• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, Dan Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Anak Down Syndrome

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, Dan Aktivitas Fisik Dengan Status Gizi Anak Down Syndrome"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU, TINGKAT

PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA KONSUMSI PANGAN,

DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK

DOWN SYNDROME

LUSI ANINDIA RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Lusi Anindia Rahmawati

(4)
(5)

RINGKASAN

LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Hubungan antara Persepsi Ibu, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Konsumsi Pangan, dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Down Syndrome. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan IKEU EKAYANTI.

Down Syndrome merupakan kondisi kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi. Gejala yang muncul umumnya berupa keterbelakangan mental serta bentuk muka mongoloid. Masalah gizi yang sering terjadi pada anak Down Syndrome adalah kegemukan. Masalah gizi ini harus dicegah agar tidak semakin memperburuk kondisi kesehatan dan membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi di dalam berbagai kegiatan yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi karakteristik umum anak Down Syndrome beserta keluarganya, 2) Menganalisis persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan pengetahuan gizi ibu, 3) Menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status gizi anak Down Syndrome, 4) Menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome, 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome, dan 6) Menentukan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Juni 2015 di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Contoh penelitian ini terdiri atas 50 anak-anak Down Syndrome yang berasal dari kelima sekolah luar biasa yang dipilih secara purposive. Kriteria inklusi yang ditetapkan untuk contoh adalah 1) anak berusia 6 – 18 tahun, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, 3) tinggal bersama ibu kandungnya dalam satu rumah, dan 4) ibu bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian. Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner yang diisi oleh ibu contoh serta penimbangan dan pengukuran langsung terhadap berat dan tinggi badan contoh. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis univariat, bivariat, dan multivariat menggunakan Regresi Logistik.

Lebih dari separuh contoh dalam penelitian ini berusia ≤ 12 tahun (58.0%),

sebagian besar contoh berjenis kelamin laki-laki (66.0%) dan secara keseluruhan berada dalam kelompok retardasi mental sedang (100.0%). Sebagian besar ibu

contoh memiliki tingkat pendidikan yang rendah (62.0%), berusia ≥ 44 tahun

(6)

Lebih dari separuh ibu contoh (54.0%) memiliki persepsi positif terhadap

Down Syndrome. Pengetahuan gizi yang dimiliki sebagian besar ibu contoh masih tergolong sedang (60.0%) dengan rata-rata skor pengetahuan gizi 59.2.

Secara umum, pola konsumsi pangan contoh dalam penelitian ini masih kurang seimbang. Sebagian besar contoh mengonsumsi pangan sumber karbohidrat (70.0%) dan protein (52.0%) secara berlebih, sedangkan kelompok pangan lain seperti sayur (100.0%) dan buah (90.0%) memiliki pola konsumsi yang kurang pada hampir keseluruhan contoh. Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi, protein, dan karbohidrat berlebih (masing-masing 42.0%, 40.0%, dan 64.0%). Namun, tingkat kecukupan lemak dan serat sebagian besar contoh berada dalam kategori kurang (masing-masing 44.0% dan 100.0%). Keseluruhan contoh (100.0%) dalam penelitian ini memiliki aktivitas fisik yang tergolong ringan (PAL= 1.44). Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), 40.0% contoh berstatus gizi gemuk atau obese, 8.0% berstatus gizi kurus atau sangat kurus, dan 52.0% berstatus gizi normal.

Variabel independen yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome pada penelitian ini adalah asupan protein dan asupan lemak (p<0.05), sedangkan variabel lain seperti persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, frekuensi konsumsi pangan, dan aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan status gizi anak Down Syndrome (p>0.05). Meskipun demikian, berdasarkan analisis Pearson, persepsi ibu terhadap Down Syndrome diketahui memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan buah-buahan. Pada penelitian ini, analisis multivariat yang dilakukan terhadap beberapa variabel yang berhubungan dengan status gizi anak Down Syndrome tidak menunjukkan adanya faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome.

(7)

SUMMARY

LUSI ANINDIA RAHMAWATI. Correlation between Maternal Perception, Level of Maternal Nutritional Knowledge, Food Consumption, and Physical Activity with The Nutritional Status of Down Syndrome Children. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and IKEU EKAYANTI.

Down Syndrome is a genetic disorders that occurs during fetal growth (on chromosome 21/trisomi 21) with various symptoms. The general symptoms are mental retardation and mongoloid face. Nutritional problems that often occur in

Down Syndrome children are overweight. This nutritional problem has to be prevented so it will not worse the health condition and limit their chance to participate in various important activities for its physical and emotional growth.

This study was aimed to analyze the correlation between maternal perception towards Down Syndrome, level of maternal nutritional knowledge, food consumption, an physical activity with the nutritional status of Down Syndrome children. The spesific objectives of this study were: 1) to identify the general characteristics of Down Syndrome children and their families, 2) to analyze maternal perception towards Down Syndrome and maternal nutritional knowledge, 3) to analyze food consumption, physical activity, and nutritional status of Down Syndrome chidren, 4) to analyze the correlation between maternal perception towards Down Syndrome and level of maternal nutritional knowledge with the nutritional status of Down Syndrome children, 5) to analyze the correlation between food consumption and physical activity with the nutritional status of Down Syndrome children, and 6) to determine the most influential factor on the nutritional status of Down Syndrome chidren.

This study is a quantitative descriptive study using cross sectional design. This study was conducted from April to June 2015 in Magetan, East Java. The sample in this study consisted of 50 Down Syndrome children from five Extraordinary School (SLB), purposively selected as well. The inclusion criterias for samples were 1) children aged 6 – 18 years old, 2) had no chronic diseases, 3) lived together with his/her mother, and 4) mother was willing to be involved in this study. Data was collected through interview using structured questionnaire that filled by the mother and weighing and measuring the children weight and height. Data was analyzed using univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis (Logistic Regression).

More than half of children in this study aged ≤ 12 years old (58.0%), most of the chidren were male (66.0%), anda overall children had moderate mental retardation (100.0%). Most of the mother had low education level (62.0%), aged ≥ 44 years old (52.0%), and was a housewife (52.0%). In addition, most of the children come from small families (64.0%) and unpoor family (58.0%).

More than half of mothers had a positive perception towards Down Syndrome (54.0%). Most of mothers had moderate nutritional knowledge (60.0%) with average score 59.2.

(8)

were less consumed. Based on nutrients adequacy level, most of children had energy, protein, and carbohydrate adequacy level with excess category (42.0%, 40.0%, and 64,0% respectively). However, adequacy level of fat and fiber were mostly categorized as deficient (44.0% and 100.0% respectively). All of the children (100.0%) had low physical activity level (PAL= 1.44). According to z-score of BMI for age, 40.0% chidren in this study were overweight and obese, 8.0% were thin and severely thin, and 52.0% were found to had normal nutritional status.

Protein intake and fat intake were significantly correlated with the nutritional status of Down Syndrome children (p<0.05), while other variables such as maternal perception towards Down Syndrome, level of maternal nutritional knowledge, frequency of food consumption, and physical activity were not significantly correlated with the nutritional status of Down Syndrome children (p>0.05). Neverthless, based on pearson analysis, maternal perception towards

Down Syndrome had positive correlation with the consumption of fruits and source of carbohydrate. In this research, that was done on some variables showed that there was no the most influential factor on the nutritional status of Down Syndrome children.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI IBU, TINGKAT

PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA KONSUMSI PANGAN,

DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK

DOWN SYNDROME

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

ii

(13)
(14)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Berkenaan dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi selaku ketua komisi pembimbing. 2. Dr Ir Ikeu Ekayanti, MKes selaku anggota komisi pembimbing. 3. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen penguji.

4. Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku Sekretaris Program Pascasarjana. 5. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana

Ilmu Gizi.

6. Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan, Jawa Timur yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kabupaten Magetan. 7. Kepala sekolah, guru, dan siswa siswi SLB Panca Bhakti, SDLB Negeri

Karangrejo, SLB PGRI Kawedanan, SLB PSM Takeran, dan SLB IDHATI Parang yang telah terlibat dalam penelitian.

8. Suami (Oki Kurniawan Nur Cahyo), kedua orang tua, Wahyudi (Bapak) dan Sumini (Ibu), serta Adek (Sofyan Anindia Putra) yang telah memberikan doa dan dukungan baik moral maupun material.

9. Teman-teman Pascasarjana Gizi Masyarakat IPB angkatan 2013 atas doa, dukungan, semangatnya.

10.Teman-teman yang telah membantu dalam pengambilan data.

11.Pihak-pihak lain yang telah banyak memberi dorongan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

Diharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, November 2016

(15)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Hipotesis 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Down Syndrome (DS) 4

Karakteristik Anak Down Syndrome 6

Status Gizi 7

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi 8

3 KERANGKA PEMIKIRAN 11

4 METODE 14

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian 14

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 14

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 15

Pengolahan dan Analisis Data 16

Definisi Operasional 22

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 24

Karakteristik Anak 25

Karakteristik Keluarga 26

Persepsi Ibu terhadap Down Syndrome 28

Pengetahuan Gizi Ibu 30

Pola Konsumsi Pangan Anak Down Syndrome 32

Asupan Energi, Zat Gizi, dan Serat Anak Down Syndrome 39

Pola Aktivitas 41

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Down

Syndrome 43

6 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 61

(16)

vi

DAFTAR TABEL

1 Variabel, jenis, cara pengumpulan, serta skala data yang digunakan 15 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap

Down Syndrome 16

3 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu 17

4 Pengkategorian pola konsumsi pangan 19

5 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat 21 6 Sebaran contoh berdasarkan usia, kategori retardasi mental, dan status

gizi 26

7 Sebaran contoh berdasarkan usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu,

besar keluarga, dan pendapatan keluarga 27

8 Sebaran ibu contoh berdasarkan jawaban pernyataan terkait persepsi

terhadap Down Syndrome 29

9 Persentase ibu contoh yang menjawab benar pernyataan terkait

pengetahuan gizi 31

10 Rataan frekuensi dan jumlah konsumsi pangan contoh 33 11 Sebaran contoh berdasarkan pola konsumsi pangan 37 12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan

serat 39

13 Rata-rata alokasi waktu contoh untuk kegiatan sehari-hari 42

14 Sebaran contoh berdasarkan pola aktivitas 42

15 Hubungan beberapa variabel dengan status gizi anak Down Syndrome 43 16 Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan status gizi anak

Down Syndrome 50

DAFTAR GAMBAR

1 Pembelahan sel normal (NDSS 2012) 5

2 Pembelahan sel trisomi 21 (nondisjunction) (NDSS 2012) 5

3 Kerangka pemikiran 13

4 Sebaran ibu contoh berdasarkan persepsi terhadap Down Syndrome 30 5 Sebaran ibu contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Ethical clearance 62

2 Formulir pernyataan kesediaan sebagai subjek penelitian 63

3 Kuesioner 64

4 Hasil uji regresi logistik beberapa variabel independen dengan status

gizi anak Down Syndrome 72

5 Nilai z-score contoh 73

(17)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kecacatan merupakan suatu kondisi yang dapat menurunkan produktivitas. Salah satu kondisi kecacatan yang dikaji dalam Riskesdas adalah Down Syndrome. Menurut Kemenkes (2013), Down Syndrome merupakan kondisi kelainan genetik yang terjadi pada masa pertumbuhan janin (pada kromosom 21/trisomi 21) dengan gejala yang sangat bervariasi. Gejala yang muncul dapat berupa gejala minimal sampai muncul tanda khas berupa keterbelakangan mental dengan tingkat IQ kurang dari 70 serta bentuk muka (Mongoloid) dan garis telapak tangan yang khas (Simian crease).

Berdasarkan data Riskesdas, terjadi peningkatan persentase anak Down Syndrome dari 0.12 pada tahun 2010, menjadi 0.13 pada tahun 2013 (Kemenkes 2013). Lebih jauh, data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 menunjukkan bahwa provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang retardasi mental terbanyak di Indonesia, yaitu 17 550 orang (BPS 2003 diacu dalam Irwanto et al. 2010). Tingginya jumlah penyandang retardasi mental di Jawa Timur ini memerlukan perhatian khusus, terutama terkait kesehatan mereka agar tidak terjadi kondisi yang lebih buruk.

Masalah gizi yang sering terjadi pada anak Down Syndrome adalah kegemukan. Hasil studi Oosterom et al. (2012) menunjukkan anak Down Syndrome lebih berpotensi mengalami overweight dan obese dibandingkan anak-anak lainnya. Demikian juga hasil studi Marin dan Graupera (2011) yang juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak Down Syndrome memiliki status gizi

overweight dan obese.

Status gizi lebih yang terjadi pada anak Down Syndrome harus dicegah karena dapat memperburuk kondisi kesehatan. Menurut Lopes et al. (2008),

overweight pada anak Down Syndrome merupakan faktor yang menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti penyakit jantung dan muscular hypotonia. Lebih jauh, menurut Marin dan Graupera (2011), selain menimbulkan masalah kesehatan, kondisi overweight dan obese pada anak Down Syndrome juga akan semakin membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial, rekreasi, dan olahraga yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya.

Berbagai studi telah mencoba untuk mencari penyebab dari pertambahan berat badan yang berlebih pada anak Down Syndrome. Salah satunya hasil studi Magge et al. (2008) yang menunjukkan bahwa penyebab kegemukan pada anak

Down Syndrome adalah pengaruh tingkat leptin dan proporsi lemak tubuh. Studi lain yang dilakukan oleh Luke et al. (1994) menunjukkan salah satu penyebab kegemukan pada anak Down Syndrome adalah adanya penurunan tingkat resting metabolic rate. Namun hubungan kedua faktor ini dengan kelebihan berat badan yang terjadi pada anak Down Syndrome masih belum dapat dibuktikan dengan jelas.

Salah satu faktor yang berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah tingkat pengetahuan gizi ibu. Peran ibu dalam perawatan anak

(18)

2

asupan zat gizi. Menurut Reinehr et al. (2010), seseorang dengan disabilitas memiliki risiko mengalami obesitas yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang gaya hidup sehat. Oleh karena itu, ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan lebih berperan untuk dapat memantau anak

Down Syndrome dalam menerapkan gaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari. Tumbuh dan berkembangnya anak secara optimal tergantung pada pemberian zat gizi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan anak. Hasil studi Koniuszy dan Kunowski (2013) menunjukkan bahwa makanan sehari-hari anak

Down Syndrome cenderung tidak seimbang dalam hal kandungan energi dan nilai gizi yang mengakibatkan timbulnya gangguan metabolisme.

Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu tidak hanya berhubungan dengan kuantitas dan kualitas asupan anak, akan tetapi juga berkaitan dengan aktivitas fisik anak. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan gizi juga mencakup bagaimana cara seseorang untuk hidup sehat, salah satunya adalah dengan aktivitas fisik. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan mendorong anak untuk melakukan aktivitas fisik secara rutin agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Faktor lain yang juga berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah persepsi orangtua. Beberapa studi telah mengkaji pengaruh persepsi orangtua terhadap beberapa variabel seperti penelitian yang dilakukan oleh Burke et al. (2012) yang menunjukkan bahwa, persepsi orangtua sangat berhubungan dengan karakteristik personal anak Down Syndrome. Semakin tinggi penerimaan orangtua yang menganggap anak sebagai anugerah akan meningkatkan kepercayaan diri, keingintahuan, moralitas, dan kontak sosial anak

Down Syndrome. Studi lain yang dilakukan oleh Menear (2007) yang mengkaji persepsi orangtua terkait kesehatan dan aktivitas fisik yang dibutuhkan oleh anak

Down Syndrome juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan orangtua dan partisipasi anak dalam aktivitas fisik.

Lebih lanjut, studi lain yang dilakukan oleh Hapsari (2008) juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki persepsi positif dan menerima keadaan anaknya yang mengalami Down Syndrome akan memiliki komunikasi yang rutin, memberikan perhatian dan kasih sayang, terlibat dalam aktivitas fisik anak, serta memberikan perlindungan pada anak.

Penelitian mengenai anak Down Syndrome di Indonesia, khususnya penelitian terkait gizi masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome.

Perumusan Masalah

Kegemukan yang terjadi pada anak-anak merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Dari tahun ke tahun, prevalensi kegemukan pada anak menunjukkan adanya peningkatan (Bhuiyan et al. 2013). Anak-anak dengan

Down Syndrome memiliki risiko yang lebih besar mengalami kegemukan. Hasil studi Reinehr et al. (2010) dan Oosterom et al. (2012) menunjukkan bahwa anak

(19)

3 dibandingkan anak-anak normal. Kegemukan yang terjadi pada anak Down Syndrome ini akan memperburuk kondisi fisik maupun mental mereka.

Di Indonesia, status gizi anak dengan disabilitas, khususnya Down Syndrome masih belum manjadi perhatian utama. Padahal, selain berisiko mengalami berbagai penyakit kronis akibat kegemukan, status gizi berlebih juga akan membatasi mereka dalam berbagai kegiatan sosial yang penting bagi perkembangan fisik dan emosionalnya (Marin dan Graupera 2011).

Berbagai penelitian telah dilakukan di Indonesia maupun di negara lain terkait kegemukan pada anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan pada anak Down Syndrome masih sangat jarang dilakukan.

Kegemukan pada anak Down Syndrome berkaitan erat dengan pola asuh yang diterapkan orangtua. Orangtua terutama ibu yang memiliki anak Down Syndrome memiliki beban yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak normal dan sehat. Beban dan juga adanya tekanan yang mungkin dialami oleh ibu dapat berpengaruh terhadap cara pengasuhan ibu. Selain beban dan adanya tekanan yang dialami oleh ibu, persepsi ibu terhadap anak Down Syndrome sendiri mungkin juga dapat berpengaruh terhadap pola asuh yang selanjutnya tercermin dalam status gizi anak, demikian juga pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu dari anak Down Syndrome? Dari kedua hal ini, peneliti ingin mengetahui apakah benar persepsi dan pengetahuan gizi ibu akan berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan oleh ibu. Pola asuh yang diterapkan oleh ibu dapat tercermin dalam pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak, sehingga peneliti juga tertarik untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dari anak Down Syndrome?

Keempat hal ini selanjutnya akan dianalisis untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan status gizi dari anak Down Syndrome. Apabila diketahui terdapat hubungan dari masing-masing faktor dengan status gizi anak Down Syndrome, selanjutnya perlu diketahui faktor manakah yang paling dominan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome, tingkat pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi anak Down Syndrome.

Tujuan Khusus

(20)

4

pendidikan ibu, usia ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga).

2. Menganalisis persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu.

3. Menganalisis pola konsumsi pangan, aktivitas fisik, dan status gizi anak

Down Syndrome.

4. Menganalisis hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome. 5. Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik

dengan status gizi anak Down Syndrome.

6. Menentukan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi anak Down Syndrome.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan dan penurunan risiko overweight dan

obese pada anak Down Syndrome sehingga menjadi masukan dalam usaha pencegahan status gizi berlebih. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pendidik Sekolah Luar Biasa (SLB) agar dapat melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki status gizi anak Down Syndrome.

Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan antara persepsi ibu terhadap Down Syndrome dengan

status gizi anak Down Syndrome.

2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak Down Syndrome.

3. Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan anak Down Syndrome

dengan status gizi anak Down Syndrome.

4. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik anak Down Syndrome dengan status gizi anak Down Syndrome.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Down Syndrome (DS)

(21)

5 Menurut NDSS (2012), terdapat tiga tipe Down Syndrome, yaitu trisomi 21 (nondisjunction), translokasi, dan mosaicism. Down Syndrome biasanya lebih sering disebabkan karena adanya kesalahan pembelahan sel atau biasa disebut

nondisjunction yang menghasilkan 3 kromosom ke-21. Sebanyak 95% kasus

Down Syndrome merupakan tipe trisomi 21.

Gambar 1 Pembelahan sel normal (NDSS 2012)

(22)

6

Karakteristik Anak Down Syndrome

Anak Down Syndrome memiliki karakteristik yang dapat diamati pada masa bayi, antara lain mengalami hypotonia otot, wajah cenderung rata, bentuk telinga tidak normal, hiperfleksibilitas sendi, dan lidah yang besar (WHO 2014). Menurut Davidson et al. (2006), orang-orang yang mengalami Down Syndrome

akan mengalami retardasi mental sedang hingga berat. Selain itu, mereka juga memiliki tanda fisik yang khas, antara lain postur tubuh yang pendek dan gemuk, mata berbentuk oval dan condong ke atas, lipatan kelopak mata bagian atas memanjang melewati sudut bagian dalam mata, hidung lebar dan datar, telinga berbentuk persegi, lidah besar dan berkerut, tangan pendek dan lebar dengan jari-jari yang pendek, serta rambut lurus, tipis dan halus.

Menurut AAMD (1983), retardasi mental yang dialami oleh anak Down Syndrome dapat dibagi mejadi empat kelompok, yaitu retardasi mental ringan (IQ 50 – 69), retardasi mental sedang (IQ 35 – 49), retardasi mental berat (IQ 20 – 34), dan retardasi mental sangat berat (IQ < 20). Prosedur yang harus dilakukan untuk menentukan tingkat retardasi adalah : (1) mengenali adanya masalah seperti keterlambatan dalam tahap perkembangan; (2) menentukan adanya defisit perilaku adaptif; (3) membuat keputusan tentang ada atau tidaknya keterlambatan fungsi intelektual; (4) membuat keputusan tentang tingkat keterbelakangan mental sesuai dengan hasil pengukuran fungsi intelektual.

Retardasi mental yang terjadi pada anak Down Syndrome dapat mengakibatkan beberapa keterbatasan, antara lain (1) kemampuan kognitif yang kurang; (2) kemampuan bahasa akibat kesulitan artikulasi, suara, dan gagap; (3) keadaan fisik yang seringkali bermasalah dalam hal penglihatan, pendengaran, dan gangguan jantung; (4) keadaan sosial dan emosional yang kurang stabil (Hunt dan Marshall 1994).

Anak Down Syndrome seringkali memiliki masalah makan karena lemahnya kemampuan alat pencernaan untuk menghisap dan memotong. Pertumbuhan anak Down Syndrome biasanya lebih lambat dan umumnya memiliki postur tubuh yang lebih pendek dibandingkan anak seusianya. Masalah gizi pada anak Down Syndrome yang sering terjadi ketika usia sekolah adalah

overweight (NFSMI 2006). Lebih lanjut, menurut NFSMI (2006), orangtua harus memperhatikan beberapa hal berikut untuk menghindari masalah makan dan

overweight pada anak DS, yaitu jumlah kalori yang diberikan, modifikasi tekstur makanan, dan peralatan makan anak.

Menurut data WHO (2014), 60 – 80% anak Down Syndrome memiliki pendengaran yang kurang dan 40 – 45% memiliki kelainan jantung bawaan. Selain itu, kelainan lain yang juga sering terjadi pada anak DS antara lain kelainan usus, masalah penglihatan, disfungsi tiroid, dan lain-lain. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi seseorang yang mengalami Down Syndrome

(23)

7

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh (Almatsier 2004). Menurut Supariasa et al. (2001), kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah penting karena dapat menimbulkan risiko-risiko penyakit tertentu. Kekurangan berat badan dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, sedangkan kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif.

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah pengukuran antropometri yang merupakan salah satu penilaian status gizi secara langsung (Supariasa et al. 2001).

Berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), status gizi anak usia 5-18 tahun dapat dikategorikan menjadi sangat kurus (<-3 SD), kurus (-3 SD sampai dengan <-2 SD), normal (-2 SD sampai dengan 1 SD), gemuk (>1 SD sampai dengan 2 SD), dan obes (>2 SD) (Kemenkes 2011). Anak Down Syndrome merupakan kelompok individu yang berpotensi memiliki status gizi lebih, baik gemuk maupun obes. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan obese pada anak Down Syndrome cukup tinggi (Marin dan Graupera2011; Koniuszy et al. 2013; Oosterom et al. 2012).

Overweight atau kegemukan merupakan suatu kondisi kelebihan berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas merupakan kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, yaitu untuk pria 20% melebihi berat tubuhnya dan wanita 25% melebihi berat tubuhnya (Rimbawan dan Siagian 2004).

Berbagai studi telah menunjukkan tingginya prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami kegemukan dan obese. Hasil studi Marin dan Graupera (2011) menunjukkan prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami

overweight dan obese sebanyak 73.6%, sedangkan studi lain yang dilakukan oleh Oosterom et al. (2012) menunjukkan prevalensi anak Down Syndrome yang mengalami kegemukan adalah dua kali lipat dibandingkan anak normal.

Penyebab tingginya risiko kegemukan dan obese pada anak Down Syndrome

(24)

8

Menurut WHO (2010), obesitas pada masa anak-anak berkaitan dengan kejadian obesitas pada masa dewasa yang dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, osteoartritis, kanker, dan lain-lain. Kondisi yang lebih buruk dapat terjadi apabila overweight maupun obese ini terjadi pada anak Down Syndrome. Menurut Marin dan Graupera (2011), kondisi

Down Syndrome saja sudah cukup menimbulkan diskriminasi di masyarakat. Apalagi bila ditambah dengan obesitas. Selain berisiko mengalami penyakit degeneratif, obesitas juga akan membatasi anak Down Syndrome untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial, rekreasi, dan olahraga yang penting untuk perkembangan fisik dan emosionalnya.

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi

Status gizi, khususnya gizi lebih yang terjadi pada anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling sering dikaitkan dengan kejadian

overweight dan obese adalah pola makan yang kurang tepat dan aktivitas fisik yang kurang (Oosterom et al. 2012; Marin dan Graupera 2011; Menear 2007; Bhuiyan et al. 2013; Firouzi et al. 2014; Ochoa et al. 2007). Namun, selain kedua faktor tersebut, persepsi ibu terhadap Down Syndrome dan tingkat pengetahuan gizi ibu juga dapat berpengaruh terhadap kejadian gizi lebih pada anak Down Syndrome.

Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan memiliki peran yang cukup besar terhadap kegemukan dan obesitas. Pola konsumsi pangan yang tinggi kalori dan lemak akan menyebabkan terjadinya keseimbangan energi positif atau terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak (Rimbawan dan Siagian 2004). Lebih lanjut, menurut Rimbawan dan Siagian (2004), telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang mengalami kegemukan lebih sering mengonsumsi makanan berlemak tinggi dibandingkan orang yang memiliki berat tubuh normal. Hal ini didukung oleh hasil studi Koniuszy dan Kunowski (2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata makanan yang dikonsumsi anak Down Syndrome memiliki kandungan lemak dan sakarosa yang tinggi serta memiliki nilai indeks glikemik yang melebihi rata-rata.

Sebagian besar anak Down Syndrome membutuhkan makanan dengan kandungan energi yang lebih rendah dibandingkan anak-anak lainnya. Hal ini dikarenakan keterbatasan mereka dalam bergerak dan rendahnya muscle tone

(NFSMI 2006).

Pola konsumsi pangan yang dimiliki oleh anak Down Syndrome tidak lepas dari peran orangtua dalam menerapkan pola asuh. Hasil review dari berbagai studi yang dilakukan oleh Reinehr et al. (2010) mengungkapkan bahwa banyak orangtua dari anak difabel yang cenderung memberikan permen dan makanan manis dengan tujuan untuk menenangkan anak atau karena adanya ketakutan orangtua tidak bisa menyenangkan anak.

(25)

9 berlebih. Hal ini disebabkan adanya kerusakan hipotalamus yang bertanggung jawab terhadap pengaturan berat badan.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya (Almatsier 2004). Menurut WHO (2010), aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, hipertensi, kanker, dan depresi. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan seseorang akan menentukan seberapa besar pengeluaran energi sehingga sangat penting untuk mengontrol keseimbangan energi dan berat badan (WHO 2010).

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu penyebab kejadian overweight dan obese. Bhuiyan et al.

(2013) dan Ochoa et al. (2007) menyatakan bahwa anak yang lebih sering melakukan aktivitas fisik lebih kecil risikonya mengalami kelebihan berat badan. Studi yang dilakukan pada anak Down Syndrome juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan berat badan (Oosterom et al. 2012). Hal ini didukung oleh berbagai studi lain yang menunjukkan bahwa anak Down Syndrome umumnya memiliki aktivitas fisik yang kurang (Marin dan Graupera 2011; Gomez et al. 2013; Phillips dan Holland 2011; Menear 2007).

Sama halnya dengan pola konsumsi. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak Down Syndrome juga tidak lepas dari peran orangtua dalam menerapkan pola asuh. Menurut Reinehr et al. (2010), kurangnya aktivitas fisik pada anak difabel salah satunya disebabkan karena orangtua yang overprotective dan terlalu mencemaskan anaknya sehingga akan membatasi anak untuk bermain di luar.

Berdasarkan rekomendasi WHO (2010), aktivitas fisik untuk anak usia 5 – 17 tahun diantaranya adalah permainan, olahraga, transportasi, rekreasi, pendidikan fisik atau olahraga khusus, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Anak-anak pada kelompok usia ini dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang sampai berat minimal 60 menit/hari.

Persepsi Ibu terhadap Down Syndrome

(26)

10

informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, hal-hal baru dan ketidakasingan suatu objek.

Persepsi seseorang dapat berbeda satu sama lain. Persepsi orangtua yang menganggap anak adalah titipan dan memiliki anak dengan keterbelakangan mental bukan suatu musibah akan menimbulkan sikap penerimaan pada kondisi anak (Hendriani et al. 2006). Lebih lanjut, hasil studi Hendriani et al. (2006) yang juga didukung oleh Heward (2003) menunjukkan adanya 3 tahap penyesuaian yang dilakukan orangtua ketika menghadapi kenyataan memiliki anak Down Syndrome, yaitu (1) tahap timbulnya krisis emosional seperti shock, ketidakpercayaan, dan pengingkaran terhadap kondisi yang terjadi pada anaknya; (2) tahap ketika rasa tidak percaya dan pengingkaran yang terjadi diikuti oleh perasaan dan sikap negatif seperti marah, menyesal, menyalahkan diri sendiri, malu, depresi, rendah diri, menolak kehadiran anak, atau overprotective; (3) tahap terakhir pada saat orangtua telah mencapai kesadaran terhadap situasi yang dihadapi serta bersedia menerima kondisi anak yang berbeda.

Adanya penerimaan dari orangtua, khususnya ibu dari anak Down Syndrome sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu memegang tanggung jawab dan peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak. Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, anak

Down Syndrome membutuhkan perhatian yang besar. Perhatian dapat terwujud apabila didasari semangat kerelaan, yaitu sikap menerima dari ibu karena dengan penerimaan, ibu akan lebih memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memberikan kasih sayang serta perhatian yang besar pada anak (Hurlock 1999). Lebih lanjut, menurut Hurlock (1999), penerimaan juga akan mendatangkan rasa syukur dan tanggung jawab yang lebih besar untuk merawat anak sehingga pola asuh yang baik lebih mudah tercipta.

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi merupakan suatu hasil setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan (Notoatmodjo 2007). Menurut Sukandar et al. (2009), pengetahuan gizi yang baik dari seorang ibu penting untuk memperbaiki pola makan anak agar dapat memenuhi kecukupan gizinya dengan baik. Dengan pola makan yang tepat, anak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hasil studi Poh et al. (2012) juga menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh positif pada pola makan anak.

Berbagai hasil studi telah menunjukkan adanya hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak. Studi yang dilakukan oleh Yabanci et al. (2014) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi tinggi cenderung memiliki anak dengan status gizi yang normal. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian ini, ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan cenderung memberikan sayuran, buah, kacang-kacangan, dan mengurangi minuman manis dan makanan cepat saji untuk anak-anaknya.

(27)

11 badan berlebih akibat dari pemberian makan yang salah (Clark et al. 2007). Berdasarkan hasil studi Sunwoong et al. (2000), semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka asupan total lemak dan kolesterol anak akan semakin menurun, sedangkan asupan serat makanan akan semakin meningkat.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Anak Down Syndrome pada umumnya memiliki kemampuan kognitif yang rendah, gangguan dalam kemampuan berbahasa, keadaan fisik yang kurang sempurna, serta keadaan sosial dan emosional yang kurang stabil. Adanya berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh anak Down Syndrome tersebut mengkibatkan ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anak Down Syndrome.

Kondisi status gizi berlebih merupakan permasalahan yang paling umum terjadi pada anak Down Syndrome. Menurut Oosterom (2012), faktor yang paling berpengaruh terhadap berat badan anak Down Syndrome adalah aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan. Aktivitas fisik dan konsumsi pangan yang terdiri dari jenis dan jumlah makanan pada anak Down Syndrome perlu dipantau oleh orangtua, khususnya ibu untuk menghindari terjadinya status gizi berlebih (overweight dan

obese).

Aktivitas fisik sangat erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Seseorang yang melakukan aktivitas fisik yang memadai akan cenderung memiliki status gizi yang baik. Anak Down Syndrome pada umumnya memiliki gaya hidup yang kurang aktif secara fisik sehingga cenderung mengakibatkan status gizi berlebih (Menear 2007). Lebih lanjut menurut Menear (2007), partisipasi anak Down Syndrome dalam melakukan aktivitas fisik sangat berkaitan dengan adanya dukungan dari orangtua atau pengasuh. Orangtua yang menyadari pentingnya aktivitas fisik bagi kesehatan anak akan mendukung dan mendorong anaknya untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur.

Pola konsumsi pangan juga memiliki hubungan yang erat dengan status gizi seseorang. Pola konsumsi pangan yang tidak seimbang dan didukung dengan aktivitas fisik yang kurang akan mengakibatkan seseorang mengalami status gizi berlebih (overweight dan obese). Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan, asupan zat gizi anak Down Syndrome pada umumnya tidak seimbang, yaitu rendah karbohidrat, rendah serat, tinggi protein, dan tinggi lemak (Marin dan Graupera 2011; Koniuszy dan Kunowski 2013). Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak Down Syndrome sendiri sangat tergantung pada pola pemberian makan orangtua, khususnya ibu. Menurut Yilmaz et al. (2013), faktor yang berpengaruh dalam menentukan pola pemberian makan pada anak salah satunya adalah persepsi orangtua terkait status gizi anak.

(28)

12

pola asuh yang diterapkan. Menurut Hapsari (2008), penerimaan akan mendatangkan rasa syukur dan tanggung jawab yang lebih besar sehingga pola asuh dan cinta kasih yang diperlukan anak mudah terbentuk. Menurut Hurlock (1999), mengasuh anak Down Syndrome memerlukan kesabaran dan kerelaan, sehingga harus ada sikap menerima yang akan mendorong ibu untuk memperhatikan perkembangan kemampuan anak, memberikan kasih sayang, serta perhatian yang besar pada anak.

Faktor lain yang juga penting diperhatikan dan berperan dalam menentukan status gizi anak Down Syndrome adalah pengetahuan gizi ibu. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan dapat memberikan makanan dengan jenis dan jumlah yang memadai sesuai kebutuhan anak serta memotivasi anak untuk senantiasa melakukan aktivitas fisik secara teratur.

Pengetahuan gizi ibu dan persepsi ibu terhadap Down Syndrome sendiri juga dipengaruhi oleh karakteristik ibu, misalnya tingkat pendidikan. Ibu yang memiliki wawasan yang luas kemungkinan akan lebih mudah menerima informasi-informasi terkait gizi dan memiliki persepsi yang lebih baik terhadap anak Down Syndrome.

(29)

13

(30)

14

4

METODE

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2015 di lima Sekolah Luar Biasa yang terdapat di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, yaitu SLB Panca Bhakti, SDLB Negeri Karangrejo, SLB PGRI Kawedanan, SLB PSM Takeran, dan SLB IDHATI Parang. Penentuan lokasi penelitian di Jawa Timur karena berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 (BPS 2003 diacu dalam Irwanto et al. 2010), Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penyandang retardasi mental terbanyak di Indonesia, yaitu 17 550 orang. Selain itu, Kabupaten Magetan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang sedang mengupayakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No: 368/UN2.F1/ETIK/2015.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa-siswi Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Magetan yang mengalami Down Syndrome beserta ibunya yang telah memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi yang ditetapkan antara lain: 1) anak berusia 6 – 18 tahun, 2) tidak mempunyai penyakit kronis, 3) tinggal bersama ibu kandungnya dalam satu rumah, dan 4) ibu bersedia menandatangani formulir persetujuan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian.

Penentuan jumlah contoh minimal yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus (Lemeshow 1997) sebagai berikut :

Keterangan :

n = besar contoh

α = tingkat kepercayaan 95% (1.96)

P = proporsi Down Syndrome di Indonesia (0.13%) (Kemenkes 2013)

Q = 1 – P

d = presisi absolut (0.01)

(31)

15 Berdasarkan perhitungan di atas, maka perkiraan jumlah contoh minimal dalam penelitian ini adalah 50 contoh. Penentuan contoh dilakukan secara

purposive dengan pertimbangan kesediaan ibu untuk hadir ke sekolah dan mengikuti penelitian. Selama jalannya penelitian, sebanyak 55 ibu bersedia hadir, namun hanya 50 ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat menjadi contoh dalam penelitian. Lima orang ibu tidak dapat menjadi contoh penelitian karena memiliki anak Down Syndrome dengan riwayat penyakit kronis seperti kelainan jantung, kelainan pada dubur, dan berusia lebih dari 18 tahun.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi data karakteristik anak beserta keluarga, persepsi ibu, pengetahuan gizi ibu, pola konsumsi pangan, asupan zat gizi, serta aktivitas fisik. Data sekunder berupa profil lima Sekolah Luar Biasa di Kabupaten Magetan yang menjadi lokasi penelitian yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan. Berikut ini disajikan jenis dan cara pengumpulan data pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, jenis, cara pengumpulan, serta skala data yang digunakan

No. Variabel Jenis data Cara pengumpulan data Skala data

1 Karakteristik

 Usia ibu Wawancara langsung

menggunakan kuesioner

 Rasio

 Pendidikan Ibu  Ordinal

 Pekerjaan Ibu  Nominal

 Besar keluarga  Rasio

 Pendapatan keluarga  Rasio

3 Persepsi ibu

(32)

16

Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner oleh ibu dari contoh dan pengukuran langsung. Pertanyaan terkait persepsi ibu diperoleh dari persepsi ibu sejak anak diketahui mengalami Down Syndrome. Data pola konsumsi pangan diperoleh dari semi-quantitative food frequency questionnaire dengan rentang waktu 1 bulan sebelum pengambilan data dilakukan (Menezes et al. 2009), sedangkan data asupan energi, zat gizi, dan serat contoh diperoleh dari data recall

2x24 jam. Recall 2x24 jam dikumpulkan dari konsumsi makan anak pada hari sekolah dan hari libur. Data aktivitas fisik diperoleh dari Activity Record yang dilakukan selama 2 x 24 jam pada hari sekolah dan hari libur (Firouzi et al. 2014). Kuesioner persepsi ibu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari kuesioner persepsi hasil studi Milyawati (2008) dan Burke et al.

(2012). Modifikasi yang dilakukan meliputi penyesuaian pernyataan terkait anak

Down Syndrome serta penambahan beberapa pernyataan yang diperoleh dari kuesioner Burke et al. (2012). Aspek yang ditambahkan terutama terkait penerimaan orangtua terhadap anak Down Syndrome.

Uji validitas dan reliabilitas kuesioner dilakukan terlebih dahulu sebelum kuesioner digunakan. Pengujian validitas kuesioner dilakukan dengan menggunakan korelasi Pearson untuk mencari nilai korelasi antara skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Item pernyataan dianggap valid jika nilai p-value dari tiap item kurang dari 0.05. Uji reliabilitas kuesioner dilakukan dengan mencari nilai alpha Cronbach. Item pernyataan dikatakan reliabel tinggi jika nilai alpha Cronbach 0.600-0.799 (Priatna 2008). Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap Down Syndrome disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap

Down Syndrome

sempat terpikir lebih baik tidak memiliki anak daripada memiliki anak dengan Down Syndrome

0.022 0.05

2 Setelah dikaruniai anak dengan Down Syndrome, saya sempat khawatir untuk mempunyai anak lagi

0.000

3 Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome akan dapat menjadi penerus keluarga

0.000

4 Sejak awal, saya yakin Anak Down Syndrome bisa mandiri dan melakukan kebutuhan pribadinya sendiri (misal: mandi, makan, dll)**

0.003

5 Pada awalnya, saya tidak yakin anak Down Syndrome akan dapat melakukan aktivitas seperti anak normal pada umumnya

0.000

6 Pada saat pertama kali anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat ragu apakah dia dapat membanggakan keluarga nantinya

0.000

7 Pada awalnya, saya sempat beranggapan bahwa keberadaan anak Down Syndrome akan menjadi beban keluarga

0.000

8 Pada awalnya, saya sempat takut keberadaan anak Down Syndrome akan dapat mengancam ikatan pernikahan dan keluarga

0.020

9 Pada awalnya, saya sempat ragu apakah anak Down Syndrome dapat menjadi sumber keceriaan bagi keluarga

0.028

10 Pada saat anak diketahui mengalami Down Syndrome, saya sempat khawatir dengan masa depannya nanti

0.000

(33)

17 Selain kuesioner persepsi ibu terhadap Down Syndrome, uji validitas dan reliabilitas juga dilakukan terhadap item pernyataan terkait pengetahuan gizi. Berikut disajikan hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan pengetahuan gizi ibu

No Pertanyaan/pernyataan Nilai

p-value

Nilai p 1 Kelebihan zat gizi dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti

diabetes, hipertensi, jantung, dan stroke

0.000 0.05

2 Anak harus makan dalam jumlah banyak agar dapat tumbuh dengan baik

0.000

3 Ikan segar, telur, daging, dan susu merupakan contoh pangan sumber protein nabati

0.001

4 Berolahraga secara teratur tidak perlu dilakukan oleh anak Down Syndrome

0.000

5 Mempertahankan berat badan yang normal merupakan salah satu prinsip gizi seimbang

0.164

6 Anak tidak perlu lagi makan apabila sudah mengkonsumsi jajan 0.100 7 Makanan yang sehat adalah makanan yang bersih, tidak tercemar, dan

mahal

0.000

8 Zat gizi dikelompokkan menjadi zat gizi mikro dan zat gizi makro 0.071 9 Kebiasaan minum air putih 1 liter per hari baik untuk anak 0.016 10 Makanan manis, asin, dan berlemak tidak baik untuk kesehatan anak 0.156 *Nilai alpha cronbach 0.666

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007, sedangkan analisis data dilakukan menggunakan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16 for Windows. Proses pengolahan data yang dilakukan meliputi coding, entry, cleaning, dan analisis data. Data yang telah terkumpul terlebih dahulu dikategorikan sebelum dilakukan analisis.

Data karakteristik contoh yang dikumpulkan meliputi umur, jenis kelamin, kategori retardasi mental, dan status gizi. Data ini selanjutnya diolah dengan memberikan kategori atau pengelompokan pada masing-masing variabel. Usia

contoh dikategorikan menjadi dua, yaitu ≤ 12 tahun dan > 12 tahun.

(34)

18

jika z-score lebih dari 2 SD (Kemenkes 2011). Status gizi selanjutnya dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) normal/ kurus untuk anak yang berstatus gizi sangat kurus, kurus, dan normal, serta 2) gemuk/obese untuk anak yang berstatus gizi gemuk dan obese.

Karakteristik keluarga yang meliputi usia ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, besar keluarga, dan pendapatan keluarga juga diolah dengan memberikan kategori pada masing-masing variabel. Usia ibu dikategorikan menjadi dua berdasarkan rata-rata usia ibu, yaitu < 44 tahun dan ≥ 44 tahun. Pendidikan ibu dikategorikan berdasarkan ijazah terakhir yang mereka terima, yaitu 1) SD, 2) SMP, 3) SMA, dan 4) perguruan tinggi. Pada tahapan analisis bivariat, pendidikan ibu dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) tinggi, apabila ijazah terakhir minimal SMA, dan 2) rendah, apabila ijazah terakhir hanya sampai SMP. Pekerjaan ibu dikategorikan menjadi tujuh, yaitu 1) Ibu Rumah Tangga, 2) Pegawai Negeri Sipil, 3) wiraswasta, 4) petani, 5) buruh, dan 6) karyawan swasta. Pada tahapan analisis berikutnya, pekerjaan ibu dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu 1) tidak bekerja, apabila ibu hanya sebagai ibu rumah tangga, dan 2) bekerja, apabila ibu bekerja baik sebagai PNS, wiraswasta, petani, buruh, maupun karyawan swasta. Besar keluarga dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) kecil, jika jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah kurang dari atau sama dengan 4, 2) sedang, jika jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 orang, dan 3) besar, jika jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan 8 (Hurlock 1999). Pendapatan keluarga dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapita per bulan kurang dari Rp 282 796 dan dikatakan tidak miskin apabila pendapatan per kapita per bulan lebih dari atau sama dengan Rp 282 796 (BPS 2014).

Pengukuran variabel persepsi ibu terhadap Down Syndrome meliputi 10 pernyataan yang diberikan pada ibu. Terdapat dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan positif dan negatif. Pernyataan positif diberi skor 2 jika ibu menjawab setuju, skor 1 jika ibu menjawab kurang setuju, dan 0 jika menjawab tidak setuju, sedangkan untuk pernyataan negatif pemberian skor dilakukan sebaliknya. Keseluruhan skor dari masing-masing jawaban kemudian dijumlahkan dan dibandingkan dengan total skor maksimum dan dikalikan 100. Skor persepsi ibu terhadap Down Syndrome selanjutnya dikategorikan berdasarkan median skor. Persepsi ibu dikategorikan positif apabila jumlah skor ibu lebih besar atau sama dengan median skor, dan dikategorikan negatif apabila jumlah skor ibu kurang dari median skor (Milyawati 2008). Median skor persepsi ibu terhadap Down Syndrome dalam penelitian ini adalah 55 persen.

Pengetahuan gizi ibu diukur dengan memberikan skor untuk masing-masing jawaban pernyataan terkait pengetahuan gizi. Skor jawaban benar adalah 1, sedangkan skor untuk jawaban salah adalah 0. Keseluruhan skor jawaban selanjutnya dijumlahkan dan dibandingkan dengan total skor maksimum dan dikalikan 100. Pengetahuan gizi ibu kemudian dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) kurang, apabila skor pengetahuan gizi ibu kurang dari 60%, 2) sedang, apabila skor pengetahuan gizi ibu berkisar antara 60% hingga 80%, dan 3) tinggi, apabila pengetahuan gizi ibu lebih dari 80% (Khomsan 2000).

(35)

19 adalah lima jenis bahan pangan yang paling sering dikonsumsi, kecuali untuk kelompok pangan jajanan. Pengolahan data yang dilakukan meliputi konversi data konsumsi pangan yang diperoleh dalam bentuk URT (ukuran rumah tangga) menjadi bentuk gram untuk makanan dan mililiter untuk minuman. Data pola konsumsi selanjutnya dikonversi kembali menjadi jumlah konsumsi per hari dengan membagi 30 untuk makanan yang dikonsumsi setiap bulan dan membagi 7 untuk makanan yang dikonsumsi tiap minggu.

Data jumlah konsumsi per hari selanjutnya dikonversi menjadi jumlah konsumsi dalam satuan porsi/hari. Berikut rumus yang digunakan :

Data jumlah konsumsi dalam satuan porsi/hari ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pengkategorian pola konsumsi pangan untuk masing-masing kelompok pangan. Berikut ini disajikan pengkategorian pola konsumsi pangan pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengkategorian pola konsumsi pangan

Variabel Kategori Sumber Pustaka

Konsumsi pangan sumber

karbohidrat

 Cukup (≤ 4 porsi/hari)

 Berlebih (> 4 porsi/hari)

Kemenkes (2014b)

Konsumsi pangan sumber protein  Cukup (≤ 4 porsi/hari)  Berlebih (> 4 porsi/hari)

Kemenkes (2014b)

Konsumsi sayur  Cukup (≥ 3 porsi/hari)

 Kurang (< 3 porsi/hari)

Kemenkes (2014b)

Konsumsi buah  Cukup (≥ 2 porsi/hari)

 Kurang (< 2 porsi/hari)

Kemenkes (2014b)

Konsumsi makanan dan minuman manis

 Jarang (< 1 porsi/hari)

 Sering (≥ 1 porsi/hari) Depkes (2008)

Konsumsi jajanan  Jarang (< 1 kali/hari)

 Sering (≥ 1 kali/hari)

-

Data konsumsi pangan selanjutnya dikonversi menjadi jumlah konsumsi per minggu (gram/minggu), demikian juga data frekuensi konsumsi dari masing-masing jenis pangan dikonversi menjadi frekuensi konsumsi dalam seminggu (kali/minggu).

Selain menggunakan Semi Quantitative – FFQ, recall 2x24 jam juga digunakan untuk memvalidasi data konsumsi pangan. Recall dilakukan pada 1x24 jam hari sekolah dan 1x24 jam hari libur yang meliputi nama menu makanan, bahan pangan, URT (ukuran rumah tangga), dan berat yang dikonsumsi (gram). Data yang dikumpulkan selama dua hari selanjutnya dirata-ratakan dan dikonversi sehingga diketahui asupan zat gizi contoh dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (2010) dan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2010). Kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi dihitung menggunakan rumus berikut (Hardinsyah dan Briawan 1994):

Konsumsi (porsi/hari) = Jumlah konsumsi per hari (gram/hari)

Standar porsi untuk masing-masing jenis bahan pangan (Kemenkes 2014a)

(36)

20

Keterangan :

KGij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram Bj = berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD)

Data makanan kemasan atau minuman dihitung kandungan gizinya dengan mengonversi dari nutrition fact masing-masing jenis makanan atau minuman. Berikut rumus yang digunakan :

Keterangan :

Kij = kandungan zat gizi i dari makanan atau minuman j dengan berat B gram atau B ml

Bj = berat (gram)/volume (ml) makanan/minuman j yang dikonsumsi Nj = berat (gram)/volume (ml) makanan/minuman j dalam satu takaran saji Gij = kandungan zat gizi i dalam satu takaran saji makanan atau minuman j

Kecukupan energi dan zat gizi anak dihitung menggunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2013 dengan koreksi berat badan aktual untuk anak dengan status gizi normal, sedangkan anak dengan status gizi kurang dan lebih menggunakan berat badan ideal. Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan kecukupan energi atau zat gizi untuk tiap individu:

Keterangan :

AKG : Kecukupan energi atau zat gizi tiap individu BBa : berat badan aktual (anak berstatus gizi normal)

BBi : berat badan ideal ((anak berstatus gizi kurang dan lebih) BB AKGi : berat badan berdasarkan kelompok usia pada tabel AKG AKGi : Angka kecukupan zat gizi subjek berdasarkan kelompok usia

pada tabel AKG

Perhitungan tingkat kecukupan energi dan zat gizi lain, baik protein, lemak, karbohidrat, maupun serat dilakukan dengan membandingkan kandungan zat gizi semua makanan yang dikonsumsi oleh anak dengan angka kecukupan energi atau zat gizi yang telah diperhitungkan sebelumnya.

Keterangan :

(37)

21 AKG : Kecukupan energi atau zat gizi tiap individu

Data tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat selanjutnya dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Berikut ini disajikan pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat pada Tabel 5.

Tabel 5 Pengkategorian tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan serat

Variabel Kategori Sumber Pustaka

Tingkat kecukupan energi  Defisit (< 90% AKG)  Normal (90 – 119% AKG)  Lebih (≥ 120% AKG)

Gibson(2005)

Tingkat kecukupan protein  Defisit (< 90% AKG)  Normal (90 – 119% AKG)  Lebih (≥ 120% AKG)

Gibson(2005)

Tingkat kecukupan lemak  Defisit (< 25% AKE)  Normal (25 – 35% AKE)

Tingkat kecukupan serat  Kurang (< 25 g)  Cukup (≥ 25 g)

Perkeni (2011)

Variabel aktivitas fisik diperoleh dari aktivitas yang dilakukan anak selama 2 x 24 jam, yaitu pada hari sekolah dan hari libur. Masing-masing data selama 24 jam dinyatakan dalam physical activity level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. Selanjutnya, diambil nilai PAL rata-rata dari hari libur dan hari masuk. Nilai PAL rata-rata atau tingkat aktivitas fisik rata-rata kemudian dikategorikan menjadi tiga, yaitu 1) ringan, jika PAL lebih dari atau sama dengan 1.40 dan kurang dari atau sama dengan 1.69, 2) sedang, jika PAL lebih dari atau sama dengan 1.70 dan kurang dari atau sama dengan 1.99, 3) berat, jika PAL lebih dari atau sama dengan 2.00 dan kurang dari atau sama dengan 2.40 (FAO/WHO/UNU 2001). Berikut rumus untuk menentukan PAL menurut FAO/WHO/UNU (2001) :

Keterangan :

PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)

PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu)

Selain tingkat aktivitas fisik, variabel yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari yang menjadi bagian dari penelitian ini adalah durasi menonton tv dan bermain games serta durasi tidur. Kedua variabel ini dikategorikan berdasarkan rata-rata waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut selama hari libur dan hari masuk. Durasi menonton tv dan bermain games dikategorikan menjadi dua, yaitu 1) cukup, jika durasi kurang dari atau sama dengan 5 jam per hari; dan 2) lebih, jika durasi lebih dari 5 jam per hari (Gortmaker et al. 1996). Durasi tidur juga

(38)

22

dikategorikan menjadi dua, yaitu 1) cukup, jika durasi tidur per hari lebih dari atau sama dengan 9 jam; dan 2) kurang, jika durasi tidur per hari kurang dari 9 jam (Shi et al. 2010).

Data yang telah diolah selanjutnya dianalisis dengan uji statistik sesuai jenis data. Uji statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel dengan menggunakan distribusi frekuensi. Selain itu juga dilakukan uji statistik inferensia berupa analisis bivariat. Analisis bivariat yang digunakan adalah uji spearman serta uji Chi-Square yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan salah satu variabel independen.

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui nilai faktor risiko atau

Odds Ratio (OR) dari variabel independen terhadap variabel dependen dengan menggunakan model regresi logistik. Analisis regresi logistik dilakukan hanya untuk variabel yang memenuhi tingkat kemaknaan (p) kurang dari 0.05.

Definisi Operasional

Contoh adalah siswa-siswi sekolah luar biasa di Kabupaten Magetan yang mengalami Down Syndrome, berusia 6 – 18 tahun dan tidak memiliki penyakit kronis,serta tinggal bersama ibu kandung dalam satu rumah. Usia adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun kelahiran

contoh hingga tahun pada saat penelitian berlangsung.

Kategori retardasi mental adalah kondisi anak yang didasarkan pada kemampuan intelektual yang dimiliki. Kategori retardasi mental contoh diperoleh dari assessment yang dilakukan oleh guru meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung, dan selanjutnya diklasifikasikan menjadi ringan dan sedang.

Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama yang terlihat pada keadaan fisiologisnya pada saat ini yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Usia ibu adalah bilangan yang dinyatakan dalam tahun, dihitung dari tahun

kelahiran ibu hingga tahun pada saat penelitian berlangsung.

Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah ditempuh oleh ibu contoh yang telah berhasil ditamatkan.

Pekerjaan ibu adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ibu contoh untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama yang dikategorikan menjadi kecil (≤ 4 orang), sedang (5 – 7 orang), dan besar (≥ 4 orang) Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh oleh anggota

keluarga setiap bulannya.

(39)

23 Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah tingkat pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai gizi. Pengetahuan gizi diukur dengan menggunakan kuesioner yang berisi 10 pernyataan terkait gizi. Kategori pengukuran pengetahuan ibu dibedakan menjadi kurang, sedang, dan tinggi (Khomsan 2000).

Pola konsumsi pangan anak Down Syndrome adalah kebiasaan makan contoh yang meliputi frekuensi, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi rata-rata dalam sebulan terakhir.

Asupan zat gizi adalah tingkat kecukupan masing-masing zat gizi yang diperoleh dari perbandingan antara jumlah zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan.

Aktivitas fisik anak Down Syndrome adalah seluruh jenis dan durasi waktu kegiatan yang melibatkan fisik (tubuh) yang dilakukan oleh anak dan diperoleh dari hasil pengisisan Activity Record. Aktivitas fisik digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan PAL. Durasi menonton tv dan bermain games adalah lamanya waktu yang dihabiskan

contoh untuk menonton tv dan bermain games baik dengan media play station, handphone, maupun media lainnya dalam satu hari.

Gambar

Gambar 1  Pembelahan sel normal (NDSS 2012)
Gambar 3  Kerangka pemikiran
Tabel 1  Variabel, jenis, cara pengumpulan, serta skala data yang digunakan
Tabel 2 Hasil uji validitas dan reliabilitas item pernyataan persepsi ibu terhadap Down Syndrome
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan asas tanggung jawab adalah Pemerintah Daerah mempunyai tanggung-jawab pengelolaan sampah dalam mewujudkan hak masyarakat terhadap lingkungan

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork , atau untuk membagi sebuah jaringan

SMK YPUI Parung mengakui bahwa pengetahuan tentang manajemen itu penting. Baik itu berupa pengetahuan tentang manajemen pemasaran terkait bagaimana agar produk jasa yang ditawarkan

PBI tentang Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu pada pasal 1 angka 10 yang

Hasil penelitian menjelaskan, berdasarkan data sejarah dan bukti-bukti arkeologi, Tidore berkembang sebagai pusat kekuasaan dengan ciri sebagai kota kesultanan,

Seberapa besar akibat yang ditimbulkan oleh pergeseran peran lingkungan keluarga ini berimbas pada proses pendidikan dan hasil pendidikan, dapat dilihat dari

Agar aktifitas yang dilakukannya lebih bermanfaat maka dari itu dengan membiasakan anak – anak membaca buku pop up cerita dongeng Cindelaras, yang diharapkan anak –

[r]