• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasionalitas petani hutan rakyat dalam penentuan daur optimal: studi kasus di Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rasionalitas petani hutan rakyat dalam penentuan daur optimal: studi kasus di Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

c

(2)

DALAM PENENTUAN DAUR OPTIMAL

(Studi Kasus di Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : IRINA VESTALIA

E. 14202023

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

RASIONALITAS PETANI HUTAN RAKYAT DALAM PENENTUAN DAUR OPTIMAL

(Studi Kasus di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi)

Oleh : Irina Vestalia

E.14202023

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

(4)

DALAM PENENTUAN DAUR OPTIMAL

(Studi kasus di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi)

Nama : IRINA VESTALIA

NRP : E.14202023

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MPPA) NIP. 130813798

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan IPB

(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP. 131430799

(5)

RINGKASAN

IRINA VESTALIA. Rasionalitas Petani Hutan Rakyat dalam Penentuan Daur Optimal (Studi kasus di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan Kabupaten Suk-abumi). Dibimbing oleh Sudarsono Soedomo.

Kebanyakan orang awam mengenal fungsi hutan hanya sebagai penghasil kayu. Tanpa disadari masih terdapat fungsi hutan yang lain, seperti yang dike-mukakan oleh Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) bahwa hu-tan berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon (Carbon Storage). Namun beberapa tahun belakangan ini, jasa hutan dalam menyimpan karbon sudah mulai diperhatikan dan dihargai oleh beberapa negara. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Conven-tion on Climate Change , UNFCCC) dalam UNCED (1992) di Rio de Janeiro (Brazilia). Selanjutnya, konvensi tersebut diatur lebih rinci dalam Kyoto Pro-tocol mengenai perubahan iklim yang diadakan di Kyoto pada bulan Desember 1998 (Murdyarso, 1999).

Dalam ekosistem hutan global, penyerapan kelebihan emisi gas rumah ka-ca oleh tumbuhan hutan hanya dapat terjadi bilamana ada pertumbuhan pohon pada hutan baru atau hutan yang masih muda. Oleh karena itu, jasa penyim-panan karbon sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya suatu tegakan hutan, serta lamanya tegakan hutan tumbuh diatas permukaan tanah (rotasi hutan). Pasar jasa penyimpanan karbon ini mulai dikenal. Sayangnya, banyak pemilik hutan rakyat yang tidak mengetahui mengenai pembayaran jasa penyimpanan karbon, sehingga mereka tidak memperhitungkan jasa penyimpanan karbon ini dalam pengambilan keputusan penentuan daur dalam pengelolaan hutan rak-yat.

Pada umumnya, keragaman dalam pengelolaan hutan rakyat berasal dari pengalaman individu secara turun temurun, begitu pula dalam pengambilan keputusan. Bagaimana reaksi petani terhadap perubahan variabel harga kayu dan biaya pembangunan hutan masih belum banyak dipelajari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh harga kayu terhadap ke-putusan petani dalam penentuan daur tanaman kehutanan, menguraikan faktor yang mempengaruhi para petani dalam menentukan daur optimal, serta mem-pelajari rasionalitas petani hutan rakyat dalam penentuan daur jika harga kayu naik dan jika biaya pembangunan hutan naik.

(6)

patani hutan rakyat yang berada di Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Ka-bupaten Sukabumi. Hasil wawancara tersebut dianalisis secara deskriptif. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya kuisioner, alat tulis, kalku-lator, kamera, dan komputer. Hipotesis dalam penelitian ini diturunkan dari Model Faustmann yang bertujuan memaksimumkan net present value dengan memilih daur. Hipotesis yang hendak diuji adalah (1) Apabila harga kayu di-asumsikan meningkat secara permanen, maka daur optimal yang dipilih akan lebih pendek dan (2) Apabila biaya pembangunan hutan meningkat secara per-manen, maka daur optimal yang dipilih akan lebih panjang.

Petani hutan rakyat di Desa Cidadap dalam mengelola hutan belum da-pat dikatakan memiliki usaha dan prinsip kelestarian yang baik. Hal ini ditun-jukkan oleh sedikitnya pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu. Dalam pengelolaan hutan rakyat di Desa Cidadap ini sebenarnya tidak dikenal sistem silvikultur tertentu, mereka mengelola hutannya secara sederhana. Namun dengan melihat kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan hutan yang mereka lakukan, sistem silvikultur pengelolaan hutan rakyat di Desa ini dapat dikategorikan ke dalam sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (TPPA). Beberapa teknik silvikultur yang dilakukan petani dalam mengelola hutan miliknya dimulai dengan pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Pengadaan benih dilaksanakan pada masa awal penanaman hutan rakyat. Benih tanaman tersebut berupa biji maupun semai tanaman.

Untuk penentuan daur tanaman, Kenaikan harga kayu mempengaruhi ke-putusan petani dalam menentukan daur hutan rakyat yang mereka miliki. Re-sponden petani hutan rakyat di Desa Cidadap 60% memilih untuk memperpen-dek daur bila harga kayu di pasaran naik (sesuai dengan Model Faustmann), dan sisanya (40%) memilih untuk tetap mempertahankan daur yang telah mereka tetapkan sebelumnya, sedangkan jika biaya pembangunan hutan naik, 40% re-sponden memilih untuk memperpanjang daur tanaman kehutanan mereka, dan 60% lebih memilih tetap dengan daur yang telah mereka tetapkan sebelum-nya. Petani hutan rakyat dengan usia produktif, luas lahan hutan yang tinggi ( lebih dari 4 ha), pendapapatan lebih dari 20 juta, memiliki jumlah tanggungan anggota keluarga lebih dari 6 orang, dan pengusahaan hutan murni cenderung untuk memperpendek daur bila harga harga kayu di pasaran naik.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 20 Februari 1984 dari pasa-ngan Bapak Odang Kemal Pasha dan ibu Erawati. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Pada tahun 1989 penulis masuk Taman Kanak-Kanak (TK) Al-Falah Sukamantri dan pada tahun 1990 penulis masuk ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gadis dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1996 Penulis melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiyah Yasti, kemudian pada tahun 1999 penulis melanjutkan sekolah ke SMUN 3 Sukabumi dan lulus pada tahun 2002, pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Penulis pernah aktif di keorganisasian Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan periode 2003/2004 sebagai Staff Biro Nasional Dept. Poli-tik dan Advokasi. Penulis juga pernah menjadi panitia dalam kegiatan Polkad Expo dan kegiatan Diskusi Dunia Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Ilmu Tanah Hutan pada tahun ajaran 2004/2005.

Pada bulan Juni-Agustus 2005 penulis pernah mengikuti Praktek Penge-nalan Hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat dan Banyumas Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, serta Praktek Penge-lolaan Hutan di KPH Ngawi Jawa Timur. Pada bulan Februari-April 2006 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata di Desa Dramaga Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

Bogor, September 2006

Penulis

(8)

Bismillaa hirahmaa nirrahiim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, kasih sayang serta karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi de-ngan judul “Rasionalitas Petani Hutan Rakyat dalam Penentuan Daur Optimal (studi kasus di Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi)“ sebagai syarat kelulusan program Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Terimakasih yang tiada terhingga penulis ucapkan kepada ayah dan ma-mah atas doa, motivasi, semangat, pengorbanan, kekuatan serta kasih sayang, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tidak lupa me-nyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, diantaranya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MPPA selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak...selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumber-daya Alam Hutan.

3. Bapak...selaku dosen penguji dari Departemen Teknologi Hasil hutan. 4. Bapak Drs. Bambang Setiawan selaku Kepala Dinas Kehutanan Suka-bumi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di hutan rakyat yang berada di Desa Cidadap Kecamatan Sim-penan Kabupaten Sukabumi.

5. Teh Mia Armadesima, S.T, Alvira Pasha, Azmi Hafizhuddin dan keluarga tecinta yang selalu memberikan senyuman, keceriaan, kebahagiaan dan semangat bagi penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, I love u all...

6. Fian Riadi terimakasih atas dorongan, motivasi dan kebersamaannya se-lama ini.

7. Sahabatku Radna, Nunung, terimakasih untuk tawa dan canda disetiap pertemuan kita.

(9)

8. Engkos Koswara teman satu bimbingan dan teman seperjuangan.

9. Bapak Yoyo selaku staff Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) di Desa Cidadap dan keluarga yang telah membantu penulis pada saat pengam-bilan data.

10. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis cantumkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas. Namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Semoga Allah me-limpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, Amiin.

Bogor, September 2006

Penulis

(10)

Halaman

RINGKASAN . . . i

RIWAYAT HIDUP. . . iii

KATA PENGANTAR . . . iv

Daftar Isi . . . vi

Daftar Tabel . . . ix

Daftar Gambar . . . xi

DAFTAR LAMPIRAN . . . xii

1 PENDAHULUAN . . . 1

1.1 Latar Belakang . . . 1

1.2 Tujuan . . . 2

2 TINJAUAN PUSTAKA . . . 3

2.1 Hutan Rakyat . . . 3

2.1.1 Definisi Hutan Rakyat . . . 3

2.1.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat . . . 4

2.1.3 Peranan Hutan Rakyat . . . 5

2.2 Karbon . . . 6

2.3 Daur . . . 7

2.4 Model Faustmann . . . 8

2.5 Biaya . . . 10

(11)

3 METODOLOGI . . . 11

3.1 Kerangka Pemikiran . . . 11

3.2 Waktu dan Tempat . . . 11

3.3 Alat dan Sasaran . . . 12

3.4 Jenis Data . . . 12

3.4.1 Data Primer . . . 12

3.4.2 Data Penunjang . . . 13

3.5 Metode Penelitian . . . 14

3.6 Hipotesa . . . 14

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN . . . 15

4.1 Keadaan Fisik Wilayah . . . 15

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk . . . 16

4.3 Sarana dan Prasarana . . . 17

5 HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 18

5.1 Deskripsi Kondisi Hutan Rakyat Desa Cidadap . . . 18

5.1.1 Aspek Sosial . . . 18

5.1.2 Aspek Fisik . . . 20

5.1.2.1 Sistem Silvikultur . . . 20

5.1.2.2 Teknik Silvikultur . . . 21

5.2 Penentuan Daur Tanaman Kehutanan . . . 23

5.2.1 Tingkat Pendidikan . . . 27

5.2.2 Umur . . . 29

5.2.3 Luasan Hutan Rakyat yang Digarap . . . 30

5.2.4 Pola Tanam . . . 32

5.2.5 Kisaran Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga . . . 34

5.2.6 Pendapatan . . . 35

6 KESIMPULAN DAN SARAN . . . 38

6.1 Kesimpulan . . . 38

6.2 Saran . . . 38

7 DAFTAR PUSTAKA . . . 39

(12)

A.1 Terhadap Harga Kayu . . . 42

A.2 Terhadap Biaya Pembangunan Hutan . . . 44

Lampiran B Kuisioner . . . 47

Lampiran C Tabel Hasil Wawancara . . . 50

(13)

Daftar Tabel

Nomor Teks Halaman

4.1 Kelompok penduduk Desa Cidadap berdasarkan usia . . . 16

5.1 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik . . . 28

5.2 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik . . . 28

5.3 Pengaruh umur petani terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik . . . 30

5.4 Pengaruh umur petani terhadap penentuan daur optimal jika bi-aya pembangunan hutan naik . . . 30

5.5 Pengaruh luasan hutan terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik . . . 31

5.6 Pengaruh luasan hutan terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik . . . 31

5.7 Pengaruh pola tanam terhadap penentuan daur optimal jika har-ga kayu naik . . . 33

5.8 Pengaruh pola tanam terhadap penentuan daur optimal jika bi-aya pembangunan hutan naik . . . 34

5.9 Pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik . . . 35

5.10 Pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik . . . 35

5.11 Pengaruh pendapatan terhadap penentuan daur optimal jika har-ga kayu naik . . . 36

5.12 Pengaruh pendapatan terhadap penentuan daur optimal jika bi-aya pembangunan hutan naik . . . 37

C-1 Data Keluarga Petani . . . 50

C-2 Hasil Panen, Luas Hutan, Tahun Tanam, Luas Tanam . . . 52

C-3 Jenis dan Pola Tanam . . . 54

(14)

C-5 Respon Pemilihan Daur terhadap Kenaikan Biaya Pembangunan Tegakan . . . 58

(15)

Daftar Gambar

Nomor Teks Halaman

5.1 Tunas digunakan petani hutan rakyat di Cidadap sebagai sistem permudaan alam. . . 20 5.2 Persemaian yang dimiliki salah satu petani hutan rakyat yang

berada di Desa Cidadap. . . 21 5.3 Salah satu bentuk hutan rakyat sistem hutan jati murni dengan

jarak tanam 3mx3m. . . 22

(16)

Nomor Teks Halaman Lampiran A Model Faustmann . . . 42

Lampiran B Kuisioner . . . 47

Lampiran C Tabel Hasil Wawancara . . . 50

(17)

1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Kebanyakan orang awam mengenal fungsi hutan hanya mampu menghasil-kan kayu, tanpa kita sadari terdapat fungsi hutan yang lain, seperti yang dike-mukakan oleh Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) bahwa hutan berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon (Carbon Storage). Diperkirakan, sekitar 830 Milyar ton karbon tersimpan dalam hutan di seluruh dunia. Jumlah ini sama dengan kandungan karbon dalam atmosfer yang terikat dalam CO2.

Secara kasar, sekitar 40% atau 330 Milyar ton karbon tersimpan dalam bagian pohon dan bagian tumbuhan hutan lainnya di atas permukaan tanah, sedangkan sisanya, yaitu sekitar 60% atau 500 Milyar ton, tersimpan dalam tanah hutan dan akar-akar tumbuhan di dalam hutan (Gardner dan Engelmen, 1999).

Namun beberapa tahun belakangan ini, jasa hutan dalam kemampuannya menyimpan karbon, sudah mulai diperhatikan dan dihargai oleh beberapa ne-gara. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change , UNFCCC) dalam UNCED (1992) di Rio de Janeiro (Brazilia). Selanjutnya konvensi tersebut diatur lebih rinci dalam Kyoto Protocolmengenai perubahan iklim yang diadakan di Kyoto pada bulan Desember 1998 (Murdyarso, 1999).

Salah satu pasal dalam Kyoto Protocol yang berkenaan dengan sektor kehutanan dan tata guna lahan menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan : peng-hutanan kembali (reforestration), pengkonversian lahan (afforestration) dan perusakan hutan (deforestration), termasuk kedalam kegiatan manusia yang dapat meningkatkan penyerapan karbon dari udara (reforestration) dan emisi (melepaskan ke udara) karbon (afforestration dan deforestration).

Dalam ekosistem hutan global, penyerapan kelebihan emisi gas rumah ka-ca oleh tumbuhan hutan hanya dapat terjadi bilamana ada pertumbuhan pohon pada hutan baru atau hutan yang masih muda. Jadi yang diperjualbelikan lam perdagangan karbon sebenarnya adalah jasa hutan atau tumbuhan lain da-lam menyerap kelebihan emisi karbon di dunia terhadap emisi yang dibolehkan. Mengingat hal di atas, jasa penyimpanan karbon sangat erat kaitannya de-ngan ada tidaknya suatu tegakan hutan serta lamanya tegakan hutan tumbuh

(18)

diatas permukaan tanah (rotasi hutan). Adanya suatu tegakan hutan meru-pakan dasar pembayaran jasa penyimpanan karbon. Diharapkan petani hutan rakyat mampu memanfaatkan peluang meningkatkan pendapatannya melalui penentuan daur optimal tanaman kehutanan mereka.

Pada kenyataannya di lapangan, banyak pemilik hutan rakyat yang tidak mengetahui mengenai pembayaran jasa penyimpanan karbon. Sehingga mere-ka tidak memperhitungmere-kan jasa penyimpanan mere-karbon ini dalam pengambilan keputusan penentuan daur dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada umumnya, keragaman dalam pengelolaan hutan rakyat berasal dari pengalaman individu secara turun temurun, begitu pula dalam pengambilan keputusan. Ada be-berapa petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bergantung pada hutan tersebut, sehingga memandang bahwa kebutuhannya akan terpenuhi dengan menebang dan menjual kayunya. Ada juga yang beranggapan bahwa hutan ini merupakan investasi masa depan. Jadi, petani akan menebang apabila ingin memenuhi kebutuhan yang menelan biaya besar.

Pembayaran jasa penyimpanan karbon secara kasar setara dengan ke-naikan harga kayu yang berpengaruh pada penentuan daur optimal. Biaya pembangunan hutan juga akan berpengaruh pada penentuan daur optimal. Bagaimana petani hutan rakyat menggunakan peubah-peubah tersebut dalam membuat keputusan daur optimal akan dipelajari dalam penelitian ini. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Faustmann yang bertujuan untuk memaksimumkan Net Present Value (NPV) dengan memilih daur.

1.2

Tujuan

1. Mengetahui seberapa besar pengaruh harga kayu terhadap keputusan pe-tani hutan rakyat dalam penentuan daur tanaman kehutanan.

2. Menguraikan faktor apa saja yang mempengaruhi petani hutan rakyat dalam penentuan daur tanaman kehutanan.

(19)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Hutan Rakyat

2.1.1 Definisi Hutan Rakyat

Menurut UUPK No.5 tahun 1967 secara umum hutan rakyat merupakan hutan buatan yang terletak di luar kawasan hutan negara. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pembagian hutan ber-dasarkan kepemilikannya tetap dibagi kedalam hutan negara dan hutan rakyat, hanya terdapat perbedaan istilah dari “hutan rakyat” menjadi “hutan hak”. Tetapi pada prinsipnya pengertian “hutan hak” yang dimaksud sama seperti Undang-Undang terdahulu dimana “hutan hak” adalah hutan yang dibebani hak milik baik perseorangan maupun kelompok.

Definisi hutan rakyat menurut SK. Menteri Kehutanan Nomor. 49/Kpts-11/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luasan minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahunan pertama dengan tanaman sebanyak 500 tanaman tiap hektar. Sedangkan menurut Hardjanto (1990) hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemi-likan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Walaupun hutan rakyat di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total wilayah hutan di Indonesia, namun keberadaannya tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat, juga berperan sebagai sum-ber penghasilan bagi pemiliknya, dari hasil penjualan kayu, buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya.

Balai Informasi Pertanian (1982) menyebutkan bahwa hutan rakyat mem-punyai beberapa ciri khas sebagai berikut:

1. Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar-pencar diantara lahan-lahan pedesaan lainnya.

2. Bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai tanaman seperti tanaman pertani-an, tanaman perkebunpertani-an, rumput makanan ternak dan tanaman pangan. Usaha seperti ini sering disebut juga sistem wana tani (Agroforestry).

(20)

3. Terdiri dari tanaman yang mudah cepat tumbuh, cepat memberikan hasil bagi pemiliknya.

Sedangkan Lembaga Penelitian IPB (1983) membagi hutan rakyat menjadi dua, yaitu :

1. Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat yang saat sekarang telah ada dan diusahakan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 2. Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dikembangkan melalui Pro-gram Bantuan Penghijauan. Berdasarkan Inpres No.7 tahun 1989/1981 dan Inpres No.8 tahun 1980/1981.

Berdasarkan jenis tanaman, Balai Informasi Pertanian (1982), membagi bentuk hutan rakyat menjadi tiga, yaitu :

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat Agroforestry, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti per-kebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara ter-padu.

2.1.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), kerangka dasar sistem penge-lolaan hutan rakyat melibatkan beberapa sub sistem yang satu sama lainnya cenderung berkaitan. Sub sistem itu terdiri dari sub sistem produksi, sub sis-tem pengolahan hasil, dan sub sissis-tem pemasaran hasil. Tujuan yang ingin dicapai dari tiap-tiap subsistem adalah sebagai berikut:

(21)

5 2. Sub Sistem Pengolahan Hasil, adalah tercapainya kombinasi bentuk hasil yang memberikan keuntungan terbesar bagi pemilik lahan hutan rakyat. 3. Sub Sistem Pemasaran Hasil, adalah tercapainya tingkat penjualan yang

optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual di pasaran.

Selanjutnya Lembaga Penelitian IPB (1990) menjelaskan bahwa pada da-sarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta menga-wasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peningkatan peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus-menerus selama daur.

2.1.3 Peranan Hutan Rakyat

Menurut Djajapertjunda (1995) hutan rakyat berperan penting dan mem-punyai manfaat-manfaat yang cukup meyakinkan, yaitu :

1. Hutan rakyat dapat merupakan sumber pendapatan masyarakat yang berkesinambungan dan berbentuk tabungan.

2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup berarti.

3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong di bangunnya industri rakyat yang akan mempunyai peranan penting da-lam ekonomi nasional.

4. Hutan rakyat yang dibangun pada lahan-lahan kritis dapat berperan melin-dungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memiliki jenis tanaman tertentu dapat meningkatkan kesuburan tanah.

5. Hutan rakyat dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mening-katkan pendapatan negara melalui berbagai pajak dan pungutan.

Departemen Kehutanan (1995), menegaskan bahwa tujuan pokok dari pe-ngembangan hutan rakyat adalah :

(22)

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Memperluas kesempatan kerja penduduk. 4. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan.

Lembaga Penelitian IPB (1990) mengemukakan bahwa dengan semakin berkembangnya hutan rakyat diharapkan disamping akan menjaga tanah-tanah kritis dari ancaman erosi juga akan meningkatkan perkembangan ekonomi suatu daerah. Dari segi ekonomi, selain sebagai komoditi perdagangan untuk bahan bangunan dan kayu bakar, juga sebagai tabungan untuk keperluan yang sifatnya besar bagi petani kayu rakyat.

2.2

Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman (Brown, 1997). Sejak level karbon dioksida meningkat secara global di atmosfer dan diketahui sebagai salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan, banyak ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hu-tan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar, dan oleh karena itu hutan tropika dapat menyediakan simpanan penting karbon. Selain itu kar-bon tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore, 1985). Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas

rumah kaca dan karena berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer, menye-babkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Konsentrasi CO2 di

atmosfer meningkat dramatik sejak dimulainya revolusi industri, dimana berda-sarkan pengukuran di Mauna Loa, CO2 di atmosfer meningkat sekitar 31% dari

288 ppm pada masa pra-revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2004 (Keeling dan Whorf, 2004). Penyebab utamanya adalah pembakaran batu bara dan minyak bumi, dan diikuti dengan deforestasi yang akhir-akhir ini semakin meningkat.

Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upa-ya menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer dan konvensi kerangka kerja PBB

(23)

7 Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya

seba-gai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas

fisiologinya. Pengukuran produktivitas hutan dalam kontek studi ini relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO2 dan biomassa dalam umur

tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan.

2.3

Daur

Daur adalah periode waktu yang diperlukan untuk pembentukan dan per-tumbuhan tegakan sampai masak tebang dalam kondisi tertentu (Davis, 1966). Menurut Hardjosoediro (1973), daur adalah jangka waktu antara penanaman berikutnya di tempat yang sama, yang ditentukan oleh jenis, hasil yang di-inginkan, nilai tanah dan bunga usaha yang tersedia.

Osmaton (1968) menerangkan bahwa daur merupakan suatu faktor penga-tur dalam pengusahaan hutan seumur. Daur akan dipakai pada waktu membuat rancangan perusahaan tersebut, dan akan terdapat perbedaan yang besar dalam penataan hutan apabila tegakan ditebang pada batas bawah dari umur tebang atau dibiarkan tumbuh sampai tegakan berada di atas miskin riap. Lama daur tidak selalu sama dengan tahun sebenarnya tegakan harus ditebang, karena keadaan silvikultur dan atau pertimbangan lain dapat menyebabkan tegakan harus ditebang lebih cepat atau lebih lambat dari waktu yang telah ditentukan. Dari segi pasar, daur ditentukan oleh hasil tegakan, tipe tegakan, tempat tumbuh, dan jenis tanaman. Dengan demikian, daur dari jenis yang sama sedikit banyak dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Chapman, 1931).

Hiley (1956) menyatakan bahwa ada beberapa macam daur yang ditetap-kan berdasarditetap-kan keadaan sifat tegaditetap-kan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan yang bersangkutan, yaitu :

(24)

2. Daur teknis, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan telah mencapai ukuran yang telah ditetapkan untuk keperluan produk yang akan dihasilkan.

3. Daur pendapatan tertinggi (daur produksi maksimal), yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan dapat menghasilkan pen-dapatan atau volume tertinggi per satuan luas per tahun tanpa memper-hitungkan jumlah modal untuk mendapatkannya.

4. Daur finansial, yaitu daur yang ditetapkan berdasarkan keadaan dimana tegakan dapat menghasilkan keuntungan atau nilai finansial terbesar.

Menurut Osmaton (1968), faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya daur adalah:

1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis po-hon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.

2. Karakteristik jenis, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas kayu tebaik.

3. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhatikan ukuran yang dapat dipasarkan dan harga terbaik yang dapat diperoleh.

4. Respon tanah terhadap penggunaan pembukaan lahan yang berulang-ulang, hal ini erat hubungannya dengan batuan induk dan pelapukan tanah.

2.4

Model Faustmann

(25)

9 model lain yang dikembangkan baik oleh rimbawan maupun ekonom umum-nya kurang tepat dalam memformulasikan masalah (Samuelson 1976). Model Faustmann ini baru dikenali orang sangat lama setelah kemunculannya (Brazee 2001).

Inti dari model Faustmann adalah sebagai berikut, sebidang tanah di-tanami dengan hutan secara berulang-ulang untuk waktu yang tidak terbatas. Tegakan yang telah mencapai daur ditebang dan langsung dilakukan penanam-an kembali. Demikipenanam-an proses ini dilakukpenanam-an berulpenanam-ang-ulpenanam-ang hinga waktu ypenanam-ang tidak terbatas. Misalnya pertumbuhan suatu tegakan mengikuti fungsi V(t), dimanat adalah umur tegakan. Selanjutnya, misalnya daurnya adalahT, maka pada saat daur tercapai volume tegakan adalah V(T). Dengan harga jual sebe-sar p per satuan volume dan biaya pembangunan tegakan adalah c, maka net present value dari tegakan putaran pertama ini adalahe−rT

pV(T )- c. Dimana r adalah tingkat suku bunga. Bila proses ini dilakukan secara berulang-ulang secara tidak terbatas, maka nilai tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

N P V =

X

i=0

(pV(T)e−rT

−c)e−riT

(2-1)

Dengan menggunakan teori deret geometrik tidak berhingga, persamaan diatas dapat ditulis kembali sebagai:

N P V = pV(T)e

−rT −c

1−e−rT (2-2)

Rotasi optimal adalah nilai T yang memaksimumkan persamaan (2-1) atau (2-2) tersebut. Daur optimal dari model Faustmann ini umumnya berbe-da dengan berbe-daur optimal yang ditentukan berbe-dari pendekatan murni biologis yang menyamakan Mean Annual Increment (MAI) dengan Current Annual Incre-ment (CAI). Pendekatan MAI=CAI hanya memaksimumkan biomassa, bukan memaksimumkan manfaat. Solusi terhadap persamaan (2-1) atau (2-2) adalah:

pV′

(T) =rpV(T) +r

"

pV(T)e−rT −c

1−e−rT

#

(2-3)

Kaidah ini memberi panduan bahwa penebangan harus terjadi pada saat nilai dari membiarkan tegakan tumbuh satu tahun lebih panjang pV′

(T), sama dengan jumlah dari biaya bunga pada panen pertama, rpV(T), dan nilai tanah hutan dalam keadaan kosong, r[pV(T)e−rT

−c]/[1−e−rT

(26)

dengan memasukkan argumen baru dalam fungsi tujuan (Tahvonen 1999; Vuk-ina, Hilmer dan Lueck 2000; Appels 2001)

2.5

Biaya

Menurut Lembaga Penelitian Ekonomi Kehutanan (1964), biaya didefi-nisikan sebagai semua pengorbanan tenaga dan material selama satu periode dalam suatu perusahaan.

Menurut Juta (1954), secara garis besar, biaya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Biaya tetap, yaitu biaya yang sebenarnya secara keseluruhan jumlahnya tetap, sedangkan penambahan hanya terjadi dalam biaya-biaya satuan sesuai dengan perubahan volume produksi.

2. Biaya tidak tetap, yaitu biaya yang jumlah keseluruhannya dapat berubah sesuai dengan perubahan volume produksi.

(27)

3

METODOLOGI

3.1

Kerangka Pemikiran

Seperti kita ketahui, hutan berfungsi sebagai penyimpan karbon. Hutan mengabsorpsi CO2selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi

organik dalam biomassa tanaman, sehingga hutan hanya mampu menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tataguna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003). Hal ini berarti bahwa jasa hutan dalam menyimpan karbon dinilai hanya pada saat tanaman kehutanan tumbuh dan berkembang (sebelum masak tebang).

Menyadari keadaan diatas, jasa hutan terhadap lingkungan khususnya se-bagai penyimpan karbon, erat kaitannya dengan tegakan sisa pada suatu daur yang secara tidak langsung akan mempengaruhi keputusan petani dalam me-nentukan daur tanaman kehutanan. Bagaimana daur optimal hutan tanaman ditentukan jika jasa penyimpanan karbon mempunyai harga.

Secara teori, dalam kaitannya dengan penentuan daur optimal, diperke-nalkan suatu Model Faustmann untuk menduga hubungan antara biaya pemba-ngunan hutan dan harga kayu dengan daur optimal. Adanya pembayaran ter-hadap jasa hutan dalam kemampuannya menyimpan karbon dapat dipandang sebagai meningkatnya harga kayu. Untuk menguji apakah Model Faustmann ini berlaku di tingkat petani hutan, dalam penelitian ini akan dilakukan survey terhadap petani hutan rakyat bagaimana mereka menentukan daur optimal.

3.2

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan Kabu-paten Sukabumi. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dalam bulan Mei 2006.

(28)

3.3

Alat dan Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah para petani yang memiliki hutan rakyat di daerah Sukabumi. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya kuisioner, alat tulis, kalkulator, kamera, dan komputer.

3.4

Jenis Data

3.4.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang langsung diperoleh dari petani hutan rakyat, adapun jenis data yang diperlukan adalah:

1. Data umum karakteristik rumah tangga • nama

• umur

• pendidikan formal

• jumlah anggota keluarga • mata pencaharian utama 2. Pendapatan rumah tangga

• Pendapatan dari sektor kehutanan 3. Data Sosial ekonomi rumah tangga

• Luas pemilikan hutan rakyat 4. Data usaha tani

• jenis tanaman • komposisi jenis • jarak tanam • waktu pemanenan • tahun tanam • profil pola tanam

(29)

13 • Kerusakan akibat penjarahan

• Kerusakan yang diakibatkan oleh hama • Kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit

6. Daur yang akan ditentukan bila harga kayu terus naik: • memilih untuk memperpanjang daur

• memilih daur yang tetap

• memilih untuk memperpendek daur

7. Daur yang akan dipilih bila biaya pembangunan hutan semakin naik: • memilih untuk memperpanjang daur

• memilih daur yang tetap

• memilih untuk memperpendek daur 8. Biaya yang dikeluarkan untuk usaha tani

9. Motivasi/alasan petani atas ketertarikan/ketidaktertarikan untuk menge-lola hutan rakyat.

3.4.2 Data Penunjang

Data penunjang merupakan data yang diperlukan untuk mendukung kegi-atan penelitian yang diperoleh dari instansi yang terkait seperti kantor desa dan Dinas Kabupaten Sukabumi. Pada umumnya data sekunder ini berupa:

1. Keadaan umum lokasi penelitian (Keadaan fisik lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat serta sarana prasarana).

2. Keadaan penduduk (jumlah, umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan pendidikan).

(30)

3.5

Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data primer dalam memilih res-ponden dilakukan dengan metode sampling secara random (acak). Ke-mudian dilakukan teknik observasi, yaitu data dikumpulkan dengan me-lakukan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, dan teknik wawancara yaitu data dikumpulkan dengan melakukan tanya jawab se-cara langsung terhadap petani responden dengan menggunakan daftar kuisioner.

2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif dan kuan-titatif. Data akan disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi untuk menda-patkan informasi yang diinginkan. Analisis data dilakukan secara deskrip-tif berdasarkan tabulasi kemudian dianalisis.

3.6

Hipotesa

Hipotesa pada penelitian ini didapat dari turunan Model Faustmann, mo-del ini mampu memaksimumkanNet Present Value (NPV) dengan menentukan daur. Dimana daur ini dilambangkan dengan (t), harga jual (p) , dan biaya pembangunan hutan (c), sehingga didapat hipotesa yang hendak dibuktikan dalam penelitian ini antara lain :

1. Apabila harga kayu lebih tinggi, maka petani hutan rakyat akan meng-ambil keputusan untuk memperpendek daur tanaman kehutanan

(31)

4

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1

Keadaan Fisik Wilayah

Desa Cidadap yang menjadi lokasi penelitian merupakan salah satu de-sa yang terletak di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Desa ini terletak 2 km dari ibu kota Kecamatan Simpenan, 6 km dari ibu kota Kabupaten Sukabuni (Palabuhanratu) dan 146 km dari ibu kota propin-si (Bandung). Batas wilayah Desa Simpenan di sebelah utara adalah Desa Cimandiri, sebelah timur dibatasi Desa Cibuntu, sebelah selatan dengan Desa Loji dan sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Lu-as keseluruhan Desa Simpenan adalah 1.547,665 ha, terletak pada ketinggian 20-100 m dari permukaan laut.

Topografi wilayah Desa Cidadap 50% datar, 20% bergelombang dan 30% bergunung. Kurang lebih 619,066 ha berupa dataran dan 928,599 ha berupa perbukitan/ pegunungan, dengan jenis tanah latosol. Berdasarkan penggolon-gan tipe musim menurut Oldeman, Desa Simpenan termasuk ke dalam tipe C3 dengan 6 bulan kering dan 6 bulan basah, dengan curah hujan ratarata per-tahun 15002000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata adalah 37 hari, dengan suhu rata-rata 20 - 250

C/ hari.

Kesuburan tanah di Desa Cidadap terdiri dari empat tipe, yakni kesubur-an tkesubur-anah ykesubur-ang skesubur-angat subur seluas 297,80 ha, subur 446,70 ha, sedkesubur-ang 295,60 ha, dan tidak subur/kritis seluas 507,565 ha. Untuk kedalaman solum tanah di Desa Cidadap, lebih dari 200 cm seluas 290,80 ha, antara 100-200 cm 453,70 ha, antara 50-99 cm 295,60 ha, dan kedalaman solum kurang dari 50 cm seluas 507,565 ha.

Untuk tingkat erosi di Desa Cidadap terdiri dari 4 kategori, yaitu tidak ada erosi, erosi ringan, erosi sedang, dan erosi berat. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: tidak ada erosi 200 ha, erosi ringan 545 ha, erosi sedang 295,6 ha dan erosi berat seluas 5980,065 ha.

Tata guna lahan di Desa Cidadap didominasi oleh tanah ladang/tegalan, dan sisanya terdiri dari pertanian (sawah) setengah teknis seluas 115 ha, per-tanian tadah hujan 130 ha, perkebunan rakyat seluas 81 ha, hutan rakyat seluas 500 ha, serta adanya hutan milik negara.

(32)

4.2

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

[image:32.612.132.471.328.593.2]

Jumlah penduduk Desa Cidadap berdasarkan Monografi Wilayah Ker-ja Penyuluhan Dinas Kehutanan Sukabumi Tahun 2006, adalalah sebanyak 14.357 orang, mencakup 3.329 kepala keluarga, terdiri dari 7.373 (51.37%) laki-laki dan 6.981 (48.63%) perempuan. Untuk jumlah penduduk berdasarkan usia dikelompokkan menjadi empat kelompok terdiri dari kelompok pendidikan, kelompok angkatan kerja produktif, kelompok angkatan kerja kurang produk-tif, dan kelompok angkatan kerja tidak produktif. Dengan rincian ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Kelompok penduduk Desa Cidadap berdasarkan usia

No Kelompok Kisaran Usia L P Jumlah

1 Pendidikan 0 - 4 673 671 1345

5 -9 774 727 1501

10 - 14 691 674 1368 15 - 19 708 681 1389 20 - 24 680 680 1360 2 Angkatan Kerja 20 - 24 680 680 1360

Produktif 25 - 29 710 705 1415

30 - 34 480 474 954 35 - 35 442 420 862 40 - 44 700 529 1229 3 Angkatan Kerja 45 - 49 353 370 723 Kurang Produktif 50 - 54 285 276 561 55 - 59 217 204 421 60 - 64 260 351 611 4 Angkatan Kerja 60 - 64 260 351 611 Tidak Produktif 65 - 69 392 337 729 70 ke atas 300 200 500

(33)

17

4.3

Sarana dan Prasarana

(34)

5.1

Deskripsi Kondisi Hutan Rakyat Desa Cidadap

5.1.1 Aspek Sosial

Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 50 orang responden pe-tani hutan rakyat di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan, Kabupaten Suka-bumi, kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Desa Cidadap pada umumnya di-lakukan oleh petani berusia 40-60 tahun (58%), dimana usia ini merupakan kelompok kerja kurang produktif (Monografi Wilayah Kerja Penyuluhan Ke-hutanan Dinas KeKe-hutanan Sukabumi, 2006). Sementara itu, kelompok kerja yang tergolong produktif dengan usia 20-40 tahun yang mengelola hutan rakyat hanya sekitar 14%. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini kepedulian generasi muda untuk mengelola dan melestarikan hutan semakin berkurang. Mereka lebih memilih mencari pekerjaan ke kota yang menurut mereka lebih mengun-tungkan, seperti menjadi buruh pabrik, teknisi atau montir, tukang ojek, dan lain sebagainya. Keterbatasan tenaga kerja yang tidak memadai menyebabkan sebagian besar hutan rakyat di Desa Cidadap dibiarkan tumbuh sendiri tanpa pemeliharaan yang intensif.

Pada umumnya, tingkat pendidikan petani hutan rakyat masih tergolong rendah. Dari lima puluh responden yang diwawancara, 39 responden (78%) merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR) dan sisanya (22%) merupakan lulusan SLTP dan SLTA. Meskipun tingkat pendidikan formal petani hutan rakyat di Desa Cidadap masih rendah, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa mereka telah memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam membangun hutan. Kemampuan mereka itu muncul dari pengalaman sehari-hari mereka dalam mengelola hutan, ajaran nenek moyang, dan penyuluhan yang diberikan oleh PKL dari Dinas Kehutanan setempat.

Berdasarkan hasil wawancara, pemikiran petani hutan rakyat di desa Ci-dadap dalam mengelola hutan tidak hanya berorientasi pada keuntungan sema-ta, namun sebagian besar dari mereka dalam mengelola hutan rakyat bertujuan untuk tetap melestarikan fungsi hutan, antara lain sebagai penahan longsor, pencegah banjir, sumber mata air, dan lain-lain.

Pemilikan luas hutan rakyat berkisar antara 0.1-4.0 ha dengan status milik sendiri sebagai status kepemilikan lahan tertinggi. Responden yang memiliki

(35)

19 lahan kurang dari 2 ha sebanyak 32 orang (64%), responden yang memiliki luas lahan hutan antara 2-4 ha sebanyak 14 orang (28%), dan responden yang memiliki luas lahan hutan lebih dari 4 ha sebanyak 4 orang (8%).

Terdapat dua bentuk pengusahaan hutan rakyat di Desa Cidadap, yakni hutan rakyat murni dan hutan rakyat dengan sistemAgroforestry tumpangsari. Persentase pengusahaan hutan rakyat murni dan hutan rakyat dengan sistem Agroforestry seimbang, yakni masing-masing 50%. Pengusahaan hutan rakyat murni dilakukan petani terhadap lahan-lahan yang dipandang kurang subur dan sebelumnya merupakan lahan kosong, serta merupakan lahan yang sulit untuk dijangkau. Sedangkan pada lahan yang lebih subur dilakukan pengusahaan hu-tan rakyat dengan sistem Agroforestry. Tanaman yang biasa ditanam dalam sistemAgroforestry adalah tanaman jagung, singkong, ubi, kacang tanah, kede-lai, dan pisang. Tanaman pertanian tersebut dipilih karena mudah tumbuh serta tidak terlalu banyak menuntut perawatan, dan mudah dalam pemasaran-nya. Pada umumnya, alasan petani dalam menerapkan sistem tumpangsari adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, dengan menjual atau mengkonsumsi sendiri hasil dari tanaman pertanian mereka.

Jumlah tanggungan keluarga pada umumnya berkisar 1-6 orang (82%), dan sisanya lebih dari 6 orang (18%). Jumlah tanggungan keluarga akan mem-pengaruhi keputusan petani hutan rakyat dalam pemilihan usaha untuk me-menuhi kebutuhan ekonomi, baik dalam hal pengusahaan hutan rakyat dalam hal ini memilih pengusahaan hutan rakyat murni atau hutan rakyat dengan menggunakan sistem Agroforestry, ataupun pengambilan keputusan dalam me-nentukan daur.

Pendapatan dari sektor kehutanan bervariasi bagi setiap petani hutan rak-yat. Mulai dari pendapatan kurang dari lima juta sampai ada yang lebih dari 20 juta. Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan kayu yang dilakukan oleh para petani kepada tengkulak kayu. Biasanya, pendapatan dari hasil penjualan kayu sudah dikurangi biaya pemanenan oleh tengkulak kayu. Semakin sulit ke-beradaan hutan untuk dijangkau, maka semakin tinggi pula biaya pemanenan yang dikeluarkan.

(36)

melakukan tanya jawab secara langsung terhadap responden (petani) dengan menggunakan daftar kuisioner.

5.1.2 Aspek Fisik

5.1.2.1 Sistem Silvikultur.

[image:36.612.125.483.333.561.2]

Dalam pengelolaan hutan rakyat di Desa Cidadap ini sebenarnya tidak dikenal sistem silvikultur tertentu, mereka mengelola hutannya secara seder-hana. Namun dengan melihat kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan hutan yang mereka lakukan, sistem silvikultur pengelolaan hutan rakyat di Desa ini dapat dikategorikan ke dalam sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (TPPA) (Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Tunas digunakan petani hutan rakyat di Cidadap sebagai sistem permudaan alam.

(37)

21

5.1.2.2 Teknik Silvikultur.

[image:37.612.130.484.306.535.2]

Beberapa teknik silvikultur yang dilakukan petani dalam mengelola hu-tan miliknya dimulai dengan pengadaan benih, pembuahu-tan persemaian (Gam-bar 5.2), penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Pengadaan benih dilak-sanakan pada masa awal penanaman hutan rakyat. Benih tanaman tersebut berupa biji maupun semai tanaman. Para petani di Desa Cidadap memilih jenis jati dan sengon untuk menanami lahannya, karena jenis ini mudah per-awatannya dan merupakan kayu yang menjadi primadona masyarakat (laku di pasar dengan harga tinggi).

Gambar 5.2 Persemaian yang dimiliki salah satu petani hutan rakyat yang berada di Desa Cidadap.

(38)
[image:38.612.133.464.343.673.2]

Kegiatan yang dilakukan sebelum kegiatan penanaman dimulai adalah kegiatan persiapan lahan, baru kemudian dilakukan penanaman. Jarak tanam pada saat penanaman bervariasi bagi setiap petani hutan rakyat di Desa Ci-dadap, mulai dari 2m x 2m sampai 6m x 6m (Gambar 5.3). Hal ini tidak sesuai dengan jarak tanam yang disarankan oleh para Penyuluh Kehutanan La-pangan (PKL) dari dinas kehutanan setempat yakni 5m x 5m. Hal ini terjadi karena kondisi lahan yang berbatu sehingga tidak memungkinkan untuk dip-ilih jarak tanam 5m x 5m. Selain itu, terdapat perbedaan kepentingan antar petani hutan rakyat dalam pengusahaan hutan mereka. Ada yang lebih bero-rientasi pada tanaman pertanian, sehingga komposisi tanaman pertanian lebih dominan dibanding tanaman kehutanan; sementara itu kelompok petani yang lain lebih berorientasi pada tanaman kehutanan, sehingga menyebabkan jarak tanam tanaman kehutanan lebih rapat.

Gambar 5.3 Salah satu bentuk hutan rakyat sistem hutan jati murni dengan jarak tanam 3mx3m.

(39)

di-23 lakukan dalam waktu yang tidak tentu atau jika membutuhkan hijauan untuk pakan ternak, biasanya disebut mendangir. Kegiatan penyulaman hanya di-lakukan pada awal-awal penanaman dengan tujuan mengganti tanaman yang mati dengan tanaman baru. Kegiatan pemeliharaan yang lain seperti pemupuk-an dpemupuk-an pempemupuk-angkaspemupuk-an tidak dilakukpemupuk-an oleh para petpemupuk-ani. Bagi para petpemupuk-ani ypemupuk-ang mengusahakan hutannnya berupa hutan murni1

, mereka membiarkan tegakan tumbuh secara alami. Namun, lain halnya dengan petani yang mengusahakan hutannya dengan menggunakan sistem Agroforestry, mereka lebih merawat hu-tan mereka, selain untuk memelihara hu-tanaman kehuhu-tanan yang mereka hu-tanam, mereka juga memelihara serta merawat tanaman pertanian dengan tujuan agar tanaman pertanian mereka lebih produktif.

Kegiatan pemanenan atau penebangan yang dilakukan oleh para petani hutan rakyat dikenal dengan sistem tebang butuh. Artinya, dari tegakan yang dimiliki oleh petani, mereka memilih beberapa tegakan yang apabila dijual akan memenuhi kebutuhan yang mendesak dan jumlahnya cukup besar. Kegiatan pe-manenan atau penebangan, pada umumnya, dikerjakan oleh tengkulak karena sebagian besar petani menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri. Dalam hal ini, tengkulak mendatangi pemilik hutan rakyat untuk membicarakan ke-sepakatan mengenai harga jual kayu tersebut. Setelah terdapat keke-sepakatan harga antara kedua belah pihak,kemudian tengkulak tersebut melakukan pene-bangan dan pengangkutan. Ongkos penepene-bangan dan pengangkutan ditanggung oleh tengkulak, sehingga petani mendapat keuntungan bersih. Cara ini lebih disukai oleh petani karena dianggap lebih praktis dan tidak perlu mengeluarkan biaya apapun. Tetapi ada sebagian dari petani yang melakukan penebang-an dpenebang-an pengpenebang-angkutpenebang-an sendiri karena lokasi ypenebang-ang terlalu jauh, sehingga harga yang ditawarkan tengkulak terlalu rendah dan tidak sesuai dengan ukuran po-hon yang akan ditebang. Konsekuensinya, semua biaya pemanenan ditanggung sendiri oleh petani, termasuk ongkos transportasi.

5.2

Penentuan Daur Tanaman Kehutanan

Petani hutan rakyat di Desa Cidadap Kecamatan Simpenan Kabupaten Sukabumi dalam mengelola hutan belum dapat dikatakan memiliki serta me-nerapkan usaha dan prinsip kelestarian yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh

1Maksud hutan murni disini adalah tegakan hutan tanpa tanaman semusim. Tanaman

(40)

sedikitnya pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang tidak menentu. Sam-pai saat ini pohon-pohon yang dimilikinya tidak diposisikan sebagai salah satu sumber pendapatan andalan. Pohon-pohon tersebut bagi pemiliknya lebih dili-hat sebagai “tabungan” yang pada saat diperlukan dapat ditebang dan dijual. Atas dasar kebiasaan petani hutan rakyat tersebut, maka dikenal istilah “daur butuh”, yang artinya keputusan menebang pohon ditentukan oleh kebutuhan yang dihadapinya. Misalnya, tahun ajaran baru untuk membeli peralatan anak sekolah, tambahan biaya hajatan dan lain sebagainya (Suharjito, 2000). De-ngan kebiasaan petani hutan rakyat seperti itu, maka pendapatan petani dari pohon-pohon yang dimilikinya hanya merupakan bagian kecil dari total penda-patan rumah tangga per tahun. Beberapa penelitian (LP IPB, 1990; Yogi, 1988; Arist, 1992 dalam Suharjito, 2000) menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan dari hutan rakyat kurang dari 10% terhadap total pendapatan.

Hutan rakyat monokultur (hutan murni) biasanya diusahakan secara lebih intensif, sehingga perhitungan biaya dan manfaat telah dilakukan sebelumnya. Usaha ini memberikan hasil kayu per hektar lebih tinggi. Meskipun pendapatan dari hutan rakyat monokultur dapat diharapkan, tetapi karena luasan hutan rakyat saat ini hanya berkisar 1 sampai 2 hektar per petani hutan rakyat, maka usaha ini belum dapat mencapai skala ekonomi.

Saat ini, fungsi hutan tidak hanya dilihat dari kemampuannya dalam menghasilkan kayu (fungsi ekonomi), namun juga dari segi kelestarian ling-kungan (fungsi ekologi), seperti mencegah terjadinya erosi, banjir, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, mempertahankan sumber mata air, serta menyerap gas karbon dioksida (salah satu gas rumah kaca yang dapat nyebabkan pemanasan global). Kemampuan hutan dalam menyerap dan me-nyimpan karbon (Carbon Storage) seperti yang dikemukakan oleh Nilsson (1996) dalam Gardner dan Engelman (1999) telah diakui oleh dunia. Hal ini terbuk-ti dengan dihasilkannya Konvensi Perubahan Iklim (United Naterbuk-tion Framework Convention on Climate Change , UNFCCC) dalam UNCED (1992) di Rio de Janeiro (Brazilia). Selanjutnya konvensi tersebut diatur lebih rinci dalam Ky-oto PrKy-otocol mengenai perubahan iklim yang diadakan di Kyoto pada bulan Desember 1998 (Murdyarso, 1999).

(41)

25 itu, dalam Kyoto Protocol dinyatakan pula bahwa negara-negara tertentu, pa-da umumnya negara-negara industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (Green House Gases) yang dikontrol oleh Kyoto Protocol, sepert CO2, CH4,

N2O, HFCs, PFCs, dan SF6 yang berasal dari minyak dan gas (batu bara,

ten-ga listrik, industri, kehutanan, pertanian, transportasi) ke udara melebihi baku mutu yang dibenarkan, maka ia harus memberikan kompensasi atas kelebihan emisinya itu. Sedangkan negara-negara yang mampu menyerap kelebihan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh negara- negara penghasil emisi gas rumah kaca yang melebihi baku mutunya itu berhak untuk mendapatkan imbalan atas jasanya itu. Dalam ekosistem hutan global, penyerapan kelebihan emisi gas rumah kaca ini oleh tumbuhan hutan hanya dapat terjadi bilamana ada per-tumbuhan pohon pada hutan baru atau hutan yang masih muda. Sebagian besar gas yang diemisikan tersebut mengandung unsur karbon (C). Total kelebihan emisi karbon inilah yang diperdagangkan yang kemudian dikenal dengan isti-lah Perdagangan Karbon (Carbon Trading). Jadi, yang diperjualbelikan dalam perdagangan karbon sebenarnya adalah jasa hutan atau tumbuhan lain dalam menyerap dan menyimpan kelebihan emisi karbon di dunia terhadap emisi yang dibolehkan (Suhendang, 2002).

Indonesia yang masih tergolong negara berkembang, berdasarkan data pada tahun 2000 (Badan Planologi Kehutanan, 2000 dalam Suhendang, 2002) memiliki luas daratan 1.3% dari luas daratan dunia dan luas total hutan 120,4 juta hektar atau 3.1% dari luas hutan dunia dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, memiliki peranan yang sangat besar dalam mengen-dalikan iklim dunia melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Apabila dipergunakan angka kandungan karbon pada hutan menurut Houghton (1993) dalam Suhendang (2002), yaitu untuk hutan basah 250 ton/ha, maka besarnya karbon yang disimpan oleh hutan di Indonesia sekitar 0.5 x 120.4 juta hektar x 250 ton/hektar = 15.050 juta ton karbon atau sekitar 15.05 milyar ton kar-bon, atau 4.6% dari besarnya karbon yang disimpan pada bagian pohon dan tumbuhan hutan lainnya di seluruh dunia, yaitu 330 milyar ton (Gardner dan Engelman, 1999 dalam Suhendang, 2002). Perhitungan ini berdasarkan kepa-da asumsi yang bersifat pesimistis, yaitu dengan menganggap besarnya volume tegakan persediaan (standing stock) dari seluruh hutan di Indonesia sebesar setengah dari total volume tegakan dalam keadaan hutan primer. Padahal, volume tegakan yang sebenarnya diduga lebih besar dari nilai ini.

(42)

pen-ting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, karena selain berperan sebagai penghasil kayu, hutan rakyat juga mampu menyerap dan menyimpan karbon yang saat ini akan diberikan imbalan atas jasanya itu seperti yang telah diatur dalamKyoto Protocol. Untuk mengoptimalkan kemampuan hutan rakyat dalam menyerap dan menyimpan karbon diperlukan suatu metode pelestarian hutan yang sesuai. Selain untuk mengoptimalkan kemampuan hutan rakyat dalam menyerap dan menyimpan karbon, diharapkan metode tersebut akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat yang berperan sebagai penge-lola serta pemilik hutan rakyat tersebut. Karena dengan adanya pembayaran jasa hutan terhadap lingkungan, dalam hal ini kemampuan hutan dalam meny-erap dan menyimpan karbon, maka pembayaran terhadap jasa petani hutan akan semakin tinggi. Sampai batas tertentu, dampak pembayaran jasa penye-rapan dan penyimpanan karbon mirip dengan dampak kenaikan harga kayu. Kenaikan tersebut akan sangat mempengaruhi keputusan petani hutan rakyat dalam mementukan daur.

Setiap daur, baik daur yang mempunyai waktu panjang ataupun daur yang mempunyai waktu pendek, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan daur yang panjang akan menghasilkan kayu dengan kua-litas tinggi sehingga harga jualnya juga akan tinggi. Tetapi daur yang panjang memerlukan perencanaan pengelolaan hutan yang lebih cermat dan teliti, kare-na permasalahan yang akan dihadapi lebih kompleks jika dibandingkan dengan daur yang pendek. Penggunaan daur panjang juga rentan terhadap gangguan seperti pencurian kayu, serangan hama penyakit, kebakaran hutan, dan lain-lain yang tentunya dapat mengurangi jumlah produksi kayu.

Daur pendek dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang relatif lebih besar bagi masyarakat desa sekitar hutan, karena besarnya volume kegiatan yang ada. Tetapi daur pendek akan menghasilkan kayu dengan kualitas lebih rendah, karena pohon ditebang ketika masih muda. Rendahnya kualitas kayu yang dihasilkan akan berdampak pada rendahnya harga kayu yang diterima oleh petani hutan rakyat.

(43)

27 didapat hubungan antara harga kayu dan biaya pembangunan hutan dengan daur optimal. Dengan menggunakan Model Faustmann, maka diperoleh hu-bungan antara harga kayu dengan daur optimal yang berbanding terbalik, se-dangkan hubungan antara biaya pembangunan hutan dengan daur optimal yang berbanding lurus.

Dengan adanya pembayaran jasa hutan terhadap lingkungan, dalam hal ini kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon, maka pemba-yaran terhadap jasa petani hutan akan semakin tinggi. Keadaan ini mirip de-ngan meningkatnya harga kayu. Agar petani hutan rakyat mendapatkan hasil yang maksimal dalam merespon kenaikan harga kayu, maka petani harus memi-lih untuk memperpendek daur tanaman kehutanan mereka. Sedangkan apabila biaya pembangunan hutan naik, maka petani harus memilih untuk memper-panjang daur tanaman kehutanan mereka. Namun, akibat dari keterbatasan pengetahuan dan informasi, banyak petani hutan rakyat yang tidak menerap-kan sistem ini dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, khususnya dalam me-nentukan daur optimal.

Pada umumnya, petani hutan rakyat hanya akan menebang pada saat mereka membutuhkan uang dalam jumlah banyak, tanpa memperhatikan fak-tor kelestarian dan keoptimalan hasil. Penelitian ini akan membahas mengenai rasionalitas petani hutan rakyat dalam penentuan daur optimal. Apakah ting-kat pendidikan, umur, luasan hutan rakyat yang digarap, pola tanam, besarnya pendapatan petani dari hutan rakyat, akan mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan daur optimal.

5.2.1 Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi petani dalam mengambil setiap keputusan pada kegiatannya dalam mengelola hutan rakyat, khususnya dalam penentuan daur. Pada umumnya, semakin tinggi ting-kat pendidikan, maka keputusan petani dalam kegiatan pengelolaan hutan akan semakin mendekati kepada prinsip pengelolaan hutan Model Faustmann. Kare-na semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pola pikir seseorang akan lebih berkembang. Tabel 5.1 dan 5.2 berikut menampilkan sejauh mana penga-ruh tingkat pendidikan petani hutan rakyat dalam menentukan daur tanaman kehutanan.

(44)
[image:44.612.115.511.140.216.2]

Tabel 5.1 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap penentuan daur opti-mal jika harga kayu naik

Tingkat Diperpanjang Tetap Diperpendek

Pendidikan Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

SD/SR 0 0 15 38.5 24 61.5 39

SLTP&SLTA 0 0 5 45.5 6 54.5 11

Jumlah 0 0 20 40 30 60 50

Tabel 5.2 Pengaruh tingkat pendidikan terhadap penentuan daur opti-mal jika biaya pembangunan hutan naik

Tingkat Diperpanjang Tetap Diperpendek

Pendidikan Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

SD/SR 16 41.0 23 58.9 0 0 39

SLTP&SLTA 4 36.4 7 63.7 0 0 11

Jumlah 20 40 30 60 0 0 50

di pasaran naik. Sama halnya dengan petani hutan rakyat yang tingkat pen-didikannya merupakan lulusan SLTP dan SLTA, sebagian besar dari petani memilih untuk memperpendek daur bila harga kayu meningkat. Namun, jika dilihat dari angka persentasenya, petani yang memilih untuk memperpendek daur justru lebih besar berasal dari tingkat pendidikan lulusan SD/SR diban-dingkan petani yang tingkat pendidikannya merupakan lulusan SLTP atau SL-TA. Padahal, jika dilihat dari tingkat pendidikan, seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan, maka keputusan petani dalam kegiatan pengelolaan hutan akan semakin mendekati kepada prinsip Model Faustmann. Namun, hal ini ke-mungkinan besar terjadi karena setiap petani memiliki perbedaan pengalaman dalam setiap mengelola hutan rakyat, serta keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan kehutanan yang dilaksanakan oleh dinas kehutanan setempat. Ada petani yang rajin mengikuti penyuluhan kehutanan yang memberikan infor-masi mengenai kegiatan pengelolaan hutan yang baik, sehingga pengetahuan merekapun lebih berkembang dibandingkan dengan petani yang jarang meng-ikuti peyuluhan kehutanan. Namun, secara umum petani hutan rakyat sudah mengetahui cara mengelola hutan yang baik. Ini diperlihatkan oleh tidak adanya petani yang memilih untuk memperpanjang daur bila harga kayu naik.

[image:44.612.111.507.266.343.2]
(45)

penentu-29 an daur yang sesuai dengan Model Faustmann lebih banyak yang berasal dari lulusan SD/SR.

Dengan melihat kenyataan di atas, semakin tinggi tingkat pendidikan pe-tani hutan rakyat tidak menjamin semakin berkembangnya pola pikir mereka. Masih banyak faktor lain yang akan mempengaruhi petani untuk mengambil keputusan dalam menentukan daur tanaman kehutanan mereka. Bahkan pen-didikan non formal akan lebih memberikan masukan bagi petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat, misalnya pengalaman mereka atau penyuluhan dari Dinas Kehutanan setempat.

5.2.2 Umur

Saat ini pengusahaan hutan rakyat di Desa Cidadap lebih dari 75% dikelo-la oleh petani yang berusia di atas 40 tahun. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar dari petani hutan rakyat menyatakan bahwa putra atau putri mereka tidak bersedia meneruskan untuk mengelola hutan rakyat yang mereka miliki. Mereka lebih memilih untuk mencari penghasilan ke kota, baik seba-gai buruh pabrik, pedagang, tukang ojek, montir, atau kegiatan lainnya, atau bahkan menjual lahan hutan yang mereka miliki untuk dijadikan modal usa-ha. Hal ini mencerminkan bahwa ketertarikan generasi muda terhadap usaha hutan rakyat semakin berkurang. Dalam hal ini faktor budaya sangat mem-pengaruhi terhadap keputusan masyarakat untuk mengelola hutan atau tidak. Biasanya masyarakat berfikir bahwa keuntungan yang akan didapat dari me-ngelola hutan membutuhkan jangka waktu yang cukup lama dan pemeliharaan yang cukup intensif. Budaya metropolitan yang saat ini banyak menghingggapi generasi muda juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kesadaran untuk tetap melestarikan keberadaan hutan.

Dalam pengambilan keputusan memperpanjang atau memperpendek daur bila harga kayu naik atau biaya pembangunan hutan naik, umur petani hutan rakyat akan sangat mempengaruhi, karena umur akan menunjukkan sedikit ba-nyaknya pengalaman yang telah mereka alami. Disamping itu, umur juga akan mempengaruhi tingkat kemampuan petani dalam menangkap segala informasi yang mereka terima. Tabel 5.3 menyajikan sejauh mana pengaruh tingkat umur petani hutan rakyat dalam mengambil keputusan penentuan daur optimal ta-naman kehutanan yang mereka kelola.

(46)
[image:46.612.128.495.141.245.2]

Tabel 5.3 Pengaruh umur petani terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik

Umur Diperpanjang Tetap Diperpendek

(th) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

31-40 0 0 1 14.3 6 85.7 7

41-50 0 0 7 43.8 9 56.2 16

51-60 0 0 6 46.1 7 53.8 13

61-70 0 0 6 42.9 8 57.1 14

Jumlah 0 0 20 40 30 60 50

yakni 30-40 tahun, hampir seluruhnya memilih untuk memperpendek daur jika harga kayu tinggi. Lain halnya dengan petani yang usia diatas 40 tahun, di-mana hanya setengah dari mereka yang memilih untuk memperpendek daur bila harga kayu naik. Dengan demikian, pengusahaan hutan rakyat akan lebih baik dikelola oleh usia produktif. Hal ini disebabkan pada usia produktif, informasi yang didapat akan lebih mudah diterima dan diterapkan.

Sama halnya dengan penentuan daur bila harga kayu naik, penentuan daur bila biaya pembangunan hutan naik yang dilakukan oleh petani hutan rakyat yang sesuai dengan Model Faustmann berasal dari petani yang berusia sekitar 31-40 tahun. Sekitar 71.4% dari usia produktif ini memilih untuk mem-perpanjang daur bila biaya pembangunan hutan naik (Tabel 5.4). Ini semakin memperjelas bahwa untuk mencapai hasil hutan yang optimal, dalam pengelo-laanya membutuhkan tenaga kerja yang produktif dengan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi.

Tabel 5.4 Pengaruh umur petani terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik

Umur Diperpanjang Tetap Diperpendek

(th) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

31-40 5 71.4 12 28.6 0 0 7

41-50 5 31.3 11 68.8 0 0 16

51-60 3 20 12 80 0 0 15

61-70 7 58.3 5 41.2 0 0 12

Jumlah 20 40 30 60 0 0 50

5.2.3 Luasan Hutan Rakyat yang Digarap

[image:46.612.128.498.567.673.2]
(47)
[image:47.612.121.506.183.302.2]

31 hutan yang dimiliki terhadap keputusan penentuan daur disajikan pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Pengaruh luasan hutan terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik

Luas Hutan Diperpanjang Tetap Diperpendek

(ha) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

0.1-1.0 0 0 7 35 13 65 20

1.1-2.0 0 0 6 50 6 50 12

2.1-3.0 0 0 4 44.4 5 55.6 9

3.1-4.0 0 0 3 50 3 50 6

>4 0 0 0 0 3 100 3

Jumlah 0 0 20 40 30 60 50

Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 50% dari petani yang memiliki luas hutan rakyat kurang dari 4 ha memilih untuk memperpendek daur jika harga kayu naik, dan sisanya memilih tetap mempertahankan daur yang telah ia pu-tuskan sebelumnya, lain halnya dengan petani yang memliliki luas hutan rakyat lebih dari 4 ha, mereka semua memilih untuk memperpendek daur bila harga kayu di pasaran naik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas hutan rakyat yang dimiliki responden, maka mereka semakin mampu untuk mengelola hutan dengan baik. Pola pikir mereka sudah terbentuk untuk mendapatkan keun-tungan sebesar-besarnya, mereka sangat berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan dalam kegiatan pengelolaan hutan, karena apabila mereka salah da-lam mengambil keputusan maka kerugian yang akan mereka tanggung cukup besar, begitu pula halnya apabila mereka benar dalam mengambil keputusan, maka keuntungan yang akan mereka terima sangat besar.

Tabel 5.6 Pengaruh luasan hutan terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik

Luas Hutan Diperpanjang Tetap Diperpendek

(ha) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

0.1-1.0 7 36.9 12 63.1 0 0 19

1.1-2.0 5 38.5 8 61.5 0 0 13

2.1-3.0 4 44.4 5 56.6 0 0 9

3.1-4.0 2 40 3 60 0 0 5

>4 2 50 2 50 0 0 4

Jumlah 20 40 30 60 0 0 50

[image:47.612.117.506.599.720.2]
(48)

reka tetapkan sebelumnya, apabila biaya pembangunan hutan naik. Alasan me-reka untuk tetap mempertahankan daur ialah apabila meme-reka memperpanjang daur, maka panen selanjutnya membutuhkan waktu yang lebih lama, mereka lebih memilih untuk tetap menebang kemudian menanam kembali, sehingga waktu panen selanjutnya akan lebih cepat dibandingkan dengan memperpan-jang daur. Sedangkan untuk menutupi biaya pembangunan hutan yang lebih tinggi, mereka menggunakan sebagian dari hasil penjualan kayu, meskipun de-ngan demikian keuntude-ngan mereka akan berkurang, mereka merasa itulah cara penyelesaian yang terbaik.

Namun, jika dilihat dari nilai persentase, petani hutan rakyat yang memili-ki luas hutan lebih dari 4 ha lebih banyak yang memilih untuk memperpanjang daur bila biaya pembangunan hutan naik, dibandingkan dengan petani yang memiliki luas hutan kurang dari 4 ha. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa semakin luas kepemilikan hutan rakyat, maka semakin baik manajemen dan pengelolaan hutan rakyat.

5.2.4 Pola Tanam

Terdapat dua bentuk pengusahaan hutan rakyat di Desa Cidadap, yakni hutan rakyat dengan sistem tumpang sari dan hutan murni. Maksud hutan murni disini ialah hutan yang hanya ditanami oleh jenis tanaman kehutanan, namun hutan disini tidak hanya ditanami oleh satu jenis tanaman kehutanan saja, ada beberapa petani hutan rakyat menanam beberapa jenis tanaman ke-hutanan dalam satu lahan hutan rakyat mereka, misalnya mereka menanam jati dan sengon dalam satu lahan hutan rakyat mereka. Kelebihan dari pengusa-haan hutan murni ialah pada saat panen, petani akan mendapatkan pendapat-an ypendapat-ang lebih besar dibpendapat-andingkpendapat-an dengpendapat-an pengusahapendapat-an hutpendapat-an dengpendapat-an sistem tumpangsari, karena tidak adanya jenis tanaman selain tanaman kehutanan, sehingga jarak tanam akan lebih rapat, dan jumlah pohon yang ditanam akan lebih banyak. Sedangkan kelemahan dari pengusahaan hutan murni ialah mu-dahnya terserang hama penyakit, pendapatan tidak dapat dinikmati setiap saat seperti pada pengusahaan hutan dengan sistem tumpangsari, karena pendapat-an hpendapat-anya diperoleh pada saat ppendapat-anen.

(49)
[image:49.612.125.498.257.332.2]

33 tahan yang kuat terhadap hama dan penyakit, dapat diperoleh keuntungan ganda melalui pemanenan bertahap, ketahanan ekonomi lebih tinggi karena je-nis tanaman yang beraneka ragam, tenaga kerja yang terserap lebih banyak dan berkesinambungan, dan pengelolaan lingkungan hidup yang sangat baik. Sedangkan kelemahannya yaitu dalam pelaksanaannya, pengelolaannya memer-lukan pengetahuan, keterampilan bahkan keahlian yang lebih tinggi.

Tabel 5.7 Pengaruh pola tanam terhadap penentuan daur optimal jika harga kayu naik

Pola Diperpanjang Tetap Diperpendek

Tanam Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

T. sari 0 0 11 45.8 13 51.2 24

H.Murni 0 0 9 34.6 17 65.4 26

Jumlah 0 0 20 40 30 60 50

Dalam pengambilan keputusan penentuan daur, lebih dari setengah petani hutan rakyat dengan pengusahaan hutan murni dan petani hutan rakyat dengan pegusahaan hutan sistem tumpangsari memilih untuk memperpendek daur bila harga kayu tinggi. Namun, bila dilihat dari nilai persentase, petani hutan rak-yat dengan pengusahaan hutan murni lebih besar (65.38%) dibandingkan nilai persentase petani hutan dengan pegusahaan hutan sistem tumpangsari (54.17%) (Tabel 5.7). Meskipun selisihnya tidak terlalu besar, namun dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat dengan pegusahaan hutan sistem tumpangsari ti-dak banyak yang memilih memperpendek daur, karena perekonomian mereka relatif tidak terlalu bergantung dari sektor kehutanan. Kehidupan sehari-hari mereka lebih bergantung dari hasil tanaman pertanian yang selama ini mereka pelihara. Biasanya, petani hutan rakyat dengan sistem tumpangsari memiliki jumlah pohon tidak telalu banyak, sehingga mereka beranggapan dengan mem-perpendek daur tanaman kehutanan tidak akan terlalu merubah pendapatan mereka dari sektor kehutanan.

Lain halnya dengan petani hutan rakyat dengan pengusahaan hutan murni, mereka akan lebih memilih untuk memperpendek daur bila harga kayu naik, karena semua lahan hutan mereka ditanami dengan jenis tanaman kehutanan. Dengan demikian, waktu yang mereka perlukan untuk melakukan panen dan menikmati hasil panen mereka akan lebih cepat.

(50)
[image:50.612.126.497.418.494.2]

5.8). Hal ini cukup beralasan karena setiap bulannya mereka sudah terbiasa mengeluarkan biaya untuk memelihara tanaman pertanian mereka dan untuk setiap bulannya juga mereka akan mendapatkan hasil dari tanaman pertanian yang selama ini mereka pelihara. Hasil dari tanaman pertanian mereka tidak selalu memuaskan, terkadang biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan jauh lebih besar dari pada hasil yang didapat. Lain halnya dengan petani hutan rak-yat dengan pengusahaan hutan murni, 64 % dari mereka lebih memilih untuk memperpanjang daur ketika biaya pembangunan hutan naik. Karena mere-ka tidak terbiasa mengeluarmere-kan biaya untuk pemeliharaan hutan yang intensif. Biasanya pemeliharaan yang intensif dilakukan pada awal-awal penanaman, se-lanjutnya dibiarkan begitu saja, umumnya hanya dilakukan pendangiran saja, itupun tidak dilakukan secara rutin. Mereka lebih memilih untuk memperpan-jang daur pada saat biaya pembangunan hutan naik, karena mereka tidak mau pendapatan dari hasil panen mereka berkurang hanya untuk menutupi biaya pembangunan hutan yang naik.

Tabel 5.8 Pengaruh pola tanam terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik

Pola Diperpanjang Tetap Diperpendek

Tanam Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

T. sari 4 16 21 84 0 0 25

H.Murni 16 64 9 34 0 0 25

Jumlah 20 40 30 60 0 0 50

5.2.5 Kisaran Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga

Pada umumnya beban anggota keluarga yang ditanggung oleh petani ialah sebanyak 0-6 orang. Jumlah tanggungan dalam keluarga mempengaruhi tingkat pengeluaran petani hutan rakyat. Pada Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 disajikan data yang menampilkan sejauhmana pengaruh jumlah tanggungan keluarga petani dalam menentukan daur tanaman kehutanan mereka.

(51)
[image:51.612.112.517.141.215.2]

35 Tabel 5.9 Pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penentuan

daur optimal jika harga kayu naik

P

Tanggungan Diperpanjang Tetap Diperpendek

(orang) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

0-6 0 0 18 49.9 23 56.1 41

7-12 0 0 2 22.2 7 77.8 9

Jumlah 0 0 20 40 30 60 50

dibandingkan dengan persentase dari petani yang memiliki tanggungan lebih dari 6 orang. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya motivasi petani untuk berfikir memanfaatkan situasi yang ada, karena mereka merasa mampu memenuhi kebutuhan keluarga dari penghasilan yang lain, misalnya hasil penjualan tanaman pertanian, dan lain sebagainya.

Tabel 5.10 Pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap penentuan daur optimal jika biaya pembangunan hutan naik

P

Tanggungan Diperpanjang Tetap Diperpendek

(orang) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah

0-6 16 39.0 25 61 0 0 41

7-12 4 44.4 5 55.6 0 0 9

Jumlah 20 40 30 60 0 0 50

Kurang dari setengah jumlah petani hutan rakyat baik yang memiliki jumlah tanggungan keluarga kurang dari 6 orang ataupun yang memiliki jum-lah tanggungan keluarga lebih dari 6 orang lebih memilih untuk tetap pada daur yang telah mereka tentukan sebelumnya bila biaya pembangunan hu-tan meningkat. Seharusnya, mereka memperpanjang daur bila biaya pem-bangunan naik, tetapi karena mereka mempunyai tanggungan keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya, mereka lebih memilih untuk tetap pada daur yang mereka tentukan sebelumnya karena prinsip mereka adalah semakin cepat menanam, maka semakin cepat mereka mendapatkan hasil.

5.2.6

Gambar

Tabel 4.1 Kelompok penduduk Desa Cidadapberdasarkan usia
Gambar 5.1 Tunas digunakan petani hutan rakyat di Cidadapsebagai sistem permudaan alam.
Gambar 5.2 Persemaian yang dimiliki salah satu petani hutanrakyat yang berada di Desa Cidadap.
Gambar 5.3 Salah satu bentuk hutan rakyat sistem hutanjati murni dengan jarak tanam 3mx3m.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan ini, kita mencoba mengaplikasikan suatu metode sederhana untuk mengenali suara dan mengklasifikasikannya berdasarkan gender sehingga dapat

mengurangkan masalah dalam hubungan manusia dan untuk memperbaiki kehidupan melalui interaksi manusia yang lebih baik.Selain itu,terdapat ramai pekerja dalam profesion bantuan

Yaitu kondisi ketika individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang menekan, walaupun masih

[r]

[r]

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Kramat melalui wawancara dengan petugas kesehatan menunjukkan dari ke lima desa wilayah kerja Puskesmas

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan combination tool yang merupakan alat bantu pembuatan produk menggunakan bahan dasar lembaran pelat

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti