• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI BANJIR IMPOR KOMODITAS

HORTIKULTURA DAN DAMPAKNYA

TERHADAP HARGA DOMESTIK

DI INDONESIA

HADIWIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Hadiwiyono

(4)

RINGKASAN

HADIWIYONO. Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Rintisan ASEAN Economic Community pada tahun 2015 semakin dekat. Permasalahan akibat keterbukaan perdagangan termasuk produk pertanian yang rentan terhadap banjir impor di Indonesia misalnya di bidang hortikultura. Tingginya impor hortikultura Indonesia tidak dibarengi dengan kebijakan yang melindungi produksi domestik, terutama harga produsen. Pasalnya kebijakan

special safeguard di Indonesia sendiri memiliki hak untuk memberlakukan

Special Agricultural Safeguard (SSG) terhadap 14 produk. Tiga belas produk tersebut digunakan untuk komoditas peternakan, dan 1 produk untuk komoditas perkebunan, artinya proteksi terhadap hortikultura tidak termasuk ke dalam SSG dan penting untuk diajukan special safeguard baru untuk melindungi harga domestik, yaitu Special Safeguard Mechanism (SSM).

Penelitian ini diperlukan untuk mendeteksi fenomena banjir impor pada komoditas hortikultura. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis gambaran umum kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia, (2) mendeteksi fenomena dan frekuensi banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia berdasarkan SSM framework, dan

(3) Menganalisis dampak dari shock banjir impor terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekuder time series bulanan dari tahun 2002 hingga 2012. Analisis yang digunakan adalah perhitungan matematis sederhana dan ekonometrika dengan

model Vector Error Correction Model.

. Berdasarkan framework Special Safeguard Mechanism, volume-based Special Safeguard Mechanism terpicu di hampir seluruh tahun pada periode 2002 hingga 2012, namun price-based Special Safeguard Mechanism terpicu di dua tahun pada komoditas jeruk. Berdasarkan analisis Impulse Response Function, dampak dari guncangan banjir impor terhadap harga domestik tidak terlalu signifikan namun berdampak permanen. Berdasarkan analisis Forecast Error Variance Decomposition, kontribusi banjir impor terhadap variabilitas harga domestik relatif rendah namun kontribusinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

(5)

SUMMARY

HADIWIYONO. Identification of Horticulture Commodities Import Surges and Its Impact on Domestic Prices in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Implementation ASEA Economic Community in 2015 are getting closer. Trade Openness created problem that make horticulture products are vurnurable to the import surge in Indonesia. High horticulture import in Indonesia is not protected by policy that support domestic products, especially incompetitive price. Special safeguard policy in Indonesia got the right to put Special Agricultural Safeguard (SSG) into 14 products, 13 of it is for dairy product, and yet the other is for plantation product. That mean protection for horticulture was not included in SSG and needed another newer special safeguard, such as Special Safeguard Mechanism (SSM) to protect domestic prices.

This research detected the phenomenon of import surges for horticulture commdities. The objectives was to (1) to analyse general insight about Indonesia’s potatoes, oranges, and shallots import conditions, (2) to detect import surges phenomeon and frequency that occurred on potatoes, oranges, and shallots based on SSM framework, and (3) to analyze the impact of import surges shock to potatoes, oranges, and shallots in Indonesia. This research used secondary monthly time series data from 2002 to 2012. Simple mathematics and econometrics Vector Error Correction Model are used to analyse in the research.

Based on the framework of the Special Safeguard Mechanism, the volume-based Special Safeguard Mechanism is triggered almost throughout the year in the period of 2002 to 2012, but the price-based Special Safeguard Mechanism is triggered in two years in citrus commodity. Based on the Impulse Response Function analysis, the impact of import surge shock on domestic prices is not really significant but has permanent effect. Based on the Forecast Error Variance Decomposition analysis, the contribution of import surges on the variability of domestic prices is relatively low but tends to escalate from year to year.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

IDENTIFIKASI BANJIR IMPOR KOMODITAS

HORTIKULTURA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP HARGA DOMESTIK

DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Tesis: Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS

(9)

Judul Tesis : Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia

Nama : Hadiwiyono

NIM : H151110061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Ketua

Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Pertama-tama puji dan syukur sebanyak-banyaknya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tidak lupa shalawat serta salam kepada baginda Nabi Besar Rasullullah Muhammad SAW.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Nunung Nuryartono selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi, kepada seluruh dosen pengajar, dan kepada seluruh staff Pascasarjana Ilmu Ekonomi yang telah membantu proses studi. Terima kasih juga tidak lupa diberikan kepada teman seperjuangan Pascarjana Ilmu Ekonomi kelas regular 5 yang telah membantu segala proses penulisan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Tinjauan Teoritis ... 8

2.1.1 Transmisi Harga dan Law of One Price ... 8

2.1.2 Definisi Banjir Impor (Import Surges)... 10

2.1.3 Special Safeguard ... 10

2.1.3.1 GATT 1994 Article XIX ... 10

2.1.3.2 Special Agricultural Safeguard (SSG)... 11

2.1.3.3 Special Safeguard Mechanism (SSM) ... 11

2.1.4 Analisis Tarif ... 12

2.1.5 Vector Autoregression... 14

2.1.5 Structural Vector Autoregression ... 16

2.1.6 Vector Error Correction Model ... 18

2.2 Tinjauan Empiris ... 18

2.2.1 Penelitian Transmisi Harga dan External Shock ... 18

2.2.2 Penelitian Safeguard dan Banjir Impor ... 19

2.3 Kerangka Pemikiran ... 20

2.4 Hipotesis Penelitian ... 21

3 METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Jenis Data, Cakupan Komoditas, dan Sumber Data ... 22

3.2 Analisis Deskriptif ... 23

3.3 Analisis Ekonometrika ... 23

3.3.1 Data Generating Process (GDP) ... 23

3.3.2 Penentuan Lag Optimal ... 24

3.3.3 Uji Kointegrasi (Johannsen Cointegration Test)... 24

3.3.4 Penyusunan Model Penelitian ... 24

3.3.4.1 Kerangka Model Dasar ... 24

3.3.4.2 Model Restriksi (SVAR) ... 25

3.3.4.3 Vector Error Correction Model (VECM) ... 26

3.3.5 Innovation Accounting ... 27

3.3.5.1 Impulse Respons Function ... 27

3.3.5.2 Forecast Error Variance Decomposition ... 27

3.4 Analisis Deteksi Banjir Impor ... 28

4 GAMBARAN UMUM ... 30

4.1 Perkembangan Komoditas Hortikultura di Indonesia ... 30

(13)

4.1.2 Perkembangan Share Impor Komoditas Kentang, Jeruk, dan Bawang

Merah di Indonesia ... 31

4.2 Implementasi Perlindungan Komoditas Hortikultura di Indonesia ... 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1 Pengujian Pra-Estimasi ... 34

5.1.1 Uji Stasioneritas Data ... 34

5.1.2 Penentuan Selang Optimal ... 35

5.1.3 Pengujian Stabilitas VAR ... 36

5.1.4 Pengujian Kointegrasi ... 37

5.2 Deteksi Banjir Impor ... 37

5.2.1 Volume-based Special Safeguard Mechanism ... 38

5.2.2 Price-based Special Safeguard Mechanism ... 41

5.3 Dampak Banjir Impor terhadap Harga Domestik ... 43

5.3.1 Analisis Impulse Respons Function ... 43

5.3.1.1 Analisis Impulse Respons model Kentang ... 43

5.2.2.2 Analisis Impulse Respons Model Jeruk ... 46

5.2.2.3 Analisis Impulse Respons Model Bawang Merah ... 49

5.2.2 Analisis Forecast Error Variance Decomposition ... 52

5.2.2.1 Analisis FEVD Kentang ... 52

5.2.2.2 Analisis FEVD Jeruk ... 54

5.2.2.3 Analisis FEVD Bawang Merah ... 55

5.4 Rekomendasi Kebijakan dan Remedy SSM ... 58

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1 Simpulan ... 62

6.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 66

(14)

DAFTAR TABEL

Ekspor Impor Pertanian Indonesia berdasarkan Subsektor tahun 2008-2012 ………... Volume Impor Komoditas Hortikultura Indonesia 2008-2012 ...

Rasio Impor dan Produksi Bawang Merah, Wortel, dan Jeruk tahun 2010-2012 (ton)... Data Utama Penelitian ... Perkembangan total produksi, ekspor, dan impor Indonesia untuk komoditas jeruk dan kentang tahun 2002-2011 (dalam ton) ... Hasil Pengujian Akar Unit berdasarkan Augmented Dickey-Fuller Test ... Hasil Pengujian Selang (Lag) Optimal ... Hasil Pengujian Stabilitas Vector Auto Regression ... Hasil Pengujian Kointegrasi Data ...

Volume-based SSM Komoditas Kentang ...

Volume-based SSM Komoditas Jeruk (Orange) ...

Volume-based SSM Komoditas Jeruk (Mandarin) ...

Volume-based SSM Komoditas Bawang Merah ...

Price-based SSM Komoditas Kentang ...

Price-based SSM Komoditas Jeruk ...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Share impor kentang Indonesia per negara asal tahun 2012 ... Share impor jeruk Indonesia per negara asal tahun 2012 ...

Share Impor Bawang Merah Indonesia per negara asal tahun 2012 .... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Bawang Merah ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Bawang Merah ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Bawang Merah ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Kentang ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Kentang ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Jeruk ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Jeruk ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Bawang Merah ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Bawang Merah ...

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Jeruk Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Bawang Merah Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Kentang Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ...

Uji Akar Unit untuk Komoditas Jeruk Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ...

Uji Akar Unit untuk Komoditas Bawang Merah Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ...

Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Kentang Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Jeruk Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Bawang merah Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Kentang Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Jeruk Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Bawang Merah Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Kentang periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Kentang periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Jeruk periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Jeruk periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Bawang Merah periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Bawang Merah periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Daftar Komoditas yang mendapatkan SSG di Indonesia ...

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Integrasi perekonomian global sedang marak dirintis oleh negara-negara di dunia, terutama pada tingkat regional, misalnya pada tingkat ASEAN. Kerjasama ekonomi ASEAN dimulai dengan disahkannya Deklarasi Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk memercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Dalam dinamika perkembangannya, kerjasama ekonomi diarahkan pada pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community / AEC) yang pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat. Untuk pembentukan AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati pewujudannya diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint (Kemendag 2012).

Di dalam AEC Blueprint, terdapat berbagai kebijakan sehubungan dengan integrasi kawasan ASEAN, diantaranya adalah liberalisasi berbagai faktor ekonomi seperti barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja termasuk di dalamnya adalah bebas keluar masuknya faktor-faktor tersebut di dalam kawasan ASEAN. Hal ini merupakan keterbukaan baru bagi Indonesia, berdasarkan AEC Blueprint kemudian diluncurkan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement) pada KTT ASEAN ke-14 pada tahun 2009 yang diantara berbagai isinya adalah penghapusan tarif barang. Tentunya hal tersebut menjadi poin positif bagi Indonesia, selain peningkatan efektifitas produksi dan distribusi barang dan jasa, dengan kesiapan daya saing, hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Prachason (2009) mengatakan selalu ada argumen bahwa FTA memiliki banyak keunggulan ekonomis walaupun nantinya akan ada resiko kehilangan.

Keterbukaan Indonesia terhadap perdagangan internasional tentunya memiliki resiko. Semakin terbukanya pintu perdagangan internasional terhadap sebuah negara, maka semakin besar pula pengaruh yang berasal dari sisi internasional terhadap perekonomian domestik. Semakin terbuka Indonesia berarti semakin rentan Indonesia terhadap guncangan eksternal (Aminuddin 2009).

Faktor eksternal yang dapat memengaruhi perekonomian domestik, terutama yang berbentuk shock (guncangan) seringkali disebut dengan external shock.

(18)

semakin dikikis sehingga pada akhirnya barang impor yang masuk akan berkompetisi dengan barang domestik suatu negara dimana barang domestik ini tidak memiliki perlindungan terhadap dampak negatif dari peningkatan banjir impor.

Deteksi banjir impor telah dilakukan di berbagai penelitian. Pada penelitian FAO tahun 2005 telah tercatat terjadinya banjir impor di berbagai negara di dunia. Pada penelitian FAO tahun 2005, banjir impor didefinisikan sebagai deviasi (positif) sebesar 20 % dari total impor setiap komoditi di negara tersebut dalam lima tahun moving average yang dapat dilihat pada Tabel 1. Banjir impor yang terjadi tidak spesifik pada komoditas tertentu saja, variasi komoditas dan intensitas frekuensi komoditas banjir impor berbeda untuk setiap negara. Beberapa negara seperti Guinea, Malawi, Niger, Filipina, dan Tanzania terkena dampak banjir impor yang lebih sering dibanding negara lain yang diamati.

Tabel 1.1 Kasus Banjir Impor di Berbagai Negara di Dunia tahun 1984-2000

(19)

terlihat jika diteliti lebih jauh, Balance of Trade sektor pertanian ditopang oleh subsektor perkebunan terutama komoditas minyak sawit dan karet alam dengan ekspor sebesar 25 182 681 ton pada tahun 2008 yang terus berkembang hingga menjadi 29 826 443 ton pada 2012. Secara mendalam, ekspor impor sektor pertanian 2008 hingga 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.2

Tabel 1.2 Ekspor Impor Pertanian Indonesia berdasarkan Subsektor tahun 2008-2012

Volume (ton)

Tahun Growth Rate

2008-2012 (%)

2008 2009 2010 2011 2012

Sektor Pertanian

X 27 154 761 29 572 229 28 768 085 29 959 656 30 672 967 3.18 M 12 593 233 13 401 150 16 874 998 22 987 892 21 735 483 15.75 NX 14 561 528 16 171 080 11 893 087 7 041 764 8 937 484 -7.32

Subsektor Tanaman Pangan

X 812 290 786 627 892 454 807 265 234 274 -17.56

M 7 414 293 7 788 215 10 504 604 15 363 009 14 440 737 20.04 NX -6 602 003 -7 001 588 -9 612 150 -14 555 744 -14 206 463 23.09

Subsektor Hortikultura

X 524 485 447 609 364 139 381 648 426 576 -4.18

M 1 429 967 1 524 666 1 560 808 2 052 271 2 138 802 11.17 NX -905 482 -1 077 057 -1 196 669 -1 670 623 -1 712 226 18.04

Subsektor Perkebunan

X 25 182 681 27 864 811 27 017 306 27 863 746 29 826 443 4.45 M 2 683 739 2 963 532 3 578 061 4 311 982 3 954 202 10.84 NX 22 498 943 24 901 279 2 343 245 23 551 764 25 872 241 3.78

Subsektor Peternakan

X 635 304 473 182 494 186 906 997 185 675 -1.34

M 1 065 235 1 124 737 1 231 525 1 190 630 1 201 742 4.77 NX -429 931 -651 555 -737 339 -283 633 -1 016 067 18.50 Sumber: Pusdatin Kementan (2013); X: ekspor; M: impor; NX: net export / balance of trade

Berdasarkan Tabel 1.2, subsektor selain subsektor perkebunan mengalami

trade deficit, hal ini menandakan secara umum terjadi impor yang cukup tinggi di sektor ini hingga menyebabkan impor lebih dari ekspor. Impor yang tinggi pada subsektor pertanian, didominasi oleh komoditas kedelai dan gandum, dimana keduanya sulit diproduksi di Indonesia, begitu pula pada subsektor peternakan dengan komoditas susu dan sapi bakalan (cattle).

(20)

lainnya, dimana konsumsi harian produk ini cukup tinggi, misalnya sebagai bumbu masakan.

Impor hortikultura relatif lebih murah, membuat komoditas impor lebih diminati dibandingkan produksi lokal. Importir berdalih jika pasokan seperti impor buah hanya 6% hingga 10% dari stok pasar. Namun pada kenyataannya, terdapat dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan impor subsektor hortikultura ketika terjadi persaingan antara produk impor dan produk lokal. Misalnya ketika apel impor melimpah, maka pada tingkat eceran harga apel lokal menjadi terpuruk dan mengancam penurunan kesejahteraan petani1. Selain harga murah, terkadang kualitas yang lebih baik menarik konsumen untuk lebih memilih produk impor, membuat produk lokal semakin tidak diminati walaupun harganya sudah turun2. Namun yang semakin memperburuk adalah ketika impor tetap dilakukan walaupun stok lokal masih banyak, misalnya pada komoditas jeruk. Data BPS tahun 2011 mencatat produksi jeruk lokal mencapai 454 ribu ton dan konsumsi masyarakat sebesar 178 ribu ton, sedangkan impor jeruk telah mencapai 49 ribu ton3. Kecenderungan seperti inilah yang kemudian membuat potensi peningkatan impor menjadi banjir impor dan hal tersebut dapat memengaruhi perekonomian domestik, terutama harga petani.

1.2 Perumusan Masalah

Impor subsektor hortikultura, pada komoditas sayur-mayur, didominasi oleh komoditas bawang, dimana bawang putih merupakan komoditas impor yang paling tinggi dengan tingkat impor sekitar 400 ribu ton, kemudian impor bawang merah yang berfluktuasi nilainya sekitar 60 ribu ton hingga 160 ribu ton. Impor komoditas buah-buahan tertinggi adalah apel, diikuti oleh pir, kedua komoditas ini merupakan buah sub-tropis. Di sisi lain komoditas jeruk, baik orange maupun

mandarin memiliki tingkat impor yang cukup tinggi walaupun dapat diproduksi dengan baik pada tingkat domestik seperti yang sudah dibahas pada sub bab sebelumnya.

Tingginya impor hortikultura Indonesia tidak dibarengi dengan kebijakan yang melindungi domestik, terutama harga produsen. Kebijakan special safeguard

dapat digunakan untuk melindungi domestik dari gempuran banjir impor. Indonesia memiliki hak untuk memberlakukan Special Agricultural Safeguard

(SSG) terhadap 14 produk (kode HS 8 digit berdasarkan kode HS, namun secara umum merupakan empat produk (kode HS 4 digit) yaitu, susu (HS0402), mentega (HS0403), lemak susu (HS0405), dan cengkeh (HS0907). Tiga belas produk tersebut digunakan untuk komoditas peternakan, dan 1 produk untuk komoditas perkebunan, artinya proteksi terhadap hortikultura tidak termasuk ke dalam SSG dan penting untuk diajukan special safeguard lain untuk melindungi harga domestik, contohnya Special Safeguard Mechanism (SSM).

Kebijakan SSM diajukan oleh WTO sebagai bentuk proteksi terhadap perekonomian domestik. Konsep perlindungan SSM adalah dengan meningkatkan tarif impor untuk komoditas tertentu untuk beberapa waktu. Di Indonesia SSM dianggap penting untuk diberlakukan mengingat produk domestik (produk petani)

(21)

yang akan bersaing dengan produk-produk impor sebagian besar dihasilkan oleh petani subsisten yang memiliki daya saing rendah (Lubis et al. 2008). Namun pemberlakuan SSM terutama di subsektor hortikultura tidak serta merta dilakukan, perlu dicermati beberapa kriteria terhadap komoditas yang memiliki potensi terjadi banjir impor.

Tabel 1.3 Volume Impor Komoditas Hortikultura Indonesia 2008-2012

Komoditas Tahun

Growth Rate 2008-2012

(%)

2008 2009 2010 2011 2012

Bawang Merah 128,015 67,330 73,270 160,467 122,191 14.14 Bawang Putih 425,330 405,138 361,289 419,090 444,223 1.61

Bawang Bombay 38,899 33,862 52,545 74,651 64,931 17.82

Kentang 5,345 11,727 24,204 78,419 50,190 103.45

Kentang Bibit 2,944 2,280 2,726 2,457 1,862 -9.27

Tomat 142 47 57 18 111 101.35

Bunga Kol 635 590 906 1,043 1,026 15.00

Kubis 294 185 1,058 1,870 1,496 122.59

Kubis lainnya 267 183 170 308 833 53.25

Kacang Kapri 4,523 10,154 5,636 9,395 19,840 64.47

Cabe Segar 501 905 1,850 7,501 3,222 108.40

Mangga 969 821 1,129 989 1,267 9.50

Manggis 2 10 13 20 1 102.43

Jeruk (orange) 28,048 19,586 31,344 33,074 35,759 10.87 Jeruk (mandarin) 109,662 188,956 160,255 182,346 207,819 21.23

Anggur 25,686 34,961 41,260 55,794 65,275 26.59

Semangka 390 761 1,036 832 397 14.83

Apel 139,819 153,512 197,487 212,685 202,640 10.35

Nanas 193 46 84 68 12 -23.70

Pir 86,755 30,390 111,276 133,591 144,998 13.97

Pisang 56 214 79 1,631 2,042 552.17

Anggrek 0 0 1 1 7 -

Lainnya 282 219 319 315 15,118 1180.49

Hortikultura lain 431,212 502,788 492,815 675,704 753,450 15.81 Total 1,429,967 1,524,666 1,560,808 2,052,271 2,138,802 11.71 Sumber: Pusdatin Kementan (2013)

(22)

diberlakukan SSM. Selain itu, impor bawang putih juga tidak dapat dikatakan mengancam produk lokal mengingat produksi lokal bawang putih yang cukup rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat sehingga impor bawang putih merupakan pilihan untuk memenuhi hal tersebut. Sehingga pilihan yang ada untuk dipertimbangkan adanya SSM terhadap produk hortikultura adalah komoditas kentang, jeruk, dan bawang merah.

Tabel 1.4 menunjukkan perbandingan pada komoditas bawang merah, wortel, dan jeruk antara kemampuan produksi Indonesia dalam kilogram dibandingkan dengan jumlah impor yang dilakukan Indonesia pada tahun yang sama juga dengan kilogram. Terlihat bahwa komoditas tersebut diproduksi dengan jumlah yang cukup tinggi, namun di sisi lain impor pada komoditas ini juga cukup tinggi. Rasio ini pun terlihat cukup berfluktuasi sehingga terlihat adanya potensi banjir impor pada tahun-tahun tertentu untuk ketiga komoditas ini.

Tabel 1.4 Rasio Impor dan Produksi Bawang Merah, Wortel, dan Jeruk tahun 2010-2012 (ton)

Tahun

Kentang Jeruk Bawang Merah

Produksi Impor Rasio Produksi Impor Rasio Produksi Impor Rasio

2010 1 060 805 24 204 2.28 2 028 904 191 599 9.44 1 048 934 70 573 6.73

2011 955 488 78 419 8.21 1 818 949 215 420 11.84 893 124 156 381 17.51

2012 1 094 240 46 588 4.26 1 611 784 211 886 13.15 964 221 95 156 9.87

Sumber: BPS (2013)

Kecenderungan impor ini menyebabkan terjadinya persaingan antara dengan produk lokal. Dengan posisi seperti ini, Indonesia rentan terhadap banjir impor komoditas hortikultura, terutama jika terdapat pola-pola khusus peningkatan volume komoditas hortikultura dunia, misalnya volume jeruk pada Tahun Baru Imlek. Perdagangan internasional Indonesia dengan ASEAN dan China, juga negara-negara di seluruh dunia memang sedang meningkat, namun bukan berarti peningkatan tersebut kemudian menjadi ancaman bagi produsen domestik, sehingga hal ini patut diukur dalam konteks banjir impor hortikultura.

Berdasarkan uraian diatas, deteksi potensi banjir impor di subsektor hortikultura Indonesia menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti karena dirasa memiliki alternatif perspektif yang berbeda terhadap urgensi prioritas pemberlakuan proteksi terhadap petani hortikultura lokal. Penelitian ini akan menganalisis tekanan impor baik dari volume maupun harga untuk komoditas hortikultura Bawang Merah, Kentang, dan Jeruk, dengan alasan ketiga produk hortikultura ini dapat diproduksi di Indonesia dengan baik dan melimpah namun di sisi lain terjadi impor yang cukup besar, sehingga penting untuk diamati apakah kondisi seperti ini akan memengaruhi komoditas tersebut secara ekonomi. Secara spesifik, penelitian ini memiliki alur permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia?

(23)

3. Apakah dampak dari kecenderungan impor hortikultura yang semakin meningkat terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan uraian sebagai berikut:

1. Menganalisis gambaran umum kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia.

2. Mendeteksi fenomena dan frekuensi banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia berdasarkan SSM

framework.

3. Menganalisis dampak shock banjir impor terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai publikasi ilmiah dalam mempelajari pengaruh shock eksternal dari komoditas hortikultura impor yang berpotensi menjadi banjir impor yang dapat memengaruhi pasar domestik.

2. Dapat dijadikan acuan rancangan kebijakan untuk lembaga pembuat kebijakan perdagangan dengan tujuan untuk melindungi pasar domestik terutama petani hortikultura.

3. Memperkaya literatur studi mengenai dampak banjir impor terhadap pasar domestik dengan ekonometrika modern yang saat ini belum banyak dilakukan di Indonesia.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

1. Komoditas hortikultura yang diteliti dalam penelitian ini terbatas kepada komoditas kentang, bawang merah, dan jeruk.

2. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2012, yang berasal dari data resmi dari instansi yang bertanggung jawab untuk merilis data statistik Indonesia.

3. Dampak perekonomian domestik dari penelitian ini dibatasi dari pengamatan terhadap pengaruh faktor eksternal, seperti harga internasional, harga impor, dan volume impor, tanpa mempertimbangkan pengaruh dari dalam negeri. Hal ini dilakukan agar dapat terlihat jelas pengaruh faktor eksternal akibat keterbukaan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 4. Faktor dalam negeri yang diteliti pada penelitian ini adalah faktor harga

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini membagi bab Tinjauan Pustaka menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah tinjauan teoritis yang berisikan definisi-definisi mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Tinjauan teoritis juga berisikan dasar teori dari metode-metode yang digunakan oleh peneliti-peneliti yang sebelumnya yang kemudian penelitiannya dibahas pada bagian kedua bab ini. Bagian kedua adalah tinjauan empiris, yang berisi review dan ulasan singkat penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan tema ataupun metode, yang kemudian menjadi acuan untuk pemilihan metode yang tepat untuk penelitian ini.

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Transmisi Harga dan Law of One Price

Transmisi harga adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak harga dari satu pasar terhadap pasar lainnya. Transmisi harga biasanya diukur dalam elastisitas transmisi, dimana persentase perubahan harga pada satu pasar akan mengubah harga pada pasar lainnya sebesar satu %.

Analisis transmisi harga dapat dimulai dengan contoh kasus sederhana dimana pasar merupakan pasar persaingan sempurna, dengan ciri (asumsi) sebagai berikut:

1. Barang komoditi bersifat homogen, tidak ada variasi dalam kualitas

2. Terdapat banyak penjual dan pembeli yang sifatnya kecil sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan pasar

3. Penjual dan pembeli memiliki informasi sempurna 4. Jual-beli terjadi seketika

5. Tidak terdapat pajak dalam jual beli atau kebijakan restriktif dalam perdagangan

6. Tidak terdapat biaya transportasi dan transaksi

Dengan demikian, dapat dipastikan pada kasus ini bahwa arbitrasi spasial menjamin harga komoditi akan sama untuk semua pasar. Jika harga pada Pasar A ( ) melebihi harga pada Pasar B ( ) maka akan menguntungkan untuk mendistribusikan barang dari Pasar B ke Pasar A sampai harga kembali seimbang. Transmisi harga yang terjadi pada kasus ini dapat dikatakan sempurna karena perubahan harga yang terjadi di satu pasar akan langsung direfleksikan dengan perubahan di pasar lain, atau dengan kata lain elastisitas transmisi sebesar satu. Kondisi seperti inilah yang disebut sebagai Law of One Price (LOP).

Menurut Conforti (2004), terdapat empat kelompok faktor yang berkontribusi dalam deviasi harga domestik dari harga dunia, yaitu biaya transportasi dan biaya transaksi, pass-through nilai tukar yang tidak sempurna, diferensiasi produk, serta kebijakan harga domestik. Lebih lanjut, transmisi harga dilanggar apabila biaya transportasi dan biaya transaksi adalah tidak stasioner, tetap (tidak proporsional terhadap kuantitas barang yang diperdagangkan), dan multiplikatif (tidak aditif).

(25)

sederhana seperti yang dilakukan oleh Mundlak dan Larson pada tahun 1992 (Mundlak dan Larson dalam Abbot et al. 2011) sebagai berikut:

it jt t (1)

Dimana it merupakan harga untuk pasar domestik (i) dan jt adalah harga pasar dunia (j) pada periode t, dan merupakan parameter yang diestimasi dan t adalah error term. Hipotesis nol dari regresi ini adalah harga untuk kedua pasar terintegrasi dan tertransmisikan dengan sempurna

dan (2)

Model ini tidak dapat mendeteksi dinamika jangka pendek secara eksplisit. Untuk merefleksikan kekakuan harga, maka diberikan lag terhadap model awal sehingga, model dengan lag satu periode adalah

it jt it t (3)

Sehingga terbentuklah pendekatan deret waktu yang kemudian menjadi lumrah untuk analisa model yang lebih baik dalam proses-proses dinamis (Baffes dan Gardner dalam Abbot et al. 2011). Error Correction Model (ECM) kemudian dikembangkan untuk menjelaskan dinamika jangka pendek dan ekuilibrium jangka panjang secara simultan dalam satu model. Dimana Error Correction Term didefinisikan dengan

t it jt (4)

kemudian terbentuklah ECM yang dinotasikan sebagai berikut:

it t jt ut (5)

menggambarkan koefisien kointegrasi yang mengukur hubungan jangka panjang antara harga pada Pasar Domestik (i) dan Pasar Dunia (j). menggambarkan speed of adjustment dari koefisien, mengindikasikan seberapa besar deviasi dari ekuilibrium jangka panjang yang dapat dieliminasi dari setiap periode. menggambarkan dampak kontemporer, mengukur seberapa besar perubahan harga pada Pasar Dunia yang ditransmiskan kedalam Pasar Domestik pada periode waktu tertentu. adalah parameter jangka panjang dan dan merupakan parameter jangka pendek. Ketika secara signifikan tidak sama dengan nol, maka terjadi proses dinamis yang akan membuat harga memusat (converge) pada jangka panjang, sehingga LOP akan bertahan pada jangka panjang, bukan pada jangka pendek.

Pendekatan ECM diatas disebut Level I Methods dalam analisis transmisi harga (Barret dalam Abbot et al. 2011) dimana yang digunakan adalah hanya data harga. Level II Methods mengkombinasikan data harga dan data biaya transaksi, Parity Bounds Model (PBM) digunakan untuk mengestimasi studi Level II (Baulch dalam Abbot et al. 2011) yang mendeteksi adanya kemungkinan non-linear sebagai perubahan rezim perdagangan untuk kegiatan ekspor dan impor. Balke dan Fomby dalam Abbot, Wu, dan Tarp, 2011, secara implisit menyatakan bahwa biaya transaksi berhubungan dengan penetapan threshold sebagai diferensiasi harga. Keterandalan hasil pendekatan Level II sangat bergantung kepada kualitas data biaya transaksi dalam PBM, yang sangatlah sulit untuk diukur.

(26)

III, yang menggunakan data harga dan arus perdagangan. Karena kesulitan data biaya transfer dan data arus perdagangan secara agregat, maka analisis Level II dan III tidak secara luas diadopsi di dalam studi empiris, namun baik digunakan dalam pembuatan kerangka teoritis.

2.1.2 Definisi Banjir Impor (Import Surges)

Definisi umum atau konvensional terhadap banjir impor (import surge) dapat dikatakan tidak ada. Berdasarkan definisi kamus tentang kata surge dalam bahasa Inggris digunakan untuk menggambarkan peningkatan yang mendadak, tajam, dan tidak diduga dalam variabel yang dipertanyakan. Persetujuan WTO dalam general trade remedy measures mendefinisikan banjir impor lebih umum dibandingkan dengan istilah kamus, sebagaimana pada Pasal 2 dalam Agreement of Safeguards (ASG) yang mendefinisikan komoditas tertentu dalam fenomena banjir impor (dalam artian penerapan safeguards terhadap komoditas yang dapat memicu):

“When a product is imported into a country in such increased

quantities, absolute or relative to domestic production, and under such conditions as to cause or threaten to cause serious injury to domestic industry that produce like or directly competitive products”. (WTO 20134)

Sehingga definisi banjir impor dalam penelitian ini adalah fenomena yang terjadi ketika peningkatan volume (atau harga) dari impor yang melebihi tingkat normal pada suatu periode waktu berdasarkan kriteria tertentu. Walaupun tidak terdapat kriteria tertentu yang pasti, namun biasanya kriteria yang dimaksud adalah durasi dari surge tersebut, sebagaimana jumlah impor dibandingkan dengan tingkat normalnya. Secara umum, WTO tidak menyebutkan istilah banjir impor, namun persyaratan dalam safeguard sering didefinisikan sebagai fenomena tersebut (FAO 2011). Berdasarkan studi FAO tahun 2011 (De Nigris 2005; Mosoti dan Sharma 2005; dan Sharma 2005) dibangun kesimpulan bahwa banjir impor adalah peningkatan impor yang mendadak dan pada umumnya jangka pendek, namun dapat dengan mudah berdampak negatif terhadap peningkatan tren pada jangka panjang ataupun berkorelasi dengan faktor-faktor lain di dalam indikator pasar.

2.1.3 Special Safeguard

Pembentukan proteksi petani lokal terhadap banjir impor berbentuk SSM telah dirintis sejak tahun 1994. Pada prosesnya terdapat tiga jenis safeguard yang telah dibentuk dalam proses yang pada akhirnya menjadi SSM, yaitu GATT 1994

article XIX, SSG, sampai kepada SSM. 2.1.3.1 GATT 1994 Article XIX

GATT 1994 Article XIX memiliki 3 pasal yang pada umumnya membicarakan mengenai aksi ―darurat‖ yang perlu dilakukan terhadap impor produk tertentu. Perlakuan khusus dilakukan apabila terjadi suatu kasus impor produk tertentu dimana peningkatan volume impor (yang dapat disertai dengan penurunan harga) tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bagi produsen domestik dengan produksi produk yang sama, produk impor tersebut kemudian diposisikan sebagai produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.

Article XIX tidak membicarakan secara spesifik mengenai produk apa yang perlu

4

(27)

diberikan perlakuan khusus, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan mengenai produk yang dipilih untuk diberikan proteksi. Perlu diketahui pada

framework safeguards versi Article XIX, trigger terjadinya proteksi hanya berlaku terhadap peningkatan volume saja, apabila terjadi penurunan harga tanpa disertai dengan peningkatan volume, maka trigger tersebut tidak berlaku.

Article XIX dalam GATT 1994 dalam pasal 2 dan 3 mengatakan bahwa negara anggota WTO yang merasa bahwa suatu produk tersebut sudah menimbulkan dampak buruk bagi produsen lokal dapat melakukan tindakan pembatasan kuantitas (kuota) maupun peningkatan tarif. Hal ini dilakukan berdasarkan persetujuan antara negara pengekspor dan negara pengimpor dalam koridor pengawasan WTO, dimana terjadi kompensasi terhadap negosiasi tersebut. Tidak ada batasan waktu pemberlakuan perlakuan khusus dari produk tersebut selama kontrak berlaku disetujui. Aplikasi dari Article XIX pernah dilakukan oleh dua negara yang diketahui (WTO 1999), yaitu Argentina untuk produk sepatu (footwear) dan Korea untuk produk peternakan (dairy).

2.1.3.2 Special Agricultural Safeguard (SSG)

SSG merupakan bentuk respon tindak lanjut atas GATT 1994, yang kemudian tercantum di dalam Article 5 Agreement of Agriculture tentang Special Safeguard Provisions. Special Safeguards Provisions berbeda dengan safeguard

umum, dimana untuk pertanian safeguards dapat berlaku secara otomatis apabila nilai impor meningkat pada tingkat tertentu atau harga menurun sampai kurang dari tingkat tertentu, dan tidak perlu dilakukan pembuktian adanya dampak buruk yang telah terjadi pada produsen lokal akibat dari perubahan tersebut.

SSG hanya dapat dilakukan terhadap produk pertanian yang telah diberikan ―tarif‖ (yang berjumlah kurang dari % dari total produk pertanian), dimana tarif tersebut merupakan restriksi kuantitatif yang dikonversi kedalam tarif yang setara kemudian dipotong. SSG tidak dapat diberlakukan terhadap impor yang berada dalam kuota tarif dan hanya dibatasi kepada beberapa pemerintah negara tertentu, belum lagi banyak negara berkembang yang memilih untuk tidak mengikuti ―tarif‖ sehingga negara tersebut tidak diberikan hak untuk melakukan SSG. Pada prakteknya, hanya sedikit negara yang menerapkan SSG. Indonesia sendiri memiliki hak untuk memberlakukan SSG terhadap 14 produk (kode HS 8 digit berdasarkan kode HS, namun secara umum merupakan empat produk (kode HS 4 digit) yaitu, susu (HS0402), mentega (HS0403), lemak susu (HS0405), dan cengkeh (HS0907).

2.1.3.3 Special Safeguard Mechanism (SSM)

Pembatasan terhadap negara-negara yang diberikan hak menerapkan SSG dan kondisi negara berkembang yang tidak menginginkan pemberlakuan ―tarif‖ kemudian mendorong pembuatan rumusan kebijakan baru yang memiliki sistem seperti SSG namun dapat diberlakukan terhadap negara berkembang yang sebelumnya tidak mendapatkan hak. Safeguard baru tersebut dirancang bernama

Special Safeguards Mechanism yang tercantum dalam Draft Modalities for Agriculture milik WTO pada tahun 2008.

(28)

bersifat sementara. Namun SSM dapat diberlakukan oleh semua negara berkembang dan negara tersebut berhak melakukan dalam rangka proteksi produsen lokal untuk semua produk pertanian tanpa harus membuktikan adanya injury.

Berdasarkan draft Modalities pada Juli 2008, SSM dibagi menjadi dua jenis yaitu Volume-based SSM dan Price-based SSM. trigger volume-based SSM dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Ketika volume impor bernilai 110 % namun tidak melebihi 115 % (peningkatan volume 10 hingga 15 %) terhadap base imports

2. Ketika volume impor bernilai 115 % namun tidak melebihi 135 % (peningkatan volume 15 hingga 35 %) terhadap base imports.

3. Ketika volume impor bernilai melebihi 135 % terhadap base imports

Namun perlu diingat, volume-based SSM tidak dapat berlaku ketika volume impor bersifat negligible secara nyata terhadap produksi dan konsumsi domestik (berdasarkan draft Modelity revisi Desember 2008 pasal 131)., namun berdasarkan G-33, tidak ada pembatasan sifat manifestly negligible dari produk impor yang akan diberlakukan SSM.

Bedasarkan pasal 140 draft yang sama, Volume-based SSM dapat diterapkan dapat diterapkan selama maksimum 12 bulan dari awal permohonan penerapan safeguard, kcuali jika produk bersifat musiman, maka SSM berlaku selama enam bulan atau selama periode musiman berlaku. Untuk penerapan SSM berikutnya pada produk yang sama, maka rata-rata dari volume impor tiga tahun akan menggunakan base imports pada tahun yang baru tersebut, kecuali base imports tahun baru tersebut lebih kecil dari tahun penerapan sebelumnya. Setelah pemberlakuan dua periode SSM terhadap produk yang sama, maka produk tersebut tidak boleh memberlakukan SSM selama dua periode ke depan.

Price-based SSM dimulai dari penentuan rata-rata tingkat harga impor selama tiga tahun sebelumnya sebagai starting point harga referensi. Trigger price-based SSM adalah penurunan harga sebesar 15 % atau lebih (85% atau kurang dari harga referensi). Tarif yang diberlakukan tidak lebih dari 85 % gap antara harga impor dan harga trigger.

2.1.4 Analisis Tarif

Tarif merupakan kebijakan perdagangan paling sederhana, berupa pungutan pajak ketika suatu barang diimpor. Specific tariff dipungut sebagai biaya tetap untuk setiap unit barang yang diimpor (misalkan $3 dollar per barrel minyak mentah). Ad valorem tariff merupakan tariff yang dipungut sebagai pecahan dari nilai barang yang diimpor (misalkan, di AS 25 % tarif dari truk impor). Kedua skenario ini, pada dasarnya dampak dari tarif adalah menaikkan biaya expedisi (shipping cost) barang ke suatu negara (Krugman dan Obstfeld 2003).

(29)

sektor industri baru mereka dengan memberlakukan tarif kepada impor barang manufaktur (Krugman dan Obstfeld 2003).

Dari sudut pandang seseorang yang mengekspedisikan barang, tarif mirip dengan biaya transportasi. Jika negara asal memberlakukan pajak sebesar dua dollar AS kepada setiap gantang gandum, maka pengekspedisi tidak akan memindahkan gandum tersebut kecuali selisih harga dari kedua pasar setidaknya dua dollar AS.

Gambar 2.1 menggambarkan dampak dari tarif spesifik $t per unit gandum (ditunjukkan dengan t pada gambar tersebut). Tanpa tarif, harga gandum keseimbangan berada pada Pw, baik untuk pasar asal maupun pasar asing sebagaimana garis pada poin 1 di tengah yang menggambarkan pasar dunia. Jika diberlakukan tarif, maka pengekspedisi tidak akan memindahkan gandum dari negara Asing ke Asal, kecuali harga di Negara Asal melebihi Harga Asing setidaknya sebesar $t. Namun jika tidak ada gandum yang dipindahkan, akan terjadi excess demand pada negara Asal dan excess supply di negara Asing, maka akan berlaku peningkatan harga di Asal dan penurunan di Asing hingga selisih harga berada pada $t.

Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003)

Gambar 2.1 Dampak Tarif

Tarif menghubungkan harga dari kedua pasar. Tarif akan meningkatkan harga di Asal menjadi Pt dan menurunkan harga di Asing menjadi Pt*=Pt – t. Di negara Asal, produsen barang impor menawarkan lebih banyak karena harganya meningkat namun konsumen meminta lebih sedikit sehingga lebih sedikit impor yang diminta (pergerakan dari poin 1 ke 2 sepanjang kurva MD). Pada negara Asing, harga lebih rendah membuat penawaran menurun dan permintaan meningkat sehingga penawaran ekspor mengecil (pergerakan dari poin 1 ke 3 sepanjang kurva XS). Kondisi ini membuat volume gandum yang ditransaksikan menurun dari volume ketika free trade (Qw) menjadi volume ketika tarif berlaku (Qt). Permintaan impor akan sama dengan penawaran ekspor ketika Pt* – Pt = t.

(30)

prakteknya cukup kecil. Ketika negara kecil memberlakukan tarif, share dari negara tersebut memang sudah kecil di pasar dunia, sehingga penurunan impor negara tersebut berdampak sangat kecil terhadap harga dunia (ekpor asing).

Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003)

Gambar 2.2 Tarif di Negara Kecil

Pengaruh tarif dari negara kecil dimana negara tersebut tidak mampu memengaruhi harga ekspor dapat dilihat pada Gambar 2.2. pada kasus ini peningkatan tarif akan meningkatkan harga impor pada negara yang memberlakukan tarif, dengan peningkatan harga sebesar jumlah penuh dari tarif dari Pw menjadi Pw + t. Produk impor akan meningkat dari S1 menjadi S2, sedangkan konsumsinya menurun D1 menjadi D2. Hasil dari pemberlakuan tarif adalah penurunan impor pada negara yang memberlakukan (Krugman dan Obstfeld 2003).

2.1.5 Vector Autoregression

Vector Autoregression (VAR) adalah metode yang yang dikembangkan oleh Christoper Sims pada tahun 1980 yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari univariate autoregression. Univariate autoregression adalah sebuah persamaan tunggal dengan model linier variabel tunggal dimana nilai saat ini dari variabel dijelaskan oleh variabel dengan nilai lag-nya sendiri. VAR adalah metode untuk n-persamaan dengan n-variabel, sehingga dalam konteks ekonometrika modern, VAR termasuk ke dalam multivariate time series analysis

(Firdaus, 2011).

(31)

meliputi serangkaian proses spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan dalam model. Identifikasi model adalah melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Dalam proses identifikasi ditemukan beberapa kondisi, kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimiliki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi, kondisi exactly identified atau

just identified tercapai jika jumlah informasi sama dengan jumlah parameter yang diestimasi, sementara jumlah informasi kurang dari jmlah parameter yang diestimasi akan menciptakan keadaan yang disebut dengan underidentified. Estimasi model VAR dapat dilakukan hanya dalam keadaan overidentified dan

just identified.

Bentuk paling sederhana dari model VAR standar (reduced-form), berdasarkan Enders (2004) disusun dari bentuk sistem bivariate sederhana sebagaimana berikut:

yt b b t yt t yt t b b yt yt t t

(6) (7) Kedua persamaan ini tidak dalam bentuk persamaan reduced-form. Persamaan bivariate diatas menunjukkan yt dan t memengaruhi satu sama lain secara serentak (contemporaneous effect). Hal ini dapat terlihat b adalah

contemporaneous effect dari perubahan t terhadap yt dan adalah

contemporaneous effect dari perubahan t- terhadap yt . keberadaan

contemporaneous effect t terhadap yt dan sebaliknya mengindikasikan bahwa persamaan bivariate sederhana ini bukan persamaaan reduced form sehingga bentuk ini dikritisi terhadap Sims pada awal penyusunan model VAR.

Oleh karena itu, kemudian Sims kemudian menyusun bentuk persamaan umum dari VAR yang kemudian menjadi bentuk standar dari multivariate generalization dari proses autoregresi:

vektor intersep berukuran (n∙1)

matriks koefisien/parameter berukuran (n∙n) untuk setiap i , ,3,…,p vektor error berukuran (n∙1)

Model VAR dalam bentuk umum di atas dapat ditulis ulang dalam persamaan bivariate pada model sederhana sebelumnya menjadi:

yt yt a t e t t a a yt a t e t

(9) (10) Atau dalam entuk notasi matriks VAR adalah sebagai berikut:

(32)

Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan model persamaan simultan (Firdaus 2011), yaitu:

1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasar pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memerhatikan pada hasil hubungan yang hilang (omitted interrelation).

2. Struktur dinamis pada model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural.

Untuk mengatasi kritikan tersebut terutama untuk menentukan variabel endogen dan eksogen, pendekatan VAR berusaha membiarkan data tersebut berbicara (let the data speak for themselves) dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Dalam kerangka VAR, setiap variabel baik dalam level maupun first difference, diperlakukan secara simetris dalam sistem persamaan yang mengandung regressor set yang sama.

Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometrika konvensional adalah:

1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.

2. Uji VAR yang multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak mencakup variabel yang relevan

3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.

4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga dapat menghindari penafsiran yang salah.

Namun, model VAR juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Gujarati (1978) dalam Firdaus (2011), kelemahan VAR antara lain:

1. Model VAR lebih bersifat ateori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.

2. Karena menitikberatkan pada peramalan (forecasting), maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan

3. Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diintepretasikan

2.1.5 Structural Vector Autoregression

Menurut Enders (2004), pendekatan model VAR telah dikritik bahwa muatan ekonomi di dalamnya yang bisa dikatakan nihil (devoid). Fungsi tunggal dari seorang ekonom hanyalah menentukan variabel yang tepat untuk dimasukkan ke dalam model VAR. Setelah itu, prosedur berikutnya bersifat mekanis, sedikit sekali proses input ekonomi di dalamnya sehingga hasilnya sangat minim muatan ekonominya. Maka dari itu, Sims (1986) dan Bernanke (1986) kemudian memperkenalkan model dengan inovasi menggunakan analisis ekonomi. Ide dasarnya adalah untuk mengestimasi hubungan dari structural shocks

(33)

VAR dengan n-variabel. Sebagaimana hubungan ini invarian terhadap panjang lag, maka first order model dengan n variabel adalah sebagai berikut:

[

Dari persamaan diatas kemudian disusun persamaan bentuk umum VAR ( t t- t-p t-p et ) yang sudah disebutkan sebelumnya (dengan mengalikan persamaan dengan B-1) sehingga menjadi:

t t t (14)

Sehingga - ; - ; dan et - t berdasarkan bentuk umum VAR. permasalahan berikutnya adalah mengetahui nilai dari et dan merestriksi sistem sehingga t et. kemudian permasalahan berikutnya adalah pemilihan dari bij tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan. Untuk menyelesaikan permasalahan identifikasi dengan cara menghitung equations dan unknowns. Dengan metode OLS, kemudian didapatkan varian dan kovarian dari matriks ∑:

Dengan elemen dibatasi dengan penjumlahan:

ij ( ) ∑eitejt t

(16) adalah simetris yang hanya berisikan (n n) elemen yang terpisah. Terdapat n elemen sepanjang principal diagonal, (n-1) sepanjang first-off diagonal, (n-2) sepanjang next of diagonal dan seterusnya hingga pada pojok elemen terdapat (n n) elemen bebas. Solusi untuk permasalahan identifikasi ini adalah untuk mengidentifikasi n2 unknown dari elemen independen sejumlah

(n n) yang telah diketahui (

known), perlu ditanamkan restriksi sebanyak n -[(n n)] (n -n) ke dalam sistem.

Untuk memberikan sejumlah restriksi dalam bentuk Cholesky Decomposition di dalam sistem matriks di atas, maka dipelukan Cholesky Decomposition untuk seluruh elemen diatas principal diagonal sama dengan nol, atau dalam bentuk lain sebagai berikut:

(34)

ditanamkan restriksi sebanyak (n -n) ke dalam model struktural tersebut (Enders 2004).

2.1.6 Vector Error Correction Model

Vector Error Correction Model adalah VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka panjang ke jangka pendek (Firdaus 2011).

Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Spesifikasi VECM secara umum adalah sebagai berikut:

yt t yt ∑ k yt k

i

t (18)

yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian = vektor intercept

= vektor koefisien regresi

t = time trend

= x , dimana mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang yt- = variabel in-level

k = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR

t = error term

2.2 Tinjauan Empiris 2.2.1 Penelitian Transmisi Harga dan External Shock

Penelitian univariate untuk menganalisa transmisi harga berawal dari teori

Law of One Price (LOP). Teori ini terkait dengan pengaruh shock terhadap pasar domestik, dimana menjadi basis penelitian yang dilakukan oleh Minot (2011), Conforti (2004), dan Abbot et al. (2011) yang meneliti mengenai transmisi harga dunia ke harga domestik. Penelitian shock dalam bentuk perubahan harga ini kemudian berkembang dengan metode ECM untuk penelitian transmisi harga.

(35)

yang direstriksi (SVAR). Model ini banyak dijadikan referensi dalam penyusunan model dampak pass-through terhadap perekonomian domestik negara tertentu, seperti penelitian Tandrayeen-Ragoobur dan Chicooree (2013) untuk negara Mauritus, untuk Romania oleh Cozmanca dan Manea (2002), dan Hartati (2004) untuk Indonesia.

Khan dan Ahmed (2012) meneliti dampak dari shock harga pangan dunia dan harga minyak dunia yang ditransmisikan kepada variabel-variabel makroekonomi, seperti tingkat inflasi, output, money balances, tingkat sukubunga, dan tingkat nilai tukar negara Pakistan. Penelitian yang dilakukan menggunakan SVAR untuk data bulanan periode penelitian Januari 2000 sampai Juli 2011. Hasilnya, shock harga minyak dunia berdampak negatif terhadap produksi industri, mengapresiasi nilai tukar (REER), dan berdampak positif terhadap tingkat inlasi dan tingkat suku bunga. Sedangkan shock harga pangan dunia meningkatkan output industri, tingkat suku bunga, dan tingkat inflasi, namun terdapat variasi dalam tingkat suku bunga, dimana peningkatan lebih besar terjadi saat shock harga pangan dibandingkan shock harga minyak. Generalized Impulse Response Function menunjukkan bahwa REER adalah sumber utama dari distorsi perekonomian selain kedua shock dan Generalized Forecast Error Variance Decomposition memperkuat hal tersebut. Hasilnya secara jelas menujukkan bahwa shock harga pangan dan harga minyak dunia memengaruhi output, tingkat suku bunga jangka pendek, tingkat inflasi dan Real Effective Exchange Rate secara signifikan.

2.2.2 Penelitian Safeguard dan Banjir Impor

Penelitian mengenai Safeguard dan Banjir Impor, dalam artian deviasi (shock) harga dan volume impor yang kemudian masuk ke negara tertentu dan menyebabkan perubahan dalam pasar domestik, menurut FAO (2011) tidak memiliki pendekatan unik karena heterogeneity di dalam sektor dan negara. Salah satu penelitian mengenai banjir impor (import surges) adalah Pingpoh dan Senahoun (2008) meneliti banjir impor komoditas daging unggas di Kamerun menemukan bahwa terjadi banjir impor secara kualitatif maupun kuantitatif dimana terjadi peningkatan impor hingga 286.7% pada komoditas tersebut yang memengaruhi produksi dan keuntungan domestik.

Grant dan Meilke (2008) melalukan penelitian mengenai special safeguard

(SSM) untuk negara berkembang dengan dua skenario, yaitu negara berpendapatan rendah dapat melanjutkan tarif diatas bound tariff pre-Doha atau tidak dengan menggunakan global, stokastik, dan partial equilibrium model untuk pasar gandum dunia. Penelitian ini berkesimpulan bahwa proposal SSM 2008 tidak terlalu mendistorsi perdagangan akibat dari penerapan peningkatan tarif. Terlebih lagi penelitian ini menyarankan agar negara berkembang untuk diperbolehkan untuk menerapkan SSM.

(36)

beberapa wilayah, dengan penurunan perdagangan gandum hanya sebesar 4.7 %.

Price measure akan mendiskriminasi eksportir harga murah (yang kebanyakan berasal dari negara berkembang) sehingga cenderung meningkatkan ketidakstabilan harga produsen.

Penelitian di Indonesia mengenai banjir impor dengan menggunakan metode SVAR telah dilakukan oleh Setiyanto (2011) untuk komoditas beras, jagung, dan kedelai. Penelitian ini menemukan bahwa frekuensi banjir impor beras lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain dan Indonesia memiliki hak untuk memberlakukan SSM untuk beras, jagung, dan kedelai. Remedial tariff

berdasarkan price trigger lebih baik dan lebh tinggi dibandingkan penurunan harga produsen dengan pemberlakuan SSM selama empat tahun. Skema SSM untuk negosiasi mendatang hendaknya disusun ulang termasuk kebijakan perdagangan internasional, pasar domestik, dan perkembangan produksi.

Selain mendukung SSM dengan perlindungan terhadap perekonomian domestik, banyak penelitian yang kemudian berkesimpulan bahwa SSM pada akhirnya akan menghambat liberalisasi perdagangan, misalnya Hallaert (2005) meneliti bahwa selama ini SSG diberlakukan sebagai alat protektif yang kontinu sehingga mengganggu libralisasi sehingga dianggap beresiko dan harus dihilangkan. Harris (2008) yang merekomendasikan segala bentuk safeguard berpola untuk dihapuskan agar tidak menjadi bentuk baru dari trade barrier. Bahkan pada penelitian Somwaru dan Skully (2005) menggambarkan dengan inter-temporal general equilibrium model untuk menstimulasi efek statis dan dinamis dari SSG menyimpulkan bahwa pada negara berkembang terjadi penurunan kesejahteraan agregat jika SSG untuk pangan utama diberlakukan walaupun peningkatan dan penurunan tersebut tidak seragam.

2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dimulai dengan gambaran umum posisi impor hortikultura Indonesia terutama komoditas terpilih dengan keterbukaan perdagangan internasional, terutama AFTA dengan rintisan AEC yang mengikis tarif impor sebagai sarana proteksi pasar domestik. Posisi impor tersebut juga dibandingkan dengan kemampuan Indonesia untuk memproduksi komoditas tersebut. Kemudian analisis dilanjutkan dengan fenomena terjadinya shock berupa perubahan harga dunia untuk komoditas yang diteliti. Shock harga ini kemudian ditransmisikan menjadi perubahan harga impor yang diikuti dengan perubahan volume impor. Perubahan harga dan volume impor ini berpotensi banjir impor kemudian ditransmisikan ke dalam pasar domestik, dimana terjadi perubahan harga konsumen akibat perubahan harga dan volume. Perubahan pola konsumsi dengan masuknya barang impor untuk berkompetisi dengan harganya yang berubah kemudian menekan harga produsen dimana produsen domestik terpaksa bersaing.

Hasil output SVAR berbentuk IRF dan FEVD ditambah dengan derajat

(37)

kebijakan yang perlu dilakukan terhadap komoditas-komoditas yang rentan terhadap banjir impor.

Perhitungan banjir impor juga dilakukan dengan metode SSM yang diajukan kepada WTO pada tahun 2008 dengan menghitung perbandingan antara impor tahun tertentu dengan rataan impor tiga tahun sebelum tahun yang ditentukan untuk memperkuat indikasi terjadinya banjir impor. Perhitungan ini juga dapat menjadi framework dasar untuk pembentukan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia yang menjadi penutup dari penelitian ini.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka pemikiran maka hipotesis penelitian disusun sebagai berikut:

1. Perubahan harga dunia terutama penurunan harga akan berkorelasi negatif dengan volume impor dan positif dengan harga impor. Di pasar domestik penurunan tersebut akan berkorelasi positif terhadap harga konsumen dan produsen.

2. Penurunan harga impor dan peningkatan volume impor akan cenderung menimbulkan banjir impor pada komoditas hortikultura, memicu tekanan persaingan terhadap produk domestik dalam bentuk persaingan harga.

(38)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Data, Cakupan Komoditas, dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data time series bulanan dengan periode 2002-2010. Pemilihan periode waktu ini didasari atas aktifnya Indonesia dalam perdagangan internasional AFTA yang diprediksi juga memicu keterbukaan Indonesia lebih lanjut untuk impor. data yang akan digunakan mencakup data harga dunia, harga impor, volume impor, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga konsumen, dan harga tingkat petani. Data tersebut kemudian dibentuk dalam versi logaritma natural (ln) untuk menyederhanakan data dan konsistensi.

Data komoditas hortikultura yang akan diteliti dalam penelitian yang mencakup komoditas bawang merah, kentang, dan jeruk. Penentuan komoditas yang digunakan didasari atas premis awal dimana Indonesia memiliki potensi untuk memproduksi komoditas hortikultura ini dengan efisien untuk mencukupi kebutuhan domestik, namun pada kenyataannya masih dilakukan impor untuk komoditas tersebut dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga diperkirakan barang impor komoditas tersebut berpotensi untuk berkompetisi dengan barang domestik dan memengaruhi harga domestik.

Penelitian ini akan menggunakan data sekunder dari badan-badan instansi-instansi terkait, dimana data utama yang digunakan berasal dari BPS, World Bank, dan USDA seperti yang dijabarkan pada tabel. Tabel 3.1 menjabarkan data utama yang akan digunakan dalam model penelitian, sebagai berikut:

Tabel 3.1 Data Utama Penelitian

No Variabel Satuan Simbol Sumber

1 Harga Dunia Rp/kg PW World Bank, USDA

2 Harga Impor Rp/kg PM BPS

3 Volume Impor kg QM BPS

4 Harga Konsumen Rp/kg PC BPS

5 Harga Produsen Rp/kg PF BPS

Selain data pada tabel diatas, terdapat data-data sekunder pelengkap seperti data nilai tukar (BI), data pertanian domestik (Kementerian Pertanian), data-data internasional (FAO), dan badan-badan penyedia informasi terkait dalam rangka melengkapi informasi-informasi dalam gambaran umum maupun pada analisis inti dari penelitian ini.

Gambar

Gambar 2.2 Tarif di Negara Kecil
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Tabel 4.1 Perkembangan total produksi, ekspor, dan impor Indonesia untuk
Gambar 4.3 Share Impor Bawang Merah Indonesia per negara asal  tahun 2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Mengawal, mengamankan dan mendukung keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan/preventif dan persuasive di daerah hukum

Pada penelitian ini, peningkatan nilai produk batik tulis dicapai dengan mengimplementasikan perbaikan alat produksi berupa kompor listrik untuk pembakaran lilin batik

(2) Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang berjuang, tasawuf merupakan upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan

Sherafat dan Murthy (2016) ada pengaruh yang signifikan antara kebiasaan belajar dan prestasi belajar, jika kebiasaan belajar para siswa itu tinggi maka akan

Penelitian ini bertujuan mendeteksi kemampuan bakteri endofit dalam menghasilkan senyawa anticendawan yang dapat menekan perkembangan patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang

Gambar 29 adalah tampilan dari isi bukti digital menggunakan wireshark, dengan data yang dilihat pada data link di frame 21 yang berisi MAC Address perangkat yang

medulla spinalis, pusat otak. serebelum dan korteks serebri, juga merupakan  bagian dari berkas serat yang menghubungkan korteks serebri dengan grisea  pyramidal. 1alam struktur

Evaluasi dan perencanaan kembali Bendung Sapon yang dilakukan dengan perencanaan yang didasarkan pada data saat ini yakni luas areal irigasi efektif Sapon seluas