SKRIPSI
ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN
OLEH
Fakhri Ismail
080501041
PROGRAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
SKRIPSI
ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN
OLEH
Fakhri Ismail
080501041
PROGRAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
PERSETUJUAN PENCETAKAN
Nama : Fakhri Ismail
NIM : 080501041
Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan
Judul Skripsi : Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan
Tanggal, Ketua Program Studi
Irsyad Lubis, SE,M.Soc.Sc.,Ph.D. NIP. 19710503 200312 1 003
Tanggal, Ketua Departemen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
PERSETUJUAN
Nama : Fakhri Ismail
NIM : 080501041
Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan
Judul Skripsi : Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan
Tanggal, Pembimbing
Paidi Hidayat, SE,M.Si NIP. 19750920 200501 1 002
Tanggal, Pembaca Penilai
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri
yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga,
dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau
dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam
skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraruran yang berlaku.
Medan, Februari 2013
Penulis
ABSTRAK
ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir di Kecamatan Medan Labuhan dengan menggunakan data primer untuk
100 responden yang mewakili seluruh populasi masyarakat pesisir di Kecamatan
Medan Labuhan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar
kuesioner. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang
terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan
Medan Labuhan pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong
rendah atau miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan yang masih
rendah dan pengeluaran rumah tangga yang cukup besar serta kondisi tempat
tinggal yang belum layak.
ABSTRACT
THE ANALYSIS LEVEL WELFARE OF COASTAL COMMUNITY IN THE DISTRICT OF MEDAN LABUHAN
The purpose of this study was to determine the level of welfare of coastal
communities in the district of Medan Labuhan using primary data for 100
respondents representing the entire population of the coastal communities in the
District of Medan Labuhan. The data was collected using questionnaires. The
analysis method used is descriptive qualitative. The data collected was processed
and presented in the form of tables.
The results showed that the coastal communities in the district of Medan
Labuhan generally have a relatively low level of prosperity or poverty. This is
indicated by the low levels of income and household spending substantial and
living conditions are not feasible.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim….
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Sarjana (S1) pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Tak
lupa pula shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada baginda Rasulullah
Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya kebenaran dan ilmu pengetahuan
di muka bumi.
Dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul
“Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan
Labuhan” ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, baik berupa moril maupun materil, sehingga penulis semakin termotivasi
untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang mana banyak sekali
menemukan kendala-kendala yang cukup berarti dalam penyusunannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang
sebanyak – banyaknya kepada pihak – pihak yang telah membantu penulis,
diantaranya kepada:
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda yang saya hormati H. Ismail Malik dan
Ibunda Hj. Arfah Rahmat yang telah mendidik, merawat dan membesarkan
penulis dengan penuh cinta, doa, dan kasih sayang yang sangat teramat
besar kepada penulis.
2. Bapak (Alm) Drs. Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec selaku mantan Dekan
Fakultas Ekonomi USU.
3. Bapak Drs. H. Arifin Lubis M.M,Ak selaku pelaksana tugas (plt) Dekan
Fakultas Ekonomi USU
4. Bapak Wahyu Ario Pratomo S.E.,M.Ec dan Bapak Drs. Syahrir Hakim
Nasution M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ekonomi
5. Bapak Irsyad Lubis S.E.,M.Soc.sc.,Ph.D dan Bapak Paidi Hidayat
S.E.,M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi USU.
6. Bapak Paidi Hidayat S.E.,M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing
dan memberikan petunjuk serta arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya CAE,M.Si selaku dosen pembaca/penilai
skripsi yang telah memberikan masukan serta kritikan kepada penulis
untuk kesempurnaan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi USU, terima kasih atas segala bimbingan dan
bantuannya selama penulis mengikuti perkuliahan.
9. Masyarakat Kecamatan Medan Labuhan khususnya Kelurahan Nelayan
Indah dan Pekan Labuhan yang telah bersedia memberikan
informasi-informasi pentingnya selama penelitian ini berlangsung.
10.Saudara – saudaraku tercinta, Kak Karina, Bang Fauzan Ismail, Fadhil
Ismail , dan Marisa Ismail. Dan satu lagi kemanakan pertamaku Kanza
Alya Rafika Siregar (semoga jadi putri yang berbakti kepada kedua orang
tua, amin).
11.Beserta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima
kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna dan
masih terdapat banyak kekurangan.Maka dari itulah, penulis memohon maaf yang
sebesar – besarnya, sekaligus juga mengharapkan saran serta kritikannya yang
membangun guna memperbaiki dan lebih menyempurnakan karya – karya ilmiah
berikutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta menambah
pengetahuan bagi semua pihak.
Medan, Februari 2013 Penulis
DAFTAR ISI
2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan……… 17
4.2.2.7 Kemudahan Memasukkan Anak
ke Jenjang Pendidikan... 54
4.2.2.8 Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi……… 57
4.2.3 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir………….. 58
4.2.3.1 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Pendapatan Per Bulan………. 59
4.2.3.2 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Pengeluaran Per Bulan………... 60
4.2.3.3 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Kondisi Tempat Tinggal……….. 61
4.2.3.4 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan Fasilitas Tempat Tinggal……….. 61
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….. 67
5.2 Saran……… 69
DAFTAR PUSTAKA ..………. ………. 70
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
3.1 Indikator keluarga sejahtera berdasarkan
Badan Pusat Statistik tahun 2005……… 36 4.1 Data Karakteristik Responden Berdasarkan Umur………. 39 4.2 Data Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan………. 40 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan………… 40 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan
Jumlah Tanggungan Keluarga……….. 41 4.5 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Pendapatan per Bulan……… 43 4.6 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Pengeluaran Per Bulan………. 46 4.7 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kondisi Tempat Tinggal……….. 49 4.8 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Fasilitas Tempat Tinggal………. 50 4.9 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kondisi Kesehatan Keluarga……….. 52 4.10 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan……….. 53 4.11 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Pendidikan…….. 55 4.12 Data Indikator Kesejateraan Masyarakat Pesisir Berdasarkan
Kemudahan Mendapatkan Fasilitas Transportasi……….. 57 4.13 Tingkat Kesejateraan Masyarakat Pesisir di
Kecamatan Medan Labuhan……….. 58 4.14 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Pendapatan per bulan…………..………... 59 4.15 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Pengeluaran per Bulan………..………. 60 4.16 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Kondisi Tempat Tinggal………..…….. 61 4.17 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Fasilitas Tempat Tinggal……… 62 4.18 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Kesehatan Keluarga………..………. 63
4.19 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Kemudahan Mendapatkan Pelayanan Kesehatan……….. 64 4.20 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
Kemudahan Memasukkan Anak ke Jenjang Pendidikan…….. 65 4.21 Tabulasi Silang Tingkat Kesejahteraan Responden dengan
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
4.1 Kondisi Rumah Masyarakat Pesisir………. 50 4.2 Kondisi Fasilitas Lingkungan Tempat Tinggal……… 51
ABSTRAK
ANALISIS TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDAN LABUHAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir di Kecamatan Medan Labuhan dengan menggunakan data primer untuk
100 responden yang mewakili seluruh populasi masyarakat pesisir di Kecamatan
Medan Labuhan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar
kuesioner. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang
terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan
Medan Labuhan pada umumnya memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong
rendah atau miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan yang masih
rendah dan pengeluaran rumah tangga yang cukup besar serta kondisi tempat
tinggal yang belum layak.
ABSTRACT
THE ANALYSIS LEVEL WELFARE OF COASTAL COMMUNITY IN THE DISTRICT OF MEDAN LABUHAN
The purpose of this study was to determine the level of welfare of coastal
communities in the district of Medan Labuhan using primary data for 100
respondents representing the entire population of the coastal communities in the
District of Medan Labuhan. The data was collected using questionnaires. The
analysis method used is descriptive qualitative. The data collected was processed
and presented in the form of tables.
The results showed that the coastal communities in the district of Medan
Labuhan generally have a relatively low level of prosperity or poverty. This is
indicated by the low levels of income and household spending substantial and
living conditions are not feasible.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang
menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Tidak hanya di
Indonesia, tapi juga hampir di seluruh negara di belahan dunia. Kemiskinan
merupakan masalah yang tidak bisa dipisahkan apabila kita hendak membicarakan
mengenai kesejahteraan. Kesejahteraan rakyat khususnya di negara dunia ketiga
sampai saat ini masih dihantui oleh masalah kemiskinan yang tidak kunjung
terselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan tentunya apabila banyak
negara dunia ketiga terus berupaya menyelesaikan dan mencari solusi untuk
keluar dari jeratan kemiskinan.
Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah sekalipun,
hingga saat ini masih terus berkutat di masalah yang sama. Kemiskinan di
Indonesia dapat kita saksikan di berbagai daerah, apalagi jika kita masuk lebih
jauh dan menyoroti lebih dalam, bagaimana kondisi dan kesejahteraan masyarakat
yang hidup khususnya di daerah pesisir pantai. Masyarakat pesisir yang sebagian
besar berprofesi sebagai nelayan, hingga saat ini nasibnya masih sangat
mengkhawatirkan. Banyak nelayan yang terpaksa harus menyambungkan
hidupnya dengan bersusah payah keluar dari lingkaran kemiskinan. Padahal jika
kita berkaca ke belakang, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi
perikanan dan kelautan yang sangat menjanjikan. Besarnya potensi kelautan
Indonesia dibanding potensi daratan, telah merubah orientasi pembangunan yang
merupakan sumber daya potensial di Indonesia merupakan suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung
oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001), namun
sungguh ironis sekali bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang hidup di
daerah pesisir hingga saat ini masih sangat rendah.
Kondisi masyarakat pesisir juga terimbas dengan diberlakukannya
Undang- Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga
berdampak pada sektor perikanan, dimana sebagian urusan perikanan dan
kelautan diserahkan pada daerah, dan banyak daerah tidak serius mengelola
potensi kelautan dan pesisir baik upaya eksploitasi maupun upaya pengentasan
kemiskinan yang tepat sasaran. Program-program yang diberlakukan untuk
peningkatan kesejahteraan implementasinya sering salah sasaran, akibatnya
nelayan yang seharusnya mendapat dampak perubahan terhadap kesejahteraan
sama sekali tidak merasakannya. Padahal Sekitar 16,42 juta jiwa
penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di kawasan pesisir.
Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di seluruh
wilayah negeri ini.
Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau.
Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun
non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi
penghidupan masyarakat. Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu
panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu
kemakmuran hidup dari potensi dan kekayaan alam yang ada tentu bukan
keinginan yang muluk-muluk.
Sejatinya kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir bukan cerita
baru di negeri ini. Kemiskinan yang mereka alami sekan menjelma menjadi
kemiskinan yang bersifat struktural. Masyarakat pesisir ditengarai masih berlum
terpenuhi hak-hak dasarnya seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan
kondisi tempat tinggal. Akibatnya masih cukup banyak anak nelayan miskin yang
ikut terjebak dalam rantai kemiskinan sebagaimana yang dialami orang tuanya.
Kondisi tersebut tentu sebuah ironi, di tengah gemerlapnya kekayaan alam
nan melimpah ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan
masyarakat. Besarnya potensi sektor kelautan seharusnya mampu memberi
kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sektor kelautan
juga semestinya memberikan kontribusi yang maksimal terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB). Namun hingga sekarang, kontribusi yang disumbangkan
masih relatif relatif kecil bila dibandingkan dengan negara lain yang secara
geografis memiliki garis pantai lebih pendek.
Kecamatan Medan Labuhan sebagai salah satu kecamatan di Kota Medan
merupakan daerah yang berdekatan dengan daerah pesisir yaitu dengan Belawan
dan pesisir Deli Serdang, dengan penduduknya berjumlah 111,173 Jiwa (2010)
dimana penduduk terbanyak berada di kelurahan Besar yakni sebanyak 33706
orang dan jumlah penduduk terkecil di kelurahan Nelayan Indah yakni sebanyak
7850 orang.
Bila dilihat dari luas kelurahan, kelurahan Sei Mati memiliki luas yang
terkecil yakni 3,605 km2 dengan luas wilayah total Kecamatan Medan Labuhan
yakni seluas 40,68 km2.
Bila dibandingkan antara jumlah penduduk serta luas wilayahnya, maka
kelurahan Pekan Labuhan merupakan kelurahan terpadat yaitu 5336 jiwa tiap km2
Kecamatan Medan Labuhan sebagai salah satu daerah paling tertinggal di
Kota Medan tentu tidak lepas dari masalah yang sama yaitu masalah kemiskinan.
Dengan mata pencaharian utama berasal dari hasil tangkapan laut, tentu saja
masyarakat yang mendiami daerah ini sebagian besar hidup sebagai nelayan.
Masyarakat nelayan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang dianggap
miskin bahkan paling miskin di antara penduduk miskin (the poorest of the poor).
Kemiskinan dapat dilihat dari ketidakmampuan orang untuk memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, papan serta akses terhadap kesehatan maupun
pendidikan yang berkaitan dengan daya beli. Kemiskinan juga terkait dengan
ketersediaan sumberdaya alam dan pengetahuan yang dimiliki serta perilaku hidup
masyarakat setempat. (Yoseph M. Laynurak: 2008)
Rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir disebabkan karena
masyarakat lebih berorientasi terestorial, kurangnya ketrampilan dalam sektor
perikanan, kurangnya sarana prasarana pendukung usaha, belum dioptimalkan
sumberdaya alam lain di luar sektor perikanan, pengaruh budaya dan paradigma
yang sudah tertanam, Akibatnya pendapatan masyarakat rendah, maka daya beli
rendah yang mengakibatkan masyarakat pesisir miskin. Kemiskinan berdampak
luas pada berbagai segi kehidupan dan hal ini sangat menyulitkan bagi mereka
Rendahnya tingkat pendidikan di wilayah pesisir diduga merupakan faktor
penyebab kemiskinan nelayan. Pola berfikir yang seakan-akan sudah pasrah
dengan kondisi yang ada, mengakibatkan mereka sulit untuk melanjutkan sekolah
dan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena sepertinya sudah tertanam
paradigma dikalangan para masyarakat pesisir bahwa untuk menangkap ikan
dilaut tidak membutuhkan pendidikan Tinggi atau dengan kata lain cukup sekedar
bisa baca dan hitung maka itu sudah cukup.
Kondisi ini diperparah dengan Tingginya angka kelahiran yang dalam
jangka panjang menyebabkan Tingginya jumlah penduduk. Seperti apa yang
pernah dikatakan oleh Robert Malthus bahwa manusia hidup membutuhkan
makanan, sedangkan laju pertumbuhan makanan jauh lebih lambat dibandingkan
dengan pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan pembatasan terhadap
penduduk maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan, hal inilah
merupakan sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia. Karena kondisi
seperti inilah, tidak mengherankan apabila kita melihat gambaran kehidupan
masyarakat di daerah ini pada umumnya sungguh jauh berbeda dengan apa yang
kita lihat di daerah perkotaan. Begitu juga dengan tingkat kesehatan, kondisi
lingkungan dan perumahan yang jauh dari kata layak huni menyebabkan daerah
ini rentan akan berbagai macam penyakit. Hal ini menjadi penyebab rendahnya
usia harapan hidup masyarakat pesisir.
Kondisi ini juga diperparah dengan banyaknya rumah tangga rawan
pangan, dan total rumah tangga rawan pangan di Kota Medan sebanyak 79.136
kepala keluarga (KK) atau 22,93% dari 345.127 KK, yang lagi-lagi kebanyakan
Bahari, Belawan-I, Belawan II, Bagan Deli, Pulau Sicanang (Medan Belawan),
Kelurahan Terjun, Paya Pasir, Labuhan Deli (Medan Marelan), dan Kelurahan
Pekan Labuhan, Nelayan Indah di Kecamatan Medan Labuhan.
Dengan rendahya tingkat pendidikan, sulitnya memperoleh layanan
kesehatan, kumuhnya wilayah pemukiman, dan paradigma yang sudah tertanam
tentang “sabar” dan pasrah dengan kondisi yang mereka alami, menyebabkan
mereka tidak dapat berbuat banyak untuk anak-anaknya, masa depannya, dan
kesejahteraannya. Apalagi pemerintah Kota Medan sangat kurang perhatiannya
terhadap daerah ini dan terkesan “menganaktirikannya” daripada daerah lain.
Dengan adanya permasalahan diatas penulis tertarik untuk meneliti sebuah
fenomena yang terjadi di Kecamatan Medan Labuhan yang diberi judul Analisis
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini dibatasi pada
hubungan antara indikator-indikator kesejahteraan terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Medan Labuhan, dalam hal ini
kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, serta kondisi dan fasilitas
perumahan.
Dengan memperhatikan batasan masalah maka dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan
Medan Labuhan.
2. Menganalisis tingkat pendapatan, pengeluaran dan kondisi daerah serta
fasilitas tempat tinggal masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak lain dalam memahami
masalah-masalah di bidang ekonomi yang berkaitan dengan masalah
dalam bidang kesejahteraan masyarakat khususnya wilayah pesisir,
sehingga dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu
ekonomi.
2. Untuk mengetahui masalah pokok yang dialami oleh masyarakat di
wilayah pesisir serta solusi yang dapat dikembangkan agar kesejahteraan
masyarakat pesisir khususnya nelayan dapat ditingkatkan.
3. Untuk kepentingan informasi bagi masyarakat pesisir/nelayan dan
pemerintah dalam upaya mengatasi kemiskinan dan pengambilan
kebijakan yang tepat.
4. Sebagai acuan bagi mahasiswa dan koleksi perpustakaan yang dapat
digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan
penelitian dalam bidang kesejahteraan masyarakat pesisir.
5. Sebagai sarana bagi penulis dalam menambah pengetahuan serta wawasan
dalam bidang kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya di wilayah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kesejahteraan
Tingkat kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai kondisi agregat dari
kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada
pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah
apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas
substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.
Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang
kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan,
kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti
kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan
sebagainya.
Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau
“well-being”. Misalnya, dapat dikatakan kesejahteraan seseorang sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum; seseorang
dikatakan mampu (memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik) jika dia
memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang
dimilikinya (kekayaan). Selain itu, dapat diukur juga dari kemampuan untuk
memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makanan dan
perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk andil (berfungsi) dalam
masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1983) atau
lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis/gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam
komoditas secara umum (yakni adanya daya beli terhadap sekelompok pilihan
komoditas (Watts, Harrold W 1968) atau jenis konsumsi tertentu (misalnya
kecukupan konsumsi makanan) yang dirasa sangat essensial/perlu untuk
memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti adanya
kemampuan untuk andil/berfungsi dalam masyarakat.
Tentunya ada konsep lain dari kesejahteraan yang melebihi konsep
kemiskinan (poverty), baik diukur melalui dimensi moneter maupun non-moneter.
Misalnya, ketimpangan. Ketimpangan menitikberatkan pada distribusi dari
atribut/variable terukur (misalnya pendapatan dan pengeluaran) terhadap seluruh
penduduk. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa posisi relatif dari inidividu
rumah tangga dalam masyarakat merupakan aspek penting dari kesejahteraan
mereka. Tingkat ketimpangan secara keseluruhan dalam suatu negara, wilayah
atau kelompok penduduk, baik dalam bentuk dimensi moneter maupun
non-moneter, juga merupakan indikator yang dapat menggambarkan secara ringkas
tentang tingkat kesejahteran dalam kelompok tersebut. Hal ini yang perlu dicatat
dari bahasan tentang kesejahteraan yaitu kerentanan (vulnerability). Kerentanan
didefinisikan sebagai peluang atau fisik menjadi miskin atau jatuh menjadi lebih
miskin pada waktu-waktu mendatang. Kerentanan merupakan dimensi kunci dari
kesejahteraan karena kerentanan berakibat pada perilaku individu (dalam bentuk
investasi, pola produksi, strategi penanggulangan) dan persepsi dari kondisi
mereka sendiri.
Menurut Bank Dunia (Wolrd Bank 2000), “poverty is pronounced
derivation in well being”, dimana kesejahteraan dapat diukur dari kekayaan yang
tertentu dalam masyarakat tertentu seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan juga
berarti kurangnya kesempatan/peluang, ketidakberdayaan, dan kerentanan.
Kemiskinan benar-benar masalah multi-dimensi yang memerlukan kebijakan dan
program intervensi multi-dimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat
sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.
Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan
dengan lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan
merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi
kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multi-dimensi,
mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit
direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas
tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan
suatu representasi distribusional dari keadaan itu.
Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan
menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali
ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi
dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global.
Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun
berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan
indikator output ekonomi per kapita sebagai produksi tingkat kesejahteraan.
Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan
dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang kurang
mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih
negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati
seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar
ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat
berlangsungnya proses produksi.
Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka
pendapatan rumah tangga digunakan sebagai produksi kesejahteraan karena
dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah.
Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga
digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga.
Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang
cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya.
Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang
kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya
memperhatikan faktor ekonomi saja.
Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif.
Atas promosi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks
Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas
perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara
luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat. (Dir. Kewilayahan
1, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah: 5-6).
2.2 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembang
kehidupan yang bermartabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a)
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (c)
rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. (Badan Pusat Statistik).
Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas
orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah
mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya
perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan
setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu:
1. Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk
mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
3. Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem
sosial politik.
Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu
negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu
kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya
akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun akan menjadi sebuah masalah
diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum
untuk menjamin adanya suatu persamaan dihadapan hukum tanpa memandang
status dan derajat seseorang (Bayo, 1996).
Menurut Drs. Edi Suharto, M.Sc, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan
pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative,
kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.
Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan
oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan,
transportasi, dll. Penentuan kemiski'nan absolut ini biasanya diukur melalui “batas
kemiskinan” atau “garis kemiskinan” (poverty line), baik yang berupa indikator
tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapata, pengeluaran,
kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah
pengukuran, indikator tersebut biasanya dikonversikan dalam bentuk uang
(pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok
orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai miskin secara absolut.
Bank Dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan
pengeluaran konsumsi yang dikonversi kedalam US$ PPP (Puchasing Power
Parity/ Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya adalah untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam
menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga
dalam menganalisis kemajuan dala memerangi kemiskinan. Angka konversi PPP
kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli seharga
US$ 1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas
di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasaya
dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang
digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US$ 1 PPP perkapita perhari; b) US$ 2 PPP
perkapita perhari. Ukuran tersebut sering direvis menjadi US$ 1,25 PPP dan US$
2 PPP perkapita perhari.
Pendapatan perkapita yang Tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan
tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar. Hal ini mengingat
besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh
kelompok-kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara,
sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan perkapita yang Tinggi
justru mempunya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
internasional yang lebih besar dibandingkan suatu negara yang pendapatan
perkapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemsikinan tersebut
antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara yang
bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan kelembagaan yang dalam
prakteknya ikut menentukan pola-pola dstribusi pendapatan nasional.
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu
atau kelompok dibandingkan dengan “kondisi umum” suatu masyarakat. Jika
batas kemiskinan misalnya Rp. 30.000 per kapita per bulan, seseorang yang
memiliki pendapatan Rp. 75.000 per bulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika
pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 100.000, maka relatif orang
Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai,
orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos
kemajuan (modernisasi). Sikap malas, tidak memiiki kebutuhan berprestasi (needs
for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha
adalah bebrapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural.
Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun
ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang
menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya,
melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun
motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan
mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta
akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan
orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki
hanya sedikit tanah,para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang
tidak terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada dalam
kemiskinan struktural.
Disadari atau tidak kita memang patut berterima kasih pada pemerintah
pada komitmen dan kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan
khususnya pada zaman orde baru, secara nasional jumlah kemiskinan absolut di
Tanah Air mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika pada tahun 1970,
terdapat 70 juta atau 60 persen penduduk Indonesia terhimpit kemiskinan, maka
persen saja dari populasi keseluruhan. Pada tahun 1993, jumlah penduduk yang
masih berada di garis kemiskinan menjadi 25,9 juta atau 13,67 persen.
Akan tetapi, data-data “makro” tersebut belumlah mengungkap dimensi
kemiskinan relatif yang berwujud ketimpangan sektoral maupun ketimpangan
regional antar wilayah. Belum lagi persoalan indikator kemsikinan yang oleh
sebagian ahli masih dipandang sebagai “belum mencerminkan” kebutuhan
manusia secara manusiawi.
Indikator kemiskinan yang ditetapkan menurut Badan Pusat Statistik
adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi khususnya kebutuhan pangan
minimal sebesar 2.100 kalori/hari/orang atau sekitar Rp. 35.000 per kapita per
bulan kemudian kemampuan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar seperti
pakaian, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,perumahan, rasa aman, partisipasi
sosial politik, dll. Indikator dari BPS ini juga dipandang masih terlalu rendah
karena pendapatan sebesar itu tentunya hanya “cukup“ untuk memenuhi
kebutuhan “sangat dasar”. Dengan batas kemiskinan yang rendah ini, sangat
dimaklumi jika banyak penduduk yang sebenarnya masih dalam kategori miskin,
misalnya pendapatan Rp. 36.000 per kapita per bulan terangkat menjadi kelompok
“tidak miskin” atau “agak miskin” (nearly poor).
Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa di daerah pedesaan tengah
terjadi proses penurunan kemakmuran yang tampak dari sempitnya pemilikan
lahan. Menurut data statistik dari BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun telah
terjadi penurunan luas tanah yang dimiliki petani dari 18,35 juta hektare menjadi
17,67 juta ha. Sejalan dengan itu, petani gurem yang memiliki lahan dibawah 0,5
2.3 Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan
Strategi kebutuhan dasar (basic needs) sebagaimana dikutip oleh Thee
Kian Wie (1981:29), dipromosikan dan dipopulerkan oleh internasional labor
organization (ILO) pada tahun 1976 dengan judul “Kesempatan kerja,
pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan dasar: suatu masalah bagi satu dunia”.
Strategi kebutuhan dasar memang memberi tekanan pada pendekatan langsung
dan bukan cara tidak langsung seperti melalui effek menetes kebawah (trickle
down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang Tinggi. Keseulitan umum dalam
penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standart atau kriteria yang subjektif
karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial. Disamping itu
kesulitan penentuan seara kuantitatif oleh masing-masing komponen kebutuhan
dasar yang dimiliki oleh komponen itu sendiri. Misalnya selera konsumen
terhadap satu jenis makan atau komoditi lainnya.
Beberapa kelompok atau ahli telah mencoba merumuskan mengenai
konsep kebutuhan dasar ini termasuk alat ukurnya. Konsep kebutuhan dasar yang
dicakupa dalah komponen kebutuhan dasar dan karakterisktik kebutuhan dasar
serta hubungan keduanya dengan garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang
disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil survey sosial
ekonomi nasional (SUSENAS). Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi
penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing
komponen.
Kembali pada pengukuran kemisinan, menurut Ravallion (1998), ada tiga
tahapan yang diambil dalam mengukur kemiskinan. Tiga tahapan ini mencakup:
2) Membangun standart minimum yang dapat diterima dari indikator tersebut
untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin (sering dikenal
dengan garis kemiskinan), dan
3) Membuat ringkasan statistic untuk memberikan informasi secara agregat
mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi
realtifnya terdapat standart minimum yang telah ditentukan.
Ukuran kemiskinan pada tingkat makro dapat memberikan gambaran
kemiskinan rumah tangga menurut wilayah regional, provinsi, dan kota-desa.
Untuk menetapkan rumah tangga sebagai kelompok sasaran program, seperti
intervensi dan mengurangi dampak krisis, kriteria-kriteria infrastruktur pelayanan
pemerintah dan fasilitas umum lainnya menurut karakteristik wilayah dan rumah
tangga sangat penting untuk diperhatikan. Beberapa indikator untuk
mengidentifikasi rumah tangga miskin dapat dikembangkan berdasarkan
karakteristik rumah tangga, termasuk indikator demografi, sosial ekonomi, dan
indikator lainnya. Indikator-indikator ini pad aumumnya cocok untuk digunakan.
Tetapi beberapa diantaranya hanya sesuai untuk kota atau desa.
Indikator ekonomi yang dapat digunakan untuk mendefinisikan rumah
tangga miskin yaitu ciri-ciri pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga
dan akses terhadap sumber/asset. (Pernia & Quibria, 1991). Untuk wilayah pesisir
karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai nelayan. Yang mana
kehidupannya bergantung dengan hasil tangkapan laut.
Berdasarkan hasil penelitian Emil Salim pada tahun 1981 menjelaskan
1) Mereka tidak memperoleh kemungkinan untuk memperoleh asset produksi
dengan kekuatan sendiri tanpa bantuan dari luar.
2) Mereka yang hidup di daerah perkotaan masih berusia muda dan tidak
didukung oleh keterampilan yang memadai
3) Tidak memiliki faktor produksi dan tidak mempunyai keterampilan yang
cukup untuk memperoleh pendapatan yang layak
4) Tingkat pendidikan rendah, karena waktu mereka dihabiskan untuk
bekerja dalam upaya untuk memperoleh pendapatan untuk tambahan
penghasilan
5) Sebagian besar mereka tinggal di perdesaan, tidak memiliki tanah dan
kalaupun ada sangat sedikit. Pada umumnya dari mereka bekerja sebagai
buruh tani atau pekerja kasar yang dibayar rendah di sektor pertanian.
6) Kesinambungan kerja kurang terjamin karena mereka bekerja dalam usaha
apa saja di sektor informal.
Hasil penelitian World Bank oleh Don Chemichovsky dan Oey Astra
Meesok dengan menggunakan data Susenas 1978 (Masfufah, 2000), menyatakan
beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia antara lain:
1) Jumlah anggota rumah tangga banyak dengan kepala rumah tangga
merupakan tulang punggung keluarga
2) Tingkat pendidikan anggota rumah tangga dan kepala rumah tangga
rata-rata rendah
3) Pekerjaan saring berubah dan sebagian dari mereka mau menerima
4) Sebagian besar pengeluaran untuk mengkonsumsi makanan dengan
persentase pengeluaran untuk karbohidrat paling besar
5) Sebagian besar pendapatan utamanya bersumber dari pertanian dan
penguasaan tanahnya masih marginal
6) Kondisi rumahnya masih sangat memprihatinkan dalam hal penyediaan air
bersih dan listrik untuk penerangan.
Karakteristik rumah tangga lain yang berkaitan erat dengan tingkat
kemiskinan yaitu jumlah anggota rumah tangga. Makin besar jumlah anggota
rumah tangga akan makin besar pula risiko untuk menjadi miskin apabila
pendapatannya tidak meningkat. Umur kepala rumah tangga juga berkaitan
dengan tingkat kemiskinan walaupun hubungannya tidak begitu jelas, akan tetai
ada kecenderungan bahwa kepala rumah tangga tidak miskin lebih tua
debandingkan rumah tangga miskin (Faturrokhman dan Molo, 1995)
Dalam Zulfahri (2002), Masri Singarimbun mencirikan kemiskinan
sebagai suatu kondisi yang memenuhi ciri-ciri:
1) Pendapatan rendah
2) Gizi rendah
3) Tingkat pendidikan rendah
4) Keterampilan rendah
5) Harapan hidup pendek
Sedangkan Keban (1994) membagi menjadi tiga kelompok faktor
penyebab kemiskinan rumah tangga yaitu:
1) Karakteristik individu kepala rumah tangga
3) Karakteristik lingkungan
Dalam buku Dasar-dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik,
2002) diuraikan karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan
kemiskinan yang digolongkan menjadi tiga kelompok.
1) Karakteristik Demografi
a. Struktur dan ukuran rumah tangga. Indikator ini penting karena
menunjukkan korelasi antara tingkat kemiskinan dan komposisi rumah
tangga. Komposisi rmah tangga, dalam bentuk ukuran rumah tangga dan
Karakteristik anggota rumah tangga (seperti umur), sering sangat berbeda
untuk setiap rumah tangga miskin dan tidak miskin. Makin besar jumlah
anggoa rumah tangga makin besar pula resiko untuk menjadi miskin
apabila pendapatannya tidak meningkat.
b. Rasio ketergantungan (Dependency Ratio). Rasio ketergantungan dihitung
sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam
angkatan kerja (apakah muda atau tua) terhadap mereka yang berada pada
angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Adapun hubungan antara
rasio ketergantungan dengan tingkat kemiskinan adalah berkorelasi positif,
dimana ketika rasio ketergantungan Tinggi maka tingkat kemiskinan akan
semakin meningkat.
c. Gender kepala rumah tangga, secara umum telah diketahui bahwa jenis
kelamin kepala rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap
kemiskinan rumah tangga dan sering ditemui bahwa rumah tangga yang
dikepalai wanita lebih miskin daripada yang dikepalai laki-laki.
Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran
konsumsi dan kepemilikan rumah tangga.
a. Ketenagakerjaan (Employment) rumah tangga. Ada beberapa indikator
untuk menentukan ketenagakerjaan rumah tangga. Berdasarkan banyak
indikator yang ditemukan, ekonom menitikberatkan pada partisipasi
angakatan kerja, tingkat pengangguran terbuka, tingkat setengah
pengangguran, dan perubahan jenis pekerjaan. Ketenagakerjaan berkaitan
dengan pendapatan yang dapat diterima oleh penduduk atau rumah tangga.
Apabila endapatan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan
minimum maka resiko untuk menjadi miskin lebih besar.
b. Pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan faktor yang sangat
penting untuk dpertimbhangkan ketika menentukan karakteristik penduduk
miskin. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah tingkat
pendapatan dan juga distribusinya diantara anggota rumah tangga dan
diantara berbagai kelompok sosial. Meskipun demikian, dalam prakteknya
indikator pendapatan sering mengahdirkan masalah-masalah tertentu.
Pendapatan sulit didefinisikan karena pendapatan mencakup banyak
komponen, namun hanya beberapa komponen yang berkaitan dengan
monete (misalnya, rumah tangga pertanian mengkonsumsi sebagian besar
produksi sendiri)
c. Struktur pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Struktur pengeluaran
konsumsi rumah tangga dapat digunakan untuk mendirikan rumah tangga
dengan memberikan gambaran pengeluaran makanan dan non makanan.
dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga menurut tingkat kemiskinannya.
Pengukuran ini memberikan beberapa indikasi berkaitan dengan dampak
yang mungkin terjadi karena variasi harga terhadap daya beli rumah
tangga. Kemudian dapat digunakan produk kebutuhan dasar, khususnya
makanan, untuk mewakili bagian yang paling sgnifikan dari total
pengeluaran penduduk miskin.
d. Kepemilikan rumah tangga. Kepemilikan rumah tangga mencakup barang
–barang yang sangat besar jumlahnya (tanah, peternakan, perlalatan
pertanian, bangunan, dan barang-barang tahan lama lainnya) dan asset
finansial. Indikator tersebut menarik perhatian karena mencerminkan
inventaris kekayaan rumah tangga dan dengan demikianmemperngaruhi
arus pendapatan rumah tangga. Lebih lanjut, rumah tangga tertentu
khususnya di wilayah perdesaan dapat menjadi miskin dalam hal
pendapatan namun kaya ketika kepemilikan mereka dipertimbangkan.
3) Karakteristik Sosial
a. Kesehatan dalam rumah tangga. Empat jenis indikator yang umumnya
digunakan untuk mencirikan kesehatan dalam menganalisis standar hidup
rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit, ketersediaan pelayanan
kesehatan, dan penggunaan pelayanan-pelayanan kesehatan tersebut oleh
rumah tangga miskin dan tidak miskin.
b Pendidikan. Tiga jenis indikator pendidikan yang umumnya diguakan
dalam menganalisis standart hidup rumah tangga yang mencakup tingkat
pendidikan anggta rumah tangga (angka melek huruf yang rendah),
ketersediaan pelayanan pendidikan, dan penggunaan pelayanan tersebut
diskriminasi pelayanan pendidikan antara penduduk yang mampu dan
tidak mampu membuat penduduk yang tidak mampu (miskin) akan
semakin tertinggal tingkat pendidikannya.
c. Tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal di evaluasi berdasarkan tiga
komponen: perumahan, pelayanan, dan lingkungan. Indikator perumahan
mencakup jenis bangunan (ukuran dan jenis bahan bangunan),
kepemilikan tempat tinggal (sewa atau milik sendiri), dan perlengkapan
rumah tangga. Indikator pelayanan menitikberatkan pada ketersediaan dan
penggunaan air minum, jasa komunikasi, listrik, dan sumber energi lain.
Terakhir, indikator lingkungan menekankan pada level sanitasi, tingkat
isolasi (ketersediaan jalan yang dapat digunakan pada setiap saat, lamanya
waktunya waktu tempuh dan tersedianya transportasi ke tempat kerja) dan
tingkat keamanan personal. Secara umum terbentuk bahwa rumah tangga
miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya (beresiko), lingkungan
yang kurang higienis yang mempunyai kontribusi terhadap tingkat
kesehatan yang rendah dan produktifitas anggota rumah tangga yang lebih
rendah.
2.4 Potensi Wilayah Pesisir dan Kondisi Ekonomi Masyarakat Pesisir
Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.
34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir, dan Pulau-Pulau
Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan
laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daearan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut, dan perembesan air asin, sedangkan kea rah laut mencakup bagian laut yang
masih dipengarui oleh proses alami terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran
penggundulan hutan dan pencemaran. Batasan diatas menunjukkan bahwa tidak
terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas tersebut hanyalah garis khayal
yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landau
garis batas itu dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknnya untuk wilayah
pantai yang terjal. Pengertian tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi antar
ekosistem perairan pesisir sehingga memunculkan kekayaan potensi habitat
pesisir yang beragam. Namun demikian, kondisi hidup habitat pesisir seperti ini
berpotensi mudah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia yang tidak
bertanggung jawab.
Menurut Dahuri et al. (1998), hingga saat ini masih belum ada definisi
yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah
pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Kadir et al,.
2009: 2). Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai
(long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Berdasarkan kedua pengertian diatas dapat adikatakan bahwa wilayah
pesisir mempunyai dua karakteristik, yaitu sebagai wlayah pertemuan antara
daratan dan lautan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling
berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas
manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
disebut masyarakat pesisir.
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang bertempat tinggal di
lingkungan pesisir pantai. Karena masyarakat ini hidup dilingkungan pesisir
pantai, maka masyarakat ini menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam yang
ada dilaut. Pekerjaan masyarakat pesisir ini secara umum sebagai nelayan. Para
tradisional namun ada juga nelayan yang menggunakan teknologi yang berbeda
yang disebut nelayan modern, hanya saja jumlahnya tidak banyak.
Pekerjaan lain yang ada di kawasan pesisir adalah sewa-menyewa kapal.
Ada juga kalangan masyarakat pembuat garam. Pada umumnya ketergantungan
masyarakat pesisir pada sektor kelautan menjadi kendala bagi masyarakat untuk
berhasil keluar dari garis kemiskinan. Hal ini karena terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi penghasilan masyarakat pesisir, sehingga pekerjaan ini tidak
menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan para keluarga yang tergolong
masyarakat pesisir. Inilah sebabnya dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki
variasi hidup yang kompleks.
Selain menangkap ikan masyarakat pesisir juga mengolah kebun kelapa.
Terutama karena didekat pantai biasanya pohon kelapa mudah tumbuh. Namun,
jika memiliki tanah maka tanah tersebut dikelola secara optimal. Pada saat musim
padi maka tanah akan berfungsi menjadi sawah dan pada saat yang lain tanah akan
dikelola sebagai kebun. Selain itu, kolektifitas masyarakat maritime masih banyak
sebagai pelayar dan pedagang antar pulau.
Cuaca ekstrem semakin memperburuk kehidupan nelayan. Kondisi ini
praktis dialami oleh 2,34 juta nelayan perikanan tangkap laut di Indonesia. Data
Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
menyebutkan, jumlah nelayan miskin saat ini 7,87 juta orang. Sekitar 25,14
persen dari penduduk miskin nasional.
Saat musim angin barat, mereka tidak bisa melaut. Mereka juga tidak bisa
memaksimalkan jumlah hasil tangkapan karena keterbatasan peralatan. Sejak awal
Desember mereka tidak bisa setiap hari melaut karena angin kencang. Dalam
makan sekeluarga setidaknya butuh Rp. 50.000 per hari. (Kompas, 9 April
2012:01&15).
Adapun ciri-ciri yang dipantulkan komunitas atau masyarakat pesisir di
Indonesia adalah:
1) Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tergantung pada alam laut.
Ketergantungan masyarakat pesisir terhadap alam laut itu dalam bentuk fisik
maupun emosional sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhinya.
Masyarakat pesisir dengan demikian menggantungkan hidupnya dengan
cuaca, iklim dan pergantian musim terutama masyarakat pesisir yang bekerja
sebagai nelayan.
2) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang murah
dan konvensional untuk dapat menggali kekayaan alam laut yang merupakan
tempat pencaharian kebutuhan hidup.
3) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada modal tunai untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk modal kegiatan
pelayanan dan konsumsi.
4) Masyarakat pesisir sangat tergantung kepada pihak lain baik secara individu
maupun berkelompok dalam sistem jaringan kerja, baik penangkapan ikan,
jasa pelelangan ikan maupun terhadap para pemilik modal.
5) Masyarakat pesisir sangat membutuhkan program-program pemberdayaan
yang dapat mengeluarkan masyarakat pesisir dari jerat kehidupan yang sangat
tajam dan tidak mengenal kompromi. (Suwardi Lubis, 2010)
Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia, yang
sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km
(Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan
sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati dan non hayati.
Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang,
sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta
pariwisata..
Oleh karena itu sungguh ironi sekali dengan banyaknya potensi yang
dimiliki oleh wilayah pesisir namun kondisi ekonomi masyarakat pesisir masih
banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Kusnadi (2002),
perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh
faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan
fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta
akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai
produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang
mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Hasil-hasil
studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah
menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau
ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan
tidak mudah untuk diatasi.
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi
modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus
dengan teknologi yang dapat di hasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini
proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh
bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi
pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang
tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan
karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaha nelayan terhadap teknologi
(Kusnadi, 2000).
Selain itu boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi
penyebab kemiskinan nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru
memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang,
kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki
jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya
boros dan hal tersebut menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah.
Masalah pemasaran hasil tangkapan juga terkadang dapat merepotkan masyarakat
pesisir. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal
tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka
kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
Dengan demikian, masalah sosial ekonomi yang terdapat pada kehidupan
nelayan antara lain adalah:
a. Rendahnya tingkat pendidikan,
b. Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya,
c. Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan
d. Kurangnya daya kreativitas, serta
Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di
berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara
Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan, bahwa kekakuan aset perikanan
(fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap
tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka
untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asset
perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk
dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat
produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih
fungsikan atau melikuidasi aset tersebut.
Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan
operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa
nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost
mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau
alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh
selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan
lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila
opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya
meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen
yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara
berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka
apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa
dikerjakan.
Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam
kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a
particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade
dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki
kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku
sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya,
hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar
dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam
kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa
bahagia dengan kehidupan itu.
Sosial ekonomi masyarakat nelayan dilihat dari kehidupan masyarakat
terkait dengan penambahan pendapatan hidup mereka untuk peningkatan taraf
hidup masyarakat nelayan. Jika mengkaji dari segi sosial budaya masyarakat
nelayan, kita menilai kehidupan masyarakat terkait dengan budaya atau adat
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan
dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan
dan menguji hipotesis penelitian.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian tentang analisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di
Kecamatan Medan Labuhan ini menggunakan metode penelitian Deskriptif
Kualitatif. Penelitian Deskriptif merupakan dasar bagi semua penelitian.
Penelitian Deskriptif dapat dilakukan secara kuantitatif agar dapat dilakukan
analisis statistik (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).
3.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan di wilayah pesisir Kecamatan
Medan Labuhan. Jadi penelitian ini dilakukan untuk meneliti tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir di Kecamatan Medan Labuhan.
3.3 Batasan Operasional
Penelitian ini dibatasi dengan menganalisis bagaimana tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir yang berdomisili di Kecamatan Medan Labuhan.
Menurut Badan Pusat Statistkik (2005), indikator yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau
pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan
anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan
memasukkan anak ke jenjang pendidikan, kemudahan mendapatkan fasilitas
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Sulistyo-Basuki (2006 :182) mengemukakan populasi adalah
keseluruhan objek yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah
data seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir Kec. Medan
Labuhan.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat
mewakili dari populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel
berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti yang berkaitan dengan tujuan
penelitian (Soepeno, 1997).
Dalam penarikan sampel maka jumlahnya harus representatif untuk
nantinya hasilnya bisa digeneralisasi. Untuk memenuhi persyaratan
tersebut maka dalam penentuan jumlah sampel tersebut diambil dengan
menggunakan rumus Slovin ( Umar, 2004 : 108 ), yaitu :
n = 2
1 Ne N
+
Keterangan: n = Besar Sampel
N = Jumlah Penduduk Kecamatan Medan Labuhan e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena
kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir ( tolerance degree of error sampling) yaitu 10 %.
n = 2
Dari perhitungan tersebut didapat hasil 99,91 orang, Dengan demikian
sampel yang diambil dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 100 responden.
Penentuan jumlah sampel penelitian menggunakan teknik pengambilan
sampel secara Teknik Simple Random Sampling yaitu suatu tipe sampling
probabilitas, di mana peneliti dalam memilih sampel dengan memberikan
kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai
anggota sampel. Dengan teknik semacam itu maka terpilihnya individu menjadi
anggota sampel benar-benar atas dasar faktor kesempatan (chance), dalam arti
memiliki kesempatan yang sama, bukan karena adanya pertimbangan subjektif
dari peneliti. Teknik ini merupakan teknik yang paling objektif, dibandingkan
dengan teknik-teknik sampling yang lain.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Dalam setiap kegiatan penelitian selalu ada kegiatan pengumpulan data.
Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini menurut Sulistyo-Basuki
(2006: 147) meliputi:
1. Observasi nonpartisipan ( Pengamatan tidak terkendali)
Pada metode ini peneliti hanya mengamati, mencatat apa yang
memanfaatkan dokumen (bahan dan foto-foto penting), seperti gambaran
kehidupan, lingkungan, kondisi perumahan, sarana dan prasarana, dll.
Metode ini banyak digunakan untuk mengamati pola kehidupan dan
perilaku masyarakat pesisir secara langsung.
2. Kuesioner
Kuesioner adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh
responden atau diisi oleh pewawancara yang membacakan pertanyaan dan
kemudian mencatat jawaban yang berikan (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).
Pertanyaan yang akan diberikan pada kuesioner ini adalah
pertanyaan menyangkut fakta dan pendapat responden, sedangkan
kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner tertutup,
dimana responden diminta menjawab pertanyaan dan menjawab dengan
memilih dari sejumlah alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah
diselesaikan, mudah dianalisis, dan mampu memberikan jangkauan
jawaban.
3. Wawancara terstruktur
Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang sama
diajukan kepada semua responden, dalam kalimat dan urutan yang
seragam (Sulistyo-Basuki, 2006: 110).
Wawancara yang dilakukan meliputi identifikasi sebab-sebab yang
mempengaruhi rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir di
Kecamatan Medan Labuhan. Keuntungan metode ini adalah mampu