• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN SENSITIVITAS LINGKUNGAN TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI

DINAR ADIATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)

ABSTRAK

DINAR ADIATMA. Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan YUDI SETIAWAN.

Indeks Sensitivitas Lingkungan merupakan pendekatan sistematis untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah berdasarkan klasifikasi fisik perairan, sumberdaya biologis, dan penggunaan sumberdaya oleh masyarakat. Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang banyak mengalami gangguan masyarakat. Setiap daerah di TNGC akan memberikan respon bervariasi sesuai tingkat sensitivitas masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah TNGC menggunakan indeks sensitivitas lingkungan. Penyusunan indeks sensitivitas lingkungan berdasarkan faktor kerentanan, ekologi, dan sosial. Kelas sensitivitas dibagi menjadi lima tingkat mulai tingkat sangat sensitif hingga tingkat tidak sensitif. Hasil kumulatif ketiga indeks penyusun menunjukkan bahwa wilayah TNGC didominasi oleh wilayah sensitif. Secara keseluruhan berdasarkan luasan setiap tingkat sensitivitas maka seluruh resort memiliki wilayah sensitif dan agak sensitif. Resort Jalaksana dan Cilimus menjadi resort prioritas karena memiliki kawasan dengan tingkat sangat sensitif di zona inti. Kata kunci: gangguan, indeks sensitivitas lingkungan, sensitif

ABSTRACT

DINAR ADIATMA. Sensitivity Mapping Gunung Ciremai National Park Environment. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and YUDI SETIAWAN.

Environmental Sensitivity Index is a systematic approach to organize information based on the sensitivity level of physical classification of aquatic, biological resources, and the use of resources by the community. Research conducted at the National Park of Mount Ciremai (TNGC), which many impaired people. Every region in TNGC will provide responses vary according to the level of sensitivity of each. This study aims to collate information TNGC the sensitivity level using environmental sensitivity index. Compilation of environmental sensitivity by a factor of vulnerability, ecological, and social. Sensitivity class is divided into five levels from levels very sensitive to the level insensitive. The cumulative results for the three constituent indices showed that the region is dominated by TNGC sensitive areas. Overall based on the extent of each level of sensitivity, the entire resort has a sensitive region and a bit sensitive. Resort Jalaksana and Cilimus become a priority as it has a resort area with a very sensitive level in the core zone.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

PEMETAAN SENSITIVITAS LINGKUNGAN TAMAN

NASIONAL GUNUNG CIREMAI

DINAR ADIATMA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan dokumentasi penelitian yang dilaksanakan pada Februari−Maret 2015 dengan judul Pemetaan Sensitivitas Lingkungan Taman Nasional Gunung Ciremai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Kemristekdikti yang telah memberikan kesempatan menempuh perkuliahan melalui beasiswa Bidikmisi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Yudi Setiawan, SP, MSc, PhD selaku dosen pembimbing atas arahan, motivasi, dan waktu yang diberikan kepada penulis. Apresiasi penulis sampaikan kepada seluruh petugas di kantor Balai Taman Nasional Gunung Ciremai khususnya di Seksi Pengelola Wilayah II Majalengka yang telah membimbing selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Rachmad Hermawan, MSc dan Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku ketua sidang dan dosen penguji atas segala arahan, saran dan motivasi pada sidang komprehensif.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen yang mengajarkan ilmu dan suri teladan selama di kampus IPB tercinta. Semoga penulis mendapatkan kehormatan untuk membalas kebaikan beliau semua. Teriring juga salam hangat kepada rekan-rekan mahasiswa yang penulis kenal selama menempuh perkuliahan. Semoga hubungan silaturahmi kita tetap senantiasa mendekatkan kepada kebaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 2

Jenis Data yang Dikumpulkan 3

Prosedur Penelitian 3

Batasan Penelitian 4

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Indeks Kerentanan 7

Indeks Ekologi 10

Indeks Sosial 12

Tingkat Sensitivitas Taman Nasional Gunung Ciremai 14

Analisis dengan Zonasi TNGC 16

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan sumber data 3

2 Kriteria indeks kerentanan 5

3 Indeks ekologi TNGC 5

4 Kriteria indeks sosial 6

5 Tingkat sensitivitas 6

6 Akumulasi ISL TNGC 7

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai 2

2 Indeks kerentanan TNGC 8

3 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks kerentanan 9

4 Indeks ekologi TNGC 10

5 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks ekologi 11

6 Indeks sosial TNGC 12

7 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks sosial 13

8 Tingkat sensitivitas TNGC 15

9 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan ISL 16 10 Analisis tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tutupan lahan TNGC 2015 20

2 Jenis tanah TNGC 21

3 Ketinggian kawasan TNGC 22

4 Kemiringan lereng TNGC 23

5 Jenis satwa penting TNGC 24

6 Rekapitulasi indeks kerentanan tingkat resort 24

7 Rekapitulasi indeks ekologi tingkat resort 25

8 Rekapitulasi indeks sosial tingkat resort 25

9 Rekapitulasi tingkat sensitivitas tingkat resort 26 10 Hasil tumpang susun tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC 26

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indeks Sensitivitas Lingkungan (ISL) merupakan pendekatan sistematis untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah berdasarkan klasifikasi fisik perairan, sumberdaya biologis, dan penggunaan sumberdaya oleh masyarakat. Metode ini awalnya digunakan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada 1979 untuk mitigasi tumpahan minyak di lepas pantai Amerika Serikat. Sejak itu metode ini digunakan secara umum untuk kebutuhan mitigasi di daerah pesisir (coastal). Tahun 1989 NOAA menggunakan pangkalan data digital dengan sistem informasi geografis untuk memperluas jangkauan pengaplikasian metode ini (Petersen et al. 2002).

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) mengembangkan ISL untuk daerah pesisir dan daerah terestrial. Indeks pengembangan PKSPL-IPB memiliki tiga indeks penyusun yaitu indeks kerentanan (vulnerability index), indeks ekologi (ecological index), dan indeks sosial (social index). PKSPL-IPB memberikan porsi bobot yang lebih besar terhadap indeks sosial karena besarnya potensi kerugian sosial dan ekonomi (Wahyudin 2013).

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan taman nasional yang seluruh wilayah pengelolaannya berada di daerah terestrial. Perubahan fungsi wilayah Gunung Ciremai yang sebelumnya merupakan areal Perhutani dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) menjadi daerah konservasi memerlukan proses bertahap. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan kebutuhan hidup di dalam kawasan dengan berkebun harus memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa berada di kawasan TNGC. Setiap kawasan yang terdapat gangguan akan memberikan respon bervariasi sesuai tingkat sensitivitas masing-masing. Sampai saat ini belum terdapat data mengenai sensitivitas daerah TNGC jika terjadi gangguan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang tingkat sensitivitas daerah TNGC agar diperoleh data penunjang dalam merumuskan konsep ideal pengelolaan TNGC.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi tingkat sensitivitas daerah Taman Nasional Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat menggunakan ISL.

Manfaat Penelitian

(12)

2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Provinsi Jawa Barat dengan percontohan area (area sampling) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Majalengka (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama pengambilan data pada bulan Februari−Maret 2015 dan pengolahan data di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam aktivitas penelitian ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

1. Alat dan bahan yang digunakan pada pengambilan data di lapangan, yaitu alat tulis, Global Positioning System (GPS) Garmin 76csx, kamera digital, peta daerah TNGC.

(13)

3

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diambil berupa data primer dan sekunder (Tabel 1). Data primer diambil dengan cara mengambil titik koordinat tiap tutupan lahan yang ada di TNGC. Data sekunder berupa citra satelit diperoleh melalui mengunduh secara daring sedangkan data peta dan dokumen pendukung diperoleh melalui Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

Tabel 1 Jenis dan sumber data

No. Jenis Data Sumber Data

1. Citra Landsat (Land Satellite) 8 path/row 121/65 akuisisi 20 Mei 2015

http://earthexplorer.usgs.gov

2. Citra ASTER GDEM path/row 121/65

http://earthexplorer.usgs.gov 3. Peta batas daerah TNGC skala

1:30 000

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 4. Peta sumber daya tanah tingkat

tinjau lembar Cirebon (1309) skala 1:250 000

Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian

5. Statistik TNGC 2013 Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 6. Laporan kajian biodiversitas

TNGC 2013

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 7 Peta tinjau zonasi TNGC 2014

skala 1:30 000

Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 8. Titik koordinat pemeriksaan

lapangan tiap tutupan lahan

Pengambilan data di lapangan

Prosedur Penelitian Pembuatan peta tutupan lahan terklasifikasi

Pembuatan peta tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat (Land Satellite) 8 path/row 121/65 akuisisi 20 Mei 2015 karena pada tanggal tersebut diperoleh hasil citra paling sedikit tutupan awannya. Tahap pertama adalah menggabungkan seluruh saluran (band) menjadi satu citra. Tahap kedua adalah pemotongan citra (image subset) menggunakan poligon batas kawasan pengelolaan TNGC. Hasil pemotongan citra diklasifikasi sesuai tutupan lahan yang ada di lapangan. Tahap terakhir uji akurasi berdasarkan titik survei lapangan di setiap tipe tutupan lahan.

Pembuatan peta fisik TNGC

(14)

4

Sebaran spesies satwa

Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data kualitatif sebaran satwa dan jenis satwa penting TNGC. Data sebaran satwa selanjutnya diubah ke dalam data spasial berupa data ketinggian dan tutupan lahan lokasi perjumpaan satwa.

Penentuan kawasan sempadan mata air

Titik koordinat seluruh mata air TNGC diperoleh dari studi pustaka dan ditarik radius jarak tertentu berpusat di titik mata air (buffering) sebagai kawasan sempadan mata air.

Analisis dengan zonasi TNGC

Peta zonasi TNGC diperoleh melalui digitasi peta tinjauan zonasi TNGC 2014 pada skala 1:5 000. Peta tingkat sensitivitas TNGC ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta zonasi. Hasil akhir adalah sebaran setiap tingkat sensitivitas pada zonasi TNGC.

Batasan Penelitian Terminologi yang digunakan

Terminologi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan modifikasi dari Petersen et al. (2002) sebagai berikut:

1. Sensitivitas adalah tingkat kemudahan kehilangan nilai ekonomi, ekologi, sosial, fisik suatu tutupan lahan akibat gangguan.

2. Gangguan adalah kegiatan manusia yang berada di wilayah pengelolaan TNGC selain kegiatan pengelolaan.

3. Kerentanan adalah keadaan atau kondisi yang mengurangi kemampuan mempersiapkan untuk menghadapi gangguan.

4. Indeks kerentanan adalah tingkat ketidakmampuan bertahan komponen fisik TNGC terhadap erosi berdasarkan kriteria kawasan hutan lindung. 5. Indeks ekologi adalah tingkat sebaran spasial spesies satwa penting.

Spesies satwa penting diidentifikasi berdasarkan status endemis, kelangkaan, keterancaman kepunahan, dan perlindungan spesies satwa tersebut.

6. Indeks sosial adalah tingkat kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya mata air TNGC.

Asumsi yang digunakan

Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi untuk membangun nilai ISL agar setara, seragam, dan konsisten. Asumsi yang digunakan adalah semua daerah TNGC memiliki potensi gangguan yang sama dan tidak terjadi bencana alam di sebagian atau seluruh wilayah TNGC.

Analisis Data Kriteria komponen ISL

(15)

5 skor ketinggian dari permukaan laut berubah setiap kenaikan 1 000 m dpl. Batas maksimal ketinggian menyesuaikan dengan kriteria fisik hutan lindung yakni 2 000 m dpl. Kriteria kemiringan lereng hanya dibagi menjadi tiga kelas yakni kelas landai, curam, dan sangat curam berdasarkan kondisi lokasi penelitian. Parameter jenis tanah yang ditetapkan di dalam kriteria adalah merupakan jenis tanah pada tingkat ordo. Semakin rentan terhadap erosi semakin tinggi nilai skor.

Tabel 2 Kriteria indeks kerentanan

Kriteria Subkriteria Skor

Elevasi

Indeks ekologi ditentukan berdasarkan tipe tutupan lahan hutan (hutan tanaman dan hutan alam) dan ketinggian dari permukaan air laut (Tabel 3). Nilai skor tidak berbanding lurus dengan ketinggian karena TNGC memiliki wilayah pengelolaan sebagian besar pegunungan (1 000−2 400 m dpl) sehingga bagian kawasan TNGC terbanyak pada ketinggian tersebut. Daerah pengelolaan TNGC diindikasikan dari kondisi hutan alam yang masih terjaga dan eks lahan garapan yang mulai mengalami suksesi sehingga menyediakan banyak ruang berlindung (shelter dan cover) bagi satwa. Wilayah TNGC pada ketinggian < 1 000 m dpl banyak berbatasan langsung dengan permukiman penduduk maupun lahan garapan yang cenderung dihindari satwa sehingga keberadaan satwa penting biasanya jarang.

Tabel 3 Indeks ekologi TNGC

Kriteria Subkriteria Skor

Daerah perlindungan Sumber: Gunawan et al. (2008), Gunawan dan Bismark (2007), dan Gunawan et al. (2012)

(16)

6

TNGC digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum, MCK, dan irigasi sehingga masyarakat memiliki ketergantungan tinggi terhadap mata air dari dalam daerah (BTNGC 2014). Nilai skor indeks sosial ditentukan berdasarkan radius dari mata air (Tabel 4). Nilai skor berbanding terbalik dengan jarak dari mata air. Daerah di sekeliling mata air radius 200 meter memiliki skor maksimum (5) sedangkan daerah di luar radius tersebut memiliki skor minimum (1).

Tabel 4 Kriteria indeks sosial

Kriteria Subkriteria Skor

Daerah perlindungan mata air Radius 200 meter dari

mata air 5

Radius > 200 meter dari

mata air 1

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008

Persamaan ISL

Seluruh kriteria memiliki bobot sama. Nilai ISL diperoleh dari penjumlahan total dari nilai skor setiap kriteria ketiga indeks penyusunnya menggunakan persamaan dari Petersen et al. (2002).

ISL = f (IK, IE, IS)

Nilai setiap kriteria dijumlahkan dengan indeks lain dan dikategorikan ke dalam tingkat skor. Tingkat skor dibedakan menjadi lima berdasarkan selang skor (Tabel 5). Hasil analisis data direpresentasikan dalam wujud peta digital menggunakan Sistem Informasi Geografis untuk mendukung pemodelan lebih lanjut. Selang skor ditentukan menggunakan persamaan sebagai berikut.

Selang skor =(skor tertinggi – skor terendah) jumlah tingkat

Tabel 5 Tingkat sensitivitas

Tingkat Kategori

1 Tidak sensitif

2 Kurang sensitif

3 Agak sensitif

4 Sensitif

5 Sangat sensitif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(17)

7 Barat koordinat 102º20’BT–108º40’BT dan 6º40’ LS–6º58’ LS. Taman Nasional Gunung Ciremai (15 500 ha) dibagi menjadi 11 resort pengelolaan taman nasional yang menjadi dua seksi pengelolaan wilayah dan berbatasan langsung dengan 45 desa sekitar. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTN Wil.) II Majalengka terdiri atas lima resort pengelolaan dengan luas 6 800.13 Ha (44% total wilayah). Daerah TNGC khususnya SPTN Wil.II Majalengka merupakan lahan eks Perhutani dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sehingga masih terdapat areal bekas hutan tanaman pinus dan bekas lahan garapan masyarakat sekitar yang belum sepenuhnya ditinggalkan.

Topografi SPTN Wil.II Majalengka berupa pegunungan yang mendukung fungsi hidrologis TNGC. Terletak pada ketinggian 292−3047 m dpl dan sebagian besar wilayah memiliki kemiringan lereng curam. TNGC memiliki 98 mata air dengan debit pemanfaatan rata-rata 118.37 liter/detik. Sebanyak 36 mata air di antaranya terdapat di SPTN Wil.II Majalengka yang dimanfaatkan untuk air minum, irigasi, wisata, dan MCK masyarakat sekitar (BTNGC 2014).

Tipe ekosistem di TNGC adalah ekosistem air tawar, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan subalpin. Ekosistem dominan adalah ekosistem hutan pegunungan (BTNGC 2014). Tipe tanah TNGC sebagian besar peka terhadap erosi (andosol) dan agak peka (latosol). SPTN Wil.II Majalengka memiliki semua tipe ekosistem TNGC dan merupakan habitat bagi spesies satwa penting macan tutul (Panthera pardus melas), surili jawa (Presbytis aygula), kukang jawa (Nycticebus javanicus), dan elang jawa (Nisaetus bartelsi) serta persinggahan bagi jenis migran seperti sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) dan elang-alap cina (Accipiter soloensis).

Indeks Sensitivitas Lingkungan Indeks kerentanan

Hasil penumpangsusunan antara peta jenis tanah, kemiringan lereng, dan ketinggian lahan memperlihatkan bahwa 41.49% daerah TNGC termasuk daerah rentan dan 12.94% termasuk sangat rentan (Tabel 6). Wilayah TNGC memiliki tiga tingkat kerentanan yang mendominasi yakni rentan, agak rentan, dan kurang rentan. Kondisi demikian disebabkan bahwa sebagian besar (56.28%) wilayah TNGC berada pada ketinggian 1 000−2 000 m dpl dan 50.78% berada pada daerah dengan kemiringan lereng 16−40% (curam) terutama di bagian tengah wilayah searah puncak gunung. Wilayah TNGC sebagian besar merupakan pegunungan bahkan puncaknya adalah puncak tertinggi di Jawa Barat sehingga sedikit memiliki daerah landai (kemiringan < 15%). Jenis tanah andosol mendominasi TNGC (45.85%) sebagai ciri gunung berapi karena terbentuk dari bahan vulkanik.

Tabel 6 Akumulasi ISL TNGC

(18)

8

Keterangan: IK=Indeks kerentanan, IE=Indeks ekologi, IS=Indeks Sosial, semakin besar angka semakin tinggi kelasnya

Setiap resort memiliki perbedaan sebaran semua tingkat sensitivitas (Gambar 2). Tingkat rentan menyebar di bagian pinggir dan tengah wilayah TNGC, berada di seluruh resort kecuali sebagian kecil resort Sangiang. Tingkat sangat rentan terkonsentrasi di tengah-tengah wilayah TNGC terutama di wilayah resort Cilimus dan Jalaksana. Tingkat kurang rentan banyak tersebar di resort Pasawahan dan Mandirancan, sedangkan tingkat agak rentan banyak tersebar di resort Cigugur, Darma, dan Sangiang.

Gambar 2 Indeks kerentanan TNGC

Gunung Ciremai termasuk gunung berapi aktif dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Erupsi Gunung Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali pada 1937 (PVMBG 2014). Daerah gunung berapi yang mempunyai tanah andosol seperti Gunung Ciremai umumnya berpenduduk padat, karena kesuburan dan keindahan panoramanya. Jenis tanah andosol yang mendominasi daerah TNGC (45.85%) berkembang dari bahan vulkanik, oleh karena itu penyebaran tanah andosol secara geografis tidak terlepas dari penyebaran gunung berapi (Sukarman dan Dariah 2014).

(19)

9 kemiringan lereng lebih dari 15% (agak curam−sangat curam) atau jenis tanah tidak peka erosi berada pada kemiringan lereng > 40% (sangat curam).

Nandy et al. (2015) melaporkan kerentanan di daerah konservasi pegunungan sejenis TNGC yakni di Great Himalaya National Park didominasi faktor penggunaan lahan, tutupan lahan, kebakaran hutan, dan kerapatan kanopi hutan. Kebakaran hutan menjadi faktor kerentanan dominan di TNGC karena terjadi setiap musim kemarau baik dalam skala kecil maupun besar hingga mencapai luas area terbakar ribuan hektar. Kasus-kasus kebakaran hutan di Gunung Ciremai pada musim kemarau paling sering terjadi melanda blok-blok daerah TNGC yang didominasi tumbuhan semak belukar minim tegakan pohon di bagian lereng utara (Nuryaman 2015).

Potensi bahaya erosi tersebut merupakan kerentanan fisik TNGC selain potensi bencana alam seperti erupsi dan longsor. Kerentanan TNGC bisa meningkat jika terjadi kegiatan di luar rangka pengelolaan seperti kegiatan berladang. Perladangan akan mengakibatkan perubahan tutupan lahan menjadi lebih terbuka. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di resort Gunung Wangi terdapat daerah dengan tanah labil yang longsor setiap turun hujan deras.

Penghitungan luasan tingkat kerentanan tiap resort menunjukkan resort Argamukti memiliki daerah rentan sebesar 68.06% dari total luas resort, terbesar di antara resort lainnya (Gambar 3). Kondisi kerentanan resort Argamukti disebabkan oleh dominasi tingkat-tingkat tertinggi di setiap sub kriteria misalnya jenis tanah yang didominasi andosol (peka erosi) dan sedikit jenis sangat peka erosi (regosol dan litosol). Resort Argamukti memiliki sebaran tingkat kerentanan terpusat pada tingkat rentan dan sangat rentan bahkan luasan total tingkat di bawah rentan hanya 5.66% dari total luas resort.

(20)

10

sangat rentan terbesar yakni 37.86% dari total luas resort, tetapi memiliki sebaran tingkat kerentanan lebih merata diindikasikan dari luasan setiap tingkat kerentanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa resort Argamukti dan Argalingga perlu mendapatkan perhatian khusus terkait kerentanan wilayahnya.

Indeks ekologi

Penumpangsusunan antara peta ketinggian dan peta tutupan lahan memperlihatkan bahwa 54.85% daerah memiliki skor maksimal, artinya merupakan habitat dengan keanekaragaman spesies satwa penting paling tinggi (Gambar 4). Daerah tingkat ekologi tinggi meliputi wilayah luas karena sebagian besar wilayah TNGC tutupan lahan berupa hutan alam dan hutan tanaman. Daerah di sekitar puncak Gunung Ciremai termasuk tingkat sangat rendah dan sedang. Tingkat sangat rendah berada di sekitar kawah gunung yang tidak memungkinkan keberadaan satwa dalam kondisi normal karena ketiadaan sumber air dan vegetasi. Tingkat sedang terletak lebih di bawah puncak gunung terdapat pepohonan dan berdekatan dengan hutan alam dengan luasan terkonsentrasi sehingga memungkinkan satwa melakukan sebagian atau seluruh aktivitasnya di wilayah ini.

Gambar 4 Indeks ekologi TNGC

(21)

11 Selain spesies satwa penting juga terdapat spesies prioritas. Spesies prioritas adalah spesies yang dinilai penting untuk dilakukan konservasi jika dibandingkan dengan spesies-spesies lain berdasarkan karakteristik terrtentu. Spesies satwa penting yang ada di TNGC yakni macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan surili jawa (Presbytis comata) termasuk spesies prioritas konservasi nasional tinggi sedangkan elang jawa (Nisaetus bartelsi) termasuk dalam spesies prioritas konservasi nasional sangat tinggi (Kemenhut-RI 2008). Satwa-satwa tersebut memiliki habitat berbeda berdasarkan tutupan lahan yakni hutan (hutan tanaman dan hutan alam) dan variasi ketinggian dari permukaan laut sebagai penyusun indeks ekologi.

Wilayah resort Darma sebagian besar (88.03%) merupakan lokasi potensial perjumpaan dengan spesies satwa penting paling banyak (Gambar 5). Keberadaan satwa mengindikasikan bahwa tempat tersebut merupakan habitat sebagian atau seutuhnya bagi satwa tersebut. Habitat bagi satwa berfungsi untuk menyediakan pakan, air, dan tempat berlindung. TNGC memiliki empat tipe ekosistem berbeda sehingga persebaran setiap jenis satwa dipengaruhi keberadaan pakan, air, dan tempat berlindung yang sesuai dengan relung ekologi masing-masing.

(22)

12

Macan tutul jawa dilaporkan memiliki habitat di hutan lindung atau berbatasan dengan hutan lindung di Jawa Tengah karena ketersediaan air sepanjang tahun dan satwa mangsa utama (Gunawan et al. 2012). Kondisi tersebut mampu dipenuhi ekosistem TNGC berdasarkan pengamatan di lapangan berupa kondisi hutan pegunungan yang masih terjaga dan ketersediaan air sepanjang tahun dan satwa mangsa seperti babi hutan, kijang muncak, dan surili jawa (BTNGC 2014).

Indeks sosial

Seluruh resort memiliki sempadan mata air yang sebagian berada di luar daerah TNGC. Keberadaan mata air perlu mendapatkan perhatian bersama dari pengelola dan masyarakat sekitar. Sempadan mata air berguna mempertahankan fungsi mata air sebagai penyedia air bersih sepanjang tahun. Jadi jika kondisi sempadan mata air terganggu akan menurunkan fungsi mata air (Gambar 6).

PP No. 26 Tahun 2008 menyatakan bahwa daerah dengan radius 200 meter dari mata air merupakan sempadan untuk mempertahankan fungsi mata air. Masyarakat sekitar daerah TNGC memiliki tingkat kepentingan tinggi terhadap akses sumberdaya air dari dalam daerah. Tercatat ada 98 mata air di dalam daerah dengan debit mencapai 2 000 liter/detik. TNGC memberikan distribusi manfaat kepada masyarakat daerah Kuningan, Majalengka, Cirebon, Indramayu, dan Brebes berupa ketersediaan air bersih sepanjang tahun (BTNGC 2014).

Gambar 6 Indeks sosial TNGC

(23)

13 kepada sumberdaya pegunungan langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan sumber daya air TNGC telah meluas tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian namun juga untuk aktivitas perusahaan (komersial). Sebanyak 14 pengguna jasa lingkungan air (komersial) sudah memiliki perjanjian kerjasama dengan TNGC (BTNGC 2014). Pengolahan peta menunjukkan daerah sempadan mata air di TNGC meliputi juga daerah di luar daerah yang artinya memerlukan partisipasi masyakarat sekitar untuk pengelolaannya.

Seluruh resort berdasarkan penghitungan luas memiliki daerah sempadan mata air kurang dari 9% luas wilayah setiap resort kecuali resort Gunung Wangi. Resort Gunung Wangi memiliki daerah sempadan mata air terbesar (20.49%) dengan 11 mata air (Gambar 7). Luasan sempadan mata air dipengaruhi juga oleh jarak dengan mata air lainnya. Jika mata air saling berdekatan dalam radius kurang dari 200 meter akan menghasilkan luas lebih kecil karena kedua sempadan menjadi berhimpitan seperti pada resort Cilimus. Resort Pasawahan memiliki mata air terbanyak sejumlah 15 buah namun luasan sempadan mata air hanya seperempat dari luasan sempadan mata air resort Gunung Wangi. Kondisi demikian disebabkan letak mata air di resort Pasawahan banyak yang berjarak kurang dari 200 meter antarmata air.

Gambar 7 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan indeks sosial Resort Cilimus memiliki konsentrasi sebagian besar mata air di satu titik lokasi, sedangkan letak mata air di resort lain lebih tersebar dalam beberapa lokasi. Sebagian besar sempadan mata air berada di garis terluar batas wilayah TNGC bahkan bertumpang tindih dengan lahan perseorangan seperti pada resort Bantaragung, Cigugur, Cilimus dan Jalaksana. Sebaran mata air paling merata ditunjukkan pada resort Gunung Wangi, sebanyak 11 mata air terletak hampir di seluruh penjuru wilayah kerja resort. Keseluruhan sempadan mata air di resort Argalingga berada di ujung-ujung wilayah kerja resort dan dimanfaatkan langsung untuk irigasi lahan garapan di sekitarnya. Resort Sangiang memiliki satu-satunya

(24)

14

mata air berbentuk danau air tawar (Situ Sangiang) yang memiliki nilai budaya bagi masyarakat sekitar (BTNGC 2014).

Hasil pengamatan menunjukkan di lima resort masih terdapat tanaman serbaguna eks PHBM Perhutani misalnya kopi dan pisang namun di resort Gunung Wangi masih terdapat kegiatan yang bisa dikategorikan di luar rangka pengelolaan, yakni pemeliharaan tanaman kopi. Perlakuan pemeliharaan antara lain pemangkasan pucuk, penyulaman bibit, dan pemanenan. Tanaman kopi dinilai masyarakat masih memberikan keuntungan ekonomis meskipun lahan garapan sudah berganti status menjadi taman nasional. Keberadaan sumber-sumber mata air di dalam taman nasional seharusnya bisa dipandang memberikan beragam manfaat tidak hanya manfaat ekonomis, sehingga aktivitas di luar rangka pengelolaan bisa diminimalkan. TNGC memiliki kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dan Majalengka sebagai penyedia air bersih yang sudah dimanfaatkan secara komersial (BTNGC 2014).

Contoh kasus di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) sejak 2006 telah dibentuk Forum Peduli Air (Forpela) sebagai wadah bersama para pengguna air untuk bekerja sama dalam peningkatan manfaat dan pelestarian sumber air. Forpela TNGGP menampung aspirasi pengguna air, menampung kontribusi dari pengguna, dan menyalurkannya untuk aktivitas-aktivitas konservasi daerah TNGGP seperti konservasi lahan kritis, perawatan bangunan air, irigasi, dan pembangunan desa (USAID 2006). TNGC telah memiliki kemitraan dengan masyarakat yakni Kader Konservasi, Masyarakat Peduli Api, dan Pam Swakarsa namun belum ada kemitraan dalam bidang pengurusan jasa lingkungan air. TNGC sudah memiliki nota kesepahaman dengan 14 pengguna jasa air komersial sehingga terbuka kemungkinan kerjasama melibatkan lingkup lebih luas (BTNGC 2014).

Tingkat sensitivitas

Tingkat sensitivitas merupakan hasil akhir pengategorian berdasarkan nilai skor gabungan seluruh penyusun indeks sensitivitas lingkungan. Hasil pengolahan peta menunjukkan bahwa semua resort memiliki wilayah dengan tingkat sensitif dan agak sensitif. Wilayah dengan tingkat sangat sensitif terkonsentrasi di resort Jalaksana dan Cilimus (Gambar 8). Wilayah dengan tingkat sangat sensitif tersebut memiliki tutupan lahan hutan pegunungan dan sempadan mata air yang dikelilingi hutan pegunungan.

(25)

15

Gambar 8 Tingkat sensitivitas TNGC

Wilayah sangat sensitif lainnya berupa hutan pegunungan di resort Jalaksana. Seluruh resort juga memiliki hutan pegunungan namun pembedanya adalah faktor fisik hutan pegunungan di resort Jalaksana sangat rentan yakni berada di atas jenis tanah sangat peka erosi (regosol dan litosol) pada kemiringan lereng sangat curam. Faktor lain hutan pegunungan resort Jalaksana termasuk habitat spesies satwa penting (indeks ekologi tinggi). Setiawan et al. (2014) menjelaskan spesies satwa penting yang berada di resort Jalaksana antara lain surili jawa (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Berbeda dengan ketiga sempadan mata air yang termasuk sangat sensitif, kawasan hutan pegunungan resort Jalaksana secara hukum tidak memungkinkan pemanfaatan oleh masyarakat selain jasa lingkungan karena berada di wilayah TNGC.

(26)

16

Gambar 9 Persentase luasan resort TNGC berdasarkan ISL

Analisis dengan zonasi TNGC

Hasil overlay ISL dengan zonasi yang berlaku menunjukkan daerah sangat sensitif dan sensitif mayoritas berada di zona inti (Gambar 10). Sedangkan daerah agak sensitif tersebar secara merata di zona inti, rimba, dan rehabilitasi. Sedangkan daerah kurang sensitif dan tidak sensitif banyak berada di zona rehabilitasi. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC. Meskipun demikian, terdapat daerah-daerah yang perlu diperhatikan karena memiliki tingkat sangat sensitif berada di zona pemanfaatan dan di zona rehabilitasi. Daerah sangat sensitif yang berada di zonasi pemanfaatan seluas 4.50 ha (2.08%) terletak di resort Gunung Wangi dan resort Sangiang. Sedangkan daerah sangat sensitif yang berada di zonasi rehabilitasi seluas 12.55 ha (5.75%) terletak di resort Gunung Wangi, resort Argalingga, dan resort Argamukti.

Gambar 10 Analisis tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC 0

Sangat sensitif Sensitif Agak sensitif Kurang sensitif Tidak sensitif

(27)

17 Zona pemanfaatan merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem TNGC dalam bentuk jasa lingkungan sehingga memungkinkan terdapat kegiatan lebih banyak di daerah dengan tingkat sensitif. Jika kondisi demikian berlangsung dengan pengawasan minim akan menimbulkan dampak negatif lebih besar daripada nilai manfaat yang diperoleh seperti kehilangan sumber daya. Zona rehabilitasi TNGC merupakan lahan kritis akibat bekas hutan produksi yang dilakukan pemanfaatan berbasis lahan oleh masyarakat dan lokasi rawan kebakaran hutan yang kerap terjadi tiap tahun (TNGC 2014). Keberadaan daerah sangat sensitif menuntut perlakuan rehabilitasi harus secara intensif untuk mengembalikan fungsi kawasan seperti semula.

Wilayah dengan tingkat sangat sensitif merupakan wilayah yang paling cepat terpengaruh jika terjadi gangguan daripada wilayah lain. Pengaruh gangguan bisa mengakibatkan degradasi kuantitas dan kualitas semua fungsi wilayah TNGC. CBD (2002) menjelaskan potensi gangguan bagi ekosistem pegunungan adalah aktivitas manusia, pertambangan, perubahan iklim, polusi udara, dan spesies invasif. Hal tersebut hampir sama dengan gangguan yang ada di TNGC yakni kebakaran hutan, perambahan kawasan, perburuan liar, penambangan, konflik satwa-manusia, dan pembalakan liar (BTNGC 2014). Gangguan merupakan indikasi tingkat dukungan masyarakat belum maksimal terhadap kelestarian kawasan TNGC.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil kumulatif ketiga indeks penyusun menunjukkan bahwa wilayah TNGC didominasi oleh wilayah sensitif. Wilayah sensitif berada di seluruh resort dan paling luas di resort Argamukti. Hanya sebagian kecil wilayah TNGC yang termasuk tingkat sangat sensitif dan tersebar di semua resort kecuali resort Cigugur, Darma, Pasawahan. Secara keseluruhan berdasarkan luasan setiap tingkat sensitivitas maka seluruh resort memiliki wilayah sensitif dan agak sensitif. Resort Jalaksana dan Cilimus menjadi resort prioritas karena memiliki kawasan dengan tingkat sangat sensitif di zona inti.

Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penyesuaian prioritas pengelolaan daerah sangat sensitif di

zona pemanfaatan resort Gunung Wangi dan resort Sangiang.

2. Daerah sangat sensitif di zona rehabilitasi resort Gunung Wangi, resort Argalingga, dan resort Argamukti perlu dikategorikan sebagai zona rehabilitasi intensif.

3. Perlu dilakukan penyesuaian prioritas pengelolaan bagi mata air Cadas Belang, Ciriwid, dan Cibalukbuk di resort Jalaksana.

(28)

18

5. Perlu dilakukan penelitian dengan bobot indeks ekologi berbeda berdasarkan fungsi utama taman nasional yang berorientasi ekologi.

6. Pembentukan organisasi kemitraan para pengguna jasa lingkungan air TNGC untuk mendukung kegiatan konservasi TNGC.

DAFTAR PUSTAKA

[BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 2014. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Tahun 2013. Kuningan (ID): Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.

[CBD] Convention on Biological Diversity. 2002. Status and Trends of, and Threats to, Mountain Biological Diversity. Montreal (CA): UNEP-CBD. Gunawan, Kartono AP, Maryanto I. 2008. Keanekaragaman mamalia besar

berdasarkan ketinggian tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 4(5):321−324.

Gunawan H, Bismark M. 2007. Status populasi dan konservasi satwa mamalia di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan

dan Konservasi Alam. 4(2):117−128.

Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP. 2012. Habitat macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) lansekap hutan tanaman pinus.

Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 9(1):49−67.

[Kemenhut-RI] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008−2018. Jakarta (ID): Kemenhut-RI. [Kementan-RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1980. Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta (ID): Kementan-RI.

Nandy S, Singh C, Das KK, Kingma NC, Kushwaha SPS. 2015. Environmental vulnerability assessment of eco-development zone of Great Himalayan National Park, Himachal Pradesh, India. Ecological Indicator. 57: 182−195.

Nuryaman. 2015. BTNGC Sebar Tenda Pos Cegah Siaga Kebakaran Hutan Gunung Ciremai [Internet]. Bandung (ID): PT Pikiran Rakyat Bandung. [diunduh 2015 Okt 29]. Tersedia pada http://www.pikiran- rakyat.com/jawa-barat/2015/07/03/333452/btngc-sebar-tenda-pos-cegah-siaga-kebakaran-hutan-gunung-ciremai

Petersen J, Michel J, Zengel S, White M, Lord C, Plank C. 2002. Enviromental Sensitivity Index Version 3.0. Washington (US): National Oceanic and Atmospheric Administration.

[PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2014. Gunung Ciremai [Internet]. Bogor (ID): PVMBG-ESDM. hlm 1-8; [diunduh 2015 Okt 5]. Tersedia pada: http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/ data-dasar-Gunungapi/527-g-ciremai

(29)

19 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48. Jakarta (ID): Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Setiawan I, Rakhman Z, Muzakkir A, Saputro BP, Zulkarnaen I. 2014. Kajian Biodiversitas dan Pembuatan Kebun Koleksi Anggrek di Taman Nasional Gunung Ciremai. Bogor (ID): Pusat Informasi Lingkungan Indonesia. Sukarman, Dariah A. 2014. Tanah Andosol di Indonesia: Karakteristik, Potensi,

Kendala, dan Pengelolaannya untuk Pertanian. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

[USAID] United States Agency International Development. 2006. Panduan

Forpela Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Washington (US):

Development Alternatives.

(30)

20

La

mpi

ra

n 1

P

eta t

utupan

laha

n

TNG

C

(31)

21

La

mpi

ra

n 2 P

eta je

nis t

ana

h TN

GC

(32)

22

La

mpi

ra

n 3

P

eta k

eti

ngg

ian ka

wa

sa

n

TNG

(33)

23

La

mpi

ra

n 4 P

eta ke

mi

rin

ga

n ler

eng T

NG

(34)

24

Lampiran 5 Jenis satwa penting TNGC

Nama ilmiah Status

endemis1

Status perlindungan IUCN2 CITES3 PP4

Nycticebus javanicus E CR I D

Presbytis comate E EN II D

Trachypithecus auratus E VU II D

Macaca fascicularis - LC II -

Muntiacus muntjak - LC - D

Panthera pardus melas E CR I D

Prionailurus bengalensis - LC II D

Paradoxurus hermaphrodites - LC II D

Nisaetus bartelsi E EN II D

1

E: endemis; 2CR:Critical, EN: Endangered, VU: Vulnerable, LC: Least Concern; 3Appendiks CITES; 4D: Dilindungi PP No.7 /1999

Sumber: Gunawan et al. (2008), Gunawan dan Bismark (2007), dan Gunawan et al. (2012)

Lampiran 6 Rekapitulasi indeks kerentanan tingkat resort

Resort Kelas indeks kerentanan (%)

1 2 3 4 5

Argalingga 0.01 1.28 12.80 65.85 20.06

Argamukti 0.00 0.43 5.23 68.06 26.28

Bantaragung 0.65 14.68 30.93 45.63 8.11

Cigugur 0.35 9.92 50.25 39.04 0.44

Cilimus 0.29 18.27 6.69 49.00 25.76

Darma 0.49 10.42 62.60 26.49 0.00

Gn. Wangi 1.03 31.30 26.97 40.71 0.00

Jalaksana 0.34 5.30 16.72 39.78 37.86

Mandirancan 0.44 34.81 19.83 39.94 4.97

Pasawahan 0.76 68.10 12.33 18.57 0.24

Sangiang 0.65 22.05 64.55 12.75 0.00

(35)

25 Lampiran 7 Rekapitulasi indeks ekologi tingkat resort

Resort Kelas indeks ekologi (%)

0 1 3 5

Argalingga 25.04 2.14 4.11 68.71

Argamukti 4.38 0.00 12.31 83.31

Bantaragung 21.24 38.96 0.11 39.69

Cigugur 7.63 0.51 5.84 86.03

Cilimus 30.98 15.86 1.70 51.45

Darma 11.28 0.69 0.00 88.03

Gn. Wangi 29.78 42.20 0.00 28.03

Jalaksana 11.25 8.92 2.89 76.93

Mandirancan 32.26 36.11 0.26 31.38

Pasawahan 66.80 31.16 0.00 2.04

Sangiang 16.26 11.18 0.00 72.56

Keterangan: 0. Sangat rendah, 1. Rendah, 2. Sedang, 3. Tinggi

Lampiran 8 Rekapitulasi indeks sosial tingkat resort

Resort Kelas indeks sosial (%)

1 5

Argalingga 98.35 1.65

Argamukti 97.74 2.26

Bantaragung 94.03 5.97

Cigugur 95.78 4.22

Cilimus 95.51 4.49

Darma 94.81 5.19

Gn. Wangi 79.51 20.49

Jalaksana 92.20 7.80

Mandirancan 94.82 5.18

Pasawahan 94.79 5.21

Sangiang 96.00 4.00

(36)

26

Lampiran 9 Rekapitulasi tingkat sensitivitas tingkat resort

Resort Kelas sensitivitas (%)

Tidak Kurang Agak Sensitif Sangat

Lampiran 10 Hasil tumpang susun tingkat sensitivitas dengan zonasi TNGC

(37)

27 Lampiran 11 Dokumentasi penelitian

(a) Sarang babi hutan (b) Jejak macan tutul

(c) Jejak rusa muncak (d) Feses macan tutul Keterangan: pembanding adalah koin Rp 500

(38)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 24 Oktober 1991. Penulis merupakan sulung dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Sumaryadi dan ibu Mimik Krisnawati. Pendidikan formal ditempuh di SD Negeri Kalirungkut III Surabaya tahun 1998-2004, SMP Negeri 35 Surabaya tahun 2004-2007, SMA Negeri 6 Surabaya 2007-2010, dan pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis.

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai
Tabel 2  Kriteria indeks kerentanan
Tabel 4  Kriteria indeks sosial
Tabel 6  Akumulasi ISL TNGC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembangunan Jaringan Pipa Air Minum Desa Mulya Abadi Kecamatan Muara Belido. ( HPS =

Pelayanan okupasi terapi di Rumah Sakit Jiwa cenderung berubah-ubah. Hal ini disesuaikan dengan kebutuhan, akan tetapi secara umum proses intervensi itu melalui 3

Lancar : Apabila peserta didik dapat menceritakan kisah keteladanan Nabi Adam dengan lancar., akan tetapi masih ada kesalahan satu kalimat.. Sedang : Apabila peserta didik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Ganda Perempuan Pedagang di Pasar Jalan Trem Pangkalpinang menunjukkan sudah terjadi begitu saja dan tanpa ada

[r]

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan larutan limbah bubuk teh hitam hingga konsentrasi tanin 0,25% dalam pengasinan telur itik Pegagan dapat mempertahankan

Selain itu, instansi pe- merintah dan dinas terkait melakukan tugas se- suai tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) mas- ing-masing. Kompleksitas pada permasalahan anak

mahasiswa dan dosen akan media aplikasi quizzin dalam pembelajaran Nahwu II. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan informasi awal adalah library research dan