ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERKONGLOMERASI
DAN INDEPENDEN
SONIA PRATIWI LUBIS
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Analisis Komparatif Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir Skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Sonia Pratiwi Lubis
ABSTRAK
SONIA PRATIWI LUBIS. Analisis Komparatif Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen. Dibimbing oleh ALI MUTASOWIFIN.
Subsektor industri pembiayaan mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Banyak perusahaan baru yang tertarik untuk memasuki sektor ini, baik perusahaan independen maupun perusahaan yang merupakan bagian konglomerasi. Perkembangan industri jasa keuangan ini menimbulkan adanya kompleksitas dan memicu timbulnya risiko dari kongkomerasi keuangan. Size perusahaan terkait aset merupakan salah satu faktor utama yang memicu timbulnya risiko dari konglomerasi keuangan. Penelitian ini menggunakan aset Rp 100 Miliar-Rp 1 Triliun pada periode 2009-2012 sebagai dasar pertimbangan dalam membandingkan perusahaan pembiayaan independen (PT Bentara Sinergies Multifinance) dan berkonglomerasi (PT Batavia Prosperindo Finance). Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Z-Score dan analisis rasio keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaaan pembiayaan berkonglomerasi mempunyai kinerja yang lebih bagus dan risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan independen karena mempunyai sumber pendanaan dan anak perusahaan yang kuat untuk mendukung operasi bisnis.
Kata Kunci : kinerja keuangan, perusahaan pembiayaan berkonglomerasi, perusahaan pembiayaan independen, risiko keuangan
ABSTRACT
SONIA PRATIWI LUBIS. A Comparative Financial Risk Analysis of Conglomerate and Independent Finance Company. Supervised by ALI MUTASOWIFIN.
Financing industry subsector has experienced a rapid growth from year to year. Many new companies are interested in entering this sector, include independent finance company as well as those that are part of financial conglomeration. This growth raises the complexity and trigger the onset of financial conglomeration risk. This research used assets of Rp 100 billion - Rp 1 trillion over period 2009-2012 as the basis in comparing both of them. Data analysis was conducted using financial ratio measurement and Z-Score. The result shows that conglomerate finance company has better performance and lower level of risk than independent finance company because it has strong funding from other companies in their structure.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Manajemen
ANALISIS KOMPARATIF RISIKO KEUANGAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERKONGLOMERASI DAN
INDEPENDEN
SONIA PRATIWI LUBIS
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Sonia Pratiwi Lubis
NIM : H24100124
Disetujui oleh
Ali Mutasowifin, SE, M.Ak Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Mukhamad Najib STP, MM Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai dengan Mei 2014 ini adalah Risiko Keuangan dengan judul Analisis Komparatif Risiko Keuangan Perusahaan Pembiayaan Berkonglomerasi dan Independen.
Terimakasih kepada bapak Ali Mutasowifin, SE, M.Ak selaku pembimbing atas perhatian, dukungan dan saran yang telah diberikannya. Disamping itu, ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak M. Syukur Lubis dan Ibu Sri Sutarti selaku orang tua penulis atas doa, dukungan, kasih sayang dan cinta yang luar biasa. Kepada Iskandar Zulkarnain Lubis selaku adik penulis atas doa, dukungan, kasih sayang dan cinta yang luar biasa. Kepada Munadian Fajri Matondang, SH yang selalu memberikan waktu, dukungan dan semangat kepada penulis, kepada Keluarga Besar Lasimun dan Keluarga Besar Jamangaris Lubis atas doa yang diberikan kepada penulis. Juga kepada D’gibz (Ade, Wina, Yolanda, Nude) dan anak Pasca Ilmu Manajemen yang selalu menemani hari-hari penulis selama kuliah, dan kepada teman-teman satu bimbingan (Nofrida, Alvinda, Tiwi, dan Ucup) yan berjuang bersama penulis. Serta kepada semua teman-teman Manajemen 47 atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
Jenis Kelompok Usaha 6
Analisis Rasio Keuangan 6
Metode Z-Score 8
METODE 10
Kerangka Pemikiran Penelitian 10
Lokasi dan Waktu Penelitian 11
Jenis dan Sumber Data 12
Metode Pengumpulan Data 12
Variabel Penelitian 12
Pengolahan dan Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Gambaran Umum Industri Pembiayaan 12
Gambaran Umum Perusahaan 13
Analisis Rasio Keuangan 13
Analisis Z-Score 21
SIMPULAN DAN SARAN 22
DAFTAR TABEL
1. Peningkatan pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia 1 2. Tiga kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan Z-Score 10 3. Pendapatan Pembiayaan Konsumen Yang Belum Diakui dan
Penyisihan Kerugian Penurunan Nilai BESS Tahun 2011 dan 2012 15
4. Modal Sendiri BESS dan BPFI 17
5. Laba Bersih BESS dan BPFI 20
6. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan BESS 22
7. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan BPFI 22
DAFTAR GAMBAR
1. Jumlah perusahaan pembiayaan tahun 2008-2012 2
2. Kualitas piutang perusahaan pembiayaan 3
3. Kerangka pemikiran penelitian 11
4. Hasil perbandingan nilai FAR BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 14 5. Hasil perbandingan nilai GR BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 16 6. Hasil perbandingan nilai MSMD BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 17 7. Hasil perbandingan nilai NPF BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 18 8. Hasil perbandingan nilai ROA BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 20 9. Hasil perbandingan nilai ROE BESS, BPFI dan rata-rata
perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia periode 2009-2012 21
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Subsektor industri pembiayaan mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Salah satunya dipengaruhi oleh pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia (atas dasar harga berlaku) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan Tabel 1. Atas dasar harga berlaku yang dimaksud menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, termasuk memperhitungkan pengaruh inflasi. Pendapatan per kapita yang semakin meningkat ini akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat dalam memenuhi segala kebutuhan aktivitas perekonomian melalui kegiatan pembiayaan konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), dan usaha kartu kredit. Ini dikarenakan ada keuntungan dan kemudahan yang diterima oleh konsumen, seperti perbaikan keadaan likuiditas dan pembayaran lebih ringan dibanding kalau membeli secara tunai.
Tabel 1. Peningkatan pendapatan nasional per kapita masyarakat Indonesia
Tahun Pendapatan Nasional Per Kapita (Rupiah)
2008 18,774,283.37
2009 20,731,425.57
2010 23,759,818.77
2011 27,298,811.57
2012 30,516,670.73
Sumber: BPS (2013)
Selain itu, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan industri pembiayaan ini juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan laba bersih perusahaan pembiayaan dari Rp 6,4 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 12,2 triliun pada tahun 2012 (OJK 2013). Peningkatan ini menandakan bahwa kinerja dari perusahaan pembiayaan relatif baik. Peningkatan laba bersih ini didorong oleh peningkatan pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang mengalami kenaikan sebesar Rp 164,84 triliun dan pertambahan jumlah perusahaan pembiayaan yang cukup baik.
Peningkatan tersebut menyebabkan industri ini cukup menjanjikan, banyak perusahaan baru yang tertarik untuk memasuki sektor ini, baik perusahaan independen maupun perusahaan yang merupakan bagian konglomerasi. Kebanyakan dari konglomerasi perusahaan ini terdiri dari satu atap. Ini dikarenakan mereka ingin mengejar pangsa pasar konsumen mereka dan ingin mendiversifikasi risiko yan mereka miliki (Gatzert and Schmeiser 2011). Misalnya, perusahaan Astra yang mempunyai anak perusahaan di bidang otomotif, mereka juga mempunyai anak perusahaan di bidang jasa keuangan untuk melayani pembiayaan pembelian produk otomotif mereka. Selain Astra, ada juga Bank yang mempunyai anak perusahaan yang memasuki industri pembiayaan, seperti Bank BCA yang mempunyai anak perusahaan berupa BCA Finance.
2
untuk mengawasi lebih ketat kinerja tiap perusahaan dalam industri pembiayaan ini. Setiap tahun, OJK menerbitkan izin usaha baru dan mencabut izin usaha perusahaan pembiayaan. Ini menunjukkan adanya fluktuasi pada jumlah perusahaan pembiayaan seperti ditunjukkan Gambar 1. Pada Gambar 1, terlihat jelas pertumbuhan perusahaan pembiayaan dalam lima tahun terakhir, sebanyak 24 izin usaha baru yang telah diterbitkan dan 41 izin usaha yang telah dicabut. Ini mengindikasikan bahwa terdapat risiko yang serius dalam industri pembiayaan ini mengingat cukup banyaknya izin usaha yang dicabut. Akan tetapi, industri ini juga cukup menjanjikan dengan melihat banyaknya penerbitan izin usaha baru.
Gambar 1 Jumlah Perusahaan Pembiayaan Tahun 2008-2012
Sumber: OJK (2013)
Untuk mendukung keberlangsungan bisnis mereka, suatu perusahaan pembiayaan diharuskan mempunyai sumber pendanaan yang kuat dikarenakan kegiatan bisnis mereka bergerak dalam membiayai produk-produk yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen. Dengan sumber pendanaan yang kuat, bisnis akan dapat berjalan dengan lancar. Perusahaan pembiayaan yang merupakan bagian dari konglomerasi perusahaan akan memiliki akses yang lebih mudah terhadap sumber pendanaan karena didukung oleh induk perusahaannya. Akan tetapi, perusahaan pembiayaan yang merupakan perusahaan independen harus mencari sumber pendanaannya sendiri untuk menopang kegiatan bisnis mereka.
Ditambah lagi, kualitas piutang pembiayaan yang dimiliki perusahaan pembiayaan mengalami trend yang meningkat dari tahun ke tahun seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Ini menandakan bahwa kualitas piutang pembiayaan kurang bagus karena semakin kecil nilainya maka semakin bagus kualitas piutang pembiayaan. Kualitas aset yang kurang bagus ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam kualitas aset piutang pembiayaan dan ketidakmampuan perusahaan dalam mengatasi risiko itu. Dengan trend tersebut dapat diperkirakan nilai kualitas piutang pembiayaan di masa depan akan meningkat juga. Peningkatan ini tentunya akan mempengaruhi kinerja dan risiko yang dialami oleh perusahaan pembiayaan ke depan.
2008 2009 2010 2011 2012
2 7 2 16 7 13 4 1 9 4
212
198 192 195 200
Jumlah Perusahaan Pembiayaan
Gambar 2. Kualitas Piutang Perusahaan Pembiayaan
Sumber: OJK (2013)
Saat ini, OJK sedang mengawasi 31 financial conglomerate yang mana 30 perusahaan berinduk perbankan dan 1 perusahaan yang induknya keuangan non-bank. Banyaknya konglomerasi keuangan di Indonesia mempengaruhi kompleknya transaksi produk bank dan non bank. Maka dari itu, perusahaan pembiayaan yang berkonglomerasi memerlukan sistem pengawasan yang terintegrasi agar koordinasi antar konglomerasi perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Perkembangan industri jasa keuangan ini menimbulkan adanya kompleksitas dari fenomena konglomerasi keuangan. Fenomena ini memicu peningkatan risiko yang lebih besar di industri jasa keuangan. Ada tiga faktor utama yang memicu timbulnya risiko dari konglomerasi keuangan, yaitu (1) size perusahaan terkait aset, (2) interconectiveness (keterkaitan antar perusahaan), dan (3) complexity struktur kepemilikan dan struktur organisasi (Infobank 2014). Pada penelitian ini akan menggunakan aset sebagai dasar pertimbangan dalam memilih perusahaan pembiayaan yang akan dibandingkan satu sama lain. Aset yang digunakan dalam penelitian ini sebesar Rp 100 Miliar – Rp 1 Triliun sesuai dengan klasifikasi per kategori besaran aset yang digunakan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) yang terdiri dari: di atas Rp 1 Triliun, antara Rp 100 Miliar-Rp 1 Triliun, di bawah Rp 100 Miliar.
Hasil penelitian OJK menyimpulkan bahwa perusahaan konglomerasi perbankan cenderung melakukan risk taking dengan tingkat leveraging yang lebih besar jika dibandingkan dengan perusahaan independen yang lebih kecil. Konglomerasi bank akan meningkatkan risiko sistemik karena kesulitan yang dialami oleh anak perusahaan akan berdampak negatif terhadap kinerja bank selaku induk usaha ataupun industri keuangan secara keseluruhan. Risiko sistemik yang dimaksud adalah risiko terjadinya kehancuran atau runtuhnya sistem keuangan dan pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem
2009 2010 2011 2012
Kualitas Piutang 2.65 2.74 2.69 2.83
2.55 2.6 2.65 2.7 2.75 2.8 2.85
Per
sen
(
%
)
4
keuangan, seperti penyediaan likuiditas, pengelolaan risiko, dan alokasi sumber daya tidak berjalan semestinya. Ini bisa terjadi karena adanya interlink dan saling ketergantungan dalam suatu perekonomian sehingga jika satu lembaga keuangan atau satu pasar keuangan mengalami kegagalan akan memicu kegagalan di lembaga keuangan yang lain. Dalam hal bank memiliki keterkaitan transaksi langsung dengan anak perusahaan atau grup, risiko pasar, risiko kredit, dan risiko likuiditas sudah tentu menjadi risiko utama yang harus diperhatikan. Di luar itu, meskipun bank tidak memiliki transaksi langsung, kinerja grup atau anak perusahaan dapat dengan mudahnya menyeret bank dalam permasalahan atau kita sebut dengan risiko reputasi. Bahkan, ketika permasalahan berkembang, bank dapat terkena risiko hukum. Risiko sistemik ini dapat meningkat ketika ada perbedaan standar regulasi dan pengawasan antara bank dan Institusi Keuangan Non Bank (IKNB) lainnya yang menjadi anak perusahaan atau kelompok usahanya. Perbedaan tersebut dapat berdampak pada kualitas pelaksanaan tata kelola (GCG) ataupun pengelolaan risiko. Untuk itu, penyetaraan standar regulasi dan pengawasan antara bank selaku induk dan IKNB selaku anak perusahaan harus menjadi fokus perhatian pengawasan konglomerasi bank (Infobank 2013).
Akan tetapi, ada 1 induk perusahaan keuangan yang merupakan perusahaan konglomerasi keuangan non-bank yaitu PT Batavia Prosperindo Internasional yang mempunyai 3 anak perusahaan, yaitu PT Batavia Prosperindo Finance, PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen, dan PT PT Batavia Prosperindo Sekuritas. OJK belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai risiko keuangan terhadap perusahaan ini. Untuk mengetahui lebih jelas apakah perusahaan konglomerasi ini juga memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan independen, maka dilakukan penelitian terhadap salah satu anak perusahaan konglomerasi yaitu PT Batavia Prosperindo Finance. Perusahaan ini akan dibandingkan dengan perusahaan pembiayaan independen yang mempunyai aset yang sama yaitu aset Rp 100 Miliar – Rp 1 Triliun. Perusahaan pembiayaan independen tersebut adalah PT Bentara Sinergies Multifinance. Dalam menganalisis perbandingan risiko keuangan antara perusahaan pembiayaan konglomerasi dan independen dapat menggunakan rasio keuangan dan Z-Score. Untuk menganalisis kinerja keuangan perusahaan pembiayaan dapat dianalisis menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio keuangan digunakan sebagai indikator atau awal analisis untuk mencari penyebab munculnya risiko dan terjadinya masalah keuangan (Prihadi 2009). Hasil analisis ini dapat membantu perusahaan pembiayaan dalam mengetahui kinerja keuangan mereka agar mereka dapat mengatasi risiko tersebut secara dini, baik dari perusahaan konglomerasi maupun independen. Sedangkan, untuk menganalisis risiko keuangan dapat dianalisis dengan menggunakan metode Z-Score sebagai bagian dari indikator kinerja perusahaan yang akan memberikan informasi kepada investor berkenanaan dengan potensi kebangkrutan dan ketidakbangkrutan suatu perusahaan (Sudiyatno dan Puspitasari 2010). Penulis merasa perlu untuk meneliti dan membandingkan risiko keuangan yang dihadapi oleh perusahaan pembiayaan konglomerasi dan independen dengan analisis rasio keuangan dan metode Z-Score untuk mengetahui kinerja dan risiko keuangan yang dihadapi mereka.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana perbandingan kinerja perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan independen?
2. Bagaimana perbandingan tingkat risiko keuangan perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan independen?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perbandingan kinerja perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan independen dengan analisis rasio-rasio keuangan.
2. Menganalisis perbandingan tingkat risiko keuangan perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan independen dengan metode Z-Score.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai berikut: 1. Bagi Perusahaan
Dapat dijadikan gambaran kondisi perusahaan pembiayaan yang menguntungkan di masa mendatang, sehingga perusahaan dapat melakukan continuous improvement dalam menjalankan bisnisnya.
2. Bagi Pemegang Saham
Menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi di sub sektor pembiayaan. 3. Bagi OJK
Dapat menjadi referensi dan tambahan pengetahuan untuk OJK dalam menyusun regulasi-regulasi yang berlaku.
4. Bagi Pihak Lain
Diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan pengetahuan bagi para pembaca maupun bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Jenis Kelompok Usaha
Halim Alamsyah dalam Infobank (2013) menyebutkan bahwa sesuai dengan karakteristiknya, kelompok usaha yang melibatkan bank dan lembaga jasa keuangan terdiri atas tiga hal, yaitu:
1. Banking Group
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini bank bertindak selaku parent company dan memiliki anak-anak perusahaan di bidang lembaga keuangan. Menurut ketentuan BI, bank tidak diperkenankan untuk memiliki anak perusahaan di bidang non-keuangan.
2. Konglomerasi keuangan
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini parent company dapat berupa bank atau lembaga keuangan lainnya yang memiliki anak-anak perusahaan di bidang lembaga keuangan, misalnya bank, perusahaan asuransi, multifinance, dan sekuritas. Dalam pengertian ini, banking group juga dapat dikategorikan sebagai konglomerasi keuangan. Contohnya di Indonesia adalah Panin Group, dalam hal ini Panin Bank dimiliki oleh perusahaan asuransi (Panin Life).
3. Mixed Activity Group
Suatu kelompok usaha yang dalam hal ini parent company dapat berupa bank, lembaga keuangan lain, atau perusahaan non-keuangan yang memiliki anak perusahaan dan/atau afiliasi yang bergerak, baik di bidang keuangan maupun non-keuangan. Contohnya di Indonesia adalah CT Corp yang memiliki Bank Mega dan sejumlah perusahaan keuangan dan non-keuangan lain.
Konglomerasi keuangan ini merupakan fenomena yang cukup baru dalam sektor keuangan dan pasar membutuhkan waktu untuk mengenal lebih jauh dengan model bisnis konglomerasi ini. Maka dari itu dibutuhkan suatu regulasi dan pengawasan yang lebih ketat mengenai konglomerasi keuangan ini (Peleckiene et al. 2011). Regulasi dan pengawasan tersebut dapat meningkatkan kualitas dari jasa keuangan, mengurangi biaya intermediasi, dan memperrtajam posisi risiko-tingkat pengembalian perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan konglomerasi dipengaruhi oleh posisi pasar, operasional, dan strategis perusahaan pembiayaan (Staikouras 2006)
Analisis Rasio Keuangan
1. Financing Asset Ratio (FAR)
FAR merupakan rasio perbandingan piutang pembiayaan terhadap total aset. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam mengelola piutang pembiayaan atas total aset yang dimiliki perusahaan. Di dalam pasal 11 Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa perusahaan pembiayaan wajib memiliki piutang pembiayaan sekurang-kurangnya sebesar 40% (empat puluh perseratus) dari total aktiva.
Financing Asset Ratio (FAR )=
... (1)
2. Gearing Ratio (GR)
GR merupakan rasio total pinjaman perusahaan pembiayaan terhadap modal sendiri dan pinjaman subordinasi setelah dikurangi penyertaan modal yang ada. Pinjaman subordinasi yang termasuk dalam penghitungan gearing ratio sebanyak-banyaknya sebesar 50% dari modal disetor. Di dalam pasal 25 ayat (3) Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa jumlah pinjaman bagi setiap perusahaan pembiayaan dibandingkan jumlah modal sendiri (networth) dan pinjaman subordinasi dikurangi penyertaan (gearing ratio) ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10 (sepuluh) kali.
Gearing Ratio (GR) =
... (2)
3. Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor (MSMD)
Rasio MSMD merupakan rasio perbandingan modal sendiri terhadap modal disetor. Di dalam pasal 28 ayat (1) Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa perusahaan pembiayaan wajib memiliki modal sendiri sekurang-kurangnya sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor.
Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor =
... (3)
4. Rasio Penyertaan Modal (PEYT)
Rasio PEYT merupakan rasio perbandingan jumlah seluruh penyertaan modal perusahaan pembiayaan dibandingkan dengan jumlah modal sendirinya. Di dalam pasal 29 ayat (3) Salinan PMK Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan menyebutkan bahwa jumlah seluruh penyertaan modal perusahaan pembiayaan tidak boleh melebihi 40% (empat puluh perseratus) dari jumlah modal sendiri perusahaan pembiayaan yang bersangkutan. Akan tetapi, pada penelitian ini rasio PEYT tidak digunakan dikarenakan data penelitian yang kurang.
Rasio Penyertaan Modal (PEYT) =
8
5. Return on Assets (ROA)
Rasio ini merupakan perbandingan laba bersih terhadap total aset perusahaan pembiayaan. ROA merupakan rasio untuk mengukur kemampuan dan efisiensi aktiva dalam menghasilkan laba (profitabilitas). Menurut Manurung dan Rahardja (2004), ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik perusahaan menjadikan perusahaan tersebut makin diminati investor, karena tingkat pengembalian akan semakin besar. Hal ini juga akan berdampak bahwa harga saham dari perusahaan tersebut di Pasar Modal juga akan semakin meningkat sehingga ROA akan berpengaruh terhadap harga saham perusahaan. Dalam menentukan perbankan dikatakan sehat atau tidak, angka ROA dapat dikatakan baik apabila diatas 2 persen. Sedangkan, untuk perusahaan pembiayaan, belum ada peraturan yang mengatur mengenai aturan ROA dan ROE.
Return On Assets (RoA) =
... (5)
6. Return on Equity (ROE)
Rasio ini merupakan perbandingan laba bersih terhadap total ekuitas perusahaan pembiayaan. ROE merupakan rasio yang mengukur tingkat kemampuan modal dalam menghasilkan laba bersih. Semakin besar nilai ROE, maka kinerja perusahaan pembiayaan semakin baik. Menurut Manurung dan Rahardja (2004), ROE adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari pengelolaan modal yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. ROE diukur dengan perbandingan antara laba bersih dengan total modal. Angka ROE yang semakin tinggi memberikan indikasi bagi para pemegang saham bahwa tingkat pengembalian investasi makin tinggi. Dalam perbankan, angka ROE dapat dikatakan baik apabila diatas 12 persen.
Return on Equity (RoE) =
... (6)
7. Non Performing Financing (NPF)
Proporsi kualitas aset piutang pembiayaan kategori macet dan diragukan terhadap total piutang atas kegiatan pembiayaan. Semakin kecil nilai NPF, maka semakin bagus kualitas aset piutang perusahaan pembiayaan.
NPF =
... (7
)
Metode Z-Score
mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dianggap tidak mampu dalam mengatasi risiko yang ada.
Untuk versi pertama kali, Z-Score dirumuskan pada tahun 1968 dengan kondisi sampel diambil dari perusahaan manufaktur publik di Amerika. Ada 5 rasio yang secara bersama berkorelasi dengan kebangkrutan, ini dimasukkan dalam rumus Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5, dimana Z adalah indeks kebangkrutan, X1 (Working capital / Total asset), X2 (Retained earning / Total asset), X3 (EBIT / Total asset), X4 (Market value of equity / Book value of debt), dan X5 (Sales / Total asset). Hasil dari rumus pertama ini diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2.
Karena rumus pertama tidak bisa digunakan untuk perusahaan non manufaktur, maka Altman mengembangkan dua varian dari Z-Score pada tahun 1983, yaitu Z’-Score dan Z”-Score. Z’-Score ditujukan untuk perusahaan non publik dengan merumuskan kembali rasio yang digunakan, yaitu menghilangkan market value of dan menggantinya dengan book value of equity. Sehingga, perumusan Z’Score berbeda dengan rumus yang pertama menjadi Z’ = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5. Kemudian, hasil rumus tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2.
Sedangkan, varian terakhir Z”-Score, rasio sales to total asset dihilangkan dan sampel yang digunakan merupakan dari perusahaan negara berkembang. Sehingga, perumusan Z”-Score yang terakhir ini sangat cocok untuk digunakan di Indonesia dibandingkan dengan Z-Score dan Z’-Score. Perumusan Z”-Score menjadi Z” = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4. Hasil rumus tersebut diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan score seperti yang ditunjukkan Tabel 2. (Prihadi 2009)
Alat analisis untuk mengukur risiko keuangan dalam penelitian ini menggunakan metode Z”-Score dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Z” = 6,56 (X1) + 3,26 (X2) + 6,72 (X3) + 1,05 (X4) ... (8)
Keterangan:
Z” = indeks kebangkrutan
(X1) = Working capital / Total Asset
(X2) = Retained earning / Total Asset
(X3) = EBIT / Total Asset
(X4) = Bookvalue of equity / Book value of debt
10
Dikarenakan metode Z-Score paling cocok untuk menganalisis penelitian ini dan belum ada pengembangan metode lain sehingga pada penelitian ini menggunakan metode Z-Score.
Tabel 2. Tiga kelompok kondisi keuangan perusahaan berdasarkan Z-Score, Z’Score, dan Z”-Score
Z-Score Z’-Score Z”-Score Kondisi
>2,99 >2,90 >2,60 Tidak Bangkrut
1,81 – 2,99 1,23 – 2,90 1,1 – 2,60 Daerah Kelabu
< 1,81 < 1,23 < 1,1 Bangkrut
Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian pertama yang berkaitan dilakukan oleh Johan et al pada tahun 2013 dari Sekolah Manajemen dan Bisnis IPB yang ditulis dalam International Journal of Economics and Finance dengan judul “Key Financials Performance Independent versus Integrated: Empirical Evidence from Indonesia Financial Service Industry (2001-2011)”. Pada penelitian tersebut, para peneliti melakukan analisis kinerja keuangan antara perusahaan pembiayaan independen dan perusahaan pembiayaan yang berintegrasi. Penelitian ini menggunakan 7 rasio keuangan, non-parametric Mann Whitney, dan parametric Panel Data Dummy Regression. Hasil studi empiris menunjukkan bahwa perusahaan pembiayaan yang berintegrasi mempunyai kinerja yang baik dalam hal efisiensi, profitabilitas, ukuran, dan pertumbuhan. Ditambah lagi, perusahaan pembiayaan yang berintegrasi mempunyai nilai likuiditas yang rendah.
METODE
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat dan dianalisis kinerja dan risiko keuangannya dengan menggunakan analisis rasio-rasio keuangan dan metode Z-Score yang terdapat pada laporan keuangan. Dalam penelitian ini, laporan keuangan yang digunakan adalah laporan keuangan perusahaan pada periode 2009-2012 dan menggunakan perbandingan berdasarkan kelompok aset yang sama, yaitu Rp 100 miliar sampai dengan 1 triliun. Metode Z-Score Altman ini dapat menganalisis jenis perusahaan pembiayaan yang mana yang menghadapi risiko lebih tinggi sehingga berpotensial mengalami kebangkrutan. Metode ini mengelompokkan kondisi keuangan perusahaan menjadi tiga kelompok berdasarkan score seperti ditunjukkan Tabel 2.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi dan WaktuPenelitian
Penelitian ini dilakukan pada 2 perusahaan pembiayaan yang mempunyai kelompok aset yang sama pada periode 2009-2012. Waktu penelitian dilakukan pada Februari 2014 – Mei 2014.
Perusahaan Pembiayaan
Konglomerasi Independen
Laporan Keuangan
Neraca Laba Rugi
Analisis Rasio Keuangan:
1. FAR 2. GR 3. MSMD 4. ROA 5. ROE 6. NPF
Kinerja Keuangan
Metode Z”-Score
Risiko Keuangan
12
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa laporan keuangan perusahaan pembiayaan pada periode 2009-2012 serta buku/bahan pustaka lainnya yang mendukung penelitian ini.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Perusahaan yang tidak memiliki data laporan keuangan yang lengkap akan dikeluarkan dari sampel penelitian ini. Untuk bahan pustaka pendukung lainnya diperoleh dengan mempelajari dan mengutip dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jurnal, buku, dan internet.
Penelitian ini menggunakan 2 perusahaan pembiayaan sebagai sampel penelitian, yang terdiri dari 1 perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan 1 perusahaan pembiayaan independen. Kedua perusahaan pembiayaan ini dibandingkan satu sama lain berdasarkan dengan aset yang sama yaitu Rp 100 Miliar – Rp 1 Triliun. Setelah itu, akan dianalisis dengan metode Z-Score dan analisis rasio keuangan. Perusahaan pembiayaan berkonglomerasi yang diteliti adalah PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk (BPFI). Perusahaan pembiayaan ini merupakan anak perusahaan dari PT Batavia Prosperindo Internasional yang bergerak di bidang financial services. Sedangkan, perusahaan independen dengan aset yang sama yaitu PT Bentara Sinergies Multifinance.
Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indeks kebangkrutan sebagai variabel dependen dan variabel independen berupa working capital/total Asset, retained earning/total asset, EBIT / total asset, dan book value of equity / book value of debt.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan Microsoft Excel 2010. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis yang dilakukan secara kualitatif menggunakan metode deskriptif seperti pemilihan sampel perusahaan pembiayaan. Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan untuk menganalisis perbandingan kinerja dan risiko keuangan antara perusahaan pembiayaan berkonglomerasi dan perusahaan pembiayaan independen dengan menggunakan perhitungan rasio-rasio keuangan dan metode Z-Score. Hasil tersebut kemudian diinterpretasikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Industri Pembiayaan
pembiayaan relatif baik. Peningkatan laba bersih ini didorong oleh peningkatan pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang mengalami kenaikan sebesar Rp 164,84 triliun dan pertambahan jumlah perusahaan pembiayaan yang cukup baik. Dari total 202 perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia, hanya 13 perusahaan pembiayaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dan menjadi perusahaan publik. Dengan menjadi perusahaan publik, perusahaan pembiayaan ini bisa mendapatkan sumber pendanaan dari masyarakat. Akan tetapi,bagi perusahaan yang belum terbuka, mereka melakukan perjanjian dengan penyedia fasilitas pembiayaan bersama. Dalam pembiayaan bersama antara perusahaan pembiayaan dan penyedia fasilitas pembiayaan bersama, perusahaan pembiayaan berhak menentukan tingkat bunga yang lebih tinggi kepada konsumen dibandingkan tingkat bunga yang ditetapkan dalam perjanjian pembiayaan bersama dengan penyedia fasilitas pembiayaan bersama.
Gambaran Umum Perusahaan
Perusahaan pembiayaan yang diteliti dalam penelitian ini adalah PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk dan PT Bentara Sinergies Multifinance. PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk merupakan bagian dari perusahaan konglomerasi PT Batavia Prosperindo Internasional, Tbk. Seluruh bagian dari konglomerasi ini bergerak di financial services. PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk adalah suatu perusahaan publik yang bergerak di bidang Pembiayaan Konsumen untuk kendaraan bermotor roda empat, terutama kendaraan bekas jenis Penumpang/Pribadi (Passenger) dan Niaga (Commercial). Sebagai Perusahaan Pembiayaan (Multifinance Company), BPF telah memperoleh ijin usaha Lembaga Pembiayaan dari Departemen Keuangan Republik Indonesia yang mancakup Sewa Guna Pembiayaan (Financial Lease), Anjak Piutang (Factoring), Kartu Kredit (Credit Cards) dan Pembiayaan Konsumen (Consumer Financing) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 90/KMK.017/1995 pada tanggal 15 Februari 1995. Pada bulan Juni 2009, BPF menjadi perusahaan publik setelah berhasil melaksanakan Penawaran Umum Perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
PT Bentara Sinergies Multifinance (BESS Finance) merupakan suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Esther Daniar Iskandar SH., nomor 55 tanggal 08 Januari 1994, yang telah mendapatkan Pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C2-4701 HT.01.01.TH.94 tanggal 12 Maret 1994. Bergerak dalam bidang pembiayaan konsumen, sebagai langkah awal PT. BESS Finance menjalankan usahanya dengan visi menjadi "Perusahaan Multifinance Pilihan Konsumen Yang Terbaik".
Analisis Rasio Keuangan FAR
14
yang dimiliki perusahaan. Gambar 4 menjelaskan hasil FAR PT Batavia Prosperindo Finance, Tbk. dan PT Bentara Sinergies Multifinance dari tahun 2009-2012.
Gambar 4. Hasil Perbandingan Nilai FAR BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
Pada Gambar 4 terlihat jelas bahwa kedua perusahaan pembiayaan mempunyai nilai FAR diatas 40%. Ini mengindikasikan bahwa jika dilihat dari nilai FAR, kedua perusahaan mempunyai kinerja yang bagus. Kedua perusahaan pembiayaan tersebut dapat mengelola piutang pembiayaan perusahaan mereka atas total aset yang dimiliki perusahaan. Nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance memiliki nilai FAR yang lebih tinggi dibandingkan nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance. Ini dapat diartikan bahwa jika dilihat dari nilai FAR, kinerja PT Batavia Prosperindo Finance mempunyai kinerja yang lebih bagus dibandingkan dengan PT Bentara Sinergies Finance.
Ditambah lagi, jika dibandingkan dengan nilai FAR rata-rata seluruh perusahaan pembiayaan di Indonesia, nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance pada tahun 2009 sampai tahun 2012 berada diatas nilai rata-rata. Sedangkan, nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance pada tahun 2009 dan tahun 2010 berada diatas nilai FAR rata-rata. Akan tetapi, pada tahun 2011 dan tahun 2012, nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance mengalami penurunan sehingga nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance berada di bawah nilai FAR rata-rata. Ini dikarenakan pada tahun 2011 di tahun 2012, pendapatan pembiayaan konsumen yang belum diakui dan penyisihan kerugian nilai mengalami kenaikan yang cukup signifikan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3. Karena pendapatan pembiayaan konsumen yang belum diakui dan penyisihan kerugian nilai merupakan pengurangan dalam penghitungan piutang pembiayaan di neraca sehingga ini mempengaruhi penurunan nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance pada tahun 2011 dan tahun 2012. Pendapatan pembiayaan konsumen yang belum diakui merupakan selisih antara jumlah keseluruhan pembayaran angsuran yang akan diterima dari konsumen dan jumlah pokok pembiayaan, yang diakui sebagai pendapatan selama jangka waktu kontrak berdasarkan tingkat suku bunga
2009 2010 2011 2012
efektif dari piutang pembiayaan konsumen. Sedangkan, penyisihan kerugian penurunan nilai merupakan kerugian yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya piutang tersebut.
Tabel 3. Pendapatan Pembiayaan Konsumen Yang Belum Diakui dan Penyisihan Kerugian Penurunan Nilai PT Bentara Sinergies Multifinance Tahun 2011 dan 2012
Tahun Pendapatan Pembiayaan
Konsumen Yang Belum Diakui (Rp)
Penyisihan Kerugian Penurunan Nilai (Rp)
2010 118.033.469.152 3.851.312.084
2011 218.020.102.771 11.872.121.934
2012 234.847.996.859 25.537.900.687
Total aset dan piutang pembiayaan PT Bentara Sinergies Multifinance jauh lebih besar daripada PT Batavia Prosperindo Finance. Akan tetapi, nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance berada diatas nilai FAR PT Bentara Sinergies Multifinance dan rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Ini dikarenakan adanya peningkatan pendapatan operasional yang bersumber dari piutang pembiayaan yang semakin dominan dalam aset PT Batavia Prosperindo Finance. Ini ditunjukkan oleh total aset PT Batavia Prosperindo Finance yang didominasi oleh piutang pembiayaan sehingga nilai FAR PT Batavia Prosperindo Finance lebih besar.
GEARING RATIO (GR)
Dikarenakan risiko keuangan merupakan tambahan risiko akibat penggunanaan leverage keuangan, maka Gearing Ratio digunakan untuk menganalisis rasio total pinjaman perusahaan pembiayaan terhadap total modal sendiri dan pinjaman subordinasi. Jumlah pinjaman perusahaan pembiayaan dibatasi dengan ketentuan GR paling tinggi sebesar 10 (sepuluh) kali. Perhitungan GR pada kedua perusahaan pembiayaan tidak memasukkan pinjaman subordinasi dikarenakan pada laporan keuangan tidak tercantum adanya pinjaman subordinasi. Ditambah lagi, nilai pinjaman subordinasi rata-rata perusahaan pembiayaan cukup kecil bila dibandingkan dengan pinjaman yang diterimanya. Pinjaman subordinasi merupakan pinjaman yang berjangka waktu minimum 5 tahun dan dituangkan dalam perjanjian tertulis antara perusahaan pembiayaan dengan pemberi pinjaman. Dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa GR terendah dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo Finance sehingga dapat diartikan bahwa PT Batavia Prosperindo Finance memiliki jumlah pinjaman yang cukup kecil dibandingkan PT Bentara Sinergies Multifinance. Ini dikarenakan PT Batavia memiliki banyak sumber pendanaan baik dari liabilitas maupun ekuitas. PT Batavia Prosperindo Internasional (Induk Perusahaan) memiliki 95% kepemilikan saham dan sisanya dipegang oleh masyarakat. Dengan adanya dukungan dari induk perusahaan, PT Batavia Prosperindo Finance sangat dibantu dalam hal pendanaan dan memiliki risiko keuangan yang cukup kecil.
16
cukup besar. GR rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia juga menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Ini dikarenakan banyaknya perusahaan pembiayaan yang mengandalkan pinjaman (luar negeri dan dalam negeri) untuk mendukung operasi perusahaan mereka.
Gambar 5. Hasil Perbandingan Nilai GR BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
MSMD
Rasio ketiga yang digunakan adalah Rasio Modal Sendiri-Modal Disetor (MSMD). Rasio ini merupakan rasio perbandingan modal sendiri terhadap modal disetor. OJK memiliki ketentuan bahwa nilai dari rasio MSMD harus minimal 50%. Rasio MSMD antar kedua perusahaan saling diperbandingkan satu sama lain seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat bahwa kedua perusahaan berada di atas nilai 50%. Ini mengindikasikan bahwa kedua perusahaan pembiayaan memiliki modal sendiri yang cukup sehingga tidak memerlukan penambahan setoran modal.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan nilai MSMD dari rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia, nilai MSMD PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance berada dibawah nilai rata-rata. Ini dikarenakan nilai modal sendiri dan nilai modal disetor rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia berada di kisaran Rp 18 triliun – Rp 30 triliun. Sedangkan, nilai modal sendiri dan nilai modal disetor PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Finance berada pada kisaran Rp 100 Miliar – Rp 160 Miliar. Karena kisaran nilai rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia lebih besar menyebabkan kurva nilai rata-rata berada diatas kurva kedua perusahaan pembiayaan tersebut.
Akan tetapi, jika membandingkan rasio MSMD antara PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance, PT Batavia Prosperindo Finance memiliki nilai MSMD yang lebih besar daripada nilai MSMD PT Bentara Sinergies Multifinance. Dalam neraca, kedua perusahaan menyetor penuh sebesar Rp
2009 2010 2011 2012
100.000.000.000. Akan tetapi, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012, PT Batavia Prosperindo Finance memiliki tambahan modal disetor sebesar Rp 2.651.244.367. Ditambah lagi, modal sendiri PT Batavia Prosperindo Finance memiliki nilai yang lebih besar. Ini dapat terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan nilai modal sendiri PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance. Terlihat bahwa dari tahun 2009 sampai tahun 2012, modal sendiri PT Batavia Prosperindo Finance mempunyai nilai yang lebih besar daripada PT Bentara Sinergies Finance sehingga jika dilihat dari rasio MSMD, kinerja PT Batavia Prosperindo Multifinance lebih baik daripada PT Bentara Sinergies Finance.
Gambar 6. Hasil Perbandingan Nilai MSMD BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
Tabel 4. Modal Sendiri PT Bentara Sinergies Finance dan PT Batavia Prosperindo Multifinance
Tahun BESS (RP JUTA) BPFI (RP JUTA)
2009 104.028 125.872
2010 118.880 150.855
2011 134.210 164.139
2012 162.023 188.480
NPF
Kualitas aset pembiayaan dapat dilihat dari fluktuasi nilai Non-Performing Financing (NPF) yang melihat piutang pembiayaan yang dimiliki perusahaan pembiayaan. NPF merupakan proporsi kualitas aset piutang pembiayaan kategori macet dan diragukan terhadap total piutang atas kegiatan pembiayaan. Semakin kecil nilai
2009 2010 2011 2012
BESS 104.028 118.88 134.21 162.023
BPFI 122.621 146.959 159.9 183.612
Rata-Rata 215.13 233.62 228.3 249.5
0 50 100 150 200 250 300
Per
sen
(
%
)
18
NPF, maka semakin bagus kualitas aset piutang pembiayaan. Ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Nilai NPF PT Batavia Prosperindo Finance berada diatas nilai rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Ini menandakan bahwa kualitas pembiayaan PT Batavia Prospeindo Finance kurang bagus. Akan tetapi, pada grafik tersebut terlihat jelas bahwa terjadi fluktuasi pada PT Batavia Prosperindo Finance. Ini mengindikasikan bahwa PT Batavia Prosperindo Finance sudah mencoba untuk memperbaiki kualitas pembiyaan mereka. Lain halnya dengan PT Bentara Sinergies Multifinance, walaupun memiliki nilai NPF yang lebih kecil, akan tetapi nilai NPF PT Bentara Sinergies Multifinance cenderung mengalami kenaikan sehingga dapat diartikan bahwa perusahaan pembiayaan ini tidak memperbaiki kualitas pembiayaan mereka. Ini dikarenakan kualitas piutang pembiayaan kategori ragu-ragu dan macet yang dimiliki PT Bentara Sinergies Multifinance semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Gambar 7. Hasil Perbandingan Nilai NPF BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
Pada tahun 2012, jumlah kerugian penurunan nilai untuk periode tahun finansial yang berakhir pada 31 Desember 2012 adalah sebesar Rp 25.537.000.000. Beban ini mengalami kenaikan sebesar 115% dibandingkan tahun finansial 2011 yang sebesar Rp 11.872.000.000. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya penurunan kualitas piutang pembiayaan pada tahun 2012 yang lebih baik daripada tahun sebelumnya sehingga PT Bentara Sinergies Finance kurang mampu untuk mengelola piutang pembiayaan perusahaan mereka secara baik atas total aset yang dimiliki perusahaan.
ROA
Rasio lain yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah ROA. ROA (Return On Assets) merupakan rasio perbandingan laba bersih terhadap total aset perusahaan pembiayaan yang mana menggambarkan perusahaan dalam menghasilkan laba atas aset
2009 2010 2011 2012
yang dikelola dalam kegiatan operasional sehari-hari. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 8, nilai ROA terbesar dimiliki oleh PT Batavia Prosperindo Finance yang menandakan bahwa kinerja keuangan PT Batavia Prosperindo Finance lebih baik dibandingkan PT Bentara Sinergies Multifinance. Ditambah lagi, bila dibandingkan dengan nilai ROA rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia, nilai ROA PT Batavia Prosperindo Finance masih berada diatas sehingga dapat dipastikan kinerja keuangan PT Batavia Prosperindo memang cukup bagus. Walaupun pada tahun 2011, nilai ROA PT Batavia Prosperindo Finance memiliki penurunan akan tetapi nilai ROA nya masih berada diatas nilai ROA PT Bentara Sinergies Multifinance dan rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Penurunan ini disebabkan timbulnya kenaikan biaya operasional dalam pembukaan cabang-cabang baru dan perusahaan melakukan investasi pada perusahaan anak entitas asuransi (PT Malacca Trust Wuwungan Insurance) sebesar Rp 17.500.000.000 dengan persentase kepemilikan sebesar 25% pada tahun 2011 yang mempengaruhi total aset perusahaan.
Sejak awal 2012, PT Batavia Prosperindo Finance melakukan langkah diversifikasi dengan memperluas usaha ke bidang pembiayaan alat berat yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi melalui analisis dan evaluasi penuh perhitungan, biaya-biaya yang sudah dikeluarkan tersebut menghasilkan keuntungan bagi PT Batavia Prosperindo Finance dimana ini ditunjukkan oleh perubahan laba bersih perusahaan yang mengalami fluktuasi pada Tabel 5. Sementara, PT Bentara Sinergies Multifinance tidak memiliki investasi pada entitas asosiasi dan mengandalkan pinjaman dari bank. Nilai ROA PT Bentara Sinergies Multifinance mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dikarenakan piutang pembiayaan mereka meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan adanya pinjaman dari bank. Ditambah lagi, pada Tabel 8 terlihat bahwa laba bersih PT Bentara Sinergies Multifinance mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sehingga mempengaruhi nilai ROA.
Gambar 8. Hasil Perbandingan Nilai ROA BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
2009 2010 2011 2012
20
Tabel 5. Laba Bersih PT Bentara Sinergies Multifinance dan PT Batavia Prosperindo Finance
Laba Bersih (Rp Juta)
2009 2010 2011 2012
BESS 2.461 15.002 30.330 47.813
BPFI 16.843 25.953 23.284 29.264
ROE
ROE (Return On Equity) merupakan rasio perbandingan laba bersih terhadap total ekuitas perusahaan pembiayaan. Ini mencerminkan kemampuan perusahaan pembiayaan dalam menghasilkan laba atas modal yang diserahkan investor. Semakin besar nilai ROE perusahaan pembiayaan, maka semakin bagus kinerja perusahaan tersebut. Pada Gambar 9 terlihat bahwa sampai tahun 2010, PT Bentara Sinergies Multifinance berada di bawah PT Batavia Prosperindo Mutifinance dan rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 2011 dan 2012, PT Bentara Sinergies Multifinance berada di atasnya. Ini dikarenakan adanya pertambahan laba bersih yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Akan tetapi, lain halnya dengan nilai ROE PT Batavia Prosperindo Finance yang berada di bawah nilai rata-rata perusahaan pembiayaan seluruh Indonesia. Ini menandakan bahwa perusahaan tidak mempunyai kemampuan modal yang cukup untuk menghasilkan laba bersih. Walaupun mempunyai total ekuitas yang lebih besar, nilai ROE perusahaan ini cukup kecil.
Gambar 9. Hasil Perbandingan Nilai ROE BESS, BPFI dan Rata-Rata Perusahaan Pembiayaan Seluruh Indonesia Periode 2009-2012
2009 2010 2011 2012
BESS 2.366 12.619 22.599 29.51
BPFI 13.381 17.204 14.186 15.526
Rata-Rata 19.52 18.67 16.29 18.23
0 5 10 15 20 25 30 35
Per
sen
(
%
)
Analisis Z-Score
Metode Z-Score Altman biasa digunakan untuk memprediksi kebangkrutan usaha yang berkaitan dengan pengukuran risiko keuangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Z”-Score. Hasil analisis Z”-Score dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada tahun 2009, PT Bentara Sinergies Multifinance masih tergolong perusahaan pembiayaan yang “tidak bangkrut” yang dapat diartikan tidak mempunyai risiko keuangan yang parah. Akan tetapi, pada tahun 2010 sampai tahun 2012, perusahaan tersebut memasuki “daerah kelabu”. Ini artinya PT Bentara Sinergies Multifinance sudah memiliki risiko-risiko keuangan yang cukup bisa membahayakan keberlangsungan perusahaan. Dengan memiliki aset total yang sangat besar, PT Bentara Sinergies Multifinance sebaliknya mempunyai working capital yang sangat kecil. Ini menandakan bahwa perusahaan tidak bisa mengelola working capital yang dimiliki. Walaupun pendapatan sebelum bunga dan pajak PT Bentara Sinergies Multifinance mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dan memiliki aset total yang besar, perusahaan kurang hati-hati dalam mengelola EBIT atas total aset ini karena adanya pengaruh kerugian penurunan nilai yang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Berbeda halnya dengan PT Batavia Prosperindo Finance yang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 masih berstatus perusahaan “tidak bangkrut”. Ini dikarenakan total aset lancar yang dimiliki perusahaan dapat menutupi total kewajiban lancar perusahaan. Ditambah lagi, PT Batavia Prosperindo Multifinance mampu memenuhi kewajiban-kewajiban dari nilai modal sendiri. Ini dikarenakan perusahaan sudah berusaha keras untuk memperbaiki kualitas pembiayaan mereka sehingga dapat mengurangi risiko keuangan yang akan dialami perusahaan. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya fluktuasi pada EBIT perusahaan.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan PT Bentara Sinergies Multifinance dengan Metode Z”-Score Altman
Tahun Nilai Z”-Score Kategori
2009 4,804 Tidak Bangkrut
2010 2,121 Daerah Kelabu
2011 1,694 Daerah Kelabu
2012 2,078 Daerah Kelabu
Tabel 7. Hasil Pengukuran Risiko Keuangan PT Batavia Prosperindo Finance dengan Metode Z”-Score Altman
Tahun Nilai Z”-Score Kategori
2009 5,538 Tidak Bangkrut
2010 5,555 Tidak Bangkrut
2011 4,274 Tidak Bangkrut
22
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan perbandingan kinerja dan risiko keuangan antara perusahaan pembiayaan berkonglomerasi (PT Batavia Properindo Finance) dan perusahaan pembiayaan independen (PT Bentara Sinergies Multifinance) diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
a. Dengan analisis rasio keuangan, didapatkan bahwa kinerja keuangan PT Batavia Prosperindo Finance jauh lebih baik dibandingkan dengan PT Bentara Sinergies Multifinance. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa perusahaan pembiayaan berkonglomerasi lebih mempunyai kinerja keuangan yang lebih bagus dibandingkan dengan perusahaan independen. Ini dikarenakan perusahaan konglomerasi mempunyai sumber pendanaan dan anak perusahaan yang kuat untuk mendukung operasi bisnis.
b. Dengan analisis Z”-Score, didapatkan bahwa PT Bentara Sinergies Multifinance mempunyai risiko keuangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan PT Batavia Prosperindo Finance. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa perusahaan pembiayaan independen mempunyai risiko yang lebih tinggi daripada perusahaan pembiayaan berkonglomerasi.
Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian serta kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
a. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya dapat menambah objek penelitian sehingga penelitian bisa lebih akurat. Selain itu, peneliti hendaknya mengembangkan dengan metode baru dan menambah tahun dalam penelitian yang dapat mengidentifikasi secara menyeluruh sehingga penelitian lebih akurat.
b. Berkaitan dengan risiko yang muncul karena adanya konglomerasi keuangan, bagi OJK sebaiknya merencanakan membuat peraturan konglomerasi keuangan mengingat belum adanya peraturan yang mengatur hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani. 2013. Tiga Pendekatan Konglomerasi Keuangan [Internet]. [Diunduh pada 2014 Mei 31]. Tersedia pada: http://www.infobanknews.com/2013/05/tiga-pendekatan-konglomerasi-keuangan/
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Pendapatan Nasional per Kapita Masyarakat Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
Johan S, Siregar H, Maulana TNA, Santosa, PW. 2013. Key Financials Performance Independent versus Integrated: Empirical Evidence from Indonesia Financial Service Industry (2001-2011). International Journal of Economics and Finance [Internet]. [diunduh 2014 Juni 02]; 5(1): 92-104. Tersedia pada: http://search.proquest.com/docview/902154277/F69503B01714223PQ/11?accoun tid=32819
Kementerian Keuangan. 2006. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Jakarta (ID): Kementerian Keuangan.
Manurung M, Rahardja P. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[OJK] Otoritas Jasa Keuangan. 2013. Statistik 2012 dan Direktori 2013 Industri Keuangan Non Bank Lembaga Pembiayaan. Jakarta (ID): OJK.
Peleckiene V, Peleckis K, Dudzeviciute G. 2011. New Challenges of Supervising Financial Conglomerates. International Journal of Intellectual Economics [Internet]. [diunduh 2014 Juni 02]; 5(2): 298-311. Tersedia pada: http://search.proquest.com/docview/1426791348/F69503B01714223PQ/14?accou ntid=32819.
Prihadi T. 2009. Deteksi Cepat Kondisi Keuangan:7 Analisis Rasio Keuangan. Jakarta (ID): Penerbit PPM.
Rezkiana. 2014. OJK Keluhkan Eksistensi Salah Satu Lembaga Jasa Keuangan
[Internet]. [Diunduh 2014 Mei 31]. Tersedia pada:
http://www.infobanknews.com/2014/05/ojk-keluhkan-eksistensi-salah-satu-lembaga-jasa-keuangan/.
Siamat D. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan Edisi Kelima. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Staikouras SK. 2006. Business Opportunities and Market Realities in Financial Conglomerates. The Geneva Papers: The International Association for the Study of Insurance Economics [Internet]. [diunduh 2014 Juni 02]; 31(1): 124-148. Tersediapada:http://search.proquest.com/docview/902154277/F69503B01714223 PQ/11?accountid=32819
PT BENTARA SINERGIES MULTIFINANCE NERACA
Per 31 Desember 2010 dan 2009
(Disajikan dalam Rupiah)
Piutang pembiayaan konsumen - Setelah dikurangi bagian yang dibiayai bank Pendapatan pembiayaan konsumen
yang belum diakui
Piutang pembiayaan konsumen Penyisihan piutang ragu-ragu Bersih
Biaya provisi yang belum diamortisasi
Biaya yang masih harus dibayar Hutang pajak
Hutang lain-lain
Kewajiban imbalan pasca kerja Kewajiban pajak tangguhan
JUMLAH KEWAJIBAN
EKUITAS
Modal saham,
Nilai nominal Rp 100.000.000 per saham Modal dasar, Modal ditempatkan dan
disetor penuh 1.000 lembar saham
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan
(Disajikan dalam Rupiah)
2009 (Disajikan kembali di Catatan 2010 Catatan 3)
PENDAPATAN
Pembiayaan konsumen - bersih 2d,2h 132.185.447.005 48.674.847.860 Bunga 2h 363.216.442 231.875.755 Lain-lain 2h 5.830.895.018 575.754.799
Jumlah Pendapatan 138.379.558.465 49.482.478.414
BEBAN
Keuangan 2h,16a (29.098.005.324) (12.775.503.178) Umum dan administrasi 2h,16b (88.931.784.250) (33.235.648.690)
Jumlah Beban (118.029.789.574) (46.011.151.868)
LABA SEBELUM PAJAK
PENGHASILAN 20.349.768.891 3.471.326.546
TAKSIRAN PAJAK PENGHASILAN 2j,14b
Pajak kini (6.478.549.500) (257.357.387) Pajak tangguhan 1.131.628.765 (752.733.330)
Jumlah taksiran pajak penghasilan (5.346.920.735) (1.010.090.717)
LABA BERSIH 15.002.848.156 2.461.235.829
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan
PT BENTARA SINERGIES MULTIFINANCE LAPORAN POSISI KEUANGAN
31 Desember 2012, 2011 dan 2010
(Dinyatakan dalam rupiah kecuali dinyatakan lain)
Catatan/
PT BENTARA SINERGIES MULTIFINANCE STATEMENTS OF FINANCIAL POSITION
December 31, 2012, 2011 and 2010
(Expressed in rupiah, unless otherwise stated)
ASET
bank 892.193.135.625 778.465.718.215 512.919.399.827 bank-financed
Pendapatan pembiayaan
konsumen Unearned consumer
yang belum diakui (234.847.996.859) (218.020.102.771) (118.033.469.152) financing income
Piutang pembiayaan Consumer financing
konsumen 657.345.138.766 560.445.615.444 394.885.930.675 receivables
Penyisihan kerugian Allowance for impairment
penurunan nilai
Piutang lain-lain 2l,8,21 2.317.134.290 1.207.713.235 2.361.978.567 Other receivables
Uang muka dan biaya 2g,9 Advances and prepaid
dibayar dimuka 50.278.070.730 40.714.346.106 27.522.051.998 expenses
Property and
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan/Notes to the financial statements are an integral part of the financial statements
31 Desember 2012, 2011 dan 2010
(Dinyatakan dalam rupiah kecuali dinyatakan lain)
Catatan/
December 31, 2012, 2011 and 2010
(Expressed in rupiah, unless otherwise stated)
LIABILITAS DAN
Utang usaha 4.334.075.441 1.047.971.245 1.640.780.895 Trade payable
Pinjaman yang diterima
Liabilitas imbalan pasca 2j,18 Post-employment benefit
kerja Share capital - par value
per share
tahun 2010 100.000.000.000 100.000.000.000 100.000.000.000 for 2010
Saldo laba Ditentukan
Retained earnings
penggunaannya 330.000.000 320.000.000 310.000.000 Appropriated
Belum ditentukan
JUMLAH LIABILITAS TOTAL LIABILITIES
DAN EKUITAS 763.245.045.584 711.894.689.118 465.990.631.715 AND EQUITY
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan/Notes to the financial statements are an integral part of the financial statements
PT BENTARA SINERGIES MULTIFINANCE LAPORAN LABA RUGI KOMPREHENSIF Tahun yang berakhir
31 Desember 2012, 2011 dan 2010
(Dinyatakan dalam rupiah kecuali dinyatakan lain)
Catatan/
PT BENTARA SINERGIES MULTIFINANCE STATEMENTS OF COMPREHENSIVE INCOME
Years ended December 31, 2012, 2011 and 2010
(Expressed in rupiah, unless otherwise stated)
PENDAPATAN
bersih 398.876.697.889 300.322.802.544 132.185.447.005 income - net
Bunga
Keuangan 2i,17a,23 (111.683.795.217) (76.388.672.998) (29.098.005.324) Finance
2i,17b General and
PENGHASILAN 63.481.393.784 40.128.138.233 20.349.768.891 TAX
MANFAAT (BEBAN) INCOME TAX
PAJAK
Jumlah beban pajak Total income tax
penghasilan (15.668.035.997) (9.797.871.369) (5.346.920.735) expense
LABA TAHUN NET INCOME
BERJALAN 47.813.357.787 30.330.266.864 15.002.848.156 FOR THE YEAR
Pendapatan komprehensif Other comprehensive
lain - - - income
Jumlah pendapatan Total comprehensive
komprehensif 47.813.357.787 30.330.266.864 15.002.848.156 income
Laba yang dapat diatribusikan
kepada pemilik
Net income attributable to entitas 47.813.357.787 30.330.266.864 15.002.848.156 owners of entity Jumlah pendapatan pemilik entitas 47.813.357.787 30.330.266.864 15.002.848.156 owners of entity
Catatan atas laporan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan/Notes to the financial statements are an integral part of the financial statements
PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE Tbk N E R A C A
31 DESEMBER 2010 DAN 2009
(Disajikan dalam Rupiah, kecuali dinyatakan lain)
PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE Tbk BALANCE SHEETS
31 DECEMBER 2010 AND 2009
(Expressed in Rupiah, unless otherwise stated)
Catatan/
2 0 1 0 Notes 2 0 0 9
A S E T A S S E T S
Kas dan setara kas 8.124.228.120 3c,d,5,30 5.562.287.553 Cash and cash equivalents
Deposito berjangka yang
dibatasi penggunaannya - 3c,6,30 672.566.311 Restricted time deposit
Piutang sewa pembiayaan -
bersih, setelah dikurangi Finance lease receivables -
penyisihan kerugian net of provision for
penurunan nilai impairment losses
masing - masing amounted to
2010: Rp 182.691.702 2010: Rp 182,691,702
2009: Rp 118.610.873 5.783.490.924 3c,e,i,7,30 3.754.549.419 2009: Rp 118,610,873
Piutang pembiayaan konsumen – bersih,
setelah dikurangi Consumer financing
penyisihan kerugian receivables– net of
penurunan nilai provision for impairment
masing-masing losses amounted to
2010: Rp 4.137.647.316 3c,f,i,q, 2010: Rp 4,137,647,316
2009: Rp 4.288.323.163 253.401.663.588 8,28a,30 203.551.629.181 2009: Rp 4,288,323,163
Piutang lain-lain 219.302.326 3c,q,9,28b,30 3.077.340.367 Other receivables
Beban dibayar di muka 2.894.790.889 3j,10 3.087.589.303 Prepaid expenses
Aset pajak tangguhan 766.481.061 3n,14c 403.785.835 Deferred tax assets
Aset tetap - bersih, setelah
dikurangi akumulasi Equipments-
penyusutan masing- net of accumulated
masing sebesar depreciation amounted to
2010: Rp 6.646.583.539 2010: Rp 6,646,583,539
2009: Rp 4.735.884.950 6.217.904.436 3k,s,11 5.672.328.353 2009: Rp 4,735,884,950
Aset lain-lain 9.274.783.549 3l,s,12 4.370.390.791 Other assets
JUMLAH ASET 286.682.644.893 230.152.467.113 TOTAL ASSETS
Lihat Catatan atas Laporan Keuangan pada Ekshibit E terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Keuangan secara keseluruhan
These Financial Statements are Originally Issued in Indonesian Language
Ekshibit A/2 Exhibit A/2
PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE Tbk N E R A C A
31 DESEMBER 2010 DAN 2009
(Disajikan dalam Rupiah, kecuali dinyatakan lain)
PT BATAVIA PROSPERINDO FINANCE Tbk BALANCE SHEETS
31 DECEMBER 2010 AND 2009
(Expressed in Rupiah, unless otherwise stated)
Catatan/
2 0 1 0 Notes 2 0 0 9
KEWAJIBAN DAN EKUITAS LIABILITIES AND EQUITY
KEWAJIBAN LIABILITIES
Pinjaman bank 128.692.754.611 3c,13,30 99.460.526.042 Bank borrowings
Hutang pajak 2.351.045.238 3n,14a 1.072.756.228 Taxes payable
Provision for employee
Penyisihan imbalan kerja 3.390.394.432 3o,27 2.241.046.364 benefits
Beban yang masih harus
dibayar 1.393.345.261 15 1.505.413.434 Accrued expenses
Jumlah Kewajiban 135.827.539.542 104.279.742.068 Total Liabilities
Ditempatkan dan 2,200,000,000 shares
disetor penuh - Issued and fully paid-up -
1.000.000.000 saham 100.000.000.000 16 100.000.000.000 1,000,000,000 shares
Tambahan modal disetor 2.651.244.367 17 2.651.244.367 Additional paid-in capital
Saldo laba Retained earnings
Telah ditentukan
penggunaannya 100.000.000 19 - Appropriated
Belum ditentukan
penggunaannya 48.103.860.984 23.221.480.678 Unappropriated
Jumlah Ekuitas 150.855.105.351 125.872.725.045 Total Equity
JUMLAH KEWAJIBAN DAN TOTAL LIABILITIES AND
EKUITAS 286.682.644.893 230.152.467.113 EQUITY
Lihat Catatan atas Laporan Keuangan pada Ekshibit E terlampir yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Laporan Keuangan secara keseluruhan