• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perencanaan Sistem Pengaman Terhadap Sambaran Petir Eksternal Pada Bangunan Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Perencanaan Sistem Pengaman Terhadap Sambaran Petir Eksternal Pada Bangunan Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

SAMBARAN PETIR EKSTERNAL PADA BANGUNAN GEDUNG

BIRO REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tugas Akhir

O l e h :

RAPIDO PARASIAN GULTOM

NIM . 030422033

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Abstrak ... i

2. 6. Mekanisme Terjadinya Kerusakan Pada Daerah Yang Dilindungi ... 16

BAB III PROTEKSI GEDUNG TERHADAP BAHAYA PETIR ……. 19

3. 1. Umum ... 19

3. 2. Sistem Proteksi Petir ... 20

3. 3. Hari Guruh ... ... 23

3. 4. Besarnya Kebutuhan Bangunan Akan Sistem Proteksi Petir 24 3.4.1. Menurut Standar PUIPP ... 25

(3)

v

4.3. Rancangan Terminasi Udara Menurut SNI 03-7015-2004 34 4.3.1. Metode Sudut Proteksi (Angle Protection Method) 36 4.3.2. Metode Bola Bergulir (Roling Sphere Method) ... 37

4.3.3. Metode Jala (Mesh Sized Method) ... 38

BAB V STUDI PERANCANGAN PROTEKSI PETIR EKSTERNAL PADA GEDUNG BIRO REKTOR USU ……… 46

5. 1. Umum ... 46

5. 2. Analisa Kebutuhan Proteksi Gedung Biro Rektor USU 50

5.2.1. Penentuan Kebutuhan Bangunan Akan Proteksi Petir Berdasarkan PUIPP ………. 50

5.2.2. Penetuan Tingkat Proteksi Berdasarkan SNI 03-7015-2004 ………... . 51

5. 3. Perencanaan Komponen Sistem Proteksi Eksternal …... . 53

5.3.1. Terminasi Udara ………. . 53

5.3.2. Konduktor Penyalur ……… . 58

5.3.3. Terminasi Bumi (Grounding System) ….……… 62

(4)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan ……… 66

6. 2. Saran ……….. 67

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.a Distribusi muatan pada awan ... 8

Gambar 2.1.b Distribusi muatan pada awan cummulonimbus ... 8

Gambar 2.2 Tahapan proses sambaran petir ... 10

Gambar 2.3 Negative lightning strike ... 12

Gambar 2.4 Positive lightning strike ... 13

Gambar 2.5 Polaritas awan negatif ... 13

Gambar 2.6 Polaritas awan positif ... 14

Gambar 2.7 Pengaruh bentuk permukaan bumi ... 15

Gambar 2.9.a Mekanisme kopling galvanis ... 17

Gambar 2.9.b Mekanisme kopling induktif ... 18

Gambar 2.9.c Mekanisme kopling kapasitif ... 18

Gambar 3.1 Konsep Dissipation Array System ... 21

Gambar 3.2 Diagram alir menentukan kebutuhan tingkat proteksi .... 30

Gambar 4 Daerah proteksi menurut Franklin ... 32

Gambar 4.1 Metode sudut proteksi ... 36

Gambar 4.2 Daerah proteksi dengan metode bola bergulir ... 38

Gambar 4.2a Metode bola bergulir pada Gedung W UK Petra (depan) 41 Gambar 4.2b Metode bola bergulir pada Gedung W UK Petra (samping) 41 Gambar 4.3 Daerah proteksi dengan metode Jala ... 42

Gambar 5.1 Gedung Biro Rektor USU tampak Depan ... 49

Gambar 5.2 Gedung Biro Rektor USU tampak Belakang ... 50

Gambar 5.3 Gedung Biro Rektor USU tampak Samping ... 50

(6)

Gambar 5.5 Struktur Gedung Biro Rektor USU Lt.4 ……... 52

Gambar 5.6 Penempatan Terminasi Udara tampak depan menurut Metode Sudut Proteksi ……... 58

Gambar 5.7 Penempatan Terminasi Udara tampak samping menurut Metode Sudut Proteksi ……... 59

Gambar 5.8 Penempatan Terminasi Udara tampak atas menurut Metode Sudut Proteksi ……... 60

Gambar 5.9 Penempatan Konduktor Penyalur tampak depan ... 63

Gambar 5.10 Penempatan Konduktor Penyalur tampak samping ... 63

Gambar 5.11 Penempatan Konduktor Penyalur tampak atas ... 64

Gambar 5.12 Braket (Penyangga) Konduktor Penyalur ……... 64

Gambar 5.13 Konduktor Penyalur terpasang pada tembok ... 64

Gambar 5.14 Penempatan Terminasi Bumi ………... 65

Gambar 5.15 Terminasi Udara terpasang pada Gedung Biro Rektor USU tampak samping (Atap Lt.4) ….…... 66

Gambar 5.16 Terminasi Udara I dan Terminai Udara II pada Gedung Biro Rektor USU tampak depan ………... 67

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Indeks menurut Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir .... 26

Tabel 3.2. Perkiraan bahaya sambaran petir ... 27

Tabel 3.3 Efisiensi sistem proteksi petir ... 29

Tabel 3.4 Daerah proteksi dari terminasi udara sesuai dengan Tingkat proteksi ... ….. 29

Tabel 4.1 Dimensi minimum bahan SPP untuk terminasi udara ... 36

Tabel 4.1 Dimensi minimum bahan SPP untuk konduktor penyalur ... 43

Tabel 4.3 Jarak rata-rata antara konduktor penyalur ... 44

Tabel 4.4 Dimensi minimum bahan SPP untuk terminasi bumi ... 47

Tabel 4.5 Bahan SPP dan kondisi penggunaannya ... 48

(8)

Petir merupakan peristiwa alam yaitu proses pelepasan muatan listrik

(electric discharge) yang terjadi di atmosfir. Peristiwa pelepasan muatan ini akan

terjadi karena terbentuknya konsentrasi muatan-muatan positif dan negatif

didalam awan ataupun perbedaan muatan dengan permukaan bumi.

Dewasa ini kebutuhan akan pengamanan bahaya sambaran petir semakin

meningkat. Peningkatan pengamanan ini perlu karena daerah di Indonesia adalah

daerah tropis yang merupakan daerah paling banyak curah hujan yang

menyebabkan terjadinya petir. Arus – arus yang ditimbulkan petir berkisar antara

5kA sampai 200 kA.

Untuk mencegah terjadinya bahaya yang lebih fatal akibat sambaran petir

pada Gedung Biro Rektor (Pusat Administrasi) Universitas Sumatera Utara perlu

dirancang suatu sistem pengaman yang baik untuk mengamankan bangunan,

peralatan dan orang yang ada dalam lingkungan bangunan tersebut.

Tulisan ini mencoba menguraikan hal – hal yang menjadi pertimbangan

didalam menentukan kebutuhan proteksi bangunan terhadap sambaran petir dan

kemudian menguraikan komponen – komponen sistem proteksi eksternal secara

umum menurut SNI 03-7015-2004 yang diaplikasikan pada Gedung Biro Rektor

(9)

Petir merupakan peristiwa alam yaitu proses pelepasan muatan listrik

(electric discharge) yang terjadi di atmosfir. Peristiwa pelepasan muatan ini akan

terjadi karena terbentuknya konsentrasi muatan-muatan positif dan negatif

didalam awan ataupun perbedaan muatan dengan permukaan bumi.

Dewasa ini kebutuhan akan pengamanan bahaya sambaran petir semakin

meningkat. Peningkatan pengamanan ini perlu karena daerah di Indonesia adalah

daerah tropis yang merupakan daerah paling banyak curah hujan yang

menyebabkan terjadinya petir. Arus – arus yang ditimbulkan petir berkisar antara

5kA sampai 200 kA.

Untuk mencegah terjadinya bahaya yang lebih fatal akibat sambaran petir

pada Gedung Biro Rektor (Pusat Administrasi) Universitas Sumatera Utara perlu

dirancang suatu sistem pengaman yang baik untuk mengamankan bangunan,

peralatan dan orang yang ada dalam lingkungan bangunan tersebut.

Tulisan ini mencoba menguraikan hal – hal yang menjadi pertimbangan

didalam menentukan kebutuhan proteksi bangunan terhadap sambaran petir dan

kemudian menguraikan komponen – komponen sistem proteksi eksternal secara

umum menurut SNI 03-7015-2004 yang diaplikasikan pada Gedung Biro Rektor

(10)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Indonesia termasuk daerah tropis yang terletak di daerah katulistiwa

dengan jumlah hari guruh pertahun/ petir (Thunderstormdays) yang sangat tinggi

sehingga memungkinkan banyak terjadinya bahaya dengan kerusakan yang

ditimbulkan pada harta benda dan kematian pada mahluk hidup yang ada

disekitarnya akibat sambaran petir. Sambaran petir juga dapat menimbulkan

gangguan pada sistem tenaga listrik. Setiap peralatan yang menggunakan energi

listrik atau elektronika dapat menjadi sasaran sambaran petir secara tidak

langsung melalui radiasi, konduksi atau induksi elektromagnetik dari sambaran

petir tersebut.

Teknologi elektronika saat ini berkembang dengan sangat pesat, hampir

seluruh aspek kehidupan tidak terlepas dari peralatan elektronik dan

mikroprosesor. Kecepatan prosesnya yang semakin tinggi, ukurannya kecil,

kapasitasnya besar dan lain-lain, namun kekuatan isolasinya rendah sehingga

komponen ini sangat rawan terhadap pengaruh impuls elektromagnetik, terutama

impuls elektromagnetik yang disebabkan oleh sambaran petir.

Bangunan – bangunan bertingkat menjadi objek sambaran petir karena

merupakan daerah yang paling tinggi, karena sifat petir menyambar sebuah

bangunan yang paling tinggi permukaannya untuk menyalurkan arusnya ke bumi

untuk dinetralisir. Efek gangguan yang ditimbulkan akibat sambaran petir ini

(11)

bangunan tersebut. Kerugian yang disebabkan sambaran petir sangat fatal sekali

dampaknya, karena itu untuk menanggulangi dampak dari bahaya sambaran

langsung petir, maka sistem proteksi bangunan sangat diperlukan.

Dan karena penulis mengikuti perkuliahan di Universitas Sumatera Utara,

maka penulis mencoba merencanakan suatu sistem pengaman terhadap bahaya

sambaran petir pada Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis untuk merencanakan suatu sistem pengaman terhadap

bahaya sambaran petir pada Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara

adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperlihatkan pentingnya sistem pengamanan gedung terhadap

bahaya sambaran petir guna menanggulangi akibat kerusakan yang

ditimbulkan pada bangunan, peralatan atau korban jiwa.

2. Menjelaskan hal – hal yang menjadi pertimbangan didalam merencanakan

sistem pengamanan terhadap bahaya sambaran petir dan menguraikan

komponen – komponen sistem proteksi eksternal secara umum.

3. Dapat diterapkan pada Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara..

4. Tujuan akademis yaitu untuk membuat laporan Tugas Akhir sebagai salah

satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam merencanakan suatu

(12)

2. Dapat digunakan sebagai referensi dalam pekerjaan instalasi sistem

proteksi eksternal terhadap bahaya sambaran petir pada Bangunan Gedung

Biro Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa mengenai perencanaan

sistem proteksi eksternal terhadap bahaya sambaran petir pada suatu

bangunan atau gedung.

1.4 Batasan Masalah

Mengingat luas dan kompleksnya pembahasan yang dapat dilakukan,

maka untuk memaksimalkan pembahasan perlu dilakukan pembatasan masalah,

sebagai berikut :

1. Besarnya kebutuhan bangunan akan sistem proteksi petir dengan

menggunakan Standar Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP)

dan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004).

2. Membahas perencanaan komponen – komponen sistem proteksi eksternal

yang meliputi : terminasi udara, konduktor penyalur dan sistem terminasi

bumi (menurut SNI 03-7015-2004) yang diaplikasikan pada Gedung Biro

Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

1.5 Metode dan Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Tugas Akhir ini, penulis mencari dan mengumpulkan

data yang diperlukan dengan metode :

1. Studi Literature

Dalam hal ini penulis, mengumpulkan bahan tulisan dari berbagai sumber

(13)

2. Studi Bimbingan

Dalam hal ini, penulis berdiskusi dan berkonsultasi dengan dosen

pembimbing, staf pengajar pada Departemen Teknik Elektro Fakultas

Teknik USU, serta rekan – rekan mahasiswa Departemen Teknik Elektro

Fakultas Teknik USU.

3. Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penulisan Tugas Akhir

ini, seperti data bangunan gedung Biro Rektor USU Medan yang dipilih

penulis sebagai aplikasi dan jumlah hari guruh (isokeraunik level) di

Medan untuk dilakukan perhitungan dalam mendapatkan banyaknya

jumlah terminasi udara yang dibuthkan bagi bangunan tersebut.

Untuk memudahkan pemahaman terhadap Tugas Akhir ini maka penulis

menyusun sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, batasan masalah

metode dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini menjelaskan mengenai gejala terjadinya petir secara

umum, mekanisme sambaran petir, lidah api serta beberapa jenis

sambaran yang ditimbulkan.

BAB III : PROTEKSI BANGUNAN TERHADAP SAMBARAN PETIR Bab ini menjelaskan tentang proteksi terhadap bahaya petir

(14)

besarnya kebutuhan bangunan akan sistem proteksi menurut

standard.

BAB IV : SISTEM PROTEKSI PETIR EKSTERNAL

Bab ini menjelaskan tentang sistem proteksi eksternal petir secara

umum, terminasi udara (air conductor), konduktor penyalur

(down conductor), sistem terminasi bumi (grounding system)

menurut SNI 03-7015-2004.

BAB V : STUDI PERANCANGAN PROTEKSI PETIR EKSTERNAL PADA GEDUNG BIRO REKTOR USU.

Bab ini membahas mengenai sistematika perancangan proteksi

petir eksternal pada bangunan Gedung Biro Rektor USU, yaitu

Perhitungan Kebutuhan Proteksi Gedung, Perencanaan

Komponen Sistem Proteksi Eksternal Gedung dan analisa

perhitungan biaya dengan menganggap bahwa Gedung Biro

Rektor USU belum mempunyai proteksi petir eksternal.

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dan yang

(15)

2.1. UMUM

Petir merupakan peristiwa pelepasan muatan listrik statik di udara yang

dibangkitkan dalam bagian awan petir yang disebut cells. Pelepasan muatan ini

dapat terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu :

1. Lightning Flash yaitu pelepasan muatan diantara awan-awan ataupun

antara pusat-pusat muatan di dalam awan tersebut.

2. Lightning Strike yaitu pelepasan muatan antara awan bermuatan dengan

tanah.

Lebih banyak pelepasan muatan (discharge) terjadi antara awan-awan dan

di dalam awan itu sendiri daripada pelepasan muatan yang terjadi antara awan

bermuatan dengan tanah. Tetapi petir awan – tanah ini sudah cukup besar untuk

dapat menyebabkan kerusakan pada benda-benda di permukaan tanah.(6)

Petir merupakan proses alam yang terjadi di atmosfir bumi pada waktu

hujan (thunderstorm). Muatan-muatan tersebut akan terkonsentrasi di dalam awan

atau bagian dari awan dan muatan yang berlawanan akan timbul pada permukaan

tanah di bawahnya. Jika muatan bertambah, beda potensial antara awan dan tanah

akan naik, maka kuat medan listrik di udara pun akan meningkat. Jika kuat medan

listrik ini melebihi kekuatan dielektrik diantara awan-awan tersebut, maka akan

terjadi pelepasan muatan (petir). Kuat medan listrik yang diperlukan untuk

memulai aliran (streamer) adalah EB = 10 – 40 kV/m, pada awan yang

mempunyai ketinggian 1 – 2 km di atas tanah dapat menghasilkan tegangan 100

(16)

2.2. PROSES TERJADINYA PETIR

Awan dapat terbentuk jika udara yang mengandung air bergerak ke atas.

Pada daerah yang lebih tinggi, maka tekanan dan suhu atmosfir akan lebih rendah

sehingga udara yang mengandung uap air akan mengembang dan menjadi dingin.

Sebagian uap airnya mengondensasi sehingga terbentuklah awan seperti yang kita

lihat (Gambar 2.1.a).(1)

Awan yang dapat mengakibatkan petir adalah awan cummulonimbus.

Disebut demikian karena terjadi pemisahan muatan (polarisasi) akibat adanya

angin keras yang meniup awan lebih tinggi. Polarisasi yang terjadi pada awan

cummulonimbus dapat dijelaskan dengan menggunakan dasar teori listrik statis.

Pemisahan muatan (polarisasi) terjadi akibat adanya angin keras dapat

menyebabkan turbulensi. Angin keras ke atas (updraft) membawa butiran-butiran

air (small liquid water droplets) yang terdapat pada awan ke daerah yang suhunya

sangat rendah (freezing level). Di lain sisi, angin keras ke bawah (downdraft)

membawa bongkahan-bongkahan es ke daerah yang lebih rendah. Saat

butiran-butiran air dan bongkahan-bongkahan es tadi berbenturan, maka akan dilepaskan

panas yang dapat membuat ukuran bongkahan-bongkahan es menjadi lebih kecil

disebut soft hail/graupels. Kemudian graupels berbenturan dengan

partikel-partikel air dan es sehingga terjadilah fenomena listrik statis yaitu

elektron-elektron yang membawa muatan negatif pada graupels akan terlepas dan bergerak

menuju ke dasar awan, sedangkan muatan positif cenderung diam karena

massanya yang lebih besar sehingga kecepatannya lebih kecil. (Gambar 2.1.b).

Awan ini mempunyai ukuran vertikal yang lebih besar daripada ukuran

(17)

Gambar 2.1.a. Distribusi muatan pada awan

Gambar 2.1.b. Distribusi muatan pada awan cummulonimbus

Dengan adanya awan yang bermuatan akan timbul muatan induksi pada

muka bumi, hingga timbul medan listrik. Mengingat dimensinya, bumi dianggap

rata terhadap awan. Jadi awan dan bumi dapat dianggap sebagai kedua plat

kondensator. Jika medan listrik yang terjadi melebihi kekuatan dielektrik udara

(kekuatan tembus udara), maka akan terjadi pelepasan muatan. Pada saat itulah

terjadi petir.(6)

Arah Gerak Angin

Permukaan Bumi Tinggi

km

Permukaan Bumi

+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Tinggi

km

3 6

(18)

Kondisi ketidakmantapan di dalam atmosfer dapat saja timbul akibat

pemisahan, tidak seperti yang terjadi di atas. Misalnya, muatan yang

perpisahannya terjadi ke arah horizontal, yang kemudian menimbulkan pelepasan

muatan antara dua awan. Atau pemisahan muatan vertikal tersebut dapat terjadi

sebaliknya, hingga arah pelepasan muatan atau petir menjadi terbalik.

2.3. TAHAPAN SAMBARAN PETIR KE TANAH (6)

Pada saat gradien tegangan di awan melebihi harga tembus udara yang

terionisasi, terjadilah pilot streamer yang menentukan arah perambatan muatan

dari awan ke udara yang ionisasinya rendah, hal ini diikuti oleh adanya titik

cahaya.

Kemudian gerakan pilot streamer yang diikuti dengan lompatan-lompatan

titik-titik cahaya yang dinamakan stepped leader (Gambar 2.2.a). Arah setiap

stepped leader berubah-ubah dimana ia mencari udara yang mempunyai kekuatan

dielektrik yang paling rendah untuk dilalui sehingga secara keseluruhan jalannya

tidak lurus dan patah-patah. Setiap sambaran petir bermula dari suatu lidah petir

(stepped leader) yang bergerak turun (down leader) dari awan bermuatan. Panjang

setiap stepped leader ini sekitar 50 m (dalam rentang 3–200 m), dalam interval

waktu antara setiap ± 50µs (30-125µs). Dari waktu ke waktu, dalam

perambatannya ini stepped leader mengalami percabangan sehingga terbentuk

lidah petir yang bercabang-cabang.

Ketika leader bergerak mendekati bumi, akan terdapat beda potensial

yang makin tinggi antara ujung stepped leader dengan bumi sehingga

terbentuklah pelepasan muatan mula yang berasal dari bumi atau obyek pada bumi

(19)

disebut upward streamer. Apabila upward streamer telah masuk dalam zona jarak

sambaran atau striking distace, terbentuklah petir penghubung (connecting leader)

yang menghubungkan ujung stepped leader dengan obyek yang disambar

(Gambar 2.2.b). Setelah itu timbullah sambaran balik (return strike) yang

bercahaya sangat terang bergerak dari bumi atau obyek menuju awan dan

kemudian melepaskan muatan di awan (Gambar 2.2.c).

Jalur yang ditempuh oleh return strike adalah sama dengan jalur turunnya

stepped leader, hanya arahnya saja yang berbeda. Setelah itu terjadi juga

sambaran susulan (subsequent strike) dari awan menuju bumi akibat belum

pulihnya udara yang menjadi tempat jalannya sambaran yang pertama. Sambaran

susulan tidak memiliki percabangan dan bisa disebut lidah panah (dart leader)

(Gambar 2.2.d). pergerakan dart leader ini sekitar 10 kali lebih cepat dari leader

yang pertama (first strike).

(20)

2.4. KARAKTERISTIK TERPA ARUS PETIR 2.4.1. Parameter Umum Petir (6)

Petir yang terjadi secara umum memiliki beberapa parameter, antara lain ;

o Muatan lokal yang dipindah adalah 150 – 300 Coulomb

o Puncak arus yang dicapai adalah 100 – 200 kA

o Muatan petir 50 – 100 Coulomb

o Kecuraman kenaikan arus (di/dt) 100 – 200 kA/ms

2.4.2. Bentuk Arus Petir (6)

Bagian penting dari sambaran petir yang merupakan bagian utama

sambaran adalah sambaran balik, dimana muatan sel dalam awan petir dilepaskan

ke bumi. Bila terjadi aktifitas pengumpulan atau pembentukan muatan pada awan,

maka induksi muatan dengan polaritas yang berlawanan terjadi di permukaan

bumi. Akibat peristiwa tersebut timbullah medan listrik yang kuat diantara awan

dan bumi. Medan listrik yang amat kuat itu membuat obyek yang terdapat di

permukaan bumi dan biasanya di tempat yang tinggi, misalnya menara,

gedung-gedung, pohon-pohon dan lain-lain melepaskan muatan ion positif yang berasal

dari bumi. Ion positif ini membuat semacam pita di udara yang bergerak ke arah

pita yang dibentuk oleh ion negatif awan. Apabila kedua pita ini bertemu di satu

titik di udara, maka terjadilah sambaran balik (return strike). Pada saat inilah

mengalir arus petir dari udara ke bumi melalui saluran yang dibentuk oleh kedua

ujung pita tersebut.

Arus pada kebanyakan sambaran berasal dari sel yang bermuatan negatif

(21)

tanah. Jarang ditemukan sambaran yang berasal dari sel positif. Kedua polaritas

mempunyai aliran arus yang seragam.

Bentuk-bentuk pelepasan muatan awan : (8)

1. Negative lightning strike

Pelepasan ini berasal dari awan petir bermuatan negatif. Pada Gambar 2.3.

di atas dapat dilihat bahwa waktu muka gelombang adalah 10 – 15 µs.

Waktu mencapai nilai separuh diperkirakan sekitar 100 µs. Arus petir

sekitar 30 – 40 kA.

Gambar 2.3. Negative lightning strike

2. Positive lightning strike

Pelepasan berasal dari awan petir bermuatan positif. Pada Gambar 2.4.

berikut dapat dilihat bahwa waktu gelombang sekitar 50 – 200 µs. waktu

gelombang mencapai nilai separuh jenis pelepasan ini sangat panjang

(22)

Gambar 2.4. Positive lightning strike

2.4.3. Pengaruh Polaritas Awan (6)

Bagian dasar awan kebanyakan bermuatan negatif, tetapi dapat juga

bermuatan positif. Polaritas ini berpengaruh pada besar arus dan juga arah arus

petir.

(23)

Gambar 2.6. Polaritas awan positif

Di bawah awan positif (Gambar 2.6.), arus sambaran perintis berkisar

antara 1000 – 3000 A, sedangkan di bawah awan negatif (Gambar 2.5.) berkisar

antara 50 – 300 A. Tetapi sambaran balik (return strike) berkisar 8 – 150 kA di

bawah awan negatif dan sampai 300 kA di bawah awan positif.

2.5. MEKANISME SAMBARAN PETIR (6)

2.5.1. Pengaruh Bentuk Permukaan Bumi Dan Jarak Obyek Ke Sumber Petir

Petir lebih cenderung menyambar tempat-tempat yang tinggi di permukaan

bumi. Hal ini disebabkan karena kuat medan disekitar ujung atau puncak

bangunan tersebut lebih rapat dan sifat dari muatan akan cenderung mengumpul

pada puncak atau ujung dari bagian yang runcing, begitu pula tepian-tepian

runcing bangunan. Selain itu, pada daerah yang tinggi di permukaan bumi berarti

(24)

dengan obyek pada daerah dengan permukaan yang relatif datar, sehingga kuat

medan listrik yang dihasilkan pun akan lebih tinggi.

Gambar 2.7. Pengaruh Bentuk Permukaan Bumi

Dari gambar dapat dilihat, walaupun kedua obyek (A dan B) memiliki

konduktifitas jenis yang sama dan ukuran tinggi yang sama, namun yang

tersambar adalah obyek A. Hal ini dikarenakan obyek A lebih dekat dengan

sumber petir (awan), sehingga medan listrik menjadi lebih besar.

Apabila permukaan pada Gambar 2.7. dianggap rata, maka obyek yang

cenderung tersambar adalah obyek yang jaraknya paling dekat dengan sumber

petir karena medan listriknya lebih besar.

Bukan tidak mungkin pula sebuah bangunan yang tinggi tidak disambar

petir pada puncaknya, melainkan disambar pada bagian dasar ataupun tengah

bangunan. Hal seperti ini dapat terjadi karena adanya lompatan dari stepped

leader.

2.5.2. Kepadatan Sambaran Petir

Dalam perencanaan pengaman terhadap sambaran petir, angka

kepadatannya (frekuensi) harus ditinjau dahulu untuk menentukan mutu

A

(25)

pengaman yang akan dipasang. Hal tersebut dapat diketahui dengan menggunakan

peta hari guruh pertahun (Isokeraunik Level), kemudian mencari harga

korelasinya dengan kepadatan sambaran petir ke tanah.(6)

Menurut standar yang dipakai dalam tugas akhir ini yaitu SNI

03-7015-2004, maka kepadatan sambaran petir adalah : (7)

Ng = 0.04. Td1,25 per km2/tahun

dimana Td adalah jumlah hari guruh pertahun yang diperoleh dari peta

Isokeraunik atau tabel yang dikeluarkan oleh BMG (lihat lampiran A).

Semakin besar harga kepadatan sambaran petir pada suatu daerah, maka

semakin besar kebutuhan bangunan tersebut akan proteksi petir.

2.6. MEKANISME TERJADINYA KERUSAKAN PADA DAERAH YANG DILINDUNGI

Sambaran petir dapat mengakibatkan kerusakan fisik pada bangunan dan

manusia di suatu area karena adanya perbedaan potensial di tanah, bangunan,

peralatan dan manusia yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat antara 1- 10

mikro detik dan memiliki arus discharge rata-rata 30 kA – 80 kA. Dengan arus

sebesar itu dan kenaikan dalam waktu yang singkat, maka kerusakan tidak dapat

dihindarkan.

Sambaran petir juga menimbulkan tegangan transient yang dapat merusak

dalam 3 (tiga) cara, yaitu : (2)

1. Galvanized Coupling (Ohmic Coupling)

Merupakan kopling yang terjadi akibat adanya perbedaan tegangan antara dua

bangunan pada saat petir menyambar. Perbedaan tegangan ini terjadi karena

(26)

dilihat bahwa saat gedung A dialiri arus petir, maka akan terdapat tegangan

pada pembumian gedung B akibat tahanan pembumian yang dimiliki gedung

tersebut sehingga arus dapat mengalir pada gedung B.

Gambar 2.9.a. Mekanisme kopling galvanis

2. Inductive Coupling

Merupakan kopling yang terjadi akibat mengalirnya arus petir melalui suatu

obyek (bangunan A) sehingga timbul medan magnet akibat arus petir tadi

karena adanya induktansi pada penghantar dari gedung A (Gambar 2.9.b).

Akibatnya gedung B akan merasakan induksi magnetik dimana konduktor

yang terdapat pada gedung B yang berdekatan dengan gedung A akan

bertegangan.

3. Capasitive Coupling

Akibat konsentrasi muatan pada awan petir, maka permukaan bumi akan

terinduksi (Gambar 2.9.c). Setelah arus petir menyambar gedung A, akan

(27)

beda potensial antara konduktor pada gedung A dan gedung B, sehingga udara

diantara konduktor-konduktor tersebut akan membentuk susunan kapasitor.

Gambar 2.9.b. Mekanisme kopling induktif

(28)

PROTEKSI GEDUNG TERHADAP BAHAYA PETIR

3.1. UMUM

Keadaan geografis yang dekat ke khatulistiwa menyebabkan Indonesia

termasuk sebagai wilayah yang memiliki hari guruh pertahun (thunderstormdays)

tinggi dengan jumlah sambaran petir yang banyak sehingga memungkinkan

banyak terjadi bahaya dan kecelakaan akibat sambaran petir.(3)

Sambaran petir dapat menimbulkan gangguan pada sistem tenaga listrik.

Pada bangunan atau gedung bertingkat, efek gangguan akibat sambaran petir ini

semakin besar sesuai dengan semakin tinggi dan luasnya areal bangunan atau

gedung tersebut. Penyebab daripada kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

sambaran petir, terutama adalah besar (amplitudo) dari arus petir dan kecuraman

arus petir, dimana amplitudo arus petir berkisar antara 5kA sampai 200 kA.

Kerusakan-kerusakan pada bangunan yang tersambar dapat berupa kerusakan

thermis, misalnya bagian yang tersambar terbakar dan dapat pula berupa

kerusakan mekanis, misalnya bagian atap bangunan retak atau tembok bangunan

retak atau runtuh.(6)

Bila terjadi aktifitas pengumpulan atau pembentukan muatan pada awan,

maka induksi muatan dengan polaritas yang berlawanan terjadi di permukaan

bumi. Pada penangkap petir, ujungnya dibuat runcing dengan tujuan agar saat

terjadi penumpukan muatan di awan, ujung yang runcing itulah yang pertama

terinduksi. Dengan demikian diharapkan petir akan menyambar ujung batang

(29)

mencari daerah konduktif dan yang kuat medan listriknya tinggi. Penangkap petir

dihubungkan dengan konduktor pembumian yang akan meneruskan arus petir ke

bumi kemudian disebarkan oleh elektroda pembumian.

3.2. SISTEM PROTEKSI PETIR (8)

Berdasarkan cara kerja, sistem proteksi petir dapat dibagi menjadi 2 (dua),

yaitu :

1. Sistem Dengan Penangkap Petir Prinsip kerja dari sistem ini adalah :

o Harus menyediakan titik pada ujung bangunan yang diamankan untuk

sasaran sambaran petir, dengan harapan petir akan menyambar titik itu

terlebih dahulu.

o Harus menyediakan saluran untuk menyalurkan arus petir ke tanah.

o Harus menyediakan sistem pembumian untuk mendistribusikan arus

petir yang masuk ke tanah dengan merata agar tidak menimbulkan

kerusakan atau bahaya pada bagian dari bangunan atau pada manusia

yang sedang berada disekitarnya.

2. Sistem Disipasi (Dissipation Array System)

Pada prinsipnya, Dissipation Array System (DAS) tidak bertujuan untuk

mengundang arus petir agar menyambar terminasi udara yang sudah disediakan,

melainkan membuyarkan arus petir agar tidak mengalir ke daerah yang dilindungi.

Gambar berikut (Gambar 3.1) menggambarkan konsep dari proteksi petir

(30)

Gambar 3.1. Konsep dari Dissipation Array System (DAS)

Apabila awan bermuatan bergerak ke suatu daerah, maka akan

menginduksi muatan listrik di atas permukaan tanah ataupun bangunan di bawah

awan petir tersebut. Muatan yang terinduksi ini selanjutnya dikumpulkan oleh

sistem pembumian DAS yang kemudian diangkut ke bentuk ion (ionizer) dengan

fenomena yang disebut point discharge, yaitu setiap bagian benda yang runcing

akan memindahkan muatan listrik hasil induksi ke molekul udara disekitarnya,

bilamana titik temunya berada pada medan elektrostatik. Ionizer akan

menghimpun ribuan titik-titik bermuatan secara individu dan sanggup untuk

melepaskan muatan-muatan listrik hasil induksi tadi secara optimal, dimana pada

akhirnya dapat mengurangi beda potensial antara awan dan udara disekitar

ionizer. Dengan kata lain, medan listrik yang dihasilkan akan semakin kecil,

sehingga memperkecil kemungkinan udara untuk tembus listrik, sehingga

(31)

Berdasarkan tempatnya, sistem proteksi petir dapat dibagi menjadi 2 (dua)

bagian, yaitu : (8)

1. Proteksi Eksternal

Proteksi eksternal adalah instalasi dan alat-alat di luar suatu struktur untuk

menangkap dan menghantarkan arus surya petir ke sistem pembumian. Proteksi

eksternal petir berfungsi sebagai proteksi terhadap tegangan lebih petir jika terjadi

sambaran langsung ke sistem atau bangunan yang dilindungi.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan di dalam merencanakan sistem

proteksi petir eksternal adalah :

o Macam, fungsi dan bagian dari bangunan, ukuran denah bangunan,

bentuk dan kemiringan atap.

o Terminasi udara (air terminal) dimana jumlahnya haruslah cukup

untuk memberikan daerah proteksi yang diinginkan.

o Konduktor penyalur (down conductor) haruslah mampu menyalurkan

arus petir yang diterima dari terminasi udara menuju bumi.

o Pembumian (grounding) dimana resistansi pembumian < 10 ohm.

2. Proteksi Internal

Proteksi petir internal merupakan perlindungan terhadap sistem

elektronika di dalam bangunan/gedung akibat tegangan lebih yang ditimbulkan

oleh induksi elektromagnetik akibat sambaran petir tak langsung. Walaupun

bangunan sudah dilindungi terhadap sambaran petir, beberapa kerusakan pada

peralatan listrik khususnya peralatan elektronika dapat disebabkan karena

masuknya surya imbas petir melalui kabel listrik dan kabel komunikasi atau

(32)

Sistem proteksi petir internal dapat terdiri dari satu jenis ataupun beberapa

alat-alat proteksi petir, antara lain :

o Arrester : alat pemotong tegangan lebih pada peralatan.

o Shielding : konstruksi dinding dan lantai secara khusus untuk

menghilangkan induksi elektromagnetik.

o One point earthing system : pemasangan potential aqualization busbar

yang berfungsi sebagai terminal pembumian.

o Penggunaan kabel optik sebagai pengganti kabel tembaga pada

instalasi listrik. Kabel optik tidak menyebabkan percikan antar kabel

dan tidak terinduksi elektromagnetik.

o Penggunaan trafo isolasi untuk mentransformasikan arus besar yang

terjadi akibat sambaran petir ke jala-jala menjadi arus yang sangat

kecil.

Oleh karena desain proteksi internal sangat bergantung pada instalasi

listrik/elektronika, maka arsitektur dalam bangunan serta perencanaan awal

penggunaan bangunan harus diperhatikan.

3.3 HARI GURUH (1)

Menurut definisi WMO (World Meteorological Organization), jumlah hari

guruh adalah banyaknya hari dimana terdengar guntur paling sedikit satu kali

dalam 1 hari / 1 tahun pada jarak sekitar 15 km dari stasiun pengamatan.

Hari guruh ini disebut juga hari badai guntur (Thunderstorm day). Data

meteorologi dari Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan adanya

beberapa daerah di Indonesia yang jumlah hari badai guntur per tahunnya cukup

(33)

Jawa Timur, dan daerah Papua dimana hari badai gunturnya lebih dari 100 hari

per tahun. Adapun hal - hal yang diperlukan dalam memperkirakan faktor resiko

sambaran adalah :

1. Isokeraunic level : jumlah hari sambaran per tahun.

2. Lightning strike rate : jumlah sambaran ke tanah per km2 per tahun.

Lightning strike rate /curah petir menentukan tingkat bahaya sambaran pada suatu

wilayah dan besarnya ditentukan oleh isokeraunik level. Nilai lightning stike rate

ini bervariasi secara signifikan; dihitung dari rata-rata kerapatan annual yang

dihitung dari observasi dalam satu periode selama bertahun-tahun.

3.4 BESARNYA KEBUTUHAN BANGUNAN AKAN SISTEM

PROTEKSI PETIR

Suatu instalasi proteksi petir harus dapat melindungi semua bagian dari

bangunan, termasuk juga manusia dan peralatan yang berada didalamnya terhadap

bahaya dan kerusakan akibat sambaran petir. Bahaya dan kerusakan tersebut dapat

dihindarkan bila instalasi penangkal petir memenuhi persyaratan-persyaratan

teknis yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan.

Instalasi-instalasi bangunan yang berdasarkan letak, bentuk,

penggunaannya dianggap mudah terlena sambaran petir dan perlu diberi proteksi

petir adalah :

a. Bangunan-bangunan tinggi, seperti gedung-gedung bertingkat,

menara-menara, cerobong-cerobong pabrik.

b. Bangunan-bangunan penyimpan bahan mudah terbakar atau mudah

(34)

penyimpanan bahan peledak, gudang-gudang penyimpanan cairan atau gas

yang mudah meledak, dan lain-lain.

c. Bangunan-bangunan untuk umum, misalnya gedung-gedung pertunjukan,

gedung-gedung sekolah, stasiun dan lain-lain.

d. Bangunan-bangunan yang berdasarkan fungsi khusus perlu dilindungi

secara baik misalnya museum, gedung arsip negara.

Dalam tulisan ini akan dibahas penentuan besarnya kebutuhan bangunan

akan proteksi petir menggunakan Standar Umum Instalasi Penangkal Petir

dan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004).

3.4.1 Menurut Standar Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP) (4)

Besarnya kebutuhan suatu bangunan akan suatu instalasi penangkal petir

ditentukan oleh besarnya kemungkinan kerugian serta bahaya yang ditimbulkan

bila bangunan tersebut tersambar petir. Besarnya kebutuhan tersebut dapat

ditentukan secara empiris berdasarkan indeks-indeks yang menyatakan

faktor-faktor tertentu seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1. dan merupakan penjumlahan

dari indeks-indeks tersebut. Sehingga didapat perkiraan besarnya kebutuhan suatu

bangunan akan suatu instalasi penangkal petir adalah :

R = A + B + C + D + E (1) Dimana :

A : Bahaya berdasarkan jenis bangunan

B : Bahaya berdasarkan konstruksi bangunan

C : Bahaya berdasarkan tinggi bangunan

D : Bahaya berdasarkan situasi bangunan

(35)

Apabila menurut data-data yang ada dimasukkan kedalam persamaan (1)

diatas, maka selanjutnya dapat diambil kesimpulan mengenai perlu atau tidak

sistem proteksi petir eksternal digunakan. Jika nilai R≥12, maka bangunan

tersebut dianjurkan menggunakan sistem proteksi petir. Besar indeks dapat dilihat

pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1. Tabel Indeks menurut Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir

INDEKS A : BAHAYA BERDASARKAN JENIS BANGUNAN.

Penggunaan dan Isi Indeks A

Bangunan biasa yang tidak perlu diamankan baik bangunan

maupun isinya. -10

Bangunan dan isinya jarang digunakan, misalnya dangau

ditengah sawah atau ladang, menara atau tiang dari metal. 0 Bangunan yang berisi peralatan sehari-hari atau tempat tinggal

misalnya rumah tinggal, industri kecil dan stasiun kereta api. 1 Bangunan atau isinya cukup penting, misalnya menara air, toko

barang-barang berharga dan kantor pemerintah. 2 Bangunan yang berisi banyak sekali orang, misalnya bioskop,

sarana ibadah, sekolah, dan monumen bersejarah yang penting. 3 Instalasi gas, minyak atau bensin dan rumah sakit. 5 Bangunan yang mudah meledak dan dapat menimulkan bahaya

yagn tidak terkendali bagi sekitarnya, misalnya instalasi nuklir. 15

INDEKS B : BAHAYA BERDASARKAN KONSTRUKSI BANGUNAN

Konstruksi Bangunan Indeks B

Seluruh bangunan terbuat dari logam dan mudah menyalurkan

listrik. 0

Bangunan dengan konstruksi beton bertulang atau rangka besi

dengan atap logam. 1

Bangunan dengan konstruksi beton bertulang, kerangka besi dan

atap bukan logam. 2

Bangunan kayu dengan atap bukan logam. 3

INDEKS C : BAHAYA BERDASARKAN TINGGI BANGUNAN

Tinggi Bangunan sampai ... (m) Indeks C

6 0

12 2

17 3

25 4

(36)

50 6

70 7

100 8

140 9

200 10

INDEKS D : BAHAYA BERDASARKAN SITUASI BANGUNAN

Situasi Bangunan Indeks D

Di tanah datar pada semua ketinggian. 0 Di kakibukit sampai ¾ tinggi bukit atau pegunungan s/d 1000 m. 1

Di puncak gunung atau pegunungan yang lebih dari 1000 m. 2

INDEKS E : BAHAYA BERDASARKAN HARI GURUH

Hari Guruh per tahun Indeks E

2 0

Tabel 3.2. Perkiraan Bahaya Sambaran Petir Berdasarkan PUIPP

R Perkiraan Bahaya Pengamanan

Dibawah 11 Diabaikan Tidak perlu

kerusakan yang ditimbulkan oleh sambaran petir, berarti semakin besar pula

(37)

3.4.2 Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004) (7)

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004), pemilihan

tingkat proteksi yang memadai untuk suatu sistem proteksi petir didasarkan pada

frekuensi sambaran petir langsung setempat (Nd) yang diperkirakan ke struktur

yang diproteksi dan frekuensi sambaran petir tahunan setempat (Nc) yang

diperbolehkan. Kerapatan kilat petir ke tanah atau kerapatan sambaran petir ke

tanah rata-rata tahunan didaerah tempat suatu struktur berada, dinyatakan sebagai:

Ng = 0,04 x Td1,25 / km2 / tahun (2)

dimana, Td adalah jumlah hari guruh per tahun yang diperoreh dari data

isokeraunik level di daerah tempat struktur yang akan di proteksi yang

dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Frekuensi rata - rata tahunan sambaran petir langsung Nd ke bangunan/

gedung dapat dihitung :

Nd = Ng x Ae x 10-6 / tahun (3)

dimana, Ae adalah area cakupan ekivalen daerah permukaan tanah yang dianggap

sebagai struktur yang mempunyai frekuensi sambaran langsung tahunan.

Adapun area cakupan ekivalen (Ae) tersebut dapat dihitung berdasarkan

persamaan di bawah ini : Ae = ab + 6h(a + b) + 9πh2 (4) Dimana, a : panjang dari bangunan / gedung tersebut (m)

b : lebar dari bangunan / gedung tersebut (m)

h : tinggi bangunan / gedung yang diproteksi (m)

Pengambilan keputusan perlu atau tidaknya memasang sistem proteksi

petir pada bangunan berdasarkan perhitungan Nd dan Nc dilakukan sebagai

(38)

a. Jika Nd ≤ Nc tidak perlu sistem proteksi petir.

b. Jika Nd > Nc diperlukan sistem proteksi petir dengan efisiensi,

E = 1 – Nc / Nd (5)

Maka setelah dihitung nilai E (efisiensi sistem proteksi petir) sesuai dengan

Persamaan (5), dapat ditentukan tingkat proteksinya sesuai dengan tingkat

proteksi Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Efisiensi Sistem Proteksi Petir

Tingkat Proteksi Efisiensi SPP

I 0,98

II 0,95

III 0,90

IV 0,80

Setelah diketahui tingkat proteksi berdasarkan Tabel 3.3, maka dapat

ditentukan sudut proteksi (αo) dari penempatan suatu terminasi udara, radius bola

yang dipakai maupun ukuran jala (konduktor horizontal) sesuai dengan Tabel 3.4

dibawah ini.

Tabel 3.4. Daerah proteksi dari terminasi udara sesuai dengan tingkat proteksi

(39)

Adapun prosedur penentu perlu/ tidaknya proteksi eksternal dapat dilihat

pada Gambar 3.2. diagram alir dibawah ini :

Gambar 3.2. Diagram alir menentukan kebutuhan tingkat proteksi Mulai

Data Masukan :

- Dimensi dari posisi bangunan Gedung.

- Kerapatan sambaran ke tanah (Ng)

(40)

SISTEM PROTEKSI PETIR EKSTERNAL

4.1. UMUM (3)

Sistem Proteksi Petir Eksternal adalah instalasi dan alat-alat diluar suatu

struktur untuk menangkap dan menghantarkan arus surja petir ke sistem

pembumian. Proteksi petir Eksternal berfungsi sebagai proteksi terhadap tegangan

lebih petir jika terjadi sambaran langsung ke sistem atau bangunan yang

dilindungi. Komponen-komponen penghantar arus surja petir adalah :

1. Terminasi Udara (air terminal)

2. Konduktor Penyalur (down conductor)

3. Sistem Terminasi Bumi (grounding network)

4.2 TERMINASI UDARA (AIR TERMINAL) (8)

Terminasi udara adalah bagian dari sistem proteksi petir eksternal yang

dikhususkan untuk menangkap sambaran petir, berupa elektroda logam yang

dipasang pada bagian atas bangunan atau gedung yang dilindungi. Ada beberapa

macam terminasi udara, yaitu :

4.2.1 Tipe Konvensional (Franklin Rod)

Jenis penangkal petir (terminasi udara) umumnya digunakan untuk

melindungi bangunan-bangunan, menara-menara, serta bangunan lainnya yang

dianggap penting untuk diproteksi. Karena timbulnya medan listrik yang cukup

(41)

cukup tinggi maka obyek-obyek di permukaan bumi yang relatif tinggi dan berada

dalam medan tersebut akan cenderung menjadi sasaran sambaran petir.

Berdasarkan pemikiran diatas, Franklin membuat penangkal petir yang

ujungnya runcing di bagian atasnya dan menempatkan batang tersebut pada suatu

bangunan. Ujung yang runcing akan sangat mudah melepaskan muatan listrik ke

bumi melalui konduktor pembumian. Dengan demikian petir akan menyambar

batang penangkal petir karena sifatnya yang sangat mudah melepaskan muatan

listrik ke bumi.

Daerah perlindungan dari suatu penangkal petir menurut Franklin dapat

digambarkan sebagai sebuah kerucut seperti Gambar 4, dimana sudut yang

terbentuk tergantung dari tinggi penangkal petir (h).

I I

Gambar 4. Daerah Proteksi menurut Franklin

Teknik penangkal petir yang sederhana dan pertama kali dikenal

menggunakan prinsip yaitu dengan membentuk semacam tameng atau perisai

berupa konduktor yang akan mengambil alih sambaran petir. Penangkal petir

semacam ini biasanya disebut ground wires (kawat tanah) pada jaringan hantaran

udara, sedangkan pada bangunan-bangunan dan perlindungan terhadap struktur

(42)

4.2.2 Tipe Sangkar Faraday (Faraday's Cage)

Sistem penangkal petir tipe ini merupakan pengembangan dari sistem

penangkal petir metode Franklin, sehingga mempunyai banyak persamaan.

Perbedaannya adalah terletak pada penggunaan batang penangkal petirnya. Pada

metode Franklin batang terminasi udaranya dibuat lurus vertikal, sedangkan

metode sangkar Faraday menggunakan konduktor-konduktor yang tersusun secara

horizontal. Itulah sebabnya terminasi udara metode ini sering digunakan untuk

proteksi pada bangunan-bangunan yang mempunyai areal atap yang cukup luas

dan cenderung datar.

Seperti yang sudah diketahui bahwa petir cenderung menyambar bagian

yang lebih runcing pada atap suatu bangunan, karena pada bagian ini terdapat

rapat muatan yang cukup besar sehingga awan bermuatan lebih mudah

melepaskan muatannya. Menurut metode ini, pada bagian yang runcing inilah

dipasang konduktor horizontal yang berfungsi sebagai objek sambaran petir.

Untuk bangunan-bangunan yang mempunyai atap yang sangat luas, maka

diperlukan beberapa konduktor horizontal yang terpasang secara listrik satu

dengan lainnya. Sehingga jika terdapat arus petir, maka arus tersebut akan terbagi-

bagi, sehingga arus yang diterima tiap-tiap konduktor relatif kecil. Kemudian

konduktor-konduktor horizontal tersebut dihubungkan dengan konduktor penyalur

(down conductor) untuk kemudian dihubungkan secara listrik dengan konduktor

pembumian.

Untuk mendapatkan hasil pengamanan yang lebih baik, maka biasanya

konduktor-konduktor horizontal dihubungkan secara listrik dengan batang-batang

(43)

mudah disambar petir, misalnya pada sudut-sudut atap bangunan. Batang

penangkal petir yang pendek tadi dipasang untuk memudahkan mengalirnya arus

petir dari awan menuju bumi.

4.2.3 Air terminal menggunakan radio aktif

Disamping penggunaan terminasi udara dengan tipe-tipe yang sudah

disebutkan diatas, terdapat juga penggunaan terminasi udara yang menggunakan

unsur radio aktif. Tetapi penggunaan terminasi udara tipe ini sangatlah jarang

digunakan. Meski demikian, ada kemungkinan terminasi tipe ini digunakan dalam

sistem proteksi petir.

4.2.4 Tipe Emisi Streamer

Terminasi udara akan dengan mudah dapat menimbulkan upward streamer

leader membubung naik dari ujung terminasi udara, sehingga tipe lebih cepat

bekerja dibandingkan dengan metode konvensional radius proteksi lebih luas.

Peralatan ini mengantisipasi secara dini sambaran petir karena menciptakan emisi

atau elektron bebas lebih awal mendahului objek sekeliling yang dilindungi

4.3 RANCANGAN SISTEM TERMINASI UDARA MENURUT

STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) 03-7015-2004 (7)

Untuk menentukan penempatan terminasi udara dan untuk mengetahui

daerah proteksi, maka tulisan ini menggunakan metode-metode yang terdapat

didalam SNI 03 – 7015 – 2004, yaitu :

l. Metode sudut proteksi (Protective Angle Method)

2. Metode bola bergulir (Rolling Sphere Method)

(44)

Metode proteksi dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut :

a) Metode sudut proteksi (protective angle method) cocok untuk bangunan

gedung atau bagian kecil dari bangunan gedung yang lebih besar. Metode ini

tidak cocok untuk bangunan gedung yang lebih tinggi dari radius bola bergulir

yang sesuai dengan tingkat proteksi Sistem Proteksi Petir (SPP) yang dipilih.

b) Metode bola bergulir (rolling sphere method) cocok untuk bentuk bangunan

gedung yang rumit.

c) Metode jala (meshed sized method) dipakai untuk keperluan umum dan

khususnya cocok untuk proteksi struktur dengan permukaan datar.

Dilihat dari ketiga metode di atas, maka dalam perancangan terminasi

udara pada bangunan/gedung, ketiga metode diatas dapat dikombinasikan untuk

membentuk zona proteksi dan meyakinkan bahwa bangunan tesebut terproteksi

seluruhnya.

Standar SNI ini tidak memberikan kriteria untuk pemilihan sistem

terminasi udara karena dianggap batang, kawat rentang dan konduktor jala adalah

sama. Dipertimbangkan bahwa : (7)

1. Tinggi batang terminasi udara sebaiknya antara 2-3 meter untuk mencegah

peningkatan frekuensi sambaran petir langsung.

2. Rentangan kawat dapat digunakan dalam semua kasus sebelumnya dan untuk

bentuk bangunan/gedung yang rendah (a/b > 4, dimana a : panjang gedung

dan b : lebar gedung).

3. Sistem terminasi udara terdiri dari jala konduktor untuk keperluan umum.

Ukuran minimum bahan SPP (Sistem Proteksi Petir) yang dipakai didalam

(45)

Tabel 4.1. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan terminasi udara.

Tingkat Proteksi Bahan Terminasi Udara (mm2)

I sampai dengan IV

Cu 35

Al 70

Fe 50

4.3.1 Metode Sudut Proteksi (Angle Protection Method)

Daerah yang diproteksi adalah daerah yang berada didalam kerucut dengan

sudut proteksi sesuai dengan Tabel 3.4. Dengan metode sudut proteksi ini,

terminasi udara dipasang pada setiap bagian dari struktur bangunan yang

dilindungi yang tidak tercakup pada daerah proteksi yang dibentuk. Nilai sudut

yang terbentuk sebagai daerah proteksi adalah bergantung dari ketinggian

terminasi udara (rod/mast) dari daerah yang diproteksi. Metode sudut proteksi

secara geometris mempunyai keterbatasan dan tidak digunakan untuk

bangunan/gedung yang lebih tinggi dari radius bola gulir yang ditentukan dalam

Tabel 3.4.

1 : Tiang Terminasi Udara 2 : Bangunan yang diproteksi 3 : Bidang Referensi

4 : Sudut Proteksi sesuai dengan tabel 4

Keterangan :

1 : Tiang Terminasi Udara 2 : Bangunan yang diproteksi 3 : Bidang Referensi

(46)

Gambar 4.1.c. Daerah Proteksi Tampak Atas

Konduktor terminasi udara sebaiknya ditempatkan sedemikian sehingga

semua bagian bangunan gedung yang diproteksi berada disebelah dalam

permukaan selubung yang dihasilkan oleh proyeksi titik-titik dari konduktor

terminasi udara ke bidang referensi, dengan sudut a ke garis vertikal dalam semua

arah. Rancangan terminasi udara menggunakan metode sudut proteksi ini dapat

dilihat pada Gambar 4.1. (Dianggap bangunan mempunyai panjang dan lebar yang

sama).

4.3.2 Metode Bola Bergulir (rolling Sphere Method)

Metode bola bergulir baik digunakan pada bangunan yang bentuknya

rumit. Dengan metode ini seolah-olah ada suatu bola dengan radius R yang

bergulir di atas tanah, sekeliling struktur dan di atas struktur ke segala arah hingga

bertemu dengan tanah atau struktur yang berhubungan dengan permukaan bumi

yang mampu bekerja sebagai penghantar (Gambar 4.2). Titik sentuh bola bergulir

pada struktur yang dapat disambar petir dan pada titik tersebut harus diproteksi

oleh konduktor terminasi udara. Semua petir yang berjarak R dari ujung

penangkap petir akan mempunyai kesempatan yang sama untuk rnenyambar

bangunan.

2 1

(47)

Protected Zone

R

Gambar 4.2. Daerah proteksi dengan metode bola bergulir.

Metode bola bergulir (rolling sphere) ini sebaiknya digunakan untuk

mengidentifikasi ruang yang terproteksi dari bagian atau luasan bangunan/gedung

yang tidak tercakup oleh metode sudut proteksi (angle protection method).

Dengan metode ini, penempatan sistem terminasi udara dianggap memadai jika

tidak ada titik pada daerah yang diproteksi tersentuh oleh bola gulir dengan radius

R, disekeliling dan diatas bangunan/gedung kesemua arah. Untuk itu, bola hanya

boleh rnenyentuh tanah dan atau sistem terminasi udara.

Radius bola gulir harus sesuai dengan tingkat proteksi SPP (Sistem

Proteksi Petir) yang dipilih menurut Tabel 3.4. Pada gambar diatas, bola dengan

radius R digulirkan sekeliling dan diatas bangunan/gedung hingga bertemu

dengan bidang tanah atau bangunan/gedung permanen atau obyek yang

berhubungan dengan bidang bumi yang mampu bekerja sebagai konduktor petir.

4.3.3. Metode Jala (Meshed Sized Method) (7, 2)

Metode ini digunakan untuk keperluan perlindungan permukaan yang

(48)

diproteksi adalah keseluruhan daerah yang ada di dalam jala - jala (Gambar 4.3).

Ukuran jala sesuai tingkat proteksi dapat dipilih pada Tabel 4.3.

a. Bangunan gedung atap miring b. Bangunan gedung atap datar

Gambar 4.3. Daerah Proteksi dengan metode jala

Untuk keperluan perlindungan permukaan yang datar, SPP (Sistem

Proteksi Petir) jala diyakini melindungi seluruh permukaan jika dapat memenuhi

kondisi berikut:

a) Konduktor terminasi udara ditempatkan pada :

o garis pinggir sudut atap.

o serambi atap.

o garis bubungan atap, jika kemiringan atap lebih dari 1/10.

b) Permukaan samping pada bangunan gedung yang tingginya lebih dari

radius bola gulir yang relevan dengan tingkat proteksi yang dipilih sesuai

tabel 3.4. harus dilengkapi dengan sistem terminasi udara.

c) Dimensi jala pada jaringan terminasi udara tidak lebih dari nilai yang

diberikan dalam Tabel 3.4.

d) Jaringan sistem terminasi udara disempurnakan sedemikian rupa hingga

arus petir akan selalu mengalir melalui dua lintasan logam berbeda, tidak

boleh ada instalasi logam menonjol keluar dari volume yang dilindungi

(49)

e) Konduktor terminasi udara harus mengikuti lintasan terpendek yang

dimungkinkan.

4.4 KONDUKTOR PENYALUR (DOWN CONDUCTOR) (8,7)

Konduktor penyalur (down conductor) adalah bagian dari sistem proteksi

eksternal yang digunakan untuk melewatkan arus petir dari sistem terminasi udara

ke sistem pembumian. Konduktor penyalur perlu dirancang agar tidak

menimbulkan induksi terhadap peralatan - peralatan listrik yang terdapat didalam

ataupun disekitar bangunan atau gedung yang diproteksi.(8)

Pemilihan jumlah dan posisi konduktor penyalur sebaiknya

memperhitungkan kenyataan bahwa, jika arus petir dibagi dalam beberapa

konduktor penyalur, resiko loncatan kesamping dan gangguan elektromagnetik di

dalam bangunan gedung berkurang. (7)

Adapun ukuran minimum bahan SPP (Sistem Proteksi Petir) yang dipakai

di dalam standar ini untuk penggunaan konduktor penyalur (down conductor)

adalah dapat dilihat pada Tabel 4.2. dibawah.

Tabel 4.2. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan konduktor penyalur

Tingkat Proteksi Bahan Konduktor Penyalur (mm2)

I sampai dengan IV

Cu 16

Al 25

Fe 50

Cara penempatan konduktor penyalur dengan melihat kondisi

(50)

1.Jika dinding terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, konduktor

penyalur dapat ditempatkan pada permukaan atau didalam dinding tersebut.

2.Jika dinding terbuat dari bahan yang mudah terbakar, konduktor penyalur

dapat ditempatkan pada permukaan dinding, asalkan kenaikan suhu karena

lewatnya arus petir tidak berbahaya untuk bahan dinding.

Jika dinding terbuat dari bahan yang mudah terbakar dan kenaikan suhu

konduktor penyalur berbahaya, maka konduktor penyalur harus ditempatkan

sedemikian sehingga jarak antara konduktor penyalur dengan ruang terproteksi

selalu lebih besar dari 0,1 m. Braket pemasang yang terbuat dari logam boleh

melekat pada dinding.

Bila jumlah konduktor penyalur lebih dari satu, maka jarak rata-rata antara

konduktor penyalur menurut tingkat proteksi ditentukan seperti Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Jarak rata-rata antara konduktor penyalur

Tingkat Proteksi Jarak rata-rata (m)

I 10

II 15

III 20

IV 25

4.5 SISTEM TERMINASI BUMI (GROUNDING SYSTEM) (7)

Sistem terminasi bumi (grounding system) perlu dirancang sedemikian

rupa sehingga memperkecil tegangan sentuh dan tegangan langkah sehingga aman

bagi manusia dan peralatan yang terdapat di sekitar daerah yang di proteksi. Guna

mengalirkan arus petir ke bumi tanpa menyebabkan tegangan lebih yang

(51)

spesifik resistansi elektrode bumi. Namun pada umumnya direkomendasikan

resistansi bumi yang rendah.

Sistem terminasi bumi terdiri dari satu atau lebih elektroda bumi yang

dianggap mampu mengalirkan arus petir ke tanah tanpa adanya lompatan

tegangan yang berbahaya. Adapun jenis-jenis elektroda bumi yang digunakan

adalah :

1. elektroda cincin (ring).

2. elektroda tegak miring.

3. elektroda radial.

4. elektroda bumi pondasi.

Sejumlah konduktor yang terdistribusi secara merata lebih disukai

daripada sebuah konduktor bumi tunggal yang panjang karena dengan konduktor

bumi yang lebih dari satu ini, maka pada saat salah satu konduktor tersebut

mengalami kegagalan didalam menyalurkan arus petir ke bumi, maka arus petir

akan tetap mengalir ke tanah melalui konduktor pembumian yang lain.

Panjang minimum elektroda bumi berkaitan dengan tingkat proteksi untuk

bermacam-macam resistivitas tanah dapat dilihat pada lampiran B. Namun

elektroda bumi yang tertanam dalam akan efektif jika resistivitas tanah menurun

sesuai dengan kedalaman tanah. Apabila resistivitas tanah yang diinginkan

terdapat pada kedalaman yang lebih dalam daripada elektroda batang, maka

elektroda tersebut biasanya ditanam.

Terdapat dua jenis dasar susunan elektroda bumi untuk sistem terminasi

(52)

4.5.1 Susunan jenis A

o Jenis susunan ini terdiri dari elektroda bumi radial atau tegak.

o Masing-masing konduktor penyalur harus dihubungkan dengan

sekurang-kurangnya satu elektrode bumi terpisah yang terdiri dari elektroda radial

atau tegak/miring.

o Jumlah minimum elektroda bumi haruslah dua.

o Panjang minimum masing-masing elektroda adalah :

L1 untuk elektroda mendatar radial

0,5 L1 untuk elektroda tegak/miring

L1 adalah panjang minimum elektroda radial yang diperlihatkan pada

bagian yang relevan pada lampiran B.

o Pada tanah dengan resistivitas rendah, panjang minimum yang dinyatakan

pada lampiran B, dapat diabaikan dengan syarat resistansi bumi lebih kecil

dari 10 ohm dapat dicapai.

o Untuk elektroda kombinasi sebaiknya dipertimbangkan panjang total.

4.5.2. Susunan jenis B

o Untuk elektroda bumi cincin (elektroda bumi pondasi), radius rata-rata r dari

daerah yang dicakup oleh elektrode bumi cincin tidak boleh lebih kecil dari

nilai L1. r ≥ L1 (6)

o Bila diperlukan nilai L1 lebih besar dari nilai r yang memungkinkan, maka

elektrode radial atau vertikal harus ditambah, dengan masing-masing panjang

Lr (horizontal) dan Lv (vertikal) diberikan oleh persamaan berikut :

(53)

Lv =

Syarat-syarat pemasangan elektroda bumi adalah sebagai berikut :

1. Elektroda bumi cincin eksternal sebaiknya ditanam pada kedalaman paling

sedikit 0,5 m tetapi tidak kurang dari l m terhadap dinding.

2. Elektroda bumi harus dipasang diluar ruang terproteksi dengan kedalaman

sekurang-kurangnya 0,5 m dan didistribusikan serata mungkin untuk

mengurangi efek kopling listrik dalam bumi.

3. Elektroda bumi cincin dipasang dengan jarak minimal sekitar 3 meter dari

cincin pertama dan seterusnya tergantung dari seberapa keekonomisan yang

terjadi.

4. Kedalaman dan jenis elektrode bumi yang harus ditanam sedemikian sehingga

mengurangi efek korosi, pengeringan dan pembekuan tanah sehingga

resistansi bumi menjadi stabil.

Direkomendasikan untuk daerah cadat padat hanya menggunakan susunan

pembumian jenis B.

Adapun ukuran minimum bahan SPP (Sistem Proteksi Petir) yang dipakai

didalam standar ini untuk terminasi bumi adalah dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan terminasi bumi

Tingkat Proteksi Bahan Terminasi Bumi (mm2)

I sampai dengan IV

Cu 50

Al -

(54)

4. 6 PEMILIHAN BAHAN (7)

Bahan SPP (Sistem Proteksi Petir) dan kondisi pemakaiannya adalah

seperti Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Bahan SPP dan Kondisi Penggunaannya

Bahan Penggunaan Korosi

Dalam

tembaga, aluminium, inox dan baja galvanis.

 Sambungan antara bahan yang berbeda harus dihindarkan ataupun harus

dilindungi.

 Bagian dari tembaga seharusnya tidak dipasang diatas bagian galvanis

(55)

STUDI PERANCANGAN PROTEKSI PETIR EKSTERNAL PADA GEDUNG BIRO REKTOR USU

5.1. UMUM

Gedung Biro Rektor USU merupakan gedung Pusat Administrasi

Universitas Sumatera Utara yang terletak di Jalan Dr. T. Mansyur Medan yang

mana tidak terdapat gedung yang lebih tinggi dari gedung ini disekitarnya.

Dengan kata lain, Gedung Biro Rektor USU adalah gedung tertinggi

dilingkungannya, sehingga jika terjadi sambaran petir, maka kemungkinan gedung

ini terkena sambaran langsung petir adalah sangat tinggi.

Jumlah manusia dalam gedung ini terdapat ± 200 hingga 300 orang setiap

harinya, dan karena gedung ini merupakan pusat administrasi Universitas

Sumatera Utara maka terdapat banyak peralatan listrik dan elektronik pendukung

administrasi seperti komputer unit, jaringan internet, jaringan telepon (PABX),dll.

(56)

Gambar 5.2. Gedung Biro Rektor Universitas Sumatera Utara tampak belakang.

(57)
(58)
(59)

5.2. ANALISA KEBUTUHAN PROTEKSI GEDUNG BIRO REKTOR USU.

Adapun data masukan yang dapat dipakai untuk mengetahui perlu

tidaknya proteksi petir bagi bangunan/gedung Biro Rektor USU Medan dapat

dilihat pada Tabel 5.1. sebagai berikut :

Tabel 5.1. Dimensi Gedung Biro Rektor USU

Panjang

Hari guruh (Td) menurut data dari BMG sesuai dengan lampiran B : 136.

Frekuensi sambaran petir yang diperolehkan pada gedung : 10-1/tahun. Maka dari

data di atas, dapat dicari kebutuhan gedung Biro Rektor USU Medan terhadap

kebutuhan proteksi petir eksternal maupun mengetahui tingkat proteksinya dengan

menggunakan PUIPP (Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir) dan Standar

Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004).

5.2.1. Penentuan Kebutuhan Bangunan Akan Proteksi Petir Berdasarkan Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP).

Penentuan kebutuhan bangunan akan proteksi petir berdasarkan PUIPP

yaitu dengan menggunakan data hari guruh (thunderstorm days) di Medan

(Lampiran B) dan keadaan lokasinya (Tabel 3.1), maka untuk gedung Biro Rektor

USU Medan diperoleh :

Indeks A : 2

(60)

Indeks C : 3

Indeks D : 0

Indeks E : 6

Maka didapatkan indeks perkiraan bahaya sambaran petir (R) adalah :

R = Indeks A + Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E

R = 2 + 2 + 3 + 0 + 6

R = 13

Dimana R >12, sehingga diambil kesimpulan bahwa gedung Biro Rektor

USU Medan sangat memerlukan proteksi petir.

5.2.2. Penentuan Tingkat Proteksi Berdasarkan SNI 03-7015-2004

Berdasarkan diagram alir pada Gambar 3.1., maka dapat dihitung

nilai-nilai yang diperlukan untuk menentukan tingkat proteksi gedung Biro Rektor

USU.

1. Menghitung kerapatan sambaran petir ke tanah rata-rata tahunan (Ng).

Ng dapat dihitung berdasarkan rumus (2) yaitu :

Ng = 0,04 x Td1,25 / km2 / tahun

Ng = 0,04 x 1361,25

Ng = 18,5773 /km2 / tahun

2. Menghitung area cakupan ekivalen gedung Biro Rektor USU Medan (Ae).

Area cakupan ekivalen untuk gedung Biro Rektor USU Medan yang

mempunyai panjang (a) 70,3 m ; lebar (b) 43.4 m dan tinggi (h) 22,9 m

Gambar

Gambar 3.1. Konsep dari Dissipation Array System (DAS)
Tabel 3.1. Tabel Indeks menurut Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir
Tabel 3.2. Perkiraan Bahaya Sambaran Petir Berdasarkan PUIPP
Tabel 3.4. Daerah proteksi dari terminasi udara sesuai dengan tingkat proteksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, gedung dianggap belum memenuhi kriteria sebagai gedung terbangun yang menerapkan konsep Green Building sesuai perangkat penilaian dari GBCI yang

yang terdiri dari terminal udara, konduktor pentanahan, dan sistem terminasi bumi,. sistem

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis Sistem Proteksi Petir eksternal pada gedung Teknik Elektro UNDIP Semarang dan bangunan menara BTS yang terdiri dari sistem

Dengan demikian, gedung dianggap belum memenuhi kriteria sebagai gedung terbangun yang menerapkan konsep Green Building sesuai perangkat penilaian dari GBCI yang

Berdasarkan data yang terkumpul dan perhitungan yang telah dilakukan pada Gedung Biro Pusat Administrasi USU terhadap 41 kriteria Greenship, gedung memperoleh total

Penilaian Kriteria Green Building pada Gedung

Penetuan Kebutuhan Sistem Proteksi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa gedung Pusat Komputer Universitas Riau merupakan gedung yang

Indeks Penyalur Petir pada Bangunan Gedung Indeks Kriteria Keadaan Eksisting Nilai A Macam dan jenis bangunan Gedung yang memuat sangat banyak orang seperti teater, gedung ibadah,