average wind velocity

fluctuation at the place with vegetation is lower, 0 m/s to 5,43 m/s than place

without vegetation, 0 m/s – 6,57 m/s.

For correlation model between element of micro climate with water

content of litters is Y = 186,518 – 5,182 X1 + 0,161 X2 – 0,516 X3.

(5)

ABSTRAK

RICHIE MIKYANO SIREGAR. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air

Serasah di Hutan Tri Dharma, Kampus Universitas Sumatera Utara. Di bawah

bimbingan BEJO SLAMET, S. Hut, M. Si.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan iklim mikro

(suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin) yang terjadi pada areal terbuka

dan bervegetasi, membuat model hubungan antara unsur iklim mikro (suhu,

kelembaban udara, dan kecepatan angin) dengan kadar air serasah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim mikro yang

besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan sore

hari. Hasil penelitian juga mendapatkan model hubungan antara unsur iklim mikro

dengan kadar air serasah.

Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah yaitu

27,85oC daripada lokasi tanpa vegetasi, suhu udara mencapai 29,64oC. Sementara

kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih tinggi yaitu 99,43

% daripada lokasi tanpa vegetasi, kelembaban udara rata-rata mencapai 71,64 %.

Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah yaitu 5,43

m/s daripada lokasi tanpa vegetasi, kecepatan angin rata-rata mencapai 6,57 m/s.

Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah yaitu

23,64oC – 27,85oC, dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa

vegetasi yaitu 23,71oC – 29,64oC. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada

lokasi bervegetasi lebih tinggi yaitu 99,43 % - 78,14 %, dibandingkan fluktuasi

kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi yaitu 99,43 % - 71,64 %.

Fluktuasi kecepatan angin rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah yaitu 0

m/s – 5,43 m/s, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata pada lokasi tidak

bervegetasi yaitu 0 m/s – 6,57 m/s.

Untuk model hubungan antara unsur iklim mikro dengan kadar air serasah

adalah Y = 186,518 – 5,182 X1 + 0,161 X2 – 0,516 X3.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Richie Mikyano Siregar dilahirkan di Sibolga pada tanggal 01 November

1985 dari Ayah Alm. Richard Sahat Siregar dan Ibu Merya Sihite. Penulis

merupakan anak keempat dari empat bersaudara.

Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD RK No.

IV Sibolga. Pada tahun 2000, penulis menyelesaikan pendidikan menengah

pertama di SMP Swasta Fatima Sibolga. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan

pendidikan menengah atas di SMA Swasta Katolik Sibolga dan pada tahun yang

sama penulis diterima di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian,

Departemen Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten Dasar

Perlindungan Hutan Sub Kebakaran Hutan dan Rancangan Percobaan pada tahun

2006 dan 2007. Penulis aktif dalam organisasi mahasiswa baik internal maupun

eksternal USU yaitu terdaftar sebagai anggota dari Himpunan Mahasiswa Sylva

(HIMAS), Komunitas Pembibitan (KOMBIT). Penulis juga terdaftar sebagai

anggota dari Unit Kegiatan Mahasiswa Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas

Sumatera Utara Unit Pelayanan Fakultas Pertanian (UKM KMK USU UP FP),

Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan dan Pembinaan Hutan

(P3H) pada tahun 2005 di Hutan Mangrove bandar Khalipah, Kabupaten Serdang

Bedagai dan Hutan Pegunungan Tahura Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pada

tahun 2007, penulis juga melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana

atas kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Bejo Slamet, S.Hut, M.Si

selaku komisi pembimbing, atas semua masukan serta bantuan dan motivasi

dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada orangtua, serta semua

pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini.

Skripsi ini berjudul Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air

Serasah di Hutan Tri Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara. Kiranya

skripsi ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang

membutuhkan.

Medan, Maret 2010

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan ... 17

METODE PENELITIAN ... 19

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19

Letak dan Luas ... 19

Bahan dan Alat ... 20

Prosedur Penelitian ... 21

Analisis Data ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Iklim Mikro ... 24

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air Serasah ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Prinsip Segitiga Api ... 6

2. Tempat Penelitian dengan Menggunakan Google Earth ... 22

3. Lokasi Penelitian ... 23

4. Fluktuasi Suhu antara Hutan dan Tempat Terbuka ... 24

5. Fluktuasi Kelembaban Udara antara Hutan dan Tempat Terbuka ... 26

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Fluktuasi Suhu Harian dari ke-4 Lokasi Penelitian ... 25

2. Fluktuasi Kelembaban Udara dari ke-4 Lokasi Penelitian ... 27

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Fluktuasi Suhu ... 35

2. Data Fluktuasi Kelembaban Udara ... 35

3. Data Fluktuasi Kecepatan Angin ... 36

4. Gambar Fluktuasi Suhu ... 37

5. Gambar Fluktuasi Kelembaban Udara ... 38

6. Gambar Fluktuasi Kecepatan Angin ... 39

(12)

ABSTRACT

RICHIE MIKYANO SIREGAR. The Micro Climate effect toward water

content of litters in Tri Dharma forest, University of North Sumatera. Under

Academic Supervision of BEJO SLAMET, S. Hut, M. Si.

The objective of this research paper is to know difference the micro

climate (air temperature, humidity, and wind velocity) that takes place at the

location with vegetation and location without vegetation, also to make correlation

model between element of the micro climate and water content of litters.

The result of this research shows that it have a big difference between

location with vegetation and location without vegetation specially in morning,

noon, and evening. Also the result get the correlation model between element of

the micro climate and water content of litters.

The average temperature at the vegetative location is lower, 27,85oC than

location without vegetation, average temperature is 29,64oC. Average humidity at

location with vegetation is higher, 99,43 % than location without vegetation,

average humidity is 71,64 %. Average wind velocity at location with vegetation is

lower, 5,43 m/s than location without vegetation, average wind velocity is 6,57

m/s.

For average air temperature fluctuation, the place with vegetation is lower,

23,64oC to 27,85oC than place without vegetation, 23,71oC to 29,64oC.average

humidity fluctuation at the place with vegetation is higher, 99,43 % to 78,14 %

than place without vegetation, 99,43 % to 71,64 %. Average wind velocity

fluctuation at the place with vegetation is lower, 0 m/s to 5,43 m/s than place

without vegetation, 0 m/s – 6,57 m/s.

For correlation model between element of micro climate with water

content of litters is Y = 186,518 – 5,182 X1 + 0,161 X2 – 0,516 X3.

(13)

ABSTRAK

RICHIE MIKYANO SIREGAR. Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air

Serasah di Hutan Tri Dharma, Kampus Universitas Sumatera Utara. Di bawah

bimbingan BEJO SLAMET, S. Hut, M. Si.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan iklim mikro

(suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin) yang terjadi pada areal terbuka

dan bervegetasi, membuat model hubungan antara unsur iklim mikro (suhu,

kelembaban udara, dan kecepatan angin) dengan kadar air serasah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim mikro yang

besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan sore

hari. Hasil penelitian juga mendapatkan model hubungan antara unsur iklim mikro

dengan kadar air serasah.

Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah yaitu

27,85oC daripada lokasi tanpa vegetasi, suhu udara mencapai 29,64oC. Sementara

kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih tinggi yaitu 99,43

% daripada lokasi tanpa vegetasi, kelembaban udara rata-rata mencapai 71,64 %.

Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah yaitu 5,43

m/s daripada lokasi tanpa vegetasi, kecepatan angin rata-rata mencapai 6,57 m/s.

Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah yaitu

23,64oC – 27,85oC, dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa

vegetasi yaitu 23,71oC – 29,64oC. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada

lokasi bervegetasi lebih tinggi yaitu 99,43 % - 78,14 %, dibandingkan fluktuasi

kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi yaitu 99,43 % - 71,64 %.

Fluktuasi kecepatan angin rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah yaitu 0

m/s – 5,43 m/s, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata pada lokasi tidak

bervegetasi yaitu 0 m/s – 6,57 m/s.

Untuk model hubungan antara unsur iklim mikro dengan kadar air serasah

adalah Y = 186,518 – 5,182 X1 + 0,161 X2 – 0,516 X3.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gangguan dari luar yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi hutan

salah satunya adalah kebakaran hutan, maka kegiatan perlindungan hutan penting

untuk dilakukan. Perlindungan hutan merupakan usaha, kegiatan, tindakan untuk

mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang

disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan

penyakit, selain itu untuk mempertahankan hak-hak negara atas hutan dan hasil

hutan (Purbowaseso, 2004).

Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah

(tropical rain forest) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18.

Kebakaran yang terjadi pada tahun 1877, diketahui di kawasan hutan antara

Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan)

Provinsi Kalimantan Tengah. Laporan lain juga menyebutkan bahwa kebakaran

hutan terjadi di wilayah timur laut yang saat ini dikenal dengan Suaka Danau

Sentarum, Provinsi Kalimantan Barat (United Nations Development Programme

and State Ministry for Environment, 1998). Sayangnya kebakaran yang terjadi

saat itu tidak diketahui berapa luasannya dan disebabkan oleh apa. Sedangkan

Bowen (1999) menyatakan bahwa sekitar 400 tahun yang lalu, diceritakan bahwa

seorang penjajah Eropa menemukan Pulau Borneo setelah para pelautnya

mencium bau asap mereka berpaling ke arah angin dan menemukan pulau

(15)

Kerusakan yang terjadi selama kebakaran hutan bersifat eksplosif artinya

terjadi dalam waktu relatif cepat dan areal yang luas. Kebakaran hutan

menimbulkan banyak akibat pada tumbuhan individu di dalam nabatah itu dan

juga pada tanah. Untuk membuat penilaian yang masuk akal mengenai hasil

percobaan dalam kebakaran hutan, perlu sekali seseorang memahami fisika

tentang kebakaran nabatah. Jumlah dan laju bahang yang dibebaskan pada waktu

nabatah tertentu terbakar, tergantung pada faktor seperti keadaan cuaca, topografi,

dan sifat bahan bakarnya (Ewusie, 1990).

Pemanfaatan api oleh manusia merupakan sumber penyebab utama

kebakaran hutan karena mereka kurang menyadari atau lengah terhadap

bahayanya. Namun demikian api yang digunakan oleh manusia ini tidak akan

menyebabkan kebakaran hutan apabila didukung pengelolaan kawasan yang baik

(Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Iklim mikro yang terdiri dari suhu, kelembaban udara relatif dan kecepatan

angin merupakan faktor alam yang dapat mendorong terjadinya kebakaran hutan,

terutama pada musim kemarau. Pada musim kemarau, kelembaban udara relatif

rendah dan suhu meningkat sehingga menyebabkan serasah yang ada di lantai

hutan menjadi kering dan mudah terbakar. Angin merupakan unsur iklim yang

mampu mempermudah membesarnya api dan mempercepat menjalarnya ke areal

yang lebih luas. Topografi kawasan yang miring dan adanya angin kencang akan

(16)

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perbedaan iklim mikro (suhu, kelembaban udara, dan

kecepatan angin) yang terjadi pada areal terbuka dan bervegetasi.

2. Membuat model hubungan antara unsur iklim mikro (suhu, kelembaban udara,

dan kecepatan angin) dengan kadar air serasah.

Hipotesa Penelitian

Terdapat pengaruh iklim mikro (suhu, kelembaban udara, kecepatan

angin) pada suatu areal terhadap kadar air serasah.

Manfaat Penelitian

Sebagai salah satu metode praktis di lapangan untuk menentukan kadar air

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan

Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari badai El

Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia.

Badai El Nino yang kering menyebabkan hutan tropis mengalami kekeringan,

curah hujan yang rendah menyebabkan serasah dan pohon-pohon menjadi kering,

yang menyebabkan mudahnya terjadi kebakaran hutan karena banyaknya tersedia

bahan bakar (Marjenah, 2002).

Menurut Suratmo (1980), kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab

kerusakan tegakan hutan yang paling merugikan. Kerusakan karena kebakaran

hutan yang besar dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya beberapa

jam atau hari saja. Dalam hutan hujan tropis biasanya jarang terjadi kebakaran

yang berarti, walaupun dapat terjadi bila keadaan yang tertentu saja.

Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan

yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan

adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan

biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya

kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh

beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan

lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena

kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan

(18)

Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang

disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh

kebakaran hutan karena kelalaian manusia seperti akibat membuang puntung

rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan

pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali dan kebakaran hutan dan

lahan alami oleh deposit batu bara di kawasan hutan Bukit Soeharto

(Purbowaseso, 2004).

Api lahan terbagi dua, yaitu api liar (kebakaran) dan api disengaja atau api

jinak. Mengelola api liar tentu berbeda dengan mengelola api disengaja.

Mengelola api liar bertujuan agar api liar tidak terjadi dan bila terjadi, kebakaran

tersebut dapat cepat dipadamkan. Tujuan mengelola api disengaja adalah agar api

tersebut tidak menjalar ke tempat yang tidak dikehendaki dan merupakan api liar.

Para penduduk kita, terutama para petani sangat penting dibekali keterampilan

mengelola api disengaja, sedangkan para petugas di unit pengelolaan hutan

produksi dan kebun kayu sangat penting dibekali keterampilan mengelola api liar

(Sagala, 1994).

Proses pembakaran / kebakaran adalah proses kimia-fisika yang

merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu

C6H12O6 + O2 + Sumber Panas CO2 + H2O+ Panas

Pada proses fotosintesa, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan

pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat.

Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan

(19)

apabila ada tiga unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (oxygen) dan

panas (heat). Bila salah satu dari ketiganya tidak akan terjadi. Prinsip ini dikenal

dengan istilah prinsip segitiga api (Gambar 1) yang merupakan kunci utama dalam

mempelajari kebakaran hutan dan lahan yang termasuk dalam upaya pengendalian

kebakaran. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah yang

berlimpah, sedangkan sumber panas penyalaan sangat tergantung kepada kondisi

alami suatu daerah dan kegiatan manusia.

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api (De Bano et al.,1998)

Menurut De Bano et al. (1998), proses pembakaran terdiri dari lima fase

yaitu:

a. Pre-ignition (Pra- Penyalaan)

Dehidrasi / distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi

pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api,

maka pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100oC, sehingga

uap air, bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di

permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat OKSIGEN

PANAS

(20)

memindahkan panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi

perpindahan panas ke bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi.

Karena itu konduksi merupakan proses yang dominan dalam proses combuction

(pembakaran). Distilasi dari bahan bakar halus (dedaunan, daun jarum, dan

rerumputan) pada temperatur di atas 100oC menghasilkan emisi uap air dan

ekstraktif organik volatil (misal: terpenes, aldehida aromatic).

Pirolisis adalah reaksi endotermik melalui radiasi atau konveksi dari

bagian depan api yang mengeluarkan air dari permukaan bahan baker,

meningkatkan suhu bahan bakar, dan merombak rantai molekul bahan organic

yang panjang dalam sel tanaman menjadi rantai yang lebih pendek. Laju

pembakaran yang lambat akan meningkatkan produksi arang dan menurunkan

produksi gas yang mudah terbakar dan ter. Sebaliknya, laju pemanasan yang cepat

akan menghasilkan gas yang mudah terbakar dan ter.

b. Flaming combustion (Penyalaan)

Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari

300 – 500oC. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang

mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis

bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase

flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan

melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan

membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan

berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan

nitrogen oksida. Kemudian terjadi kodensasi dari tetesan ter dan soot < 1 urn

(21)

c. Smoldering (Pembaraan)

Fase ini biasanya mengikuti fase “flaming combustion” di dalam suatu

pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses

yang dominant. “Smoldering” adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe

bahan bakar “duff” dan tanah organik. Laju penjalaran api menurun karena bahan

bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan

menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap.

d. Glowing (Pemijaran)

Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase

ini sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen

mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang

mengarang. Produk utama dari fase “glowing” adalah CO, CO2 dan abu sisa

pembakaran. Pada fase ini temperature puncak dari pembakaran bahan bakar

berkisar antara 300 – 600oC.

e. Extinction

Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia

habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming

tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas

yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti

batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk

(22)

Serasah sebagai Bahan Bakar

Menurut UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Samarinda

(2004), secara umum bahan bakar dapat dibagi menjadi tiga bagian menurut

tingkatan atau susunan secara vertikal.

a. Bahan Bakar Atas

Semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan,

meliputi cabang ranting dan mahkota pohon serta semak belukar yang tinggi.

b. Bahan Bakar Permukaan

Semua bahan yang dapat terbakar di atau dekar permukaan tanah, meliputi

daun-daun kering, rumput, batang, ranting belukar dan bahan organik yang

terdapat di lantai hutan atau permukaan tanah.

c. Bahan Bakar Bawah

Semua bahan yang dapat terbakar yang terdapat di bawah permukaan

tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan

bahan-bahan kayu lainnya.

Sedangkan menurut sifat dan penyebarannya bahan bakar dapat dibedakan

menjadi beberapa golongan sebagai berikut:

a. Bahan Bakar Ringan

Bahan bakar ringan adalah bahan bakar yang mudah terbakar seperti

rumput, daun atau serasah dan tanaman muda. Bahan bakar ringan biasanya akan

(23)

b. Bahan Bakar Berat

Bahan bakar berat adalah bahan bakar yang terdiri dari batang kayu yang

rebah, tunggul, sisa-sisa tanaman yang akan sulit terbakar dan akan sulit

dipadamkan bila telah terbakar.

c. Bahan Bakar Merata

Mencakup bahan bakar yang terdistribusikan secara kontinu pada suatu

areal. Termasuk dalam katagori ini, adalah daerah-daerah yang memiliki suatu

jaringan bahan bakar dan saling berhubungan satu sama lain sehingga terbuka

jalan bagi penyeberangan api.

d. Bahan Bakar Tidak Merata

Meliputi semua bahan bakar yang terdistribusikan secara tidak merata

pada suatu areal. Hambatan atau rintangan tertentu yang ada, misalnya berupa

gunung batu, kolam atau danau, jalan, sungai atau tanaman yang sulit terbakar.

e. Bahan Bakar Yang Sangat Rapat

Meliputi tanaman pada areal dimana tanaman yang ada penyebarannya

sangat rapat sehingga dimungkinkan api dapat merambat ke atas melalui dahan

dan ranting yang saling berhubungan.

Lantai hutan dengan lapisan humus dan serasah yang tebal sangat

mempengaruhi permeabilitas tanah dengan kapasitas infiltrasinya. Jika komposisi

jenis tumbuhan dan struktur tanah makin beranekaragam, maka pengaruhnya

terhadap lingkungan, tanah, dan air akan makin baik pula. Hal ini dapat dilihat di

kawasan hutan lindung yang memiliki fungsi hidrologi tinggi karena banyaknya

jenis pohon yang berakar dalam dan intensif, batangnya kuat dan besar, umumnya

(24)

Semua ini akan menciptakan lantai hutan yang berhumus tebal dan mencegah

terjadinya erosi percikan (splaas erosion) serta erosi permukaan (surface runoff)

(Arief, 2001).

Iklim Mikro

Iklim mikro adalah semua pengukuran iklim yang dilakukan untuk

mengamati lapisan udara dekat tanah terutama dipengaruhi oleh permukaan tanah

dan penutupnya, naungan yang kurang lebih tertutup dengan dimensi bervariasi

dan dapat turun sampai skala centimeter di mana dapat dilihat gradien temperatur

dan kelengasan yang besar serta terjadi hambatan terhadap angin (Ewusie, 1990).

Sedang menurut Dirjen RLPS (2002), iklim mikro adalah kondisi lapisan

atmosfer yang dekat dengan permukaan tanah atau sekitar tanaman / tumbuhan,

yang meliputi suhu, kelembaban, tekanan udara, keteduhan dan dinamika energi

radiasi matahari.

Iklim mikro menggambarkan keadaan fisika atmosfer di sekitar objek yang

spesifik atau dekat permukaan (< 2 m) dalam skala interaksi fisika antara objek

dengan lingkungan atmosfer seperti di bawah tajuk pohon. Iklim mikro berbeda

tergantung pada karakteristik variasi komponen-komponennya serta lamanya

pemanasan, pendinginan, kecepatan angin dan evapotranspirasi. Hubungan antara

klimatologi dengan kehutanan sudah banyak diketahui. Pengetahuan ini

digunakan untuk mengetahui dan menentukan kebijakan yang menyangkut

strategi pemanfaatan sumberdaya serta taktik penggunaan daya dan dana

(25)

Menurut hasil penelitian Prasetyo (1997), kondisi iklim mikro di lokasi

bervegetasi jauh lebih baik dibanding dengan lapangan terbuka. Hal ini

disebabkan pengaruh vegetasi berupa lajur hijau. Sinar matahari di lahan terbuka

langsung menembus permukaan tanpa hambatan sedangkan di lokasi bervegetasi

sinar matahari ada yang diteruskan, dibelokkan, dan dipantulkan oleh tajuk pohon

sehingga suhu udara di bawah tajuk lebih rendah dibanding di lahan terbuka lebih

besar karena berkurangnya energi matahari yang sampai ke permukaan tanah.

Kecepatan angin di lokasi terbuka lebih besar dibanding dengan di lokasi

bervegetasi karena vegetasi yang ada mampu mengurangi kecepatan angin

menjadi kecil.

Iklim sangat erat kaitannya dengan kebakaran hutan. Pada daerah-daerah

hutan yang perbedaan musimnya nyata antara musim hujan dan musim kemarau

hubungan ini tampak lebih jelas lagi. Kebakaran hutan selalu terjadi pada musim

kemarau (misalnya hutan jati di Jawa Timur, kebakaran selalu terjadi antara bulan

Juni sampai bulan Oktober). Pada tahun-tahun dengan musim kering yang singkat

(hujan relatif lama), kebakaran hutan yang terjadi tidak berarti

(Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Sehubungan dengan itu, data curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan

kecepatan angin merupakan prasyarat yang sangat penting di setiap unit kesatuan

pemangkuan hutan. Berdasarkan data tersebut akan diketahui bulan-bulan kering

di setiap kesatuan pemangkuan hutan sehingga persiapan dan kesiapan

menghadapi kerawanan kebakaran dapat dilakukan terutama kawasan yang

terjamah atau berhubungan dengan kegiatan manusia yang memanfaatkan api

(26)

1. Suhu

Suhu merupakan suatu konsep yang tidak mudah didefinisikan. Di dalam

Glossary of Meteorology, disebutkan suhu sebagai derajat panas atau dingin yang

diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan berbagai tipe termometer.

Berbeda antara suhu dengan panas, menurut hukum termodinamika panas adalah

energi total dari pergerakan molekuler suatu benda. Lebih besar

pergerakan-pergerakan itu maka lebih panas benda itu.sedangkan suhu adalah merupakan

ukuran energi kinetis rata-rata dari pergerakan molekul. Jadi panas adalah ukuran

energi sedangkan suhu adalah energi rata-rata dari tiap molekul (Guslim, 1997).

Menurut Santosa (1986), suhu udara akan berfluktasi dengan nyata selama

setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan dengan proses pertukaran

energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan

menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai

beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai.

Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi.

Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memprakirakan dan

menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian adalah

penting untuk mengetahui bagaimana menentukan besarnya suhu udara

(Asdak, 2002).

Suhu udara tergantung dari intensitas panas / penyinaran matahari. Areal

dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan menyebabkan bahan

bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang

tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering sehingga

(27)

2. Kelembaban Udara

Menurut Santosa (1986), kelembaban relatif (RH) adalah jumlah aktual

uap air di udara relatif terhadap jumlah uap air pada waktu udara dalam keadaan

jenuh pada suhu yang sama dinyatakan dalam persen. Pengukuran salah satunya

dapat dilakukan dengan termometer bola kering dan termometer bola basah.

Salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai lapisan

pelindung permukaan bumi. Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan

cara menyerap atau memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari

gelombang pendek yang menuju ke permukaan bumi. Ia juga membantu menahan

keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari permukaan bumi pada waktu

siang dan malam hari (Asdak, 2002).

Faktor kelembaban udara erat kaitannya dengan faktor lainnya seperti

curah hujan. Wilayah dengan curah hujan tinggi akan menyebabkan wilayah

tersebut juga memiliki kelembaban udara relaitf tinggi, misalnya wilayah tropis,

yang dicirikan dengan jumlah hujan > 2.500 mm per tahun. Kelembaban udara

yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, di mana bahan bakar

akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut. Wilayah tropis memiliki ciri

khas seperti ini dan secara alami wilayah-wilayah dengan ciri ini memiliki

ketahanan terhadap kebakaran hutan (Purbowaseso, 2004).

3. Angin

Angin adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau udara

nisbi terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angin yang biasanya di kaji

(28)

menentukan besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan

mempengaruhi kejadian-kejadian hujan (Asdak, 2002).

Dalam klimatologi, angin mempunyai dua fungsi dasar menurut Guslim

(1997), yaitu :

a. Pemindahan panas, baik dalam bentuk yang dapat diukur (sensible heat)

maupun yang tersimpan (latent heat) dari lintang rendah ke lintang yang lebih

tinggi dan akan membuat setimbang neraca radiasi surya antara lintang rendah

dan tinggi.

b. Pemindahan uap air yang dievaporasikan dari lautan ke daratan, di mana

sebagian besar dikondensasikan untuk menyediakan kebutuhan air yang turun

kembali sebagai hujan, kabut, atau embun.

Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Adanya angin

akan menurunkan kelembaban udara, sehingga mempercepat pengeringan bahan

bakar, memperbesar ketersediaan oksigen, sehingga api dapat berkobar dan

merambat cepat, serta adanya angin akan mengarahkan lidah api ke bahan bakar

yang belum terbakar. Angin merupakan parameter yang paling menentukan,

namun sayangnya sulit untuk diduga. Mengingat angin ini merupakan faktor

penting dalam perilaku kebakaran hutan dan lahan, maka perlu mempelajari

bagaimana angin tersebut terjadi (Purbowaseso, 2004).

Dampak Perubahan Iklim Mikro terhadap Serasah

Bencana kebakaran hutan merupakan salah satu faktor penyebab

terjadinya kebakaran hutan. Sebagaimana diketahui, bencana kebakaran hutan dan

(29)

kemarau. Dalam perspektif kerusakan hutan merupakan salah satu faktor

penyebab tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia

(Iskandar dan Nugraha, 2004).

Hilangnya vegetasi hutan karena terbakar akan menyebabkan

terganggunya iklim baik iklim makro maupun iklim mikro. Keberadaan hutan

akan membuat udara sejuk di sekitarnya, dengan demikian hilangnya hutan akan

menyebabkan udara terasa panas. Udara sejuk di atas kawasan hutan bisa

mempengaruhi adanya proses kondensasi, yang selanjutnya akan berpengaruh

besar terhadap perubahan iklim di wilayah tersebut (Purbowaseso, 2004).

Akibat dari kebakaran hutan pada tanah dapat berbentuk perubahan pada

sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah. Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik

tanah akan jelas tampak, sedang pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak

merugikan tetapi menguntungkan. Sifat fisik dari tanah sangat ditentukan oleh

keadaan humus dan serasah pada permukaan tanah yang mempunyai hubungan

yang erat dengan tata air di hutan (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Udara yang panas akibat kebakaran hutan tidak banyak berarti bagi

serasah dan humus, tetapi apabila serasah dan humus ikut terbakar maka sifat fisik

tanah akn memburuk. Ditambah dengan pengaruh sinar matahari dan angin maka

tanah akan sulit menyerap air, sehingga air hujan akan mengalir di permukaan

tanah yang mengakibatkan terjadinya erosi (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Kebakaran serasah akan secara langsung dapat menaikkan suhu tanah.

Pada musim kemarau, kelembaban udara relatif rendah dan suhu meningkat

sehingga menyebabkan serasah yang ada di lantai hutan menjadi kering dan

(30)

membesarnya api dan mempercepat menjalarnya ke areal yang lebih luas.

Topografi kawasan yang miring dan adanya angin kencang akan menyebabkan api

cepat menjalar (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan

Peranan hutan sebagai pengatur iklim mikro pada lingkungan di sekitarnya

sangat penting. Tiap kondisi hutan akan memiliki kemampuan yang berbeda

dalam hal mengatur iklim mikro pada suatu lingkungan hutan, misalnya

temperatur udara, kelembaban udara, penerimaan cahaya matahari, dan defisit

tekanan uap air. Timbulnya iklim mikro disebabkan oleh adanya perbedaan-

perbedaan dari keadaan cuaca dan iklim yang cukup besar terutama proses sifat

fisik lapisan atmosfer (Hassan, 1970).

Selanjutnya dikemukakan oleh Tjasjono (1999), bahwa ada interaksi

antara tumbuhan dan iklim. Pengaruh tumbuhan pada iklim adalah menjadi

penting dengan semakin besarnya tumbuhan dan semakin banyaknya jumlah

tumbuhan. Pada mulanya tumbuhan hanya dipengaruhi oleh iklim mikro saja,

namun kemudian lambat laun dipengaruhi oleh iklim makro dan iklim meso.

Ada hubungan yang erat antara pola iklim dengan distribusi tumbuhan,

sehingga beberapa klasifikasi iklim didasarkan pada dunia tumbuh-tumbuhan.

Tumbuhan dipandang sebagai sesuatu yang kompleks dan peka terhadap pengaruh

iklim misalnya pemanasan, kelembaban, penyinaran matahari, dan lain-lain.

Tanpa unsur-unsur iklim ini, pada umumnya pertumbuhan tanaman akan tertahan,

meskipun ada beberapa tanaman yang dapat menyesuaikan diri untuk tetap hidup

(31)

Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman ialah curah hujan, suhu,

angin, sinar matahari, kelembaban, dan evapotranspirasi. Akibat kebakaran yang

mematikan pohon adalah keringnya kambium yang terdapat di sebelah dalam kulit

pohon. Kambium akan mati tidak saja oleh karena hangus tetapi juga oleh karena

temperatur yang melewati 65oC. Karena pada umumnya semai dan sapihan

berkulit lebih tipis daripada pohon-pohon besar, maka semai dan sapihan yang

paling menderita akibat kebakaran (Suratmo, 1980).

Kebakaran hutan yang berturut-turut akan berakibat pada vegetasi hutan,

tanah, air, dan mikroklimat. Perubahan yang akan sangat terasa apabila suatu

hutan terbakar adalah perubahan suhu udara di hutan. Hutan dapat berfungsi

menurunkan suhu udara di dalam hutan sewaktu musim panas dan akan

menaikkan suhu udara sewaktu musim dingin. Apabila hutan terbakar, maka

pengaruh hutan akan menjaga kesejukan udara atau kestabilan suhu udara di

dalam hutan akan hilang (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Kelembaban udara di dalam hutan biasanya selalu lebih tinggi

dibandingkan di luar hutan. Makin lebat atau rapat hutannya, makin tinggi

kelembabannya. Kelembaban ini berhubungan erat dengan suhu udara, pergerakan

udara, dan transpirasi dari tanaman dalam hutan. Perubahan pada suhu udara,

pergerakan udara, pergerakan transpirasi akan kebakaran hutan akan

(32)

METODE PENELITIAN

Waktu dan lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah di areal hutan Tridharma, Universitas Sumatera

Utara, dengan waktu penelitian dimulai pada bulan April 2007.

Letak dan luas

Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Padang Bulan terletak di

sebelah barat daya Kota Medan, tujuh kilometer dari pusat kota. Kampus ini yang

memiliki luas 116 Ha dengan luas zona akademik 93,4 Ha, merupakan pusat

kegiatan universitas. Di sini terdapat lebih dari seratus bangunan dengan total luas

lantai 133.141 m2. Selain bangunan pendidikan dan penunjang, di areal ini juga

terdapat berbagai fasilitas sosial dan publik seperti taman dan fasilitas olahraga

(USU, 2003).

Penelitian dilakukan di lokasi yang bervegetasi yaitu di kawasan Hutan Tri

Dharma yang memiliki kawasan 15.151,5 m2 dan di lokasi yang tidak bervegetasi

yaitu di areal terbuka Jalan Tri Dharma.

Vegetasi pohon yang terdapat di lokasi penelitian adalah Mahoni

(Swietenia mahagoni), Sengon (Paraserianthes falcataria), Angsana

(Ptherocarpus indicus), Kemiri (Aleuritus moluccana), Eukaliptus sp.(Eucalyptus

(33)

Bahan dan Alat

Bahan penelitian

Bahan penelitian ini adalah serasah yang berasal dari areal hutan dan

tempat terbuka di Hutan Tri Dharma kampus Universitas Sumatera Utara.

Alat penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Tally sheet

2. Alat tulis – menulis

3. Pita ukur / meteran

4. Anemometer untuk mengukur kecepatan angin

5. Stopwatch untuk menghitung waktu

6. Tiang penyangga untuk menyangga termometer

7. Termometer bola basah dan bola kering untuk mengukur suhu dan

kelembaban

8. Plastik untuk media penyimpanan serasah

9. Spidol untuk memberi label pada serasah yang diambil

10.Kamera untuk alat dokumentasi penelitian

11.Oven untuk mengeringkan serasah yang diambil dari lapangan

(34)

Prosedur Penelitian

Rancangan penelitian

Penempatan alat ukur untuk pengamatan iklim mikro di pasang di

tengah-tengah dari masing-masing areal yang akan diteliti yaitu areal hutan dan tempat

terbuka yang mana itu akan cukup mewakili dalam menghitung iklim mikro.

Pengambilan sampel serasah dilakukan dengan cara pengambilan

langsung secara komposit pada kedua areal tersebut (Hanafiah dan Elfiati, 2005).

Agar diperoleh sampel yang komposit maka pengambilan dilakukan pada sekitar

tempat alat ukur pengamatan iklim mikro diletakkan yaitu di tengah-tengah dari

(35)

Gambar 2. Tempat Penelitian dengan Menggunakan Google Earth

Pengukuran suhu, kelembaban relatif, dan kecepatan angin

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama satu bulan dengan

menggunakan termometer bola basah dan bola kering. Pengukuran dilakukan pada

pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB, dan 17.00 WIB.

Data suhu didapat dari pembacaan langsung skala termometer bola kering

(BK). Kelembaban relatif udara didapat dari pembacaan tabel dengan

(36)

Data angin didapat dari pembacaan langsung Anemometer tipe “Hand

Anemometer”. Pada pengambilan data angin dilakukan selama satu bulan pada

dua lokasi yang berbeda yaitu areal hutandan tempat terbuka.

Gambar 3. Lokasi Penelitian

Pengambilan serasah

 Pengambilan serasah hutan dilakukan bersamaan pada saat pengambilan data

suhu, kelembaban relatif, dan kecepatan angin dengan pengutipan langsung di

(37)

 Pengambilan dilakukan secara komposit yaitu di sekitar tempat peletakan alat

ukur pengukuran iklim mikro pada kedua areal tersebut.

Kemudian disimpan di dalam plastik sebagai media penyimpan.

 Dilakukan pencampuran semua serasah yang telah diambil dari titik-titik

pewakil.

Pengukuran kadar air serasah

 Setelah dicampur, serasah campuran (komposit) tersebut kemudian diambil

seberat  100 gr.

 Kemudian diovenkan dengan suhu 102 ± 3oC selama 24 jam.

 Setelah itu dihitung berat kering setelah diovenkan. Kemudian dilihat kadar

airnya dengan rumus :

% 100

x g

BeratKerin

g BeratKerin BeratBasah

(38)

Analisis Data

Adapun analisis data tersebut dengan menggunakan regresi linier berganda

dengan rumus (Supranto, 2001):

Y = a + bX1 + cX2 + dX3

Di mana : Y = Kadar air serasah

a = konstanta

b,c,d = Intersep

X1 = Suhu Udara

X2 = Kelembaban

X3 = Kecepatan angin

dimana dilanjutkan uji lanjutan yaitu dengan menggunakan program

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim Mikro

Suhu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh fluktuasi suhu di ke-4

lokasi penelitian yang disajikan pada gambar 3.

Gambar 4. Fluktuasi Suhu antara Hutan dan Tempat Terbuka

Gambar 4. menunjukkan fluktuasi rata-rata pada pagi hari cenderung sama

pada kedua lokasi penelitian. Sedangkan pada siang dan sore hari perbedaan suhu

pada kedua areal lokasi penelitian cukup berbeda. Guslim (1997), mengemukakan

bahwa suhu merupakan suatu konsep yang tidak mudah didefinisikan. Di dalam

Glossary of Meteorology, disebutkan suhu sebagai derajat panas atau dingin yang

diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan berbagai tipe termometer.

Berbeda antara suhu dengan panas, menurut hukum termodinamika panas adalah

energi total dari pergerakan molekuler suatu benda. Lebih besar

pergerakan-pergerakan itu maka lebih panas benda itu, sedangkan suhu adalah merupakan

(40)

energi sedangkan suhu adalah energi rata-rata dari tiap molekul. Fluktuasi suhu

harian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Fluktuasi Suhu Harian dari ke-4 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian Pagi (oC) Siang (oC) Sore (oC)

Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata

Titik I Hutan (H1) 25 23 23,64 30 25 27,85 30 23 26,85

Titik II Hutan (H2) 25 23 23,64 30 25 27,85 30 23 26,85

Titik III Hutan (H3) 25 23 23,64 30 23 27,85 30 23 26,85

Tempat Terbuka (TT) 25 23 23,71 32 26 29,64 31 23 27,92

Tabel 1. menunjukkan perubahan suhu yang terjadi pada pagi dan siang

hari dimana suhu minimum terjadi di pagi hari dan suhu maksimum di siang hari.

Pengaruh perbedaan yang cukup besar antara suhu tersebut dapat dipengaruhi oleh

sinar matahari. Santosa dalam Marjenah (2002) mengemukakan bahwa suhu udara

akan berfluktasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara

berkaitan dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan

energi radiasi matahari ini akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara

harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum

tercapai.

Hasil yang diperoleh juga menunjukkan terjadi kestabilan suhu terletak

pada pagi hari dan berada di hutan. Hal tersebut disebabkan oleh karena tumbuhan

yang berada di dalam hutan tersebut sehingga mempengaruhi masuknya sinar

matahari yang masuk ke dalam lantai hutan tersebut. Demikian juga letak pohon

pada setiap titik pewakil di areal hutan dimana setiap letak pohon tersebut pada

(41)

diperoleh berdasarkan penelitian bahwa suhu yang berada di tengah hutan tidak

jauh berbeda dengan yang berada di pinggir hutan (dekat dengan areal jalan

ataupun dengan bangunan di sebelahnya). Arief (2001) mengemukakan bahwa

pada hutan yang tajuknya rapat, hanya tunas-tunas pepohonan besar dan

tumbuh-tumbuhan merambat tertentu yang tahan terhadap keteduhan serta

rumput-rumputan saja yang mampu hidup di lantai hutan. Bentukan tumbuh-tumbuhan di

bawah lantai hutan membawa pengaruh yang unik terhadap iklim mikro daerah

sekitarnya. Akibatnya, sinar matahari di lantai hutan berkurang sehingga suhunya

berbeda dengan di luar ruangan. Oleh karena itu, jika semakin berada di dalam

hutan maka terjadi penurunan suhu di dalamnya.

Kelembaban Udara

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh fluktuasi kelembaban

udara selama periode penelitian yang disajikan pada Gambar 4.

(42)

Gambar 5. menunjukkan bahwa fluktuasi kelembaban udara pada pagi hari

cenderung sama pada kedua lokasi penelitian. Sedangkan pada siang dan sore hari

kelembaban udara jauh berbeda. Menurut Santosa dalam Marjenah (2002),

kelembaban relatif (RH) adalah jumlah aktual uap air di udara relatif terhadap

jumlah uap air pada waktu udara dalam keadaan jenuh pada suhu yang sama

dinyatakan dalam persen. Pengukuran salah satunya dapat dilakukan dengan

termometer bola kering dan termometer bola basah. Fluktuasi kelembaban udara

harian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Fluktuasi Kelembaban Udara Harian dari ke-4 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian Pagi (%) Siang (%) Sore (%)

Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata

Titik I Hutan (H1) 100 92 99,43 92 68 78,14 92 68 82,64

Titik II Hutan (H2) 100 92 99,43 92 68 78,14 92 68 82,64

Titik III Hutan (H3) 100 92 99,43 92 68 78,14 92 68 82,64

Tempat Terbuka (TT) 100 92 99,43 92 60 71,64 92 68 79,14

Tabel 2. menunjukkan kelembaban udara yang tertinggi terjadi di areal

hutan yang setiap saat basah. Kelembaban udara tertinggi terjadi di pagi hari baik

di hutan maupun di tempat terbuka dan terendah terjadi di siang hari yaitu di

tempat terbuka. Hasil penelitian menunjukkan kelembaban udara pada areal hutan

lebih tinggi dibandingkan tempat terbuka. Sumardi dan Widyastuti (2004)

mengemukakan bahwa Kelembaban udara di dalam hutan biasanya selalu lebih

tinggi dibandingkan di luar hutan. Makin lebat atau rapat hutannya, makin tinggi

kelembabannya. Kelembaban ini berhubungan erat dengan suhu udara, pergerakan

udara, dan transpirasi dari tanaman dalam hutan. Purbowaseso (2004) juga

mengemukakan bahwa faktor kelembaban udara erat kaitannya dengan faktor

(43)

menyebabkan wilayah tersebut juga memiliki kelembaban udara relaitf tinggi,

misalnya wilayah tropis, yang dicirikan dengan jumlah hujan > 2.500 mm per

tahun.

Kecepatan Angin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh fluktuasi kecepatan

angin selama penelitian yang disajikan pada gambar 5.

Gambar 6. Fluktuasi Kecepatan Angin antara Hutan dan Tempat Terbuka

Gambar 6. menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata pagi hari

cenderung sama pada kedua lokasi penelitian. Sedangkan pada siang dan sore hari

kecepatan angin rata-rata pada kedua lokasi penelitian berbeda. Menurut Asdak

(2002), angin adalah gerakan massa udara, yaitu gerakan atmosfer atau udara nisbi

terhadap permukaan bumi. Parameter tentang angin yang biasanya dikaji adalah

arah dan kecepatan angin. Kecepatan angin penting karena dapat menentukan

besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi

(44)

Tabel 3. Kecepatan Angin Harian dari ke-4 Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian Pagi (m/s) Siang (m/s) Sore (m/s)

Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata Max Min Rata-rata

Titik I Hutan (H1) 0 0 0 10 0 5,43 10 0 4,29

Titik II Hutan (H2) 0 0 0 10 0 5,43 10 0 4,29

Titik III Hutan (H3) 0 0 0 10 0 5,43 10 0 4,29

Tempat Terbuka (TT) 0 0 0 12 0 6,57 12 0 5,21

Berdasarkan Tabel 3. menunjukkan kecepatan angin di siang dan sore hari

cukup tinggi pada tempat terbuka dibandingkan dengan hutan (bervegetasi). Chen

et al. (1990) mengemukakan bahwa kecepatan angin terjadi penurunan pada saat

malam hari dan tinggi sepanjang hari; Umumnya kecepatan angin menurun pada

sore hari dan terendah pada malam hari serta pagi hari. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa kecepatan angin pada pagi hari tidak terjadi akibat pengaruh

dari malam yang sebelumnya yaitu terjadi kecepatan angin yang rendah.

Pengaruh Iklim Mikro terhadap Kadar Air Serasah

Iklim mikro adalah kondisi lapisan atmosfer yang dekat dengan

permukaan tanah atau sekitar tanaman / tumbuhan, yang meliputi suhu,

kelembaban, tekanan udara, keteduhan dan dinamika energi radiasi matahari

(Dirjen RLPS, 2002). Sumardi dan Widyastuti (2004) mengemukakan bahwa

iklim sangat erat kaitannya dengan kebakaran hutan. Pada daerah-daerah hutan

yang perbedaan musimnya nyata antara musim hujan dan musim kemarau

hubungan ini tampak lebih jelas lagi. Kebakaran hutan selalu terjadi pada musim

kemarau (misalnya hutan jati di Jawa Timur, kebakaran selalu terjadi antara bulan

(45)

Hasil analisis regresi dengan menggunakan Software SPSS 15.0 diperoleh

hasil persamaan hubungan antara kadar air serasah dengan suhu, kelembaban

udara, dan kecepatan angin sebagai berikut:

Persamaan I:

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi

besarnya kadar air serasah adalah suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin

dengan nilai koefisien determinasi tertentu. Adapun nilai koefisien determinasi

untuk persamaan I adalah 0,519 (R2 = 0,519) yang berarti 51,9% variabel Y

dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Sisanya 48,1% dipengaruhi faktor

lain selain parameter yang digunakan dalam persamaan atau model. Sedangkan

nilai koefisien determinasi untuk persamaan II adalah 0,639 (R2 = 0,639) yang

berarti 63,9% variabel Y dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara dan kecepatan

(46)

dalam persamaan atau model. Berdasarkan dari dua persamaan di atas, maka

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

 Iklim mikro (suhu, kelembaban udara, kecepatan angin) di ke-4 lokasi

penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup besar terutama pada pagi hari

dan siang hari serta sore hari.

 Model antara kadar air dengan suhu, kelembaban udara, dan angin yang

terbentuk yaitu:

Y = 186.518-5.182 X1+0,161 X2-0.516X3

(R2= 0,639)

Saran

Penelitian lanjutan tentang model hubungan antara iklim dengan serasah

sebagai bahan bakar kebakaran hutan perlu dikembangkan agar kiranya dapat

diperoleh model yang lebih banyak untuk salah satu cara pendugaan early

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Chen, J., Franklin, J. F., and Spies, T. A. 1993. Contrasting Microclimates among Clearcuts, Edge, and Interior of Old Growth Douglas-Fir Forest. Elsevier Science Publishers B. V. Amsterdam

De Bano, L. F., Neary, D. G. and Folliot, P. F. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. John Wiley and Sons.USA

Dirjen RPLS. 2002. Petunjuk Teknis / Pelaksanaan Hutan Kota. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutani Sosial, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Sei Ular Medan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta

Ewusie, J.Y. 1990. Ekologi Tropika. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung

Guslim. 1997. Klimatologi Pertanian. Universitas Sumatera Utara Press. Medan

Hassan, U.M. 1970. Dasar-dasar Meteorologi Pertanian. PT Soeroengan. Jakarta

Hanafiah, A. S. dan Elfiati, A. 2005. Buku Penuntun Praktikum Ilmu Tanah Hutan. Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Medan

Iskandar, U. dan Nugraha, A. 2004. Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan : Issue dan Agenda Mendesak. Debur Press. Yogyakarta

Las, I. dan Bey, A.1990. Monitoring Observasi dan Pengolahan Data Iklim dalam Pengelolaan Perkebunan dan HTI Suatu Tinjauan Deskriptif Prosiding Seminar Sehari Peranan Agromet. PERHIMPI. Bogor

Marjenah. 2002. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kondidi Iklim Mikro Di Hutan Penelitian Bukit Soeharto. Jurnal Ilmiah Mahakam, Samarinda. http://www.unmul.ac.id [03 Maret 2007]

Prasetyo, I. 1997. Studi Iklim Mikro Jalur Hijau di Kotamadya Bogor. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor

Purbowaseso, B. 2004. Pengendalian Kebakaran Hutan. PT. Rineka Cipta. Jakarta

(49)

Sumardi dan Widyastuti, S. M. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Supranto, J. 2001. Statistik, Teori dan Aplikasi. Penerbit Erlangga. Jakarta

Suratmo, G. 1980. Ilmu Perlindungan Hutan. Pusat Pendidikan Kehutanan Cepu, Direksi Perum Perhutani Cepu

Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Penerbit ITB. Bandung

UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. 2004. Perilaku Api Dan Teknik Pemadaman Kebakaran. Samarinda.

(50)

Lampiran 1. Data Fluktuasi Suhu

(51)
(52)

Lampiran 7. Data Model Persamaan Kadar Air Serasah dengan Suhu,

Kelembaban Udara, dan Kecepatan Angin

Kadar Air Suhu Kelembaban Udara Kecepatan Angin

(53)
(54)
(55)

58.22 28 79 8

38.31 30 68 6

68.85 26 92 6

16.8 27 85 5

40.17 29 73 9

81.5 27 85 4

69.11 27 72 5

66.76 23 91 0

39.31 30 68 12

59.88 29 73 3

31.88 28 73 7

52.83 27 85 0

51.09 29 73 4

54.63 29 79 0

50.34 29 73 10

Gambar

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api (De Bano et al.,1998)
Gambar 2. Tempat Penelitian dengan Menggunakan Google Earth
Gambar 3. Lokasi Penelitian
Gambar 4. Fluktuasi Suhu antara Hutan dan Tempat Terbuka
+6

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, Kelebihan dari pembelajaran berbasis kecerdasan Logis-Matematis itu yaitu membuka kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis, siswa lebih aktif dalam

Kesepakatan untuk mempertahankan sistem presidensial dimaksudkan untuk mempertegas sistem presidensial dalam UUD 1945 agar tidak kembali kepada sistem parlementer sebagaimana

Pada Blok Pemanfataan Sumber Agung Resort Tahura Wan Abdul Rachman Lampung, komunitas tumbuhan herba menunjukkan kestabilan ekosistem yang mengindikasikan bahwa

Namun karena banyaknya remaja mengalami atau melakukan konformitas dan mengikuti kepatutan sosial social desirability dalam diri mereka, maka hasil yang diperoleh banyak

,engingatkan kembali ke&#34;ada ibu tentang &#34;ers/nal $ygiene &#34;ada balita  dengan membiasakan kebiasaan 9u9i tangan setela$ melakukan aktiitas?.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pemberian

Catatan: penghitungan nilai lihat contoh penilaian halaman lain 3. Tugas peserta didik menemukan dan menuliskan informasi tentang karakteristik bentang alam: pantai, dataran

Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pengembangan kawasan Pelabuhan Kuala Langsa berdampak terhadap kesejahteraan kehidupan masyarakat sekitar yang sangat signifikan,