• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Development of Troll Lines Using Fish Agregation Device (FADs) on Puger Waters, East Java.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Development of Troll Lines Using Fish Agregation Device (FADs) on Puger Waters, East Java."

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

JAWA TIMUR

RATIH PURNAMA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa informasi Pengembangan Armada Pancing Tuna yang menggunakan rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(4)

Menggunakan Rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur. Dibimbing oleh TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, ZULKARNAIN.

Sektor perikanan beberapa tahun terakhir ini sedang mengalami krisis pada dimensi global. Faktor yang menyebabkan situasi ini adalah konsumsi dan pola produksi yang tidak berkesinambungan (unsustainable consumption), meningkatnya overfishing, serta kontribusi polusi dan perubahan iklim (Zhang et al 2013). Salah satu sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis tinggi adalah ikan tuna terutama di Samudera Hindia. Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP 573), salah satunya adalah Perairan Puger.

Penangkapan ikan tuna di Perairan Puger pada umumnya dilakukan dengan armada pancing dan menggunakan alat bantu rumpon. Penggunaan armada pancing di perairan Puger merupakan kegiatan perikanan skala kecil yaitu di bawah 30 GT. Armada pancing ini menggunakan alat bantu rumpon. Peningkatan armada pancing yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah rumpon di perairan ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan sosial. Dampak negatif penggunaan rumpon terhadap sumberdaya yaitu dapat mengganggu kelestarian stok ikan di perairan. Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial yaitu adanya konflik pengguna rumpon dengan stakeholder terkait, baik berupa perebutan sumberdaya maupun hal lainnya yang dapat memicu timbulnya konflik. Hasil tangkapan ikan tuna oleh armada pancing menunjukkan kualitas yang rendah akibat penanganan yang buruk.

Permasalahan yang terjadi terhadap perikanan pancing di Samudera Hindia adalah berkembangnya unit penangkapan dengan menggunakan alat bantu rumpon, sehingga produksi perikanan tuna cenderung menurun. Hasil tangkapan berukuran kecil (tidak layak tangkap), sehingga tidak menguntungkan secara ekonomi. Ikan tuna ekspor harus memiliki berat lebih dari 25 kg/ekor. Selain itu, banyaknya unit penangkapan rumpon juga menyebabkan konflik kepentingan diantara pengguna rumpon.

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi perikanan pancing yang menggunakan rumpon, dan merumuskan strategi pengelolaan perikanan pancing di Perairan Puger, Jawa Timur. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi bagi stakeholder mengenai dampak penggunaan rumpon pada armada pancing di Perairan Puger. Selain itu juga sebagai masukan bagi pemerintah dan dinas terkait dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan pancing berbasis rumpon.

(5)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata armada pancing dalam lima tahun terakhir sebesar 1436.7 kg/unit dengan perkembangan yang cenderung meningkat kecuali tahun 2010. Kondisi di perairan Puger Jawa Timur masih mengalami tekanan eksploitasi yang tinggi. Komposisi hasil tangkapan tidak memenuhi kriteria sebagai produk ekspor, yaitu dengan panjang antara 40 hingga 49 cm. Nilai organoleptik tuna di Perairan Puger di dominasi pada skala 6. Artinya ikan tuna masih belum memiliki kualitas yang baik. Penanganan tuna pasca penangkapan kurang memperhatikan prosedur, sehingga menyebabkan penurunan mutu ikan. Fokus pengelolaan perikanan di Perairan Puger adalah perikanan pancing menggunakan alat bantu rumpon. Hal yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah di atas yaitu harus terus dilakukan sosialisasi daerah, melakukan program pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, lokakarya evaluasi oleh dinas terkait. Implementasi kegiatan tersebut harus berkoordinasi rutin dengan lembaga lokal yang telah dibentuk oleh penanggung jawab kegiatan dan Unit Pengelola Kegiatan (UPK). Lembaga tersebut akan melakukan fungsi dan tugasnya sebagai pengelola dan penyalur bantuan pembangunan sarana dan prasarana sosial ekonomi dan teknologi nelayan. Pengoptimalan fungsi TPI dan koperasi juga harus digalakkan agar harga ikan tidak di monopoli pihak-pihak tertentu dengan harga rendah serta nelayan mendapatkan pinjaman modal untuk melaksanakan kegiatan penangkapan.

(6)

Agregation Device (FADs) on Puger Waters, East Java. Supervised by TRI WIJI NURANI, SUGENG HARI WISUDO, ZULKARNAIN.

Nowdays fisheries sector is undergoing a crisis in global dimensions for the last few years and it has led to the unsustainable consumption, overfishing, as well as the increasing of pollution and climate change distribution. One of the utilization of fisheries resources is tuna especially in South coast Java Seas included Puger seas.

Tunas are catched by troll lines using FADs. the using of troll lines and FADs have been found on small scale fisheries. The increasing troll line fleet was caused by the rising number of FAD on Puger water and it has caused bad influence toward the fish stock and social environment which has led to a conflict between fishermen and stakeholders. They usually fought on existing fish stock and it stepped to another conflict. The fish quality from troll line fleet was not feasible due to bad fish handling on board. Another problem that occured on troll line fishery in the Atlantic Ocean was the increasing number of catch unit around the FAD and had caused the declining of tuna fish production and size which economically not favorable and cannot be exported because it must fit the minimum weight requirement of 25 kg.

The objectives of this research is to evaluate the FAD equiped troll line fishery and formulating the troll line fishery management strategy on the water of Puger in East Java. This research could be beneficial for stakeholders about the FAD influence on troll line fishery in Puger and as information for academician and researcher about tuna quality that was landed on Puger fishing port and this research could be as recommendation for the local government and related fishery department in managing the troll line equiped with FAD.

This research was conducted on January until May 2013 on Puger Fishing Port in Jember East Java when the lean season of Tuna occured at that time. The choice of this location was triggered by the leak of information about troll line fishery around the FAD area in the water of Puger. Two types of data were collected in this research. The secondary data was statistic data which collected from the Puger fish landing port, Veterinar Fishery and Marine Department of Jember Region, BPPPI Department (Balai Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan), Marine and Fisheries Department of East Java. The primary data was collected by interviewing the stakeholders, fishermen, boat owner, fish landing port department and wholesaler also.

(7)

maintaining the socialization to the local fishermen in Puger, managing the coastal area integratedly and continously. The Fish Auction Place must be optimized and cooperative movement should be enforced in order to prevent fish price monopoly by any parties so that the fishermen can do the fishing activity properly in many ways.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

JAWA TIMUR

RATIH PURNAMA SARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

MAYOR SISTEM DAN PEMODELAN PERIKANAN TANGKAP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Judul Penelitian : Pengembangan Armada Pancing Tuna yang Menggunakan Rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur

Nama : Ratih Purnama Sari

NRP : C452110081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Tri Wiji Nurani, MSi Ketua

Dr Ir Sugeng H. Wisudo, MSi Dr Ir Zulkarnain, MSi

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sistem dan Pemodelan

Perikanan Tangkap

Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2013 ini ialah pengembangan armada pancing, dengan judul Pengembangan Armada Pancing Tuna yang Menggunakan Rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Tri Wiji Nurani, Bapak Dr. Ir. Sugeng H. Wisudo, dan Bapak Dr Ir Zulkarnain selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

DAFTAR ISTILAH xii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Hipotesis 3

Tujuan 3

Manfaat 3

Kerangka Pemikiran 3

Hasil Penelitian Terkait 6

2 METODELOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Metode Pengambilan Data 7

Produktivitas perikanan armada pancing 7

Komposisi hasil tangkapan armada pancing 8

Kualitas hasil tangkapan 8

Konflik sosial nelayan 8

Perumusan strategi pengembangan perikanan pancing 9

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Puger 10

Keadaan umum Puger Wetan 10

Keadaan umum Puger Kulon 11

Kondisi Perairan Desa Puger 11

Kondisi Umum PPI Puger 12

Fasilitas PPI Puger 12

Unit penangkapan ikan 13

Volume produksi perikanan PPI Puger 17

Nilai produksi perikanan PPI Puger 17

Keragaan unit penangkapan ikan 18

Daerah penangkapan dan metode pengoperasian alat tangkap 26

(14)

DAFTAR ISI (lanjutan)

4 EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

Pendahuluan 29

Metode Penelitian 30

Cara pengambilan data 30

Analisis data 31

Hasil 32

Produktivitas armada pancing 32

Komposisi hasil tangkapan armada pancing 33

Kualitas hasil tangkapan 35

Konflik sosial nelayan 36

Pembahasan 40

Produktivitas armada pancing 40

Komposisi hasil tangkapan armada pancing 41

Kualitas hasil tangkapan 42

Konflik sosial nelayan 43

Kesimpulan 44

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

Pendahuluan 45

Metode Penelitian 46

Cara pengambilan data 46

Analisis data 46

Hasil 48

Pembahasan 54

Kesimpulan 55

6 PEMBAHASAN UMUM 55

7 KESIMPULAN DAN SARAN 57

DAFTAR PUSTAKA 58

(15)

DAFTAR TABEL

3.1 Jenis dan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012 13 3.2 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah kapal di PPI Puger 14 3.3 Jenis dan jumlah alat tangkap di PPI Puger periode 2007-2011 15 3.4 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah alat tangkap di PPI Puger 15 3.5 Volume produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011 17 3.6 Nilai produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011 18

3.7 Posisi pemasangan rumpon 25

4.1 Produktivitas armada pancing rumpon periode 2007-2011 32 4.2 Nilai organoleptik tuna yang didaratkan di Puger 36 4.3 Jenis konflik, sifat konflik,, dan penyelesaian konflik nelayan

rumpon di Perairan Puger 39

5.1 Matriks SWOT dan kemungkinan alternatif yang sesuai 47 5.2 Matriks IFAS perikanan berkelanjutan di PPI Puger 50 5.3 Matriks EFAS perikanan berkelanjutan di PPI Puger 51 5.4 Matriks SWOT strategi perikanan berkelanjutan di PPI Puger 53

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran 5

2.1 Lokasi penelitian 7

2.2 Ukuran ikan tuna layak tangkap 8

2.3 Posisi perusahaan pada berbagai kondisi 9

3.1 Perkembangan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012 14 3.2 Perkembangan alat tangkap di PPI Puger periode 2009-2012 16 3.3 Perkembangan jumlah nelayan di PPI Puger periode 2009-2012 16

3.4 Konstruksi kapal pancing tuna di Puger 19

3.5 Kapal pancing tuna di PPI Puger 19

3.6 Pancing jerigen 20

3.7 Pancing uncalan (troll line) 21

3.8 Pancing layangan 21

3.9 Pancing prawean (hand line) 22

3.10 Konstruksi rumpon 23

3.11 Konstruksi atraktor berbahan ban bekas 23

3.12 Konstruksi andem (pemberat dasar) rumpon 24

3.13 Bagian pada stabilizer 24

(16)

3.15 Peta lokasi pemasangan rumpon di Perairan Puger 26

3.16 Alat bantu lampu pada kapal 27

3.17 Distribusi penjualan hasil tangkapan nelayan Puger 28

4.1 Pengukuran panjang total ikan 30

4.2 Produktivitas armada pancing periode 2007-2011 33

4.3 Komposisi berat sampel tuna yang didaratkan 34

4.4 Komposisi panjang sampel tuna yang didaratkan 34

4.5 Hasil tangkapan armda pancing 35

4.6 Kualitas hasil tangkapan 35

4.7 Diagram akar permasalahan konflik nelayan rumpon di Puger 37

5.1 Diagram alir tahapan analisis SWOT 47

DAFTAR LAMPIRAN

1 Fasilitas di PPI Puger 61

2 Bagian-bagian pada rumpon 63

3 Data sheet hasil tangkapan tuna kapal 1 64

4 Data sheet hasil tangkapan tuna kapal 2 65

5 Data sheet hasil tangkapan tuna kapal 3 66

6 Data sheet hasil tangkapan tuna kapal 4 67

7 Spesifikasi nilai organoleptik tuna 68

8 Sebaran ukuran panjang dan berat ikan tuna 69

(17)

DAFTAR ISTILAH

Andem : Pemberat yang diletakkan pada bagian bawah rumpon dan berfungsi sebagai jangkar.

Armada pancing : Unit kapal pancing yang melakukan operasi penangkapan Ikan.

Catch per unit effortI : Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap unit (CPUE) penangkapan (armada, alat tangkap, nelayan)

Code of Conduct for : Prinsip-prinsip dasar dan standar internasional dalam responsible fisherie kegiatan perikanan yang bertanggung jawab.

(CCRF)

Fishing base : Lokasi dimana dilakukan pemberangkatan kapal dan pendaratan kapal.

Fishing ground : Lokasi perairan dimana dilakukan operasi penangkapan ikan.

Full-exploited : Kondisi dimana suatu perairan telah dimanfaatkan atau dieksploitasi penuh.

Hinterland : Daerah yang terletak di sekitar (belakang) pelabuhan, termasuk didalamnya kota pelabuhan itu sendiri dan daerah luar pelabuhan yang saling memiliki hubungan ekonomi dengan pelabuhan.

Jukung : Perahu bercadik (katir) di sisi kiri dan kanan, digunakan untuk menangkap ikan.

Kerangkeng : Bagian yang terdapat pada rumpon yang memiliki fungsi yang sama dengan pelepah kelapa.

Konflik : Satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Over-exploited : Kondisi dimana suatu perairan telah dimanfaatkan atau

dieksploitasi secara berlebihan.

Pancing : Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan skoci untuk menangkap ikan tuna

(18)

Pengambek : Juragan ikan yang banyak memodali nelayan, baik untuk biaya operasional melaut, pembuatan kapal, samapai biaya pendidikan nelayan.

Pengelolaan perikanan: Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Dilakukan oleh pemerintah dan diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya alam perairan.

Ponton : Bagian pada rumpon yang berfungsi sebagai pelampung Purpossive Sampling : Pengambilan data secara sengaja berdasarkan karakteristik

yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Jumlah sampel tergantung dari kehomogenan data. Jika data yang diambil sudah homogen, maka pengambilan data sudah mewakili. Rumpon : Alat bantu pengumpul ikan yang dipasang/ditempatkan

pada perairan laut yang berfungsi sebagai tempat mencari makan dan berlindung ikan.

Skoci : kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di sekitar rumpon dengan alat tangkap pancing.

Tali tampar : Tali utama yang terdapat pada rumpon dengan panjang hingga 6500 m.

Talud : Pasangan batu belah yang dipasang pada tepi pelabuhan, berfungsi untuk menahan gelombang dan sedimentasi agar kapal dapat berlabuh dengan lancar.

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output yang bernilai ekonomi masa kini maupun masa mendatang serta sebagai penopang sistem kehidupan. Disisi lain, sumber daya perikanan bersifat dinamis, baik dengan ataupun tanpa intervensi manusia.

Sektor perikanan beberapa tahun terakhir ini sedang mengalami krisis pada dimensi global. Pemerintah dan institusi lainnya seperti UN Fish Stock Agreement, FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan untuk mengatasi krisis ini. Faktor yang menyebabkan situasi tersebut adalah konsumsi dan pola produksi yang tidak berkesinambungan (unsustainable consumption), meningkatnya overfishing, serta kontribusi polusi dan perubahan iklim (Zhang et al 2013). Salah satu sumberdaya perikanan yang sangat dimanfaatkan adalah ikan tuna terutama di perairan Samudera Hindia. Pemanfaatan sumberdaya tuna di perairan Samudera Hindia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terindikasi dengan aktivitas perikanan yang semakin ramai dan bertambahnya ijin usaha penangkapan (Nurdin 2009).

Perairan Selatan Jawa merupakan bagian dari wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP 573). Wilayah ini memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial terutama ikan tuna (Thunnus spp). Penangkapan ikan tuna pada umumnya dilakukan oleh armada pancing. Pengoperasian alat tangkapnya menggunakan rumpon sebagai alat bantu pengumpul ikan. Peningkatan armada pancing yang disebabkan oleh peningkatan jumlah pemasangan rumpon sangat berlawanan dengan efisiensi penangkapan. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan sosial. Dampak negatif terhadap sumberdaya yaitu dapat mengganggu kelestarian sumberdaya ikan di wilayah perairan. Dampak negatif terhadap lingkungan sosial yaitu adanya konflik pengguna rumpon dengan stakeholder, baik berupa perebutan sumberdaya maupun hal lainnya. Selain dampak terhadap sumberdaya dan lingkunan sosial, kualitas hasil tangkapan yang dibawa oleh armada pancing juga merupakan permasalahan tersendiri yang dapat menghambat dalam pengembangan perikanan pancing ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal keberadaan (pemanfaatan) rumpon, alat bantu tersebut mampu meningkatkan hasil tangkapan total. Namun dengan semakin padatnya pemasangan rumpon, maka akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya. Penurunan hasil tangkapan dimulai dengan tanda-tanda ukuran ikan yang tertangkap memperlihatkan kecenderungan mengecil dibandingkan tahun sebelumnya (Monintja 1995 dalam Nurdin 2012). Data sementara menunjukkan bahwa porsi terbesar tuna hasil tangkapan yang didaratkan tergolong pada ikan permukaan yang umumnya memiliki ukuran yang belum layak tangkap.

(20)

Pondokdadap (Samudera Hindia Selatan Jawa) sebagian besar didominasi oleh ikan yang berukuran kecil dan tidak layak tangkap. Dampak konflik akibat berlebihnya intensitas armada pancing yang menggunakan rumpon dijelaskan oleh Rusmilyansari (2011) yang menyatakan bahwa salah satu konflik perikanan tangkap secara umum terjadi karena adanya pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah termasuk langka. Guizani (2005) mengatakan bahwa tuna lebih cepat mengalami kemunduran mutu terkait dengan tingkat histaminnya.

Perkembangan penggunaan rumpon di Samudera Hindia diikuti dengan perkembangan usaha penangkapan tuna oleh armada pancing di bawah 30 GT. Penggunaan armada penangkapan dengan rumpon perlu diwaspadai secara serius apabila: (1) jumlah ikan di daerah penangkapan menurun dimana usaha penangkapan skala kecil beroperasi; (2) laju tangkap di luar rumpon cenderung menurun Simbolon (2004).

Daerah penangkapan yang potensial untuk jenis tuna di Samudera Hindia yaitu sekitar 11 0LSsampai 16 0LS dan 106 0BT sampai 121 0BT dengan rentang suhu permukaan laut yaitu masing-masing pada 14 0C sampai 31 0C untuk tuna mata besar, 24 0C sampai 30 0C untuk tuna albacora, 25 0C sampai 30 0C untuk madidihang, dan 26 0C sampai 30 0C untuk southern bluefin tuna (Kasma 2007). Salah satu pusat pendaratan tuna skala kecil di Perairan Selatan Jawa adalah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Puger, Jember, Jawa Timur. Jenis ikan tuna yang tertangkap di Perairan Puger adalah madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Armada yang kini berkembang di tingkat nelayan cenderung terus meningkat. Peningkatan suatu armada dalam memperoleh hasil tangkapan harus dievaluasi penggunaannya. Hal ini akan memberikan informasi apakah armada tersebut memberikan dampak sosial dan ekologi di Perairan Puger.

Perumusan Masalah

Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan karena kematian maupun penangkapan, sumberdaya ikan tersebut akan dapat pulih kembali ke tingkat produktivitas semula. Namun, apabila penangkapan yang dilakukan telah melampaui batas daya dukungnya (intensitas cukup tinggi), maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali pada kondisi semula. Tingkat pemanfaatan rumpon menunjukkan peningkatan pesat dari tahun ke tahun dapat dilihat dengan bertambahnya jumlah armada kapal yang melakukan penangkapan di sekitar rumpon. Keberadaan rumpon dapat memberikan keuntungan dalam jangka waktu pendek, tetapi memberikan kerugian dalam jangka waktu panjang.

(21)

unit penangkapan sekitar rumpon juga telah menyebabkan konflik diantara para pengguna rumpon. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi terhadap perikanan pancing dengan rumpon ini agar dapat merumuskan strategi pengembangannya.

Maka dilakukan penelitian mengenai “Pengembangan Armada Pancing yang Menggunakan Rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur”.

Hipotesis

Pada penelitian ini, hipotesis yang digunakan penulis sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dalam perikanan pancing berbasis rumpon yang berkaitan dengan hasil tangkapan di perairan Selatan Jawa adalah berlebihnya tingkat pemanfaatan rumpon yang dilakukan armada pancing di Perairan Selatan Jawa terutama Perairan Puger, Jawa Timur. Hal ini mengakibatkan penurunan ikan tuna berupa ukuran hasil tangkapan tidak menguntungkan secara ekonomi dan ekologi, dan timbulnya konflik sosial nelayan. Berdasarkan hasil tangkapan yang dibawa oleh nelayan pancing, ikan tuna menunjukkan kualitas yang rendah.

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi perikanan pancing yang menggunakan rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur melalui analisis produktivitas, komposisi dan kualitas hasil tangkapan, serta konflik sosial.

2. Merumuskan strategi pengembangan perikanan pancing dengan rumpon di Puger.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Informasi bagi stakeholder mengenai kondisi perikanan pancing di Perairan Puger, Jawa Timur;

2. Informasi bagi akademisi dan peneliti mengenai dampak penggunaan armada pancing dengan rumpon di Perairan Puger, Jawa Timur;

3. Sebagai masukan bagi pemerintah dan dinas terkait dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan pancing berbasis rumpon.

Kerangka Pemikiran

(22)

Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.51/Kpts/IK.250/1/97, rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dan dijelaskan juga mengenai pengaruh rumpon dan dampaknya. Keberadaan rumpon pada saat itu menjadikan suatu hal yang positif (keuntungan) bagi nelayan. Kemudian Surat Keputusan tersebut digantikan dengan Keputusan Menteri Kelautan No. 30 Tahun 2004 yang menghapuskan pembagian jenis rumpon, dan berkembang mengenai perizinan dan kewenangan pemasangan rumpon. Namun beberapa tahun terakhir ini, keberadaan rumpon menjadi berlimpah. Nelayan dan pemilik rumpon cenderung memasang rumpon untuk investasi sebagai alat menambah kekayaan, bukan sebagai alat bantu. Saat ini banyak rumpon yang dipasang tidak memiliki izin, sehingga pihak dinas perikanan setempat maupun propinsi memiliki sedikit informasi mengenai jumlah rumpon yang terpasang di suatu perairan Indonesia. Kondisi ini juga menjadi potensi konflik internal antara para pemanfaat rumpon (bersaing dalam memasang rumpon di lokasi yang diinginkan), saling melakukan penangkapan di daerah rumpon yang bukan hak milik, dan saling memutus rumpon satu sama lain.

Saat ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Keputusan Menteri No. 2 Tahun 2011 yang mengatur mengenai jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan, serta alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Keputusan Menteri ini berisi mengenai pengaturan secara mendetail dan spesifikasi alat pendukung, armada tangkap, alat bantu penangkapan ikan (ABPI), rumpon yang diizinkan dalam penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP).

Usaha perikanan berbasis rumpon ini merupakan salah satu usaha perikanan rakyat dan cukup banyak dioperasikan di perairan Puger, sehingga perlu dievaluasi penggunaan armadanya. Evaluasi tersebut dapat diketahui dengan menentukan nilai produktivitas atau CPUE dari suatu armada penangkapan. Hal ini untuk melihat sejauh mana suatu armada penangkapan dapat memberikan hasil terhadap output atau hasil tangkapan. Hasil tersebut dapat digunakan sebagai upaya memaksimalkan hasil tangkapan dan keberlanjutan sumberdaya. Nelayan di Perairan Puger pada umumnya menggunakan rumpon untuk mendapatkan hasil tangkapan. Mereka mengakui bahwa dengan menggunakan rumpon hasil tangkapan semakin meningkat.

Evaluasi penggunaan armada pancing juga dilakukan dengan analisis kualitas hasil tangkapan dinilai berdasarkan uji organoleptik setiap ikan. Analisis komposisi ikan perlu dilakukan untuk menentukan hasil tangkapan dominan yang diperoleh, dan apakah hasil tangkapan yang diperoleh memiliki ukuran yang layak tangkap, serta bagaimanan persepsi nelayan mengenai ukuran dan kualitas hasil tangkapan. Analisis konflik nelayan rumpon perlu dilakukan untuk memberikan gambaran fenomena konflik yang terjadi di daerah perairan Puger dan faktor yang mempengaruhinya.

(23)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Permasalahan:

Penggunaan armada pancing tuna yang menggunakan rumpon semakin marak dilakukan.

Hal ini dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan

Evaluasi penggunaan rumpon pada armada pancing tuna di Perairan Puger, Jawa Timur

Perumusan strategi pengembangan perikanan pancing tuna dengan

rumpon Analisis SWOT Produktivitas

armada pancing Analisis CPUE armada pancing

Komposisi hasil tangkapan

Analisis Persentase panjang dan berat

Kualitas hasil tangkapan

Analisis organoleptik Mulai

Kebijakan pengembangan perikanan pancing tuna

dengan rumpon

Selesai

Konflik sosial nelayan Analisis deskriptif:

jenis, sifat, penyebab, dan

(24)

Hasil Penelitian Terkait

Penelitian yang telah dilakukan mengenai perikanan tonda dan tuna dapat menjadikan bahan pustaka untuk penelitian yang akan dilakukan. Penelitian yang dilakukan Nikijuluw (2008) mengenai potensi sumberdaya tuna, dikatakan bahwa estimasi tingkat pemanfaatan sumberdaya tuna mata besar pada tahun 2006 meningkat selama lima tahun terakhir, dan sumberdaya yellowfin tuna di Samudera Hindia sudah dieksploitasi secara berlebihan.

Penelitian Nurdin (2009) menyatakan bahwa porsi terbesar ikan tuna hasil tangkapan umumnya tergolong pada surface tuna dan memiliki ukuran yang belum layak tangkap dan penelitian yang dilakukan Hermawan (2011) yang menyatakan hasil tangkapan tuna dan cakalang yang didaratkan di PPP Pondokdadap sebagian besar didominasi oleh ikan yang berukuran kecil dan tidak layak tangkap.

Irnawati (2006) melakukan penelitian mengenai pengembangan perikanan tuna di Cilacap dimana daerah tersebut memiliki letak geografis yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, menyatakanbahwa penurunan hasil tangkapan ikan tuna mulai terjadi pada tahun 2001, dan terus mengalami penurunan pada tahun 2002 dan 2003. Produksi ikan tuna terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu sekitar 5083 ton, sedangkan tahun 2003 merupakan produksi ikan tuna terendah dalam kurun waktu 6 tahun yaitu sebesar 675.9 ton.

Rusmilyansari (2011) menyatakan bahwa salah satu konflik perikanan tangkap secara umum terjadi karena adanya pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah termasuk langka. Selain itu, keragaman jenis konflik perikanan tangkap menurut Rusmilyansari dapat disebabkan karena beragamnya perbedaan persepsi nelayan tentang pengelolaan sumberdaya ikan.

2 METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(25)

Gambar 2.1 Lokasi penelitian

Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan 2 cara yaitu pengambilan data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data statistik TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Puger, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jember, Dinas BPPPI Puger (Balai Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan) Puger, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur.

Data primer diperoleh berdasarkan wawancara kepada stakeholders baik nelayan (ABK), pemilik kapal, dinas TPI maupun pengambek. Data primer juga dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan. Adapun metode yang dilakukan adalah menentukan:

1. Produktivitas perikanan armada pancing tuna

(26)

sesuatu. Produksi per unit (Catch per Unit Effort) armada pancing dihitung berdasarkan jumlah armada yang ada di PPI Puger.

2. Komposisi hasil tangkapan armada pancing tuna

Penentuan komposisi hasil tangkapan dilakukan dengan menghitung persentase dari ukuran panjang dan berat ikan tuna yang didaratkan. Hasil persentase ukuran panjang tuna di Puger menentukan apakah ikan tuna yang didaratkan sudah memenuhi kriteria layak tangkap. Kriteria ikan tuna layak tangkap dianalisis berdasarkan length at first maturity (Lm). Length at first maturity (LM) menunjukkan bahwa ikan tuna sudah memijah satu kali dan hal ini berguna untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang (WWF 2011). Panjang ikan tuna layak tangkap (Lm) yaitu diatas 120 cm (Fishbase 2010).

Hasil persentase berat ikan tuna akan menentukan ikan tuna yang layak ekspor berdasarkan ukuran beratnya. Berat ikan tuna layak ekspor yaitu melebihi 25 kg/ekor (BSN 1992).

Sumber: WWF Indonesia dimodifikasi dari www.fishbase.org

Gambar 2.2 Ukuran ikan tuna layak tangkap

3. Kualitas hasil tangkapan

Penentuan kualitas hasil tangkapan dilakukan dengan uji organoleptik dari mata, insang, tekstur, bau, dan lendir pada permukaan badan. Spesifikasi nilai organoleptik dari insang, lendir, tekstur, bau, dan lendir dapat dilihat pada Lampiran 9. Produk tuna ekspor segar untuk fresh sashimi adalah ikan yang memiliki nilai organoleptik minimal 7 (BSN 2006).

4. Konflik sosial nelayan

(27)

5. Perumusan strategi pengembangan perikanan pancing tuna

Perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi faktor-faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perusahaan. Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (strength dan weakness) serta faktor eksternal (opportunities dan threats) yang dihadapi, kemudian membandingkan kedua faktor tersebut, sehingga dapat diambil suatu keputusan dalam penentuan strategi (Marimin 2004). Berikut adalah gambar posisi perusahaan di berbagai kondisi.

Gambar 2.3 Posisi perusahaan pada berbagai kondisi

Posisi institusi dapat dikelompokkan dalam empat kuadran, yaitu: kuadran I (strategi agresif), kuadran II (strategi diversifikasi, kuadran III (strategi turn around), dan kuadran IV (strategi defensif). Langkah-langkah pembuatan matriks IFAS dan EFAS adalah sebagai berikut: (1) Pengisian faktor-fakor kekuatan dan kelemahan pada IFAS, serta faktor ancaman dan peluang pada EFAS; (2) Pembobotan pada kolom 2 antara 0-1 untuk faktor yang dianggap sangat penting dan 0 untuk faktor yang dianggap tidak penting; (3) Pemberian nilai rating pada kolom. Rating adalah pengaruh yang diberikan oleh faktor, nilai 1 untuk faktor yang memiliki faktor yang berpengaruh sangat kecil dan nilai 4 untuk faktor yang berpengaruh sangat besar; (4) Kolom 4 adalah hasil perkalian bobot dan rating; (5) Menjumlah total skor yang didapatkan dari kolom (Marimin 2004).

(28)

3

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Puger

Secara geografis Kampung Nelayan Puger yang berada di Kota Puger terletak pada koordinat 113° 06' 40" Bujur Timur dan 8°08'17" Lintang Selatan dengan batas wilayah sebelah Utara adalah Kecamatan Balung. Sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia. Sebelah Barat adalah Kecamatan Gumukmas, dan sebelah Timur adalah wilayah Kecamatan Wuluhan.

Kecamatan Puger mempunyai luas wilayah 149.00 km2 dengan ketinggian rata-rata 12 m dari atas permukaan laut. Kecamatan Puger terdiri dari 12 desa yaitu: Wringin Telu, Purwoharjo, Mojomulyo Puger Kulon, Puger Wetan, Mojosari, Grenden, Kasiyan, Mlokorejo, Wonosari, Jambearum, Bagon. Seluruh Desa berkualifikasi Desa Swadaya. Daerah pesisir pantai Puger ini terdiri dari dua desa, yaitu desa Puger Wetan dan Puger Kulon. Adapun gambaran umum mengenai kedua desa ini adalah:

Keadaan umum Puger Wetan

Desa Puger Wetan merupakan salah satu desa di Kecamatan Puger. Desa ini jaraknya kurang lebih 30 km dari ibu kota kabupaten Jember kearah selatan. Luas Desa Puger Wetan sekitar 525,520 m². Area persawahan sekitar 10,008 m² dan ladang sekitar 1,835 m². Secara administratif batas desa Puger Wetan adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Desa Grenden dan Wonosari b. Sebelah Timur : Desa Lojejer

c. Sebelah Barat : Desa Puger Kulon

d. Sebelah Selatan : Samudera Hindia / SamuderaIndonesia

Daerah terluas Puger Wetan berupa daerah persawahan yang terletak di bagian utara berdekatan dengan bukit kapur padas (gunung kapur). Wilayah ini memiliki penduduk lebih banyak bekerja sebagai petani dan buruh tani. Lahan persawahan ditanami berbagai macam tanaman secara bergiliran yaitu padi, kedelai, dan jagung. Penduduk sekitar wilayah persawahan tersebut juga memiliki hewan ternak. Sebagian penduduk yang bergerak dalam bidang perikanan juga melakukan pekerjaan sebagai petani. Saat tidak melaut, penduduk melakukan pekerjaan pertanian.

(29)

dengan Desa Lojejer (batas timur desa Puger Wetan). Kondisi jalan menuju desa Puger Wetan sudah cukup baik dimana tidak ditemui adanya lubang di sisi jalan. Keadaan umum Puger Kulon

Desa Puger Kulon berada kurang lebih 30 km dari pusat kota Jember kearah Selatan dan terletak berdampingan dengan desa Puger Wetan. Luas Desa Puger Kulon sekitar 388,800 m², areal persawahan memiliki luas sekitar 6,955 m² dan areal ladang sekitar 21,394 m². Secara administratif batas desa Puger Kulon adalah:

a. Sebelah Utara : Desa Grenden

b. Sebelah Selatan : Samudera Hindia/ Samudera Indonesia c. Sebelah Barat : Desa Mojosari

d. Sebelah Timur : Desa Puger Wetan

Sama halnya dengan desa Puger Wetan, wilayah utara Desa Puger Kulon juga merupakan area persawahan dan ladang. Masyarakat yang berada disekitar wilayah persawahan bekerja sebagai petani dan juga sebagai nelayan. Penduduk Desa Puger Kulon juga bekerja pada usaha kerupuk berskala rumah tangga. Kerupuk yang diproduksi akan dikirim keluar daerah Jember, seperti Lombok. Selain itu terdapat pula usaha pembakaran batu kapur yang menjadi tempat tumpuan utama penduduk yang berada disekitar gunung kapur (Gunung Sadeng). Gunung ini berada di wilyah Desa Puger Wetan, Puger Kulon dan Grenden. Wilayah pesisir dijadikan tempat wisata pantai yang diberi nama Pantai Pancer. Sebelah timur pantai ini merupakan tempat wisata Gunung Watangan yang dikenal dengan Kucur. Selain itu juga ada goa peninggalan Jepang yang berada di puncak Gunung Watangan. Tempat wisata ini bisa dicapai dengan memakai perahu atau jukung menyebrangi muara sungai Bedadung dan Besini. Pusat keramaian desa Puger berada di area lapangan sepak bola dimana terdapat masjid besar Jamik Al Hikmah, bank BRI, Bank Mandiri, puskesmas, kantor kecamatan serta kantor polisi.

Kondisi Perairan Desa Puger

Kawasan pesisir Pantai Pugerterletak di sebelah selatan Desa Puger Kulon dan Puger Wetan. Diluar garis pantai Puger kearah selatan terdapat Pulau Nuso Barong dengan luas lebih kurang 3 km².Pulau tersebut merupakan pulau terbesar di desa Puger. Selain Pulau Nusa Barong, terdapat juga pulau Suka Made yang luasnya sekitar 1.5 km². Menurut nelayan setempat, ekosistem perairan Puger sudah banyak yang mengalami kerusakan di wilayah karang. Hal ini disebabkan karena banyaknya penggunaan bom atau racun. Banyak dilakukan sosialisasi untuk mengembalikan kondisi ekosistem perairan. Namun, masih ada sebagaian nelayan yang memakai bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan secara diam-diam.

(30)

pengerukan. Bagian dasar perairan terdapat karang dan tidak cukup lebar jika dilalui oleh dua perahu payang. Selain itu kapal yang akan masuk juga harus melihat keadaaan air dan gelombang. Kondisi air pasang dan gelombang tidak besar merupakan kondisi yang baik untuk melewati plawangan tersebut.

Kondisi Umum PPI Puger

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Puger Kabupaten Jember terletak diantara Kecamatan Puger dan Kecamatan Wuluhan. Letak tersebut berada pada pertemuan antara muara sungai Bedadung dan sungai Besini pada posisi 1130.06’.40” BT dan 080.08’17” LS. Letak PPI Puger sangat strategis. Alur pelayaran bermuara dan langsung berhadapan dengan samudera Hindia yang memiliki potensi sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar (BP-PPI Puger 2009). Pelabuhan Perikanan (PPI) Puger mempunyai nilai sangat strategis untuk menggali potensi perikanan laut, pemberdayaan nelayan dan pengembangan wilayah.

Fasilitas PPI Puger

Perikanan tangkap merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dengan adanya perikanan tangkap maka diperlukan sarana dan prasarana dalam pembangunan perikanan. Pembangunan perikanan tangkap memerlukan prasarana pelabuhan perikanan sebagai tempat pangkalan perahu/kapal dan mendaratkan ikan hasil tangkapan. Pelabuhan perikanan perlu dikembangkan sehingga mampu menampung seluruh perahu/kapal dan masyarakat perikanan yang memerlukan fasilitas ke pelabuhan (BP-PPI Puger 2009).

Pelabuhan Perikanan atau Pangkalan Pendaratan Ikan akan berfungsi dengan baik bila apabila dilengkapi dengan fasilitas yang meliputi fasilitas pokok, fungsional, dan penunjang. Fasilitas pokok yang telah dibangun di PPI Puger yaitu breakwater (270 m), dan darmaga (360 m2). Pengoperasian fasilitas pokok yang ada belum berfungsi secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena fasilitas pokok masih dalam taraf pembangunan. Besarnya jumlah dan ukuran kapal ikan di Puger merupakan kendala dalam optimalisasi kegiatan operasional fasilitas pokok. Darmaga yang telah tersedia juga belum memberikan manfaat yang optimal karena ukurannya masih belum memadai apabila kapal melakukan pendaratan secara bersamaan. Pendaratan kapal masih banyak dilakukan di berbagai tempat. Kapal yang mendarat di darmaga didominasi oleh kapal-kapal payang dan jukung, sedangkan skoci lebih banyak bersandar di luar pelabuhan. Kegiatan tambat labuh kapal telah difungsikan dengan baik dan memberikan manfaat setelah dibangun talud. Talud dilengkapi dengan tempat bersandar kapal dan tangga untuk jalan bagi para nelayan yang akan mendaratkan ikan ke TPI. Perawatan secara intensif di sekitar darmaga dan talud diperlukan dalam jangka panjang dengan melakukan pengerukan tanah dan pasir sebagai akibat adanya proses sedimentasi pada hulu sungai Bedadung dan Besini.

(31)

PPI Puger yaitu: kantor PPI (180 m2), TPI 360 m2 (terdapat 2 unit TPI), gudang es (150 m2), Menara air (24 m3), instalansi air dan listrik, toilet, area parkir (3000 m2), pasar ikan (126 m2), dan SPDN (64 m2). Sejak tahun 2005, fasilitas SPDN telah dioperasikan dan pengelolaan dikerjasamakan dengan pihak KPRI “Mina Mulia” Dinas Perikanan dan Kelauatan Provinsi Jawa Timur. Lokasi SPDN berdekatan dengan tambat labuh kapal. Selain fasilitas pokok dan fungsional, terdapat pula fasilitas penunjang di PPI Puger berupa pos TNI AL (45 m2), Mushala, mes operator, Unit satuan POL AIR. Beberapa fasilitas yang terdapat di PPI Puger dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan pengamatan, kondisi PPI Puger masih belum tertata dengan rapi dimana masih terlihatnya sampah di sekitar lokasi PPI. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat/nelayan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan membuang sampah sembarangan. Tempat untuk penanganan dan pengepakan ikan hasil tangkapan sudah tersedia, namun belum mencukupi kebutuhan. TPI masih difungsikan sebagai sarana untuk melakukan penanganan dan pengepakan ikan oleh para pedagang bakul yang ada di kawasan PPI Puger. Mekanisme penyelenggaraan lelang belum berjalan sehingga tidak ada PAD yang diterima dari TPI. Banyak kondisi bangunan-bangunan di pelabuhan yang tidak terawat sehingga operasional PPI tidak optimal.

Unit penangkapan ikan 1) Kapal

Kapal yang digunakan di Perairan Puger terdiri atas kapal besar, kapal sedang, skoci, dan jukung. Kapal jukung menggunakan gillnet atau trammel net dalam kegiatan operasi penangkapannya. Kapal pancing atau biasa disebut skoci digunakan untuk menangkap ikan tuna dengan alat tangkap pancing dan alat bantu rumpon. Kapal besar menggunakan alat tangkap payang dalam pengoperasiannya, sedangkan kapal sedang menggunakan jaring untuk menangkap cakalang dan tongkol.Jumlah dan jenis kapal di PPI Puger dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Jenis dan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012

Tahun Jumlah kapal per jenis (unit)

Besar Sedang Skoci Jukung

(32)

Tabel 3.2 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah kapal di PPI Puger

Kapal Tahun Persentase (%)

2011 2012

Besar 601 165 -72.55

Sedang 221 75 -66.06

Skoci 70 101 44.29

Jukung 838 596 -28.88

Sumber: Pengolahan data

Kapal besar (kapal payang) memiliki ukuran panjang 19 meter, lebar 5.5 meter, dan tinggi dari lunas hingga dek sekitar 5 meter. Kapal sedang (jaring) memiliki ukuran yang hampir sama dengan skoci yaitu panjang 17 meter, lebar 3.5 meter, dan tinggi 2 meter, namun pengoperasian alat tangkap dan fishing ground berbeda dengan skoci. Berdasarkan Tabel 2.2, jumlah kapal payang dan kapal sedang (jaring) mengalami penurunan drastis pada tahun 2012 yaitu sebesar 165 unit dan 75 unit dengan persentase 72.5% dan 66.06%. Banyak nelayan payang dan jaring yang beralih menjadi nelayan jukung (baik jukung jaringan maupun pancingan) disebabkan karena hasil tangkapan sangat menurun dan biaya operasi penangkapan sangat besar. Keadaan yang berlawanan dialami oleh skoci dimana dalam perkembangannya, skoci mengalami peningkatan dari tahun 2009-2012. Peningkatan jumlah skoci yang terjadi yaitu sebesar 44.29% (Tabel 3.2). Grafik perkembangan jenis dan jumlah kapal di PPI Puger ditunjukkan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Perkembangan jumlah kapal di PPI Puger periode 2009-2012

2) Alat penangkapan ikan

(33)

yang paling banyak digunakan oleh nelayan Puger yaitu alat tangkap payang, jaring (gillnet), dan pancing.

Jumlah alat tangkap payang dan pancing yang digunakan di PPI Puger mengalami peningkatan periode 2007 sampai 2011, sedangkan alat tangkap jaring mengalami hal yang sebaliknya (Tabel 3.3). Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan di PPI Puger dan jenis pancing yang digunakan terdiri dari pancing prawean (hand line), pancing jerigen (pancing hanyut), dan pancing layang-layang (kite line). Pancing layangan menggunakan alat bantu layang-layang. Ujung tali dikaitkan pada umpan berupa ikan tongkol tiruan yang terbuat dari kayu dan menyerupai ikan aslinya.

Tabel 3.3 Jenis dan jumlah alat tangkap di PPI Puger periode 2007-2011

Tahun Jumlah alat tangkap (unit)

Payang Jaring/gillnet Pancing

2007 198 344 208

2008 204 351 222

2009 205 351 222

2010 210 351 310

2011 360 320 458

Sumber: BPPPI Puger

Data BPPPI Puger memperlihatkan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Puger pada umumnya adalah alat tangkap payang, jaring/gillnet, dan pancing. Alat tangkap pancing ini lebih banyak dioperasikan untuk penangkapan tuna di sekitar rumpon.

Tabel 3.4 Persentase peningkatan dan penurunan jumlah alat tangkap di PPI Puger

Alat Tangkap Tahun Perubahan (%)

2010 2011

Payang 210 360 71.43

Jaring 351 320 -8.83

Pancing 310 458 47.74

Sumber: Pengolahan data

(34)

Gambar 3.2 Perkembangan alat tangkap di PPI Puger periode 2007-2011 3) Nelayan

Struktur sosial nelayan di Puger dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu: nelayan pemilik (juragan darat), nakhoda, dan pandhega (ABK). Namun ada juga sebagian pemilik kapal yang juga merangkap sebagai nakhoda. Dalam melaksanakan operasi penangkapan, nelayan Puger hanya mengandalkan cuaca baik/cerah dan gelombang tenang. Pengetahuan dan keahlian tentang fishing ground diperoleh berdasarkan pengalaman bekerja yang lama sehingga dapat memperoleh hasil tangkapan dengan cepat. Selain itu, banyak pula nelayan yang mengetahui informasi penangkapan (fishing ground) melalui Global Positioning System dan peta navigasi yang menunjukkan lintang dan kedalaman suatu perairan. Tingkat pendidikan nelayan Puger pada umumnya hanya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berikut ini ditampilkan data statistik jumlah nelayan Puger periode 2007-2011

(35)

Volume produksi perikanan PPI Puger

Produksi perikanan tangkap di PPI Puger cukup bervariasi. Hasil tangkapan jenis ikan yang didaratkan di PPI Puger didominasi oleh lemuru (15098.8 ton), tongkol (8196.3 ton), cakalang (7969.3 ton), dan tuna (221.9 ton) pada periode 2007-2011. Sedangkan hasil tangkapan diluar jenis ikan hanya terdiri atas cumi-cumi (77.4 ton) dan udang (149.6 ton). Volume produksi perikanan PPI Puger periode 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Volume produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011

Jenis Ikan Produksi per tahun (ton) Total

(ton)

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Timur

Nilai produksi perikanan di PPI Puger

(36)

Tabel 3.6 Nilai produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011 meningkat pesat setiap tahunnya. Total nilai produksi pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 35.67% dibandingkan tahun 2010 dimana total nilai produksi tahun 2010 berjumlah Rp92 887 485 dan tahun 2011 berjumlah Rp126 020 400,-. Berikut ini disajikan data nilai produksi perikanan PPI Puger periode 2007-2011. Keragaan unit penangkapan pancing

1) Kapal

Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap pancing dengan hasil tangkapan tuna dikenal dengan skoci. Kapal ini terbuat dari bahan kayu dengan dimensi panjang (LoA) 16-17 m, lebar (B) 3-3.5 dan tinggi (D) 1.2-2 m. Pada umumnya skoci menggunakan mesin dalam (inboard) sebanyak 3 buah dengan merek Yanmar, Kubota, dan PS berkekuatan sekitar 25-30 PK. penggunaan mesin dalam terbagi atas mesin utama sebanyak 2 buah dan satu lagi sebagai mesin bantu. Mesin utama digunakan sebagai penggerak kapal untuk mendukung operasi penangkapan dan mesin bantu digunakan sebagai alat untuk menyalakan lampu sebagai penerangan saat melakukan penangkapan di malam hari.

(37)

Gambar 3.4 Konstruksi kapal pancing tuna di Puger

Gambar 3.5 Kapal pancing tuna di Puger

Kapal pancing tidak dilengkapi dengan palkah sebagai tempat penyimpanan dan pendingin tuna, namun para nelayan menggunakan box sebanyak 3 buah. Dua buah box mempunyai kapasitas maksimal masing-masing 1 ton untuk tempat penyimpanan hasil tangkapan dan 1 buah box lainnya digunakan untuk penyimpanan es curah/es balok. Jumlah es yang dibawa oleh kapal sebagai perbekalan melaut sebanyak 50-60 balok. Skoci di PPI Puger menggunakan alat bantu berupa GPS (Global Possitioning System) dan kompas. Nelayan juga menggunakan peta navigasi yang digunakan untuk menentukan daerah penangkapan, mengetahui posisi rumpon, dan mengetahui kedalaman perairan. Peta ini diperoleh dari dinas BPPPI Puger.

Bagian haluan kapal terdapat anjungan yang berguna sebagai tempat istirahat nelayan dan tempat penyimpanan bahan makanan, namun ada juga beberapa kapal yang memiliki anjungan di bagian tengah kapal. Sedangkan bagian buritan kapal digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas penangkapan dan penyimpanan alat tangkap.

2) Alat Tangkap

Pancing yang digunakan terdiri dari tali pancing, pemberat dan mata pancing. Jumlah pancing yang dioperasikan pada tiap kapal sebanyak 9-15 set. Bagian-bagian pancing terbagi atas:

(38)

2) Tali utama (main line), terbuat dari bahan nylon monofilament dengan panjang 30-40 meter.

3) Kili-kili (swivel), terbuat dari bahan baja dan berfungsi untuk menjaga tali agar tidak terlilit atau kusut saat pengoperasian alat tangkap.

4) Tali cabang (branch line) yang terbuat dari bahan nylon monofilament.

5) Pemberat, terbuat dari timah berukuran sekitar 7 cm dengan berat 200 gram yang berfungsi untuk mempercepat proses turunnya alat tangkap.

6) Mata pancing (hook), terbuat dari baja bernomer 1, 2, 3 untuk menangkan ikan berukuran besar dan nomer 8, 9 untuk menangkap ikan seperti baby tuna, cakalang.

Dalam setiap keberangkatan, nelayan selalu membawa mata pancing baru yang digunakan jika mata pancing sebelumnya putus atau hilang akibat proses penangkapan. Mata pancing yang sering dibawa oleh nelayan adalah mata pancing bernomor 1, 2, dan 3 untuk tuna berukuran besar. Penangkapan tuna berukuran kecil menggunakan mata pancing pancing nomor 7, 8, dan 9. Harga mata pancing nomor 1, 2, dan 3 biasa dibeli per kotak (isi 100) dengan harga Rp300 000,-. Harga mata pancing nomor 7, 8, dan 9 sekitar Rp1 000,- per mata pancingnya.

Pancing yang digunakan oleh nelayan skoci di Puger terdiri dari berbagai macam model yaitu:

1) Pancing jerigen (drift line) dimana pancing ini menggunakan dirigen 5 liter sebagai pelampungnya. Panjang tali sekitar 150 m dililitkan pada dirigen, terdapat swivel untuk menghubungkan tali utama dengan tali cabang. Tali utama diulur ke bawah permukaan air hanya sekitar 35-40 m. Namun apabila pancing berhasil terkait oleh tuna, maka tali akan mengulur kebawah sepanjang ukuran tali yang dipasang.

(39)

2) Pancing uncalan (troll line) yang menggunakan tali senar (nylon monofilament) sepanjang 35 m yang dilempar dari kapal dan ditarik. Umpan yang digunakan berupa ikan tongkol buatan.

Sumber: WWF-Indonesia 2011

Gambar 3.7 Pancing uncalan (troll line)

3) Pancing layangan. Pancing ini menggunakan alat bantu layang-layang dalam operasinya. Jarak layangan dengan permukaan air mencapai 3 m hingga 100 m.

Sumber: WWF-Indonesia 2011

Gambar 3.8 Pancing layangan

(40)

Gambar 3.9 Pancing prawean

3) Nelayan

Nelayan skoci di PPI Puger berjumlah 5 orang, diantaranya 1 orang sebagai nakhoda (juru mudi) dan 4 orang sebagai anak buah kapal (ABK). ABK memiliki tugas dalam melaksanakan kegiatan teknis penangkapan, seperti: mempersiapkan alat tangkap (setting), hauling, dan menangani hasil tangkapan diatas kapal. Sedangkan juru mudi/nakhoda bertugas untuk mengemudikan kapal dan menentukan daerah penangkapan, tetapi tetap melaksanakan hal-hal yang dilakukan oleh para ABK. Pemilik kapal terbagi dua, yaitu: pemilik kapal sekaligus nakhoda, dan pemilik kapal bukan nakhoda (juragan darat).

Sistem bagi hasil nelayan skoci yaitu sistem 50% (50:50), dimana 50% diberikan pada juragan/pemilik kapal dan 50% untuk para ABK, namun sebelumnya dilakukan pemotongan biaya operasional (perbekalan). Selain pembagian keuntungan berupa uang, nelayan juga mendapatkan sedikit bagian dari hasil tangkapan. Hasil tangkapan tersebut bisa dijual kembali kepada orang ataupun buat konsumsi pribadi.

4) Rumpon

(41)

a. Konstruksi rumpon di Puger b. Konstruksi umum rumpon Gambar 3.10 Konstruksi rumpon

Tali rumpon atau biasa disebut tampar oleh nelayan PPI Puger terbuat dari bahan nylon multifilament dan memiliki panjang 6500 m. Atraktor terbuat dari bermacam-macam bahan, seperti: pelepah kelapa, ban truk bekas, dan bambu. Pada atraktor biasanya diletakkan kepala sapi atau domba agar baunya dapat memancing ikan untuk datang ke rumpon tersebut.

(42)

Gambar 3.12 Konstruksi andem (pemberat dasar) rumpon

Pemberat atau biasa disebut andem yang memiliki fungsi sebagai jangkar, terbuat dari bahan semen cor berbentuk silindris berdiamter 50 cm dengan jumlah 30 buah dan memiliki berat masing-masing 60 kg. Bagian untuk menjaga agar tali rumpon/tampar tetap stabil ketika terkena arus, maka dipasang pemberat yang terbuat dari semen cor berdiamter 15 cm, panjang 25 cm, dan berat masing-masing 2 kg sebanyak 20 buah.

Gambar 3.13 Bagian pada stabilizer

(43)

Biaya yang dikeluarkan untuk pemasangan rumpon > 75 juta Rupiah untuk tali rumpon yang terbuat dari bahan nylon multifilament dan sekitar 40 juta untuk tali rumpon berbahan rafia. Namun adapula nelayan yang menggunakan bahan-bahan yang diambil dari sisa-sisa rumpon yang terlepas di laut dan ditemukan oleh nelayan. Karena biaya pembuatan satu unit rumpon yang sangat mahal, maka nelayan membentuk kelompok untuk meringankan biaya pembuatannya. Satu unit rumpon dimiliki oleh 7 sampai 10 kelompok kapal. Nelayan diluar kelompoknya tidak diperbolehkan untuk menangkap ikan di rumpon milik mereka. Hal ini disebabkan karena nelayan di luar kelompok tidak akan mempunyai keinginan untuk membangun swadaya kelompok. Terdapat pula beberapa kelompok nelayan yang masih mengizinkan nelayan lain untuk melakukan penangkapan di sekitar rumpon miliknya tetapi tidak lebih dari satu malam.

Tabel 3.7 Posisi pemasangan rumpon nelayan

Rumpon Pemilik Posisi tabel tersebut dikoordinir oleh ketua kelompok dengan beranggotakan sekitar 7-10 kapal.

5) Umpan

(44)

(a) Umpan cumi-cumi (b) Umpan rapala Gambar 3.14 Jenis umpan yang digunakan.

Daerah penangkapan dan metode pengoperasian alat tangkap

Daerah penangkapan tuna menggunakan rumpon dilakukan pada jarak > 45 mil dari pinggir pantai Puger. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground rata-rata menghabiskan waktu selama 6 jam. Jarak antar rumpon yang dipasang yaitu 7 sampai 10 mil. Peta lokasi pemasangan rumpon di Perairan Puger disajikan pada Gambar 3.14

(45)

Pengoperasian alat tangkap dimulai saat keberangkatan, penangkapan, dan kembali ke fishing base. Sebelum keberangkatan, dilakukan pemeriksaan kondisi mesin kapal dan persiapan segala kebutuhan melaut seperti: alat tangkap, umpan beserta cadangannya, solar, air bersih, makanan, es curah. Semua persiapan mengeluarkan dana sebesar 5 juta dalam sekali trip. Jumlah hari operasi yaitu sekitar 5 sampai 7 hari dan tergantung hasil tangkapan yang diperoleh. Biaya operasional yang dikeluarkan nelayan skoci lebih mahal dibandingkan dengan nelayan payang, jukung, dan jaring. Hal ini dikarenakan nelayan skoci berada di laut lebih lama dibandingkan dengan nelayan lainnya.

Alat tangkap pancing ini dioperasikan dengan metode trolling atau ditarik oleh kapal. Saat di fishing ground, setiap ABK mengambil perannya masing-masing. Nakhoda bertugas menjalankan kapal saat penarikan alat tangkap serta mempersiapkan alat, ABK pertama mengoperasikan alat tangkap di bagian haluan, ABK kedua mengoperasikannya pada bagian buritan. Sisa ABK lainnya bertugas mempersiapkan kebutuhan tali dan mata pancing cadangan serta mempersiapkan kebutuhan untuk pengangkatan dan penanganan ikan di kapal. Pancing diturunkan ke laut dan dibiarkan terlebih dahulu hingga terdapat tanda-tanda ikan tertangkap. Selama pancing dibiarkan, mesin kapal tetap dinyalakan namun tidak dijalankan. Kadang kala kapal tetap dijalankan namun dengan kecepatan rendah sekitar 1-2 knot dengan tujuan agar umpan buatan dapat bergerak seperti halnya ikan hidup dan dapat menarik perhatian ikan target. Setelah ikan tertangkap oleh pancing, maka kapal dijalankan dengan kecepatan tinggi sekitar 4 knot mengikuti arah renang ikan hingga ikan lemas dan dapat ditarik ke kapal dengan mudah.

Selain ditarik oleh kapal, pengoperasian pancing juga dilakukan saat kapal ditambatkan pada rumpon dengan kondisi mesin mati dan pelampung (jerigen) dibiarkan hanyut mengikuti arus laut. Jika ada tanda-tanda ikan tertangkap, maka pancing akan bergerak dengan sendirinya. Kapal akan mendatangi pancing dan kemudian pancing ditarik dari kapal. Operasi penangkapan pancing dilakukan baik pagi, siang, sore, maupun malam hari. Saat malam hari, penangkapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu lampu sebagai penerangan di sisi kiri dan kanan kapal.

(46)

Distribusi dan pemasaran ikan tuna

Ikan tuna yang diperoleh nelayan skoci tidak dilelang di tempat pelelangan ikan (TPI) melainkan dijual kepada pengambek dengan harga jual yang telah ditentukan, oleh karena itu fasilitas TPI di PPI Puger tidak berjalan sesuai dengan fungsinya. Keterikatan antara pengambek dengan nelayan disebabkan karena pengambek memberikan modal atau pinjaman kepada nelayan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pengambek yang berada di Puger terdiri dari pengambek besar dan pengambek kecil. Pengambek kecil biasa disebut belantik. Gambar hubungan distribusi penjualan hasil tangkapan nelayan skoci dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.17 Distribusi penjualan hasil tangkapan nelayan Puger

Pola hubungan antara nelayan berdasarkan gambar diatas menunjukkan suatu hubungan keterikatan yang sangat kuat antara nelayan dan pengambek. Nelayan yang memiliki keterikatan dengan belantik akan menjual hasil tangkapan kepada belantik. Belantik akan menjual kembali hasil tangkapan tersebut kepada pengambek besar. Harga tuna diatas 20 kg dihargai sekitar Rp24 000,-/kg. Tuna ukuran dibawah 20 kg dijual dengan harga Rp15 000/kg oleh pengambek besar. Apabila nelayan mempunyai ikatan kepada belantik, maka harga tersebut akan dipotong oleh belantik sebesar Rp2 000,-/kg. Harga tuna dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada musim ikan. Saat musim puncak, harga ikan lebih rendah dibandingkan dengan musim paceklik yaitu sekitar Rp22 000,-/kg untuk ikan diatas 20 kg dan Rp12 500,-/kg untuk ikan dibawah 20 kg.

Pada umumnya, para pengambek memiliki hubungan dengan para pedagang besar yang berada diluar sehingga mereka mengetahui kemana hasil tangkapan akan dijual. Namun ada beberapa pengambek yang menggunakan jasa perantara untuk menjual ikannya kepada pedagang besar atau perusahaan-perusahaan pengolahan di luar daerah. Daerah Puger tidak terdapat industri pengolahan ikan sehingga hal ini menjadi alasan bagi para pengambek untuk menjual ikannya kepada pedagang di luar Puger. Fasilitas di PPI Puger yang tidak memadai dan teknologi yang kurang maju merupakan faktor yang menyebabkan tidak adanya industri pengolahan di daerah Puger. Keuntungan yang diambil oleh pihak perantara sesuai dengan kesepakatan bersama.

(47)

memilih untuk menjual hasil tangkapan kepada pengambek dibanding pedagang besar/perusahaan. Kemampuan pengambek untuk membayar lunas harga hasil tangkapan para nelayan dibandingkan pedagang besar menjadi alasan nelayan dalam menjual hasil tangkapan.

4

EVALUASI PERIKANAN PANCING YANG

MENGGUNAKAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA

TIMUR

Pendahuluan

Armada pancing dengan menggunakan rumpon di Puger baru berkembang pada awalnya beberapa unit saja. Armada pancing ini biasanya menangkap ikan-ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis penting seperti tuna. Hasil tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan rumpon selalu memberikan keuntungan maksimal, maka nelayan yang menggunakan armada pancing ini juga semakin bertambah. Nelayan Puger mengakui bahwa penangkapan ikan menggunakan rumpon menunjukkan hasil tangkapan yang besar, sehingga penggunaan armada pancing terus berkembang di wilayah Perairan Puger.

Penggunaan armada pancing yang semakin meningkat dapat menyebabkan penangkapan tuna disekitar rumpon semakin besar sehingga produksi ikan juga bertambah. Apabila peningkatan jumlah armada ini terus berlangsung, maka sumberdaya tuna akan terus dimanfaatkan secara berlebihan. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan sumberdaya ikan di perairan tersebut, serta berdampak pada lingkungan sosial dan ekonomi.

Ikan tuna dan sejenisnya sampai saat ini masih mendominasi ekspor produk perikanan Indonesia. Namun sama halnya dengan ikan lain, tuna mengalami pembusukan yang cepat setelah tertangkap jika tidak ditangani dengan baik. Permasalahan yang sering dijumpai pada armada pancing di Puger adalah penanganan ikan tidak menggunakan sistem rantai dingin selama transportasi menuju tempat pendaratan maupun pendistribusian menuju hinterland nya. Kualitas hasil tangkapan tuna yang rendah akan menyebabkan harga ikan tersebut juga rendah. Kualitas ikan tidak mampu bersaing dengan pasar dari luar daerah.

Oleh karena peranan armada pancing dengan rumpon di Perairan Puger yang sangat berkontribusi pada penangkapan tuna dalam jumlah besar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap perikanan pancing yang menggunakan rumpon ini. Evaluasi dilakukan dengan menentukan produktivitas pada armada pancing tersebut, komposisi dan kualitas hasil tangkapan yang didaratkan, serta konflik antar nelayan dan stakeholder terkait.

(48)

mengetahui kelayakan ikan tuna yang didaratkan berdasarkan ukuran panjang dan berat yang sesuai kriteria layak tangkap dan kriteria produk ekspor.

Penentuan apakah sumberdaya mengalami pertumbuhan dari segi ekonomi juga dapat dilihat berdasarkan analisis kualitas hasil tangkapannya. Analisis kualitas bertujuan untuk mengetahui kelayakan kualitas hasil tangkapan ikan tuna. Hal ini dapat menentukan apakah ikan tuna hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Puger sudah dilakukan penanganan yang baik. Penanganan ikan yang baik dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi nelayan serta dapat mengembangkan perikanan pancing di daerah Puger.

Analisis konflik sosial dilakukan dengan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat nelayan Puger yang berpotensi menimbulkan konflik. Dalam kehidupan sosial, konflik selalu ada sebagai tanda bahwa terjadi kehidupan sosial yang sehat dan dinamis. Pranata sosial yang hidup di nelayan Puger sangat erat hubungannya dengan mekanisme penyelesaian konflik (solusi konflik) agar keharmonisan sosial masih tetap terjaga. Konflik yang terjadi di Puger dapat disebabkan oleh armada yang digunakan nelayan, kondisi perairan yang bersifat open access, serta keberadaan rumpon.

Metode Penelitian

Cara pengambilan data

Pengambilan data dilakukan dengan dua cara yaitu pengambilan data sekunder dan primer. Pengambilan data produktivitas dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari dinas TPI (Tempat Pendaratan Ikan), dan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Jawa Timur. Data yang diambil adalah data produksi ikan tuna dari tahun 2007 sampai 2011 dan data jumlah kapal pancing yang ada di PPI Puger.

Pengambilan data komposisi dan kualitas hasil tangkapan dilakukan secara langsung dengan mengukur panjang berat, menentukan jenis, dan menilai kualitas dari ikan tuna yang didaratkan. Data ikan yang diambil saat kapal mendarat kemudian dicatat pada data sheet. Sampel ikan diambil secara purpossive sampling dari 4 kapal yang mendarat di PPI Puger. Pengambilan sampel sebanyak 4 unit ini dikarenakan jumlah tersebut merupakan jumlah armada kapal yang melaksanakan kegiatan penangkapan pada saat penelitian berlangsung.

(49)

Data konflik yang dikumpulkan berupa hasil wawancara terhadap beberapa responden. Wawancara responden dilakukan dengan teknik purpossive sampling. Pengambilan sampel sebanyak 16 responden yang berperan penting dalam suatu komunitas nelayan. Responden sebanyak 9 orang merupakan para pemilik kapal sekaligus nakhoda, sebanyak 4 orang merupakan nakhoda, 2 responden mewakili dinas BPPPI Puger, serta 1 orang responden yang merupakan Kepala Desa Kecamatan Puger. Kuesioner terkait konflik nelayan yaitu mengenai opini para responden terhadap potensi-potensi yang dapat menyebabkan timbulnya konflik dan penyebab terjadinya konflik.

Analisis data

Analisis data yang dilakukan yaitu: 1. Produktivitas armada pancing

Produktivitas armada penangkap ikan (pancing) per tahun ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah produksi hasil tangkapan dalam satu tahun dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan.

∑ h = Produksi hasil tangkapan (kg)

2. Komposisi hasil tangkapan

Analisis komposisi hasil tangkapan dilakukan dengan menghitung persentase kelas ukuran panjang dan berat menggunakan persamaan Sturgess (1982) dalam Yulius (2013), adapun tahapannya yaitu:

K = 1+ 3,3 Log N (1)

R = Sebaran (panjang atau lebar terendah hingga tertinggi) K = Jumlah kelas

P = Ki/K x 100% (3)

Keterangan:

P = Persentase kelas ukuran ikan ke-i K = Jumlah total individu ikan seluruh kelas

3. Kualitas hasil tangkapan

Gambar

Tabel 3.5  Volume produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011
Tabel 3.6  Nilai produksi perikanan di PPI Puger periode 2007-2011
Gambar 3.5  Kapal pancing tuna di Puger
Gambar 3.7  Pancing uncalan (troll line)
+7

Referensi

Dokumen terkait