• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik Dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA NERITIK

DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS:

PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN

SUKABUMI, JAWA BARAT)

EVA SURYAMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

(4)

RINGKASAN

EVA SURYAMAN. Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, LUKY ADRIANTO dan LILIS SADIYAH.

Tuna neritik merupakan spesies like tuna yang terutama dominan tertangkap oleh perikanan pantai (Coastal Fisheries), termasuk small scale fisheries dan perikanan artisanal. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 107/2015 Tanggal 28 Agustus 2015 tentang RPP TCT (Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Cakalang dan Tongkol), tongkol (neritic tuna) yang dikelola dalam RPP TCT terdiri dari 4 (empat) jenis tongkol dan 2 (dua) jenis tenggiri (sheer-fish). Samudera Hindia Timur merupakan salah satu perairan produktif bagi kegiatan penangkapan ikan tuna neritik di Indonesia. Produksi perikanan tuna tersebut salah satunya didaratkan di perairan Teluk Palabuhanratu. Peningkatan aktivitas tangkapan ikan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu apabila terjadi terus menerus tanpa adanya pengelolaan yang tepat, akan mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan analisa produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility analysis (PSA) dan menganalisa peluang dan tantangan pengelolaan perikanan tuna neritik dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan perikanan berbasis ekosistem/ecosystem approach to fisheries management (EAFM).

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Mei 2016 di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Analisis produktivitas dan suseptibilitas (PSA) dan analisis peluang dan tantangan pengelolaan perikanan tuna neritik dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (EAFM) dilakukan dengan metode pengukuran langsung, wawancara dan data sekunder.

Nilai kerentanan tuna neritik berturut-turut ikan tenggiri 1.25, tongkol krai 1.37, tongkol abu-abu 0.91, tongkol komo 1.49, dan tongkol lisong 1.41. Hal ini menunjukan bahwa saat ini tingkat kerentanan ikan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu belum rentan terhadap overfishing karena nilainya masih dibawah nilai kerentanan (1.8).

Hasil evaluasi kondisi pengelolaan perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu didapatkan nilai rata rata indikator EAFM sebesar 2.0. Hal ini berarti kondisi perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu termasuk dalam kategori sedang. Strategi pengelolaan ditentukan untuk indikator sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknologi penangkapan ikan, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Langkah taktis dibuat agar dapat mengimplementasikan strategi yang telah ditetapkan

(5)

SUMMARY

EVA SURYAMAN. Neritic Tuna Fisheries Management with Ecosystem Approach (Case Study: Palabuhanratu Bay, Sukabumi, West Java). Supervised by MENNOFATRIA BOER, LUKY ADRIANTO dan LILIS SADIYAH.

Neritic tuna are mainly caught by coastal fishers, including small scale fishers and artisanal fisheries. Based on the Ministerial Decree of Marine Affairs and Fisheries No. 107/2015 regarding national tuna management plan (NTMP). The species of neritic tuna which managed in NTMP consists of bullet tuna (Auxis rochei), frigate tuna (Auxis thazard), kawakawa (Euthynnus affinis), tongkol abu-abu (Thunnus tonggol), Indo-Pacific King Mackerel (Scomberomorus guttatus) dan narrow-barred Spanish mackerel (Scomberomorus commerson). Eastern Indian Ocean is one of the most productive waters for neritic tuna in Indonesia. Palabuhanratu is one of the landing port for neritic tuna. The continuous absence of proper management for neritic tuna, will decline the fish stock. This study aims to analyze the sustainability of neritic tuna species by analyzing the productivity and susceptibility (PSA) and analyzes the opportunities and challenges neritik tuna fisheries management by conducting an assessment based on indicators of ecosystem approach to fisheries management (EAFM).

The research was conducted from February to May 2016 in Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Productivity and susceptibility analysis (PSA) and analysis of the opportunities and challenges neritic tuna fisheries management by conducting an assessment based on indicators of ecosystem-based fisheries management (EAFM) is done by direct measurement methods, interviews and secondary data.

Vulnerability indexs for narrow-barred Spanish mackerel (Scomberomorus commerson)1.25, frigate tuna (Auxis thazard) 1.37, longtail tuna (Thunnus tonggol) 0.91, kawakawa (Euthynnus affinis) 1.49, and bullet tuna (Auxis rochei) 1.41. This shows that the current level of vulnerability neritic tuna in Palabuhanratu bay not vulnerable to overfishing because its value is below the value of vulnerability (1.8).

Evaluation EAFM indicator in Palabuhanratu bay for neritic tuna management has 2.0 score. It means, the condition neritic tuna in Palabuhanratu bay is medium category. Management strategy for neritic tuna in Palabuhanratu bay consist of the strategy for fish resources, habitats and ecosystems, fishing technology, economic, social and institutional. Tactical decision made in order to implement a strategy that has been set.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA NERITIK

DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM (STUDI KASUS:

PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN

SUKABUMI, JAWA BARAT)

EVA SURYAMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Pendekatan Ekosistem (Studi Kasus: Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas beasiswa yang diberikan kepada penulis selama menempuh program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

2. Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Luky Adrianto, MSc dan Dr Lilis Sadiyah, SSi sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

3. Dr Ir Ahmad Fachrudin, MS selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

4. Dr Ir Tony Ruchimat, MSc selaku penguji luar komisi.

5. Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu beserta staf yang telah membantu selama pengambilan data.

6. Papi dan Mami tercinta, atas segala doa, kasih sayang serta semangat yang diberikan sehingga penulis dapat memperoleh gelar Magister Sains.

7. Suami tersayang R. Widi Handoko dan kedua putra tercinta (R. Naufal Taufiqulhakim dan R. Safaraz Akmal Fadil), atas segala doa dan dukungannya secara material dan moril.

8. Sahabat SPL 2014 IPB.

9. Siska Agustina, Anandinta Permatachani, Yuyun Qonita, Wulandari Sarasati, Frans, dan Habib atas support dalam proses akademik.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan penulisan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 8

Tuna Neritik 8

Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) 8

Productivity and Susceptibility Analysis 9

3 METODE 10

Waktu dan Lokasi Penelitian 10

Metode Penelitian 10

Metode Pengambilan Contoh 11

Analisis Data 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Kondisi Perikanan Tuna Neritik 20

Parameter Biologi Perikanan Tuna Neritik 28

Evaluasi Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Indikator PSA

(Productivity Susceptibility Analysis) di Perairan Teluk Palabuhanratu 31 Evaluasi Pengelolaan Perikanan Tuna Neritik dengan Indikator EAFM

(Ecosystem Approach to Fisheries Management) 35

Langkah Taktis Pengelolaan 45

5 SIMPULAN DAN SARAN 53

Simpulan 53

Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54

LAMPIRAN 60

(12)

DAFTAR TABEL

1. Estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005-2014 2 2. Perbandingan antara produksi dengan potensi pelagis besar non

tuna-cakalang pada masing-masing WPPNRI 3

3. Jenis Tuna Neritik yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap

dan PPN Prigi 7

4. Skor parameter produktivitas (productivity)a 12

5. Skor parameter keterancaman (susceptibility)a 12

6. Bobot nilai dan kualitas data dari parameter produktivitas (productivity)

dan suseptibilitas (susceptibility) 13

7. Kriteria penentuan skor skala Likert pada analisa EAFM 16

8. Batasan nilai skor dan visualisasi model bendera 19

9. Batasan nilai komposit domain dan agregat 19

10. Status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPPNRI 573 20

11. Perbandingan antara produksi dan potensi neritik tuna pada

masing-masing WPPNRI 22

12. Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu tahun 2009-2016 23

13. Klasifikasi alat tangkap berdasarkan ukuran kapal 25

14. Nilai parameter biologi tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu 27 15. Parameter pertumbuhan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu 28 16. Mortalitas dan laju eksploitasi tuna neritik di perairan Teluk

Palabuhanratu 28

17. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) tuna neritik di

beberapa perairan di Indonesia 29

18. Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) ikan tuna neritik di perairan Teluk

Palabuhanratu 29

19. Fekunditas ikan neritik tuna berdasarkan studi pustaka 29 20. Nilai parameter productivity ikan tuna neritik di perairan Teluk

Palabuhanratu 32

21. Nilai parameter susceptibility ikan tuna neritik di perairan Teluk

Palabuhanratu 33

22. Nilai kerentanan PSA neritik tuna di perairan Teluk Palabuhanratu 34 23. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain

sumberdaya ikan di perairan Teluk Palabuhanratu 37

24. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain habitat dan

ekosistem di perairan Teluk Palabuhanratu 38

25. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain teknik

penangkapan ikan di perairan Teluk Palabuhanratu 39

26. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain sosial di

perairan Teluk Palabuhanratu 41

27. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain ekonomi di

perairan Teluk Pelabuhanratu 42

28. Hasil penilaian EAFM perikanan tuna neritik dalam domain

kelembagaan di perairan Teluk Palabuhanratu 44

29. Skor rata-rata indikator dan nilai komposit domain EAFM 44

(13)

31. Langkah taktis pengelolaan domain habitat dan ekosistem 49 32. Langkah taktis pengelolaan domain teknis penangkapan ikan 50

33. Langkah taktis pengelolaan domain sosial 51

34. Langkah taktis pengelolaan domain ekonomi 51

35. Langkah taktis pengelolaan domain kelembagaan 52

DAFTAR GAMBAR

1. Trend estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005-

2014; Sumber: DJPT (2015) 2

2. Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu 2009-2016; Sumber: PPN

Palabuhanratu (2016) 3

3. Interaksi dan proses antar komponen perikanan; Sumber: Gracia dan

Cochrane (2005) 5

4. Kerangka pemikiran penelitian 7

5. Lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan tuna neritik di PPN

Palabuhanratu 10

6. Plot skor analisis PSA (Productivity Susceptibility Analysis) 13 7. Estimasi hasil tangkapan tuna neritik di 11 WPPNRI tahun 2005-2014;

Sumber: DJPT (2015) 21

8. Komposisi produksi perikanan di PPN Pelabuhanratu tahun 2014;

Sumber: PPN Palabuhanratu (2015) 21

9. Kompososi produksi ikan dominan di PPN Pelabuhanratu tahun 2014;

Sumber: PPN Palabuhanratu (2016) 22

10. Daerah penangkapan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu 23 11. Perkembangan volume produksi tuna neritik (ton); (a) tenggiri, (b)

tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol lisong tahun 2009-2016; Sumber: PPN Palabuhanratu (2016) 24 12. Perkembangan upaya penangkapan tuna neritik (trip): (a) tenggiri, (b)

tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol

lisong tahun 2009-2014; Sumber: PPN (2015) 26

13. Trend CPUE tuna neritik tahun 2009-2014 27

14. Kurva sebaran panjang ikan tenggiri 30

15. Kurva sebaran panjang ikan tongkol krai 30

16. Kurva sebaran panjang ikan tongkol Abu-abu 31

17. Kurva sebaran panjang ikan tongkol Komo 31

18. Kurva sebaran panjang ikan tongkol Lisong 31

19. Grafik analisis Produktivitas dan suseptibilitas 35

20. Rata-rata ukuran panjang (kelompok ukuran) tuna neritik di perairan

Teluk Palabuhanratu 36

21. Trajectory plan untuk penyempurnaan rencana aksi pengelolaan

perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu 47

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Spesies tuna neritik yang teridentifikasi di PPN Palabuhanratu 61

2. Kebutuhan data productivity untuk analisis PSAa, b 62

3. Kebutuhan data susceptibility untuk analisis PSAc 63

4. Kebutuhan data dalam analisis EAFM 64

5. Responden kuisioner indikator EAFM pelaku utama nelayan 68 6. Responden kuisioner indikator EAFM pelaku utama non nelayan 70

7. Kuisioner EAFM untuk pelaku utama nelayan 71

8. Sebaran frekuensi panjang ikan tuna neritik 76

9. Kelompok ukuran yang teridentifikasi menggunakan metode

NORMSEP (normal separation) pada program FISAT II 77

10. Grafik probability of capture ikan tenggiri (a), tingkol krai (b), tongkol

abu-abu(c), tongkol komo (d), dan tongkol lisong (e) 78

11. Pendugaan parameter biologi dengan algoritma fox (contoh: tongkol

lisong) 79

12. Penentuan bobot, skor, dan kualitas data dalam analisis PSA 80 13. Pemberian bobot indikator dalam domain Sumber Daya Ikan (SDI) 85 14. Pemberian bobot indikator dalam domain habitat dan ekosistem 89 15. Pemberian bobot indikator dalam domain teknis penangkapan ikan 91

16. Pemberian bobot indikator dalam domain sosial 94

17. Pemberian bobot indikator dalam domain ekonomi 95

18. Pemberian bobot indikator dalam domain kelembagaan 96

19. Perhitungan trajectory plan untuk penyempurnaan rencana aksi pengelolaan perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu 99

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memegang peranan penting dalam perikanan tuna, cakalang, dan tongkol. Produksi tuna, cakalang, dan tongkol dunia tahun 2011 diperkirakan 6.8 juta ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Indonesia memasok 16% produksi tuna, cakalang, dan tongkol dunia pada tahun 2005-2012 (sekitar 1.1 juta ton), sehingga memiliki peranan yang penting dalam melakukan pengelolaan sumber daya tuna, cakalang, dan tongkol (KepMen KP No 107/2015). Berdasarkan KEPMEN No. 47 tahun 2016 potensi ikan pelagis besar (non tuna cakalang) di Indonesia yang didalamnya terdapat potensi tuna neritik, sekitar 2.5 juta ton/tahun. Pengelolaan sumber daya ikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diadopsi dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (FAO 1995). Berdasarkan Article 6.2 CCRF pengelolaan perikanan yang bertanggung-jawab (responsible fisheries management) harus menjamin kualitas, keaneka-ragaman dan ketersediaan sumberdaya ikan dalam jumlah yang cukup, untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang, guna mewujudkan ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, berdasarkan Pasal 1 butir (7) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, ditetapkan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati.

Tuna neritik yang dikelola dalam Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Cakalang Tongkol (RPP TCT) terdiri dari 4 (empat) jenis tongkol dan 2 (dua) jenis tenggiri (sheer-fish). Jenis tongkol mencakup lisong (Auxis rochei), tongkol krai (Auxis thazard), tongkol komo (Euthynnus affinis), tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) sedangkan sheer fish mencakup tenggiri papan (Scomberomorus guttatus) dan tenggiri (Scomberomorus commerson). Keenam jenis tuna neritik (neritic tuna) umumnya tertangkap pada 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) baik perairan Kepulauan Indonesia, laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Adapun estimasi jumlah produksi nasional tahun 2005-2014 rata-rata sebesar 573 495.5 ton/tahun, dengan rincian seperti pada Tabel 1 (KepMen KP No. 107/2015).

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa produksi rata-rata tahun 2005-2014 untuk tongkol krai, lisong, tenggiri, dan tenggiri papan cenderung mengalami peningkatan, sedangkan tongkol abu-abu, dan tongkol komo cenderung mengalami penurunan produksi (Gambar 1). Berdasarkan jumlah produksi, tuna neritik didominasi oleh produksi tongkol komo, tongkol krai, dan tenggiri.

(16)

2

Tuna neritik berdasarkan klasifikasi dalam data statistik perikanan termasuk dalam pelagis besar.

Tabel 1 Estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005-2014

Tahun

Estimasi hasil tangkapan (ton)

Tongkol abu-abu Tongkol komo Tongkol krai Lisong Tenggiri Tenggiri papan 2005 121 792 86 459 130 181 17 131 225 22 903 2006 95 325 118 470 115 111 553 114 214 23 081 2007 145 587 143 101 134 593 3 712 115 424 28 928 2008 133 562 187 966 134 744 3 604 126 985 24 505 2009 114 863 154 487 148 663 5 340 120 997 24 721 2010 112 556 141 190 132 733 3 643 140 277 23 927 2011 117 783 145 838 143 541 7 395 132 705 18 731 2012 84 022 172 740 158 001 14 661 141 557 17 018 2013 70 842 153 193 192 943 25 983 151 628 17 259 2014 55 589 208 522 204 491 32 849 165 808 36 417 Rata-rata 105 192 151 197 149 500 9776 134 082 23 749 Sumber: DJPT (2015)

Gambar 1 Trend estimasi produksi tuna neritik pada 11 WPPNRI tahun 2005- 2014; Sumber: DJPT (2015)

(17)

3 ekonomis tinggi atau diistilahkan sebagai by product pada perikanan payang (pelagic danish seine), pukat cincin (purse seine), jaring insang hanyut (drifting gillnet), huhate (pole and line), dan pancing ulur (hand lines). Produksi tuna neritik yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terdiri dari tenggiri, tongkol abu-abu, tongkol komo, tongkol krai, tongkol lisong. Perkembangan produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 berfluktuatif dengan hasil produksi tertinggi adalah ikan tongkol lisong. Produksi tuna neritik pada tahun 2009-2014 disajikan pada Gambar 2.

Tabel 2 Perbandingan antara produksi dengan potensi pelagis besar non tuna-cakalang pada masing-masing WPPNRI

Sumber: DJPT (2015); KepMen KP No 47/2016

Gambar 2 Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu 2009-2016; Sumber: PPN Palabuhanratu (2016)

WPPNRI 571 572 573 711 712 713 714 715 716 717 2005 23 417 50 786 66 256 113 441 65 708 43 278 37 047 41 326 32 392 6 432 2006 21 226 69 303 52 015 79 514 57 507 58 757 45 568 46 008 13 724 6 816 2007 42 513 67 818 68 216 78 046 65 982 75 009 59 334 56 239 24 670 8 145 2008 41 920 82 835 73 479 88 101 61 019 82 907 68 150 61 569 27 120 10 985 2009 43 089 71 934 84 662 83 592 59 576 60 959 49 592 45 855 34 670 20 266 2010 35 325 74 557 64 194 76 231 63 413 62 851 47 361 56 709 43 003 17 576 2011 37 210 75 556 81 668 80 875 70 365 54 575 61 097 49 623 24 985 15 603 2012 37 526 84 820 76 013 79 130 74 053 59 895 56 331 53 800 29 075 18 805 2013 30 727 92 236 75 924 81 212 74 902 72 056 61 569 53 736 30 706 19 486 2014 30 301 79 603 69 353 108 210 111 220 74 762 65 916 75 088 46 809 21 811 Potensi

pelagis besar

101 969 364 830 505 942 198 994 104 017 419 342 43 062 51 394 154 329 56 067

Produksi rata-rata 2005-2014

34 325.4 74 944.8 71 178 86 835.2 70 3745 64 504.9 55 196.5 53 995.3 30 715.4 14 592.5

Tingkat pemanfaatan

(18)

4

Peningkatan aktivitas tangkapan ikan tuna neritik di kawasan Samudera Hindia apabila terjadi terus menerus tanpa adanya pengelolaan yang tepat, akan mengakibatkan terjadinya penurunan stok sumber daya ikan. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, dimana dalam mempertimbangkan kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial, ekonomi masyarakat harus sebanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan harus terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting.

Perumusan Masalah

Permintaan pasar lokal yang tinggi pada komoditas ini berdampak pada intensitas penangkapan yang semakin meningkat. Isu nasional dalam RPP TCT (KepMen KP No 107/2015) meliputi akses terbuka (open access), estimasi tingkat pemanfaatan neritik tuna dan penetapan key indicators, tindakan konservasi dan pengelolaan sumber daya tuna neritik yang belum memadai (Inadequate management of neritic tuna resources), kurangnya pemahaman terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan tuna neritik (Inadequate understanding of management and conservation measures), dampak negatif perubahan iklim terhadap stok sumber daya tuna neritik (negative impact of climate change to changes of neritic tuna stocks), kurangnya data dan informasi (Insufficient data/information), dampak negatif kegiatan perikanan tuna neritik terhadap ekosistem laut (negative impacts of neritic tuna fisheries to marine ecosystem), dan perlindungan habitat ikan untuk mendukung penguatan (enhancement) sumber daya tongkol dan tenggiri (neritic tuna).

(19)

5 Berdasarkan isu nasional tersebut maka diperlukan suatu pengelolaan yang tepat untuk pengelolaan tuna neritik dengan tujuan agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat tetap berjalan namun kelestarian sumber daya juga tetap terjaga. Perairan Indonesia merupakan ekosistem yang kompleks (perairan tropis), sehingga pengelolaan tersebut harus memperhatikan interaksi antar komponen lain dalam ekosistem. Gracia dan Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas sumberdaya sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting (Gambar 3).

Gambar 3 Interaksi dan proses antar komponen perikanan; Sumber: Gracia dan Cochrane (2005)

Gambar 3 menunjukkan bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem dalam pengelolaan menjadi sangat penting. Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan perikanan. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan analisa produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility analysis (PSA)?

(20)

6

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pengelolaan perikanan tuna neritik menggunakan penilaian indikator ekosistem adalah:

1. Menganalisa keberlanjutan spesies tuna neritik dengan melakukan analisa produktivitas dan suseptibilitas/productivity and susceptibility analysis (PSA).

2. Menganalisa peluang dan tantangan pengelolaan perikanan neritik tuna dengan melakukan penilaian berdasarkan indikator pengelolaan perikanan berbasis ekosistem/ecosystem approach to fisheries management (EAFM).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian pengelolaan perikanan tuna neritik menggunakan penilaian indikator ekosistem di perairan Teluk Palabuhanratu adalah menjadi bahan masukan untuk pemerintah pusat dan daerah, khususnya untuk memanfaatkan sumber daya perikanan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan perikanan tuna neritik secara berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

7 Tabel 3 Jenis Tuna Neritik yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap

dan PPN Prigi Neritik Tuna

(KepMenKP No. 107/2015)

PPN Palabuhanratu

PPS Cilacap

PPN Prigi

Lisong (Auxis rochei) √ √ √

Tongkol krai (Auxis thazard) √ √ √

Tongkol komo (Euthynnus affinis) √ √

Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) √

Tenggiri (Scomberomorus commerson) √ √

Dalam penelitian pengelolaan tuna neritik ini dilakukan penilaian PSA terhadap susceptibility (dimana dampak ekologi berasal dari kegiatan penangkapan, potensi sumberdaya ikan terkena dampak kegiatan penangkapan) dan productivity (suatu kondisi dimana unit stok dapat kembali pulih setelah mengalami deplesi atau kerusakan akibat kegiatan penangkapan) serta penilaian terhadap beberapa indikator ekosistem yang terkait dalam pengelolaan perikanan tuna neritik. Penilaian indikator meliputi 6 (enam) domain yang akan diteliti dan dianalisa guna mengetahui tingkat pengelolaan perikanan tuna neritik yaitu sumberdaya ikan, habitat, teknis penangkapan ikan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian

Kondisi perikanan tuna neritik

Analisa Produktivitas dan Suseptibilitas (productivity and

susceptibility) tuna neritik

Analisa EAFM (ecosystem approach to fisheries

management)

Sumberdaya ikan

Habitat dan ekosistem

Teknik penang- kapan ikan

Ekonomi Sosial Kelembagaan

Domain Parameter

Produktivitas Suseptibilitas

Langkah taktis pengelolaan (Tactical decision)

(22)

8

2

TINJAUAN PUSTAKA

Tuna Neritik

Tuna neritik merupakan spesies tuna kecil yang dominan diusahakan oleh jenis alat tangkap perikanan pantai (Coastal Fisheries) dan merupakan tergolong perikanan skala kecil (small scale fisheries). Umumnya neritik tuna tertangkap di wilayah ZEE (IOTC 2015). Tuna neritik yang dikelola IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) terdiri dari longtail tuna (Thunnus tonggol), narrow-barred Spanish mackerel (Scomberomorus commerson), bullet tuna (Auxis rochei), frigate tuna (Auxis thazard), kawakawa (Euthynnus affinis), Indo-Pacific king mackerel (Scomberomorus guttatus) (Herrera dan Pierre 2009).

Menurut Fauziyah et al. (2010), school atau kawanan merupakan struktur paling penting dalam kehidupan beberapa populasi ikan pelagis. Untuk alasan tersebut maka ikan pelagis tidak dapat hidup sendiri namun manusia memanfaatkan schooling untuk menangkap ikan dalam jumlah yang banyak karena ikan dalam kondisi berkelompok nilai kepadatannya akan berbeda dibandingkan jika dalam kondisi scatter atau terpencar. Pembentukan kelompok pada ikan dipengaruhi oleh tingkah laku migrasi ikan dalam kolom perairan, sehingga tujuan pengelolaan dan pendugaan stok ikan secara praktis, informasi mengenai karakteristik migrasi sangatlah penting. Ikan pelagis besar menyebar di perairan yang relatif dalam, bersalinitas tinggi, kecuali ikan tongkol yang sifatnya lebih kosmopolitan dapat hidup di perairan yang relatif dangkal dan bersalinitas lebih rendah (Nelwan 2004).

Tongkol Komo (Euthynnus affinis) merupakan ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat dan pemakan daging (Chodijah et al. 2013). Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) adalah spesises dominan neritik yang menghindari perairan yang sangat keruh dan berada pada daerah yang bersalinitas rendah seperti muara (Sharma 2012). Tongkol krai (Auxis thazard) adalah spesies yang beruaya ke seluruh dunia melalui semua laut tropis dan sub tropis (Status of Fisheries Resources in NSW 2008/2009). Lisong (Auxis rochei) merupakan spesies yang terkecil di antara semua spesies tuna di dunia, merupakan ikan epipelagik dan mesopelagik dengan distribusi ke seluruh dunia di perairan tropis dan subtropis melalui distribusi coastal musiman di daerah beriklim sedang dan tropis (Uchida 1981; Collete 1986). Tenggiri (Scomberomorus commerson) merupakan ikan pelagis, top predator yang ditemukan di seluruh perairan laut tropis di Pasifik Indo-Barat. Juvenil mendiami daerah perairan pantai yang dangkal sedangkan tenggiri dewasa ditemukan di perairan pesisir landas kontinen (IOTC-2011-SC14-18[E]). Indo-Pasifik King Makarel (Scomberomorus guttatus) adalah salah satu spesies ikan pelagis penting di Indonesia yang keberadaannya tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (Zarochman 2012).

Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)

(23)

9 abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.

Pikitch et al. (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah arahan baru pengelolaan perikanan di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem dan bukan spesies target. Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, khususnya menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (fisheries management functions) (Adrianto 2010). Implementasi EAFM mempunyai dua dimensi, yaitu vertikal (aplikasi EAFM) dan horisontal (integrasi perikanan dengan sektor lain dalam kerangka kerja pengelolaan secara holistik (Bianchi et al. 2008).

Ecosystem-based fisheries management (EBFM) menyadari adanya efek penangkapan ikan terhadap aspek lain ekosistem laut selain dampak langsung terhadap kehidupan sumberdaya laut (Link 2010). Ecosystem-based fishery management merupakan pendekatan yang holistik terhadap alokasi sumberdaya dan management (Larkin 1996). Tantangan kunci dalam pengembangan scientific tool dalam EBFM adalah kurangnya data dan pemahaman mengenai dampak ekologis yang lebih luas khususnya terhadap perikanan (Leslie et al. 2008). Salah satu response terhadap hal ini yaitu diadopsinya metode risk-based assessment, terutama ecological risk assessment (kajian resiko ekologi) (Hobday et al. 2011). Kajian resiko ekologi/ecological risk assessment (ERA), juga dikenal sebagai analisis produktivitas dan suseptibilitas/Productivity and Susceptibility Analysis (PSA), merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok (Triharyuni et al. 2013).

Productivity and Susceptibility Analysis

Analisa produktivitas dan suseptibilitas (PSA) pertama kali dikembangkan untuk mengklasifikasi perbedaan keberlanjutan bycatch pada perikanan udang Australian prawn (Stobutzki et al. 2002). Metoda ini mengurutkan keberlangsungan relatif setiap spesies terhadap keterancaman (susceptibility) dan pemulihan (recovery) (Stobutzki et al. 2001; Stobutzki et al. 2002), dengan mengkaji atribut biological spesies. Menurut Apel (2012), PSA digunakan dalam penilaian resiko atau kerentanan suatu stok ikan terhadap tekanan kegiatan penangkapan berdasarkan produktivitas biologinya dan keterancaman stok ikan tersebut terhadap penangkapan.

(24)

10

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pengambilan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2016. Lokasi pengambilan data primer adalah tempat pendaratan ikan tuna neritik di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi pengambilan data primer dan sekunder ditunjukan pada Gambar 5.

Gambar 5 Lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan tuna neritik di PPN Palabuhanratu

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah metode penelitian yang bersifat induktif dan lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap suatu fenomena. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena dijabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan memberikan simbol angka yang berbeda-beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan simbol-simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat dilakukan, sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang berlaku umum di dalam suatu parameter.

(25)

11 wawancara, pengisian kuisioner atau eksperimen. Hasil perlakukan tersebut kemudian diolah secara statistik dan menghasilkan hasil penelitian berupa angka-angka. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Pemilihan responden melalui purposive sampling yaitu penetapan responden secara sengaja oleh peneliti dengan kriteria atau pertimbangan (Faisal 2010).

Menurut Sitorus (1998) data kualitatif merupakan data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati dan data kualititatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan, dan bahan tertulis.

Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh dilakukan melalui pengambilan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data sumber daya ikan, wawancara, dan kuesioner. Data sumber daya ikan yaitu panjang total (cm), bobot (gram). Pengambilan data dilakukan selama tiga bulan dengan contoh diamati dengan contoh yang diamati ± 30 ekor/spesies. Wawancara dilakukan secara terstruktur menggunakan daftar kuesioner. Boer (2008) menyatakan bahwa, wawancara dilakukan secara mendalam (indepth interview), adapun pengambilan contoh/sampel dilakukan secara stratifikasi, yang dilakukan pada beberapa lapisan, atau pelapisan melalui pembedaan tertentu, misalnya berdasarkan kedalaman atau kelas panjang ikan. Penentuan responden menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah responden 30-50 orang. Data sekunder didapatkan dari publikasi dan dokumentasi yang bersumber dari instansi atau dinas terkait diantaranya PPN Palabuhanratu, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, dan data statistik perikanan Indonesia berupa data produksi per jenis ikan dan upaya penangkapan (armada penangkapan, jumlah trip/alat tangkap, jumlah hari melaut, dan jumlah nelayan) selama 6 tahun terakhir (2009-2014).

Analisis Data

PSA (Productivity and Susceptibility Analysis)

Analisis produktivitas kerentanan/ Productivity and Susceptibility Analysis (PSA) merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kerentanan stok. Menurut Patrick et al. (2010) PSA merupakan metode fleksibel pengelompokan data dalam menguraikan permasalahan perikanan yang komplek yang membantu dalam menentukan solusi pengelolaan perikanan. Kebutuhan data dalam analisis PSA disajikan pada Lampiran 2 dan 3.

(26)

12

Tahapan analisis produktivitas dan suseptibilitas semua jenis spesies ikan diawali dengan mengisi basis data dalam format excel. Kemudian memasukan data serta pengelompokan parameter yang telah di ukur. Kesimpulan didapat melalui penilaian setelah pengelompokan sesuai dengan skor yang ada. Adapun bobot dan kualitas parameter produktivtas dan suseptibilitas dapat dilihat pada

Tabel 6 dan analisis PSA disajikan seperti pada Gambar 6.

Tabel 4 Skor parameter produktivitas (productivity)a

Parameter r (intrinsic growth) >0.5 0.16-0.5 <0.16

Maximum age (tahun) < 10 10-30 >30

Maximum size(cm) <60 60-150 >150

K (Growth Coefficient) >0.25 0.15-0.25 <0.15 M (Natural Mortality) >0.40 0.20-0.40 <0.20

Fecundity >104 102-103 <102

Reproductive strategyb Broadcast spawner Demersal egg Live bearer (and birds)

Recruitment pattern >75% 10-75% <10%

Age at Maturity (tahun) <2 2-4 >4

Mean Tropic level <2.5 2.5-3.5 >3.5

a

Sumber: Modifikasi Patrick et al. (2010) ; b Hobday et al. (2011).

Tabel 5 Skor parameter keterancaman (susceptibility)a Parameter Susceptibility Rendah

(low, skor=1)

Seasonal migration Hasil tangkapan ikan menurun

Tidak berpengaruh Hasil tangkapan ikan meningkat Schooling and aggregation Tingkah laku ikan

dapat menurunkan hasil tangkapan ikan.

Tingkah laku ikan dapat tidak

Selektif Tidak berpengaruh Tidak selektif

Desirability/Value of the Fishery

Nilai ekonomi rendah Nilai ekonomi sedang

Ekonomis penting Management strategy Ada aturan

pemerintah tentang pembatasan hasil tangkapan ikan

Ada aturan tentang pembatasan hasil tangkapan ikan di masyarakat

Fishing Mortality (in relation to M)

<0.5 0.5-1.0 >1

Survival after Capture >67 % 33 % - 67 % <33 % Fishery impact on habitat Tidak merusak

habitat

(27)

13 Tabel 6 Bobot nilai dan kualitas data dari parameter produktivitas (productivity)

dan suseptibilitas (susceptibility)

Bobot nilai Bobot nilai menunjukan nilai kepentingan dari setiap parameter.

0 = Tidak penting 1 = Kurang penting 2 = Penting 3 = Lebih penting 4 = Sangat penting

Atribut Skor Dibagi berdasar dua parameter, Produktivitas

1 = Tinggi 2 = Sedang 3 = Rendah

Suseptabilitas 1 = Rendah 2 = Sedang 3 = Tinggi Kualitas Data Berkisar antara 1-5

1 = Data banyak dan lengkap

2 = Data terbatas (temporal dan spasial) 3 = Data dari genus atau family yang sama

4=Data baru bersifat informasi yang belum terpublikasi 5 = Tidak ada data

Gambar 6 Plot skor analisis PSA (Productivity Susceptibility Analysis)

(28)

14

Identifikasi Kelompok Ukuran

Identifikasi kelompok ukuran dilakukan dengan analisis data frekuensi panjang melalui metode ELEFAN 1 dalam paket program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) untuk menentukan sebaran normalnya. Data panjang total ikan dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga kelas panjang ke-I memiliki frekuensi (fi). Menurut Boer (1996) jika fi adalah

frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-I (i= 1,2,…,N), µj adalah rata-rata panjang

kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j, dan

pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j=1,2,..,G), maka fungsi

objektif yang digunakan untuk menduga

 ˆ ˆ ˆj, j,pj

, j=1,2,...,G (G = banyaknya sebaran normal yang bercampur) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likehood function):

1 1

simpangan baku σj, xi merupakan titik tengah kelas panjang ke-i, untuk menduga

 ˆ ˆ ˆj, j,pj

yang digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, dan pj.

Pendugaan Parameter Pertumbuhan (L∞, K, dan t0)

Koefisien pertumbuhan (K) dan L dapat diduga dengan menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) :

Lt=L∞[1-e -K(t-t0) ] (3)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang

maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Nilai L, K, dan t0 didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode Non Parametrik Scoring of von Bertalanffy Growth Function melalui Software ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analysis) yang terintegrasi dalam program FISAT II).

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Menurut Sparre dan Venema 1999 parameter mortalitas meliputi mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), dan mortalitas total (Z). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

lnC (LI+L2)

∆t L1,L2 = h – Z t( L1+L2)

(29)

15 Persamaan (2) diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y=b0+b1x, dengan y= ln C (LI+L2)∆t L1,L2 sebagai ordinat, x = (L1+L2)2 ) sebagai absis, dan Z =-b1.

Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

M = exp (-0.0152 –0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T) (5) M adalah mortalitas alami (per tahun), dan T adalah suhu rata-rata perairan (°C). Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui hubungan:

F = Z – M (6)

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan F dengan Z sebagai berikut:

E= FZ (7)

F adalah laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z adalah laju mortalitas total (per tahun), dan E adalah tingkat eksploitasi.

Productivity and Susceptibility Analysis (PSA)

Menurut Robinson (2016) nilai produktivitas dan suseptibilitas didapatkan dari: ∑ (bobot x skor)/ ∑ (bobot). Kerentanan (vulnerability) dianalisis dengan menggunakan software PSA dari NOAA Fisheries Toolbox Version 3.1. Menurut Ormseth dan Paul (2011) rumus yang digunakan dalam menghitung nilai kerentanan (vulnerability) adalah sebagai berikut:

v=√(p-3)2+(s-1)2 (8)

v adalah kerentanan (vulnerability), p adalah produktivitas (productivity), s adalah suseptibilitas (susceptibility). Stok ikan dikategorikan sudah rentan di alam jika nilai kerentanannya (v) ≥ 1.8 (Patrick et al. 2010).

EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management)

EAFM sebagai sebuah arahan baru pengelolaan perikanan di mana prioritas pengelolaan dimulai dari ekosistem dan bukan spesies target. EAFM dilakukan dengan pendekatan mekanistik linier dimulai dengan pelingkupan, penentuan masalah strategis, identifikasi indikator, perencanaan perikanan, implementasi dan evaluasi (KKP 2014). Kebutuhan data dalam analisis EAFM disajikan dalam Lampiran 4.

(30)

16

Tabel 7 Kriteria penentuan skor skala Likert pada analisa EAFM

INDIKATOR KRITERIA

Domain Sumber Daya Ikan

1. CPUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)

2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat

2. Tren ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap

semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi spesies hasil tangkapan 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)

2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)

3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 1 = semakin sulit, tergantung spesies target 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target

2 = fishing ground jauh, tergantung spesies target 3 = fishing ground relatif tetap jaraknya,

tergantung spesies target

6. Spesies ETP 1 = terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi

tidak dilepas;

2 = tertangkap tetapi dilepas

3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap B. Domain Habitat dan Ekosistem Perairan

1. Kualitas perairan 1 = tercemar;

2 = tercemar sedang; 3 = tidak tercemar

2. Habitat unik/khusus 1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2 = diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak

dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

3. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat State of knowledge level :

1 = belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2 = diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi.

C. Domain Teknologi Penangkapan Ikan

1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun

3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm

penangkapan 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm

(31)

17

Tabel 7 Kriteria Penentuan Skor Skala Likert pada Analisa EAFM (lanjutan)

INDIKATOR KRITERIA

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;

Capacity and Effort) 2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1

4. Selektivitas penangkapan 1 = rendah (> 75%) ;

2 = sedang (50-75%) ;

3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak

sesuai dengan dokumen legal);

3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

D. Domain Ekonomi

1. Kepemilikan Aset 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%);

2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) 1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

3. Rasio Tabungan (Saving ratio) 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

E. Domain Sosial

1. Partisipasi pemangku kepentingan 1 = < 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %

2. Konflik perikanan 1 = lebih dari 5 kali/tahun;

2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan

F. Dimensi Kelembagaan

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

Non formal

1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3 = tidak ada informasi pelanggaran

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan 1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain;

2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain;

3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain

(32)

18

Tabel 7. Kriteria Penentuan Skor Skala Likert pada Analisa EAFM (lanjutan)

INDIKATOR KRITERIA

4. Rencana pengelolaan perikanan 1 = belum ada RPP;

2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

6. Kapasitas pemangku kepentingan 1 = tidak ada peningkatan;

2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai

dengan fungsi pekerjaannya)

Teknik Flag Modelling

Teknik flag modelling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit (Adrianto et al. 2005), dengan tahapan mengacu pada KKP (2014):

1. Menentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem perairan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan);

2. Kaji keragaan masing-masing unit perikanan untuk setiap indikator yang diuji baik menggunakan sumber primer atau sekunder sesuai dengan tingkat ketersediaan data yang terbaik;

3. Menetapkan batasan nilai (reference point). Batasan dari setiap nilai atribut berbeda-beda. Karena setiap atribut dalam satu domain memiliki satuan yang berbeda beda. Namun demikian setiap nilai yang berbeda akan digabungkan dalam suatu penilaian yang sama yaitu skoring. 4. Berikan nilai skor (nsij) untuk setiap indikator ke-i domain ke-j pada

masing masing unit perikanan yang diukur dengan menggunakan skor Likert (berbasis ordinal 1,2,3) sesuai dengan keragaan pada setiap unit perikanan yang diuji dan kriteria yang telah ditetapkan untuk masing-masing domain (Dj);

(33)

19 (rendah). Begitu juga sebaliknya jika skor atributnya lebih dari standar yang ditetapkan, maka tergolong sebagai parameter yang kontribusi tinggi/baik dengan hijau. Batasan nilai skor dapat dilihat pada tabel 8. 6. Menentukan nilai komposit suatu domain yang merupakan rata rata nilai

skor dalam suatu domain.

7. Menentukan nilai status implementasi EAFM dengan cara menjumlahkan nilai setiap domain kemudian dibagi jumlah domain, dengan batasan nilai dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 8 Batasan nilai skor dan visualisasi model bendera

Nilai skor Deskripsi/Keterangan Model Bendera

1 Kurang

2 Sedang

3 Baik

Sumber: modifikasi KKP (2014)

Tabel 9 Batasan nilai komposit domain dan agregat Batasan Nilai Komposit Deskripsi/Keterangan Warna

1.00-1.99 Kurang

2.00-2.99 Sedang

3.00 Baik

Sumber: modifikasi KKP (2014)

Pendekatan Keputusan Taktis

Pendekatan keputusan taktis merupakan suatu tindakan untuk menentukan langkah taktis yang dilakukan untuk mencapai rencana strategi pengelolaan. Tujuan yang ditetapkan merupakan pernyataan umum mengenai pencapaian dari pengelolaan. Spesifikasi tekanan dan referensi masing-masing dalam strategi adalah kunci hubungan antara atribut, yang mencerminkan tujuan dan taktik, yang dipantau dan dikendalikan. Hubungan antara atribut dan referensi serta hubungan antara tekanan dan taktik merupakan dasar untuk membuat rencana operasional. Kelebihan metode ini adalah dapat mengkuantifikasi respon yang ada, namun apabila terdapat keterbatasan pengetahuan, pemahaman kualitatif dalam asosiasi tersebut dapat membantu dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan (Gavaris 2009).

Tujuan Strategi Taktik

(Atribut) (Tekanan dinilai dengan reference point) (Hal yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan)

Langkah-langkah pendekatan keputusan taktis adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan pengelolaan (management objective) yang dapat dilakukan

2. Menetapkan titik acuan (reference point) 3. Menetapkan strategi yang akan dilakukan

(34)

20

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perikanan Tuna Neritik

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) secara spasial wilayah pengelolaan tersebut dibagi menjadi 11 wilayah yang terbentang dari perairan Selat Malaka hingga Laut Arafura. perairan Teluk Palabuhanratu merupakan wilayah perairan yang termasuk kedalam WPPNRI 573. WPP 573 itu sendiri terdiri dari perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.

Estimasi potensi sumberdaya perikanan disetiap WPPNRI 573 berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47/MEN/2016 tentang estimasi potensi, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumber data ikan di WPPNRI, terdiri dari 7 kelompok utama yaitu ikan pelagis kecil 294 092 ton/tahun, ikan pelagis besar (non tuna cakalang) 505 942 ton/tahun, ikan demersal 108 501 ton/tahun, ikan karang 8 778 ton/tahun, udang paneid 6 854 ton/tahun, lobster 844 ton/tahun, kepiting 465 ton/tahun, rajungan 659 ton/tahun, dan cumi-cumi 8 195 ton/tahun. Tuna neritik termasuk dalam kelom-pok pelagis besar. Tingkat pemanfaatan atau eksploitasi kelomkelom-pok sumberdaya perikanan tersebut disajikan pada Tabel 9.

Tabel 10 Status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPPNRI 573

No. Kelompok SDI Tingkat pemanfaatan Keterangan

1. Ikan pelagis kecil 0.91 Fully-exploited

2. Ikan pelagis besar* 0.78 Fully-exploited

3. Ikan demersal 0.96 Fully-exploited

4. Ikan karang 1.36 Over-exploited

5. Udang paneid 1.36 Over-exploited

6. Lobster 0.54 Fully-exploited

7. Kepiting 1.05 Over-exploited

8. Rajungan 0.64 Fully-exploited

9. Cumi-cumi 1.40 Over-exploited

*non tuna cakalang; Sumber: KepMen KP No. 47/2016

(35)

21 penurunan stok ikan dan berujung pada kondisi overfishing. Keenam jenis tuna neritik (neritic tuna) umumnya tertangkap pada 11 WPPNRI baik perairan Kepulauan Indonesia, laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Adapun estimasi jumlah produksi Nasional tahun 2005-2015 rata-rata sebesar 573 495.5 ton/tahun, dengan rincian seperti pada Gambar 7 dan perbandingan produksi setiap WPPNRI disajikan oleh Tabel 10.

Gambar 7 Estimasi hasil tangkapan tuna neritik di 11 WPPNRI tahun 2005-2014; Sumber: DJPT (2015)

Gambar 7 menunjukkan adanya kecenderungan produksi yang meningkat setiap tahun mulai dari 2005-2014. Berdasarkan data statistik perikanan Tahun 2015 yang terlihat pada Tabel 11 potensi neritik tuna terbesar berada di WPPNRI 573 yaitu sebesar 505 942 ton/tahun dimana dimana tingkat pemanfaatan tuna neritik terhadap potensi pelagi besar non tuna-cakalang sebesar 14.1%. Berdasarkan data statistik 62% produksi perikanan dari perairan Teluk Pelabuhanratu didaratkan di PPN Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu 2015). Komposisi produksi perikanan di PPN Palabuhanratu tahun 2014 disajikan oleh Gambar 8.

Gambar 8 Komposisi produksi perikanan di PPN Pelabuhanratu tahun 2014; Sumber: PPN Palabuhanratu (2015)

0 50000 100000 150000 200000 250000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

P

rod

u

k

si

(t

on

)

Tahun

Tongkol abu-abu

Tongkol komo

Tongkol krai

Lisong

Tenggiri

(36)

22

Tabel 11 Perbandingan antara produksi dan potensi neritik tuna pada masing-masing WPPNRI

Sumber: DJPT (2015); KepMen KP No 47/2016

Berdasarkan Gambar 8, produksi tertinggi di PPN Palabuhanratu adalah ikan tuna sebesar 72% (tuna albakora, madidihang, tuna mata besar, dan tuna sirip biru selatan). Ikan pelagis kecil sebesar 9% terdiri dari ikan eteman/koyo, kembung, layaran, layang, layur, pedang-pedang, sunglir, tembang, dan teri. Produksi tuna neritik merupakan produksi ketiga terbesar setelah tuna dan pelagis kecil yaitu sebesar 5% terdiri dari ikan tenggiri, tongkol krai, tongkol abu-abu, tongkol komo dan tongkol lisong dengan produksi dominan adalah tongkol lisong sebesar 381 204 ton pada tahun 2014.

Berdasarkan data statistik perikanan PPN Palabuhanratu produksi ikan dominan pada tahun 2014 terdiri dari ikan eteman, layang, layur, pedang-pedang, layaran, peperek, cucut, tenggiri, swanggi, tongkol lisong, tongkol abu-abu, tongkol krai dan tongkol komo. Presentase produksi ikan dominan tersebut disajikan oleh Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 tuna neritik yang dominan didaratkan adalah tongkol lisong (17%), tenggiri (4%), tongkol abu-abu (1%), tongkol krai (1%), dan tongkol komo (1%).

(37)

23 Daerah Penangkapan Tuna Neritik di Perairan Teluk Palabuhanratu

Pendugaan daerah penangkapan ikan tuna neritik di Palabuhanratu melalui pendekatan partisipatif dengan wawancara terhadap nelayan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan Palabuhanratu, daerah penangkapan tuna neritik ditunjukan pada Gambar 10. Daerah penangkapan tersebut masuk ke dalam wilayah perairan Teluk Palabuhanratu.

Gambar 10 Daerah penangkapan tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu Perkembangan Volume Produksi Tuna Neritik di PPN Palabuhanratu

Perkembangan volume produksi ikan-ikan tersebut tahun 2009 sampai 2014 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 menunjukkan bahwa tongkol lisong merupakan ikan tuna neritik paling dominan di Palabuhanratu dengan hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2011 sebesar 499 ton. Sedangkan produksi terendah adalah tongkol krai dengan hasil tangkapan yang kecil hanya 1-11 ton/ tahunnya. Secara umum kecenderungan produksi perikanan tongkol krai, tongkol abu-abu, tongkol komo, dan tongkol lisong mengalami penurunan. Berbeda dengan tenggiri memiliki kencedurangan yang menurun meskipun berfluktuatif (Gambar 11).

Tabel 12 Produksi tuna neritik di PPN Palabuhanratu tahun 2009-2016

Tahun

Produksi (Ton)

Tenggiri Tongkol Krai Tongkol

Abu-abu Tongkol Komo Tongkol Lisong

2009 1 1 12 15 302

2010 33 - 7 9 6

2011 40 1 49 15 499

2012 38 11 8 15 114

2013 38 1 4 60 158

2014 81 1 0 22 381

2015 94 0 - 23 282

2016 48 2 10 25 108

(38)

24

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 11. Perkembangan volume produksi tuna neritik (ton); (a) tenggiri, (b) tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol lisong tahun 2009-2016; Sumber: PPN Palabuhanratu (2016)

(39)

25 Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang didapat di wilayahnya, kemungkinan nelayan akan berpindah ke wilayah lain dimana masih terdapat ikan dalam jumlah yang melimpah.

Mengingat bahwa sumberdaya ikan di setiap WPPNRI telah menjadi sasaran penangkapan sejak lama, baik sumber daya pelagis besar, pelagis kecil, demersal, dan udang, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap status stok dan tingkat pemanfaatannya melalui pemantauan secara langsung di daerah penangkapan, pengamatan on board observer dan analisis data landing. Informasi mengenai tingkat kelimpahan suatu kelompok sumberdaya dan prediksi perkembangan laju tangkap di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tersebut dapat ditentukan melalui trend CPUE. Naik turunnya CPUE merupakan indikasi adanya faktor yang mempengaruhi stok tersebut terutama intensitas penangkapan. Perkembangan upaya penangkapan tuna neritik disajikan pada Gambar 12.

Upaya penangkapan ikan-ikan tuna neritik bervariasi menurut alat tangkap yang digunakan. Ikan tenggiri ditangkap oleh alat tangkap tuna longline, gill net, purse seine, pancing tonda, trammel net, jaring rampus, dan pancing ulur dengan alat tangkap paling dominan adalah gill net. Tongkol krai dan tongkol abu-abu, ditangkap dengan alat tangkap pancing ulur, purse seine, bagan, pancing tonda, gill net, payang, jaring rampus dan trammel net, dengan alat tangkap dominan gill net. Sedangkan ikan tongkol komo dan tongkol lisong ditangkap dengan menggunakan gill net, purse seine, pancing tonda, trammel net, payang, rampus dan pancing ulur dengan hasil tangkapan dominan oleh alat tangkap payang. Klasifikasi alat tangkap di PPN Palabuhanratu disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Klasifikasi alat tangkap berdasarkan ukuran kapal

Alat Tangkap

Perahu Motor Tempel

Kapal Motor

5-10 GT 11-20 GT 21-30 GT 31-50 GT 51-100 GT

Angk. Bagan - 64 - - - -

Payang 461 1 - - - -

Rampus/ J. Klitik 208 5 17 10 - -

Gill Net - 2 - 18 - -

Purse Seine - 2 - - - -

Pancing Tonda - 896 - - - -

Pancing Ulur 1275 - - - - -

Trammel net 300 - - - - -

(40)

26

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 12 Perkembangan upaya penangkapan tuna neritik (trip): (a) tenggiri, (b) tongkol krai, (c) tongkol abu-abu, (d) tongkol komo, dan (e) tongkol lisong tahun 2009-2014; Sumber: PPN (2015)

Perkembangan Catch per Unit Effort (CPUE) Tuna Neritik

(41)

27

Gambar 13 Trend CPUE tuna neritik tahun 2009-2014

Berdasarkan grafik pada Gambar 13 nilai CPUE kelima jenis ikan berfluaktif dari tahun ke tahun. Ikan yang memiliki nilai CPUE tinggi adalah ikan tongkol komo dan tongkol lisong. Hal ini dikarenakan produksi kedua ikan tersebut paling tinggi dibandingkan tuna neritik lainnya. CPUE ikan tenggiri mengalami peningkatan sampai tahun 2012 dan menurun di tahun selanjutnya. Secara keseluruhan nilai CPUE tuna neritik cenderung mengalami penurunan pada 2 tahun terakhir. Dalam kondisi, dimana sumberdaya melimpah, maka penambahan upaya akan memberikanan hasil tangkapan yang meningkat. Namun pada kondisi sumberdaya terdegradasi, maka penambahan upaya akan menurunkan tingkat pendapatan per unit usaha. Hal ini disebabkan meningkatnya persaingan antar alat tangkap yang melakukan penangkapan, dimana kapasitas sumberdaya tuna neritik yang terbatas dan cenderung mengalami penurunan akibat tekanan penangkapan yang terus meningkat.

Berdasarkan nilai CPUE maka dapat dianalisis parameter biologi dengan menggunakan model produksi surplus Schaefer, model ini dipilih karena merupakan model paling sederhana dan memiliki koefisien determinasi (R2) tinggi. Parameter biologi yang dianalisis terdiri dari intrinsic growth rate (r) atau tingkat pertumbuhan alami multispesies sumber daya perikanan tuna neritik, cathcability coefficient (q) atau koefisien kemampuan tangkap alat tangkap dan carrying capacity (K) atau daya dukung lingkungan perairan yang disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa tingkat pertumbuhan alami tenggiri paling tinggi dan tongkol lisong yang terendah. Hal ini menunjukkan populasi ikan tenggiri dapat lebih lebih cepat tumbuh dibandingkan spesies yang lainnya.

Tabel 14 Nilai parameter biologi tuna neritik di perairan Teluk Palabuhanratu

Jenis Ikan r (%/tahun) q

(1/unit upaya standar) K (ton/tahun)

Tenggiri 1.06 0.0006 563.35

Tongkol krai* 0.29 0.00003 15545.79

Tongkol abu-abu 0.42 0.0016 228.77

Tongkol komo 0.12 0.0003 2054.56

Tongkol lisong 0.10 0.00004 14261.75

*Kekenusa et al. (2014) 0.00

0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

2009 2010 2011 2012 2013 2014

CP

UE

(

ton

/t

rip

)

Tahun

Tenggiri Tongkol Krai Tongkol Abu-Abu

Gambar

Tabel 7 Kriteria penentuan skor  skala Likert pada analisa EAFM
Tabel 7 Kriteria Penentuan Skor  Skala Likert pada Analisa EAFM (lanjutan)
Tabel 7. Kriteria Penentuan Skor  Skala Likert pada Analisa EAFM (lanjutan)
Gambar 7 menunjukkan adanya kecenderungan produksi yang meningkat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hingga aspek data dan informasi (mis. pendataan sumber daya perikanan tuna). Jika masalah-masalah ini terus dibiarkan akan menjadi penyebab turunnya sediaan sumber daya tuna di

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan Banggai Cardinal meliputi; sebaran ukuran panjang dan berat individu, ukuran pertama kali tertangkap (Lc),

penangkapannya di PPN Palabuhanratu. 4) Morfometri adalah pengukuran panjang cagak (fork lenght) ikan tuna mata besar yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. 5) Umur adalah usia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan CPUE tahun 2011 – 2020, Maximum Sustainable Yield (MSY), panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc 50% ), laju mortalitas

Berdasarkan hasil penelitian, pendugaan rata-rata ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) ikan layur yang didaratkan di Binuangeun, Lebak-Banten dari hasil tangkapan pancing

Metode yang digunakan untuk analisis proporsi ikan yuwana (juvenile) ialah dengan membuat data komposisi (persentase) spesies yang termasuk ukuran yuwana dari hasil

1) Pelelangan yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi nelayan dan bakul dapat merasakan manfaat adanya pelelangan ikan dan retribusi

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan Banggai Cardinal meliputi; sebaran ukuran panjang dan berat individu, ukuran pertama kali tertangkap (Lc),