• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH

PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,

KABUPATEN BANDUNG BARAT

NURUL DWI NOVIKARUMSARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nurul Dwi Novikarumsari

(4)

RINGKASAN

NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH sebagai Ketua Komisi, dan BASITA GINTING SUGIHEN sebagai Anggota Komisi.

Biogas dirintis mulai tahun 2006 di Kecamatan Lembang, namun baru berkembang setelah adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola oleh Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) dan bekerjasama dengan LSM internasional

Human Institute for Development Cooperation (Hivos) dan Foundation of Netherlands Volunteers (SNV) pada tahun 2010. Saat ini terdapat 4 197 Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) yang berpotensi mengadopsi biogas. Terdapat beragam penyebab hambatan dalam proses difusi adopsi biogas, baik dari aspek inovasi biogas tersebut, mau pun dari sisi peternak. Pemanfaatan limbah sapi perah sebagai bahan dasar biogas dapat memberikan manfaat baik secara ekonomi mau pun lingkungan. Dengan demikian diperlukan percepatan difusi biogas dengan semakin banyaknya adopter biogas dari peternak. Penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan tentang tingkat difusi adopsi biogas. Adapun tujuan penelitian ini meliputi hal berikut: (1) menganalisis persepsi peternak mengenai sifat inovasi biogas, (2) menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan (3) menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Penelitian dilakukan di Desa Cibodas dan Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Sampel penelitian adalah seluruh Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP) penerap inovasi biogas sebanyak 266 RTPSP. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari 55 pertanyaan meliputi variabel karakteristik RTPSP meliputi pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak, tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk biogas. Selanjutnya, variabel penelitian juga mencakup persepsi terhadap sifat inovasi meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas serta variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh meliputi akses terhadap informasi inovasi biogas, dan frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif, dan untuk melihat faktor-faktor yang berkorelasi dengan tingkat difusi dan adopsi biogas, digunakan analisis korelasi rank Spearman.

Litterer (Asngari 1984) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan pemahaman atau pandangan manusia tentang obyek di sekitarnya. Sifat inovasi biogas yang dinilai peternak meliputi tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas. Penilaian peternak tentang sifat inovasi biogas menjadikan peternak mau mengadopsi biogas.

(5)

keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas berkorelasi nyata dan positif dengan kecepatan adopsi biogas, sedangkan lama beternak, keuntungan relatif dan triabilitas berkorelasi positif nyata dengan difusi biogas. Akses informasi inovasi biogas dan frekuensi pertemuan tidak berkorelasi nyata dengan difusi-adopsi biogas. Dari kedua desa penelitian, sebesar 87.2 persen kecepatan adopsi peternak termasuk kategori sedang, dan sebesar 51.8 persen penyebaran biogas oleh peternak termasuk kategori tinggi.

(6)

SUMMARY

NURUL DWI NOVIKARUMSARI. 2014. Rate of Biogas Diffusion-Adoption Biogas Innovation by Dairy Farmers in Lembang Sub District, Bandung Barat District. Supervised by SITI AMANAH and BASITA GINTING SUGIHEN.

Biogas had been initiating since 2006 in Lembang Subdistrict, but had been growth in 2010 through Biogas Rumah (BIRU). BIRU is managed by Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) which is cooperated with internasional NGO as Human Institute for Development Cooperation (Hivos) and Foundation of Netherlands Volunteers (SNV). Nowdays, there are 4 197 dairy farmer household as prospected biogas adopters in Lembang Subdistrict. The barriers of diffusion adoption biogas due to the aspect of the biogas innovation, and the dairy farmers. Dairy waste utilization as the main material of biogas can provide economic benefits and environment, so that need a research about diffusion-adoption biogas. This research try to answer questions about the diffusion-adoption of biogas. The objective of research was analysted dairy farmer perception attributes of biogas innovation, analyze the household characteristics of dairy farmer (RTPSP), perception attributes of biogas inovation, the rate of access information and the frequency of meetings with extension workers with the rate of diffusion-adoption biogas innovation and analyze the rate of diffusion-adoption biogas innovation in Lembang Subdistrict, Bandung Barat District.

This research was conducted in Cibodas and Suntenjaya village. All of the population member (266 households) were the research respondents. The data was collected from March to April 2014, by through interviewing respondents using questionnaires that consist of 55 questions covering the household characteristics of dairy farmer, include formal education, dairy exprience, number of cattle, income, motivation (intrinsic and extrinsic), and land area for biogas. Furthermore, the study also includes perception of innovation include relative advantage, complexity, compatibility, observability and trialability and the rate of access information and the frequency of meetings with the extension workers. Secondary data were obtained from various relevant agencies. The data were processed using rank Spearman.

Litterer (Asngari 1984), perception is the understanding or view people have of things in the world around them. Attribute of innovation are relative advantage, complexity, compatibility observability and trialability. Dairy farmers decide to use biogas by understanding the attribute of biogas.

The research results showed biogas feasible to use but rate of adopter under 50 percent. Motivation, relative advantage, complexity, compatibility, observability have positive correlation with adoption while relative advantage, length of dairy farmers experiences, and trialability have positive correlation with diffusion. The access of biogas information and frequency metting with extention

workers haven’t correlation with rate of diffusion-adoption. From both of village, 87.2 percent adoption of dairy farmer is medium and 51.8 percent biogas diffusion is high.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

TINGKAT DIFUSI-ADOPSI INOVASI BIOGAS OLEH

PETERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG,

KABUPATEN BANDUNG BARAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

Nama : Nurul Dwi Novikarumsari NRP : I351120031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua

Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2014

(12)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia dan berkah-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Tesis menganalisis persepsi peternak mengenai sifat inovasi biogas, menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, dan menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Penyelesaian tesis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr Ir Siti Amanah, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Basita Ginting Sugihen, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing, Dr Ir Dwi Sadono, MSi serta Prof Dr H Pang S Asngari, MEd sebagai penguji luar komisi.

2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) tahun 2012 dalam menempuh program Magister. 3. Kedua orang tua penulis, Arif Sukarmo, SPd dan Ibu Jumiati, SPd (Alm)

terima kasih atas segala kasih sayang, semangat, doa, dan nasehatnya.

4. Kepala Desa Suntenjaya (Bpk Asep), Kepala Dusun Sukaluyu (Bpk Dase), Ketua Kelompok Ternak Mekar Saluyu (Bpk Aep Juanda) dan responden peternak sapi perah di dua desa yang telah memberikan informasi selama penelitian.

5. Rekan-rekan pada Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Angkatan 2012 atas kerja sama dan diskusi-diskusi selama ini.

6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan biogas di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Biogas 4

Peternakan Sapi Perah 5

Energi 7

Persepsi 7

Difusi dan Adopsi Inovasi 8

METODE PENELITIAN 18

Rancangan dan Pendekatan Penelitian 18

Lokasi dan Waktu Penelitian 18

Populasi dan Sampel 18

Jenis dan Pengumpulan Data 18

Uji Validitas dan Reliabilitas 23

Analisis Data 24

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 25

Kondisi Geografi dan Kependudukan di Dua Desa Penelitian 25 Perkembangan Biogas di Kecamatan Lembang 26

HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Deskripsi Karakteristik Rumahtangga Peternak Sapi Perah 29

Persepsi tentang Sifat Inovasi 34

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi Biogas

46 SIMPULAN

SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

(14)

DAFTAR TABEL

1 Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran 5 2 Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis

ternak

7 3 Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa 9 4 Populasi rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) 18

5 Hasil uji instrumen penelitian 22

6 Jumlah penduduk dua desa menurut mata pencaharian 24

7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya 26

8 Populasi ternak di Desa Cibodas 27

9 Penyebaran biogas tahun 2006-2012 di Jawa Barat 28 10 Hasil pengembangan biogas di Kabupaten Bandung Barat 29 11 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik RTPSP 30

12 Motivasi peternak dalam menerapkan biogas 33

13 Rincian tipe ukuran reaktor 33

14 Persepsi tentang sifat inovasi biogas 34

15 Sumber informasi tentang inovasi biogas 39

16 Akses sumber informasi tentang inovasi biogas 39 17 Frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas 40 18 Difusi RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Suntenjaya 41 19 Distribusi sebaran inovasi biogas di Desa Suntenjaya 42 20 Sebaran RTPSP penerap inovasi biogas di Desa Cibodas 43 21 Perkembangan inovasi biogas di Dua Desa Penelitian 43 22 Difusi biogas pada tiap dusun di Desa Cibodas 45

23 Distribusi kategori kecepatan 45

24 25

Distribusi kategori penyebaran

Hubungan variabel karakteristik RTPSP dengan tingkat difusi inovasi biogas

46 46 26 Hubungan variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas dengan

tingkat difusi inovasi biogas

49 27 Hubungan variabel perilaku komunikasi dengan tingkat difusi

inovasi biogas

50

DAFTAR GAMBAR

1 Alur berpikir penelitian 17

2 Kurva penerimaan inovasi biogas di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Materi penyuluhan biogas dari feces sapi perah 59

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biogas berkembang sejak tahun 1700-an. Pada tahun 1776 hingga tahun 1910 dilakukan penelitian lanjutan tentang biogas. Dari berbagai penelitian biogas dengan menggunakan kotoran hewan, penemuan oleh Sohngen pada tahun 1910 diakui menjadi dasar penelitian biogas hingga saat ini (Abbasi et al. 2011). Negara-negara yang memiliki populasi ternak yang tinggi, seperti Amerika Serikat, India, Taiwan, Korea, Cina telah memanfaatkan kotoran hewan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar. Di Asia Tenggara, India dan China merupakan negara pelopor dan pengguna energi biogas. China merupakan negara dengan program biogas terbesar di dunia. Pada akhir tahun 2005 dibangun 2 492 biogas skala menengah dan skala besar dari peternakan unggas, sedangkan 137 000 digester biogas dibangun untuk pemurnian air limbah rumah tangga.

Indonesia mulai mengadopsi teknologi pembuatan biogas pada awal tahun 1970-an. Biogas di Indonesia mulai berkembang karena adanya dukungan dana dari Food and Agriculture Organization (FAO). Pada tahun 1981dibangun contoh instalasi biogas di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Unit biogas yang dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m3. Pada tahun 1982 pemerintah membantu penambahan unit biogas sebanyak 20 unit dengan Program Bantuan Presiden (BANPRES). Setelah pembangunan intalasi biogas di daerah Pujon berhasil maka dilanjutkan pengembangan unit biogas di Kediri yang dilakukan pada tahun 1983. Pembangunan unit biogas di Kediri mengadopsi unit biogas yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu Program BANPRES (Prihandana dan Hendroko 2008). Sekitar tahun 2000 dikembangkan reaktor biogas skala kecil (rumah tangga) dengan konstruksi sederhana, terbuat dari plastik siap pasang (knockdown) dan dengan harga yang relatif murah. Teknologi biogas berkembang kembali sejak tahun 2006 ketika kenaikan harga bahan bakar minyak. Awalnya, biogas dibangun dalam bentuk demplot oleh pemerintah dengan reaktor berbentuk kubah terapung yang terbuat dari drum yang disambung, kemudian sekarang reaktor biogas telah berkembang, di antaranya terbuat beton, plastik, dan serat kaca (fiber glass) (Wahyuni 2011).

Program pengembangan teknologi biogas kepemilikan kolektif dan dipelihara secara bersama dimulai pada tahun 2006, seperti yang dicanangkan oleh Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia melalui Program Pengembangan Biogas Ternak bersama Masyarakat (BATAMAS). Pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Indonesia, meminta Kedutaan Besar Belanda untuk mempelajari potensi biogas di Indonesia. Kedutaan kemudian menugaskan

(17)

yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Banten, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (Kementrian ESDM 2014).

Penelitian mengenai pengembangan energi alternatif biogas yang dihasilkan dari feces ternak babi dilakukan di Bogor, Jawa Barat pada tahun 1984 oleh D.T.H Sihombing, Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti Institut Pertanian Bogor (Sihombing et al. 1984). Pada tahun 1997 dilakukan pula penelitian pembuatan biogas dari feces sapi akan tetapi baru diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun 2002 di Kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor. Penelitian dilakukan oleh Suhut Simamora dan Sri Wahyuni, peneliti dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP) Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut, biogas yang dikembangkan digunakan sebagai sumber energi untuk memasak, penerangan, pemanas atau menggerakkan generator (listrik) (Simmamora et al. 2003).

Salah satu kabupaten di Jawa Barat yang juga mengembangkan energi biogas yang berasal dari feces sapi perah adalah Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah. Dimulai sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Melalui

The Indonesia Domestic Biogas Programme (IDBP) maka dibentuklah BIRU (Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV yang didanai oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan didukung oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia. Program BIRU mengembangkan pembangunan reaktor biogas skala rumah tangga yang menghasilkan bahan bakar dari feces sapi perah. Inovasi biogas kemudian mulai diintroduksikan pada dua desa di Kecamatan Lembang. Kedua desa tersebut adalah Desa Cibodas dan Desa Suntenjaya, hingga saat ini sekitar 39.4 persen dari jumlah rumah tangga di dua desa yang terdapat biogas telah menerapkan. Dari sejumlah peternak yang telah menerapkan biogas tersebut, lebih lanjut diharapkan biogas dapat juga diterapkan oleh peternak lain yang belum menerapkan.

Penyuluhan erat kaitannya dengan difusi-adopsi iovasi adalah salah satu maksud penyuluhan menunjuk pada proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses teknologi, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Prakteknya, banyak tantangan yang dihadapi masyarakat pedesaan di Kecamatan Lembang dalam upaya difusi-adopsi biogas. Bantuan subsidi dana yang tersedia untuk pembiayaan konstruksi dan instalasi inovasi biogas, hal ini dapat membantu untuk memfasilitasi difusi teknologi, akan tetapi hal penting yang perlu dilihat pula adakah cara peternak ini mau menerapkan dan menyebarkan inovasi biogas ini kepada peternak lainnya, karena terdapat berbagai hal yang melatarbelakangi setiap tindakan yang dilakukan oleh peternak.

(18)

sebagai perbandingan dengan energi lain yang digunakan untuk memasak (minyak tanah, Liquid Petroleum Gas/ LPG dan bahan bakar kayu). Sehubungan dengan difusi inovasi biogas di Indonesia, khususnya di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat tersebut, maka penting dilakukan penelitian mengenai tingkat difusi-adopsi biogas oleh rumatangga peternak sapi perah.

Masalah Penelitian

Berbagai inovasi dalam bidang pertanian semakin berkembang, hal ini ditunjukkan dengan berbagai inovasi yang diperkenalkan kepada petani. Inovasi dalam bidang pertanian di antaranya adalah inovasi SRI (System of Rice Intensification), teknologi traktor tangan, pengendalian hama penyakit, pemupukan berimbang, yang dapat dilihat secara langsung hasilnya pada saat panen. Biogas juga merupakan inovasi dari segi pertanian dan energi terbarukan. Berbeda dengan inovasi lain, biogas berkaitan dengan pengelolaan limbah sapi perah, karena biogas tidak dapat memberikan hasil secara langsung dari segi produksi seperti halnya inovasi SRI pada padi yang secara langsung dapat dilihat dari hasil produktivitas padi yang dipanen. Hal ini menjadi khas, karena walaupun tidak secara langsung memberikan keuntungan dari produktivitas ternak, tetapi melalui inovasi biogas, peternak sapi perah juga memperoleh keuntungan dari

feces sapi perah yang biasanya dibuang.

Inovasi biogas di Kecamatan Lembang pada awalnya sebagai upaya pemanfaatan feces sapi sebagai energi alternatif dan mengurangi pencemaran lingkungan. Sehubungan dengan itu, muncul masalah yang berhubungan dengan penerapan biogas di kalangan peternak sapi perah. Menurut teori Rogers (2003), difusi-adopsi berhubungan dengan cepat lambatnya seorang individu mengadopsi inovasi lebih dini dibanding anggota sistem sosial lainnya. Sebaran kategori adopter dibagi ke dalam lima kategori innovator, pelopor (early adopter), penganut dini (early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot (laggard), masing-masing memiliki karakteristik dan perilaku komunikasi tertentu. Sebelum diadopsi dan terdifusi, peternak melakukan penilaian tentang sifat inovasi meliputi keuntungan relatif, kompatibilitas, kompatibilitas, triabilitas dan observabilitas (Rogers 2003). Mengingat kemanfaatan biogas baik bagi pemenuhan energi rumah tangga peternak maupun untuk menjaga lingkungan, maka diperlukan penelitian tentang difusi-adopsi biogas sebagai inovasi yang berprospek. Sampai saat ini baru sekitar 39.4 persen rumah tangga peternak sapi perah (RTPSP) di dua desa lokasi penelitian yang memanfaatkan biogas. Diharapkan selanjutnya setidaknya terdapat potensi penambahan jumlah RTPSP yang mengusahakan biogas.

(19)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian: 1. Menganalisis persepsi peternak sapi perah tentang sifat inovasi biogas.

2. Menganalisis tingkat difusi-adopsi inovasi biogas di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik RTPSP, persepsi tentang sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Manfaat Penelitian

Penelitian berguna sebagai:

1. Manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya ilmu pengetahuan tentang difusi-adopsi inovasi teknologi.

2. Manfaat praktis, yaitu bahan masukan kepada pihak yang terkait yang selama ini membantu peternak dalam pemanfaatan limbah ternak yang dapat memberikan nilai tambah bagi peternak sapi perah dan mengurangi pencemaran sungai oleh feces ternak sehingga kedepannya dapat menyusun strategi penyuluhan untuk difusi inovasi teknologi yang sesuai kondisi daerah.

TINJAUAN PUSTAKA

Biogas

Menurut Haryati (2006), biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam. Proses pembentukan biogas melalui pencemaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan empat tahap utama yaitu hidrolisis, acidifikasi, produksi acetic acid dan produksi methan. Tahap pertama adalah hidrolisis, pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat, lipid dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa terlarut seperti asam karboksilat, asam keton, asam hidroksi keton, alkohol, gula sederhana, asam-asam amino, H2, dan CO2. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap acidifikasi senyawa terlarut tersebut diubah menjadi asam-asam lemak rantai pendek yang umumnya asam asetat dan asam format oleh mikroorganisme asidogenik. Tahap produksi acetic acid dan produksi methan adalah dimana pada tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat. Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-sama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana(CH4) dan karbondioksida (CO2) (Wellinger et al. 2013).

(20)

olahan kotoran ternak yang langsung dapat digunakan sebagai pupuk organik pada tanaman atau budidaya pertanian.

Beberapa hal yang menarik dari teknologi biogas adalah kemampuannya untuk membentuk biogas dari limbah organik yang jumlahnya berlimpah dan tersedia secara bebas. Biogas sebagai sumber energi alternatif memberikan manfaat ganda bagi peternak yaitu manfaat ekonomis dan manfaat lingkungan. Manfaat ekonomis yaitu dapat menghemat pengeluaran dengan membeli bahan bakar untuk keperluan sehari-hari, sedangkan manfaat bagi lingkungan yatitu dapat menjaga kelestarian lingkungan dengan penggunaan yang tepat dari limbah ternak. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Potensi produksi gas dari berbagai jenis kotoran menurut Plochl dan Heiermann (Tom Bond 2011), disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Potensi Produksi Gas dari Berbagai Jenis Kotoran No. Asal kotoran babi tiap harinya mampu menghasilkan biogas paling banyak yaitu sebesar 1.43 m3/hewan/hari. Walaupun sapi menghasilkan 8 kg per harinya, tetapi memiliki selisih 0.11 m3/hewan/hari lebih rendah dibandingkan biogas yang dihasilkan babi yang menghasilkan 2 kg kotoran per harinya.

Berdasarkan penelitian Nurhasanah et al. (2006), wilayah Propinsi Jawa Barat sangat potensial untuk pengembangan digester yang menghasilkan energi biogas. Ada beberapa jenis digester biogas diantaranya adalah digester tipe kubah tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB, dan digester balon (Indartono 2006). Keempat jenis digester memiliki kelebihan masing-masing, dan dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum) karena perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah.

Peternakan Sapi Perah

(21)

Tengah), serta Pujon dan Nongkojajar (Jawa Timur), Pangalengan dan Lembang (Jawa Barat) (Sudono 2002).

Hingga saat ini, perkembangan sapi perah terus meningkat. Hal ini terbukti dengan adanya jalur-jalur produsen dan konsumen susu meliputi (1) jalur susu di Jawa Barat yang meliputi jalur Kuningan-Cirebon dan jalur Pengalengan-Lembang-Bandung-Cianjur-Sukabumi-Bogor-Jakarta,(2) jalur susu di Jawa Te-ngah meliputi jalur Boyolali-Solo-Yogyakarta dan jalur Temanggung Magelang-Ungaran-Semarang, dan (3) jalur susu di Jawa Timur yaitu Pasuruan (Grati)-Malang-Surabaya.

Fries Holland (FH) atau Holstein merupakan jenis sapi perah yang umumnya diternakkan di Indonesia, sapi FH memiliki berat standar betina seberat 625 kg dan jantan seberat 900kg, sapi jantan dapat mencapai berat badan lebih dari 1 ton. Sapi Holstein ini dapat menghasilkan rata-rata susu 6000 liter per laktasi. Pada tahun 1891-1892 sapi Holstein masuk ke Indonesia, selain betina didatangkan juga sapi jantan Holstein ke daerah Pasuruan Jawa Timur. Pejantan tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas sapi-sapi setempat ke arah perah

(grading up).Sejak tahun 1900 di daerah Lembang, Jawa Barat telah terdapat peternakan sapi perah yang memelihara Holstein. Di Lembang ini kemudian menyebar ke beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Makin 2011).

Jumlah sapi perah di Indonesia tahun 2012 sebanyak 597 021 ekor. Tahun 2013 terdapat sapi perah sebanyak 611 094 ekor dengan pertumbuhan 2.41%. Jenis ternak yang diusahakan di wilayah Kabupaten Bandung Barat adalah ternak besar dan kecil, produksi daging, susu, dan telur. Pada tahun 2009 jumlah ternak sapi perah mencapai 29 878 ekor dengan rataan produksi susu mencapai 13.384 kg per hari. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat 2013).

(22)

Satuan Ternak (ST) atau Animal Unit (AU) merupakan satuan untuk ternak yang didasarkan atas konsumsi pakan. Setiap satu AU diasumsikan atas dasar konsumsi seekor sapi perah dewasa non laktasi dengan berat 325 kg atau seekor kuda dewasa. Secara rinci nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis ternak disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Nilai konversi ST atau AU pada berbagai jenis dan umur fisiologis ternak No. Jenis Ternak ST per ekor 1 ST setara dengan

Jumlah Ternak

1. Kuda 1.00 1

2. Sapi 1.00 1

3. Sapi Pejantan 1.00 1

4. Sapi muda, umur lebih 1 tahun 0.50 2

5. Pedhet (anak sapi) 0.25 4

6. Anak kuda (colt) 0.50 2

7. Babi induk/pejantan 0.40 2,5

8. Babi seberat 90 kg 0.20 5

9. Domba Induk/pejantan 0.14 7

10. Anak domba 0.07 14

11. Ayam (setiap 100 ekor) 1.00 100

12. Anak ayam (setiap 200 ekor) 1.00 200

Sumber: Ensminger 1989

Berdasarkan nilai konversi ST pada berbagai ternak, diketahui 1 ST sapi setara dengan 2 ekor babi. 1 ST sapi juga setara dengan 7 ekor domba atau setara juga dengan 100 ekor ayam. 1 ST sapi sama dengan 2 ekor sapi muda, sama dengan 5 ekor babi muda, sama dengan 14 ekor domba muda dan juga sama dengan 200 ekor anak ayam.

Energi

Sumberdaya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga (Widodo et al. 2005). Energi baru dan terbarukan adalah energi yang pada umumnya sumber daya nonfosil yang dapat diperbaharui atau yang bila dikelola dengan baik, maka sumber dayanya tidak akan habis. Sumber energi yang termasuk dalam energi baru dan terbarukan antara lain energi panas bumi, energi air, energi surya, energi angin, energi biomassa/biogas, energi samudra, fuel cell (sel bahan bakar), dan energi nuklir (Febriono dan Priyanto 2012).

(23)

kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan 2008).

Energi biogas adalah salah satu dari banyak macam sumber energi terbarukan, karena energi biogas dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga, kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi, sampah organik dari pasar, industri makanan dan limbah buangan lainnya. Produksi biogas memungkinkan pertanian berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan. Pada umumnya, biogas terdiri atas gas metana (CH4) sekitar 55-80%, dimana gas metana diproduksi dari kotoran hewan yang mengandung energi 4 800-6 700 Kcal/m3, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8 900 Kcal/m3. Sistem produksi biogas mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c) sebagai pupuk, dan (d) produksi daya dan panas (Soehadji 1992).

Persepsi

Beragam pengertian tentang persepsi dikemukakan oleh para ahli dalam Asngari (1984), Litterer mengungkapkan bahwa persepsi adalah “the understanding or view people have of things in the world around them.” Menurut Allport bahwa, “perception has something to do with awareness of content upon

the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us, or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some degree, and understanding awareness, a meaning or a recognition of these objects,”dan Hillgard (Narso et al. 2012), menyebutkan bahwa “perception is the

process of becoming aware of objects”. Robbins (2008), mengemukakan bahwa individu yang melihat sebuah obyek dan berusaha untuk menginterpretasikan obyek tersebut, interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pribadi dari pembuat persepsi tersebut, seperti sikap, kepribadian, motif, minat, pengalaman-pengalaman masa lalu dan harapan-harapan seseorang.

(24)

Difusi dan Adopsi Inovasi

Difusi merupakan suatu proses inovasi dikomunikasikan melalui suatu saluran dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial; jadi dalam difusi terdapat empat unsur penting yaitu inovasi, saluran komunikasi, waktu dan anggota sistem sosial (Rogers 2003). Dalam proses difusi inovasi, waktu merupakan elemen penting yang tidak dapat diabaikan, dimana keterlibatan waktu dalam proses difusi inovasi dalam hal:

(1) Proses pengambilan keputusan inovasi oleh individu atau dapat disebut tahapan adopsi yaitu sejak mulai pertama kali individu mengetahui adanya suatu invasi sampai menolak atau mengadopsi inovasi tersebut. Jadi, adopsi merupakan bagian dari pross difusi. dimana adopsi mengacu pada aksi inovasi oleh individu sedangkan difusi berhubungan dengan penyebaran inovasi dalam sebuah komunitas.

(2) Tingkat kecepatan individu dalam mengadopsi atau tingkat keinovativan individu merupakan kecepatan penerimaan suatu inovasi baru. Adopsi terhadap teknologi baru tidak terjadi serempak, karena seseorang bisa menerima lebih cepat atau lebih lambat dari orang lain. Kecepatan diukur dengan jumlah penerimaan yang pengadopsian suatu ide baru dalam suatu priode tertentu (Leeuwis 2009).

Berdasarkan waktu dalam mengadopsi inovasi maka Rogers dan Shoemaker (1971) membagi tingkat keinovativan individu maka sebaran kategori adopter ke dalam lima kategori: innovator, pelopor (early adopter), penganut dini (early majority), penganut akhir (late majority), dan kaum kolot (laggard).

Inovator sebesar 2.5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Inovator ini memiliki keberanian mengambil resiko, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi. Early Adopter sebanyak 13.5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi. Early Majority, sebanyak 34% yang menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi. Late Majority sebanyak 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati. Laggard sebanyak 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas. Orang terlambat adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial untuk mengadopsi suatu inovasi.

(3) Jumlah anggota sistem sosial yang mengadopsi dalam kurun waktu tertentu. Derajat adopsi biasanya diukur dari panjangnya waktu yang diperlukan untuk mengadopsi suatu inovasi berdasarkan jumlah anggota sistem sosial yang mengadopsi inovasi tersebut.

(25)

tipe otoritas, pengambilan keputusan inovasi dilakukan oleh seseorang yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat) sedangkan unit adopsinya adalah anggota sistem sosial bawahannya (subordinat). Adapun pada tipe kontingensi, pengambilan keputusan merupakan kombinasi dari dua atau lebih keputusan inovasi, atau keputusan inovasi dibuat setelah ada keputusan tipe lain yang mendahuluinya.

Saluran komunikasi juga merupakan elemen penting, dimana saluran komunikasi ini meliputi saluran komunikasi interpersonal dan saluran komunikasi media massa. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa ditunjukkan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik saluran komunikasi interpersonal dan media massa No

.

Karakteristik Saluran

Interpersonal

Media massa 1. Arus komunikasi Cenderung dua arah Cenderung searah 2. Konteks komunikasi Tatap muka Melalui media

3. Tingkat umpan balik Tinggi Rendah

4. Kemampuan mengatasi 6. Efek yang mungkin terjadi Perubahan dan

pembentukan sikap

Perubahan pengetahuan Sumber: Rogers dan Shoemaker (1971)

Keterangan: *) Terutama selektivitas (untuk) terdedah atau selective exposure

Media massa memiliki kecepatan jangkauan yang relatif cepat kepada khalayak walaupun umpan baliknya rendah misalnya televisi yang memberikan efek perubahan pengetahuan ketika khalayak menonton acara berita.

Difusi juga erat kaitannya dengan sistem sosial yang diartikan suatu seperangkat unit-unit (kolektivitas) yang berhubungan satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan bersama, khususnya dalam penyelesaian masalah. Anggota-anggota sistem sosial bisa terdiri dari individu, kelompok informal, organisasi, dan/atau subsistem-subsistem. Sistem sosial memiliki seperangkat batasan di dalam mana inovasi menyebar oleh karena itu perlu pemahaman mengenai struktur sosial dalam sistem yang mempengaruhi pola-pola difusi inovasi.

Struktur sosial mempengaruhi difusi inovasi melalui beberapa cara, di antaranya peranan tokoh pemuka pendapat dan agen perubahan. Pemimpin opini (opinion leader) adalah seseorang yang melalui pendapatnya dapat memengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan tertentu. Ciri-ciri pemimpin opini adalah (1) pemimpin opini yang terlibat dalam komunikasi eksternal melalui media massa, frekuensi keluar yang tinggi, (2) memiliki jaringan interpersonal yang lebih luas dalam menyabarkan pesan inovasi, (3) memiliki status ekonomi yang lebih tinggi, dan (4) inovatif, diakui sebagai seorang ahli yang kompeten dan terpercaya.

(26)

status sosial, dan lainnya. Adapun heterofili adalah derajat dimana pasangan individu-individu yang berinteraksi memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), komunikasi interpersonal yang homofili dapat menghambat proses difusi, karena memungkinkan penyebaran inovasi hanya secara horizontal, baik hanya di kalangan lapisan atas atau hanya di kalangan lapisan bawah. Para pemimpin opini dalam proses difusi adopsi inovasi memegang peranan penting baik dalam mempercepat proses difusi adopsi, maupun dalam proses menghambatnya. Oleh sebab itu, keberadaan para pemimpin opini memegang peranan peting dalam kegiatan penyuluhan (Hanan 2005).

Adopsi adalah proses sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut menolak atau menerima hal baru tersebut. Elemen yang penting yang perlu diperhatikan dalam proses adopsi inovasi (a) adanya sikap mental untuk melakukan adopsi inovasi, dan (b) adanya konfirmasi dari keputusan yang telah diambil, menurut Rogers (2003) adopsi meliputi:

(1) Tahap pengetahuan: dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elektronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal di antara masyarakat

(2) Tahap persuasi: tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon adopter. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan diperoleh jika mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan diskusi dengan orang lain, ada kecenderungan untuk mengadopsi atau menolak inovasi tersebut.

(3) Tahap pengambilan keputusan: dalam tahap ini, seseorang membuat keputusan akhir apakah mereka akan mengadopsi atau menolak sebuah inovasi. Setelah melakukan pengambilan keputusan, tidak menutup kemungkinan terdapat perubahan dalam pengadopsian.

(4) Tahap implementasi: seseorang mulai menggunakan inovasi sambil mempelajari lebih jauh tentang inovasi tersebut.

(5) Tahap konfirmasi: setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Apakah inovasi tersebut diadopsi ataupun tidak, seseorang akan mengevaluasi akibat dari keputusan yang mereka buat. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak menjadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi.

Menurut Hasanuddin (2005) bahwa adopsi inovasi merupakan kemampuan petani dalam menggunakan suatu teknologi untuk kegiatan usaha taninya. Menurut Subagyo et al. (2005) proses adopsi merupakan proses pelaksanaan suatu teknologi yang dapat berjalan secara sistematis sehingga memberikan keuntungan secara ekonomis dan memberikan dorongan untuk msyarakat setempat.

(27)

sudut pandang calon pengadopsi atau pengetrap, bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan sebagai sesatu yang baru dalam diri adopter (Nasution 1995). Inovasi juga dapat berupa sesuatu yang benar-benar baru atau sudah lama tetapi masih dianggap baru oleh peternak. Keputusan menerima inovasi ini merupakan proses mental, yang terjadi sejak peternak sasaran tersebut mengetahui suatu inovasi sampai menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Ibrahim et al. 2003).

Mengadopsi biogas berlangsung mulai dari peternak tahu adanya teknologi biogas sampai peternak mau mencoba serta menggunakan teknologi ini terus-menerus. Adopsi inovasi biogas dapat dilihat dari keinginan peternak menggunakan biogas dalam kegiatan rumah tangganya, seperti memasak. Penerapan meliputi kegiatan pemakaian dan pemeliharaan. Cara-cara pemakaian meliputi: pengisian reaktor, mencuci saluan masuk, penggunaan katup, pemeriksaan kebocoran gas, menguras air, membersihkan overflow, menggunakan keran gas, membuat kompos, menggunakan alat pengukur tekanan, menggunakan kompor (Pedoman Pengguna BIRU 2010).

Beberapa penelitian mengenai difusi-adopsi inovasi di bidang pertanian yang telah dilakukan, di antaranya:

(a) Humaedah (2007), bahwa kontaktani berperan sebagai pengambil keputusan, sebagai pemimpin, sebagai agen perubahan dan sebagai dinamisator kelas belajar.

(b) Roswida (2003) meneliti mengenai tahapan proses keputusan adopsi inovasi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan agen hayati, karakteristik internal meliputi tingkat pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan usahatani, kekosmopolitan, keinovativan usahatani, sikap kepemimpinan, sikap kewirausahaan, keanggotaan dalam kelompoktani, sedangkan karakteristik eksternal meliputi ketersediaan sumber informasi, intensitas penyuluhan, ketersediaan sarana, peluang pasar dan intensitas promosi pestisida.

(c) Menurut Purnaningsih (2006), faktor yang mampu menjelaskan keputusan petani dalam mengadopsi pola kemitraan agribisnis di empat kabupaten di Jawa Barat adalah karakteristik individu, kondisi sosial dan fisik, pengetahuan petani tentang pola kemitraan, persepsi petani tentang ciri inovasi pola kemitraan dan kinerja petani dalam mengelola usahataninya. (d) Syafril (2002) dari hasil studinya menemukan bahwa adopsi inovasi

Teknologi Sistem Usaha Pertanian (SUP) Jagung bekorelasi nyata dengan: (a) karakteristik pribadi, khususnya kekosmopolitan, (b) karakteristik rumah

(28)

(e) Mulyadi et al. (2007), bahwa dalam saluran komunikasi berhubungan nyata dengan keputusan mengadopsi inovasi, saluran komunikasi ini menggunakan saluran komunikasi vertikal (top-down) dari pemerintah, kepala suku, pendeta serta menggunakan media massa. Emmann (2013), faktor yang mempengaruhi penerimaan inovasi biogas antara petani adalah keinovativan/karakteristik dari petani itu sendiri. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari informasi, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang tertutup).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas

Penelitian tentang difusi-adopsi di bidang pertanian khususnya tentang biogas masih terbatas, penelitian tentang biogas di luar negeri seperti penelitian oleh Sanders (2010) tentang identifikasi dukungan digester dalam bidang peternakan yang memasukkan variabel keinginan akan tenaga alternatif, umur, pendidikan, politik, pendapatan, dan penatagunaan lingkungan. Penelitian oleh Walekhwa (2009) di Uganda, hasil empiris menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi adopsi teknologi biogas adalah usia kepala rumah tangga, peningkatan pendapatan rumah tangga, peningkatan jumlah ternak yang dimiliki, peningkatan ukuran rumah tangga, laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan meningkatnya biaya bahan bakar tradisional. Sebaliknya, kemungkinan adopsi menurun dengan meningkatnya lokasi rumah tangga yang terpencil dan meningkatnya luas lahan rumah tangga.

Hasil penelitian Kabir Humayun (2013) di Bangladesh, menyatakan bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah ternak, dan perempuan sebagai kepala keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan instalasi pembangkit biogas. Semakin meningkat tingkat pendidikan, pemberdayaan perempuan, pendapatan tahunan dan jumlah sapi cenderung meningkatkan tingkat adopsi biogas. Selain itu, manfaat lingkungan, ekonomi, sosial, dan teknologi juga dipertimbangkan oleh responden dalam adopsi biogas. Penelitian lain yaitu Wei Qu et al. (2013) di China, menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi penerapan biogas, antara lain adanya promosi pemerintah tentang biogas, usia kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang tinggal di rumah, pendapatan rumah tangga dan tingkat persepsi dari tentang inovasi biogas.

(29)

Setelah mereview beberapa penelitian maka variabel-variabel penelitian meliputi:

(1) Tingkat pendidikan formal

Penelitian oleh Sanders (2010) dan penelitian oleh Humayun (2013) di Bangladesh mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan memegaruhi penerapan biogas.

(2) Lama beternak

Menurut Roswida (2003), lama berusahatani termasuk karakteristik internal petani. Pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menghadapi pemilihan inovasi teknologi pertanian. Semakin lama pengalaman seseorang berusahatani, maka akan semakin mudah dalam memahami suatu inovasi teknologi dan cenderung lebih mudah menerapkannya (Rogers 2003).

(3) Jumlah ternak sapi perah

Jumlah ternak menunjuk pada banyaknya ternak yang dimiliki oleh peternak. Peluang sebuah rumah tangga peternak dalam mengadopsi teknologi biogas dipengaruhi oleh peningkatan jumlah ternak yang dimiliki (Walekhwa 2009). (4) Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

Walekhwa (2009), Humayun (2013) dan Wi Qu et al. (2013),mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan rumah tangga berhubungan dengan tingkat adopsi biogas. Pendapatan merupakan jumlah keseluruhan yang diperoleh dari pemanfaatan tenaga kerja dan modal lainnya (Penny 1990).

(5) Motivasi (motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik)

Menurut Robbins dan Coulter (2010), motivasi mengacu pada suatu dorongan, arahan pada seseorang untuk mencapai tujuan. Teori Hierarki kebutuhan Maslow, kebutuhan fisiologis (dapat berupa kebutuhan makan, minum, tempat berteduh dan kebutuhan lainnya), kebutuhan keamanan (kebutuhan keamanan dan perlindungan fisik), kebutuhan sosial (kebutuhan penerimaan dan persahabatan), kebutuhan penghargaan (kebutuhan penghargaan internal seperti harga diri, dan penghargaan eksternal seperti status, pengakuan dan perhatian), dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan pencapaian potensi, dan pemenuhan diri). Penelitian ini membatasi pada motivasi intrinsik untuk kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan.

(30)

(6) Tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas

Rogers (2003) mengungkapkan bahwa difusi inovasi dipengaruhi oleh persepsi tentang sifat inovasi meliputi persepsi tentang keuntungan relatif, kompleksitas, kompatibilitas dan observabilitas. Beberapa faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi juga diungkapkan Soekartawi (2005), yaitu (1) macam dan proses adopsi, (2) apakah memberikan keuntungan atau tidak, (3) kompatabilitas atau kelanjutan teknologi, (4) kompleksitas/teknologi makin mudah, (5) triabilitas/kemudahan mencoba, (6) observabilitas/ dapat diamati. (7) Luas lahan untuk biogas

Lahan ini merupakan lahan yang dimiliki peternak dan digunakan sebagai kandang dan reaktor. Lahan untuk kandang dan instalasi biogas yang diperlukan oleh peternak tergantung dari besarnya reaktor. Sebagian peternak membangun tangki reaktor ukuran 4cm2 dan 6 m2, kemudian pula diperlukan ruang terbuka untuk inlet kotoran sapi, dan penampung ampas biogas. Terdapat dua tipe kandang ternak yang dimiliki peternak yaitu kandang ternak di dekat rumah dengan luasan lahan yang cukup dan kandang terpisah dengan rumah. Hasil penelitian Mwirigi et al. (2009), menungkapkan bahwa dalam adopsi biogas juga dipengaruhi oleh lahan yang dimiliki peternak sapi perah.

(8) Akses terhadap informasi inovasi biogas

Informasi diperoleh dari beberapa jenis saluran komunikasi, baik saluran antar pribadi maupun saluran komunikasi media massa. Media yang termasuk dalam saluran komunikasi massa elektronik adalah radio, televisi dan film (Nasution 1995). Dampak yang ditimbulkan dari salura komunikasi antar pribadi tidak hanya sampai pada tahap pengetahuan, namun dapat sampai tahap perubahan sikap. Akses terhadap informasi merupakan suatu upaya yang timbul dari diri dalam mencari dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan biogas kemudian dapat mengambil keputusan untuk menerapkan.

(9) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas

(31)

Kerangka Berpikir

Inovasi biogas di Kecamatan Lembang merupakan sumber energi alternatif untuk keperluan rumah tangga. Biogas dapat dikatakan sebagai suatu inovasi jika memiliki tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek, dan produk (barang dan jasa) tersebut harus mempunyai sifat baru. Hasil penelitian yang telah lalu juga dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada seseorang atau unit masyarakat yang belum pernah mengenal sebelumnya, sehingga kebaruan pada suatu inovasi dilihat dari sudut pandang calon adopter atau penerap, bukan kapan inovasi tersebut dihasilkan. Kebaruan dari suatu inovasi tidak didasarkan pada kurun waktu ditemukannya inovasi, akan tetapi bahwa adanya anggapan sebagai sesatu yang baru dalam diri adopter seperti halnya biogas yang dirasakan sebagai hal baru bagi peternak di Kecamatan Lembang.

Sejak tahun 2010, biogas di Kecamatan Lembang berkembang dengan adanya Biogas Rumah (BIRU) yang dikelola Koperasi Susu Bandung Utara (KPSBU) bekerjasama dengan Hivos dengan bantuan teknis dari SNV. Program BIRU (Biogas Rumah) yang merupakan sebuah program kerjasama antara

Humanistic Institute for Development Cooperation (Hivos) dan SNV dan didukung oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Indonesia, biogas diharapkan dapat diterapkan oleh peternak yang belum menerapkan. Inovasi biogas telah lama berkembang, namun pada kenyataannya, belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh peternak. Salah satu syarat diterima teknologi biogas, kesesuaian teknologi dengan karakteristik masyarakat.

(32)

Gambar 1. Alur Berpikir Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat

Hipotesis Penelitian

Mengacu pada permasalahan dan kerangka pikir penelitian, hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Karakteristik RTPSP (tingkat pendidikan formal, lama beternak, jumlah ternak, tingkat pendapatan, motivasi (intrinsik dan ekstrinsik), dan luas lahan untuk biogas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas. 2. Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (tingkat keuntungan relatif, tingkat

kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat observabilitas dan tingkat triabilitas) berhubungan nyata dengan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas. 3. Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh berhubungan nyata dengan

(33)

METODE PENELITIAN

Rancangan dan Pendekatan Penelitian

Penelitian bersifat deskriptif eksplanatori yang dimaksudkan untuk menjelaskan, merinci, mendeskripsikan dan menguji hubungan variabel-variabel yang diamati (Riduwan, 2011). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif sebagai tumpuan analisis. Penelitian terdiri variabel bebas yaitu (X1) adalah karakteristik peternak sapi perah, persepsi terhadap sifat inovasi (X2), dan tingkat akses informasi dann fasilitasi penyuluh (X3) sedangkan variabel terikat (Y) adalah tingkat difusi-adopsi inovasi biogas.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pemilihan daerah ini dilakukan secara sengaja (purposive) di Kecamatan Lembang dengan mengambil dua desa yaitu Desa Suntenjaya karena alasan mendasar, yakni kekhasan lokasi ini dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu (1) Wilayah perkembangan sektor peternakan sapi perah di Jawa Barat, dan (2) Desa Cibodas merupakan desa percontohan dalam pengembangan inovasi bagi desa-desa lainnya di Kecamatan Lembang, sedangkan Desa Suntenjaya memiliki potensi pengembangan biogas, pupuk organik dan batapi (batu bata dari feces

sapi), serta berdasarkan data Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat (KLH KBB) tahun 2012, kedua desa yang berlokasi di hulu Sungai Cikapundung mengalami pencemaran akibat kotoran dari peternakan sapi. Selanjutnya, penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga April 2014.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah semua rumah tangga peternak sapi perah penerap biogas di Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Selanjutnya, seluruh anggota populasi merupakan sampel penelitian (sensus) yang berjumlah sebanyak 266 rumah tangga peternak sapi perah. Secara lengkap populasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Populasi Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)

No. Desa Populasi RTSP Populasi RTSP penerap biogas

1. Suntenjaya 420 141

2. Cibodas 255 125

Jumlah 675 266

Jenis dan Pengumpulan Data

(34)

antara lain adalah dokumen tentang profil kecamatan dan dua desa yang menjadi lokasi penelitian, dokumen-dokumen dan pustaka yang berasal dari berbagai sumber yang berhubungan dan menunjang penelitian.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri dari tiga variabel utama yaitu variabel bebas dan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas sebagai variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari tiga sub variabel yaitu karakteristik peternak, persepsi terhadap sifat inovasi biogas, tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3). Secara variabel penelitian rinci dijelaskan sebagai berikut:

(A) Variabel bebas (X) terdiri dari:

(1) Karakteristik peternak sapi perah (X1) adalah ciri yang melekat pada peternak sapi perah, meliputi indikator tingkat pendidikan formal, lama beternak, tingkat pendapatan RTPSP, jumlah ternak, motivasi dan luas lahan peternak untuk biogas.

(2) Persepsi terhadap sifat inovasi biogas (X2) adalah pandangan peternak terhadap inovasi biogas meliputi indikator tingkat keuntungan relatif, tingkat kompleksitas, tingkat kompatibilitas, tingkat triabilitas dan tingkat observabilitas.

(3) Tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) adalah berbagai macam sumber informasi tentang biogas yang diakses oleh peternak dan banyaknya frekuensi pertemuan peternak dengan penyuluh biogas. Secara rinci konsep dan operasionalisasi tiap variabel dan sub variabel dijelaskan sebagai berikut:

Konsep dan operasionalisasi variabel

(1)Sub-variabel karakteristik peternak (X1) terdiri sebagai berikut:

(a)Tingkat Pendidikan Formal adalah lamanya responden menempuh jenis pendidikan formal tertinggi dan dihitung dalam tahun. Tingkat pendidikan diukur dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif dilakukan penggolongan sebagai berikut:

1) Rendah : ≤6 tahun (SD/SR) 2) Sedang : 7-12 tahun (SMP-SMA)

3) Tinggi : ≥13 tahun (Diploma/Perguruan Tinggi)

(b)Lama beternak adalah lamanya responden berusaha di bidang peternakan sapi perah dan dihitung dalam tahun. Lama beternak diukur dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif penggolongan sebagai berikut:

1) Rendah : ≤ 5 tahun 2) Sedang : 6-11 tahun 3) Tinggi : ≥12 tahun

(c)Jumlah ternak sapi perah adalah jumlah sapi dewasa, sapi muda dan sapi anakan yang dimiliki responden dan dihitung dalam satuan ternak. Jumlah ternak dinyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan sebagai berikut:

1) Sedikit : ≤ 2.2 ST 2) Sedang : 2.3-4.5 ST 3) Banyak : ≥ 4.6 ST

(35)

tahun dan dihitung dalam Rupiah (Rp). Pendapatan usahatani-ternak diyatakan dengan skala rasio dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan sebagai berikut:

1) Rendah : ≤ 9 828 435.31

2) Sedang : 9 828 435.32–81 932 751 3) Tinggi : ≥ 81 932 751.1

(e)Motivasi beternak adalah yaitu kekuatan-kekuatan atau dorongan dari dalam dan dari luar diri responden untuk menyebarkan inovasi biogas motivasi terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik karena kebutuhan fisiologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan. Motivasi ekstrinsik berupa dorongan yang berasal dari adanya bantuan/ kredit pengadaan reaktor biogas oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta. Motivasi ini diukur dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan yang terkait motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tujuh pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3), setuju (skor 2), tidak setuju (skor1) dan untuk kepentingan analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor ≤11 2) Sedang : jika skor 12-16 3) Tinggi : jika skor ≥17

(f)Luas lahan peternak untuk biogas adalah luas lahan yang dimiliki oleh peternak yang digunakan untuk membangun instalasi biogas dan dihitung dalam m2. Luas lahan diukur dengan skala rasio dan dan untuk analisis deskriptif dikategorikan sebagai berikut:

1) Sempit : jika luas lahan 4 m2 2) Sedang : jika luas lahan 5 m2 3) Luas : jika luas lahan 6 m2

(2)Sub-variabel persepsi tentang sifat inovasi biogas (X2) meliputi:

a. Tingkat keuntungan relatif adalah derajat dimana inovasi biogas dipandang memberikan keuntungan pada RTPSP, bahan bakar untuk memasak dibanding menggunakan LPG, kayu bakar, arang, hemat waktu dan tenaga, serta prestise (kebanggaan) sosial. Keuntungan relatif diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak enam pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat setuju (skor 3), setuju (skor 2), tidak setuju (skor 1) dan untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor rata-rata 1.00-1.67 2) Sedang : jika skor rata-rata 1.68-2.34 3) Tinggi : jika skor rata-rata 2.35-3.00

(36)

menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat sulit (skor 3), mudah (skor 2) dan sangat mudah (skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan dan untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Sangat rumit : jika skor rata-rata 2.35-3.00 2) Cukup rumit : jika skor rata-rata 1.68-2.34 3) Tidak rumit : jika skor rata-rata 1.00-1.67

c. Tingkat kompatibilitas adalah derajat dimana biogas sesuai dengan nilai kepercayaan peternak sapi perah, situasi dan kebutuhan peternak sapi perah. Kompatibilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat sesuai (skor 3), sesuai (skor 2) dan tidak sesuai (skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Tidak sesuai : jika skor rata-rata 1.00-1.67 2) Cukup sesuai : jika skor rata-rata 1.68-2.34 3) Sangat sesuai : jika skor rata-rata 2.35-3.00

d. Tingkat triabilitas adalah derajat dimana biogas dapat dicoba dalam skala rumah tangga, meliputi: seberapa sering peternak memasukkan feces ke tangki pengurai dapat dicoba, sering peternak menggunakan gas biogas untuk memasak dapat dicoba. Triabilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), mudah (skor 2) dan tidak mudah (skor 1). Skor yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan untuk analisis deskriptif dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Tidak mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.00-1.67 2) Cukup mudah dicoba : jika skor rata-rata 1.68-2.34 3) Sangat mudah dicoba : jika skor rata-rata 2.35-3.00

e. Tingkat observabilitas adalah derajat dimana inovasi biogas dapat diamati, mencakup: pembentukan gas pada digester dapat diamati oleh peternak, memasak dengan menggunakan biogas dapat diamati oleh peternak, keunggulan biogas dibanding bahan bakar lain dan mudah diamati oleh peternak. Observabilitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban yakni sangat mudah (skor 3), cukup mudah (skor 2) dan tidak mudah (skor 1). Kemudian jumlah skor rata-rata yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni:

(37)

(3)Sub-variabel tingkat akses informasi dan fasilitasi penyuluh (X3) terdiri sebagai berikut:

(a) Akses terhadap sumber informasi inovasi biogas adalah frekuensi mengakses sumber informasi dan jumlah sumber informasi inovasi biogas bagi individu, yang meliputi saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Akses terhadap sumber informasi diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak dua pertanyaan yang kemudian jawaban dinilai dengan skor 3, skor 2 dan skor 1 dan dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor ≤2 2) Sedang : jika skor 4-5 3) Tinggi : jika skor ≥6

(b) Frekuensi pertemuan dengan penyuluh biogas adalah total kegiatan kunjungan (rumah, usahatani) yang dilakukan penyuluh atau agen pembaruan dalam memperkenalkan biogas sampai mengadopsi inovasi. Kompleksitas diukur menggunakan skala ordinal dengan menilai jawaban responden atas pertanyaan. Jumlah pertanyaan yang diajukan adalah sebanyak tiga pertanyaan. Responden dapat memilih salah satu dari tiga jawaban dengan penilaian skor 3, skor 2, dan skor 1. Kemudian jumlah skor yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi tiga yakni:

1) Rendah : jika skor 3-4 2) Sedang : jika skor 5-6 3) Tinggi : jika skor ≥7

(B) Variabel Tingkat Difusi-Adopsi inovasi biogas (Y) meliputi:

(a) Kecepatan adalah waktu yang dibutuhkan sejak mendengar atau mengenal inovasi biogas sampai dengan menerapkan. Merujuk kepada fakta bahwa inovasi biogas telah dikenal peternak Desa Suntenjaya dan Desa Cibodas, sejak tahun 2006 atau sekitar 7 tahun yang lalu, ketika salah seorang warga mempunyai menerapkan biogas tipe plastik untuk pertama kalinya, variabel ini diukur dengan skala rasio dan dikategorikan menjadi:

(1)Rendah : jika RTSP menerapkani inovasi biogas setelah lebih dari empat tahun sejak digunakan warga desa yang pertama kali (2013-sekarang)

(2)Sedang : jika jika RTSP menerapkan inovasi biogas tiga sampai empat tahun tahun sejak digunakan warga desa yang pertama kali (2010-2012)

(3)Tinggi : jika jika RTSP menerapkani inovasi biogas dalam dua tahun pertama tahun sejak digunakan warga desa yang pertama kali (2006-2009)

(38)

1) Rendah : ≤ 21.1%

2) Sedang : 21.2%- 47.20% 3) Tinggi : ≥ 47.23%

Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang dipakai harus dilakukan sebelum instrumen diberikan kepada responden, agar data valid dan reliabel. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Sugiyono (2011) menyebutkan bahwa instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal. Validitas internal merupakan kesahihan penelitian apabila kriteria dalam instrumen secara teoritis mencerminkan apa yang akan diukur. Validitas eksternal merupakan kesahihan penelitian apabila terdapat kesesuaian antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta di lapangan (Sarwono 2006). Pengujian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (a) definisi operasional variabel yang akan diukur (b) studi literatur/pustaka sebagai referensi, (c) konsultasi dengan pembimbing sebagai ahli, dan (d) Uji coba instrumen dilakukan pada 10 orang peternak sapi perah di Desa Suntenjaya Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (e) Uji validitas dilakukan dengan rumus korelasi Product Moment

sebagai berikut:

(f) Dari rumus korelasi Product Moment kemudian membandingkan angka korelasi dengan angka kritik pada tabel korelasi nilai r pada taraf tertentu (5%). Apabila angka korelasi tersebut lebih besar daripada angka pada tabel nilai r= 0.632, maka item pertanyaan tersebut dinyatakan valid.

Uji Reliabilitas adalah tingkat konsistensi suatu alat ukur yang menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai berulang-ulang (Suryabrata 2006). Jika nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran 0.5–1.0, maka alat ukur dinilai reliabel. Menurut Riduwan (2013), penilaian reliabilitas sebagai berikut:

(a) Nilai koefisien alpha 0.00 – 0.199 berarti kurang reliabel (b) Nilai koefisien alpha 0.20 – 0.399 berarti agak reliabel (c) Nilai koefisien alpha 0.40 – 0.599 berarti cukup reliabel (d) Nilai koefisien alpha 0.60 – 0.799 berarti reliabel (e) Nilai koefisien alpha 0.80 – 1.00 berarti sangat reliabel

(39)

Tabel 5 Hasil uji instrumen penelitian

No Variabel Uji Reliabilitas Uji Validitas Ket. 1 Motivasi 0.780 (Reliabel) 0.683*-0.854* Valid 2 Keuntungan relatif 0.786 (Reliabel) 0,660**-0,938** Valid 3 Kompleksitas 0.750 (Reliabel) 0,824**-0,911** Valid 4 Kompatibilitas 0.735 (Reliabel) 0,686*-0,908** Valid

5 Triabilitas 0.830 ( Sangat

Reliabel)

0,664*-0,935** Valid 6 Observabilitas 0.848 (Sangat Reliabel) 0,810**-0,836** Valid 7 Frekuensi pertemuan

dengan penyuluh

0.764 (Reliabel) 0.372*-0.954** Valid

Dari hasil uji yang disajikan dalam Tabel 4, dapat diketahui bahwa semua item dalam instrumen tergolong reliabel dengan nilai 0.753 dan 0.786, serta sangat reliabel dengan nilai 0.826, 0.848 dan 0.865. Dengan demikian instrumen dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada fenomena yang sama. Pada uji validitas, diperoleh hasil bahwa pada umumnya item instrumen valid, hal ini berarti bahwa instrumen dapat mengukur apa yang akan diukur.

Analisis Data

Data dianalisis secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial untuk mendalami faktor-faktor yang memengaruhi tingkat difusi-adopsi dan memberikan penjelasan kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari kuisioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan dengan mengggunakan skoring dan pengkategorian. Pengkategorian menggunakan skala Likert, dalam skala ini dijabarkan dalam sub variabel dan indikator. Indikator ini merupakan dasar dalam penyusunan instrumen dengan Skala Likert jenjang 3 (tinggi=3, sedang=2, rendah=1)

Pengolahan data menggunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Science) dimana data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan tingkat difusi-adopsi inovasi biogas dengan statistik deskriptif dengan menampilkan distribusi frekuensi, dan persentase, (3) analisis statistik inferensial yang digunakan adalah

analisis korelasi rank Spearman. Rumus korelasi rank Spearman (rs) yaitu:

r

s= 1 -

Keterangan :

r

s = koefisien korelasi Rank Spearman

N = jumlah sampel

Gambar

Gambar 1. Alur  Berpikir Tingkat Difusi-Adopsi Inovasi Biogas oleh Peternak Sapi Perah di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Tabel 4. Populasi Rumah tangga Peternak Sapi Perah (RTPSP)
Tabel 5 Hasil uji instrumen penelitian
Tabel 7 Populasi ternak di Desa Suntenjaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rendahnya hasil belajar kognitif dalam pembelajaran IPA juga diduga disebabkan oleh faktor: (1) masih banyaknya permasalahan- permasalahan pembelajaran khususnya

Perawatan yang tidak maksimal bagi pasien dapat berakibat pada kurang efektif dan efisiennya suatu pelayanan perawatan kesehatan yang diberikan dan dapat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis : 1) karakteristik sosial dan ekonomi pedagang ikan di pasar tradisional di Kota Jambi; 2) faktor-faktor yang mempengaruhi

Dalam rangka pengembangan batik sebagai salah satu potensi ekonomi lokal di Jawa Tengah, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi Klaster Industri Batik di

Al-Razi dan Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak dokter Islam yang paling berpengaruh dalam keilmuan ini. Dengan dasar kekhasan pemikiran kedua tokoh

Pengamatan parasit juga dilakukan pada tanaman mangga, persentase parasitisme yang ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan tanaman jambu mete yaitu 66% di Tanah Sebang dan 51%

Upaya untuk mempertahankan ketinggian air antara lain membuat water zoning, memasang piezzometer, pintu air, over flow gate, pintu air parit tengah, pembuatan

Selain menekuni bisnis telur, Bob Sadino juga melirik bisnis daging ayam, yang menjadi cikal bakal berdirinya Kemchick dan Kemfood yang masih didominasi oleh orang