ABSTRAK
LENA ROSLINA. Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi Heavy Oil Waste dengan Teknik Landfarming. Dibimbing oleh CHARLENA dan MUHAMAD FARID.
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik atau anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengendalikan dan mereduksi cemaran dari lingkungan. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil wastes (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi limbah HOW berlangsung. Produksi gas CO2 yang memiliki rerata tertinggi dihasilkan oleh perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, yaitu sebesar 244,5 mg/m3. Produksi gas NH3 pada perlakuan bioaugmentasi HOW murni menghasilkan gas NH3 paling tinggi dilihat dari reratanya, yaitu 155,6 g/m3. Perlakuan yang menghasilkan gas NO2 paling tinggi, yaitu perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, sebesar 58,1 g/m3, dan untuk H2S, yaitu pada perlakuan biostimulasi HOW murni sebesar 3337,2 g/m3. Gas SO2 bisa dikatakan hampir tidak ada untuk semua perlakuan. Secara umum, grafik yang dihasilkan untuk setiap gas hampir memiliki pola yang sama, yaitu sinusoidal. Dari gas yang dihasilkan ini dapat dikatakan bahwa proses biodegradasi terhadap HOW berlangsung.
ABSTRACT
LENA ROSLINA. Gas Production During Biodegradation Process of Heavy Oil Waste by Landfarming Technique. Supervised by CHARLENA and MUHAMAD FARID.
Bioremediation is defined as biological degradation process of organic or inorganic wastes in a controlled condition to control and reduce their amount in the environment. In this study, the soil which had been poluted by heavy petroleum oil fractions, i.e. heavy oil waste (HOW), was used as sample. The bioremediation technique used in this study is an ex-situ technique. This study was conducted to determine the amount of produced gases during the HOW degaradation process. The highest CO2 production mean was obtained
from the bioaugmentation treatment with compost adding, i.e. 244,5 mg/m3. This treatment also produced the highest NO2 production mean of 58,1 g/m3. While the
highest NH3 production was observed in pure HOW bioaugmentation treatment (155,6
g/m3), and H2S was produced in the highest amount in pure HOW biostimulation
treatment (3337,2 g/m3). The SO2 gas production was not obvious in all treatments.
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika ditinjau secara kimia, maka senyawa organik dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam beberapa kasus, limbah tersebut dibuang dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak.
Senyawa-senyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan akibat adanya akumulasi yang terus menerus dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah yang melewati ambang batas (Abraham 2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin meningkat, sejalan dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap minyak bumi sebagai sumber energi. Proses eksploitasi dari minyak bumi ini akan menghasilkan produk berupa minyak dan gas. Akan tetapi selain menghasilkan produk yang bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai limbah. Limbah minyak bumi atau produknya juga dapat berasal dari kegiatan industri yang umumnya terbuang ke sungai dan akan mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa macam bergantung pada sumber minyak yang dihasilkan. Salah satunya adalah limbah minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang langsung ke lingkungan, karena berbagai macam tuntutan pada zaman sekarang ini, maka aspek lingkungan pun sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah dengan cara biologi, yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi merupakan alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi oleh mikroorganisme yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan tidak beracun. Proses degradasi ini relatif murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan cara fisika atau kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga mampu mengurai senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya, melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk mendapat perlakuan. Selama proses degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi perubahan senyawa kimia dari yang bersifat toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gas apa saja yang dihasilkan dari adanya proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah melakukan penelitian terhadap pembentukan gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi minyak diesel dengan menggunakan teknik bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami dari penguraian bahan-bahan organik berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas, termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003). Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi maupun produknya merupakan campuran senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa hidrokarbon merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan sisanya berupa senyawa
nonhidrokarbon.
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika ditinjau secara kimia, maka senyawa organik dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam beberapa kasus, limbah tersebut dibuang dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak.
Senyawa-senyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan akibat adanya akumulasi yang terus menerus dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah yang melewati ambang batas (Abraham 2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin meningkat, sejalan dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap minyak bumi sebagai sumber energi. Proses eksploitasi dari minyak bumi ini akan menghasilkan produk berupa minyak dan gas. Akan tetapi selain menghasilkan produk yang bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai limbah. Limbah minyak bumi atau produknya juga dapat berasal dari kegiatan industri yang umumnya terbuang ke sungai dan akan mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa macam bergantung pada sumber minyak yang dihasilkan. Salah satunya adalah limbah minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang langsung ke lingkungan, karena berbagai macam tuntutan pada zaman sekarang ini, maka aspek lingkungan pun sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah dengan cara biologi, yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi merupakan alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi oleh mikroorganisme yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan tidak beracun. Proses degradasi ini relatif murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan cara fisika atau kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga mampu mengurai senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya, melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk mendapat perlakuan. Selama proses degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi perubahan senyawa kimia dari yang bersifat toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke lingkungan. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gas apa saja yang dihasilkan dari adanya proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah melakukan penelitian terhadap pembentukan gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi minyak diesel dengan menggunakan teknik bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami dari penguraian bahan-bahan organik berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas, termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan (Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003). Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi maupun produknya merupakan campuran senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa hidrokarbon merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan sisanya berupa senyawa
nonhidrokarbon.
2
Senyawa-senyawa non hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen, dan logam. Produk pengolahan minyak bumi berupa gas, bahan bakar cair bensin, kerosin, solar dan produk lain seperti minyak bakar, minyak pelumas, lilin parafin, dan aspal.
Heavy Oil Waste (HOW)
Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu yang terbentuk dari proses pengolahan minyak mentah yang terdiri atas kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses, dan tidak dapat digunakan kembali dalam proses produksi. Pengolahan limbah minyak bumi adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah minyak bumi untuk menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun (Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Republik
Indonesia 2003).
Limbah minyak yang digunakan berasal dari minyak fraksi berat atau disebut dengan HOW. HOW merupakan limbah fraksi berat minyak bumi yang berbentuk cairan sangat kental, berwarna hitam pekat, dan tidak mudah dialirkan. HOW memiliki viskositas dan densitas yang lebih tinggi dibanding minyak konvensional. Gambar dari heavy oil seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Clark 2007). Menurut Chen (2006), hampir semua minyak mentah memiliki densitas antara 30° dan 40° yang telah ditetapkan American Petroleum Institute (API).
Gambar 1 Heavy oil.
Heavy oil memiliki kekentalan yang tinggi. HOW berdasarkan kekentalanya termasuk dalam kelompok kelas B (extra heavy oil). Heavy oil, extra-heavy oil, dan aspal kekurangan akan hidrogen dan memiliki kandungan karbon yang tinggi, belerang, dan logam berat (Clark 2007).
Biodegradasi
Limbah minyak bumi dapat diolah menjadi bahan yang bisa dibuang ke
lingkungan dengan proses biodegradasi
menggunakan mikroorganisme. Menurut
Sudrajat (1996), biodegradasi dapat diartikan
sebagai penguraian lengkap dari suatu
senyawa oleh mikroorganisme menjadi
karbondioksida, dan air. Senyawa kimia dapat mengalami perubahan secara enzimatis dalam
proses degradasi. Enzim yang dapat
berpengaruh dalam peristiwa ini adalah enzim
oksidase reduktase, hidroksilase,
dekarboksilase, deaminase, dehalogenase, dan lain sebagainya. Istilah biodegradasi ini sering dihubungkan dengan ekologi, manajemen limbah, dan remediasi lingkungan yang dikenal dengan bioremediasi. Materi organik dapat didegradasi secara aerobik dengan oksigen atau secara anaerobik tanpa oksigen.
Tingkat biodegradasi hidrokarbon di
lingkungan ditentukan oleh populasi
mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon
yang berasal dari tanah itu sendiri,
kemampuan fisiologis dari populasi tersebut,
dan berbagai faktor abiotik yang
memengaruhi tingkat pertumbuhan dari
populasi mikrob pendegradasi hidrokarbon. Kemampuan biodegradasi mikroorganisme terhadap beberapa senyawa berbeda-beda bergantung pada spesiesnya (Atlas 1991).
Stoner (1994) menyatakan bahwa
hidrokarbon alifatik cenderung mudah
terdegradasi dibandingkan dengan senyawa aromatik. Hidrokarbon alifatik rantai lurus pada umumnya lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon rantai bercabang.
Hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon tak jenuh dan
hidrokarbon rantai panjang lebih mudah
terdegradasi daripada rantai pendek.
Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang dari sembilan karbon sukar didegradasi karena
senyawa ini bersifat toksik bagi
mikroorganisme.
Menurut Cookson (1995), n-alkana dapat didegradasi melalui oksidasi monoterminal, diterminal ( -oksidasi), atau subterminal. Biodegradasi dari n-alkana pada umumnya melalui modifikasi alkana menjadi alkohol primer diikuti dengan oksidasi selanjutnya menjadi aldehida dan asam monokarboksilat. Degradasi asam karboksilat terjadi melalui -oksidasi dengan pembentukan asetil koenzim A. Asetil koenzim A didapatkan dari alkana melalui central metabolicpathways yang akan melepaskan CO2. Menurut Atlas dan Bartha (1987) dalam proses biodegradasi, rantai
alkana dioksidasi membentuk alkohol,
aldehida, dan asam lemak. Setelah terbentuk asam lemak, proses katabolisme terjadi secara oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak
dikonversi oleh asil koenzim A yang
A, dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya yang berlangsung secara berulang-ulang. Asetil koenzim A diubah menjadi CO2 melalui siklus asam sitrat.
Salah satu dari teknik biodegradasi adalah bioremediasi. Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur,
bakteri, atau enzim). Bioremediasi dapat
dikembangkan untuk menghilangkan
kontaminan tanah, seperti degradasi
hidrokarbon oleh bakteri (PKSPL-IPB 2008). Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ dan ex-situ. Pembersihan in-situ adalah
pembersihan pada lokasi tercemar.
Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah, terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi. Pembersihan ex-situ meliputi penggalian tanah yang tercemar kemudian dibawa ke daerah yang aman, lalu tanah tersebut dibersihkan dari zat pencemar. Caranya ialah tanah tersebut disimpan di bak
yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke dalam bak tersebut.
Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air limbah. Pembersihan ex-situ ini jauh lebih mahal dan rumit. Dalam penelitian ini jenis bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ dengan
perlakuan secara bioaugmentasi dan
biostimulasi.
Berdasarkan CRA (2003), bioaugmentasi dapat dilakukan dengan menambahkan kultur mikrob untuk meningkatkan populasi mikrob pada tempat perlakuan. Alasan rasional
penambahan mikroorganisme eksogen
pendegradasi hidrokarbon ialah populasi mikroorganisme indigenus tidak mampu mendegradasi substrat potensial yang terdapat dalam campuran komplek seperti hidrokarbon. Sementara biostimulasi adalah suatu teknik dengan penambahan nutrien dan oksigen pada tanah yang terkontaminasi untuk mendorong pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang ada pada tanah tersebut.
Berdasarkan Evans dan Furlong (2003), secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Bakteri mampu menggunakan sumber karbon dan mendegradasi sejumlah kontaminan yang khas sampai sejumlah besar yang biasanya
ditemukan dalam tanah. Dengan
meningkatkan dan mengoptimumkan
kondisinya, mikrob dapat melakukan
degradasi secara alami dengan lebih cepat dan efisien.
Faktor lingkungan yang utama dalam pelaksanaan bioremediasi adalah suhu, pH, dan tipe tanah. Bioremediasi cenderung mampu berjalan secara alami pada organisme yang berasal dari tanah, juga perlakuan dapat terjadi pada suhu 0-50 °C Bagaimanapun juga, untuk lebih efisien, batas suhu yang ideal
20-30 °C, hal ini cenderung dengan
pengoptimuman aktivitas enzim. Batas pH ideal yang optimum, yaitu 6,5-7,5, meskipun pada pH 5,0-9,0 juga masih dapat diterima, bergantung pada spesies yang terlibat.
Teknik Landfarming
Ada beberapa macam metode bioremediasi dan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik landfarming. Konsep
landfarming pertama kali dikembangkan dan
dilaksanakan oleh industri penyulingan
minyak Amerika Serikat sekitar tahun 1954. Metode perlakuan secara biologi ini meliputi aplikasi yang diamati dari banyak atau sedikitnya akan ketersediaan limbah organik dalam bentuk cair, semipadat, atau padat pada permukaan tanah dan zona tanah yang tercemar limbah (Genouw et al. 1994).
Pemilihan metode ini bergantung pada kegunaan dan segi ekonomi dari teknologi ini untuk pembersihan pada lahan yang spesifik.
Teknik landfarming ini membutuhkan
penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara berkala dicampur dan diatur kelembabannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996). Menurut Marin et al.
(2005), teknik landfarming merupakan
metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon karena relatif lebih murah, dan memiliki potensi untuk berhasil.
Mikroorganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi
Bioremediasi menggunakan mikro-
organisme untuk menguraikan atau
mendegradasi limbah minyak bumi.
Mikroorganisme yang umum digunakan dalam bioremediasi adalah bakteri, tetapi jamur indigenus juga mempunyai peran yang
4
hidrokarbon banyak terdapat di tanah, perairan laut maupun air tawar. Isolat yang
umum digunakan untuk mendegradasi
hidrokarbon adalah Pseudomonas,
Arthrobacter, Corynobacterium, Mycobacte- rium, dan Flavobacterium (Wong et al. 1997).
Penelitian Bartha dan Bossert (1984)
menjelaskan ada 22 jenis bakteri yang hidup di lingkungan minyak bumi, isolat yang mendominasi terdiri atas beberapa jenis, yaitu Alcaligenes, Artrobacter, Acinetobacter, Nocordia, Achromobacter, Bacillus, Flavabacterium, dan Pseudomonas.
Penelitian dengan teknik landfarming ini menggunakan bakteri konsorsium untuk
mendegradasi limbah minyak. Menurut
Prescott (2003), seluruh mikroorganisme berada di alam membentuk populasi atau
merupakan kumpulan dari sejumlah
organisme yang sejenis hingga membentuk suatu komunitas dari sejumlah populasi yang berbeda. Mikroorganisme dapat berasosiasi dengan organisme lain secara fisik melalui dua mekanisme, yaitu keberadaan suatu organisme yang umumnya memiliki ukuran lebih kecil pada permukaan organisme lainnya yang umumnya berukuran lebih besar. Simbiosis pada skala mikrob dikenal pula dengan istilah konsorsium. Istilah konsorsium dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu interaksi fisik di antara mikrob. Pada
mekanisme konsorsium, tidak selalu
menghasilkan pertukaran informasi di antara mikrob tersebut. Secara umum, konsorsium diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu konsorsium yang sifatnya positif (mutualisme,
sintrofisme, protokooperasi, dan
komensalisme) dan negatif (predasi,
parasitisme, amensalisme, dan kompetisi). Hari dan Putra (2008) menerangkan bahwa bioremediasi dapat memanfaatkan aktivitas
metabolisme konsorsium bakteri agen
bioremediasi yang terdiri atas bakteri
nitrifikasi, denitrifikasi, dan fotosintetik anoksigenik. Pada teknologi bioremediasi ini bakteri nitrifikasi akan mendegradasi amonia menjadi nitrit dan nitrat, bakteri denitrifikasi akan mendegradasi nitrat atau nitrit menjadi gas nitrogen, sedangkan bakteri fotosintetik anoksigenik akan mendegradasi senyawa hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur.
Sathiskumar et al. (2008), melaporkan bahwa konsorsium bakteri yang mengandung sejumlah mikroorganisme yang mensintesis enzim pendegradasi telah dipertimbangkan
cocok untuk mendegradasi hidrokarbon
aromatik. Mikroorganisme tersebut tidak
terlibat secara langsung dalam proses
degradasi, tetapi berperan dalam
memproduksi mikronutrien atau surfaktan
untuk melarutkan hidrokarbon aromatik
tersebut. Biodegradasi yang diakibatkan oleh
campuran mikrob ini lebih efektif
dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh kultur alami, yang paling utama karena kompleksitas produk minyaknya. Berbagai
organisme memiliki kemampuan
mendegradasi berbagai bentuk dari
hidrokarbon dan ketika konsorsium bakteri ini diaplikasikan untuk mendegradasi berbagai bentuk dari hidrokarbon seperti minyak mentah, hasil total degradasinya lebih efektif.
Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi
Selama proses biodegradasi, akan
dihasilkan gas-gas yang sebagian merupakan indikasi adanya proses biodegradasi. Menurut Wahyuni et al. (2003), materi organik yang mengandung karbon (C), nitrogen (N), dan sulfur (S) pada proses dekomposisi akan menghasilkan materi anorganik baik di lingkungan aerobik maupun anaerobik. C organik pada lingkungan aerobik akan
terdekomposisi menjadi CO2 dan pada
lingkungan anaerobik akan menjadi CH4. N
organik pada lingkungan aerobik
terdekomposisi menjadi NO3- dan pada lingkungan anaerobik menjadi NH3. S organik pada lingkungan aerobik terdekomposisi menjadi SO4
-2
dan pada lingkungan anaerobik menjadi H2S.
Sumarsih (2003) juga menyatakan bahwa karbon didaur secara aktif antara CO2 anorganik dan macam-macam bahan organik penyusun sel hidup. Metabolisme ototrof
jasad fotosintetik dan kemolitotrof
menghasilkan produksi primer dari perubahan
CO2 anorganik menjadi C-organik.
Metabolisme respirasi dan fermentasi mikrob heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke atmosfer. Proses perubahan dari C-organik menjadi anorganik pada dasarnya adalah
upaya mikrob dan jasad lain untuk
memperoleh energi.
Selama proses penguraian, mikrob akan mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar 10-70% bergantung pada sifat-sifat tanah dan jenis-jenis mikrob yang aktif. Setiap 10 bagian C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10)
untuk membentuk plasma sel. Hasil
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2→CO2 + H2O + hasil antara + nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari adanya tingkat respirasi pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan CO2 pada air dalam tanah menunjukkan adanya proses biodegradasi. Degradasi pada total petroleum hydrocarbon (TPH) berhubungan dengan respirasi mikrob dan hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan pengamatan terhadap pembentukan gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi dengan menggunakan teknik bioremediasi slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan gas yang mengandung N anorganik seperti amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan suatu indikasi adanya proses biodegradasi. Adanya penambahan nutrien seperti kompos dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada teknik absorpsi, yaitu teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi kimia yang digunakan harus spesifik artinya hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar tertentu yang akan di analisis. Efisiensi pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari gas, yaitu kemampuan absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik, waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan luas permukaan bidang kontak atau ukuran gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger (Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan tersebut adalah dengan menggunakan alat impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah HOW yang diperoleh dari ladang minyak Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku, penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri, Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda, yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat, dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah yang diperlakukan secara
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2→CO2 + H2O + hasil antara + nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari adanya tingkat respirasi pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan CO2 pada air dalam tanah menunjukkan adanya proses biodegradasi. Degradasi pada total petroleum hydrocarbon (TPH) berhubungan dengan respirasi mikrob dan hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan pengamatan terhadap pembentukan gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi dengan menggunakan teknik bioremediasi slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan gas yang mengandung N anorganik seperti amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan suatu indikasi adanya proses biodegradasi. Adanya penambahan nutrien seperti kompos dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada teknik absorpsi, yaitu teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi kimia yang digunakan harus spesifik artinya hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar tertentu yang akan di analisis. Efisiensi pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari gas, yaitu kemampuan absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik, waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan luas permukaan bidang kontak atau ukuran gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger (Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan tersebut adalah dengan menggunakan alat impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah HOW yang diperoleh dari ladang minyak Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku, penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri, Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda, yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat, dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah yang diperlakukan secara
Tabel 1 Komposisi nisbah perlakuan sampel
Kode
Komposisi (kg)
Keterangan
HOW Tanah
Liat Kompos
A0 10 0 0 Biostimulasi
A11 10 0 0 Bioaugmentasi
A12 10 0 0 Bioaugmentasi
B0 5 0 5 Biostimulasi
B11 5 0 5 Bioaugmentasi
B12 5 0 5 Bioaugmentasi
C0 5 5 0 Biostimulasi
C11 5 5 0 Bioaugmentasi
C12 5 5 0 Bioaugmentasi
D0 5 2,5 2,5 Biostimulasi
D11 5 2,5 2,5 Bioaugmentasi
D12 5 2,5 2,5 Bioaugmentasi
Pencuplikan Gas
Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung impinger diisi dengan larutan penjerapnya masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya ditentukan dengan alat flow meter sebesar 0,2 L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam, dan setelah itu larutan penjerap yang telah berisi gas dimasukkan ke dalam botol film, lalu impinger dibilas dengan akuades. Prosedur pengambilan gas seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Pencuplikan gas. Analisis Gas CO2 (Eaton et al.2005)
Sampel yang berupa larutan penjerap berisi gas dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan indikator PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0,025 N yang telah distandardisasi terlebih dahulu. Larutan penjerap CO2 dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan indikator PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0,025 N. Larutan penjerap CO2 ini digunakan sebagai blangko.
!!! Keterangan:
A = mL HCl yang terpakai (blangko) B = mL HCl yang terpakai (sampel)
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] = mg sampel yang didapat
Analisis Gas H2S (Modifikasi Eaton et al. 2005dan Lodge1989)
Gas H2S ditentukan dengan metode biru metilena yang spesifik untuk sulfida pada konsentrasi yang rendah. Prinsip dari metode ini adalah mereaksikan gas H2S dengan p
-dimetilaminoanilina dan besi(III) dalam
suasana asam kuat sehingga membentuk senyawa biru metilena yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada 670 nm.
Larutan standar Na2S yang telah
distandardisasi dipipet ke dalam labu takar 25 mL masing-masing 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL, lalu ditambahkan larutan diamin sebanyak 1 mL dan larutan feri klorida 25% sebanyak 1,5 mL kemudian ditambahkan larutan penjerap H2S sebanyak 10 mL, dan
ditepatkan dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL, ditambahkan larutan diamin sebanyak 1 mL dan larutan ferri klorida 25% sebanyak 1,5 mL, ditepatkan dengan akuades. Standar dan sampel dibiarkan selama 15-30 menit kemudian dibaca serapannya pada 670 nm dengan spektrofotometer UV-Vis.
" # $ % !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] $ %= µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NH3 (Lodge1989)
Gas NH3 ditentukan dengan metode
indofenol, prinsipnya ialah mereaksikan gas NH3 dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat yang akan memproduksi senyawa kompleks biru indofenol yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada 635,5 nm.
Deret standar dibuat dengan memipet
7
ditepatkan dengan akuades. Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
& '$( !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] '$( = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat oleh nitrit dan reaksi kopling dengan -naftilamina yang akan membentuk warna merah yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2 sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air bebas ion. Standar dan sampel kemudian dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit untuk kemudian dibaca serapannya pada 550 nm.
& ' !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] ' = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah akan terbentuk kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks logam berat yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar yang telah distandardisasi dengan memipetnya ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak 10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2% sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan dibaca serapannya pada 540 nm.
" % !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] % = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya proses aerobik di dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar minyak bumi ini. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2 ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara umum dapat diketahui bahwa produksi gas CO2 mengalami naik turun. Grafik yang dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal. Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan bakteri, jadi hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3. Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan respirasi dari bakteri yang mendegradasi. Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan karena proses degradasi ini terjadi pada HOW murni yang tidak dicampur dengan bahan pengencer yang lainnya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang menerangkan bahwa adanya produksi gas pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
ditepatkan dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
& '$( !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] '$( = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat oleh nitrit dan reaksi kopling dengan -naftilamina yang akan membentuk warna merah yang akan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2 sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air bebas ion. Standar dan sampel kemudian dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit untuk kemudian dibaca serapannya pada 550 nm.
& ' !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] ' = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah akan terbentuk kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks logam berat yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar yang telah distandardisasi dengan memipetnya ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak 10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2% sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan dibaca serapannya pada 540 nm.
" % !!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)] % = µ g sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya proses aerobik di dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar minyak bumi ini. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2 ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara umum dapat diketahui bahwa produksi gas CO2 mengalami naik turun. Grafik yang dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal. Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan bakteri, jadi hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3. Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan respirasi dari bakteri yang mendegradasi. Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan karena proses degradasi ini terjadi pada HOW murni yang tidak dicampur dengan bahan pengencer yang lainnya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang menerangkan bahwa adanya produksi gas pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
8
Perlakuan A1 terdiri atas HOW tanpa dicampur dengan bahan lainnya, tetapi ditambahkan konsorsium bakteri, yang disebut dengan bioaugmentasi. Gas yang dihasilkan pada perlakuan ini juga mengalami fluktuasi seperti pada perlakuan biostimulasi (Gambar 5). Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan A1 ini lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan A0, yaitu sebesar 151,5 mg/m
3 . Rerata gas yang kecil ini dapat terjadi karena proses degradasi ini terjadi pada HOW murni.
Perlakuan B0 merupakan campuran HOW dengan kompos. Adanya penambahan kompos dapat meningkatkan populasi mikrob yang ada di dalam tanah tersebut. Rerata gas yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu sebesar 190,7 mg/m3, grafiknya terdapat pada Gambar 6. Adanya kompos ini bisa menjadi faktor yang sangat mendukung untuk berlangsungnya proses degradasi oleh bakteri, karena pada kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan sumber makanan bagi mikroorganisme.
Perlakuan B1 merupakan campuran HOW
dengan kompos yang ditambah konsorsium bakteri. Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa rerata gas CO2 yang dihasilkan memiliki nilai paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 244,5 mg/m3, grafiknya disajikan pada Gambar 7. Tingginya produksi gas ini dapat disebabkan oleh adanya penambahan kompos. Di dalam kompos selain terdapat nutrien, juga terdapat bakteri yang dapat menambah populasi mikroorganisme di dalam limbah yang didegradasi tersebut.
Perlakuan C0 merupakan campuran HOW dengan tanah liat. Adanya tanah liat ini merupakan bahan untuk mengencerkan HOW. Rerata gas yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu sebesar 180,2 mg/m3. Hal ini dapat terjadi karena HOW yang telah diencerkan dengan tanah liat, sehingga limbahnya tidak terlalu pekat seperti semula. Grafik produksi gasnya terdapat pada Gambar 8.
0 100 200 300 400
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g/ m 3) Minggu
A0 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu
A1 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400 500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu
B0 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400 500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g/ m 3) Minggu
B1 Rataan Min. Max.
Gambar 6 Produksi gas CO2 perlakuan biostimulasi B0.
Gambar 5 Produksi gas CO2 perlakuan bioaugmentasi A1.
Gambar 4 Produksi gas CO2 perlakuan biostimulasi A0.
Gambar 7 Produksi gas CO2 perlakuan bioaugmentasi B1.
Perlakuan C1 terdiri atas HOW yang
dicampur dengan tanah liat dan ditambahkan bakteri konsorsium. Rerata gas yang dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan dengan perlakuan C0, yaitu sebesar 165,9
mg/m3. Produksi gas yang tidak terlalu tinggi pada perlakuan C dapat dimungkinkan karena tanah liat memiliki tingkat porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan kompos, sehingga penyebaran nutrien tidak dapat terjadi secara mudah. Grafik produksi gas ditunjukkan pada Gambar 9.
Produksi gas pada perlakuan D0 cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya jika dilihat dari reratanya, yaitu sebesar 216,5 mg/m3. Perlakuan D0 terdiri atas campuran HOW, tanah liat, dan kompos dengan nisbah HOW dan campurannya adalah 1:1. Produksi gas yang cukup tinggi ini kemungkinan dihasilkan karena HOW diberi perlakuan dengan pengenceran oleh tanah liat, kemudian adanya penambahan kompos yang dapat membantu proses degradasi. Grafik produksi gasnya terdapat pada Gambar 10.
Perlakuan D1 terdiri atas campuran HOW,
tanah liat, dan kompos, dengan penambahan bakteri konsorsium. Rerata gas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan D0, yaitu sebesar 228,9 mg/m
3
. Hal ini karena pada perlakuan D1 adanya
penambahan bakteri, jadi menghasilkan gas CO2 lebih banyak dibandingkan perlakuan D0.
Grafiknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Dari keseluruhan data yang didapatkan, produksi gas CO2 yang paling tinggi terdapat pada perlakuan B secara bioaugmentasi. Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari adanya tingkat respirasi pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama proses bioremediasi. Kao dan Wang (2000)
juga mengungkapkan demikian dan
menerangkan bahwa gas CO2 merupakan hasil dari semua proses bioremediasi intrinsik. Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk bahwa proses bioremediasi
intrinsik ini berlangsung. Peningkatan
kelarutan CO2 pada air dalam tanah
menunjukkan adanya proses biodegradasi. 0 50 100 150 200 250 300 350
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu
C0 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu
C1 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400 500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g/ m 3) Minggu
D0 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200 250 300 350 400
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu
D1 Rataan Min. Max.
Gambar 8 Produksi gas CO2 perlakuan biostimulasi C0.
Gambar 9 Produksi gas CO2 perlakuan bioaugmentasi C1.
Gambar 10 Produksi gas CO2 perlakuan biostimulasi D0.
Gambar 11 Produksi gas CO2 perlakuan bioaugmentasi D1.
Rerata
Rerata
Rerata
Rerata
Maks. Maks.
10
Degradasi pada hidrokarbon berhubungan
dengan respirasi mikrob dan hasilnya
ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 ini. Dari semua data yang didapatkan untuk produksi gas CO2, ada beberapa perlakuan yang memiliki kemiripan pola diihat dari grafik yang dihasilkan, yaitu A0 dengan B1, A0 dengan D1, A1 dengan B1, dan B1 dengan C1. Di bawah ini adalah salah satu contoh kemiripan pola yang terdapat pada perlakuan A0 dengan B1, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan A0 memiliki
pola yang sama dengan B1, dilihat dari
fluktuasi yang terjadi pada setiap minggunya untuk setiap perlakuan.
Produksi Gas NH3
Gas NH3 dihasilkan dari adanya proses degradasi hidrokarbon yang mengandung gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa minyak bumi tidak hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung
unsur nitrogen sekitar 0,11–1,70%.
Terdeteksinya gas NH3 ini menunjukkan bahwa terjadi proses anaerobik pada proses
biodegradasi tersebut. Penelitian ini
sebenarnya berjalan secara aerobik, akan tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui proses anaerobik, seperti H2S dan NH3 ikut terdeteksi, dan hal inimenunjukkan terjadinya juga proses anaerobik. Diperlukan adanya inlet oksigen yang lebih banyak untuk
menjaga agar proses aerobik tetap
berlangsung, karena oksigen juga merupakan salah satu faktor yang mendukung proses biodegradasi ini.
Gas NH3 yang dihasilkan mengalami fluktuasi dan secara umum grafik yang dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya pada produksi gas CO2. Hasilnya secara keseluruhan terdapat pada Lampiran 6. Pada perlakuan A0 gas yang dihasilkan cukup tinggi dilihat dari reratanya, yaitu sebesar 129,4
μg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat
menandakan bahwa pada HOW yang
didegradasi mengandung jumlah N yang cukup tinggi. Gambar 13 menunjukkan grafik dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas NH3 ini.
Perlakuan A1 terdiri atas komposisi yang sama dengan A0, tetapi dengan penambahan konsorsium bakteri. Gas yang dihasilkan pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A0, reratanya sebesar 155,6
μg/m3. Sama seperti pada perlakuan A0,
kemungkinan kandungan nitrogen pada
limbah HOW cukup tinggi, kemudian juga ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang menjadikan keluaran gas NH3 pada perlakuan A1 menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan pada Gambar 14.
Produksi gas pada perlakuan B0 dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perlakuan A0 dan A1. Rerata yang didapat, yaitu sebesar 87,4 μg/m3, grafiknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15. Perlakuan B0 ini merupakan campuran HOW dengan kompos. Seharusnya pada perlakuan B0 ini gas 0 100 200 300 400 500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
C O2 (m g /m 3) Minggu A0 B1 0 50 100 150 200 250 300
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
A0 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200 250 300 350
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
A1 Rataan Min. Max.
Gambar 13 Produksi gas NH3 perlakuan biostimulasi A0.
Gambar 14 Produksi gas NH3 perlakuan bioaugmentasi A1.
Gambar 12 Kemiripan pola perlakuan secara grafis.
Rerata
Rerata
Maks.
yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan A0 dan A1. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena pada perlakuan B0 ini proses degradasi secara aerobik lebih dominan dibandingkan dengan proses anaerobik yang akan menghasilkan gas NH3, jadi gas yang dihasilkan tidak terlalu tinggi.
Pada perlakuan B1 gas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B0, reratanya sebesar 89,2 μg/m
3
. Hal ini dapat dijelaskan karena pada perlakuan B1 adanya penambahan bakteri yang akan memperkaya jumlah bakteri di dalam limbah tersebut. sehingga gas yang dihasilkan menjadi lebih tingi dibandingkan dengan perlakuan B0. Grafiknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16.
Produksi gas NH3 pada perlakuan C0 cukup tinggi dibandingkan dengan B0 dan B1, dan pada perlakuan C1 gas yang dihasikan lebih tinggi dibandingkan dengan C0. Rerata gas yang dihasilkan berturut-turut, yaitu sebesar 92,1 dan 151,9 μg/m3. Grafiknya disajikan pada Gambar 17 dan 18.
Pada perlakuan D0 dan D1, rerata gas yang dihasikan tidak terlalu jauh perbedaan nilainya, yaitu 102,3 dan 104,5 μg/m3. Grafiknya disajikan pada gambar 19 dan 20. 0 50 100 150 200 250 300
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
B0 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200 250
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
B1 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200 250 300 350
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
C0 Rataan Min. Max.
0 100 200 300 400
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g/ m 3) Minggu
C1 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200 250
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
D0 Rataan Min. Max.
Gambar 15 Produksi gas NH3 perlakuan biostimulasi B0.
Gambar 16 Produksi gas NH3 perlakuan bioaugmentasi B1.
Gambar 17 Produksi gas NH3 perlakuan biostimulasi C0.
Gambar 18 Produksi gas NH3 perlakuan bioaugmentasi C1.
Gambar 19 Produksi gas NH3 perlakuan biostimulasi D0.
12
Dari keseluruhan data yang didapat, yang menghasilkan gas NH3 paling tinggi adalah
pada perlakuan A1, hal ini dapat terjadi karena
kandungan unsur nitrogen yang dimiliki oleh HOW murni lebih tinggi dibandingkan dengan HOW yang telah dicampur dengan bahan pengencernya. Perlakuan yang memiliki pola yang sama, yaitu A0 dengan C0, A1 dengan B1,
A1 dengan D1, dan C1 dengan D1.
Produksi Gas NO2
Seperti gas yang lainnya, produksi gas
NO2 juga mengalami fluktuasi setiap
minggunya. Datanya secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 7. Grafik yang dihasilkan memiliki pola yang sama seperti yang lainnya secara umum, yaitu sinusoidal. Perlakuan yang menghasilkan gas NO2 paling tinggi, yaitu pada perlakuan B1, reratanya sebesar 58,1 μg/m3. Seperti yang diketahui,
bahwa hidrokarbon juga mengandung
senyawa nonhidrokarbon seperti nitrogen. Gas NO2 ini dihasilkan dari adanya proses aerobik. Perlakuan B1 merupakan campuran dari HOW dengan kompos, dan diketahui bahwa kompos memiliki kandungan air yang cukup, sehingga bakteri dapat bekerja dengan baik, sehingga gas yang dihasilkannya akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Grafik dari gas yang dihasilkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 21-28.
Ramos et al. (2009) menerangkan bahwa hasil dari proses degradasi tanah tercemar hidrokarbon menghasilkan keluaran gas NO2 untuk hidrokarbon yang mengandung nitrogen yang yang cukup. Adanya penambahan nutrien seperti kompos dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas yang dihasilkan.
0 50 100 150 200 250 300
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N H3 ( g /m 3) Minggu
D1 Rataan Min. Max.
0 50 100 150
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g/ m 3) Minggu
A0 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100 120
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g/ m 3) Minggu
A1 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g /m 3) Minggu
B0 Rataan Min. Max.
0 50 100 150 200
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g /m 3) Minggu
B1 Rataan Min. Max.
Gambar 20 Produksi gas NH3 perlakuan bioaugmentasi D1.
Gambar 21 Produksi gas NO2 perlakuan biostimulasi A0.
Gambar 22 Produksi gas NO2 perlakuan bioaugmentasi A1.
Gambar 23 Produksi gas NO2 perlakuan biostimulasi B0.
Gambar 24 Produksi gas NO2 perlakuan bioaugmentasi B1.
Rerata Rerata
Rerata
Rerata
Rerata
Maks. Maks.
Maks.
Maks.
Dari semua data yang didapatkan untuk pengukuran gas NO2, yang memiliki
kemiripan pola dilihat dari grafiknya hanya perlakuan C1 dengan D1, grafiknya disajikan
pada Gambar 29.
Produksi Gas H2S
Metode yang digunakan ini merupakan modifikasi Eaton et al. (2005) dan Lodge (1989). Berdasarkan hasil pengamatan, limbah HOW yang didegradasi tersebut memiliki kandungan sulfur sebesar 2,3182 ppm. Pada minyak bumi biasanya terdapat sekitar 0,06-8,00%, dan dapat dikatakan bahwa sulfur yang terkandung pada limbah HOW ini tidak begitu besar.
Produksi gas H2S tidak jauh berbeda dengan yang lainnya, mengalami fluktuasi setiap minggunya, hasilnya disajikan pada Lampiran 8. Rerata gas yang dihasilkan paling tinggi terdapat pada perlakuan A0, yaitu sebesar 3337,2 μg/m3. Hal ini dapat terjadi karena limbah HOW yang tidak dicampur dengan bahan pencampur lainnya masih memiliki kandungan sulfur yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan HOW yang sudah
dicampur dengan bahan pengencernya.
Seperti yang diungkapkan Takeshita et al. (2008), produksi gas H2S ini secara alami dapat diamati pada tanah yang kaya akan nutrien, endapan, kotoran, dan terjadi secara proses anaerobik. Dalam penelitian ini, gas
H2S dihasilkan dari adanya proses
mikrobiologi yang terjadi pada limbah yang didegradasi. Pada produksi gas H2S ini, tidak ada perlakuan yang memiliki kemiripan pola dengan perlakuan yang lainnya. Grafiknya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 30-37. 0
50 100 150
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g /m 3) Minggu
C0 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O 2 ( g /m 3) Minggu
C1 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g /m 3) Minggu
D0 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100 120 140
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O 2 ( g /m 3 ) Minggu
D1 Rataan Min. Max.
0 20 40 60 80 100 120 140
0 2 4 6 8 10 12 14 16
N O2 ( g/ m 3) Minggu C1 D1
Gambar 25 Produksi gas NO2 perlakuan biostimulasi C0.
Gambar 26 Produksi gas NO2 perlakuan bioaugmentasi C1.
Gambar 27 Produksi gas NO2 perlakuan biostimulasi D0.
Gambar 28 Produksi gas NO2 perlakuan bioaugmentasi D1.
14 0 5000 10000 15000 20000 25000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g/ m 3) Minggu
A0 Rataan Min. Max.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3) Minggu
A1 Rataan Min. Max.
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g/ m 3) Minggu
B0 Rataan Min. Max.
0 1000 2000 3000 4000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3) Minggu
B1 Rataan Min. Max.
0 1000 2000 3000 4000 5000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3) Minggu
C0 Rataan Min. Max.
0 1000 2000 3000 4000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3) Minggu
C1 Rataan Min. Max.
0 1000 2000 3000 4000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g/ m 3) Minggu
D0 Rataan Min. Max.
Gambar 30 Produksi gas H2Sperlakuan biostimulasi A0.
Gambar 31 Produksi gas H2Sperlakuan bioaugmentasi A1.
Gambar 32 Produksi gas H2Sperlakuan biostimulasi B0.
Gambar 33 Produksi gas H2Sperlakuan bioaugmentasi B1.
Gambar 34 Produksi gas H2Sperlakuan biostimulasi C0.
Gambar 35 Produksi gas H2Sperlakuan bioaugmentasi C1.
Gambar 36 Produksi gas H2Sperlakuan biostimulasi D0.
Produksi Gas SO2
Produksi gas SO2 dapat dikatakan hampir tidak ada, karena banyak nilai yang negatif, yang menunjukkan bahwa gas SO2 tersebut tidak terdeteksi. Hasilnya disajikan secara keseluruhan pada Lampiran 9. Hal ini dapat disebabkan oleh bakteri yang bekerja
mendegradasi senyawa hidrokarbon
mengkonsumsi senyawa sulfur yang
dihasilkan. Manik (2005) pernah melakukan penelitian terhadap gas SO2 yang dihasilkan dari proses degradasi dan menyebutkan bahwa penggunaan senyawa sulfur oleh bakteri akan mengurangi konsentrasi dari gas SO2 yang keluar.
Menurut Prasetiati (2005), bakteri sulfur dapat menyimpan dan menggunakan sulfur elemental atau komponen-komponen organik sulfur untuk metabolisme selnya. Semakin banyak jumlah bakteri yang hidup akan semakin besar pula gas SO2 yang terkonsumsi. Prasetiati (2005) juga menyebutkan bahwa semakin banyak bakteri pengguna sulfur akan menyebabkan meningkatnya gas SO2 yang terserap. Ada beberapa faktor yang dapat
mendukung kerja dari bakteri yang
menggunakan sulfur ini, yaitu kompos dan kadar air. Kandungan air pada bahan ini
berfungsi untuk melarutkan gas SO2.
Mikroorganisme tidak dapat langsung
menggunakan gas SO2 dalam
metabolismenya, karena itu gas SO2 harus dilarutkan menjadi SO3- atau sulfit. Selain untuk melarutkan SO2, air juga berperan dalam pertumbuhan mikroorganime.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari keseluruhan data yang didapat, dapat disimpulkan bahwa HOW dapat didegradasi dengan menggunakan mikroorganisme, dalam hal ini bakteri. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya gas yang terbentuk, yang bisa menjadi salah satu indikasi dari adanya proses biodegradasi. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa proses biodegradasi dengan teknik landfarming ini dapat berlangsung dengan baik, dilihat dari adanya gas yang dihasilkan. Secara umum juga dapat dilihat dari grafik yang dihasilkan untuk setiap gas hampir memiliki pola yang sama.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui komposisi yang tepat agar proses biodegradasi dapat berlangsung lebih baik lagi, juga perlu dilakukan pengajian studi kinetikanya supaya bisa diketahui efisiensi dari gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham S. 2008. Bioremediation of
Hydrocarbon-Contaminated Soil. Muscat: Industrial Systems Corp.
Atlas MR. 1991. Microbial hydrocarbon degradation-bioremediation of oil spills. J Chem Tech Biotechnol 52:149-156. Atlas MR, Bartha R. 1987. Transport and
Transformation of Petroleum Biological Processes. Washington DC: United States Enviromental Protection Agency.
Baptista JS, Cammarota MC, Dias D. 2005.
Production of CO2 in crude oil
bioremediation in clay soil. Braz Arch Biol Technol 48:249-255.
Bartha R, Bossert I. 1984. Treatment and Disposal of Petroleum Refinery Wastes. New York: Macmillan.
Chen Z. 2006. Heavy oils, part I. Siam News 39:3. 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3 ) Minggu
D1 Rataan Min. Max.
Gambar 37 Produksi gas H2Sperlakuan bioaugmentasi D1.
15
Produksi Gas SO2
Produksi gas SO2 dapat dikatakan hampir tidak ada, karena banyak nilai yang negatif, yang menunjukkan bahwa gas SO2 tersebut tidak terdeteksi. Hasilnya disajikan secara keseluruhan pada Lampiran 9. Hal ini dapat disebabkan oleh bakteri yang bekerja
mendegradasi senyawa hidrokarbon
mengkonsumsi senyawa sulfur yang
dihasilkan. Manik (2005) pernah melakukan penelitian terhadap gas SO2 yang dihasilkan dari proses degradasi dan menyebutkan bahwa penggunaan senyawa sulfur oleh bakteri akan mengurangi konsentrasi dari gas SO2 yang keluar.
Menurut Prasetiati (2005), bakteri sulfur dapat menyimpan dan menggunakan sulfur elemental atau komponen-komponen organik sulfur untuk metabolisme selnya. Semakin banyak jumlah bakteri yang hidup akan semakin besar pula gas SO2 yang terkonsumsi. Prasetiati (2005) juga menyebutkan bahwa semakin banyak bakteri pengguna sulfur akan menyebabkan meningkatnya gas SO2 yang terserap. Ada beberapa faktor yang dapat
mendukung kerja dari bakteri yang
menggunakan sulfur ini, yaitu kompos dan kadar air. Kandungan air pada bahan ini
berfungsi untuk melarutkan gas SO2.
Mikroorganisme tidak dapat langsung
menggunakan gas SO2 dalam
metabolismenya, karena itu gas SO2 harus dilarutkan menjadi SO3- atau sulfit. Selain untuk melarutkan SO2, air juga berperan dalam pertumbuhan mikroorganime.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari keseluruhan data yang didapat, dapat disimpulkan bahwa HOW dapat didegradasi dengan menggunakan mikroorganisme, dalam hal ini bakteri. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya gas yang terbentuk, yang bisa menjadi salah satu indikasi dari adanya proses biodegradasi. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa proses biodegradasi dengan teknik landfarming ini dapat berlangsung dengan baik, dilihat dari adanya gas yang dihasilkan. Secara umum juga dapat dilihat dari grafik yang dihasilkan untuk setiap gas hampir memiliki pola yang sama.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui komposisi yang tepat agar proses biodegradasi dapat berlangsung lebih baik lagi, juga perlu dilakukan pengajian studi kinetikanya supaya bisa diketahui efisiensi dari gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham S. 2008. Bioremediation of
Hydrocarbon-Contaminated Soil. Muscat: Industrial Systems Corp.
Atlas MR. 1991. Microbial hydrocarbon degradation-bioremediation of oil spills. J Chem Tech Biotechnol 52:149-156. Atlas MR, Bartha R. 1987. Transport and
Transformation of Petroleum Biological Processes. Washington DC: United States Enviromental Protection Agency.
Baptista JS, Cammarota MC, Dias D. 2005.
Production of CO2 in crude oil
bioremediation in clay soil. Braz Arch Biol Technol 48:249-255.
Bartha R, Bossert I. 1984. Treatment and Disposal of Petroleum Refinery Wastes. New York: Macmillan.
Chen Z. 2006. Heavy oils, part I. Siam News 39:3. 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000
0 2 4 6 8 10 12 14 16
H2 S ( g /m 3 ) Minggu
D1 Rataan Min. Max.
Gambar 37 Produksi gas H2Sperlakuan bioaugmentasi D1.
ABSTRAK
LENA ROSLINA. Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi Heavy Oil Waste dengan Teknik Landfarming. Dibimbing oleh CHARLENA dan MUHAMAD FARID.
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik atau anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengendalikan dan mereduksi cemaran dari lingkungan. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil wastes (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi limbah HOW berlangsung. Produksi gas CO2 yang memiliki rerata tertinggi dihasilkan oleh perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, yaitu sebesar 244,5 mg/m3. Produksi gas NH3 pada perlakuan bioaugmentasi HOW murni menghasilkan gas NH3 paling tinggi dilihat dari reratanya, yaitu 155,6 g/m3. Perlakuan yang menghasilkan gas NO2 paling tinggi, yaitu perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, sebesar 58,1 g/m3, dan untuk H2S, yaitu pada perlakuan biostimulasi HOW murni sebesar 3337,2 g/m3. Gas SO