• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA BESAR BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI GUNAWAN"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN

KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

GUNAWAN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(2)

BERDASARKAN KOMPOSISI VEGETASI DAN

KETINGGIAN TEMPAT DI KAWASAN

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

GUNAWAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

(3)

GUNAWAN. E34103045. Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si.

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu taman nasional yang ditetapkan pada tahun 2004. Penelitian ini diperlukan sebagai dasar dalam menyusun zonasi di TNGC. Sebagai taman nasional yang baru, TNGC belum memiliki data yang lengkap mengenai keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat. Penelitian ini difokuskan pada mamalia besar yang memiliki berat badan lebih dari 5 kilogram. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi jenis-jenis mamalia besar dan menentukan hubungan keanekaragaman jenis dengan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di TNGC.

Penelitian dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai Wilayah Kuningan dengan waktu penelitian dari bulan Mei hingga Juli 2007. Pengambilan data mamalia besar dilakukan dengan menggunakan metode transek jalur dan untuk vegetasi menggunakan metode garis berpetak. Analisis yang digunakan, yakni: analisis vegetasi, indeks kekayaan jenis, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan, kesamaan komunitas, pendugaan populasi, dan asosiasi interspesifik.

Berdasarkan hasil inventarisasi vegetasi didapatkan jumlah spesies tumbuhan sebanyak 57 spesies dengan famili Moraceae, Lauraceae dan Euphorbiaceae memiliki jumlah jenis tumbuhan yang terbanyak. Lokasi penelitian dibedakan menjadi 4 tipe habitat: hutan tanaman pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan subalpin. Berdasarkan pengamatan langsung dan tidak langsung diketahui bahwa pada hutan pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan subalpin memiliki 9 spesies mamalia besar dengan nilai heterogenitas pada indeks kekayaan jenis, keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis secara berurutan yakni: 1,04; 1,00 dan 0,52. Hutan dataran rendah dan hutan pegunungan memiliki nilai Jaccard yang tertinggi pada kesamaan komunitas sebesar 0,56. Macaca fascicularis memiliki kepadatan populasi yang tertinggi sebesar 53,61 individu/Km2, sedangkan yang terendah adalah Panthera pardus

sebesar 0,22 individu/Km2.

Mamalia besar lebih banyak melakukan aktivitasnya pada pagi hari dibandingkan sore hari atau malam hari. Berdasarkan pemanfaatan strata hutan, diketahui bahwa strata B (20-30m) banyak dimanfaatkan oleh jenis-jenis primata. Asosiasi interspesifik diantara jenis-jenis mamalia besar memiliki nilai yang bervariasi antara 0,25-1 dan hasil analisa mengindikasikan Sus scrofa berasosiasi dengan Paradoxurus hermaphroditus ataupun Prionailurus bengalensis dan

Paradoxurus hermaphroditus berasosiasi dengan Prionailurus bengalensis.

Keanekaragaman jenis mamalia besar berhubungan dengan kerapatan vegetasi (R2 = 0,501; y = -55,206x2 + 31,633x + 1,145; P < 0,05) dan ketinggian tempat (R2 = 0,881; y = 2,993x3 – 18,571x2 + 32,399x – 9,550; P < 0,05).

(4)

GUNAWAN. E34103045. Big Mammalian Diversity Based on Vegetation Composition and Altitudinal Range at Gunung Ciremai National Park. Under supervision of Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si.

Gunung Ciremai National Park (GCNP) is one of the national park had that just been declaired in 2004. This stuudy was necessary as a base on to compile the zonation of GCNP. As a new national park, GCNP does not have complete data about biological diversity especially mammalian diversity based on composition of vegetation and altitudinal range. The research was focused on big mammals which are characterized by body weight more than 5 kilograms. The aim of this research is to identify the species of big mammals and to decide the relation between the diversity of big mammals with vegetation composition and altitudinal range at GCNP.

The research was conducted at Gunung Ciremai National Park Region Kuningan, from Mei to July 2007. Collecting data of big mammals was done by using a method of strip transect and for data of vegetation with a method of terracing transect. Analyzing that was used are richness index, diversity index, evenness index, community similarity, and interspecific association.

The inventory of vegetation, there are known 57 plant species from the family of Moraceae, Lauraceae, and Euphorbiaceae were dominant. The area of study were classified into 4 habitats: pine forest, lowland forest, mountain forest, and subalpine forest. By directly and indirectly investigation there were indicated that the pine, lowland, mountain, and subalpine forest have 9 big mammalian species, and the heterogenity of value species richness, species diversity and evenness index are: 1,04; 1,00 and 0,52 respectively. The lowland forest and mountain forest have the highest value of Jaccard in similiar community 0,56.

Macaca fascicularis has the highest density with 53,61 individual/Km2 and the lowest is Panthera pardus 0,22 individual/Km2.

Big mammals more active in morning, than in the evenning. According to forest stratification, the strata B (20-30 m) was dominanted primate. Interspecific association between big mammals diversity were varried 0.25-1.00, and the analyze indicated that Sus scrofa was associated with Paradoxurus hermaphroditus or Prionailurus bengalensis and Paradoxurus hermaphroditus

associated with Prionailurus bengalensis.

Big mammalian diversity correlated to density of vegetation (R2 = 0,501; y = -55,206x2 + 31,633x + 1,145; P < 0,05) and altitudinal range (R2 = 0,881; y = 2,993x3 – 18,571x2 + 32,399x – 9,550; P < 0,05).

(5)

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas setiap berkat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: ”Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis mamalia besar di TNGC dan menentukan hubungan antara jumlah jenis yang ditemukan dengan ketinggian tempat dan komposisi vegetasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaharui data mengenai keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penentuan dan pengambilan keputusan tentang konservasi keanekaragaman jenis mamalia di TNGC.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

Bogor, Desember 2007

(6)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 29 Maret 1986. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Drs. Guntur Simanjuntak, Ak. dan Nonna Sitanggang.

Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Santo Yakobus, Ujung Pandang. Pada tahun 1991 pendidikan sekolah dasar dilanjutkan pada Sekolah Dasar Santo Antonius Ujung Pandang, tetapi pada tahun 1992 penulis pindah ke Palembang dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Methodist. Pada tahun 1996, penulis pindah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan sekolah dasar pada SDN 07 Pondok Kelapa. Pada tahun 1997, pendidikan dilanjutkan pada SMP Negeri 252 Jakarta. Pada tahun 2000, penulis memasuki pendidikan menengah atas di SMU Negeri 91 Jakarta. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikannya dan kemudian diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK IPB). Pada periode 2005-2006, penulis menjabat sebagai ketua Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) HIMAKOVA dan Persekutuan Fakultas Kehutanan. Kegiatan lapang yang pernah diikuti adalah Eksplorasi Keanekaragaman Hayati “Surili” HIMAKOVA di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat pada tahun 2005 dan Taman Nasional Way Kambas, Lampung pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dilakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Leuweung Sancang, CA Kamojang dan KPH Tasikmalaya. Pada tahun 2007 melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi DKSH di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan, penulis melakukan penelitian yang berjudul “ Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai” dibawah bimbingan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M. Si.

(7)

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas setiap berkat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga, yang terdiri dari Bapak, Mama, Bang Gumanti dan Kak Diana (Alm.), Bang Gordon serta Gerson atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si. yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi.

3. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda M.Sc. sebagai dosen penguji perwakilan dari Departemen Silvikultur dan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut sebagai dosen penguji perwakilan dari Departemen Hasil Hutan.

4. Tim Ciremai 2007 (Awal Riyanto, S.Si, Dr. Woro A. Noerdjito, Drs. Mas Noerdjito, Ir. Ike Rachmatika, M.Sc, A. Saim, B.Sc, Ir. Heryanto, M.Sc, Drs. Razali Yusuf, Pak Anandang, Pak Sunardi, Pak Wahyudin, Mas Nova, Hadi dan Maryati) yang memberikan bantuan dan semangat selama penelitian. 5. Ir. Muhtadin Nafari sebagai Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. 6. Pak Adji Dasji atas bantuannya mendampingi penulis selama di lapangan. 7. Semua pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu

(8)

i

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN A Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 2 C. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Jenis ... 3

B. Ekologi Mamalia ... 4

C. Habitat ... 5

D. Populasi dan Penyebaran Mamalia ... 6

E. Konservasi Mamalia ... 7

III. KONDISI UMUM LAPANGAN A Sejarah Kawasan ... 8

B. Letak dan Luas ... 8

C. Kondisi Fisik ... 9

1. Iklim ... 9

2. Topografi ... 9

3. Hidrologi ... 9

4. Tanah ... 9

5. Vulkanologi dan Geologi ... 9

D. Kondisi Hayati ... 10

1. Vegetasi ... 10

2. Fauna ... 10

IV. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

B. Alat dan Bahan ... 11

C. Kerangka Pemikiran ... 12

D. Metode Pengumpulan Data ... 13

1. Inventarisasi Mamalia ... 13

2. Inventarisasi Vegetasi ... 14

E. Analisis Data ... 15

1. Analisis Vegetasi ... 15

2. Indeks Kekayaan Jenis ... 16

3. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 16

4. Indeks Kemerataan ... 16

5. Komunitas Mamalia Besar ... 16

6. Pendugaan Populasi ... 17

7. Pembagian Stratifikasi dan Waktu Aktivitas ... 17

(9)

ii

Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi ... 18

10. Hubungan Tipe Habitat Dengan Indeks Heterogenitas ... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

A. Kondisi Habitat ... 20

1. Habitat Hutan Pinus ... 20

2. Habitat Hutan Dataran Rendah ... 21

3. Habitat Hutan Pegunungan ... 23

4. Habitat Hutan Sub-alpin ... 24

B. Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar ... 25

C. Kemerataan Jenis ... 28

D. Komunitas Mamalia Besar ... 30

E. Pendugaan Populasi Mamalia Besar ... 31

F. Pemanfaatan Waktu Aktivitas dan Stratifikasi ... 34

G. Asosiasi Interspesifik ... 38

H. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar dan Komposisi Vegetasi ... 39

I. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar dan Ketinggian Tempat ... 43

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(10)

iii

No. Halaman

1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan

pinus ... 21 2. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan

dataran ... 22 3. Jenis-jenis pohon yang mendominasi pada habitat hutan

pegunungan ... 23 4. Jenis-jenis pohon yang mendominasi pada habitat hutan

subalpin ... 24 5. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC ... 25 6. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada

setiap tipe habitat ... 27 7. Kesamaan komunitas mamalia besar di TNGC ... 30 8. Pendugaan populasi jenis mamalia besar di TNGC ... 32 9. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia

besar di TNGC ... 36 10. Matriks asosiasi interspesifik pada jenis-jenis mamalia besar di TNGC 39

(11)

iv

No. Halaman

1. Peta lokasi pengamatan di SPTN Wilayah Kuningan TNGC

Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat. ... 11 2. Kerangka pemikiran penelitian “Keanekaragaman Jenis

Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan

Ketinggian Tempat ... 12 3. Bentuk unit contoh transek jalur dalam pengamatan mamalia

besar ... 13 4. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi

vegetasi ... 14 5. Jumlah jenis mamalia besar berdasarkan tingkat trofik ... 26 6. Nilai indeks kemerataan jenis pada setiap tipe habitat ... 29 7. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar berdasarkan tipe

aktivitas ... 35 8. Bentuk pemanfaatan strata hutan oleh monyet-ekor panjang ... 37 9. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan

vegetasi pancang ... 41 10. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan kerapatan

vegetasi tiang ... 42 11. Hubungan jumlah jenis mamalia besar dengan ketinggian

tempat ... 44 12. Sumber air yang terdapat di TNGC ... 45

(12)

v

No. Halaman

1. Jenis-jenis tumbuhan di kawasan TNGC ... 54 2. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan

pinus ... 56 3. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di

habitat hutan pinus ... 57 4. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan

pinus ... 58 5. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan

pinus ... 59 6. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan

pinus ... 60 7. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan

dataran rendah ... 61 8. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di

habitat hutan dataran rendah ... 62 9. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan

dataran rendah ... 63 10. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan

dataran rendah ... 65 11. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan

dataran rendah ... 66 12. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan

pegunungan ... 68 13. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di

habitat hutan pegunungan ... 69 14. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pancang di habitat hutan

pegunungan ... 70 15. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan

pegunungan ... 72 16. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan

pegunungan ... 74 17. Indeks nilai penting vegetasi tingkat semai di habitat hutan

subalpin ... 76 18. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tumbuhan bawah di

(13)

vi

subalpin ... 78 20. Indeks nilai penting vegetasi tingkat tiang di habitat hutan

subalpin ... 79 21. Indeks nilai penting vegetasi tingkat pohon di habitat hutan

subalpin ... 80 22. Daftar jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung

pada setiap habitat ... 81 23. Pendugaan populasi jenis-jenis mamalia besar ... 83 24. Data pertemuan langsung terhadap jenis-jenis mamalia besar ... 84 25. Data pertemuan tidak langsung terhadap jenis-jenis mamalia

besar ... 86 26. Penyebaran tumbuhan pakan satwa mamalia besar pada setiap

daerah pengamatan ... 89 27. Uji regresi ... 92

(14)

A. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan salah satu taman nasional yang baru ditetapkan pada tahun 2004 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004. Tipe vegetasi yang terdapat dalam kawasan taman nasional terbagi ke dalam beberapa tipe, yaitu hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan subalpin dan hutan tanaman pinus. Kondisi habitat yang beragam dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya mamalia.

Berdasarkan ukurannya, mamalia dibagi menjadi mamalia kecil dan mamalia besar. Menurut batasan International Biological Program (IBP), yang dimaksud dengan mamalia kecil adalah jenis mamalia yang memiliki berat badan dewasa yang kurang dari lima kilogram, sedangkan selebihnya termasuk ke dalam kelompok mamalia besar (Suyanto & Semiadi 2004). Jenis mamalia besar yang terdapat di TNGC, antara lain babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), lutung budeng (Trachypithecus auratus) serta macan tutul (Panthera pardus).

Penyebaran jenis mamalia berdasarkan ekologis dapat diketahui melalui komposisi vegetasi suatu tipe habitat. Selain itu, penyebaran jenis mamalia juga dapat dilihat berdasarkan ketinggian tempat. Perubahan ketinggian tempat mempengaruhi komposisi vegetasi di suatu habitat yang juga dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis mamalia. Perubahan keanekaragaman satwa akan dijumpai sesuai dengan perubahan ketinggian tempat (Medway 1972 dalam

Kartono et al. 2000). Pada ketinggian yang lebih rendah jumlah jenis yang ditemukan lebih banyak dibandingkan pada ketinggian yang lebih tinggi (Adhikerana & Komeda 1997; Primack et al 1998).

Sebagai taman nasional yang baru, TNGC belum memiliki data yang lengkap mengenai keanekaragaman jenis satwaliar, khususnya keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat di TNGC.

(15)

B. Tujuan

Penelitian tentang keanekaragaman jenis mamalia berdasarkan komposisi vegetasi dan ketinggian tempat dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mengidentifikasi jumlah jenis mamalia, khususnya mamalia besar di TNGC. 2. Menentukan hubungan keanekaragaman jenis mamalia besar berdasarkan

komposisi vegetasi dan posisi areal menurut ketinggian tempat dari permukaan laut di TNGC.

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaharui data mengenai keanekaragaman jenis mamalia di TNGC. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penentuan dan pengambilan keputusan tentang konservasi keanekaragaman jenis mamalia di TNGC.

(16)

A. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi ini, beserta interaksinya (BAPPENAS 2003). Keanekaragaman hayati memiliki dua komponen utama, yaitu kekayaan jenis yang merupakan jumlah jenis dari suatu area dan kemerataan jenis yang merupakan kelimpahan relatif suatu individu pada setiap spesies (Feldhamer et al. 1999). Kedua komponen tersebut memiliki nilai perhitungan yang dikenal dengan indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa indeks tersebut digabungkan menjadi satu nilai yang sama dengan indeks keanekaragaman. BAPPENAS (2003) menyatakan ada tiga tingkatan yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu:

a. Keanekaragaman ekosistem: Keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya.

b. Keanekaragaman jenis: keanekaragaman jenis organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan.

c. Keanekaragaman genetik: Keanekaan individu di dalam suatu jenis yang disebabkan oleh perbedaan genetis antara individu.

Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya berdampak pada punahnya suatu jenis. Apabila populasi tumbuhan dan hewan di suatu tempat sudah habis, maka keanekaragaman genetika yang terdapat dalam setiap jenis yang memberi kemampuan bagi jenis tersebut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan juga hilang (Wolf 1990). Dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati yang ada, Indonesia ikut dalam meratifikasi lima konvensi yang terkait dengan keanekaragaman hayati, yaitu Konvensi Ramsar, Konvensi CITES, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Protokol Kyoto dan Konvensi Bio-safety (Noerdjito et al. 2005). Harmonis (2005) menyatakan bahwa dalam penyelamatan jenis satwaliar yang terancam, maka pengawasan harus terus diintensifkan, peningkatan kesadaran masyarakat, pendidikan konservasi satwaliar sejak dini, peningkatan

(17)

taraf perekonomian masyarakat, serta peningkatan penelitian dalam menemukan konsep yang tepat dalam pengelolaan satwaliar.

Keanekaragaman jenis merupakan satu hal yang paling mendasar dalam keanekaragaman hayati. BAPPENAS (2003) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis tidak diukur dari banyaknya jenis di suatu daerah tertentu, tetapi juga dari keanekaan takson yaitu klas, famili atau ordo. Pengetahuan mengenai hal ini akan memberi manfaat dalam pengelolaan kawasan tersebut. Berdasarkan Checklist of The Mammals of Indonesia, keanekaragaman jenis mamalia yang terdapat di Indonesia sebanyak 701 jenis (Suyanto et al. 2002).

B. Ekologi Mamalia

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya (Soerianegara & Indrawan 2002). Suatu sistem ekologi akan tercipta bila terjadi hubungan yang erat antara makhluk hidup dengan lingkungannya.

Mamalia merupakan salah satu kelas vertebrata yang memiliki hubungan dengan kondisi lingkungannya. Salah satu sifat dari mamalia adalah memiliki sifat homoitherm, yaitu suhu tubuhnya dapat diatur menyesuaikan dengan suhu lingkungan. Feldhamer et al. (1999) menyatakan bahwa mamalia dapat tinggal pada lingkungan yang ekstrim berdasarkan ketinggian tempat serta pada kondisi hujan ataupun bersalju. Selanjutnya dikatakan lagi, bahwa setiap jenis makhluk hidup membutuhkan makanan untuk dapat bertahan hidup dalam komunitasnya. Mamalia membutuhkan energi dan nutrisi untuk dapat tumbuh, beraktivitas dan berkembang biak agar tetap bertahan hidup.

Berdasarkan keragaman jenis makanan pada satwa, Soemarwoto (2004); Noerdjito et al. (2005) membaginya ke dalam 3 kelompok, yaitu :

a. Monophagus, jenis satwa yang hanya dapat memanfaatkan satu jenis makanan saja.

b. Oligophagus, jenis satwa yang dapat memanfaatkan beberapa jenis makanan. c. Poliphagus, jenis satwa yang memiliki keragaman jenis makanan yang tinggi.

Pembagian tipe pakan berdasarkan jenis makanannya yaitu: insectivora (pemakan serangga), herbivora (pemakan tumbuhan), karnivora (pemakan satwa

(18)

lainnya) serta omnivora (pemakan satwa dan tumbuhan). Alikodra (2002) menyatakan bahwa herbivora memerlukan kuantitas dan kualitas makanan berkaitan dengan kandungan gizi makanan. Karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan dari pada kualitasnya.

C. Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Hutan merupakan habitat alami yang terutama bagi begitu banyak jenis tumbuhan dan satwa. Perubahan habitat dapat membawa dampak terhadap terciptanya suatu masalah. Kartono et al. (2003) menambahkan bahwa kerusakan habitat dapat menyebabkan penurunan kekayaan jenis dan penurunan tersebut akan terlihat lebih jelas pada habitat terisolasi yang berukuran kecil dibandingkan pada habitat tidak terisolasi yang besar. Harmonis (2005) menyatakan bahwa kerusakan habitat melalui perambahan hutan merupakan salah satu penyebab yang memungkinkan terjadinya kerentanan kepunahan jenis satwaliar di Kalimantan Timur.

Habitat yang sesuai bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya. Hal ini disebabkan bahwa setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra 2002). Beberapa jenis mamalia yang dapat ditemukan pada habitat hutan sekunder yaitu: pelanduk kancil (Tragulus javanicus), kijang muncak (Muntiacus muntjak) serta musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) (Payne et al. 2000; Suyanto 2002). Jenis-jenis mamalia yang dapat ditemukan pada tipe habitat hutan primer antara lain: lutung surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus) dan teledu sigung (Mydaus javanensis) (Suyanto 2002).

Suatu masyarakat satwaliar dapat dibedakan menurut perbedaan lapisan hutan. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa stratifikasi dalam hutan hujan tropis adalah sebagai berikut stratum A (tinggi > 30m), stratum B (tinggi 20-30m), stratum C (tinggi 4-20m), stratum D (tinggi 1-4m) dan stratum E (tinggi 0-1m). Arief (1999) membagi mamalia berdasarkan pemanfaatan strata

(19)

yaitu: strata di atas tajuk, strata tajuk paling atas, strata tajuk tengah dan strata lantai hutan.

Alikodra (2002) menyatakan bahwa setiap stratum mempunyai kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu. Satwa arboreal yang memanfaatkan strata atas diantaranya adalah ordo Primata, Chiroptera serta Rodentia, sedangkan satwa terestrial yang memanfaatkan lantai hutan ditunjukkan diantaranya ordo Perissodactyla dan Artiodactyla (Payne et al. 2000).

D. Populasi dan Penyebaran Mamalia

Populasi memiliki batasan dalam bidang pengelolaan satwaliar, yakni kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Vaughan (1985) menyatakan bahwa populasi mamalia umumnya berada pada keadaan dinamis yang seimbang dan cenderung stabil dalam batas kepadatan tertentu melalui proses interaksi seperti kompetisi, perkembangbiakan, pemangsaan, pemencaran dan penyakit.

Dalam mempertahankan kelangsungan hidup satwaliar, terdapat suatu pola penyebaran satwa yang merupakan strategi dari individu atau kelompok suatu organisme (Alikodra 2002). Saimin (2001) menyatakan bahwa pola penyebaran individu maupun kelompok satwa disebabkan oleh faktor-faktor seperti aktivitas mencari makanan, persaingan untuk mendapatkan makanan, konflik antar individu atau kelompok dan lainnya untuk kelangsungan hidup satwaliar.

Struktur vegetasi merupakan bagian dari komponen biotik yang terdapat pada suatu habitat. Struktur vegetasi memiliki peranan yang penting terhadap pergerakan dan penyebaran satwaliar (Alikodra 2002). Pencampuran beberapa jenis tumbuhan merupakan salah satu faktor ekologi yang penting. Pada hutan yang terdiri dari tegakan murni dan berumur sama memiliki jumlah jenis satwa yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan hutan campuran dengan diversifikasi umur. Faktor yang mempengaruhi jumlah jenis satwaliar yang ditemukan pada suatu habitat adalah keanekaragaman tipe habitat serta kualitas habitat tersebut (Fithria 2003).

(20)

Faktor abiotik yang berpengaruh pada keanekaragaman jenis adalah ketinggian tempat. Perubahan ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap komposisi vegetasi yang terdapat di suatu kawasan. Dalam bukunya, van Steenis (2006) menyatakan bahwa pada hutan pegunungan di Jawa, komposisi vegetasi yang ditemukan pada ketinggian diatas 2000 mdpl lebih sedikit dibandingkan dengan ketinggian dibawah 2000 mdpl. Mackinnon (1982) dalam Alikodra (2002) menyatakan bahwa kenaikan ketinggian suatu tempat akan diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenisnya. Adhikerana & Komeda (1997) menambahkan bahwa pada ketinggian yang lebih rendah lebih banyak jumlah jenisnya.

E. Konservasi Mamalia

Mamalia memiliki peranan yang penting dalam kelestarian ekosistem hutan. Suyanto (2002) menjelaskan peranan mamalia, antara lain sebagai penyubur tanah, penyerbuk bunga, pemencar biji, serta pengendali hama secara biologi. Kepunahan akan terjadi apabila tidak dilakukan suatu perlindungan terhadap satwa-satwa mamalia. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kepunahan suatu jenis adalah peningkatan populasi manusia, konversi hutan serta pengrusakan habitat satwa (Feldhamer et al. 1999).

Perlindungan terhadap keanekaragaman jenis hayati di Indonesia dilakukan pada jenis-jenis yang rawan punah, berpotensi sebagai stabilisator ekosistem serta jenis-jenis yang memiliki adaptasi rendah terhadap perubahan lingkungan (Noerdjito et al. 2005). Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu kawasan konservasi yang memiliki fungsi antara lain sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Riyanto et al. (2006) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia yang ditemukan pada wilayah barat (Majalengka) di TNGC, antara lain surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan babi hutan (Sus scrofa).

(21)

A. Sejarah Kawasan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816.603 hektar telah ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung. Di dalamnya termasuk Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi serta bermanfaat dalam penyediaan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan.

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka pemerintah memutuskan untuk mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai seluas ± 15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka (Jawa Barat) sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Penetapannya diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penetapan Hutan Lindung Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Pada tanggal 30 Desember 2004, dilakukan penunjukkan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat II sebagai pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai hingga terbentuknya organisasi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No. SK. 140/IV/Set-3/2004.

B. Letak dan Luas

Secara geografis, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) terletak pada koordinat 6o50’25” LS – 6o58’26” LS dan 108o21’35” BT – 108o28’0” BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, kawasan TNGC termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Kuningan (bagian timur) dan Kabupaten Majalengka (bagian barat) dengan luas + 15.500 Ha.

(22)

C. Kondisi Fisik 1. Iklim

Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai termasuk ke dalam tipe iklim B. Jumlah hari hujan merata sepanjang tahun dengan kisaran curah hujan per tahun 2000 – 4000 mm/tahun. Kelembaban udara di TNGC pada malam hari berkisar antara 94 – 99%, sedangkan pada siang hari berkisar antara 63%-92%. Suhu udara berkisar 15 – 20oC pada saat malam hari, sedangkan pada saat siang hari berkisar 19 – 24oC.

2. Topografi

Gunung Ciremai merupakan salah satu gunung tertinggi yang terdapat di Indonesia dengan ketinggian 3.078 mdpl. Pada umumnya topografi kawasan TNGC bergelombang, berbukit dan bergunung. Kemiringan lahan yang termasuk landai (0-8%) hanya 26,52%, sedangkan kemiringan yang diatas 8% sebesar 73,48%.

3. Hidrologi

Potensi hidrologis Gunung Ciremai di kawasan timur (Kuningan) meliputi 43 sungai dan 156 sumber air, sebanyak 147 titik sumber mata air mengalirkan air sepanjang tahun dengan rata-rata debit 50 – 2000 liter/detik. Pada kawasan barat (Majalengka) terdapat 36 sumber mata air dan 7 sungai dengan debit berkisar antara 50 – 200 liter/detik untuk debit sungai dan 0,5 – 40 liter/detik untuk debit sumber mata air.

4. Tanah

Kelompok hutan Gunung Ciremai memiliki pola penyebaran jenis tanah meliputi: regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, latosol, kelompok asosiasi andosol coklat dan regosol, kelompok latosol coklat serta latosol coklat kemerahan.

5. Vulkanologi dan Geologi

Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif, tipe A (yakni, gunung api magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk kerucut. Gunung ini merupakan gunung api soliter, yang dipisahkan oleh zona sesar

(23)

Cilacap – Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur yang terletak pada zona Bandung.

Letusan G. Ciremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ciremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001.

D. Kondisi Hayati 1. Vegetasi

Kondisi vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Gunung Ciremai terdiri dari tipe hutan hujan dataran rendah, hutan hujan pegunungan serta hutan pegunungan sub alpin.Flora yang ditemukan di Taman Nasional Gunung Ciremai pada wilayah timur (Riyanto et al. 2007) diantaranya adalah pinus (Pinus merkusii), saninten (Castanopsis javanica), petag (Syzygium densiflorum) serta pasang (Lithocarpus ewyckii).

2. Fauna

Keanekaragaman jenis satwaliar yang ditemukan pada wilayah barat TNGC adalah sebagai berikut: 23 jenis reptil dan ampfibi, 26 jenis mamalia serta 102 jenis burung (Riyanto et al. 2006). Jenis mamalia yang terdapat di TNGC diantaranya adalah macan tutul (Panthera pardus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Hystrix brachyura) serta babi hutan (Sus scrofa). Primata yang dapat ditemukan antara lain surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus) yang merupakan satwa dilindungi. Burung yang terdapat di TNGC antara lain elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang ular (Spilornis cheela) serta kacamata gunung (Zoosterops montanus) yang merupakan jenis-jenis burung dilindungi. Reptil yang dapat ditemukan di TNGC yaitu bunglon hutan (Gonocephalus chamaeleontinus) dan cecak batu (Cyrtodactylus sp.).

(24)

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah Kuningan, Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat. Lokasi pengamatan yang diamati adalah sebagai berikut: Linggarjati, Palutungan, Cibeureum, Seda, Sayana, Bandorasa, Pajambon dan Sukamukti. Pengambilan data lapangan dilakukan selama lebih kurang dua setengah bulan mulai tanggal 16 Mei 2007 sampai 29 Juli 2007. Peta lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 1.

N E W S # # # # ## # #Seda Sayana Pajambon Sukamukti Bandorasa Palutungan Cibeuereum Linggarjati 6° 58 ' 6° 58 ' 6° 57 ' 57 ' 6° 56 ' 56 ' 6° 55 ' 6° 55 ' 6° 54 ' 54 ' 6° 53 ' 53 ' 6° 52 ' 52 ' 6° 51 ' 51 ' 6° 50 ' 50 ' 6° 49 ' 49 ' 6° 48 ' 6° 48 ' 108°18' 108°18' 108°19' 108°19' 108°20' 108°20' 108°21' 108°21' 108°22' 108°22' 108°23' 108°23' 108°24' 108°24' 108°25' 108°25' 108°26' 108°26' 108°27' 108°27' 108°28' 108°28' 108°29' 108°29' 108°30' 108°30' Peta Lokasi Pengamatan Mamalia 1 0 1 2 3 Km

LEGENDA

Kawasan TNGC

#

Lokasi Pengamatan Sumber: Peta Kawasan

Taman Nasional Gunung Ciremai (BPKH 2004)

Gambar 1. Peta lokasi pengamatan di SPTN Wilayah Kuningan TNGC Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi: teropong binokuler, kompas brunton, altimeter, GPS (Global Positioning System) receiver, kamera digital, higrometer, pita meter, tali rafia, buku lapang serta buku panduan

(25)

lapangan mamalia. Objek utama dari penelitian, yakni keanekaragaman jenis mamalia besar beserta habitatnya.

C. Kerangka Pemikiran

Salah satu pembahasan terhadap ekologi mamalia adalah ditinjau melalui habitatnya. Setiap jenis mamalia memiliki preferensi tertentu dalam memilih habitatnya. Tidak semua jenis mamalia dapat ditemukan dalam satu kondisi habitat. Faktor penyusun yang dapat mempengaruhi habitat adalah ketinggian tempat dan komposisi vegetasi yang ditinjau berdasarkan kerapatan vegetasi dan ketersediaan sumberdaya pakan.

Ketinggian tempat dan komposisi vegetasi memiliki suatu hubungan dengan keanekaragaman jenis mamalia. Ketinggian tempat menunjukkan hubungan yang negatif terhadap keanekaragaman jenis. Hal ini menyatakan bahwa peningkatan ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah jenis mamalia. Komposisi vegetasi menunjukkan hubungan positif terhadap keanekaragaman jenis mamalia. Peningkatan komposisi vegetasi terkait dengan kerapatan vegetasi dan ketersediaan sumberdaya pakan akan menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan akan semakin bertambah. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian ”Keanekaragaman Jenis Mamalia Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat”

Ekologi Mamalia

Habitat

Ketinggian Tempat Komposisi Vegetasi

Keanekaragaman Jenis Mamalia

Hubungan Hubungan

Negatif Positif

Pengelolaan Satwaliar Populasi Rendah Habitat Rusak

(26)

Pengelolaan satwaliar perlu dilakukan apabila diketahui kondisi habitat dari mamalia besar mengalami kerusakan serta populasinya yang rendah. Hal ini diperlukan sebagai dasar dalam upaya konservasi mamalia, sehingga keanekaragaman jenis mamalia akan tetap terjaga kelestariannya.

D. Metode Pengumpulan Data 1. Inventarisasi Mamalia

Kegiatan inventarisasi mamalia dilakukan untuk mendapatkan data mengenai jenis mamalia serta jumlah individu setiap jenis. Data dikumpulkan berdasarkan perjumpaan langsung dan perjumpaan tidak langsung dengan satwa. Data hasil perjumpaan tidak langsung berupa jejak kaki, sarang, kotoran, suara, serta bekas makanan satwa dianggap sebagai 1 tanda.

NRC (1981) dalam Sugardjito et al. (1997) menyatakan bahwa pengambilan data lapangan untuk primata menggunakan metode transek garis (line transect). Namun, untuk penelitian ini digunakan metode transek jalur (strip transect). Jalur pengamatan yang digunakan adalah jalur yang biasa digunakan oleh masyarakat. Pada Gambar 3 disajikan bentuk metode jalur transek yang dibuat dalam pengamatan mamalia besar di TNGC.

Gambar 3. Bentuk unit contoh transek jalur dalam pengamatan mamalia besar; o= posisi satwa ditemukan

Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali untuk setiap jalur pengamatan. Panjang jalur pengamatan rata-rata sepanjang 1691,67 meter dengan setiap jalur memiliki lebar 200 meter. Total luas areal pengamatan sebesar 406 Ha dengan IS

+ 1,7 km 1 0 0 m 1 0 0 m o o o o

(27)

(Intensitas Sampling) sebesar 2,62% berdasarkan luas kawasan TNGC secara keseluruhan.

2. Inventarisasi Vegetasi

Kegiatan inventarisasi vegetasi dilakukan pada jalur yang sama dengan jalur pengamatan mamalia, dengan tujuan untuk mengetahui kondisi dan komposisi vegetasinya. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter batang setinggi dada (130 cm), tinggi total dan tinggi bebas cabang. Sedangkan data yang dikumpulkan untuk pertumbuhan tingkat semai dan pancang hanyalah jenis dan jumlah individu setiap jenis yang ditemukan.

Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi yaitu metode garis berpetak (Soerianegara & Indrawan 2002). Panjang jalur yang digunakan sebesar 100 meter dengan lebar sebesar 20 meter, sehingga luas setiap jalur sebesar 0,2 ha.

Soerianegara & Indrawan (2002) menjelaskan bahwa pada tingkat pertumbuhan semai (a) digunakan ukuran dengan besar 2x2 m, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pancang (b) ukurannya sebesar 5x5 m. Pada tingkat pertumbuhan tiang (c) memiliki besar ukuran 10x10 m, sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pohon (d) digunakan petak berukuran 20x20 m. Bentuk metode garis berpetak disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi vegetasi

Jumlah jalur inventarisasi vegetasi pada setiap daerah pengamatan, adalah sebagai berikut: Linggarjati sebanyak 3 jalur, Palutungan dan Seda sebanyak 2 jalur serta Cibeureum, Pajambon, Sayana, Bandorasa dan Sukamukti sebanyak 1 jalur.

100 m 1 0 m 1 0 m d c b a c b a d c b a

(28)

Jumlah jalur pada setiap daerah disesuaikan dengan luas daerah pengamatan. Inventarisasi vegetasi terhadap hutan pinus dilakukan di dua tempat yaitu Bintangot (daerah pengamatan Seda) serta Cibunar (daerah pengamatan Linggarjati). Hutan dataran rendah dilakukan inventarisasi pada lokasi-lokasi sebagai berikut: Ayakan (daerah pengamatan Seda), Cibeureum (daerah pengamatan Cibeureum) serta Cilengkrang (daerah pengamatan Pajambon).

Inventarisasi vegetasi pada hutan pegunungan dilakukan pada wilayah Kondang Amis (daerah pengamatan Linggarjati), Alas Bandorasa (daerah pengamatan Bandorasa), Japarana (daerah pengamatan Sayana), Gunung Putri (daerah pengamatan Sukamukti) serta Panggoyangan badak (daerah pengamatan Palutungan). Inventarisasi vegetasi pada hutan subalpin dilakukan pada dua lokasi yakni Tanjakan Asoy (daerah pengamatan Palutungan) dan Leuweung Gede (daerah pengamatan Linggarjati).

E. Analisis Data

1.Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan komposisi dan dominasi suatu jenis pohon pada suatu komunitas. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa persamaan yang digunakan dalam menentukan komposisi vegetasi adalah sebagai berikut:

INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon) Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis x 100 %

Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Jumlah kerapatan seluruh jenis

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%

Jumlah frekuensi seluruh jenis Dominasi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis

Luas unit contoh

Dominasi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100% Jumlah dominansi seluruh jenis

(29)

Keterangan: Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π D2

2. Indeks Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan metode Margalef (Ludwig & Reynolds 1988). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis

adalah: Dmg = ) ln( 1 N S

Keterangan: Dmg = Indeks Margalef

N = Jumlah individu seluruh jenis S = Jumlah jenis mamalia besar

3. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan dengan menggunakan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dengan rumus:

H’ = - ∑ pi ln pi; dimana pi = ni/N

Keterangan: H’ = Indeks Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis

4. Indeks Kemerataan (J’)

Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan yakni:

J’ = H’/ln S

Penentuan nilai indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis mamalia dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat diketahui keberadaan dominansi jenis mamalia besar.

5. Komunitas Mamalia Besar

Komunitas mamalia besar ditentukan dengan menggunakan indeks koefisien Jaccard. Indeks Jaccard digunakan untuk membandingkan diantara komunitas mamalia besar secara kualitatif (Krebs 1989) dengan memperhatikan keberadaan mamalia besar dalam komunitas. Keberadaan mamalia besar, digabungkan antara

(30)

pertemuan langsung dan tidak langsung. Persamaan yang digunakan untuk

mendapatkan nilai indeks Jaccard, adalah: JI =

c b a a + +

Keterangan: a = Pada kedua habitat ditemukan jenis yang sama b = Mamalia besar hanya ditemukan pada habitat A c = Mamalia besar hanya ditemukan pada habitat B

6. Pendugaan Populasi

Persamaan yang dapat digunakan untuk menduga kepadatan populasi suatu jenis mamalia berdasarkan metode transek jalur antara lain adalah persamaan King (King Methods). Metode ini digunakan oleh Jamaludin (2007) dalam melakukan pendugaan populasi terhadap babi hutan sulawesi (Sus celebensis). Bentuk persamaan penduga kepadatan populasi satwa untuk setiap jalur:

Dj = Lw xi 2

atau Dj = a xi

Keterangan: Dj = Kepadatan populasi dugaan untuk jalur ke-j (ind/ha)

Xi = Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu)

L = Panjang transek jalur pengamatan (m) w = Lebar kiri atau kanan jalur pengamatan (m) a = Luas jalur setiap pengamatan (ha)

i = Kontak pengamat dengan satwaliar

Jika pengamatan dilakukan lebih dari satu jalur pengamatan pada lokasi studi, maka ukuran populasi untuk seluruh wilayah pengamatan adalah:

P =

× j j j a A D a .

Keterangan: P = ukuran populasi dugaan (ind) A = luas total areal yang diteliti (ha) aj = luas jalur pengamatan ke-j (ha)

7. Pemanfaatan Stratifikasi dan Waktu Aktivitas

Analisis pada pemanfaatan stratifikasi dan waktu aktivitas, yakni dengan memperhatikan jumlah individu setiap jenis mamalia besar dalam memanfaatkan strata hutan serta waktu untuk beraktivitas.

(31)

8. Asosiasi Interspesifik

Asosiasi interspesifik dihitung dengan menggunakan indeks Jaccard (Ludwig & Reynolds 1988). Asosiasi ini memperhatikan jenis-jenis mamalia besar berdasarkan perjumpaan langsung atau tidak langsung di lapangan. Persamaan yang digunakan adalah:

JI = c b a a + +

Untuk menentukan keberadaan 2 jenis mamalia berasosiasi atau saling bebas, maka dilakukan uji khi-kuadrat dengan persamaan (Ludwig & Reynolds 1988) sebagai berikut: χ2 =

[

]

[

]

[

]

[

]

2 2 2 2 ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( d E d E d c E c E c b E b E b a E a E a − + − + − + − , dimana E(a) = (a+b)(a+c)/N E(b) = (a+b)(b+d)/N E(c) = (c+d)(a+c)/N E(d) = (c+d)(b+d)/N

Keterangan: a = kedua jenis mamalia berada pada lokasi yang sama b = Pada lokasi A hanya terdapat satu jenis mamalia besar c = Pada lokasi B hanya terdapat satu jenis mamalia besar d = kedua jenis mamalia tidak berada pada lokasi yang sama

Pengujian dilakukan dengan menggunakan selang kepercayaan 95%. Hipotesa yang disusun dalam menguji asosiasi interspesifik, yaitu:

H0: Tidak terdapat asosiasi antara jenis mamalia besar.

H1: Terdapat asosiasi antara jenis mamalia besar.

Pengambilan kesimpulan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: Jika χ2hitung > χ2 tabel, maka tolak H0

Jika χ2hitung < χ2 tabel, maka terima Ho

9. Hubungan Keanekaragaman Jenis Mamalia Dengan Ketinggian Tempat dan Komposisi Vegetasi

Untuk menentukan hubungan keanekaragaman jenis mamalia dengan ketinggian tempat dan komposisi vegetasi digunakan uji regresi. Data keanekaragaman jenis mamalia besar meliputi seluruh jenis mamalia besar yang teramati secara langsung ataupun secara tidak langsung. Dalam melakukan uji

(32)

regresi, digunakan program SPSS 11.5 dengan nilai uji nyata < 0,05 dan tidak nyata > 0,05.

Dalam hubungannya dengan ketinggian tempat, keanekaragaman jenis mamalia besar dihitung berdasarkan selang ketinggian tempat 300 m. Setiap kenaikan ketinggian sebesar 300 m, dihubungkan dengan keanekaragaman jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung ataupun tidak langsung pada selang ketinggian tersebut.

Hubungan dengan komposisi vegetasi, memperhatikan hubungan antara kerapatan vegetasi dengan keanekaragaman jenis mamalia besar. Selain itu, menghubungkan juga kerapatan vegetasi yang digunakan sebagai sumber pakan mamalia besar dengan keanekaragaman mamalia besar. Data kerapatan vegetasi menggunakan data kerapatan vegetasi pada setiap tipe habitat.

10. Hubungan Tipe Habitat dengan Indeks Heterogenitas

Untuk menentukan pengaruh antara tipe-tipe habitat terhadap kekayaan jenis, keanekaragaman jenis serta kemerataan jenis, maka dilakukan uji khi-kuadrat dengan persamaan (Walpole 1997) sebagai berikut:

χ2=

= − k i Ei Ei Oi 1 2 ) (

Keterangan : Oi = Frekuensi hasil pengamatan

Ei = Frekuensi yang diharapkan

Pada pengujian ini, digunakan hipotesa sebagai berikut:

H0: Tipe-tipe habitat tidak mempengaruhi keanekaragaman jenis mamalia besar

H1: Tipe-tipe habitat mempengaruhi keanekaragaman jenis mamalia besar

Pengambilan kesimpulan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: Jika χ2hitung > χ2 tabel, maka tolak H0

Jika χ2hitung < χ2 tabel, maka terima Ho

Pengujian akan dilakukan pada selang kepercayaan 95% dengan derajat bebas (db) = (b-1) (k-1), dengan b = baris dan k = kolom.

(33)

A. Kondisi Habitat

Tipe-tipe habitat yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) diklasifikasikan menjadi 4 tipe habitat, yakni sebagai berikut: hutan pinus, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan sub alpin. Vegetasi yang terdapat pada keempat tipe habitat ini cenderung beragam. Jumlah jenis tumbuhan yang dapat teridentifikasi sebanyak 57 jenis dari 35 famili. Berdasarkan familinya, Moraceae memiliki jumlah jenis yang terbanyak yakni sebanyak 10 jenis, lalu famili Lauraceae dan Euphorbiaceae sebanyak 8 jenis. Secara lebih rinci, jenis-jenis tumbuhan yang teridentifikasi disajikan pada Lampiran 1.

1. Habitat Hutan Pinus

Dalam kawasan TNGC terdapat habitat hutan pinus yang sebelumnya menjadi kawasan Perhutani. Pada habitat ini, terdapat beberapa lahan garapan masyarakat berupa kebun. Interaksi masyarakat pada habitat ini cukup sering, terlihat dengan aktivitas masyarakat dalam mengambil rumput untuk kebutuhan ternak.

Perbedaan komposisi vegetasi lebih ditunjukkan pada tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah. Tumbuhan kaliandra merupakan vegetasi yang dominan ditemukan pada habitat ini. Vegetasi yang terdapat pada hutan pinus ini sebagian besar adalah tumbuhan bawah dan beberapa jenis alang. Tumbuhnya alang-alang disebabkan penutupan tajuk pada habitat hutan pinus yang terbuka mempengaruhi tumbuhnya tumbuhan-tumbuhan pionir yakni alang-alang.

Pada tingkat pertumbuhan semai, didominasi oleh kiseer dengan INP sebesar 100%. Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh kaliandra dengan IPN sebesar 44,30%. Untuk tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh pohon simpur dengan INP sebesar 76,19%. Pohon pinus mendominasi pada tingkat pertumbuhan tiang (INP= 219,74%) dan pohon (INP=226,99%). Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pinus disajikan pada Tabel 1 dan secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 2-6.

(34)

Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pinus

Tingkat Pertumbuhan Jenis Tumbuhan Nama Ilmiah INP (%)

Semai

Kiseer Antiaesta tetrandrum 100

- - -

- - -

Tumbuhan Bawah

Kaliandra Caliandra caliandra 44,30 Kirinyuh (?) 15,94 Oyeh (?) 14,94 Pancang Simpur (?) 76,19 Antret (?) 47,62 Kopi (?) 30,95 Tiang

Pinus Pinus merkusii 219,74

Bisoro (?) 44,00

Kacu Artocarpus sp. 36,27

Pohon

Pinus Pinus merkusii 226,99 Saninten Castanopsis javanica 37,32

Afrika (?) 35,69

Untuk tingkat pertumbuhan pancang, vegetasi yang terdapat di TNGC cukup beragam dan terdapat 3 jenis tumbuhan yang tumbuh secara alami, yaitu simpur, antret dan binuang. Pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, terdapat jenis-jenis yang tumbuh secara alami yaitu bisoro, kacu serta saninten. Tumbuhnya jenis-jenis alami ini perlahan-lahan akan mendominasi vegetasi pinus yang ada. Suksesi hutan pinus sudah mulai terlihat dengan tumbuhnya jenis tumbuhan hutan primer (Soerianegara & Indrawan 2002), yakni saninten (Castanopsis javanica).

2. Habitat Hutan Dataran Rendah

Tipe habitat hutan dataran rendah yang berada dalam kawasan TNGC tersebar diantara ketinggian 500 mdpl hingga 1000 mdpl. Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan pada ketiga wilayah ini adalah jenis-jenis yang umumnya ditemukan pada habitat hutan dataran rendah. Riyanto et al (2007) menyatakan jenis-jenis tumbuhan hutan dataran rendah yaitu binuang (Tetrameles nudiflora), gempol (Nauclea excelsa), huru kapundung (Cleidion spiciflorum) serta kondang (Ficus variegata).

(35)

Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni huru langsep (INP=27,69%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh jukut galunggung (INP=27,11%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh kacu dengan INP sebesar 21,45%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh huru kadoya (INP=18,75%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh kondang dengan INP sebesar 24,29%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan dataran rendah disajikan pada Tabel 2 dan secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 7-11.

Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan dataran rendah

Tingkat Pertumbuhan Jenis Tumbuhan Nama Ilmiah INP (%)

Semai Huru langsep (?) 27,69 Huru kapundung (?) 27,38 Jelutung (?) 23,69 Tumbuhan Bawah Jukut galunggung (?) 27,11 Manis mata (?) 17,89 Kaliandra (?) 13,67 Pancang Kacu Artocarpus sp. 21,45 Huru meuhmal Acronychia sp. 12,37 Kaliandra Caliandra caliandra 12,00

Tiang

Huru kadoya (?) 18,75 Nangsi Villebrunea rubescens 17,44 Ipis kulit Decaspermum fruticesum 17,08

Pohon

Kondang Ficus variegata 24,29 Gempol Nauclea excelsa 16,12 Benda Artocarpus elasticus 13,44

Kaliandra merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup pada tegakan yang terbuka. Dominasi tumbuhan kaliandra pada hutan dataran rendah menunjukkan bahwa kondisi hutan dataran rendah tergolong terganggu. Kondisi hutan yang terganggu dapat juga diketahui dengan interaksi masyarakat yang berbatasan dengan hutan dataran rendah dalam mencari rumput ataupun kayu bakar.

(36)

3. Habitat Hutan Pegunungan

Hutan pegunungan adalah ciri khas dari TNGC yang tersebar pada ketinggian 1000 mdpl hingga 2400 mdpl. Pada habitat ini, interaksi masyarakat dengan kawasan hutan lebih sedikit, dipengaruhi lokasi yang lebih jauh dari permukiman. Namun, masih terdapat bentuk-bentuk aktivitas masyarakat pada habitat ini, terlihat dengan ditemukannya potongan kayu di dalam kawasan.

Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni bubuai (INP=24,78%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh pecah beling (INP=48,99%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh pasang dengan INP sebesar 17,04%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh pasang (INP=23,53%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh saninten dengan INP sebesar 26,51%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada hutan pegunungan disajikan pada Tabel 3 dan secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran12-16.

Tabel 3. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan pegunungan

Tingkat Pertumbuhan Jenis Tumbuhan Nama Ilmiah INP (%)

Semai

Bubuai Pinanga conorata 24,78 Kileho Saurauia sp. 16,50 Pakis (?) 15,37 Tumbuhan Bawah Pecah beling (?) 48,99 Paku-pakuan Cyathea sp. 23,49 Gurunggutu (?) 16,40 Pancang

Pasang Lithocarpus ewyckii 17,04 Nangsi Villebrunea rubescens 12,09 Pulus Ficus sp. 10,91

Tiang

Pasang Lithocarpus ewyckii 23,53 Saninten Castanopsis javanica 22,57 Kileho Saurauia sp. 15,64

Pohon

Saninten Castanopsis javanica 26,51

Surian (?) 13,84

Kiplik Ficus sp. 10,66

Pohon saninten dan pasang memiliki regenerasi yang baik. Hal ini dapat diketahui dengan ditunjukkannya dominasi oleh kedua jenis ini pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Soerianegara & Indrawan (2002) menyatakan bahwa jenis ini merupakan jenis-jenis tumbuhan primer. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hutan pegunungan di TNGC masih tergolong baik.

(37)

4. Habitat Hutan Sub-Alpin

Hutan sub-alpin pada kawasan TNGC terletak di ketinggian 2400 mdpl hingga puncak gunung Ciremai yaitu 3078 mdpl. Jumlah jenis yang ditemukan pada hutan sub alpin lebih sedikit dari hutan pegunungan. Faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhinya adalah terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan semakin meningkatnya ketinggian tempat.

Pada tingkat pertumbuhan semai, jenis tumbuhan yang mendominasi yakni huru madam (INP=26,74%). Pada vegetasi tumbuhan bawah, didominasi oleh pecah beling (INP=34,26%). Pada tingkat pertumbuhan pancang, didominasi oleh huru piit dengan INP sebesar 29,52%. Untuk tingkat pertumbuhan tiang, didominasi oleh huru cantigi (INP=28,03%). Pada tingkat pertumbuhan pohon, didominasi oleh pasang dengan INP sebesar 29,79%. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada hutan subalpin disajikan pada Tabel 4 dan secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 17-21.

Tabel 4. Jenis-jenis tumbuhan yang mendominasi pada habitat hutan subalpin

Tingkat Pertumbuhan Jenis Tumbuhan Nama ILmiah INP (%)

Semai

Huru madam Litsea sanguinolenta 26,74 Huru tangkil Psychotria viridiflora 26,04 Kibeunter Debregeasia sp. 24,31 Tumbuhan Bawah Pecah beling (?) 45,40 Paku-pakuan Cyathea sp. 32,28 Teki (?) 19,48 Pancang

Huru piit Prunus arborea 29,52 Pasang Lithocarpus ewyckii 22,70 Huru tangkil Psychotria viridiflora 21,34

Tiang

Huru cantigi Aglaia odorata 28,03 Hambirung Engelhardia servata 25,20 Huru tangkil Psychotria viridiflora 25,20

Pohon

Pasang Lithocarpus ewyckii 29,79 Kijago Macropanax dispermum 22,89 Ipis kulit Decaspermum fruticosum 21,39

Kondisi habitat hutan subalpin masih tergolong baik. Hal ini dapat diketahui dengan dominannya pohon pasang yang merupakan indikator hutan yang tidak terganggu. Terganggunya hutan subalpin dapat disebabkan oleh pendakian yang dilakukan masyarakat umum ke puncak Gunung Ciremai.

(38)

B. Keanekaragaman Jenis Mamalia besar

Krebs (1989) menyatakan bahwa ada 4 tipe informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data keanekaragaman jenis, yaitu jumlah jenis, jumlah individu tiap jenis, lokasi yang ditempati oleh individu setiap jenis dan lokasi yang ditempati oleh individu sebagai individu-individu yang terpisah. Jumlah jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC secara langsung dan tidak langsung (melalui suara, jejak kaki, sarang, kotoran yang ditinggalkan serta bekas makan mamalia besar) sebanyak 9 jenis dari 6 famili, yaitu Cercopithecidae (3 jenis) dan Lorisidae (1 jenis) yang termasuk ke dalam ordo Primata, Suidae (1 jenis) dan Cervidae (1 jenis) yang termasuk ke dalam ordo Artiodactyla serta Felidae (2 jenis) dan Viverridae (1 jenis) termasuk ke dalam ordo Carnivora. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan di TNGC

Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Jumlah individu setiap tipe habitat HPin HDR HPeg HSub Kukang jawa Nycticebus

javanicus Lorisidae 0 0 4 0

Surili Presbytis aygula Cercopithecidae 0 0 32 0 Lutung budeng Trachypithecus

auratus Cercopithecidae 0 18 59 2

Monyet-ekor panjang

Macaca

fascicularis Cercopithecidae 0 191 2 0

Babi hutan Sus scrofa Suidae 0 0 2 0 Kijang muncak Muntiacus

muntjac Cervidae 0 0 1 0

Musang luwak Paradoxurus hermaphroditus Viverridae 0 0 0 0

Kucing hutan Prionailurus

bengalensis Felidae 0 0 0 0

Macan tutul Panthera pardus Felidae 0 0 0 1

Keterangan: HPin = Hutan Pinus, HDR = Hutan Dataran Rendah, HPeg = Hutan Pegunungan, HSub = Hutan Subalpin

Umumnya jumlah individu yang ditemukan berdasarkan perjumpaan langsung, diketahui bahwa jumlahnya lebih banyak pada hutan pegunungan. Hal ini dapat disebabkan jenis-jenis mamalia besar yang terdapat di TNGC telah beradaptasi dengan baik dengan kondisi habitat hutan pegunungan. Sebaliknya pada habitat hutan subalpin jumlah individu yang ditemukan jauh lebih sedikit.

(39)

Hal ini terkait dengan perubahan komposisi jenis mamalia besar dengan adanya peningkatan ketinggian tempat.

Keanekaragaman jenis mamalia besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkat trofik (pemilihan terhadap jenis makanannya), yaitu herbivora (makanan utama berupa tumbuhan bawah, daun serta buah), karnivora (makanan utama berupa daging) dan omnivora. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 3 jenis yang merupakan satwa omnivora, yakni monyet-ekor panjang, kukang jawa dan babi hutan. Terdapat 2 jenis yang termasuk satwa karnivora, yakni kucing hutan dan macan tutul. Satwa herbivora sebanyak 4 jenis, yakni lutung budeng, surili, musang luwak dan kijang muncak. Untuk mamalia besar yang bersifat karnivora, yakni kucing hutan dan macan tutul. Jumlah jenis berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Jumlah jenis mamalia besar berdasarkan tingkat trofik

Berdasarkan pengelompokkan jenis mamalia besar menurut tingkat trofik diketahui bahwa keseimbangan ekosistem pada mamalia besar masih tergolong baik. Hal ini diketahui berdasarkan jumlah jenis herbivora yang lebih banyak dari omnivora dan karnivora yang membentuk bentuk piramida. Apabila jumlah jenis karnivora lebih banyak dari jumlah jenis herbivora, maka jejaring makanan dalam ekosistem akan menjadi tidak seimbang. Noerdjito et al. (2005) menyatakan keseimbangan ekosistem telah diatur secara alami melalui mekanisme rangkaian penyediaan dan keseimbangan jejaring makanan.

(40)

Pada habitat hutan pinus tidak ditemukan satupun jenis mamalia besar secara langsung. Hal ini dapat disebabkan tidak tersedianya sumberdaya pakan bagi mamalia besar di habitat hutan pinus. Heriyanto & Iskandar (2004) menyatakan bahwa habitat yang baik diketahui dari tersedianya sumber pakan bagi satwaliar.

Jumlah jenis mamalia besar beserta jumlah individunya yang ditemukan dalam suatu kawasan akan berpengaruh terhadap nilai indeks kekayaan jenis Margalef. Toth & Kiss (1999) menyatakan bahwa peningkatan jumlah jenis akan menyebabkan nilai indeks Margalef semakin tinggi. Dikatakan lebih lanjut bahwa bila jumlah individu setiap jenis yang meningkat akan menyebabkan nilai indeks Margalef semakin menurun.

Dalam penghitungan terhadap keanekaragaman jenis mamalia besar di TNGC didapatkan nilai indeks kekayaan jenis Margalef berkisar antara nilai 0,19-1,09 pada setiap tipe habitat. Untuk nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener berkisar antara 0,29-1,01. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe habitat disajikan pada Tabel 6. Secara lebih rinci, nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis disajikan pada Lampiran 22.

Tabel 6. Nilai indeks kekayaan jenis dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe habitat

Tipe Habitat Indeks Kekayaan Jenis Indeks Keanekaragaman Jenis Hutan dataran rendah 0,19 0,29

Hutan pegunungan 1,09 1,01 Hutan subalpin 0,91 0,64

Seluruh habitat 1,04 1,00

Keanekaragaman jenis mamalia besar lebih tinggi pada habitat hutan pegunungan dibandingkan habitat lainnya. Hal ini disebabkan TNGC yang merupakan kawasan pegunungan yang lebih luas dari habitat lainnya. Zorenko & Leontyeva (2003) menyatakan bahwa faktor luasan mempengaruhi nilai indeks yang dimiliki. Soerianegara & Indrawan (2002) menambahkan bahwa ukuran contoh yang semakin besar menyebabkan jumlah jenis yang ditemukan bertambah.

Keanekaragaman jenis mamalia besar di TNGC tergolong rendah. Zorenko & Leontyeva (2003) pada keaneakaragaman jenis mamalia di Riga, didapatkan

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi pengamatan di SPTN Wilayah Kuningan TNGC Kabupaten  Kuningan Propinsi Jawa Barat
Gambar 2.    Kerangka  pemikiran  penelitian  ”Keanekaragaman  Jenis  Mamalia  Besar Berdasarkan Komposisi Vegetasi dan Ketinggian Tempat”
Gambar 3. Bentuk unit contoh transek jalur dalam pengamatan mamalia besar; o=  posisi satwa ditemukan
Gambar 4. Bentuk unit contoh metode garis berpetak dalam inventarisasi vegetasi   Jumlah jalur inventarisasi vegetasi pada setiap daerah pengamatan, adalah sebagai  berikut:  Linggarjati sebanyak 3 jalur, Palutungan  dan Seda sebanyak 2 jalur serta  Cibeur
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Cairan Kapur terhadap Kualitas Telur Asin Berdasarkan Warna Yolk dengan Daya Simpan 14 Hari.. Dokumentasi

 Hasil penelitian penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa bahwa arsitektur arsitektur Nusantara Nusantara menempatkan menempatkan posisinya posisinya pada pada

Guru dapat melakukan pembelajaran bersama diwaktu yang sama menggunakan grup di media sosial seperti WhatsApp (WA), telegram, instagram, aplikasi zoom ataupun media lainnya

Hipothesis penelitian ini adalah Strategi Pembelajaran fisika pada matakuliah Fisika Dasar II dapat meningkatkan hasil belajar dan strategi pembelajaran fisika

Dari diagram tersebut di atas terlihat bahwa sebagian besar yakni 74 orang (64%) responden meyakini bahwa alasan dari penyamaan besaran PTKP bagi anak baik yang memperoleh

Indikator Kinerja Kegiatan 001 Jumlah Penyelesaian Administrasi Perkara (yang Sederhana, dan Tepat Waktu) Ditingkat Pertama dan Banding di Lingkungan Peradilan Agama (termasuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana esensi penggunaan jenis perjanjian kerjasama pada usaha waralaba dengan melihat ciri-ciri dari perjanjian waralaba