• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI

LINTAH LAUT (

Discodoris

sp.) ASAL PERAIRAN

KEPULAUAN BELITUNG

Oleh : Rizki Andriyanti

C34050241

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

RINGKASAN

RIZKI ANDRIYANTI. C34050241. Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung. Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.

Radikal bebas terbentuk secara terus-menerus dalam tubuh manusia, baik melalui pengaruh eksogen maupun endogen. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, atau DNA. Reaktivitas radikal bebas ini dapat diredam oleh senyawa antioksidan. Antioksidan sintetik yang berkembang saat ini dikhawatirkan memberi efek samping yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Potensi antioksidan alami harus dikembangkan untuk memperoleh antioksidan yang lebih aman dikonsumsi. Salah satu sumber daya perairan yang berpotensi sebagai penghasil antioksidan alami adalah lintah laut (Discodoris sp.).

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari karakteristik lintah laut dari Perairan Kepulauan Belitung, mempelajari pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap persentase rendemen dan aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut, serta menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar lintah laut. Pada penelitian ini dilakukan (1) pengambilan dan preparasi bahan baku, (2) karakterisasi bahan baku, (3) ekstraksi komponen antioksidan, dan (4) uji ekstrak kasar.

Karakteristik lintah laut (Discodoris sp.) yang berasal dari Perairan Kepulauan Belitung meliputi rendemen daging dan jeroan segar sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Daging lintah laut kering memiliki kadar air (10,45 %), kadar abu (11,97 %), kadar abu tidak larut asam (0,20 %), kadar lemak (1,41 %), kadar protein (59,11 %), dan kadar karbohidrat (17,08 %).Hal ini menunjukkan lintah laut memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.

Ekstraksi lintah laut menggunakan tiga pelarut polar (etanol, metanol, dan aquabides) menghasilkan persentase rendemen dan aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Aquabides memiliki keunggulan dari segi keamanannya. Aquabides tidak bersifat toksik dan terbebas dari kontaminan serta garam-garam anorganik sehingga dapat memperkecil peluang ekstrak kasar terkontaminasi bahan lain.

(3)

EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI

LINTAH LAUT (

Discodoris

sp.) ASAL PERAIRAN

KEPULAUAN BELITUNG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Rizki Andriyanti

C34050241

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Judul Skripsi : EKSTRAKSI SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN DARI LINTAH LAUT (Discodoris sp.) ASAL PERAIRAN KEPULAUAN BELITUNG

Nama : Rizki Andriyanti

NRP : C34050241

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si NIP : 195910131986012002 NIP : 198304052005012001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Linawati Hardjito, MS NIP : 196205281987032003

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

Skripsi hasil penelitian dengan judul ”Ekstraksi Senyawa Aktif

Antoksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung”

merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Departemen Teknologi

Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu dan memberi dukungan,

diantaranya adalah:

1. Ibu Ir. Nurjanah, MS dan Ibu Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si sebagai

dosen-dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, saran dan

motivasi kepada penulis dengan penuh kesabaran.

2. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Desniar S.Pi, M.Si sebagai

dosen-dosen penguji yang telah memberi pengarahan dan motivasi agar penulis

dapat menyelasaikan skripsi dengan baik

3. Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MS selaku ketua Departemen Teknologi Hasil

Perairan.

4. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan

Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Bapakku Supratikno dan mama Siti Arifah tersayang, terima kasih untuk doa,

kasih sayang, perhatian, nasihat, restu yang tak terputus, dukungan moral dan

materi sehingga penulis bisa membuktikan kemampuannya.

6. Mbak dan masku (Mbak Nink-Mas Aji, Mbak Yul-Mas Thierry) tercinta yang

selalu memberikan doa, semangat, motivasi, dan materi sehingga penulis

dapat mengembangkan diri selama menempuh ilmu di THP-FPIK, IPB.

7. Windo Sastra yang dan selalu memberikan doa, semangat, nasihat, bantuan,

kasih sayang dan bersedia menemani disaat senang ataupun sedih sehingga

(7)

8. Keluarga besar Ibu Wiji Rahayu, S.Pd yang telah memberikan sambutan,

bantuan dan tempat tinggal saat pengambilan sampel di Belitung.

9. Seluruh dosen dan staf Departemen THP, terima kasih atas kerja sama dan

dukungannya.

10. Bu Ema dan Rita, terima kasih atas profesionalisme dan kerjasamanya

sehingga penelitian ini dapat berjalan sesuai harapan.

11. Tyas, Uli, Uut, Pusse’, Prilisa, Seno, Pur, Anne, Vivit, Dewi, Anggi, Tya,

Rodi, Rustam, Micha, Ale, serta temen-teman THP’42 lainnya, terima kasih

atas bantuan, motivasi, pengertian, keceriaan, dan pengalaman berharga

selama ini.

12. Kakak-kakak THP 41 (K’glory, Nichol, Mba’Eka, Mas An’im, K’Yogie,

K’Dhika), serta adik-adik THP 43 dan 44 atas kebersamaan dan semangatnya.

13. Teman-temanku di “aLcaTraZ” (EmBe’, Othel, Windi, Trimi, Mbo’, Asti,

Baki, Mamah, dan Pusse’) beserta alumninya (Putri, Fina dan Yuni) atas

kebersamaan kita selama ini.

14. Terakhir, kepada berbagai pihak yang tidak disebutkan disini, penulis

mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dan kerjasamanya dalam

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat

banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kemajuan penelitian selanjutnya.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan

informasi bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, September 2009

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal

6 Maret 1988 sebagai anak terakhir dari tiga bersaudara,

putri pasangan Bapak Supratikno dan Ibu Siti Arifah.

Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Mutiara Jakarta

dan lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan

pendidikan di SDN Kayumanis 01 Pagi Jakarta dan lulus

pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis diterima di

SLTPN 7 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan selanjutnya ditempuh di

SMUN 31 Jakarta dan lulus pada tahun 2005.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005, Departemen

Teknologi hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan, penulis aktif

menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan

(HIMASILKAN) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan (BEM-C). Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah

Pengetahuan Bahan Baku 2008-2009.

Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan

penelitian yang berjudul "Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung". Dibimbing oleh Ibu

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Lintah Laut (Discodoris sp.) ... 4

2.2. Radikal Bebas ... 6

2.3. Antioksidan ... 8

2.3.1. Fungsi antioksidan ... 8

2.3.2. Sumber antioksidan... 8

2.3.3. Mekanisme kerja antioksidan ... 9

2.4. Ekstraksi senyawa aktif ... 10

2.5. Uji Aktivitas Antioksidan ... 12

2.6. Senyawa Fitokimia ... 13

2.6.1. Alkaloid ... 13

2.6.2. Steroid/Triterpenoid ... 13

2.6.3. Flavonoid ... 14

2.6.4. Saponin... 15

2.6.5. Fenol hidrokuinon ... 15

2.6.6. Karbohidrat ... 16

2.6.7. Gula pereduksi ... 16

2.6.8. Peptida ... 17

2.6.9. Asam amino ... 17

3. METODOLOGI ... 18

3.1. Waktu dan Tempat ... 18

3.2. Bahan dan Alat ... 18

3.3. Metode Penelitian ... 18

3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku ... 19

3.3.2. Karakterisasi bahan baku ... 19

(10)

3.3.2.2. Uji proksimat ... 19

3.3.3. Ekstraksi komponen antioksidan ... 22

3.3.4. Ekstrak kasar ... 24

3.3.4.1. Uji aktivitas antioksidan (DPPH) ... 24

3.3.4.2. Uji fitokimia ... 24

3.4. Analisis Data ... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Karakteristik Bahan Baku ... 28

4.1.1. Rendemen ... 29

4.1.2. Kandungan gizi bahan baku ... 29

4.2. Ekstraksi Komponen Antioksidan... 32

4.3. Ekstrak Kasar ... 35

4.3.1. Aktivitas antioksidan ... 35

4.1.2. Senyawa fitokimia ... 41

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Sumber-sumber radikal bebas... 7

2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ... 11

3. Hasil analisis proksimat lintah laut tanpa jeroan kering ... 30

4. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Lintah laut (Discodoris sp.) Perairan Kepulauan Belitung ... 5

2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan ... 12

3. Diagram alir ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol, dan aquabides ... 23

4. Lintah laut utuh segar, tanpa jeroan kering dan serbuknya ... 28

5. Ekstrak kasar lintah laut ... 34

6. Rendemen ekstrak kasar lintah laut... 34

7. Reaksi radikal bebas DPPH dengan ekstrak kasar lintah laut ... 37

8. Hubungan konsentrasi dengan persentase penghambatan BHT ... 37

9. Hubungan konsentrasi dengan rata-rata persentase penghambatan ekstrak kasar lintah laut... 38

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Lokasi pengambilan lintah laut (Discodoris sp.) ... 50

2. Contoh perhitungan hasil proksimat ... 50

3. Data rendemen ekstrak kasar lintah laut... 51

4. Analisis sidik ragam rendemen ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut ... 52

5. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan ... 52

6. Contoh perhitungan nilai IC50 ... 53

7. Hasil uji aktivitas antioksidan ... 54

8. Analisis sidik ragam aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut berdasarkan jenis pelarut ... 55

(14)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kondisi dunia yang semakin maju dengan berbagai teknologi telah

mendorong penghuninya menjadi manusia modern. Pola hidup manusia yang

modern memiliki kesadaran yang rendah terhadap pemeliharaan kesehatan dan

lingkungannya, contohnya penggunaan berbagai fasilitas yang dapat

menimbulkan polusi udara. Pencemaran udara kota-kota besar di Indonesia saat

ini telah melebihi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),

yaitu 50 mikrogram per meter kubik (ìg/m3) (PDPERSI 2009). Pencemaran udara yang telah melebihi standar WHO sangat rawan dalam menimbulkan berbagai

gangguan pada kesehatan.

Sumber polusi dapat berasal dari kendaraan bermotor, industri, asap rokok,

mesin fotocopy, pendingin ruangan maupun kebakaran hutan. Tingkat polusi yang

tinggi dapat menjadi salah satu pemicu terbentuknya radikal bebas sebagai produk

samping dari proses respirasi dan metabolisme normal tubuh. Senyawa radikal

bebas juga dapat terbentuk dalam tubuh melalui proses oksidasi yang berlangsung

pada waktu bernapas, olah raga yang berlebihan maupun peradangan.

Radikal bebas adalah senyawa kimia yang memiliki satu atau lebih

elektron tidak berpasangan di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu

bereaksi dengan protein, lipid, atau DNA. Reaksi antara radikal bebas dan

molekul tersebut dapat berujung pada timbulnya suatu penyakit (Sofia 2008).

Radikal bebas pada awalnya diperlukan untuk membunuh mikroorganisme

penyebab infeksi dalam tubuh makhluk hidup. Paparan radikal bebas yang

berlebihan dan secara terus-menerus dapat menyebabkan kerusakan sel,

mengurangi kemampuan sel untuk beradaptasi terhadap lingkungannya, dan pada

akhirnya dapat menyebabkan kematian sel yang memicu terjadinya berbagai jenis

penyakit degeneratif seperti jantung koroner, tekanan darah tinggi, aterosklerosis,

kencing manis dan kanker (PDPERSI 2009). Reaktivitas radikal bebas ini dapat

diredam oleh senyawa antioksidan.

Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat oksidasi

(15)

elektronnya kepada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan yang

disebabkan oleh radikal bebas. Di dalam tubuh terdapat mekanisme antioksidan

atau antiradikal bebas secara endogenik. Tetapi bila jumlah radikal bebas dalam

tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan yang berasal dari luar tubuh

(eksogenik) (Pratiwi et al. 2006).

Antioksidan sintetik yang berkembang saat ini dikhawatirkan dapat

memberi efek samping yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Tubuh manusia

mempunyai batasan maksimum dalam mentolerir seberapa banyak konsumsi

bahan tambahan makanan setiap hari yang disebut ADI atau Acceptable Daily

Intake. Nilai ADI untuk BHT adalah sebesar 0-0,3 mg/kg bw (WHO 1999;

D’Mello 2003). Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm

(Ketaren 1986). Penggunaan antioksidan sintetik pada manusia dalam jangka

panjang dan jumlah berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hati

(Ford et al. 1980 diacu dalamNurhikmah 2006). Potensi antioksidan alami harus

dikembangkan untuk memperoleh antioksidan yang lebih aman dikonsumsi. Salah

satu sumber daya perairan yang berpotensi sebagai penghasil antioksidan alami

adalah lintah laut (Discodoris sp.).

Lintah laut merupakan anggota kelompok filum mollusca yang tidak

memiliki cangkang. Fungsi dari cangkang digantikan oleh sistem perlindungan

kimia berupa senyawa aktif dalam tubuhnya (Davies-coleman 2006). Senyawa

aktif ini digunakan lintah laut untuk melindungi diri dari serangan predator

maupun gangguan di lingkungannya.

Masyarakat Bajo di Pulau Buton biasa mengkonsumsi lintah laut sebagai

aprodisiaka dan peningkat stamina tubuh. Penelitian sebelumnya telah dilakukan

terhadap lintah laut yang berasal dari Pulau Buton. Hasil penelitian

Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut mengandung steroid yang

memiliki aktivitas androgenik dan anabolik. Penelitian Witjaksono (2005)

menunjukkan bahwa ekstrak dan minyak dari lintah laut mengandung sterol, asam

lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa

lintah laut yang berasal dari perairan Pulau Buton mengandung antioksidan dan

(16)

Lintah laut tidak hanya terdapat pada Perairan Pulau Buton. Perairan

Kepulauan Belitung juga memiliki lintah laut yang dikenal dengan nama

“inal-inal”, namun sebagian besar masyarakatnya belum mengetahui akan

keberadaan dan potensi yang dimiliki lintah laut. Hal tersebut mendasari

penelitian ini untuk mengetahui potensi antioksidan yang terdapat dalam lintah

laut dari Perairan Kepulauan Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya informasi mengenai kandungan senyawa antioksidan lintah laut yang

dapat bermanfaat untuk bidang pangan, farmasi maupun industri lainnya.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mempelajari karakteristik lintah laut

(Discodoris sp.) dari Perairan Kepulauan Belitung, (2) mempelajari pengaruh

perbedaan jenis pelarut terhadap persentase rendemen dan aktivitas antioksidan

ekstrak kasar lintah laut, dan (3) menentukan komponen bioaktif yang terdapat

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lintah Laut (Discodoris sp.)

Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan anggota dari kelompok ordo

Nudibranchia. Kata Nudibranch berasal dari Bahasa latin nudus yang berarti

telanjang dan bahasa Yunani brankhia yang berarti insang. Nudibranch tidak

memiliki cangkang, sehingga menggunakan senyawa kimia dalam tubuhnya untuk

mempertahankan diri. Kelompok hewan ini memiliki corak dan warna yang

beraneka ragam, namun beberapa jenis dari hewan ini mempunyai kemampuan

kamuflase yang handal sehingga cukup sulit untuk ditemukan (Sorowako 2008).

Klasifikasi lintah laut secara sistematik menurut Rudman (1999) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Animal

Phylum : Molusca

Kelas : Gastropoda

Sub Kelas : Opistobranchia

Ordo : Nudibranchia

Sub Ordo : Doridina

Famili : Dorididae

Genus : Discodoris sp.

Lintah laut (Discodoris sp.) adalah spesies yang banyak ditemukan di

kepulauan Philipina, Papua New Geunia, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan

Australia. Hewan ini memiliki tubuh yang berwarna coklat kehitam-hitaman

dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya. Permukaan tubuhnya

licin dan tidak dilindungi oleh lapisan pelindung. Insang-insangnya berjumbaian

di punggung, selain itu hewan ini memiliki kepala bertentakel yang sangat sensitif

terhadap sentuhan, rasa dan bau. Matanya yang kecil hanya bisa melihat sedikit

selain membedakan terang dan gelap (Sorowako 2008). Morfologi lintah laut

(18)

Gambar 1. Lintah laut (Discodoris sp.) Perairan Kepulauan Belitung

Lintah laut biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu

karang hingga di dasar laut kelam lebih dari satu kilometer dalamnya, nudibranch

berkembang biak baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling

cerobong-cerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009).

Hewan ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau

berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian

bawahnya dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya

lambat (Rudman 1999).

Lintah laut temasuk hewan herbivora, makanannya adalah berbagai alga

baik yang berukuran kecil (fitoplankton/mikroalga) maupun yang berukuran besar

makroalga/rumput laut yang terdiri dari rumput laut coklat (Paeophyceae), merah

(Rodophyceae), dan hijau (Chlorophyceae). Racun yang terdapat pada mangsanya

tidak membahayakan hewan ini, melainkan dapat digunakan sebagai suatu alat

pertahanan terhadap musuh. Banyak nudibranch yang dapat berpindah dari lokasi

pencarian makanan yang satu ke yang lain (Holland 2009).

Kelompok hewan Nudibranch lebih suka menyendiri, dengan kebiasaan

nokturnal serta wilayah pengembaraan yang sempit. Nudibranch dapat melakukan

kamuflase mulai dari warna kusam hingga cemerlang, bukan warna-warna

kontras. Pigmen warnanya mirip spons dipengaruhi oleh substrat edibel tempat

mereka berdiam hewan ini mencium, mengecap, dan merasakan dunia dengan

menggunakan tonjolan-tonjolan sensor di kepala yang disebut rhinophore dan

tentakel-tentakel oral. Sinyal-sinyal kimia digunakan untuk membantu

(19)

Nudibranch temasuk hewan hermaprodit, yaitu hewan yang memiliki

organ jantan maupun betina dalam satu individu serta membuahi sesamanya.

Tergantung spesies, pasangan nudibranch meletakkan telurnya dalam bentuk

spiral, pita, atau rumpun kusut, berjumlah dua juta sekali bertelur, namun tidak

semua pembuahannya berhasil (Holland 2009). Ketika organisme ini siap untuk

kawin akan bermigrasi ke daerah pantai yang berbatu dan ditumbuhi subur oleh

tanaman alga atau rumput laut dan menyemprotkan telur dan sperma sekaligus di

sekitar bebatuan tersebut. Telur-telur tersebut akan dibiarkan melayang di sekitar

bebatuan agar terhindar dari predator dan dibiarkan menetas sendiri

(Rudman 1983 diacu dalamWitjaksono 2005).

2.2. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih

elektron tak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan

senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Radikal ini akan merebut

elektron dari molekul lain yang ada disekitarnya untuk menstabilkan diri,

sehingga senyawa kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel,

kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Fessenden dan Fessenden 1986).

Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. hal ini ditunjukkan

oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya.

Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron.

Sebagai dampak dari kerja radikal bebas tersebut, akan terbentuk radikal bebas

baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk

berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa radikal

bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut

akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila

senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan

terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang

tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal

bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas,

(3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007).

Mekanisme reaksi radikal bebas digambarkan sebagai suatu deret

(20)

awal radikal bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru

(propagasi), dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan

menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif (Fessenden dan Fessenden1986).

Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen

(sebagai respon normal proses biokimia internal maupun eksternal) dan secara

eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui

injeksi) (Winarsi 2007). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain

yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal

bebas. Sumber-sumber radikal bebas yang berasal dari faktor endogen maupun

eksogen dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber-sumber radikal bebas

Sumber endogen Sumber eksogen

Mitokondria

Fagosit

Xantin oksidase

Reaksi yang melibatkan logam transisi

Jalur arakhidonat

Peroksisom

Olahraga

Peradangan

Iskemia/reperfusi

Rokok

Polutan lingkungan

Radiasi

Obat-obatan tertentu, pestisida

dan anestesi dan larutan industri

Ozon

Sumber: Tuminah (2000)

Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya

karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak.

Radikal bebas terbentuk di dalam tubuh akibat produk sampingan proses

metabolisme ataupun karena terdapat radikal bebas dalam tubuh melalui

pernapasan (Dalimarta dan Soedibyo 1998 diacu dalamPratiwi et al. 2006). Akan

tetapi, radikal bebas tidak selalu merugikan. Misalnya, radikal bebas berperan

dalam pencegahan penyakit yang disebabkan karena mikrobia melalui sel-sel

(21)

2.3. Antioksidan

Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi

elektron (electron donor). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa

yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh.

Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa

yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat

(Winarsi 2007).

2.3.1. Fungsi antioksidan

Antioksidan berfungsi untuk menetralisasi radikal bebas, sehingga atom

dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi

stabil. Keberadaan antioksidan dapat melindungi tubuh dari berbagai macam

penyakit degeneratif dan kanker. Selain itu antioksidan juga membantu menekan

proses penuaan/antiaging (Tapan 2005).

2.3.2. Sumber antioksidan

Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok,

yaitu antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) dan antioksidan

sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia).

Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami adalah fenol,

polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon,

katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam organik polifungsi.

Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk tujuan komersil (Pratt

dan Hudson 1990).

Antioksidan sintetik ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mencegah

ketengikan. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan sekarang adalah

senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun. Oleh karena itu penambahan

antioksidan ini harus memenuhi beberapa persyaratan, misalnya tidak berbahaya

bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efektif pada

konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat, dan ekonomis. Empat

macam antioksidan sintetik yang sering digunakan adalah Butylated

hydroxyanisole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT), Propylgallate (PG), dan

(22)

2.3.3. Mekanisme kerja antioksidan

Aktivitas penghambatan antioksidan dalam reaksi oksidasi berdasarkan

keseimbangan reaksi keseimbangan reaksi oksidasi reduksi. Molekul antioksidan

akan bereaksi dengan radikal bebas (R*) dan membentuk molekul yang tidak

reaktif (RH) dan dengan demikian reaksi berantai pembentukan radikal bebas

dapat dihentikan (Belitz dan Grosch 1999).

Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah

senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi

atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi,

dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi (Ketaren 1986), yaitu

(1) pelepasan hidrogen dari antioksidan, (2) pelepasan elektron dari antioksidan,

(3) addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan (4) pembentukan

senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga

kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer

disebut juga antioksidan endogenus atau enzimatis. Suatu senyawa dikatakan

sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat

kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera

berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim

superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Sebagai

antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas

dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya

menjadi produk yang lebih stabil (Winarsi 2007).

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau

non-enzimatis. Antioksidan kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif

dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan

metal, atau dirusak pembentukannya. Kerja antioksidan sekunder yaitu dengan

cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara

menangkapnya. Antioksidan sekunder meliputi vitamin e, vitamin C, -karoten,

flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin (Winarsi 2007).

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan

(23)

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang

terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double stand,

baik gugus basa maupun non-basa (Winarsi 2007).

Dari berbagai jenis antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta

kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali, kombinasi

beberap jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme)

terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis antioksidan saja (Siagian 2002).

2.4. Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa

zat menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973).

Harbone (1987) menambahkan bahwa ekstraksi adalah proses penarikan

komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu.

Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang

mengandung komponen-komponen aktif.

Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara

lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak

dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat

dilakukan terdiri dari ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid

extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode

yang telah dilakukan, metode yang banyak digunakan adalah destilasi dan

ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998).

Ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu

aqueous phase dan organic phase. Ekstraksi aqueous phase dilakukan dengan

menggunakan pelarut air, sedangkan organic phase menggunakan pelarut organik

(Winarno et al. 1973). Prinsip metode ekstraksi menggunakan pelarut organik

adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu

tertentu kemudian diikuti dengan pemisahan dari bahan yang telah diekstrak

(Houghton dan Raman 1998).

Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut

yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang

relatif sama kepolarannya. Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik,

(24)

Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya

Pelarut Titik didih

Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)

Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid

kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida

(Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa

faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang

digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama

waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel

(Darusman et al. 1995).

Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan keberhasilan proses

ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya,

mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar

(Ketaren 1986). Selain itu, keberhasilan ekstraksi juga tergantung pada banyaknya

(25)

berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi

dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas kontak yang besar (Khopkar 2003).

2.5. Uji Aktivitas Antioksidan

Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu

bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH).

DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara

mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak

reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan

dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada

pita absorbansi (Molyneux 2004).

Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan

prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua

terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa

dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu

mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk

DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning

pucat) (Molyneux 2004). Prinsip penurunan nilai absorbansi digunakan untuk

mengetahui kapasitas antioksidan suatu senyawa. Struktur DPPH dan DPPH

tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)

Gambar 2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode

DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan

substrata atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH

sebesar 50 % (Molyneux 2004). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi

(26)

sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara

0,05-0,1 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,101-0,150 mg/ml, dan lemah jika IC50

bernilai 0,150-0,200 mg/ml.

2.6. Senyawa Fitokimia

Fitokimia adalah cabang ilmu yang mempelajari senyawa organik yang

dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia, biosintesis,

perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alami, dan fungsi biologis.

Senyawa fitokimia bukanlah zat gizi, namun kehadirannya dalam tubuh dapat

membuat tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008).

Senyawa fitokimia berpotensi mencegah bebagai penyakit seperti penyakit

degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987).

2.6.1. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang

terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Pada

umumnya alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa (adanya gugus amino)

yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dalam bentuk gabungan sebagai

bagian dari sistem siklik (Harborne 1987).

Kelompok senyawa alkaloid terdiri dari alkaloid sesungguhnya,

protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa

tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali

bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan

dari asam amino, dan biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam

organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana dalam

nitrogen asam amino tidak terdapat cincin heterosiklis, dan diperoleh berdasarkan

biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan

dari prekursor asam amino, dan biasanya senyawa ini bersifat basa

(Sastrohamidjojo 1996).

2.6.2. Steroid/Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang disusun dari

6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30 hidrokarbon

siklik. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, sering mempunyai titik lebur

(27)

Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen

sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung (cardiac glycoside). Beberapa

triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Hormon steroid

dalam mamalia dibiosintesis dari kolesterol. Steroid berupa padatan kristal yang

berwarna putih dan dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau

partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan dalam kristalisasi. Steroid

mempunyai 17 atom karbon atau lebih sehingga golongan senyawa ini cenderung

tidak larut dalam air (Wilson dan Gisvold 1982).

2.6.3. Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua

inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki

karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B

biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996).

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida

dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan

mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna

(Harbone 1987). Flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol,

flavonon, flavononon, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin,

katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).

Flavonoid memberikan konstribusi keindahan dan kesemarakan pada

buah-buahan di alam. Flavon memberikan warna kuning atau jingga, antosianin

memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna yang terdapat pada

pelangi kecuali warna hijau (Sastrohamidjojo 1996). Flavonoid pada tumbuhan

berfungsi dalam pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba

dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995).

Kegunaan flavonoid juga ditemukan dalam kehidupan manusia. Flavon

bekerja sebagai stimulan pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah

kapiler. Flavon terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan

(28)

2.6.4. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa

jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan

hemolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai senyawa aktif

permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik dengan gula

yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998).

Terdapat dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan

glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal.

Kedua jenis ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya

yang disebut sapogenin diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau

hidrolisis memakai enzim, dan tanpa bagian gula ciri kelarutannya sama dengan

ciri sterol lain (Robinson 1995).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada

epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan

menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan

oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Dengan sifat ini

lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin bisa juga sebagai prekursor

hormon steroid (Sirait 2007).

2.6.5. Fenol hidrokuinon

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus

hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga

terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik

(Harborne 1987).

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti

kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi,

kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon,

antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya

terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol (Harborne 1987).

Polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain

(29)

sehingga menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Selain itu, polifenol

memiliki sifat antioksidatif dan antitumor (Mukhopadhiay 2000).

2.6.6. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman

dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO2)

yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan

karbohidrat sederhana glukosa dan oksigen yang dilepas di udara

(Almatsier 2006).

Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida

serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari

lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10

monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri

lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 1997).

Karbohidrat mempunyai peranan penting untuk mencegah pemecahan

protein tubuh yang berlebihan yang berakibat kepada penurunan fungsi protein

sebagai enzim dan fungsi antibodi, timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan

berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Budiyanto 2002).

2.6.7. Gula pereduksi

Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya

gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada

glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan

pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai

gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan

laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya

(Winarno 1997).

Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida

disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul

karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat

maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung

kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion

(30)

Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat

basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah

bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa

(Poedjiadi 1994).

2.6.8. Peptida

Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari

satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan

amida atau ikatan peptida. Pengertian peptida biasanya untuk menyatakan polimer

yang memiliki berat molekul lebih rendah dari 5000. Peptida dapat dihidrolisis

sebagian menjadi protein, juga senyawa yang mengandung asam amino

non-protein (Sastrohamidjojo 1996).

Dipeptida diturunkan dari dua asam amino tripeptida dari tiga asam amino,

dan seterusnya. Siklisasi dipeptida menghasilkan 2,5-dioksopi-perazin dan

senyawa sejenisnya sering disintesis oleh mikroorganisme (Sastrohamidjojo

1996). Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga

dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lain membentuk polipeptida dan

akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997).

2.6.9. Asam amino

Asam amino adalah asam karboksilat yang mempunyai

sekurang-kurangnya satu gugus amino. Kebanyakan asam amino alam mempunyai rumus

umum RCH(NH3+)CO2- (Robinson 1995). Semua asam amino berkonfigurasi á

dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C

asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein

(Winarno 1997).

Sebagian besar sifat fisika asam amino ditentukan oleh struktur ion

dwikutub. Kelompok asam amino lebih mudah larut dalam air daripada dalam

pelarut organik. Asam amino membentuk garam dengan asam atau basa karena

bersifat amfoter (Robinson 1995). Derajat ionisasi dari asam amino sangat

dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1,0 gugus

karboksilnya tidak terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH

yang tinggi misalnya pada pH 11,0 karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan

(31)

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juli 2009. Lintah laut

diambil dari perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Analisis lintah laut

bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi

Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biologi

Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi-LPPM, serta

Laboratorium Basah Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, timbangan digital, timbangan

analitik, cawan porselin, oven, desikator, tanur pengabuan, labu Kjeldahl,

kondensor, erlenmeyer, kapas, alat soxhlet, water bath shaker, kertas saring

whatman 42, evaporator vakum putar Buchi Rotavapor R-205, botol ekstrak,

freezer, tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik, kompor listrik, pipet mikro,

inkubator, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800.

Bahan yang digunakan terdiri dari bahan utama dan bahan pembantu.

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lintah laut (Discodoris

sp.) segar yang telah dikeringkan dengan panas matahari. Bahan pembantu yang

digunakan antara lain air, aquades, H2SO4, selenium, NaOH 40 %, H3BO3, methyl

red, brom creosol green, HCl 0,1 %, pelarut lemak, asam klorida 2 N,

metanol p.a, etanol p.a, aquabides, radikal bebas DPPH (1,1-difenil

-2-pikrilhidrazil), BHT (Butylated Hydroxytoluena) sebagai antioksidan

pembanding, kloroform p.a, anhidrat asetat, asam sulfat pekat, pereaksi

Dragendorff, pereaksi wagner, pereaksi Meyer, serbuk magnesium, HCl 37 %,

etanol 70 %, FeCl3 5 %, pereaksi molisch, pereaksi benedict, pereaksi biuret, dan

larutan ninhidrin 0,1 %.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yaitu (1) pengambilan dan

preparasi bahan baku, (2) karakterisasi bahan baku, (3) ekstraksi komponen

(32)

3.3.1. Pengambilan dan preparasi bahan baku

Bahan baku lintah laut (Discodoris sp.) diambil dari Perairan Tanjung

Binga Kepulauan Belitung. Lintah laut ditemukan di pinggir pantai yang terdapat

pasir dan karang-karang mati. Lintah laut diambil pada pagi hari sekitar pukul

9.00-11.00 wib saat air laut surut. Pengambilan lintah laut dilakukan saat air laut

surut karena saat air pasang sangat sulit untuk menemukan keberadaan lintah laut.

Ukuran panjang lintah laut yang digunakan berkisar 3-6 cm.

Daging lintah laut dipisahkan dari jeroannya kemudian dicuci dengan air

bersih untuk menghilangkan benda-benda asing yang masih menempel seperti

pasir, kerikil dan kotoran lainnya. Setelah bersih, daging lintah laut dikeringkan di

bawah sinar matahari selama 2-3 hari. Lintah laut ditimbang berat utuhnya serta

berat sebelum dan sesudah pengeringan untuk mengetahui rendemennya.

Lintah laut tanpa jeroan yang telah kering dihancurkan dengan

menggunakan mortar dan blender sehingga diperoleh bentuk serbuk. Serbuk lintah

laut tanpa jeroan inilah yang akan digunakan dalam analisis proksimat dan proses

ekstraksi dengan pelarut polar.

3.3.2. Karakterisasi bahan baku

Karakterisasi lintah laut dilakukan melalui perhitungan rendemen dan uji

proksimat.

3.3.2.1. Rendemen

Perhitungan rendemen digunakan untuk mengetahui persentase rendemen

daging dan jeroan lintah laut baik segar ataupun kering. Adapun perumusan

matematiknya adalah sebagai berikut:

3.3.2.2. Uji proksimat

Analisis proksimat dilakukan terhadap lintah laut yang telah dibuang

jeroannya dan dikeringkan menggunakan sinar matahari, kemudian dihaluskan

menggunakan mortar dan blender sehingga diperoleh sampel dalam bentuk

serbuk. Analisis proksimat yang dilakukan adalah: % 100 utuh laut lintah bobot

daging bobot (%)

(33)

1) Kadar air (AOAC 1995)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

mengeringkan cawa porselen dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit.

Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin

kemudian ditimbang hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan daging lintah

laut sebanyak 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan

tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 oC selama 6 jam.

Cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.

Kadar air ditentukan dengan rumus:

2) Kadar abu (AOAC 1995)

Cawan abu porselen dimasukkan dalam tungku pengabuan selama kurang

lebih 1 jam. Setelah itu cawan abu porselen tersebut didinginkan dalam desikator

dan ditimbang berat kosongnya. Daging lintah laut sebanyak 1-2 gram

dimasukkan ke dalam cawan abu porselen, kemudian diletakkan dalam tungku

pengabuan hingga suhu 600 oC. Proses pengabuan dilakukan sampai diperoleh

abu berwarna abu-abu. Setelah itu cawan abu porselen didinginkan selama

30 menit dan ditimbang beratnya.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

3) Analisis abu tidak larut asam (FMC Corp. 1977)

Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dengan

25 ml HCl 10 % selama lima menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring

menggunakan kertas saring tak berabu, lalu didinginkan dalam desikator untuk

(34)

4) Kadar protein (AOAC 1995)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap

yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(1)Tahap destruksi

Daging lintah laut ditimbang sebanyak 0,1 gram, kemudian

dimasukkan ke dalam tabung kjeltac. Selanjutnya ditambahkan selenium

dan 3 ml H2SO4 ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan

tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC. Proses

destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening.

(2)Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan

dengan aquades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat

destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml.

Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam

erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (cairan

methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah kondensor.

Destilasi dilakukan sampai diperoleh 200 ml destilat yang bercampur

dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer.

(3)Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna

larutan erlenmeyer berubah warna menjadi pink.

Kadar protein ditentukan dengan rumus:

5) Kadar lemak (AOAC 1995)

Penentuan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi

soxhlet. Daging lintah laut sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam kertas saring

dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam

labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya dan disambungkan dengan (ml HCl - ml HCl blanko) 0,1 N HCl 14,007

% N 100 %

mg sampel

Kadar protein % N 6,25

 

 

(35)

tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung

soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat

destilasi soxhlet, lalau dipanaskan pada suhu 40 oC dengan menggunakan

pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak

didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan

tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke

dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105

o

C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan.

Kadar lemak ditentukan dengan rumus:

3.3.3. Ekstraksi komponen antioksidan

Ekstraksi dilakukan untuk menghasilkan ekstrak kasar lintah laut dengan

menggunakan pelarut. Komponen antioksidan pada lintah laut diperoleh melalui

ekstraksi tunggal dengan menggunakan tiga pelarut polar yang berbeda, yaitu

metanol, etanol dan aquabides.

Lintah laut tanpa jeroan kering yang telah dihancurkan ditimbang beratnya

50 gram, kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Masing-masing pelarut

metanol dan etanol ditambahkan sampai sampel terendam dengan perbandingan

bahan dan pelarut 1:3 (w/v). Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan aluminium foil

untuk mencegah penguapan dari pelarut. Sampel dimaserasi menggunakan shaker

LED Orbitselama 5x24 jam. Setiap 24 jam, hasil maserasi disaring dengan kertas

saring whatman 42 untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya.

Ekstraksi dengan pelarut aquabides dilakukan dengan memanaskan

aquabides sebanyak 750 ml dalam panci kaca hingga suhu 100 oC. Lintah laut

tanpa jeroan kering yang telah dihancurkan ditambahkan ke dalam panci kaca

sebanyak 50 gr sehingga diperoleh perbandingan bahan dan pelarut 1:15 (w/v).

Sampel dan pelarut dipanaskan selama 20 menit dengan selalu diaduk. Setelah

dingin, sampel disaring dengan menggunakan kain katun dilanjutkan dengan

kertas saring whatman 42 untuk memisahkan filtrat dengan ampasnya.

Filtrat dari masing-masing pelarut dimasukkan dalam erlenmeyer dan

(36)

maserasi menggunakan pelarut etanol dan metanol dilakukan dengan evaporator

vakum putar Buchi Rotavator R-205 pada suhu 37 oC, sedangkan filtrat aquabides

dievaporasi pada suhu 54 oC sehingga diperoleh ekstrak kasar. Ekstrak kasar ini

dimasukkan dalam botol ekstrak untuk dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan

metode DPPH (Blois 1958 diacu dalam Molyneux 2004) dan uji fitokimia secara

kualitatif (Harborne 1987). Diagram alir proses ekstraksi komponen antioksidan

menggunakan pelarut etanol, metanol, dan aquabides dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi dengan pelarut etanol, metanol (Pramadhany 2006 yang dimodifikasi*), dan aquabides (Anesini et al. 2005 yang dimodifikasi*)

3.3.4. Ekstrak kasar

Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak kasar menggunakan dua uji,

yaitu uji aktivitas antioksidan (DPPH) untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari

ekstrak masing-masing pelarut, dan uji fitokimia untuk mengetahui senyawa

kimia yang terdapat dalam ekstrak lintah laut.

Lintah laut tanpa jeroan

Penimbangan (50 g)*

Maserasi 5x24 jam

dengan etanol

150 ml (m/v)*

Penyaringan

Filtrat Residu

Evaporasi

Ekstrak kasar

Pemanasan selama 20 menit

dalam pelarutaquabides

750 ml (m/v)* suhu 100 oC

Maserasi 5x24 jam

dengan metanol

(37)

3.3.4.1. Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004)

Ekstrak kasar lintah laut yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan

metanol p.a, etanol p.a, dan aquabides dilarutkan dalam metanol p.a dengan

konsentrasi 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Antioksidan sintetik BHT

digunakan sebagai pembanding dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50, da 100 ppm.

Larutan pereaksi DPPH yang digunakan dibuat dengan melarutkan DPPH dalam

metanol p.a dengan konsentrasi 1 mM, yang dibuat segar dan dijaga pada suhu

rendah serta terlindung dari cahaya. Sebanyak 4 ml larutan uji atau pembanding

direaksikan dengan 1 ml larutan DPPH dalam tabung reaksi. Campuran tersebut

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya

dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang

gelombang 517 nm. Larutan standar dibuat dengan mencampur 4 ml metanol p.a

dengan 1 ml DPPH. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel dan BHT

dinyatakan dengan persentase penghambatan radikal bebas yang dihitung dengan

rumus:

Nilai konsentrasi dan hambatan ekstrak diplot masing-masing pada sumbu

x dan y. Persamaan garis yang diperoleh dalam bentuk y = bLn(x) + a digunakan

untuk mencari nilai IC (inhibitor concentration), dengan menyatakan nilai y

sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi larutan

sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50 %.

3.3.4.2. Uji fitokimia (Harborne 1987)

Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang

terdapat pada ekstrak kasar lintah laut masing-masing pelarut. Uji fitokimia yang

dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol

hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin. Metode uji didasarkan pada

Harborne (1987).

a) Uji Alkaloid

Sebanyak 1 gr sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N

(38)

dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk

endapan putih kekuningan, dengan pereaksi Wagner membentuk endapan putih

kekuningan, dengan pereaksi Wagner membentuk endapan coklat dan dengan

pereaksi Dragendorff membentuk endapan merah sampai jingga.

b) Uji Steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 gr sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung

reaksi. Anhidrida asetat sebanyak 10 tetes dan asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes

ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif sampel mengandung

steroid dan triterpenoid yaitu terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama

kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

c) Uji Saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil

selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan

sampel mengandung saponin.

d) Uji Flavonoid

Sebanyak 1 gr sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml

amil alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama)

dan 4 ml alkohol, kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel

mengandung flavonoid yaitu terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada

lapisan amil alkohol.

e) Uji Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sebanyak 1 g sampel lintah laut kering diekstrak dengan 20 ml etanol

70 %. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan

2 tetes larutan FeCl3 5 %. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa fenol

yaitu terbentukya larutan berwarna hijau atau hijau biru.

f) Uji Molisch

Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch dan

1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Hasil uji positif sampel

mengandung karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu

(39)

g) Uji Benedict

Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi

benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif

sampel mengandung gula pereduksi yaitu terbentuknya larutan berwarna hijau,

kuning atau endapan merah bata.

h) Uji Biuret

Larutan sampel sebanyak 1 ml ditambahkan pereaksi biuret sebanyak 4 ml.

Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung

senyawa peptida yaitu terbentuknya larutan berwarna ungu.

i) Uji Ninhidrin

Larutan sampel sebanyak 2 ml ditambahkan beberapa tetes larutan

ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil

uji positif sampel mengandung asam amino yaitu terbentuknya larutan warna biru.

3.4. Analisis Data

Perlakuan pada penelitian ini adalah penggunaan jenis pelarut polar yaitu

metanol, etanol, dan aquabides. Semua perlakuan dilakukan sebanyak dua kali

ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data

rendemen ekstrak dan hasil uji kandungan antioksidan dengan DPPH adalah

rancangan acak lengkap (RAL) dengan model sebagai berikut (Steel dan Torie

1980):

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan rendemen ekstrak; hasil uji kandungan antioksidan

(i) pada ulangan ke-j

ð = rataan umum

ái = pengaruh jenis pelarut polar (i)

åij = pengaruh galat jenis pelarut polar (i) pada ulangan ke-j

Hipotesis rancangan acak lengkap (RAL) terhadap rendemen ekstrak dan

hasil uji kandungan antioksidan dengan DPPH adalah sebagai berikut:

H0 : jenis pelarut tidak berpengaruh nyata (ái = 0)

H1 : jenis pelarut berpengaruh nyata (ái ≠ 0)

(40)

Apabila hasil analisis ragam (ANOVA) pada rendemen ekstrak dan hasil

uji kandungan antioksidan dengan DPPH berbeda nyata pada selang kepercayaan

95% (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dengan rumus sebagai

berikut: S¢ = ඥሺሻȀ”

Rp = qá’ x S¢

Keterangan:

S¢ = significant range

= kuadrat tengah sisa

r = ulangan

qá’ = significant studentized range

(41)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah lintah laut

(Discodoris sp.) dari Perairan Tanjung Binga Kepulauan Belitung. Lokasi

pengambilan lintah laut dapat dilihat pada Lampiran 1. Lintah laut dikurangi

kadar airnya melalui proses pengeringan. Keuntungan dilakukannya pengeringan

adalah daya awet bahan yang lebih lama, volume dan berat bahan menjadi lebih

kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan. Pengeringan

dapat berlangsung baik, jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan dan

uap air dikeluarkan dari seluruh permukaan bahan tersebut (Winarno et al. 1980).

Lintah laut tanpa jeroan kering memiliki tekstur yang keras, dan berwarna

hitam kecoklatan. Setelah kering, lintah laut tanpa jeroan dihancurkan sehingga

diperoleh bentuk serbuk. Bahan baku dalam bentuk serbuk dapat mempermudah

saat analisis proksimat dan proses ekstraksi karena permukaan bahan baku yang

kontak dengan pelarut lebih luas. Serbuk lintah laut tanpa jeroan disimpan dalam

wadah tertutup untuk melindungi bahan baku dari lingkungan sekitarnya. Lintah

laut segar, tanpa jeroan kering dan bentuk serbuknya dapat dilihat pada Gambar 4.

(42)

Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan baku yang

digunakan. Suatu bahan baku memiliki sifat fisik maupun kimia yang berbeda

dengan yang lainnya. Karakterisasi pada penelitian ini meliputi pengukuran

rendemen dan analisis kandungan gizi bahan baku (uji proksimat).

4.1.1. Rendemen

Rendemen adalah persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan.

Lintah laut utuh ditimbang beratnya baik sebelum maupun sesudah diambil

dengan jeroannya, kemudian dijemur dengan menggunakan panas matahari.

Daging dan jeroan lintah laut yang telah kering ditimbang kembali untuk

mengetahui penurunan berat setelah dikeringkan. Persen rendemen merupakan

perbandingan antara berat daging segar/kering dengan berat utuh lintah laut yang

digunakan.

Hasil pengukuran rendemen menunjukkan bahwa daging dan jeroan lintah

laut segar memiliki rendemen sebesar 41,79 % dan 58,21 %, sedangkan rendemen

daging dan jeroan lintah laut kering sebesar 7,20 % dan 8,64 %. Penurunan

rendemen lintah laut disebabkan penguapan kandungan air dalam bahan dengan

adanya energi panas matahari. Lintah laut yang berukuran besar akan memiliki

rendemen yang besar pula. Nilai rendemen digunakan untuk mengetahui nilai

ekonomis suatu produk atau bahan. Semakin tinggi rendemen maka semakin

tinggi pula nilai ekonomisnya sehingga lebih efektif.

4.1.2. Kandungan gizi bahan baku

Senyawa kimia yang mutlak diperlukan oleh tubuh adalah zat gizi. Zat gizi

berperan dalam penyediaan energi, proses pertumbuhan, perbaikan jaringan,

pengaturan serta pemeliharaan proses fisiologis dan biokimiawi di dalam tubuh.

Zat gizi diklasifikasikan dalam 6 kelompok besar yaitu karbohidrat, protein,

lemak, vitamin, mineral dan air (Tejasari 2003).

Kandungan zat gizi pada lintah laut dapat diketahui melalui uji proksimat.

Uji proksimat dilakukan untuk memperoleh data kasar tentang komposisi kimia

suatu bahan. Nurjanah (2009) melakukan uji proksimat pada lintah laut utuh

kering. Hasil uji menunjukkan bahwa lintah laut utuh kering mengandung abu

tidak larut asam yang dapat merusak jaringan ginjal. Abu tidak larut asam tersebut

Gambar

Gambar 1. Lintah laut (Discodoris sp.) Perairan Kepulauan Belitung
Tabel 2.  Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Gambar 2. Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan
Gambar 4. Lintah laut utuh segar, tanpa jeroan kering dan serbuknya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi dimana user dapat mengakses melalui mobile computer ( seperti Laptop atau PDA ) tanpa menggunakan koneksi kabel dengan tujuan suatu jaringan

Efisiensi menurun pada perlakuan C hal ini diduga kualitas pakan kurang baik dikarenakan diduga kelebihan protein sehingga nutrisi yang masuk tidak terserap dengan

Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan motivasi melaksanakan diet pada pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD Dr.. Bagi RSUD

This study aim at (1) describing the complaint responses are used by Javanese learners of English, (2) explaining the differences in complaint responses given by male and female

Penelitian ini menggunakan prosedur permodelan finite element untuk evaluasi numerik karakteristik hasil las titik sebagai material non-standart test berbasis model identasi

Variabel yang digunakan adalah penerapan IFRS sebagai variabel independen dan terdapat berbagai variabel kontrol seperti ukuran perusahaan, rasio total hutang terhadap

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan berupa nikmat iman dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ” Hubungan Personal Hygiene:

Pada dasarnya barcode tersusun atas garis-garis vertikal hitam (bar) dan putih (spasi) dengan ketebalan yang berbeda. Umumnya digunakan pada aplikasi basis data