• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan Serat Efektif dan Kandungan Tanin Ransum Sapi Perah pada Peternakan Rakyat di Lembang serta Pengaruhnya Terhadap Produksi dan Kualitas Susu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketersediaan Serat Efektif dan Kandungan Tanin Ransum Sapi Perah pada Peternakan Rakyat di Lembang serta Pengaruhnya Terhadap Produksi dan Kualitas Susu"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KETERSEDIAAN SERAT EFEKTIF DAN KANDUNGAN

TANIN RANSUM SAPI PERAH PADA PETERNAKAN

RAKYAT DI LEMBANG SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU

AFSITIN JOAN TATRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ketersediaan serat efektif dan kandungan tanin pada ransum sapi perah di peternakan rakyat di lembang serta pengaruhnya terhadap produksi dan kualitas susu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Afsitin Joan Tatra

(4)

SUMMARY

AFSITIN JOAN TATRA. Effective Fiber Availability and Tanin Existence in Lembang Traditional Dairy Farms Ration and Their Influence on Milk Production and Quality. Supervised by LUKI ABDULLAH and DESPAL

Fiber is one of the important nutrients in the diet, especially for ruminants because fiber is a source of energy for the rumen microbes. Availability fiber is an important factor in the formulation of feed for ruminants because of shortage and excess fiber would affect the health of ruminants.

This study aims to determine the feed materials used and the adequacy of nutrients, especially fiber effectively given to cattle. This research was carried out by conducting exploratory interviews and sampling of feed materials. Data were collected in five villages with each village consists of 6 breeder.

Preparation of rations for ruminants is currently expected not only by BK, CP and TDN but also by fibers mainly NDF and ADF. NDF and ADF content of feed materials ranging from 26.45% - 92.13% and 22:44% - 54.51%, with the total number of awarding NDF and ADF in the ration of 65.33% and 38.57%. Variations in the content of NDF and ADF on feed materials resulting from forage sources used are also varied, especially in the dry season, so that farmers are using agricultural waste as a substitute source of fiber from grass. Agricultural waste contains anti-nutritional tannins especially when excessive aka damage the health of livestock. Tannin content ranging from 0.03%, feed ingredients - 2:43% with tannins in the ration of 0.023%.

NDF and ADF content of the ration exceeds the needs of dairy cows which led to reduced energy density and can reduce production. Tannin content in the diet is very small so it does not interfere with the health of livestock.

(5)

RINGKASAN

AFSITIN JOAN TATRA. Ketersediaan Serat Efektif dan Kandungan Tanin pada Ransum Sapi Perah pada Peternakan Rakyat di Lembang serta Pengaruhnya Terhadap Produksi dan Kualitas Susu. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH dan DESPAL.

Serat adalah salah satu nutrien penting dalam pakan terutama untuk ternak ruminansia karena serat merupakan sumber energi bagi mikroba rumen. Ketersediaan serat menjadi faktor penting dalam formulasi pakan bagi ruminansia karena kekurangan dan kelebihan serat akan berdampak bagi kesehatan ruminansia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahan-bahan pakan yang digunakan dan kecukupan nutrien terutama serat efektif yang diberikan peternak pada sapi. Penelitian ini dilakukan secara eksploratif dengan melakukan wawancara dan pengambilan sampel bahan pakan. Pengambilan data dilakukan di 5 desa dengan masing-masing desa terdiri dari 6 peternak.

Penyusunan ransum untuk ternak ruminansia saat ini diharapkan tidak hanya berdasarkan BK, PK dan TDN tetapi juga berdasarkan serat terutama NDF dan ADF. Kandungan NDF dan ADF bahan pakan berkisar 26.45% - 92.13% dan 22.44% - 54.51%, dengan total jumlah pemberian NDF dan ADF dalam ransum sebesar 65.33% dan 38.57%. Bervariasinya kandungan NDF dan ADF pada bahan-bahan pakan diakibatkan sumber-sumber hijauan yang digunakan juga bervariasi terutama pada musim kemarau, sehingga peternak banyak menggunakan limbah pertanian sebagai pengganti sumber serat yang berasal dari rumput. Limbah pertanian memiliki kandungan anti nutrisi terutama tanin yang bila berlebihan akan mengganggu kesehatan ternak. Kandungan tanin bahan pakan berkisar 0.03% - 2.43% dengan tanin dalam ransum sebesar 0.023%

Kandungan NDF dan ADF dalam ransum melebihi dari kebutuhan sapi perah yang menyebabkan kepadatan energi berkurang dan dapat menurunkan produksi. Kandungan tanin dalam ransum sangat kecil sehingga tidak mengganggu kesehatan ternak.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

KETERSEDIAAN SERAT EFEKTIF DAN KANDUNGAN

TANIN RANSUM SAPI PERAH PADA PETERNAKAN

RAKYAT DI LEMBANG SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Ketersediaan Serat Efektif dan Kandungan Tanin Ransum Sapi Perah pada Peternakan Rakyat di Lembang serta Pengaruhnya Terhadap Produksi dan Kualitas Susu

Nama : Afsitin Joan Tatra NIM : D251120031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr

Ketua Dr Despal, SPt, MScAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrsis dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 pakan sapi perah, dengan judul “Ketersediaanserat efektif dan kandungan tanin ransum sapi perah pada peternakan rakyat di Lembang serta pengaruhnya terhadap produksi dan kualitas susu”. Sebagian hasil penelitian ini telah di terbitkan pada artikel buletin makanan ternak dengan judul “Dampak rumput alam dan rumput unggul dalam ransum serta pengaruhnya terhadap performa ternak”

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Luki Abdullah, MScAgr dan Ibu Dr Despal, MscAgr selaku pembimbing. Bapak Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr selaku dosen penguji. Ibu Dr Ir Rita Mutia, MscAgr selaku perwakilan program studi. Bapak Ramdan selaku direktur KPSBU Lembang, peternak KPSBU Lembang, Bu Euis untuk perhatiannya selama penulis berada di Lembang. Bu Dian Anggraini untuk bantuannya selama penulis penelitian di laboratorium nutrisi ternak perah. Dosen, staf dan teman-teman program studi Pascasarjana Ilmu Nutrris dan Pakan serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE 2

Bahan 3

Alat 3

Prosedur Analisis Data 3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Hasil 10

4 SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 27

(12)

DAFTAR TABEL

Karakteristik peternak KPSBU Lembang 11

Jenis bahan pakan peternakan sapi perah KPSBU 12

Analisis proksimat bahan pakan sapi perah 13

Fermentabilitas dan persentase kecernaan bahan pakan sapi perah 15

Partisi energi bahan pakan sapi perah 17

Pemberian dan imbangan pakan sapi perah 18

Fraksi serat bahan pakan sapi perah 19

Kecernaan fraksi serat dan anti nutrisi bahan pakan sapi perah 21 Pemberian serat efektif pada peternakan sapi perah lembang 22

Performa sapi perah KPSBU Lembang 24

Korelasi kandungan nutrien dan utilisasi pakan terhadap performa ternak 25

DAFTAR GAMBAR

Hijauan yang digunakan peternak (a), Konsentrat dan

Bahan Konsentrat (b) 13

Kebutuhan dan jumlah pemberian nutrien sapi perah 19 Korelasi jumlah pemberian NDF dengan energi metabolisme (EM)

dan energi untuk laktasi (NeL) 22

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia berakibat pada meningkatnya jumlah konsumsi susu, tetapi produksi yang tidak mencukupi menyebabkan impor susu masih terjadi. Deptan RI (2013) melaporkan produksi susu dalam negeri hanya memenuhi 30% konsumsi rakyat Indonesia (11 kg/kapita/tahun). Produksi susu yang kecil di Indonesia disebabkan sistem peternakan yang masih berskala kecil dengan kepemilikkan ternak 3 ST dengan produksi susu berkisar 10-12 liter/hari. Selain jumlah ternak yang sedikit ketersediaan pakan yang tidak berkesinambungan dengan kualitas yang rendah menjadi kendala lain dalam meningkatkan produksi susu.

Kabupaten Lembang yang merupakan salah satu daerah peternakan sapi perah rakyat yang ada di Indonesia dengan rata-rata prosuksi susu 17 liter/hari dengan konsumsi bahan kering 23 kg/hari (Despal et al 2013). Produksi susu yang

dihasilkan di kabupaten Lembang masih kecil bila dibandingkan dengan produksi susu sapi perah FH yang dapat menghasilkan susu 7245 kg/laktasi (Sudono et al.

2003). Konsumsi bahan kering yang diperoleh Despal et al (2013) lebih dari

kebutuhan bahan kering yang dibutuhkan oleh sapi perah yang berkisar 3% (dalam BK) dari bobot badan sapi perah (GKSI-CCD 1995).

Nutrien selain BK yang sangat penting dalam peternakan sapi perah adalah serat, karena serat dibutuhkan oleh ruminansia untuk mencegah terjadinya acidosis dan kematian, pengikisan lapisan rumen, absis hati, penurunan kadar lemak susu, perubahan metabolis tubuh yang dapat mempengaruhi penggemukan, pencegah terjadinya asidosis yang menyebabkan parakeratosis dan laminitis kronis, perubahan fermentasi rumen dan mengurangi konsumsi energi dan produksi FCM (Mertens 1997). Serat yang umunya digunakan untuk konsumsi pada ruminansia adalah fraksi serat yang terdiri dari Neutral Detergen Fiber

(NDF), Acid Detergent Fiber (ADF).

NDF atau Neutral Detergent Fiber adalah ukuran serat setelah dicerna di

larutan detergen bukan asam untuk membantu menentukan kualitas hijauan makanan ternak dengan komponen utama selulosa, hemiselulosa dan lignin pakan. ADF atau Acid Detergent Fiber adalah ukuran serat setelah dicerna dalam larutan

detergen asam, kompoen utama ADF adalah selulosa dan lignin (Varga et al 1998). Oba dan Allen (1998) faktor yang mempengaruhi kandungan fraksi serat adalah spesies tanaman, umur tanaman dan lingkungan tumbuhnya tanaman.

Mertens 1992 menyatakan konsumsi bahan kering atau DMI (Dry Matter Intake) berhubungan erat dengan konsentrasi NDF dalam pakan dan

merekomendasikan untuk sapi berproduksi tinggi (sapi yang baru di impor atau sapi pada awal laktasi) serat efektif yang harus dibpenuhi untuk kebutuhan dasar, maka komponen hijauan dalam pakan sapi perah tidak boleh kurang dari 30%. NRC 2001 merekomendasikan minimal NDF dalam pakan 21%-25% untuk sapi awal laktasi dan tengah laktasi dengan 75% NDF berasal dari hijauan.

(14)

banyak mengandung plant secondary metabolit (PSM), PSM adalah kelompok

molekul yang terlibat dalam adaptasi tanaman terhadap lingkungannya namun tidak merupakan bagian utama dari jalur biokimia pertumbuhan dan reproduksi sel. PSM bersifat anti nutrisi bahkan toxic, meskipun pada taraf tertentu dapat digunakan untuk memanipulasi proses nutrisi dan dapat meningkatkan efisiensi utilitas nutrien (Makkar et al. 2007).

Kendala perkembangan sapi perah di Indonesia selain dari ketersediaan hijauan pakan juga tidak adanya standar kebutuhan dan informasi tentang kandungan nutrien dari bahan baku yang digunakan sebagai pakan. Selain itu kebutuhan nutrien sapi perah di Indonesia masih menggunakan standar kebutuhan daerah temperat yang mempunyai empat musim, sedangkan Indonesia sendiri merupakan daerah tropis yang hanya mempunyai dua musim sehingga kebutuhan nutrien sapi perahnya akan berbeda. Penyediaan kebutuhan nutrien berdasarkan kebutuhan sapi perah daerah tropis perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan produktivitas sapi perah.

Tujuan

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah

1. Mengetahui jenis-jenis hijauan dan konsentrat yang digunakan oleh peternak

2. Menganalisis kandungan nutrisi dan antinutrisi pakan yang digunakan 3. Mengamati performa ternak dan jumlahnya serta pola pemberian pakan

dengan pemenuhan nutrien yang dilakukan peternak

4. Mengevaluasi batas-batas kewajaran pemanfaatan legum dan limbah pertanian ditingkat peternak

Manfaat

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Tersedianya data kandungan nutrien bahan pakan sapi perah

2. Tersedianya data kandungan anti nutrisi hijauan pakan yang ada di Indonesia

3. Mencegah penggunaan bahan-bahan yang mengandung antinutrisi tinggi untuk dimanfaatkan secara berlebihan

2

METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan november 2013-agustus 2014 di peternakan rakyat sapi perah KPSBU Lembang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Alat

(15)

erlenmeyer, labu khjedal, spektofotometer, oven 60 oC, oven 105 oC, cawan porselen,

Bahan

Bahan yang digunakan adalah sapi perah ±100 ekor, rumput, bahan konsentrat, konsentrat, larutan McDougal, larutan buffer gas test, HCl, NaOH, H2SO4, cairan rumen

Prosedur Teknik Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dan pengisian kuisioner kepada peternak. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait seperti KPSBU. Responden diambil secara random, yaitu sebanyak 6 responden masing-masing dari 5 daerah yang berbeda.

Jenis pakan

Hijauan yang digunakan oleh peternak diambil sebagai sampel untuk diidetifikasi nama dan jenis hijauan tersebut.

Jumlah Pemberian Pakan

Pengukuran jumlah pemberian pakan dilakukan pada tiap ekor ternak. Pakan hijauan ditimbang sesuai pemberian pada setiap ekor ternak. Alat yang digunakan adalah timbangan dengan kapasitas 100 kg.

Teknik Sampling Hijauan

Sampel hijauan diambil dari peternak lalu dilakukan rangking hijauan yang sering digunakan oleh peternak. Sebanyak 2 kg hijauan diambil sebagai sampel dan dikeringkan dengan oven 60 oC selama 48 jam lalu digiling hingga melewati saringan 0.5 mm, kemudian akan dilakukan analisis proksimat, van soest, energi, kecernaan invitro dan antinutrisi.

1. Analisis proksimat (Metode Naumann & Bassler 1997)

Sebanyak 50 gram sampel hijauan yang telah digiling diambil untuk dilakukan analisis proksimat yang terdiri dari analisis bahan kering, kadar abu, protein kasar, lemak kasar dan serat kasar.

1.1 Bahan kering

Sampel sebanyak ± 4 gr dimasukkan kedalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya kemudian dikeringkan dalam oven 105 oC selama 24 jam atau sampai berat konstan. Bahan kering dihitung menggunakan rumus

(16)

1.2Kadar abu

Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-3 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan kemudian dibakar di atas kompor listrik (diarangkan) sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

kadar abu % = berat sampel ×B − A %

Keterangan : A : Berat Cawan

B : Bobot sampel + cawan setelah tanur 1.3Protein kasar

Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran ini dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.3 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 50 ml, lalu ditambahkan katalis Se dan 20 ml H2SO4 lalu dipanaskan sampai cairan berubah warna menjadi bening hijau. Dinginkan larutan yang telah didestruksi kemudian masukkan kelabu destilasi ditambahkan akuades ±500 ml dihomogenkan dan didinginkan terlebih dahulu. Labu destilasi ditempatkan di alat destilasi dan hasil destilasi ditangkap dengan larutan H2SO4 dan metilen blue dalam labu elenmeyer. Hasil yang ditangkap kemudian dititrasi menggunakan NaOH hingga warnanya berubah menjadi hijau. Untuk mengetahui kelebihan titrasi larutan ditetesi kembali dengan H2SO4 sampai warna kembali kewarna biru semula. Kadar protein kasar dihitung menggunakan rumus:

PK % = Volume NaOH – Volume Titrasi x N NaOH x 6,25 x 14Bobot sampel (gram) ×100% 1.4Lemak kasar

Sampel seberat 1 gram (W1) dimasukkan ke dalam selongsong lemak dan ditutup dengan kapas, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat kosongnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC dengan menggunakan pemanas listrik dan direfluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu dimasukkan ke dalam desikator hingga beratnya konstan lalu ditimbang (W3). Kadar lemak ditentukan dengan rumus:

(17)

Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) 1.5Serat kasar

Sampel 0.5 - 1 gram (x) ditimbang dan dimasukkan kedalam gelas piala 600 ml, tambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan didihkan selama 30 menit. Setelah 30 menit tambahkan NaOH 1,5 N sebanyak 50 ml dan dipanaskan lagi selama 30 menit, lalu disaring dengan kertas saring

Whatman 41 yang telah ditimbang (a gram). Endapan yang ada pada

saringan di crucible glass dicuci berturut-turut dengan 50 mlaquadest panas, asam sulfat 50 ml, H2SO4 0.3 N 50 ml, aquadest panas lagi dan aceton. Endapan dimasukkan kedalam cawan dan endapan dikeringkan dalam oven 105 oC minimal 1 jam dan dieksikator selama 30 menit dan ditimbang sebagai Y gram. Setelah itu dipijarkan dalam tanur 600 oC selama 2 jam, didinginkan dalam oven 105 oC selama 30 menit dan dieksikator 30 menit, kemudian ditimbang sebagai Z gram. Kadar serat kasar dihitung dengan rumus:

% kadar serat kasar = Y − Z − aX × %

Keterangan :

Y : Bobot sampel yang telah disaring dan di Oven 105 oC selama 1 jam Z : Bobot sampel akhir setalah ditanur

a : Bobot kertas saring Whatman 41

X : Bobot sampel awal

2. Neutral digestibility fiber (NDF) (Van Soest et al.1999)

Sampel ditimbang ± 0.25-0.5 gram dan dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan larutan NDS (Neutral detergent solid) untuk analisa NDF dan larutan ADS (Acid detergent solid) sebanyak

50 ml dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Setelah 1 jam disaring menggunakan vakum dan cawan kaca masir kemudian dibilas aquadest panas dan aceton. Sampel yang telah disaring dimasukkan ke oven 105 oC. NDF dan ADF dihitung menggunakan rumus:

bobot sampel setelah oven 5 − bobot cawan kaca masir

bobot sampel x %

3. Kecernaan invitro

Kecernaan in vitro dilakukan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963), peubah pada kencernaan in vitro adalah NH3, VFA, KCBK , KCBO, KCPK, KCNDF dan KCADF

3.1Pengukuran NH3 rumen

(18)

yang berventilasi, kemudian diinkubasi selama 6 jam di dalam shaker water bath bersuhu 390C. Setelah inkubasi, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke

dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas mikroba, kemudian tabung fermentor disentrifuge dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit. Kemudian tampung supernatannya.

Cawan Conway diolesi dengan vaselin kemudian 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway kemudian 1 ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel. Asam borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan didalam cawan kecil yang ada dibagian tengah cawan Conway kemudian tutup rapat cawan Conway. Supernatan dan larutan Na2CO3 dicampur hingga rata dengan cara cawan Conway dimiringkan. Diamkan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Kemudian kadar NH3

Supernatan yang telah disiapkan menggunakan prosedur yang sama dengan penggukuran NH3 rumen sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu segera ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15 % dan ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat dihubungkan dengan labu pendingin. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan mendesak campuran supernatan dan H2SO4 dan akan terkondensasi dalam labu pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N hingga sampel menjadi 300 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator PP (Phenol pthaline) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi tidak berwarna. Produksi VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.3Pengukuran KCBK, KCBO, KCPK, KCNDF dan KCADF

Pengukuran KCBK dan KCBO mengikuti metode Tilley and Terry (1963) sebagai berikut:

1. Pencernaan Fermentatif

(19)

rumen lalu diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat. Tabung fermentor ditempatkan pada suhu 39o dan fermentasi dibiarkan berlangsung selama 48 jam. Setiap 6 jam, tabung diaduk dengan gas CO2.

2. Pencernaan Hidrolisis

Setelah diinkubasi selama 48 jam, kedalam tabung fermentor ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh untuk menghentikan aktivitas mikroba. Campuran tersebut disentrifuge dengan kecepatan 3000rpm selama 15 menit dan supernatannya dibuang, kedalam tabung ditambahkan 50 ml larutan pepsin HCl 0.2%. Pencernaan enzimatis berlangsung aerob selama 48 jam. Hasil pencernaan hidrolisis (residu) disaring menggunakan kertas Whatman no 41 yang dibantu dengan pompa vakum. Kemudian residu tersebut dimasukkan kedalam cawan porselen dan dipanaskan di dalam oven suhu 1050C selama 24 jam untuk menentukan BK residu. Selanjutnya residu BK dimasukan dalam tanur 600o selama 6 jam untuk mendapatkan residu bahan organik. Kemudian KCBK dihitung berdasarkan rumus:

100%

Kecernaan protein kasar dilakukan dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Endapan sisa dari inkubasi secara fermentatif dan hidrolisis di analisis protein kasar menggunakan metode Kjedhall. Kecernaan NDF dan ADF dihitung menggunakan rumus Goesser and Combs (2009)

KCPK (%) = � �� �� −�� � 3.5 Kecernaan serat (KCNDF dan KCADF)

Kecernaan serat atau kcernaan NDF dan ADF dilakukan dengan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Endapan sisa dari inkubasi secara fermentatif dan hidrolisis di analisis NDF dan ADF menggunakan metode Van Soest et al (1991). Kecernaan NDF dan

(20)

4. Produksi Gas (Close and Menke 1986)

Sebelum melakukan pengukuran Gas Test dilakukan terlebih dahulu pembuatan larutan media gas tes (Lampiran 1) dan persiapan sampel gas test. Sampel pakan yang digunakan untuk gas tes sebanyak 0.23 gram dan dimasukkan syringe. Sebanyak 30 ml campuran cairan rumen dan media (buffer) dimasukkan ke dalam syringe menggunakan spoit. Udara yang ada di dalam syringe dikeluarkan dan klep syringe ditutup. Posisi piston pada waktu sebelum inkubasi dicatat (Gb0). Syringe diinkubasi dalam waterbath selama 48 jam dan pencatatan posisi piston dilakukan pada jam ke 2, 4, 6, 8, 12, 24, dan 48. Nilai FH dan FC didapatkan dari pembagian total produksi gas masing-masing kontrol konsentrat dan hijauan. Total produksi gas (misalnya pada jam ke-24) diukur dengan rumus :

Gb=((Gb24-Gb0)-(Gb24 blanko-Gb0 blanko)*200*((FH+FC)/2)/BK bahan) Perhitungan Degradasi Bahan Organik dan Energi Metabolis dari produksi gas in vitro menggunakan rumus :

- Bahan baku konsentrat dan konsentrat

OMD (%) = 9.00 + 0.9991 Gb (ml) + 0.0595 XP (g kg-1) + 0.0181 XA (g kg-1)

EM (MJ kg-1 BK) = - 2.30 + 0.1335 Gb (ml) + 0.0121 XP (g kg-1) + 0.0281 XL (g kg-1) + 0.0055 XX (g kg-1)

Perhitungan Net Energy for Lactation:

- Hijauan dan limbah pertanian

NeL (MJ kg-1) = 0.42 + 0.0925 Gb (ml) + 0.0033 XP (g kg-1) + 0.0176 XL (g kg-1)

- Bahan baku konsentrat dan konsentrat

NeL (MJ kg-1) = - 2.93 + 0.0949 Gb (ml) + 0.0085 XP (g kg-1) + 0.0186 XL (g kg-1) + 0.0045 XX (g kg-1)

Keterangan :

OMD = organic matter digested (bahan organik tercerna)

Gb = Produksi gas dalam ml 200 mg-1 BK, 24 jam XP = crude protein (protein kasar)

ME = metabolizable energy (energi metabolis)

XA = ash (abu)

XL = crude lipid (lemak kasar)

XX = nitrogen free extract (beta-N)

(21)

5. Anti Nutrisi

Anti nutrisi yang diuji adalah tanin dengan menggunakan metode AOAC (1984). Pengujian tanin dilakukan hanya pada bahan pakan yang diduga mempunyai kandungan tanin dan hijauan baru yang belum diketahui kandungan anti nutrisinya.

Sebanyak 2 gram sampel yang ditambahkan aquadest ± 350 ml dimasukkan kedalam gelas beaker dan dipanaskan selama 3 jam. Kemudian disaring kedalam labu takar 500 ml untuk diambil cairannya atau supernatannya dan disetarakan. 2 ml supernatan di pipet kedalam labu takar 100 ml ditambahkan 2 ml pereaksi folin denis dan 5 ml Na2CO3 jenuh lalu disetarakan dengan aquadest dan homogenkan, biarkan selama 40 menit kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan λ 725 nm. Kadar tanin dihitung menggunakan rumus :

Kadar tanin (%) = � � �

%

Keterangan : X : banyaknya tanin sampel (mg), X diperoleh dari persaman regresi linear Y=a+bX

B : Bobot sampel (gr) 6. Performa Ternak

Bobot badan. Bobot badan diukur menggunakan pendugaan dari lingkar dada (LD). Pendugaan bobot badan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Schoorl yaitu:

�� = �� +

Keterangan :

BB : bobot badan (kg) LD : lingkar dada (cm)

Body condition score (BCS). Penilaian kondisi tubuh dilakukan dengan cara pengamatan dan perabaan terhadap deposit lemak pada bagian tubuh ternak, yaitu pada bagian punggung dan seperempat bagian belakang. BCS terbagi atas 5 skor (skor 1 = sangat kurus, skor 3 = sedang, dan skor 5 = sangat gemuk) skala 0.25 (Edmonson et al. 1989).

Produksi dan Kualitas Susu. Produksi susu dan kualitas susu diukur pagi dan sore hari. Produksi susu diukur menggunakan alat ukur dan kualitas susu dianalisis menggunakan lactoscan. Kualitas susu yang diukur diantaranya lemak susu, BJ, laktosa, SNF (Solid non fat) dan

protein susu.

(22)

Analisis Data

1. Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan keadaan dan kondisi peternakan rakyat KPSBU, kandungan nutrien, kecernaan nutrien, antinutrisi, produksi dan kualitas susu.

2. Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan kecukupan nutrien terhadap produksi dan kualitas susu, apabila terdapat korelasi nyata akan dilanjutkan dengan mencari persamaan regresinya.

Analisis korelasi dan regresi linier dihitung dengan menggunakan rumus Walpole (1982).

Analisis korelasi :

Analisis regresi : y = a + bx + e

keterangan :

rxy : korelasi antara peubah x dan y yi : peubah prediktor

xi : peubah respon a : intersep

b : koefisien prediktor

n : jumlah sampel yang digunakan e : galat

Peubah

1. Karakteristik peternak 2. Jenis pakan

3. Kandungan nutrien bahan pakan 4. Kecernaan Invitro

5. Jumlah pemberian pakan

6. Kebutuhan dan kecukupan nutrien 7. Kandungan fraksi serat bahan pakan 8. Kecernaan fraksi serat

9. Zat antinutrisi

(23)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak

Karakteristik peternak dilihat berdasarkan umur, pendidikan dan pengalaman beternak. Tabel 1 memperlihatkan karakteristik dari peternak sapi perah dikawasan Lembang.

Umur peternak berkisar dari 24 - 71 tahun, dengan tingkat pendidikan mulai dari SD sampai dengan lulusan perguruan tinggi atau S1. Pengalaman beternak dari 1 tahun sampai dengan 39 tahun. Koresponden yang mempunyai usia produktif kerja sebanyak 86%, (24 - 55 tahun), seperti yang dinyatakan Rasyaf (1995) dalam Nuraeni dan Purwanta (2006) usia produktif kerja berkisar 25 - 55 tahun, umur diatas 55 tahun telah melewati titik optimal dan akan semakin menurun dengan bertambahnya usia.

Pendidikan peternak di dominasi pendidikan SD yaitu sebanyak 64%, SMA 18%, SMP 11% dan S1 7%. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir peternak dalam beternak begitu juga pengalaman bertenak, sebanyak 64% peternak telah memiliki pengalaman berternak yang cukup lama berkisar dari 13 tahun sampai 39 tahun.

Tabel 1 Karakteristik peternak sapi perah Lembang

No Uraian orang % Jumlah

1 Umur

24-39 (muda) 15 54

40-55 (sedang) 9 32

56-71 (tua) 4 14

2 Pendidikan

SD 18 64

SMP 3 11

SMA 5 18

S1 2 7

3 Pengalaman bertenak (tahun)

1-12 (baru) 10 36

13-26 (berpengalaman) 13 46 27-39 (sangat berpengalaman) 5 18

Jenis Pakan, Kandungan Nutrien, Fermentabilitas, Kecernaan dan Partisi Energi Bahan Pakan

(24)

kasar lebih dari 18% dan konsentrat sumber energi yang memiliki kandungan protein kurang dari 18% dengan TDN 60%.

Jenis bahan pakan yang digunakan peternak terbagi lima kelompok yaitu rumput unggul, rumput lapang, limbah pertanian, bahan konsentrat dan konsentrat (Tabel 2). Rumput unggul yang banyak digunakan peternak yaitu rumput gajah, rumput lapang yang digunakan terdiri dari 11 jenis, limbah pertanian 8 jenis, bahan konsentrat 3 jenis dan konsentrat 2 jenis. Bervariasinya penggunaan bahan pakan yang digunakan disebabkan ketersediaan rumput unggul seperti rumput gajah terbatas sehingga untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan terutama hijauan peternak menggunakan hijauan yang ada disekitar peternak. Abdullah (2006) menyatakan hampir 70% hijauan yang digunakan peternak berasal dari rumput lokal.

Tabel 2 Jenis bahan pakan peternakan sapi perah KPSBU Jenis Bahan Pakan

Rumput

Unggul Rumput Lapang Pertanian Limbah Konsentrat Konsentrat Bahan Rumput

Gajah Babadotan (conyzoides) Ageratum Jerami padi Onggok KPS 100

Hanjuang(Cordyline) Daun Jagung

Ampas

(25)

(a) (b)

Gambar 1 Hijauan yang digunakan peternak (a), Konsentrat dan Bahan Konsentrat (b)

Konsentrat yang digunakan pada peternakan rakyat sapi perah KPSBU mayoritas adalah konsentrat yang disediakan oleh koperasi KPS 100 dan onggok (100%), ampas tahu, ampas bir dan KPS 75 hanya digunakan oleh sebagian kecil peternak (46.4%, 7.1%3 dan 3.6%). Penggunaan konsentrat yang berasal dari luar koperasi bertujuan untuk meningkatkan asupan nutrien.

Selain jenis bahan pakan, kualitas bahan pakan sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrien dari bahan pakan tersebut. Kandungan nutrien bahan pakan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai BK bahan pakan berkisar 4.73% - 85.59%, abu 1.57% - 19.22%, LK 0.71% - 10.31%, PK 2.61% - 32.47%, SK 14.54% - 33.99% dan BETA-N 32.50% - 74.80%. Kandungan nutrien bahan pakan sangat bervariasi karena berasal dari bahan yang berbeda.

Kandungan PK tertinggi terdapat pada bahan pakan kol tetapi karena kandungan air kol sangat tinggi (94.90%) sehingga PK yang dapat dimanfatkan oleh ternak menjadi rendah, 1 kg kol yang diberikan ( PK 32.47% BK) mengandung PK yang setara dengan 0.49 kg rumput lapang (PK 17.28% BK). Despal et al (2007) menyatakan kandungan nutrien dari rumput lapang tidak dapat

memenuhi kebutuhan sapi perah karena memiliki PK yang kecil (8.69%).

Kandungan nutrien konsentrat dipeternakan sapi perah terutama PK (10.92% dan 13.58%) yang kecil tidak dapat memenuhi kebutuhan sapi perah dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan SNI (2009) untuk konsentrat sapi perah minimal kandungan protein kasarnya sebesar 16%. Rendahnya PK yang ada di konsentrat menyebabkan peternak menambahkan bahan konsentrat lain seperti ampas tahu dan ampas bir untuk meningkatkan kualitas pakan.

Serat menjadi salah satu nutrien yang dibutuhkan oleh ruminansia. Nilai SK tertinggi terdapat pada tanaman lameta dan yang terendah bahan pakan ampas bir, tetapi bila dilihat berdasarkan BK yang dimiliki bahan pakan daun jagung memiliki kandungan SK yang tertinggi. Kebutuhan minimum serat kasar dalam ransum sapi perah untuk sapi dara dan sapi jantan dewasa 15%, dari bahan kering, sedangkan untuk sapi betina yang sedang laktasi kadar serat minimum dalam

100 KPS75 Onggok AmpasTahu AmpasBir

Pete

rna

k

(%

(26)

ransum 17% dari bahan kering. Bila kurang, maka kadar lemak susu yang dihasilkan akan lebih rendah dari normal (Williamson dan Payne 1993).

Tabel 3 Analisis proksimat bahan pakan sapi perah Jenis Pakan BK Total Kandungan Nutrien

(%) Abu (%) (%) LK (%) PK (%) SK BETA_N (%)

(27)

Tabel 4 Fermentabilitas dan persentase kecernaan bahan pakan sapi perah

koefisien cerna bahan organik, OMD: Organic matter digestibility

Volatil fatty acid (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak

(28)

mikroba seperti yang dinyatakan oleh Sutardi (1977) kisaran nilai VFA total untuk mendukung pertumbuhan mikroba berkisar 80-160 mM.

Fermentabilitas bahan organik yang tinggi tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba bila tidak ada kerangka N dari amonia dan asam amino. NH3 merupakan sumber nitrogen utama dan sangat penting bagi pertumbuhan mikroba rumen dalam mensintesis protein selnya dan merupakan bentuk dari proses degradasi serta sintesis protein (Sutardi 1981, McDonald et al 2002). Nilai

NH3 bahan pakan berkisar 2.73 mM - 25.24 mM.

Nilai NH3 yang terendah pada onggok tidak mampu memenuhi kebutuhan mikroba seperti yang dinyatakan McDonald (2002) minimal nilai NH3 pada bahan pakan adalah 4 mM. Nilai NH3 yang rendah pada onggok dapat disebabkan oleh rendahnya PK pada onggok. Bahan pakan yang mempunyai potensi sebagai sumber NH3 yaitu Inchantus vicinus yang mempunyai nilai NH3 paling besar (25

mM).

Kecernaan bahan pakan berfungsi untuk menyediakan nutrien untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Nilai KCBK dan KCBO yang diperoleh pada bahan pakan berkisar 27.61% - 86.58% dan 29.83% - 86.77%. Nilai KCBK dan KCBO dari rumput dan limbah pertanian lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai KCBK dan KCBO dari bahan konsentrat. Nilai OMD bahan pakan yang didapat dari estimasi produksi gas berkisar 37.74% - 87.41%. Kecernaan protein berkisar 12.7% - 83.38%, dengan nilai kecernaan terendah pada KPS 75 yaitu 12.67%.

Energi yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk aktifitas, produksi dan repoduksi. Energi diperoleh dari bahan pakan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein. Hasil partisi energi bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 5. Energi untuk kebutuhan sapi perah dilihat dari TDN, EM dan NeL.

Total digestbility nutrien adalah ukuran energi yang biasa digunakan untuk

mengetahui jumlah nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Nilai TDN bahan pakan sapi perah di KPSBU Lembang berkisar 48.88% - 88.75%. Nilai TDN dari hijauan terutama rumput (53.01% - 64.43%) yang digunakan oleh peternak masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak terutama sapi perah laktasi yang membutuhkan TDN dalam ransum minimal 65%. Despal et al

(2007) menyatakan rumput lapang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sapi perah karena hanya memiliki TDN sebesar 52.4%.

Energi metabolisme adalah energi yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk hidup pokok, aktivitas, produksi susu, reproduksi dan pertumbuhan (Moran, 2005). Energi metabolisme pada penelitian ini diperoleh dari estimasi produksi gas. Nilai energi metabolisme bahan pakan sapi perah KPSBU Lembang berkisar 3.84 MJ kg-1 BK-1 - 14.66 MJ kg-1 BK-1. Energi metabolis yang paling kecil pada rumput Inchantus vicinus (3.84 MJ Kg-1 BK-1 atau 10.26 Mkal) tidak mampu

memenuhi kebutuhan hidup pokok sapi perah dewasa dengan bobot 400 kg yang berdasarkan NRC (1989) membutuhkan energi metabolis sebesar 12.01 Mkal.

(29)

NRC (2001) kebutuhan NeL untuk sapi perah awal laktasi yaitu 6.96 MJ kg-1, untuk sapi bunting dan dalam masa kering yaitu 5.21 MJ kg-1, untuk sapi dengan produksi susu 7 sampai 13 kg per hari adalah 5.92 MJ kg-1 dan untuk sapi dengan produksi susu 13 sampai 20 kg per hari yaitu 6.33 MJ kg-1.

Tabel 5 Partisi energi bahan pakan sapi perah

Jenis Pakan TDN Partisi Energi

(%) (MJ kgEM -1 BK-1) (MJ kgNeL -1)

Rumput

Rumput Gajah 57.20 5.45 2.79

Babadotan (Ageratum conyzoides) 59.17 5.26 2.67

Hanjuang (Cordyline) 57.66 4.97 2.48

Jukut Pahit Rumput Teki (Cyperus rotundus .L) 54.13 5.73 3.02

Kekangkungan 64.43 6.73 3.74

Lameta (Leersia hexandria) 53.01 7.00 3.93

Lampuyang (Panicum repens) 53.11 4.75 2.33

Lamsani (Tricholaena rosea) 57.69 4.59 2.20

Malela (Brachiaria mutica) 55.12 8.26 4.83

Inchantus vicinus 58.82 3.84 1.68

Rumput Lapang 62.37 4.43 2.10

Sulanjana 55.47 4.70 2.28

Limbah Pertanian

Jerami padi 48.88 3.86 1.68

Daun Jagung 51.34 5.42 2.82

Daun dan Buah Labu 62.43 4.81 2.39

Daun Pisang 60.21 4.60 2.15

Daun Ubi 54.04 6.74 3.75

Kol 63.34 10.22 4.79

Kulit Kacang 56.07 7.01 3.93

Sawi Putih 69.11 6.10 3.30

Bahan Konsentrat

Onggok 88.75 10.39 6.37

Ampas tahu 77.49 14.66 9.06

Ampas Bir 77.89 8.47 4.81

Konsentrat

KPS 100 69.35 9.17 3.11

KPS 75 54.06 5.82 3.14

(30)

Jumlah Pemberian dan Imbangan Pakan Sapi Perah

Pberian pakan pada sapi perah pada umumnya dihitung berdasarkan bobot badan sapi, pemberian pakan secara segar oleh peternak sebesar 68.88 kg e-1 h-1 dengan persentase 15.78% dari bobot badan dan pemberian pakan berdasarkan bahan kering sebesar 19.75 kg e-1 h-1 dengan persentase 4.52% dari bobot badan (Tabel 6). Pemberian pakan yang dilakukan peternak di Lembang berdasarkan bahan kering lebih banyak dari pemberian pakan yang dianjurkan oleh NRC (2001) yaitu pemberian pakan berdasarkan bahan kering sebesar 3 - 4% dari bobot badan.

Tabel 6 Pemberian dan imbangan pakan sapi perah

Peubah Pemberian Pakan Sapi Perah Hijauan Konsentrat Imbangan Hijauan Konsentrat Hijauan Konsentrat

BS kg e-1 h-1 48.11 20.77 69.84 30.16

BK kg e-1 h-1 10.94 8.81 55.41 44.59

% BB dari BS 11.03 4.75

% BB dari BK 2.51 2.01

Ket: BS: Bahan segar, BK: Bahan kering, BB: Bobot badan

Selain jumlah pemberian, imbangan hijauan : konsentrat dalam pakan sangat penting untuk menjaga produksi dan performa sapi. Secara umum pemberian Imbangan hijauan: konsentrat berdasarkan bahan segar yang diberikan oleh peternak 69.84 : 30.16 (Tabel 5) dan berdasarkan bahan kering 55.41 : 44.59 sudah sesuai dengan yang dianjurkan Siregar (1992) imbangan hijauan : konsentrat untuk menghasilkan produksi susu tinggi dan mempertahankan lemak susu adalah 60 : 40.

Kebutuhan nutrien ternak berbeda-beda tergantung spesies, bobot badan dan kondisi fisiologinya. Nutrien yang digunakan untuk menghitung kebutuhan sapi adalah BK, TDN dan PK (NRC 1989). Rataan pemberian nutrien melebihi dari kebutuhan yang dibutuhkan oleh sapi perah, hal ini dilihat dari jumlah pemberian BK dan TDN yang mencapai 200% dan pemberian PK yang mencapai 170% dari kebutuhan ternak (Gambar 2).

Rataan jumlah pemberian BK, TDN dan PK oleh peternak 19.75 kg, 12.69 kg dan 2.15 kg dengan jumlah sapi yang memenuhi kebutuhan BK, TDN dan PK sebanyak 65.38%, 66.35% dan 67.31%. Jumlah pemberian BK, TDN dan PK yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pemberian Despal et al (2014) yaitu 24.64 kg, 15.43 kg dan 3.02 kg tetapi masih

lebih tinggi dari yang dianjurkan NRC (1989), kebutuhan BK, TDN dan PK sapi perah adalah 9.93 kg, 6.25 kg dan 1.27 kg.

Selisih jumlah pemberian dan kebutuhan berdasarkan NRC diperoleh

nutrien balance dimana terdapat kelebihan nutrien BK, TDN dan PK yang

(31)

Gambar 2 Kebutuhan dan jumlah pemberian nutrien sapi perah. NRC (1989), jumlah pemberian (kg), jumlah sapi yang memenuhi kebutuhan (%). BK: Bahan kering, TDN: Total digestibility nutrien, PK: Protein

kasar

Fraksi Serat, Kecernaan Serat dan Anti Nutrisi Bahan Pakan

Penggunaan serat untuk mengukur konsumsi dan performa ternak dilakukan karena serat penting bagi ternak terutama untuk ternak ruminansia karena serat merupakan sumber energi bagi mikroba rumen. Jumlah pemberian serat dalam pakan dipengaruhi kondisi fisiologi dan jumlah produksi ternak, tipe serat, ukuran partikel, dan frekuensi konsumsi (NRC 1989). Tabel 7 memperlihatkan hasil analisis fraksi serat pakan sapi perah KPSBU Lembang.

Umumnya serat yang diukur pada pakan sapi perah adalah serat kasar (SK), NDF dan ADF. Penelitian ini menggunakan NDF dan ADF sebagai fraksi serat yang diukur karena NRC (1989) menyatakan NDF dan ADF lebih akurat untuk mengukur komponen serat dari pada SK. Nilai NDF bahan pakan 26.45% - 92.13%, ADF 22.44% - 54.51%, lignin 3.64% - 17.35%, selulosa 15.59% - 41.71% dan hemiselulosa 2.00% - 45.99%. Nilai NDF dari hijauan rumput berkisar 67.77% - 82.84%, nilai NDF yang diperoleh lebih kecil dari yang dinyatakan oleh Mahyudin (2007) nilai NDF rumput tropis berkisar dari 73.1% - 86.3%.Nilai NDF yang tinggi pada daun jagung (92.13%) tidak berarti daun jagung merupakan sumber serat yang baik bila tidak diikuti dengan kecernaan yang tinggi.

(32)

Tabel 7 Fraksi serat bahan pakan sapi perah

Jenis Pakan NDF Fraksi Serat

(%) ADF (%) Lignin (%) Selulosa (%) Hemiselulosa (%)

Ket: NDF: Neutral detergent fiber, ADF: Acid detergent fiber

Kecernaan serat menjadi salah satu peubah penting dalam kualitas hijauan karena hijauan yang memiliki kandungan NDF dan ADF yang sama dapat memiliki kecernaan yang berbeda. Kecernaan serat didefiniskan proporsi serat yang dicerna yang tidak dieksresikan di feses (Varga et al 1998). NDF dan ADF

(33)

bahan pakan berkisar 15.39% - 72.52% dan 0.69% - 62.65% (Tabel 8). Kecernaan serat dipengaruhi perbedaan struktur dan komposisi hijauan, umur panen dan ukuran hijauan (Varga et al 1998). Kecernaan ADF yang rendah pada jerami

dapat disebabkan oleh kandungan lignin jerami, walaupun kandungan lignin jerami hanya 5% tetapi karena lignin dapat mengikat selulosa sehingga selulosa yang dapat dicerna menjadi tidak dapat dicerna.

Tabel 8 Kecernaan fraksi serat dan anti nutrisi bahan pakan sapi perah Jenis Pakan KCNDF Fraksi Serat dan Anti Nutrisi

(%) KCADF (%) Tanin (%)

Rumput

Rumput Gajah 27.72 8.36 -

Babadotan (Ageratum conyzoides) 23.57 11.78 1.91

Hanjuang (Cordyline) 34.66 30.37 0.35

Jukut Pahit Rumput Teki (Cyperus rotundus .L) 18.65 5.21 -

Kekangkungan 54.55 41.10 0.51

Lameta (Leersia hexandria) 25.88 13.52 -

Lampuyang (Panicum repens) 37.92 30.36 0.66

Lamsani (Tricholaena rosea) 43.56 33.62 1.11

Malela (Brachiaria mutica) 41.34 26.29 0.15

Inchantus vicinus 34.32 30.79 2.03

Rumput Lapang 33.91 14.13 -

Sulanjana 33.97 18.50 1.41

Limbah Pertanian

Jerami padi 37.56 0.69 -

Daun Jagung 42.60 7.51 0.03

Daun dan Buah Labu 18.47 12.59 0.33

Daun Pisang 20.85 8.92 1.69

Daun Ubi 28.85 41.42 -

Kol 17.58 33.94 2.43

Kulit Kacang 47.22 57.88 0.17

Sawi Putih 23.43 24.59 1.13

Bahan Konsentrat

Onggok 44.86 23.13 -

Ampas tahu 72.52 62.65 -

Ampas Bir 31.15 16.52 ND

Konsentrat

KPS 100 15.39 14.67 -

KPS 75 28.70 5.82 -

(34)

Tanin merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman yang berfungsi untuk melindungi tanaman dari predator atau hama pengganggu. Tanin banyak terdapat pada tanaman legum dan limbah pertanian (Makkar, 2003). Tanin terbagi menjadi dua kelompok yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis adalah tanin polimer gallic atau ellagic acid yang berikatan ester

dengan sebuah molekul gula, sedangkan tanin terkondensasi merupakan polimer senyawa flavonoid dengan ikatan karbon-karbon. Tanin terhidrolisis dapat menjadi toksin bagi ternak karena dapat diserap dirumen sedangkan tanin terkondensasi tidak dalam diserap dirumen.

Tanin yang berlebihan dalam pakan akan memberi efek negatif pada kondisi sapi karena akan menurunkan konsumsi, menghambat pertumbuhan dan mengurangi kecernaan serat. Hasil analisis kadar tanin yang diperoleh dari beberapa jenis bahan pakan memiliki nilai yang berkisar 0.03% - 2.43 % (Tabel 8) dan tanin dalam pakan sangat kecil yaitu 0.023% BK dan tidak membahayakan bagi kondisi ternak, bahkan akan memberi efek positif karena dapat melindungi protein dari degradasi mikroba rumen sehingga protein tersedia hingga usus halus (Reed, 1995). Kadar tanin terkondensasi dalam pakan yang dapat ditoleransi adalah 2% - 4% (Barry et al 1985 dalam Preston dan Leng 1987).

Jumlah Pemberian Fraksi Serat Sapi Perah

Formulasi pakan sapi perah yang direkomendasikan oleh NRC (2001) berdasarkan kebutuhan serat dan karbohidrat. Tabel 9 menampilkan hasil pemberian serat efektif pada peternakan sapi perah KPSBU Lembang. Total NDF yang diberikan pada sapi sebesar 65.33 % BK dengan NDF yang berasal dari hijauan dan konsentrat 41.12 % BK dan 24.21 % BK.

Tabel 9 Pemberian serat efektif pada peternakan sapi perah lembang Jenis Pakan NDF ADF Lignin Selulosa Hemiselulosa Fraksi Serat Total (kg e-1 h-1) 12.92 7.63 1.66 5.16 5.29

Ket: NDF: Neutral detergent fiber, ADF: Acid detergent fiber, BK: Bahan kering

(35)

Pemberian NDF oleh peternak berdasarkan bobot badan yaitu sebesar 2.96%, hal ini melebihi dari yang dianjurkan oleh Merten (1985) yaitu maksimum konsumsi NDF sebesar 1.2 ± 0.1 % BB dengan 70-80 % total NDF berasal dari hijauan. Merten (1997) menyatakan tingginya pemberian serat akan menyebabkan kepadatan energi berkurang dan konsumsi menurun, berkurangnya kepadatan energi dan konsumsi menurun akan menyebabkan produksi susu menurun. Korelasi antara kandungan NDF dan energi ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 menujukkan hubungan yang linear negatif antara kandungan NDF pakan dengan nilai energi metabolisme (EM) dan energi untuk laktasi (NeL) walaupun nilai determinasi (R2) korelasi NDF dengan EM lebih tinggi dari pada nilai determinasi (R2) korelasi NDF dengan NeL. Makin tinggi nilai NDF pakan maka energi metabolisme dan energi untuk laktasi pada pakan akan menurun. Hasil yang sama diperoleh oleh Beauchemin et al (1994) ketika konsentrasi NDF

dalam pakan meningkat maka akan menurunkan NeL pakan.

Gambar 3 Korelasi jumlah pemberian NDF dengan energi metabolisme (EM MJ kg-1 BK-1) ( ) dan energi untuk laktasi (NeL MJ kg-1) ( )

Fraksi serat selain NDF yang mempunyai peran penting dalam pakan sapi perah adalah ADF. NRC (1989) menyatakan ADF dalam pakan dapat mencegah menurunnya lemak susu dan minimum ADF dalam pakan yang direkomendasikan yaitu 19% (NRC 2001). Total jumlah pemberian ADF 38.57 % BK dengan 25.12 % BK ADF berasal dari hijauan.

(36)

Performa ternak dilihat dari produksi susu, kualitas susu, bobot badan, dan

Body Condition Score (BCS) (Tabel 10). Rataan produksi susu sapi perah 14.09 l

e-1 h-1 dengan produksi tertinggi 26 l e-1 h-1 dan terendah 3.6 l e-1 h-1. Hasil yang berbeda diperoleh oleh despal et al (2013) terutama pada produksi susu dengan

rataan produksi susu 16 liter e-1 h-1. Kualitas susu yang diukur adalah lemak susu, laktosa, Solid Non Fat (SNF) dan protein susu. Rataan dari lemak susu, laktosa,

SNF dan protein susu masing-masing adalah 4.13%, 4.16%, 7.53% dan 2.8%. Kadar lemak dan protein susu yang diperoleh berada dalam standar mutu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Indonesia (2011) untuk susu segar minimal lemak susu 3% dan minimum kadar protein susu 2.8%. Kadar SNF masih belum memenuhi standar minimum yaitu 7.8%.

Tabel 10 Performa sapi perah KSPBU Lembang

Peubah Rata-rata

Pola korelasi bulan laktasi dengan produksi susu, jumlah pemberian pakan dan body condition score dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi susu menurun

dengan semakin meningkatnya bulan laktasi dengan puncak laktasi terjadi pada bulan laktasi kedua. Puncak laktasi terjadi sama seperti yang dinyatakan McDonald et al (2001), Moran (2005) bahwa puncak laktasi sapi perah terjadi

pada bulan laktasi kedua, tetapi pada bulan laktasi kedelapan produksi susu mengalami peningkatan hal ini dapat disebabkan adanya peningkatan jumlah pemberian pakan pada bulan laktasi ketujuh, sehingga ada peningkatan jumlah nutrien yag diberikan yang memberi pengaruh pada produksi susu dibulan laktasi kedelapan.

Kurva pemberian pakan menunjukkan jumlah pemberian tertinggi terjadi pada bulan laktasi kesatu dan terus menurun dengan semakin meningkatnya bulan laktasi tetapi terjadi peningkatan sedikit dibulan laktasi ketujuh dan menurun kembali dibulan laktasi kedelapan. Jumlah pemberian pakan oleh peternak tidak sesuai dengan pola konsumsi pakan pada sapi perah seperti yang dinyatakan oleh Moran (2005) konsumsi pakan makin meningkat dari bulan laktasi kesatu, kedua dan ketiga dan konsumsi pakan tertinggi terjadi pada bulan laktasi keempat dan terjadi penurunan konsumsi pakan pada bulan laktasi keenam.

BCS adalah metode subjektif untuk menduga jumlah energi metabolis yang disimpan ternak hidup di lemak dan otot (cadangan tubuh) (Edmonson et al 1987).

(37)

peternakan rakyat lembang 439.67 kg dan rataan BCS 2.63 dengan BCS minimum 2 dan maksimum 4. Bobot badan dan BCS yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Despal et al (2014) yaitu

rataan bobot badan dan BCS sapi perah lembang 442.5 kg dan 2.7.

Gambar 4 Kurva bulan laktasi vs body condition score (BCS) ( ), produksi

susu (L h-1 e-1) ( )dan jumlah pemberian (kg) ( )

Nilai BCS berhubungan dengan bulan laktasi sapi, sepanjang masa laktasi dari awal laktsi sampai masa kering nilai BCS akan terus meningkat dengan nilai maksimum 3.25 (Penn state, 2004), 3.75 (Sukandar et al 2008). Hubungan BCS

dan bulan laktasi dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini makin meningkat bulan laktasi nilai BCS yang diperoleh fluktuatif dan pada bulan laktasi ke 6 mengalami penurunan sehingga kondisi sapi makin kurus dan tidak tersedianya deposit lemak. Rataan BCS 2.63 jika diawal laktasi maka kondisi sapi cukup bagus tetapi bila nilai BCS 2.63 pada tengah laktasi dan akhir laktasi maka kondisi sapi kurang baik dan kurus karena pada tengah laktasi dan akhir laktasi deposit lemak harus lebih banyak karena adanya fetus dan persiapan untuk produksi susu yang tinggi diawal laktasi.

(38)

Tabel 11 Korelasi kandungan nutrien dan utilisasi pakan terhadap performa

Organic matter digestibility, TDN: Total digestibilty nutrient, KCBK: Koefisien cerna bahan kering, KCBO: Koefisien cerna bahan organik, KCNDF: Koefisien cerna neutal detergent fiber, KCADF: Koefisien cerna acid detergent fiber

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(39)

Saran

Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak perlu diketahui untuk mengetahui jumlah nutrien yang digunakan oleh ternak, serta untuk mengurangi jumlah pemberian pakan yang berlebihan yang selama ini diberikan oleh peternak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah L. 2006. The development of integrated forage production system for ruminants in rainy tropical regions – the case of research and extension activity in Java, Indonesia. Bull. Facul. Agric. Univ. 58: 125 – 128

[AOAC] Associaton of Official Analitycal Chemist. 2003. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Published by The Association of Official Analytical Chemist, Inc

Beauchemin KA, Farr BI, Rode LM, Schaalje GB. 1994. Optimal neutral detergent fiber concentration of barley-based diets for lactating dairy cows. J Dairy Sci 77:1013-1029

Close W, Menke KH. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. Manual

Prepared for The 3rd Hohenheim Course on Animal Nutrition in The Tropics and Semi-Tropics. 2nd Ed. Compiled by Close WH and Menke KH in Cooperation With Steingass H and Troscher A. German (Gr) : University of Hohenheim Stuttgart.

Deptan. 2013. Basis Data Statistik Pertanian.

http://www.deptan.go.id/Indikator/tabel-4-pop-prod-nak.pdf

Despal, Lestari A, Destianingsih Y, Malyadi Z, Hartono H, Abdullah L. 2013. Nutrients intake and their relation to milk production and qualities under traditional and small scale Indonesian dairy farms enterprises. Proceeding 3rd AINI International Seminar. Padang, 24 – 25 September 2013

Despal, Lestari A, Abdullah L. 2014. Dairy cattle nutrient sufficiency kept under traditional farming practice during rainy and drought seasons. Proceeding 16th AAAP International Seminar 218 D 827 ID

Edmonson AJ, Lean IJ, Weaver LD, Farver T, Webster G. 1987. Body condition scoring chart for holstein dairy cows. J. Dairy Sci. 72:68-78

Gearhart MA, Curtis CR.1990. Relationship of Changes in Condition Score to Cow Health in Holsteins. J. Dairy Sci 73:3132-3140

GKSI-CCD Denmark. 1995. Petunjuk Praktis Berternak Sapi Perah. GKSI-CCD Denmark. Jawa Timur

Goering HK, Van Soest PJ. 1970 . Forege fiber analisys . Agricultural Hand Book379. USA: Agricultural Research Sevice

Hady PJ, Domecq JJ, Kaneene JB. 1993. Frequency and in dairy cattle precision of body condition scoring. J. Dairy Sci 77:1543-1547

(40)

Makkar HPS. 2003. Effects and fate of tannins in ruminant animals, adaptation to tannins, and strategies to overcome detrimental effects of feeding tannin-rich feeds. Review. Small Ruminant Research. 49 (2003) 241–256

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition.

6th Edition. Pearson Education Limited. England (UK): Harlow

Mertens DR.1985. Factors influencing feed intake in lactating cows: from theory to application using neutral detergent fiber. Proceeding . 1985 Georgia Nutritition Conference page 1

Mertens DR. 1992. Nonstructural and structural carbohydrates. Large Dairy Herd Management. Am. Dairy Sci. Assoc Champaign, IL. Page 219

Mertens DR. 1997. Creating a system for meeting the fiber reuirements of dairy cows. J. Dairy Sci. 80:1463-1481

Moran J . 2005. Tropical Dairy Farming. Australia (AU) : Landlink Press

[NRC] National Research Council. 1989. Nutrient Requirement of Dairy Cattle.

6th Revised Edition. Washinhton DC (US): National Academy Pr

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle, 7

th

Ed. Washington D.C: National Academy Press

Nuraeni, Purwanta. 2006. Potensi sumber daya dan analisis pendapatan usaha peternakan sapi perah di Kabupaten Sinjai. J Agrisistem 2 (1): 8-17

Penn State. 2004. Begginer’s Guide to Body Condition Scoring: ATool for Dairy Herd Management. Revised Edition. Washington DC (US): National

Academy Pr

Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminants Production System With Available Resources In The Tropic. Armidale:Penambul Books

Reeds JD.1995. Nutritional toxicology of tannin and related polyphenol in forage legumes. J. Anim. Sci. 73:1516-1528

Siregar SB. 1992. Sistem pemberian pakan dalam upaya meningkatkan produksi susu sapi perah. Wartazoa. 2(3-4) : 23-27

[SNI]. Standar Nasional Indonesia. 2009. Pakan konsentrat bagian-1 sapi perah. 3148.1:2009

Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.

Jakarta: Agromedia Pustaka

Sukandar A, Purwanto BP, Anggraeni A. 2008. Keragaan body condition score

dan produksi susu sapi perah friesian-holstein di peternakan rakyat KPSBU Lembang, Bandung. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner [Waktu tidak diketahui]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor

Sutardi T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Khusus Peternakan Sapi Perah. Kayu

Ambon Lembang. Bandung (ID) : Direktorat Jenderal Peternakan-FAO

Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Jurusan Ilmu Nutrisi

dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Tilley JMA, Terry RA. 1963. A twostage technique for the in vitro digestion of

forage crops. J. British Grasslan Soc. 18: 104-111

(41)

Walpole RE. 1982. Ilmu Peluang dan Statistik untuk Insinyur dan Ilmuan. Bandung : Institut Teknologi Bandung

Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

(42)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1  Karakteristik peternak sapi perah Lembang
Tabel 2  Jenis bahan pakan peternakan sapi perah KPSBU
Gambar 1  Hijauan yang digunakan peternak (a), Konsentrat dan Bahan
Tabel 3  Analisis proksimat bahan pakan sapi perah
+7

Referensi

Dokumen terkait

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g) …(1) Setelah proses kalsinasi, batu kapur didinginkan dalam furnance sampai suhu menunjukkan suhu ruang karena penurunan panas yang

Bahan baku pembuatan biometana pada Prarancangan pabrik ini adalah POME ( Palm Oil Mill Effluent ) yang merupakan limbah cair dari pengolahan CPO ( Crude Palm Oil ) milik PTPN

Menurut Hasan (2013) dalam produk barang, bauran variabel pemasaran yang terkendali yang sering disebut sebagai basis strategi harus dikelola untuk memenuhi kebutuhan dan

Kondisi Tempat Tinggal Lansia Di Pondok Ma’arif Muslimin..

[r]

Universiti Teknologi Malaysia, Universitas PGRI Semarang, Universitas Negeri Makassar, Indonesia, Regional Association for Vocational Teacher Education (RAVTE), Persatuan

Microstress level was estimated in iron-based alloys with precipitates of coherent intermetallides Ni3Ti (type 16Cr-15Ni-3Mo-Ti and 36Ni-3Ti steels) and coherent carbides

Sedangkan pada tanaman dengan dosis mikoriza dosis 6 gr, 8 gr, dan 10 gr jumlah daun tidak mengalami penurunan yang disebabkan adanya simbiosis dengan mikoriza sehingga