• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis

Jacq

.)

PADA BEBERAPA TINGKAT KEMIRINGAN LAHAN

HUTAN HARAPAN JAMBI

AMBAR MUTIARA DEWI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Ambar Mutiara Dewi

(4)
(5)

iii

ABSTRAK

AMBAR MUTIARA DEWI. Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi. Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA.

Penelitian ini dilakukan secara observasi untuk melihat pengaruh kemiringan lahan terhadap pertumbuhan kelapa sawit di Hutan Harapan Jambi. Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 hingga Maret 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor, yaitu kemiringan lahan. Lahan dikelompikkan ke dalam empat kelas kemiringan lahan, yaitu 0-3%, 3-12%, 12-25% dan 25-40%. Setiap perlakuan terdiri atas empat tanaman, sehingga total tanaman yang diamati ada 16 tanaman. Pengamatan meliputi aspek vegetatif dan ekologis tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiringan lahan tidak mempengaruhi aspek vegetatif dan ekologis tanaman kelapa sawit. Pertumbuhan daun terbaik terdapat pada kemiringan 3-12%.

Kata kunci: ekologis, intensitas cahaya, vegetatif

ABSTRACT

AMBAR MUTIARA DEWI. Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Growth at Various Gradients at Hutan Harapan Jambi. Supervised by HERDHATA AGUSTA.

The objective of this research was to evaluate the impact of land slope on growth factor of oil palm at Hutan Harapan Jambi. Research start from Desember 2012 to Maret 2013. The experiment was arranged in a randomized complete block design with one factor and, such as land slope. The existing foeld was classified according the slope degree was arranged into 0-3%, 3-12%, 12-25% and 25-40%. Four plants were selected in every slope, so there were 16 palm as sample. The observed parameters included vegetative and ecological parameters. The result of observation showed that slope didn’t affect the vegetative and ecological parameter of oil palm. The best growt of leaf were found at slope 3-12%.

(6)
(7)

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

PADA BEBERAPA TINGKAT KEMIRINGAN LAHAN

HUTAN HARAPAN JAMBI

AMBAR MUTIARA DEWI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

vii

Judul Skripsi : Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi Nama : Ambar Mutiara Dewi

NIM : A24090043

Disetujui oleh

Dr Ir Herdhata Agusta Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr Ketua Departemen

(10)
(11)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kekuatan, umur panjang, serta karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 sampai Maret 2013 ini ialah pertumbuhan tanaman, dengan judul Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Herdhata Agusta selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, arahan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada CRC990 selaku pemberi dana dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Nasution selaku pemilik lahan yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini. Terima kasih kepada Keluarga besar Mas Sukar dan Mas Roni yang telah bersedia menampung penulis dan menemani serta memberikan semangat selama penulis melakukan penelitian ini. Terima kasih kepada kedua orang tua dan adik-adik penulis serta keluarga besar yang selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis. Terima kasih kepada kak Teguh sebagai rekan penelitian yang telah membantu penulis dalam pengamatan. Terima kasih kepada Denti, Ilsa, Nurul, Erna, Aul, Tika, Munil, Catur dan keluarga besar Agronomi dan Hortikultura angkatan 46 yang telah memberi doa, dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Restu Purnama atas doa, motivasi dan waktu yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(12)
(13)

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Hipotesis Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani Kelapa Sawit 2

Syarat Tumbuh Kelapa Sawit 3

Topografi 4

Kemiringan Lereng 4

METODE 5 Bahan dan Alat 5 Lokasi dan Waktu Penelitian 5 Prosedur Penelitian 5

Prosedur Analisis Data 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Kondisi Umum 7 Pelepah Kelapa Sawit pada Berbagai Kemiringan Lahan 7 Kemiringan dan Tinggi Pohon pada Berbagai Kemiringan Lahan 9 Warna Daun 10

Lolosan Intensitas Cahaya Tajuk pada Berbagai Kemiringan Lahan 11

Analisis Vegetasi Gulma 13

Penutupan Tanah pada Berbagai Kemiringan Lahan 15

SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 16 LAMPIRAN 19

(14)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi kelas kemiringan lahan 4

2 Data curah hujan dan jumlah hari hujan wilayah Hutan Harapan Jambi Desa Singkawang Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi pada bulan Desember 2012–Februari 2013 7

3 Rata-rata jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun yang

ditanam pada 4 kemiringan lahan (%) 8

4 Rata-rata kemiringan dan tinggi pohon yang ditanam pada 4 kemiringan

lahan (%) 9

5 Rata-rata nilai parameter daun kelapa sawit yang ditanam pada 4

kemiringan lahan (%) 10

6 Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) gulma pada 4 kemiringan lahan (%) 14

7 Rata-rata % penutpan permukaan tanah oleh gulma pada 4 kemiringan

lahan (%) 15

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi kemiringan lahan kebun kelapa sawit 8

2 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 3-12% 12

3 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 12-25% 12

4 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 25-40% 12

5 Lolosan intensitas cahaya tajuk berdasarkan jarak (m) dan kemiringan

lahan (%) 13

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit memiliki peranan penting bagi perkekonomian nasional, terutama menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan Negara (Herman dan Pranowo 2009). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2009 mencapai 7.5 juta ha dan merupakan perkebunan kelapa sawit yang terluas di dunia. Demikian pula produksi minyak sawit Indonesia tahun 2009 mencapai 21.5 juta ton dan menduduki posisi pertama di dunia (Ditjenbun 2013).

Tingkat produksi yang dicapai dari suatu kebun kelapa sawit merupakan hasil interaksi antara faktor potensi genetik varietas tanaman, lingkungan tempat tumbuhnya, dan pengelolaan dalam budidayanya. Produksi tinggi akan dicapai jika digunakan varietas sawit unggul dan ditanam di lokasi yang paling sesuai dengan menerapkan pengelolaan yang baik (Syakir 2010).

Kelapa sawit merupakan tanaman tropik yang ditanam sebagai tanaman industri. Kelapa sawit memerlukan curah hujan yang tinggi dan merata serta suhu yang tinggi untuk pertumbuhan dan produksi optimal. Kondisi tanah harus dalam dan drainase baik (Verheye 2011). Curah hujan rata – rata yang diperlukan kelapa sawit adalah 2000 – 2500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan (Fauzi et al 2006).

Budi daya pengembangan perkebunan kelapa sawit sangat erat kaitannya dengan daya dukung lahan sebagai media tanam (Krisnohadi 2011). Lahan miring memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah akibat erosi, seperti turunnya kandungan bahan organik tanah yang diikuti dengan berkurangnya kandungan unsur hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Tanah – tanah yang mengalami erosi berat umunya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi sebagai akibat terkikisnya lapisan atas tanah yang lebih gembur (Yahya et al. 2010)

Kondisi fisik lahan seperti diuraikan di atas pada gilirannya menurunkan laju pertumbuhan dan produksi tanaman termasuk kelapa sawit (Harahap 2001). Fenomena tersebut cukup banyak terjadi pada lahan perkebunan kelapa sawit yang telah menghasilkan (Pambudi dan Hermawan 2010). Lahan curam menghasilkan populasi tanaman per hektar lebih sedikit. Kemiringan optimal kurang dari 23% (12°) dan tidak disarankan lebih dari 38% (20°) (Syakir 2010).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kemiringan lahan terhadap pertumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada lahan perkebunan kelapa sawit yang telah menghasilkan (TM8)

Hipotesis Penelitian

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yaitu batangnya tidak mempunyai kambium dan tidak bercabang. Batangnya lurus, berbentuk bulat panjang dengan diameter 25-75 cm (Sunarko 2007). Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Tanaman yang masih muda batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan tinggi batang terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang bertambah 25-45 cm/th. Pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100 cm/th jika kondisi lingkungan sesuai. Tinggi maksimum yang ditanam di perkebunan antara 15 sampai 18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m. pertumbuhan batang tergantung pada jenis jenis tanaman, kesuburan lahan, dan iklim setempat (Wardiana et al. 2003).

Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penunjang struktur batang, menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat respirasi. Sistem perakaran tanaman kelapa sawit merupakan sistem akar serabut. Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuartener. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Kelapa sawit juga memiliki akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Akar primer tertier dan kuarter merupakan bagian akar yang paling dekat dengan permukaan tanah. Kedua akar ini paling banyak ditemukan pada 2-2.5 m dari pangkal batang dan sebagian besar berada di luar piringan (Wardiana et al. 2003).

Daun kelapa sawit mirip daun kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai 7.59 m. Jumlah anak daun di setiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Produksi daun tergantung iklim setempat. Di Sumatera Utara produksi daun dapat mencapai 20-24 helai/tahun. Umur daun mulai terbentuk sampai tua sekitar 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua (Wardiana et al. 2003).

(17)

3

Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah sekitar Lintang Utara – Selatan 12° pada ketinggian 0 – 500 m dpl (Lubis 2008). Syakir (2010) menyatakan bahwa iklim dan karakteristik lahan atau tanah adalah faktor lingkungan penting yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi untuk pengusahaan kelapa sawit.

Faktor iklim yang perlu diperhatikan dalam budidaya kelapa sawit adalah curah hujan, suhu, dan intensitas matahari. Curah hujan berhubungan dengan jaminan ketersediaan air dalam tanah sepanjang pertumbuhan tanaman. Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu jumlah curah hujan tahunan (mm) dan distribusi curah hujan bulanan. Curah hujan yang ideal berkisar 2000–3500 mm/th yang merata sepanjang tahun dengan minimal 100 mm/bulan (Paramananthan 2003). Di luar kisaran tersebut tanaman kelapa sawit akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan berproduksi. Lokasi dengan curah hujan kurang dari 1450 mm/th dan lebih dari 5000 mm/th sudah tidak sesuai untuk sawit. Rendahnya curah hujan tahunan berkaitan dengan defisit air dalam jangka waktu relatif lama sedangkan curah hujan yang tinggi berkaitan dengan rendahnya intensitas cahaya (Syakir 2010).

Intensitas matahari yang optimal bagi tanaman sawit berkisar antara 5 sampai 7 jam/hari dengan kelembaban 80%. Temperatur yang optimal bagi tanaman kelapa sawit adalah 24–28 °C, terendah 18 °C dan tertinggi 32 °C (Lubis 2008). Temperatur rendah menyebabkan stomata tertutup dan mengurangi fotosintesis (Paramananthan 2003). Temperatur sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat diatas permukaan laut (dpl) pada daerah tropis. Tinggi tempat optimal adalah 200 mdpl dan disarankan tidak lebih dari 400 mdpl (Syakir 2010). Temperatur menurun 0.6 °C per 100 m ketinggian di atas permukaan air laut (dpl). Hal ini telah dilaporkan dari Sumatera bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam pada ketinggian >500 m mengalami cekaman lingkungan pada tahun pertama dan produksi lebih rendah dari tanaman yang ditanam pada dataran rendah (<100 mdpl) (Hartley 1988). Hal ini diduga karena radiasi matahari yang diterima berkurang dengan tingkat ketinggian dan ketebalan kabut (Paramananthan 2003).

Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat kemasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah 5.0–5.5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase (beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam tanpa lapisan padas (BPTP 2008).

(18)

4

Topografi

Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk di dalamnya adalah perbedaan kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng dan posisi lereng (Hardjowigeno 1993). Topografi merupakan salah satu karakter tanah penting yang menentukan kecocokan tanah untuk kepentingan pertanian (Paramanthan 2003). Elemen topografi utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah bentuk permukaan lahan, sudut kemiringan lereng, arah kemiringan lereng, dan ketinggian tempat. Bentuk permukaan berpegaruh terhadap drainase tanah, sudut kemiringan lereng berpengaruh terhadap perbandingan run off dan infiltrasi air, sedangkan ketinggian tempat berpengaruh terhadap faktor biotik disekitar tanaman (Alvim dan Kozlowski 1977). Hal ini sejalan dengan penelitian Banuwa (2001) yang menjelaskan bahwa intensitas hujan dan kemiringan lereng sangat nyata mempengaruhi dinamika aliran permukaan dan erosi.

Daerah dengan curah hujan tinggi menyebabkan pergerakan air pada satu lereng menjadi tinggi pula sehingga dapat menghanyutkan partikel-partikel tanah. Proses penghancuran dan transportasi oleh air akan mengangkut berbagai partikel-partikel tanah, bahan organik, unsur hara, dan bahan tanah lainnya.

Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, di antaranya adalah dengan % (persen) dan ° (derajat) (Dephut 2013). Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45º. Kecuraman lereng memperbesar jumlah aliran permukaan, selain itu juga memperbesar energi angkut air. Jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin banyak jika kemiringan lereng semakin besar. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang tererosi akan semakin banyak. Banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2.0-2.5 kali lebih banyak jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam (Arsyad 2000).

Tabel 1 Klasifikasi kelas kemiringan lereng

Kemiringan lereng (%) Kelas lereng Bentuk relief

(19)

5

Hardjowigeno (1993) menyatakan bahwa perbedaan lereng dapat menyebabkan perbedaan banyaknya air yang tersedia bagi tumbuh-tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut. Air memegang peranan penting dalam pertumbuhan tumbuhan, sehingga apabila kebutuhan air kurang tercukupi maka pertumbuhan dan produksi tumbuhan tersebut akan terganggu.

Kemiringan lereng dapat diukur dengan beberapa cara, salah satunya menggunakan alat ukur wilayah. Alat ukur wilayah yang digunakan untuk mengukur kemiringan lereng diantaranya abney level, klinometer, dan distometer.

METODE

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah pohon kelapa sawit pada tanaman menghasilkan (TM8). Bahan-bahan lainnya adalah amplop coklat, kertas hvs, plastik dan karet. Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat budi daya pertanian, digital colour analyzer, distometer, light meter, paralon, gelas ukur 100 ml, timbangan digital (digital scale), meteran, pisau, gantar, kuadran (0.5 m x 0.5 m), alat tulis, dan oven dengan pengaturan suhu 105 °C selama 24 jam.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lokasi Hutan Harapan Jambi yang telah ditranformasi menjadi kebun sawit di Desa Singkawang, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Kebun sawit yang menjadi lokasi penelitian merupakan kebun kelapa sawit milik Bapak Muhammad Inzar Nasution. Penelitian dilakukan disekitar lokasi plot CRC990. Tanaman yang diamati merupakan tanaman menghasilkan (TM8). Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Maret 2013. Penimbangan dan pengeringan dalam oven dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Penelitian

(20)

6

Pengamatan dilakukan terhadap aspek vegetatif yaitu panjang pelepah, jumlah pelepah, jumlah anak daun, tinggi pohon, kemiringan pohon, dan warna daun. Selain itu, dilakukan juga pengamatan terhadap aspek ekologis yaitu lolosan intensitas cahaya tajuk, analisis vegetasi gulma di sekitar tanaman dan persentase penutupan tanah oleh gulma. Panjang pelepah diukur mulai dari pangkal hingga ujung pelepah menggunakan meteran. Pelepah yang diukur merupakan pelepah terakhir yang didodos. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah anak daun.

Tinggi tanaman dan kemiringan tanaman diukur menggunakan distometer.

Distometer adalah alat pengukur jarak dan kemiringan digital. Warna daun diukur menggunakan digital colour analyzer. Daun yang diukur merupakan daun bagian tengah dari setiap pohon dan dilakukan pada permukaan daun.. Pengamatan warna daun dilakukan setiap dua minggu sekali mengingat siklus pertumbuhan daun pada tanaman kelapa sawit menghasilkan terjadi setiap dua minggu sekali.

Pengamatan terhadap lolosan intensitas cahaya tajuk dilakukan saat pagi, siang, atau sore hari saat hari cerah (tidak hujan) menggunakan light meter. Pengamatan dilakukan pada gawangan hidup dengan bantuan tali. Tali dibentuk seperti segitiga dengan ukuran panjang 415 cm (titik tengah jarak tanam kelapa sawit) dan lebar 270 cm. pengukuran dilakukan dari jaran 45 cm sampai 315 cm dari pokok tanaman. Pengukuran dilakukan setiap 45 cm, sehingga total titik yang diamati pada 1 pohon berjumlah 28 titik.

Analisis vegetasi tanaman di sekitar tanaman dilakukan pada piringan dan gawangan hidup. Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan petak contoh pada lahan penelitian yang akan dianalisis gulmanya. Petak contoh diambil secara acak dengan melemparkan kuadrat (0.5m x 0.5m) pada lahan penelitian. Petak contoh yang diambil pada penelitian kali ini berjumlah 32 petak yang diharapkan dapat mewakili populasi seluruh area. Selanjutnya dilakukan pemanenan gulma yang tumbuh pada petak contoh tepat setinggi permukaan tanah untuk menentukan kerapatan, frekuensi, dan berat kering biomassa gulma. Gulma yang tumbuh menjalar melewati kuadrat dipotong tepat pada luasan kuadrat. Gulma yang yang telah dipanen dipisahkan berdasarkan spesies. Kerapatan ditentukan dengan cara menghitung jumlah individu tiap spesies gulma pada tiap petak contoh. Gulma yang telah dipisahkan berdasarkan spesies dimasukkan ke dalam kertas dan amplop coklat lalu gulma dikeringkan dengan cara dioven pada suhu 105°C selama 24 jam. Frekuensi dilakukan dengan cara menghitung jumlah petak contoh (dalam persen) yang memuat spesies gulma tertentu. Penentuan beerat kering biomassa dilakukan dengan menimbang tiap spesies gulma yang telah dioven.

Prosedur Analisis Data

(21)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Kebun kelapa sawit yang diamati merupakan perkebunan rakyat (PR). Lokasi kebun berada pada ketinggian 55 mdpl dengan kondisi topografi lahan datar sampai berbukit. Kemiringan lahan menghadap ke Selatan, namun pada lahan datar (0-3%) kemiringan menghadap ke Utara. Kondisi lahan yang miring tidak diikuti dengan penggunaan teras, sehingga mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit pada tiap kemiringan yang berbeda (Gambar 1). Tekstur tanah lempung liat berpasir gingga kedalaman 60 cm dan liat berpasir pada kedalaman 60-100 cm.

Gambar 1 Kondisi kemiringan lahan kebun kelapa sawit

Curah hujan harian rata-rata tiap bulan selama penelitian berkisar antara 231-346 mm dengan rata-rata curah hujan bulanan sebesar 282 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 10 hari tiap bulan. Curah hujan ini diperoleh dari pengukuran curah hujan harian dengan menggunakan ombrometer manual. Data curah hujan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data curah hujan dan jumlah hari hujan wilayah Hutan Harapan Jambi Desa Singkawang Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi pada bulan Desember 2012 – Februari 2013

Bulan Curah Hujan (mm) jumlah Hari Hujan

Desember 346.0 10

Januari 231.1 12

Februari 268.9 10

Pelepah Kelapa Sawit pada Berbagai Kemiringan Lahan

(22)

8

Tabel 3 Rata-rata jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun yang ditanam pada 4 kemiringan lahan

Kemiringan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun kelapa sawit (Tabel 3). Kemiringan lahan landai (3-12%) meskipun tidak nyata cenderung memiliki nilai peubah vegetatif tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemiringan lainnya. Hal ini disebabkan pertumbuhan gulma yang tidak terlalu lebat sehingga tidak mengganggu pertumbuhan pelepah kelapa sawit. Selain itu sebagian gulma yang tumbuh berfungsi sebagai tanaman penutup tanah pencegah erosi. Faktor luar yang mempengaruhi adalah letak lahan yang berdekatan dengan jalan sehingga memudahkan pekerja untuk melakukan pemeliharaan secara maksimal.

Kemiringan lahan curam (25-40%) memiliki nilai peubah vegetatif terendah. Jumlah anak daun pada lahan ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah anak daun pada kemiringan lainnya dan di bawah rata-rata produksi seharusnya. Wardiana (2003) menyatakan bahwa jumlah anak daun di setiap pelepah berkisar antara 250 sampai 400 helai. Namun pada kemiringan lahan curam (25-40%) jumlah anak daun yang dihasilkan hanya 186.7 helai. Hal ini terjadi karena tingginya % penutupan tanah oleh gulma dan tingginya erosi yang terjadi pada lahan.

Gulma yang tumbuh pada kemiringan curam (25-40%) memenuhi hampir seluruh lahan, baik pada piringan maupun gawangan (80%). Gulma yang tumbuh menyebabkan tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh optimum sebab terjadi persaingan unsur hara, air dan cahaya, sehingga pertumbuhan daun menjadi terhambat atau terganggu.

Erosi yang terjadi pada lahan curam (25-40%) diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya jumlah daun dan anak daun yang dihasilkan tanaman. Yahya

et al. (2010) menyatakan bahwa lahan yang miring memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah akibat erosi, seperti turunnya kandungan bahan organik tanah yang diikuti dengan berkurangnya kandungan unsur hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Penelitian Sitepu (2007) menunjukkan bahwa kandungan NPK yang terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng sebesar 15% sangat rendah sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi daun tanaman. Lee et al. (2011) menjelaskan bahwa kemiringan juga berpengaruh terhadap kandungan P, Mg, Cl, B, dan S pada daun. Kandungan Mg dan B pada lahan berombak lebih tinggi 10% dari lahan curam.

(23)

9

karena proses fotosintesis akan berjalan dengan baik (Lubis 2008). Kelapa sawit yang ditanam pada lahan curam (25-40%) memiliki potensi produksi yang rendah sebab rendahnya jumlah anak daun yang dihasilkan.

Produksi daun yang rendah dapat diatasi dengan meningkatkan pemberian pupuk N dan K (Pahan 2008). Nitrogen dapat meningkatkan pertumbuhan daun dan membuat daun menjadi lebih lebar dengan warna yang lebih hijau, sedangkan kalium berperan dalam proses fotosintesis.

Kemiringan dan Tinggi Pohon pada Berbagai Kemiringan Lahan

Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus oleh pangkal pelepah daun (fond base). Batang dapat juga timbul percabangan meskipun sangat jarang sekali karena sebab tertentu (Lubis 2008).

Kemiringan dan tinggi pohon diukur menggunakan alat bantu ukur yaitu

distometer. Selain mengukur kemiringan dan tinggi, alat ini juga dapat digunakan untuk mengukur jarak antara dua titik. Tinggi pohon diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh tanaman. Hasil pengamatan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang berbeda memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kemiringan dan tinggi pohon tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena derajat kemiringan pohon lebih ditentukan oleh faktor lain, yaitu angin. Kemiringan pohon juga berhubungan dengan umur dan asal-usul genetisnya. Unsur genetis memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi tanaman sehingga rawan terhadap kerusakan oleh angin. Angin yang terlalu kencang menyebabkan tanaman baru menjadi miring (Pahan 2008).

Tabel 4 Rata-rata kemiringan dan tinggi pohon yang ditanam pada 4 kemiringan lahan

Kemiringan lahan (%) Kemiringan pohon (°)tn Tinggi pohon (m)tn

0-3 4.48 4.20

3-12 3.22 4.11

12-25 6.48 4.03

25-40 9.48 3.15

a tn : tidak berpengaruh nyata pada α = 5%

(24)

10

Terlebih lagi pada lahan dengan kemiringan curam, sehingga semakin curam kemiringan lahan tingkat erosi juga semakin tinggi. Selain itu tingkat pertumbuhan gulma pada lahan yang semakin miring semakin tinggi hingga mengakibatkan pertumbuhan kelapa sawit terganggu akibat persaingan unsur hara, air dan cahaya yang terjadi antara tanaman kelapa sawit dan gulma di sekitar tanaman. Semakin tinggi pertumbuhan gulma maka pertumbuhan sawit semakin tidak optimal. Cahyo (2013) menjelaskan bahwa tinggi tanaman akan mempengaruhi luas daun yang ternaungi maupun yang terkena sinar matahari sehingga dapat dihubungkan bahwa tinggi tanaman mempengaruhi fotosintesis.

Warna Daun

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kualitas cahaya. Hanya cahaya pada panjang gelombang tertentu saja yang dapat diserap oleh tanaman. Cahaya berwarna merah dan biru memiliki pengaruh yang paling besar terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan cahaya berwarna hijau memiliki pengaruh yang paling sedikit bagi tanaman karena sebagian besar cahaya hijau yang sampai dipantulkan dan hanya sedikit yang diserap oleh tanaman.

Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemiringan lahan terhadap kandungan warna daun tanaman. Warna daun tanaman dapat diukur dengan beberapa cara, salah satunya menggunakan alat digital colour analyzer. Parameter warna yang diamati yaitu red, green dan blue.

(25)

11

berperan dalam pemanjangan batang, reaksi phytochrome dan perubahan anatomi tumbuhan.

Nilai warna hijau pada daun menunjukkan kandungan nitrogen dalam daun tersebut (Kawashima dan Nakatani 1998). Nilai warna hijau daun yang diamati relatif cukup rendah yaitu berkisar antara 63-72 (Tabel 6). Selain itu, kondisi daun tua pada tanaman yang diamati sangat kering dan alot sehingga menyebabkan pelepah sulit untuk didodos. Hal ini mengindikasikan kurangnya kandungan nitrogen dalam tanaman. Nasrudin dan Parawansa (2010) menyatakan bahwa Kandungan warna hijau daun sangat berpengaruh pada pemberian pupuk. Semakin tinggi dosis pupuk nitrogen yang diberikan maka warna daun yang diperoleh sangat hijau. Akan tetapi jika dosis yang diberikan dalam jumlah sedikit atau tidak sesuai dengan kebutuhan maka hasil warna daun yang diperoleh kekuningan. Hal ini sesuai dengan pendapat Novizan (2005) yang menyatakan bahwa jika terjadi kelebihan nitrogen tanaman tampak terlalu subur, ukuran daun menjadi lebih besar, batang menjadi lunak dan berair, sehingga mudah patah dan mudah diserang penyakit. Selain itu, Sutejo (1987) menambahkan, gejala kekurangan unsur hara nitrogen terlihat di mulai dari daunnya. Warna daunnya hijau agak kekuning-kuningan, selanjutnya berubah menjadi kuning lengkap. Jaringan daun mati dan menyebabkan daun menjadi kering dan berwarna merah kecoklatan.

Rendahnya kandungan warna hijau daun disebabkan rendahnya pemberian pemberian pupuk yang kurang mencukupi. Selain itu pupuk yang diberikan pada tanaman ikut tergerus terbawa erosi sehingga tidak terserap secara sempurna. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memberikan pupuk kandang pada tanaman dan memperbanyak dosis pemberian pupuk nitrogen. Menurut Setiawan (1996) pupuk kandang mempunyai peranan penting dalam hal menyerap air, melewati sehingga mengurangi erosi dan juga menambah sumber hara tanaman serta memperbaiki sifat-sifat fisik tanah. Borman dan Likens (1992) menambahkan, bahan organik yang berasal dari pupuk kandang akan terdekomposisi dan dapat memperbaiki total porositas tanah dan permeabilitas tanah dengan menambah kapasitas infiltrasi tanah. Kapasitas infiltrasi yang makin besar meningkatkan kemampuan tanah untuk melewati air, udara dan akar tanaman sehingga dapat mengurangi erosi.

Lolosan Intensitas Cahaya Tajuk pada Berbagai Kemiringan Lahan

Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Yuswita (1995) menjelaskan bahwa intensitas cahaya merupakan jumlah total cahaya yang diterima oleh tanaman. Intensitas cahaya berkorelasi dengan laju fotosintesis tanaman budidaya. Tanaman suka cahaya jika diberi intensitas cahaya yang tinggi atau rendah akan menunjukkan perbedaan dan karakteristik fotosintesis tertentu. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang menyukai cahaya, sehingga jika intensitas cahaya yang diterima kurang akan berakibat pada produksi bunga dan produktivitas.

(26)

12

cerah di jam yang sama. Lolosan intensitas cahaya tajuk erat kaitannya dengan penutupan kanopi tajuk akibat tingkat pertumbuhan tanaman dan kesuburannya. Nilai lolosan intensitas yang semakin tinggi mengindikasikan indeks luas daun pada tanaman semakin kecil. Arinya, cahaya yang lolos melalui sela-sela daun semakin besar.

Penyebaran lolosan intensitas cahaya di bawah tegakan sawit pada TM8 berkisar antara 5-25%. Kemiringan landai (3-12%) dan curam (25-40%) didominasi lolosan intensitas cahaya sebesar 10-15%, sedangkan kemiringan agak curam (12-25%) didominasi lolosan intensitas cahaya sebesar 5-10%. Rata-rata lolosan intensitas cahaya terbesar dimiliki oleh lahan agak curam, yaitu sebesar 13.54% dan terkecil dimiliki oleh lahan landai dengan lolosan intensitas cahaya sebesar 11.91%. artinya tanaman yang paling baik penerimaan cahayanya terdapat pada lahan landai. Hal ini berhubungan dengan jumlah pelepah dan jumlah anak daun tanaman. Kemiringan landai memiliki jumlah pelepah dan anak daun terbanyak dibandingkan dengan kemiringan lainnya. Semakin banyak jumlah pelepah dan anak daun, maka lolosan intensitas cahaya akan semakin kecil, sebab cahaya banyak terserap oleh daun dan hanya sedikit yang lolos sampai ke prmukaan tanah. Sedangkan kemiringan yang lebih curam memiliki nilai lolosan intensitas cahaya yang lebih besar. Hal ini terjadi karena pada kemiringan yang lebih curam pertumbuhan pelepah sawit kurang optimum, sehingga lolosan intensitas cahaya semakin besar. Ilustrasi dan penyebaran lolosan intensitas cahaya di bawah tegakan sawit (tanaman diasumsikan tegak lurus dengan cahaya) dapat dilihat pada Gambar 2,3 dan 4.

Gambar 2 Lolosan intensitas cahaya Gambar 3 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 3-12% kemiringan 12-25%

Keterangan

Isolight transmission 5-10%

Isolight transmission 10-15%

Isolight transmission 15-20%

Gambar 4 Lolosan intensitas cahaya

(27)

13

Rata-rata lolosan intensitas cahaya yang diterima tanaman pada tiap kemiringan memiliki trend yang sama, yaitu lolosan intensitas cahaya tertinggi terdapat pada jarak terdekat (45 cm) kemudian menurun sampai jarak 135 cm dan naik lagi sampai jarak 315 cm (Gambar 5). Hal ini berhubungan dengan ukuran anak daun. Anak daun yang terdapat pada pangkal pelepah berukuran lebih pendek dibandingkan dengan anak daun yang terdapat pada bagian tengah dan ujung. Kondisi ini menyebabkan lolosan intensitas cahaya yang diteruskan lebih besar.

Gambar 5 Lolosan intensitas cahaya tajuk berdasarkan jarak (m) dan kemiringan lahan (%)

Analisis Vegetasi Gulma

Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki oleh manusia atau tumbuhan yang kegunaannya belum diketahui (Tjitrosoedirjo 1984). Pahan (2008) berpendapat bahwa kehadiran gulma di perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air, hara, sinar matahari, dan ruang hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi akibat terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi inang bagi hama, mengganggu tata guna air, dan meningkatkan biaya pemeliharaan. Sembodo (2010) menambahkan, kerugian akibat gulma dapat pula terjadi melalui proses alelopati, yaitu proses penekanan pertumbuhan tanaman akibat senyawa kimia (alelokimia) yang dikeluarkan oleh gulma. Rambe et al. (2010) menyebutkan bahwa Mikania micrantha dapat menurunkan produksi Tandan Buah segar (TBS) sebesar 20% karena pertumbuhannya sangat cepat dan mengeluarkan zat allelopatik yang bersifat racun bagi tanaman.

Analisis vegetasi gulma perlu dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis gulma dominan pada sauatu ekosistem agar dapat diterapkan pengendalian yang efektif dan efisien. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat jenis gulma yang paling dominan berdasarkan kemiringan lahan. Tabel 6 menyajikan data 10 gulma yang paling dominan pada 4 kemiringan lahan.

(28)

14

1 Borreria alata DL 45.15 49.40 36.87 28.20

2 Melastoma affine DL 11.69 6.58 4.88 11.36

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan dapat dilihat bahwa gulma yang paling dominan pada 4 kemiringan berasal dari spesies yang sama, yaitu Borreria alata dan Melastoma affine. Kedua gulma ini muncul dangan nilai NJD tertinggi pada semua kemiringan lahan.

Borreria alata dan Melastoma affine merupakan gulma yang cukup penting pada perkebunan kelapa sawit. Masalah yang ditimbulkannya cukup besar, yaitu dapat mengganggu pembangunan penutup tanah kacangan, mengganggu saluran drainase, dan menjadi saingan tanaman kelapa sawit dalam memperoleh unsur hara, air, dan cahaya. Borreria alata berkembangbiak dengan biji. Banyaknya biji yang dihasilkan tiap individu menyebabkan peluang tumbuh semakin besar. Selain itu penyebaran biji dipermudah dengan bantuan angin karena bijinya kecil dan ringan sehingga gulma ini bisa terdapat dimana-mana, baik di tempat terbuka atau agak ternaungi.

(29)

15

baik pada tumbuhan pohon, semak dan perdu. Pertumbuhannyasangat cepat karena dalam sehari dapat tumbuh sebanyak 8 cm. Tumbuhan ini sangat cepat tumbuh ketika musim hujan. Di Australia Mikania micrantha merupakan jenis tumbuhan yang sangat mengancam dalam pertumbuhan pertanian karena menyebabkan kerusakan yang serius dalam produksi tanaman pertanian (Bukma 2011). Gulma ini terdapat pada seluruh kemiringan lahan, namun lebih dominan pada lahan curam dengan nilai NJD sebesar 10.88.

Imperata clyndrica dianggp sebagai salah satu dari 10 gulma terburuk di dunia karena cepat tumbuh. Tumbuhan ini tumbuh subur di lahan seperti kebun, halaman berumput dan pinggir jalan. Menghasilkan rimpang, penyebaran biji sangat cepat dan jarak jauh, akar dan rimpang tahan terhadap api (Soeryani 1974). Gulma ini terdapat pada lahan dengan kemiringan 3-12%.

Penutupan Tanah pada Berbagai Kemiringan Lahan

Kemiringan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap % penutupan permukaan tanah oleh gulma. Namun terdapat kecenderungan ketika kemiringan lahan semakin curam, % penutupan tanah semakin tinggi. Tabel 10 menunjukkan persen penutupan tanah yang lebih tinggi seiring bertambahnya persen kemiringan lahan. Penutupan tanah tertinggi terdapat pada lahan dengan kemiringan 25-40% (80%) sedangkan penutupan tanah terendah terdapat pada lahan dengan kemiringan 0-3% (54.68%). Hal ini berhubungan dengan lolosan intensitas cahaya. Semakin besar lolosan intensitas cahaya yang lolos maka penutupan tanah semakin tinggi sebab vegetasi di sekitar tanaman memperoleh cahaya yang lebih banyak untuk pertumbuhannya. Lolosan intensitas cahaya yang tinggi disebabkan oleh pertumbuhan pelepah yang kurang maksimum. Jumlah anak daun pada kemiringan curam (25-40%) jauh lebih rendah dibandingkan kemiringan lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi lebih lebat dan menutupi hampir seluruh permukaan tanah.

Table 7 Rata-rata % penutupan permukaan tanah oleh gulma pada 4 kemiringan lahan

Kemiringan lahan (%) Rata-rata % penutupan tanahtn

0-3 54.68

3-12 60.95

12-25 57.30

25-40 80.00

a

(30)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kemiringan lahan tidak mempengaruhi semua peubah vegetative tanaman kelapa sawit, intensitas lolosan cahaya, dan keragaman gulma. Akan tetapi, terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang ditanam pada lahan yang lebih datar akan tumbuh lebih baik. Pertumbuhan daun terbaik terdapat pada lahan landai (3-12%).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aspek produksi tanaman untuk melihat hubungannya dengan kemiringan lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Alvim T, Kozlowski TT. 1977. Ecophysiology of Tropical Crops. New york (US): Academic Press.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pres.

Banuwa IS, Sukri I. 2001. Model hubungan intensitas hujan dan panjang lereng dengan aliran permukaan dan erosi pada berbagai konservasi tanah di pertanaman sayuran dataran tinggi. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan.

9: 41.

Bukman. 2011. Mikania micrantha [Internet]. [diunduh pada 2013 Juli 24]. Tersedia pada: http://AudocumentsBiosecurityEnviromentalPestsIPA-MikaniaVine-PP143.

[BPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008.

Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Lampung (ID): BPTP Lampung

Borman. FH, Gene EL. 1992. Pattern and Process in A Forested Ecosystem. Berlin: Springger-Verlag.

Cahyo YID. 2013. Emisi gas CH4 dan serapan karbon dari aplikasi pupuk

anorganik, organik dan tanaman sela pada budidaya jarak pagar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Lintasan 30 tahun tahun pengembangan kelapa sawit [Internet]. [diunduh pada 2013 September 27]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/tanhun/berita-176-lintasan-30-tahun-pengembangan-kelapa-sawit.html.

(31)

17

Harahap IY. 2006. Penataan ruang pertanaman kelapa sawit berdasar pada konsep optimalisasi pemanfaatan cahaya matahari. Warta pusat penelitian kelapa sawit. 14(1): 9-15.

Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Padogenesis. Ed revisi. Jakarta (ID): Akademika Presindo.

Hartley CWS. 1988. The Oil Palm. London: Longman.

Herman M, Pranowo D. 2011. Produktivitas jagung sebagai tanaman sela pada peremajaan sawit rakyat di Bagan Sapta Permai Riau [Internet]. [diunduh

pada 2014 Januari 29]. Tersedia pada:

http:/balitsereal.litbang.deptan.go.id.

Kawashima S, Nakatani M. 1998. An algorithm for estimating chlorophyll content in leaves using a video camera. Annals of Botany [Internet]. [diunduh 2014 Februari 15]; 81: 49-54. Tersedia pada: http://aob.oxfordjournals.org. Krisnohadi A. 2011. Analisis pengembangan lahan gambut untuk tanaman kelapa

sawit kabupaten kubu raya. J Perkebunan dan Lahan Tropika. 1: 1-7. Lee CH, Rahman ZA, Musa MH, Norizan MS, Tan CC. 2011. Leaf nutrient

concentrations in oil palm as affected by genotypes, irrigation and terrain.

Journal of Oil Palm & The Environment. 2:38-47. doi: 10.5366/jope.2011.05.

Lubis AU. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq.) di Indonesia. Ed ke-2. Medan (ID: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Nasaruddin, Parawansa INR. 2010. Pertumbuhan evaluasi kandungan nitrogen melaluui indikasi warna daun pada tanaman kakao (Theobrema cacao L.) belum menghasilkan. Jurnal Agrisistem [Internet]. [diunduh 2015 Februari

10];6(2): Tersedia pada: strawberry plantlets cultured in vitro under superbrighht red and blue light-emitting diodes (LED). 2003. Plant Cell, Tissue and Orange Culture. 73:43-52p

Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Pambudi DT, Hermawan B. 2010. Hubungan antara beberapa karakteristik fisik lahan dan produksi kelapa sawit. Akta Agrosia. 13(1) : 35-39.

Paramananthan S. 2003. Oil Palm: Management for Large and Sustainable Yields. Fairhust T, Hardter R, editor. Singapore (SG): Potash and Phosphate inst. [PPPP] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2010. Budidaya Kelapa

Sawit. Bogor (ID): Aska Media.

Rambe TD, Pane L, Sudharto P, Caliman. 2010. Pengelolaan Gulma pada Perkebunan Kelapa Sawit di PT. Smart Tbk. Jakarta (ID).

(32)

18

Sembodo DRJ. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Setiawan AI. 1996. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Sitepu A. 2007. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.), coklat (Theobroma cacao) dan karet (Havea brasiliensis) di Desa Belitung Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Soeryani M. 1974. The Evaluation Of Competition Between Annual Crops and Weeds. Workshop On Research Methodology in Weed Science. Bandung (ID).

Sunarko. Petunjuk Praktis Budi Daya dan Pengolahan Kelapa Sawit. 2007. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Sutejo MM. 1987. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta (ID): Rinela Cipta. Syakir M. 2010. Budidaya kelapa sawit. Bogor (ID). Aska media.

Tjitrosoedirdjo S, Utomo IH, Wiroatmojo J. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Jakatra (ID): PT Gramedia.

Verheye W. 2011. Growth and production of oil palm. Soils, plant growth and crop production [Internet]. [diunduh pada 2014 Februari 2]; Vol 2. Tersedia pada: http://www.eolss.net.

Wardiana E, Mahmud Z. 2003. Tanaman sela diantara pertanaman kelapa sawit [Internet]. [diunduh 2014 Februari 8]. Tersedia pada: http://digilib.litbang.deptan.go.id.

Yahya Z, Husin A, Talib J, Othman J, Ahmed OH, Jalloh MB. 2010. Oil palm (Elaeis guineensis) roots response to mechanization in Bernam series soil.

Am. J. Applied Sci [Internet]. [diunduh 2013 Januari 14]; 7(3): 343-348.. Tersedia pada: http://thescipub.com/PDF/ajassp.2010.343.348.pdf.

Yuswita. 1995. Keragaman dan hasil tanaman jahe muda (Zingiber officinale

(33)

19

LAMPIRAN

Lampiran 1 Nisbah Jumlah Gulma (NJD) pada 4 kemiringan lahan (%)

Nomor Spesies Gulma Jenis Gulmaa

Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) 0-3% 3-12% 12-25% 25-40%

1 Borreria alata DL 45.15 49.40 36.87 28.20

2 Melastoma affine DL 11.69 6.58 4.88 11.36

3 Borreria leavis DL 4.78 11.56

4 Mikania micrantha DL 1.99 1.05 3.02 10.88

5 Paspalum commersonii R 10.40 4.12 1.88 3.95

6 Cyrtococcum acrescens R 9.26

7 Paspalum conjugatum R 9.03 2.00 6.77

8 Asystasia coromandeliana DL 7.78 2.24

9 Centotheca lappacea R 7.50 3.79 3.89

10 Cytrococcum oxyphyllum R 2.90 3.25 7.35

11 Elaeis guineensis DL 7.70 2.77

12 Hyptis rhomboidea DL 5.14

13 Asystasia intrusa DL 4.91

14 Imperata cylindrica R 3.88

15 Nephrolepis biserrata P 3.47

16 Axonopus compressus R 1.80 2.98 2.87 1.92

17 Diodia sarmentosa DL 2.85

18 Panicum maxima R 2.73

19 Ageratum conyzoides DL 2.31 2.35

20 Setaria plicata R 1.92

21 Phyllanthus niruri DL 1.80 2.23

22 Ottochloa nodosa R 2.25

23 Clidemia hirta DL 2.12

24 Cleria sumatranensis DL 1.83 2.10 1.39

a:

(34)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Juni 1991 di Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Kamajaya dan Ibu Murni. Tahun 2003 penulis lulus dari SD Negeri Gunung Batu 01 Bogor. Selanjutnya penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 7 Bogor pada tahun 2006 dan di SMA Negeri 9 Bogor pada tahun 2009.

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi kelas kemiringan lereng
Tabel 2  Data curah hujan dan jumlah hari hujan wilayah Hutan Harapan Jambi
Gambar 2  Lolosan intensitas cahaya            Gambar 3  Lolosan intensitas cahaya

Referensi

Dokumen terkait

Unsur P yang terkandung dalam abu vulkanik gunung Sinabung dapat membantu dalam proses pertumbuhan vegetatif bagi pertambahan tinggi bibit tanaman kelapa sawit

yaitu 28,9 o C dan intensitas cahaya paling rendah yaitu 10,8 µmol/m 2 /detik. Tutup berbahan plastik wrap bersifat porous, memungkinkan terjadinya sirkulasi udara

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah pelepah daun bibit kelapa sawit yang diberi kompos TKKS dengan lama pengomposan 6 minggu berbeda nyata dengan lama pengomposan

yaitu 28,9 o C dan intensitas cahaya paling rendah yaitu 10,8 µmol/m 2 /detik. Tutup berbahan plastik wrap bersifat porous, memungkinkan terjadinya sirkulasi udara

Pengamatan lama waktu proses pembuatan bokhasi limbah pelepah dan daun kelapa sawit secara fisik telah matang dan menjadi pupuk kompos dengan ditandai suhu dan pH

Tabel 3 menunjukkan bahwa pertambahan diameter bonggol bibit kelapa sawit yang diberi abu janjang kosong kelapa sawit berbeda tidak nyata dengan pemberian abu serbuk

Tidak terjadi pengaruh interaksi antara pupuk organik pelepah kelapa sawit dengan pupuk majemuk NPK terhadap bobot basah akar dan bobot kering akar.. Aplikasi pupuk

Tidak terjadi pengaruh interaksi antara pupuk organik pelepah kelapa sawit dengan pupuk majemuk NPK terhadap bobot basah akar dan bobot kering akar.. Aplikasi pupuk