• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan opsonin untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Imunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan opsonin untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN

Salmonella

ENTERITIDIS

EFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN OPSONIN UNTUK PENCEGAHAN SERANGAN

Salmonella

ENTERITIDIS

EFRIZAL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

untuk Pencegahan serangan Salmonella Enteritidis Nama : Efrizal

NIM : B054040031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(4)
(5)

EFRIZAL. Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk

Pencegahan Serangan

S

. Enteritidis. Dibimbing oleh : I. WAYAN T. WIBAWAN

dan RETNO D. SOEJOEDONO.

Ayam petelur memiliki peranan penting sebagai penghasil antibodi poliklonal.

Antibodi ayam atau dikenal dengan IgY dapat dipurifikasi dari kuning telur. Biaya

untuk memproduksi IgY relatif lebih murah daripada antibodi mamalia karena biaya

pemeliharaan ayam tidak mahal, relatif lebih murah dan cepat menghasilkan telur.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari cara memproduksi IgY anti

S

. Enteritidis

dari telur dan mengetahui peran IgY

S

. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin

untuk pencegahan serangan

S

. Enteritidis. IgY spesifik dikoleksi dari telur ayam

Single Comb Brown Leghorn

yang telah diimunisasi dengaan antigen untuk

S

. Enteritidis.

Imunisasi diaplikasikan secara intravena dengan dosis antigen untuk

S

. Enteritidis 0.5 ml (10

9

sel/ml) selama tiga hari berturut-turut pada minggu pertama.

Selanjutnya dilakukan pengulangan imunisasi sebanyak 3 kali dengan interval waktu

seminggu secara

intramuscular

dengan dosis untuk antigen 1 ml (10

9

sel/ml)

S

. Enteritidis dalam

Freund’s adjuvant complete

di minggu kedua dan

Freund’s

adjuvant incomplete

di minggu ketiga dan keempat. Uji agar gel prepitasi (AGP)

dilakukan untuk mengetahui terbentuknya IgY anti

S

. Enteritidis. Ekstraksi IgY dari

kuning telur menggunakan metode PEG-amonium sulfat, kemudian dipurifikasi

dengan

fast protein liquid chromatography

. Konsentrasi IgY yang telah dimurnikan

dihitung dengan spektrofotometer UV dan untuk mengetahui berat molekul dari IgY

dilakukan dengan SDS-PAGE.

Aktifitas biologi IgY anti

S

. Enteritidis sebagai anti adhesi dipelajari dengan uji

hambat anti adhesi secara in vitro menggunakan sel epitel pipi manusia. Uji hambat

adhesi dilakukan dengan dosis 100 µg mampu menurunkan jumlah bakteri pada sel

epitel pipi manusia. Adhesi

S

. Enteritidis pada sel epitel pipi berjumlah 61 sel

bakteri/sel epitel pipi, sementara nilai anti adhesi adalah 35 sel bakteri/sel epitel pipi

manusia. IgY mampu meningkatkan nilai aktifitas makrofag dan kapasitas fagositosis

dalam proses fagositosis. Perlakuan tanpa pemberian IgY diperoleh nilai aktifitas

makrofag sebesar 34% dan kapasistas fagositosis sebesar 4.8 sel bakteri/sel epitel pipi

manusia. Sedangkan perlakuan dengan pemberian IgY anti

S.

Enteretidis 100 µg

diperoleh nilai aktifitas makrofag sebesar 56% dan kapasitas fagositosis sebesar

5.1 sel bakteri/sel epitel pipi manusia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah IgY anti

S.

Enteritidis berperan sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan

S.

Enteritidis.

(6)

EFRIZAL. The Role of Yolk Immunoglobulin (IgY) as anti adhesion and opsonin

againts

Salmonella

Enteritidis. Under the direction of I. WAYAN T. WIBAWAN and

RETNO D. SOEJOEDONO.

Laying hens has significants part as prosedurs of polyclonal antibody. Antibody

from egg or Yolk immunoglobulin can he purified from egg yolk. The cost for

producing IgY is cheaper than for mammalia antibodies. The aim of the stuy was to

explore the role of IgY anti

Salmonella

Enteritidis as opsonin and anti adhesion.

Spesific IgY was collected from egg of

Single Comb Brown Lenghorn

hen was

applied intravenously with initial dose 0.5 ml x 10

9

cell/ml.

The immunization was repeated three times with an interval of one week

intramuscularly wih dose 1 ml x 10

9

cell/ml. First booster was

Salmonella

Enteritidis

antigen mixed with freund’s adjuvant complete. Anti

Salmonella

Enteritidis

extracted from egg yolks by means of PEG-amonium sulfat and purified using fast

purification liquid chromatography. The existence of anti

Salmonella

Enteritidis was

determined by agar presipitation test and spectrophotometer UV. The molecular

weight of anti

Salmonella

Enteritidis was determined with SDS-PAGE.

Anti adhesion and phagositosis assay using human cheek ephitel cell with dose

100 µg of anti

Salmonella

Enteritidis. The result show the decrease pf adhesion from

61 cell bactery/cheek ephitel cell to 35 cell bactery/cheek ephitel cell. IgY also

increase the capacity of phagositosis from 4.8 cell bactery/cheek ephitel cell to 5.1

cell bactery/cheek ephitel cell. The actifity of phagositosis are also increase from 34%

to 56%. This research concluded that hens were capable producing IgY anti

Salmonella

Enteritidis ad it can be used as anti adhesion and opsonin to prevent

infection by

Salmonella

Enteritidis.

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wata’ala atas rahmat yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul “Peran Imunoglobulin Yolk (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Salmonella Enteritidis”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. drh. I. Wayan T. Wibawan, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. drh. Retno D. Soejoedono, M.S. selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, saran, kesempatan , nasehat dan bimbingannya.

2. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.

3. selaku dosen penguji luar.

4. drh. Okti Nadya Poetri selaku teman tim IgY, Dr. drh. Sri Murtini, M.S., Dr. drh. I. Nyoman Suartha, M.Si, drh. R. Susanti, M.P., drh. Dwi Desmiyeni Putri, M.Si, dan drh. Nyi Luh Ika Mayasari atas bantuan, motivasi dan sarannya.

5. Teman-teman Program Studi Kesmavet (Kelas khusus dan reguler 2005).

6. Staf Teknisi laboratorium Imunologi (Pak Lukman, Pak Nur dan Mas Wahyu) Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

7. Adek-adek Tim IgY ( Eka, Anggi, Vivi dan Arif) atas kerjasama selama penelitian.

8. Ayahanda, Ibunda dan saudara-saudara saya (Hendri Maulyani, S.P, Deshayati, S.Pd dan Fitriandi) atas segala doa dan perhatiannya.

9. Teman-teman kos Sanggar Kenangan sengked (Hazein, Dedek, Agung, Faldy, Chaerul dan Danar).

Bogor, April 2007

(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya

(9)

Penulis dilahirkan di Gunung Bayu Simalungun Sumatera Utara, 23 Januari 1978 dari ayah Harius dan ibu Nurbaiti. Penulis merupakan anak ketiga

dari empat bersaudara.

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diare merupakan salah satu gejala klinis penyakit saluran pencernaan

(gastrointestinal), ditandai dengan meningkatnya frekuensi buang air besar lebih

dari tiga kali sehari, adanya perubahan bentuk dan konsistensi tinja penderita.

Dikenal 2 jenis diare : (1) diare akut, timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung

beberapa hari dan (2) diare kronis yang berlangsung lebih dari tiga minggu

bervariasi dari hari ke hari yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab

lainnya (Harianto 2004; Anonim 2007a). Gejala diare diikuti dengan rasa mulas,

tubuh lemas, muka pucat, kadang-kadang mual, muntah dan demam. Diare ada

yang dapat sembuh sendiri tanpa diobati, namun bila tidak ditanggulangi sedini

mungkin dapat menyebabkan dehidrasi dan bila tidak ditolong akan meninggal.

Diare merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia dan menurut

Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 ternyata diare termasuk dalam 8 penyakit

utama di Indonesia (Budiarso dalam Harianto 2004). Angka kesakitan diare

mencapai 200 sampai 400 kejadian tiap 1000 penduduk setiap tahun. Sebagian

besar (70 sampai 80%) penderita adalah anak balita dan 1 sampai 2% dari

penderita menderita dehidrasi. Tercatat 300 000 sampai 500 000 anak balita yang

meninggal akibat diare (Gertruida et al. dalam Harianto 2004).

Diare dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, parasit dan dapat pula

disebabkan oleh malaborpsi makanan, keracunan makanan, alergi ataupun karena defisiensi. Salah satu bakteri penyebab diare adalah Salmonella dan penyakitnya disebut dengan Salmonellosis. Salmonellosis selain merugikan secara ekonomi,

juga sangat penting dalam kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Meskipun

banyak patogen lain yang dapat menyebabkan sakit, Salmonella tetap menjadi

penyebab utama penyakit. Strain bakteri S. Enteritidis dan S. typhimurium

dilaporkan penyebab Salmonellosis yang paling utama.

Dalam upaya menanggulangi penyakit diare yang disebabkan oleh

S. Enteritidis, pencegahan dini adalah upaya yang sangat penting. Salah satu

bentuk pencegahan adalah pemberian imunisasi pasif yang dapat dilakukan

(11)

Antibodi spesifik dapat ditemukan pada imunoglobulin Y pada telur ayam

(IgY) yang diinfeksi dengan S. Enteritidis, sehingga imunisasi pasif dapat

dilakukan dengan penggunaan IgY.

Teknologi penggunaan IgY unggas sebagai upaya pemberian kekebalan

pasif khususnya untuk pencegahan dan pengobatan belum banyak dilaksanakan.

Para peneliti masih menggunakan imunoglobulin dari mamalia seperti kelinci,

mencit putih, tikus, babi dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba

dan sapi. Prosedur produksi antibodi pada hewan tersebut menyebabkan hewan

mengalami cekaman (stress) . Cekaman terjadi saat : (1) melakukan imunisasi

pada hewan dan (2) pengambilan darah untuk memanen antibodi. Berkenaan

dengan animal welfare dan juga efisiensi biaya, penggunaan antibodi dalam telur

lebih bisa diterima dibandingkan dengan penggunaan hewan percobaan

(Svendsen et al. 1994).

Penggunaan IgY anti S. Enteritidis dalam telur, dapat dilakukan karena :

(1) IgY yang terdapat dalam darah mudah ditransfer ke dalam telur dengan

konsentrasi sangat tinggi, (2) proses pengebalan ayam mudah dilakukan,

(3) produksi telur anti S. Enteritidis secara masal sangat mungkin dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran IgY anti S. Enteritidis sebagai

anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan S. Enteritidis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi informasi tentang karakter IgY

ayam anti S. Enteritidis sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan

(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Imunoglobulin Yolk (IgY)

Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai

molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme

penyebab infeksi. Molekul ini disentesis oleh sel ß dalam dua bentuk yang

berbeda yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan sebagai

antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler (Kresno 2001).

Pada ayam terdapat tiga kelas imunoglobulin yang analog dengan

imunoglobulin mamalia yaitu IgA, IgM dan IgY (IgG). Warr et al. (1995) telah

mengusulkan keberadaan antibodi pada ayam yang homolog dengan IgE dan IgD

mamalia namun belum dibuktikan. Imunoglobulin Yolk (IgY) adalah

imunoglobulin (Ig) yang sebagian besar ditemukan pada serum dan telur unggas,

selain Ig yang lain seperti Ig A dan Ig M (Carlander 2002). Molekul IgY secara

struktural terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak

memiliki engsel dan memiliki empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3 dan

Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kDa dengan masing-masing rantai berat

~65 sampai 68 kDa, koefisien sedimentasi 7.8 S dan titik isoelektrik 5.7 sampai

7.6 (Davalos et al. 2000). Struktur IgG dan IgY ditunjukkan pada Gambar 1.

       

Gambar 1 Struktur IgG dan IgY (Anonim 2007b). a : IgG, b : IgY.

(13)

Dari sudut pandang evolusi, IgY diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE

mamalia. Perbandingan IgG dan IgY disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan IgY dan IgG (Zhang 2003)

Peubah IgG IgY

Hewan Mamalia Burung, reptil, amfibi

Sumber Plasma darah Kuning telur

Berat molekul (SDS-PAGE)

Total : 150 KDa

Rantai ringan : 22 KDa x 2 Rantai berat : 50 KDa x 2

Total 180 KDa

Rantai ringan : 21 KDa x 2 Rantai berat : 70 KDa x 2 Berat molekul

(MALDI-TOEFMS)

Total : 150 KDa

Rantai ringan : 23 KDa x 2 Rantai berat : 50 KDa x 2

Total : 180 KDa

Rantai ringan : 19 KDa x 2 Rantai berat : 65 KDa x 2

Struktur dasar

Bagian engsel fleksibel, bagian Fc lebih pendek dengan dua pasang gugus karbohidrat

Engsel lebih pendek dan kurang fleksibel, bagian Fc lebih panjang dengan tiga pasang gugus karbohidrat Respon terhadap antigen

mamalia

Dipengaruhi secara berlawanan oleh homologi filogenik

Ditingkatkan oleh perbedaan filogenik

Mekanisme pematangan afinitas

Hipermutasi somatik Konversi gen Pseudo-V

Afinitas atau aviditas Baik (10-8 sampai 10-10 M) Sebanding

Kuantitas Milligram Gram dengan 2 sampai10%

Yield/bulan/hewan

Antibodi spesifik 1 sampai 10% jika digunakan tikus atau kelinci

Spesifik antibodi

Reaksi silang

Reaksi terhadap imunoglobulin mamalia dan faktor komplemen

Tidak mengikat imunoglobulin mamalia dan

faktor komplemen

Isolasi non-afinitas

Perlu menghilangkan berbagai komponen serum

Sangat perlu menghilangkan komponen lemak dalam kuning telur

Pemurnian afinitas

Protein A atau G, atau pemurnian berdasarkan antigen

Terbatas pada pemurnian antigen

Stabilitas Baik, stabil pada pH 3 sampai10, diatas 700C

Baik, stabil pada pH 4 sampai 9, diatas 650C

Hidrofobisitas Kurang hidrofobik dibanding IgY

Bagian Fc hidrofobik

Imunopresipitasi Baik Kurang efektif karena struktur engsel pendek

Produktifitas

Kuantitas terbatas jika digunakan tikus dan kelinci sebagai inang

Tinggi dengan kuantitas yang lebih besar dan durasi panjang

Skalabilitas Relatif sulit Mudah dan praktis

Antibodi monoklonal Dikembangkan dengan baik Perlu pengembangan lebih lanjut

Supresi imun Beberapa produk sedang dikembangkan

Kemungkinan berguna untuk xenotransplantasi

Diagnostik

Digunakan secara luas, khususnya antibodi monoklonal

Berguna dan praktis untuk berbagai aplikasi

Pengobatan Berkembang baik

(14)

Kelebihan IgY Ayam Dibanding IgG Mamalia

Beberapa kelebihan IgY ayam dibanding IgG mamalia dari segi molekul

antibodinya, yaitu :

1. Aviditas tinggi

Secara filogenik, ayam dengan mamalia jaraknya jauh. Perbedaan tersebut

berpengaruh pada aviditas antibodi ayam yang tinggi terhadap protein mamalia

yang terkonservasi. Dibanding dengan antibodi yang diproduksi mamalia,

antibodi ayam dapat lebih mengenali lebih banyak epitop antigenik pada antigen

mamalia (Haak 1994).

2. Reaksi silang dengan IgG mamalia rendah

Antibodi mamalia menunjukkan tingkat reaksi silang yang tinggi terhadap

imunoglobulin mamalia. Misalnya IgG kelinci anti-manusia akan bereaksi silang

terhadap IgG mamalia lain kecuali dengan IgG kelinci. Namun tidak akan

bereaksi silang dengan IgY yang secara imunologis sangat berbeda dengan IgG

mamalia. Dengan demikian IgY ayam dapat digunakan sebagai antibodi primer

dan imunoglobulin Kelinci anti IgY ayam sebagai antibodi sekunder (Larson &

Sjoquist 1998).

3. IgY tidak berkaitan dengan faktor rheumatoid

IgY ayam bereaksi dengan faktor rheumatoid (penanda respon inflamasi)

dapat menghasilkan positif palsu seperti pada kasus pengujian serum pasien yang

menderita penyakit autoimun. IgY yang tidak dapat bereaksi dengan faktor

rheumatoid memungkinkan hasil akurasi yang tinggi pada diagnostik

(Davalos et al. 2000).

4. IgY tidak berikatan dengan protein A dan G

Protein A Staphylococcus dan protein G Streptococcus tidak dapat mengikat

bagian Fc ayam. Hal ini memungkinkan anti-protein A dan anti-protein G dari

ayam untuk bereaksi dengan protein A dan G. Kompleks protein A IgG dan

protein G IgG dapat bereaksi dengan antibodi ini.

5. IgY tidak mengaktifkan faktor komplemen

Komplemen merupakan mediator terpenting dalam reaksi antigen antibodi

dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik

(15)

reaksi imunologik lain yang melibatkan aktifasi sel-sel efektor dengan cara

berikatan dengan reseptor komplemen yang terdapat pada permukaan sel yang

bersangkutan, atau memacu respon imun humoral yang lain (Kresno 2001).

Pemanfaatan IgY

Adanya IgY dalam telur memberikan prospek yang sangat berarti, bukan

hanya bagi pemberian kekebalan pasif. Prinsip pengebalan pasif adalah transfer

kekebalan terhadap beberapa penyakit dapat dilakukan dengan

mengkomsumsi ”telur yang dibuat telah mengandung zat kebal” dan dipreparasi

secara khusus. IgY unggas mengenal lebih banyak epitoip protein mamalia

dibandingkan dengan imunoglobulin kelinci sehingga cocok untuk percobaan

imunologi untuk protein mamalia (Schade et al. 1996).

Penggunaan IgY spesifik bukan hanya bermanfaat bagi tindakan profilaksis

atau pengobatan, tetapi juga dapat dikembangkan untuk tujuan imunodiagnostik,

seperti misalnya pembuatan konjugat untuk tujuan Western Blotting, ELISA dan

reaksi imunopresipitasi (Haak 1994).

Keuntungan penggunaan telur sebagai sumber antibodi dibandingkan

dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan IgY setara dengan IgG

yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panennya sederhana, (3)

pengambilannya tidak invansif dan tidak menyakiti hewan, (4) merupakan

alternatif yang paling menjanjikan sebagai pengganti cara memproduksi IgG

konvensional, (5) dapat dipanen tiap hari terus menerus, (6) tidak menunjukkan

reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena jarak filogenik antara

unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan dengan mudah dalam

jangka waktu relatif lama, (8) menghasilkan respon imun yang lebih spesifik, dan

(9) tidak memiliki efek samping, karena tidak bereaksi dengan IgG mamalia dan

reseptor (Davalos et al. 2000).

Salmonella Enteritidis

Salmonella Enteritidis merupakan salah satu serotipe dari sekitar 2463

serotipe Salmonella baik pada hewan atau manusia. Serotipe ini ditunjukkan oleh

(16)

Pada tahun 1888 Gartner pertama kali mengisolasi S. Enteritidis dari kotoran

manusia yang terkena wabah keracunan daging di Frankenhausen, Jerman.

S. Enteritidis merupakan bakteri gram negatif, berdiameter 0.6 sampai 0.7 mm dan

panjang 2 sampai 3 mm, bergerak dengan flagel peristik, soliter, berpasangan atau

kadang membentuk rantai pendek. Pada media agar S. Enteritidis membentuk

koloni yang memiliki diameter 2 sampai 4 mm ( Saeed 1999; Clark 2007).

Gambar 2 Salmonella Enteritidis (Clark 2007).

Keberadaan organisme ini dapat dideteksi dengan isolasi dan identifikasi

menggunakan reaksi kimia. Gejala yang mungkin terlihat pada ayam yang

terinfeksi adalah depresi, malas bergerak, diare, sayap terkulai, feses berwarna

putih encer, kornea keruh dan bola mata mengalami perkejuan. Setelah nekropsi

akan terlihat adanya perikarditis, periphepatitis, salphingitis, enteritis

hemoraghika, sekum membengkak, bercak nekrosis dan adanya lesio nekrotik

pada paru-paru, hati dan jantung (Lay 2000).

Keamanan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan

dalam upaya penyediaan pangan hewan bagi konsumsi masyarakat, yang sangat

erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat. Produk asal ternak unggas

merupakan sumber utama Salmonella yang menyebabkan penyakit pada manusia

(Gast 2003). Kasus Salmonellosis pada manusia paling sering dilaporkan akibat

mengkonsumsi daging, telur atau hasil olahannya (Pascual et al. 1999; Craven &

Williams 1997).

Humprey (1998) menyatakan bahwa, meningkatnya konsumsi daging dan

(17)

beberapa tahun terakhir ini. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian

Salmonellosis pada manusia disebabkan oleh bakteri S. Enteritidis,

S. typhimurium dan S. heidelberg (Pascual et al. 1999).

Di Indonesia, telah banyak dilaporkan kasus Salmonellosis yang

disebabkan oleh Salmonella Enteritidis pada peternakan ayam broiler. Dari tahun

1990–1996 telah diisolasi S. Enteritidis dari sampel ayam yang dikirim ke Balai

Penelitian Veteriner Bogor (Purnomo & Bahri 1997). Sampai saat ini

S. Enteritidis telah diisolasi dari ayam (usapan rectal, usus/sekum, hati, limpa dan

jantung), karkas, kuning telur, litter dan fluff (bulu-bulu halus dari mesin tetas).

Salmonellosis juga dapat ditularkan oleh ayam ke telur secara trans ovarial,

sehingga telur ayam dapat terkontaminasi Salmonella tanpa menimbulkan

perubahan pada penampilan telur.

Daging dan telur ayam merupakan sumber protein hewani yang utama

bagi masyarakat, yang sering tidak bebas dari bakteri ini. Lebih berbahaya lagi

S. Enteritidis dapat diisolasi dari kuning telur, padahal telur dan hasil olahannya

sering disajikan dalam bentuk mentah atau setengah matang (seperti omelette,

scramble dan mayonnaise). Ini menunjukkan bahwa infeksi S. Enteritidis masih

merupakan ancaman bagi manusia. Jika dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat

Indonesia yang mencampurkan kuning telur ke dalam jamu, maka penularan

langsung S. Enteritidis dari telur ke manusia sangat mudah terjadi.

Sejak tahun 1980-an, di beberapa negara telah dilaporkan terjadi kenaikan

kasus salmonellosis yang disebabkan oleh S. Enteritidis pada ayam dan manusia

(Rodrique et al. 1990; Adesiyun et al. 2000). Meningkatnya kasus Salmonellosis

pada manusia disebabkan oleh infeksi S. Enteritidis karena mengkonsumsi

makanan seperti ayam, telur dan hasil olahannya yang terkontaminasi oleh bakteri

tersebut (Craven and Williams 1997; Pascual et al. 1999; Ahmed et al. 2000).

Meningkatnya kasus Salmonellosis pada manusia juga dilaporkan dari Amerika

Serikat dan Canada (Ahmed et al. 2000; CCDR 1997; Riemann et al. 1998).

Kenaikan kasus pada ayam dan telur juga dilaporkan dari Inggris, Korea, Wales,

Amerika Serikat, Zambia dan Yunani (Chang 2000; Gast & Holt 2000;

Hang’ombe et al. 1999) dan pada manusia dilaporkan dari Amerika Serikat dan

(18)

telah terjadi kenaikan resistensi S. Enteritidis terhadap antibiotika, seperti telah

dilaporkan dari Taiwan dan Amerika Serikat (Su et al. 2002).

Patogenitas Salmonella Enteritidis

Salmonellosis dibagi dalam tiga tahap, yaitu (1) kolonisasi usus yang

merupakan tahapan terpenting dalam proses ini. Kolonisasi usus terjadi karena

adanya penambahan keseimbangan flora normal usus sehingga menghambat

proses kolonisasi bakteri non patogen dan penurunan gerakan peristaltik sehingga

memudahkan kolonisasi Salmonella (2) Perasukan lapisan epitel usus. Tahap ini

terjadi pada bagian vili dari ileum dan kolon dengan melewati lapisan ”Brush

Border” hingga sampai ke dalam sel lainnya, lalu melewati lamina propia dan

terus berkembang yang diikuti proses fagositosis dan terperangkapnya mikroba

dalam limfo glandula dan (3) Penggertakan pengeluaran cairan. Tahap ini terjadi

akibat peningkatan aktivitas enzim adenil siklase oleh infeksi Salmonella dan

akibat aktivasi enterotoksin Salmonella yang dapat menginduksi respon sekretori

dari sel epitel usus, maka terjadilah akumulasi cairan dalam lumen usus (Lay &

Hastowo 1992). .

Keparahan penyakit dipengaruhi oleh faktor antigen baik somatik maupun

flagela, produksi toksin, kemampuan bertahan dalam pH asam dan suhu tinggi

dari bakteri, jumlah bakteri dan kemampuan berinvansi serta berkolonisasi dalam

jaringan. Faktor lain adalah kondisi inang, seperti stres dan lingkungan

(Gast 2003).

Sistem Kekebalan yang Menanggapi Serangan Bakteri

Bila bakteri melekat pada permukaan mukosa usus, bakteri akan berhadapan

dengan sel-sel imunitas. Bakteri akan didegradasi oleh makrofag dan

menghasilkan reruntuhan (debris) yang akan dikeluarkan oleh makrofag, tetapi

fragmen peptida dari protein bakteri akan ditransfer ke permukaan makrofag.

Selanjutnya akan dibentuk kompleks peptida-MHC (Major Histocompability

Complex). Kompleks ini akan menstimulasi sel T. helper yang akan menstimulasi

(19)

Saat ini dikenal dua macam antibodi yaitu antibodi poliklonal dan antibodi

monoklonal. Antibodi yang diperoleh dari hewan hiperimun dikenal antibodi

poliklonal atau konvensional yang bersifat heterogen. Cara ini digunakan untuk

memperoleh sejumlah besar antibodi terhadap antigen spesifik. Antibodi

monoklonal merupakan produk klon tunggal sel ß yang mempunyai keseragaman

struktur molekul. Antibodi monoklonal sudah luas digunakan untuk berbagai

kepentingan yaitu untuk diagnosa (deteksi antigen atau antibodi baik secara in

vitro maupun in vivo, terapi (pencegahan), pemurnian (koagulasi) dan penelitian

(klasifikasi, taksonomi mekanisme) species bakteri dan studi biokimia

(Macario & Macario 1985).

Adhesi

Proses adhesi merupakan tahap awal infeksi bakteri yang berperan dalam

kolonisasi bakteri tersebut pada permukaan sel inang. Adanya adhesi

memperpendek jarak antara bakteri dengan permukaan tubuh inang sehingga

mempermudah toksin yang dihasilkan bakteri untuk melekat pada reseptornya.

Dalam adhesi dikenal dua bentuk pola adhesi yaitu (1) adhesi yang bersifat non

spesifik, dan (2) adhesi yang bersifat spesifik (Christensen & Beachey 1984).

Perlekatan bakteri pada sel inang berfungsi sebagai menetap dan dapat

merupakan langkah awal proses infeksi. Proses ini dipengaruhi oleh interaksi

komponen permukaan bakteri dan sel inang dengan faktor lingkungan yang dapat

mendukungnya seperti fibrinectin (suatu protein yang bersifat adhesif), fibrinogen,

vitronektin dan laktoferin (Mims 1982). Struktur yang mungkin bertanggung

jawab terhadap sifat adhesi bakteri adalah adhesin fimbiriae, asam lipoteikoat dan

protein adhesin. Interaksi yang terlibat dalam adhesin sebagian besar disebabkan

oleh struktur permukaan hidrofob (Doyle & Rosenberg 1990).

Opsonisasi

Opsonisasi merupakan pengikatan partikel oleh suatu zat (oleh molekul Ig

atau C3). Opsonisasi dipermudah dengan adanya reseptor untuk FC Ig dan C3

pada permukaan sel membran makrofag. Opsonisasi antigen oleh imunoglobulin

(20)

memproses dan menyajikan antigen ke sel T dan meningkatkan fungsi sel NK

(Natural Killer) dalam mekanisme antibodi dependent cytotoxicity (ADCC)

(Kresno 2001).

Mekanisme opsonisasi dapat melalui beberapa cara yaitu (1) antibodi

spesifik yang berfungsi sebagai opsonin, (2) ikut campurnya komponen C3b

sistem komplemen, mirip dengan kemotaksis, dan (3) bantuan substansi yang

berasal dari protein serum berupa heat-labile factor dan bersifat opsonin

(Shwatz & Lazar 1980).

Fagositosis

Fagositosis adalah suatu proses penjeratan dan penghancuran benda asing

yang dilakukan oleh sel-sel fagositik dan merupakan sistem pertahanan inang.

Terdapat dua tipe sel fagositik yaitu sel leukosit polimorf

(Polymorphonuclear/netrofil) dan sel mononuclear fagosit (makrofag). Banyak

faktor yang mempengaruhi proses fagositosis antara lain pergerakan sel fagositik

karena rangsangan benda asing dan kerentanan benda asing untuk difagositasi

(Kuby 1997). Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen

dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat

yaitu kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna.

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai Desember 2006 di

Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium Terpadu, Laboratorium Bakteriologi,

Laboratorium Produksi Bahan Biologis dan Imunologi Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Preparasi Antigen S. Enteritidis

Bakteri S. Enteritidis rujukan ATCC 130706 dan lokal 821/94 ditumbuhkan

pada media BHI dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Suspensi

disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan

dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada 10 000 rpm 10 menit, dilakukan

2 kali. Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl fisiologis, dihomogenkan dan diukur

pada Ȝ 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk menentukan

kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas air pada

suhu 56 oC selama 60 menit, didinginkan dan siap digunakan sebagai vaksin

untuk memproduksi antibodi.

Produksi Antibodi

Ayam petelur Single Comb Brown Leghorn berumur 24 minggu diinjeksi

dengan 0.5 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis secara intravena (Carlander

2002) selama tiga hari berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan menyuntik

1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s adjuvant complete pada

minggu II , serta 1 ml (109sel/ml) suspensi S. Enteritidis dalam Freund’s

adjuvant incomplete pada minggu III dan IV secara intramuskular (Wibawan

& Laemmler 1992). Satu minggu setelah penyuntikan terakhir dilakukan panen

serum dan keberadaan antibodi diuji dengan uji Agar Gel Prepisipitasi (AGP).

Telur-telur yang memiliki antibodi terhadap S. Enteritidis dikoleksi dan disimpan

(22)

Persiapan Antigen Untuk Uji Agar Gel Presepitasi (AGP)

Bakteri S. Enteritidis ditumbuhkan pada media BHI, diinkubasi pada suhu

37 oC selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi pada kecepatan 10 000 rpm selama

10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl fisiologis, disentrifugasi pada

10 000 rpm dilakukan 2 kali. Pelet dicuci, ditambah 0.5 ml HCl 0.2 N dan

ditangas dalam penangas air dengan suhu 56 oC selama 1 jam. Kemudian

ditambah satu tetes phenol red dan ditambah NaOH 1 N hingga berwarna merah.

Suspensi disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit, dilakukan 2 kali.

Supernatan digunakan sebagai antigen (Wibawan & Laemmler 1992).

Pengujian IgY anti S. Enteritidis dengan Uji AGP

Agar dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g Poly Ethylene

Glycol 6000 dalam 20 ml akuades dan 25 ml PBS 0.5 M pH 7.4. Campuran

dididihkan pada suhu 70 sampai 80 oC hingga larut. Campuran dipipet sebanyak

3.75 ml, dituangkan pada gelas obyek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian

dibuat sumur-sumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan antigen

(25 ȝl) dan 25 ȝl antibodi (IgY) dari serum pada sumur sekelilingnya. Gelas

obyek diletakkan di atas kertas saring basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi

dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi positif ditunjukkan dengan adanya garis

prepisitasi pada daerah antigen tersebut.

Ekstraksi IgY dari Kuning Telur Ayam

Kuning telur dipisahkan dari bagian putih telur, dan dicuci dengan air

deionisasi. Kuning telur diletakkan di atas kertas saring untuk menghilangkan

putih telur yang melekat. Membran kuning telur dilubangi dengan cara diangkat

dengan pinset, cairan kuning telur ditampung pada gelas beaker dan dilarutkan

secara perlahan dalam milli-Q pH 4. Setelah homogen ditambahkan lagi milli-Q

pH 2 hingga pH suspensi 5.0 sampai 5.2 dan diinkubasi pada suhu 4 oC minimal

12 jam. Suspensi disenrifugasi dengan kecepatan 4 880 rpm pada suhu 4 oC

selama 20 menit dan supernatan diambil (Water Soluble Fractination) serta

(23)

WSF dipekatkan dengan PEG 6000 dan amonium sulfat. WSF ditambahkan

PEG 6000 sehingga kosentrasi akhir 12% (w/v). Suspensi disentrifugasi dengan

kecepatan 3 000 rpm selama 15 menit suhu 20oC. Pelet ditambahkan dengan

amonium sulfat 40% sebanyak 5 ml dan disentrifugasi dengan kecepatan

11 700 rpm selama 15 menit, dilakukan 3 kali. Pelet disuspensikan dengan PBS

sebanyak 1 ml, dan ditambahkan dua tetes 0.1% Na-azide. Suspensi didialisis

selama 24 jam dengan PBS pH 8.0 (Polson et al. 1980).

Pemurnian IgY dengan FPLC

Pemurnian dilakukan dengan fast protein liquid chromatography (FPLC)

menggunakan kolom Hi-trap IgY (Anonim 2006). Matriks dalam kolom dibilas

dengan buffer K2SO4 20 mM dalam larutan NaH2PO4 20 mM pH 7.5. IgY hasil

dialisis dimasukkan ke dalam kolom, bersamaan dengan buffer K2SO4 20 mM.

Matriks akan mengikat IgY dan protein-protein, selain IgY akan lolos protein lain

yang dapat dilihat dari kenaikan garis pada grafik. Protein-protein ini dibuang.

Selanjutnya dilakukan elusi IgY dari matriks dengan larutan NaH2PO4

20 mM pH 7.5. IgY yang terelusi akan terdeteksi oleh monitor absorban yang

ditandai dengan naiknya garis sampai terbentuk garis puncak. Larutan ini

ditampung dalam tabung reaksi, kemudian dipekatkan sampai kira-kira kembali

ke volume asal. Matriks dicuci dengan cleaning buffer (larutan 30% propanol

dalam NaH2PO4 20 mM pH 7.5).

Penentuan Konsentrasi Protein

Kosentrasi protein ditentukan dengan menggunakan metode Bradford (1976).

Absorbansi sampel ditentukan dengan pembacaan pada spektrofotometer UV pada Ȝ 280 nm. Konsentrasi sampel dihitung berdasarkan kurva larutan standard (Bovine Serum Albumin) yang telah dibuat.

Penentuan Berat Molekul Sampel dengan SDS-PAGE

Untuk mengetahui berat molekul dari IgY dilakukan dengan metode

(24)

(Laemmli 1970). SDS-PAGE dengan menggunakan sistem diskontinu, terdiri atas

gel pemisah konsentrasi 12% dan gel pengumpul 4%. Masing-masing dari sampel

IgY hasil FPLC (fraksi ke-3 dan fraksi ke-4) ditambah dengan buffer sampel

dengan perbandingan 1:1 dan ditangas dalam penangas air pada suhu 70 oC

selama 5 menit sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel elektroforesis.

Marker dan sampel IgY sebanyak 10 µl dimasukkan dalam masing-masing

sumur, kemudian perangkat elektroforesis dijalankan dengan arus listrik 80 mA

dan 100 volt selama 180 menit. Elektroforesis dihentikan apabila pewarna sampel

telah mencapai 0.5 cm dari bagian atas bawah gel. Gel diangkat dari lempeng kaca

dan direndan dengan pewarna comassie brilliant blue (Sigma chemical co.)

selama 3 jam pada suhu ruang sambil diagitasi secara perlahan. Pewarna yang

tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat

methanol dan asam asetat hingga pita-pita protein pada gel terbentuk dengan jelas

(Svendsen et al. 1994).

Uji Biologis Ig Y Preparasi S. Enteritidis

Preparasi bakteri dilakukan menurut metode Estuningsih (1998) dengan

modifikasi. Preparasi bakteri digunakan untuk uji adhesi, anti adhesi dan

opsonisasi. Bakteri S. Enteritidis ditumbuhkan pada media BHI kemudian

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Inokulum disentrifugasi pada

kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dengan 5 ml NaCl

fisiologis kemudian disentrifugasi pada 10 000 rpm 10 menit, dilakukan 2 kali.

Pelet dilarutkan dalam 5 ml NaCl fisiologis, dihomogenkan dengan vortek mixer,

diukur pada Ȝ 620 nm dengan transmisi 10% konsentrasi selnya untuk

menentukan kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas

air dengan suhu 56 oC selama 60 menit dan didinginkan.

Suspensi Sel

Sel epitel pipi yang digunakan berasal dari kerokan mukosa pipi manusia.

Kerokan mukosa pipi manusia tersebut diambil dengan menggunakan spatel yang

(25)

diambil dengan menggunakan pipet pasteur dan disentrifugasi dengan kecepatan

3 000 rpm selama 10 menit. Larutan sel epitel pipi dicuci dengan PBS sebanyak

2 kali dan dengan menggunakan haemasitometer dihitung jumlah sel epitel pipi

yang digunakan dalam penelitian sebanyak 106 sel/ml (Wibawan et al. 1999).

Uji adhesi

Uji adhesi dilakukan menurut metode Wibawan et al. (1999) dengan

modifikasi. Uji ini dilakukan sebagai kontrol uji hambat anti adhesi, dengan cara

membuat bahan percobaan yang terdiri dari sel epitel dan bakteri. Bahan

percobaan terdiri dari suspensi sel epitel pipi 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml

bakteri . Bahan coba tersebut ditempatkan pada tabung mikro dan diinkubasikan

selama 1 jam suhu 37 oC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm

selama 10 menit. Preparat ulas difiksasi dengan methanol selama 15 menit,

diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, dan selanjutnya dilihat di bawah

mikroskop menggunakan perbesaran 1000x. Perhitungan dilakukan terhadap

20 sel pada setiap pengamatan.

Uji Hambat Adhesi

Uji hambat adhesi dilakukan dengan cara membuat bahan percobaaan

bakteri, yang terdiri dari campuran antibodi, sel epitel pipi dan bakteri

(Pruimboom et al. 1996). Dalam penelitian ini bahan percobaan bakteri terdiri dari

IgY (100 µg/ml), suspensi sel epitel pipi 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml

bakteri . Bahan coba tersebut ditempatkan pada tabung mikro dan diinkubasikan

selama 1 jam suhu 37 OC. Suspensi disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm

selama 10 menit. Preparat ulas difiksasi dengan metanol selama 15 menit,

diwarnai dengan Giemsa selama 60 menit, dan selanjutnya dilihat di bawah

mikroskop menggunakan perbesaran 1000x.

Preparasi Makrofag

Makrofag mengandung maksimal 50% limfosit disiapkan dengan mencuci

(26)

menggunakan makrofag yang berasal dari mencit putih (Mus musculus albinus)

strain Ddy, umur 5 sampai 6 minggu dengan berat rata-rata 20 sampai 30 gram per

ekor dengan jenis kelamin jantan yang berasal dari PT. Biofarma Bandung.

Makrofag didapat dengan cara menyuntikkan cairan PBS dan IgY pada bagian

perut mencit. Satu jam kemudian dilakukan pembedahan pada perut, sebelum

dibedah terlebih dahulu dilakukan pemijatan pada perut mencit. Setelah

pembedahan cairan peritonium dipanen dan dihitung dengan haemasitometer

jumlah makrofag sebanyak 105 sel/ml yang digunakan dalam bahan coba

fagositosis.

Uji Aktifitas IgY Sebagai Opsonin

Untuk mengetahui IgY sebagai opsonin ditunjukkan dalam uji fagositosis.

Assay fagositosis dilakukan menurut metode Wibawan et al. (1999) dengan

modifikasi. Bahan coba fagositosis dibuat dengan cara menambahkan IgY

(100 µg/ml), suspensi makrofag 0.5 x 106 sel/ml dan 0.5 x 108 sel/ml bakteri

ditempatkan pada tabung mikro, diinkubasi selama 1 jam suhu 37 oC. Suspensi

disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit dan pelet dibuat

preparat ulas. Preparat ulas difiksasi dengan metanol selama 15 menit, diwarnai

dengan Giemsa selama 60 menit, lalu dilihat di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1000x.

Penentuan Nilai Aktifitas dan Kapasistas Fagositosis a. Nilai Aktifitas Fagositosis

Nilai aktifitas fagositosis ditetapkan menurut jumlah sel makrofag yang

secara aktif melakukan proses fagositosis dalam 100 sel dibandingkan dengan

banyaknya makrofag, dinyatakan dalam persen.

Aktifitas makrofag = Jumlah makrofag aktif X 100%

Jumlah makrofag total

b. Nilai Kapasitas Fagositosis

Nilai kapasitas fagositosis ditetapkan menurut jumlah bakteri S. Enteritidis

ditambah IgY dan S. Enteritidis tanpa IgY yang dimakan oleh 50 sel PMN yang

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam

Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur

dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi (AGP). Keberadaan

antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis ditandai dengan pembentukan garis

presipitasi pada agar gel (Gambar 3).

Gambar 3 Hasil uji agar gel presipitasi IgY anti S. Enteritidis.

3a : Serum, 3b : Kuning telur. a : Antigen, b1-b6 : Antibodi c : Garis prepitasi.

Antibodi mulai terdeteksi minggu kelima dan tidak terdeteksi lagi pada

minggu keenam setelah imunisasi pertama (Tabel 2). Setelah dilakukan

pengulangan imunisasi (booster), satu minggu kemudian IgY di dalam serum

terdeteksi lagi. Sedangkan IgY di dalam telur mulai terdeteksi dua minggu setelah

booster. IgY di dalam serum dan telur masih terdeteksi sampai minggu kedua

belas setelah imunisasi pertama.

Injeksi dosis pertama akan menghasilkan antibodi spesifik yang muncul di

dalam serum, pemaparan pertama ini membangkitkan respon primer. Injeksi

dengan sel-sel bakteri akan memunculkan reaksi antibodi sepuluh sampai empat

belas hari pasca injeksi (Bellanti 1993). Beberapa faktor yang berpengaruh

terhadap terbentuknya antibodi adalah imugenesitas, kualitas, bentuk dan

3a 3b a

b1

b2

b3 b4

b5 b6

c

a c

b1

b2

b3 b4

(28)

kelarutan stimulan, species hewan yang diinjeksi, rute imunisasi dan sensifitas

assay. Titer antibodi tertinggi terhadap toksoid bakteri gram positif bertahan

selama dua sampai tiga bulan.

Aplikasi imunisasi secara intravena diharapkan dapat segera memicu

pembentukan antibodi di dalam darah. Pengulangan imunisasi plus adjuvant

secara intramuscular pada mingggu kedua, ketiga dan keempat diharapkan dapat

merangsang pembentukan antibodi dalam jumlah yang banyak dan secara

konsisten tetap terbentuk. Adjuvant berfungsi sebagai molekul protein pembawa

antigen untuk membentuk komplek lebih besar sehingga menjadi lebih imugenik.

Adjuvant juga memperlambat pelepasan dan degradasi antigen (efek depot)

sehingga memberikan waktu yang cukup sistem imun untuk merespon antigen.

Penggunaan adjuvant juga merangsang makrofag melalui aktivasi dan

meningkatkan proses fagositosis dengan cara mempengaruhi limfosit melepaskan

monokin ( Behn et al. 1996).

Tabel 2 Hasil uji AGP IgY pada serum dan telur ayam

Minggu Serum Telur

1 2 3 4 1 2 3 4

I* - - - - td td td td II* - - - - td td td td III* - - - - td td td td IV* - - - - td td td td V - + + + td td td td VI + - - - td td td td VII** + + + - - - - - VIII + + + + - - - - IX + + + + + + + + X + + + + + + + + XI + + + + + + + + XII + + + + + + + + Keterangan :

* : waktu imunisasi, ** : imunisasi ulang, td : tidak dilakukan koleksi telur

(29)

Ekstraksi, Purifikasi dan Karakterisasi IgY dari Kuning Telur

IgY anti S. Enteritidis dikoleksi dari kuning telur ayam yang menunjukkan

reaksi positif pada uji AGP. Ekstraksi dari kuning telur bertujuan untuk

memisahkan protein dari lemak telur. Metode ekstraksi yang dipilih adalah

pemisahan kuning telur dengan menggunakan Poly Ethylene Glycol-Amonium

sulfat (Polson et al. 1980). PEG digunakan untuk memisahkan lemak,

mempresipitasi dan mengendapkan IgY agar tidak mempengaruhi tahap

pemurnian berikutnya, misalnya dengan kromatografi penukar ion atau

kromatografi afinitas (Harris dalam Mustopa 2004). Amonium sulfat sering

digunakan untuk memisahkan protein dalam larutan. Protein dalam larutan akan

membentuk ikatan hidrogen dengan air, ketika amonium sulfat ditambahkan ke

dalam larutan tersebut, maka amonium sulfat akan menjadi kompetitor untuk

berikatan dengan air. Hal ini menyebabkan rendahnya molekul air dari protein,

menurunnya daya larut dan menyebabkan presipitasi protein (Harlow &

Lane 1998).

Garam yang berlebih di dalam larutan ekstrak IgY dapat dihilangkan dengan

cara dialisis. Dialisis IgY ditempatkan ke dalam kantung plastik (membran)

semipermiabel yang direndam dalam larutan PBS pH 8 selama 24 jam pada suhu

4 oC. Molekul yang berukuran kecil akan keluar melalui membran dan molekul

yang berukuran besar akan tertahan di membran dialisis. Selanjutnya, hasil

ekstraksi IgY dipurifikasi secara kromatografi dengan teknik fase purification

liquid chromatografi (FPLC) menggunakan AKTATMexplorer 10S dengan kolom

Hi Trap TM IgY Purification (Amersham pharmacia biotech) (Anonim 2006).

Fraksi yang ditampung dan digunakan untuk uji selanjutnya adalah fraksi dengan

puncak tertinggi yaitu fraksi ke-3, ke-4 dan ke-5 (Gambar 4). Hasil purifikasi IgY

dipekatkan dengan PEG 6000, kemudian didialisis dalam larutan PBS pH 8

selama 24 jam dengan tujuan menarik sisa-sisa garam yang mungkin tersisa.

Setelah itu IgY diidentifikasi kandungan proteinnya menggunakan

spektrofotometer UV dengan metode Bradford dan diperoleh hasilnya yaitu

fraksi ke-3 sebesar 6.9 mg/ml, fraksi ke-4 sebesar 6.58 mg/ml dan fraksi ke-5

sebesar 5.01 mg/ml. Zhang (2003) menyatakan bahwa, dalam sebutir telur ayam

(30)

dalam penelitian ECVAM, bahwa jumlah antibodi unggas dalam sebutir telur

yaitu 50 sampai 100 mg/ml. Mustopa (2004), menyatakan bahwa konsentrasi IgY

tertinggi dari Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) K1.1 yang dipurifikasi

menggunakan teknik kromatografi pertukaran ion DEAE-Sephacel adalah sebesar

8.1 mg/ml. Perbedaan jumlah IgY yang dihasilkan dipengaruhi oleh metode

ekstraksi yang digunakan.

Gambar 4 Kromatografi hasil FPLC IgY anti

S. Enteritidis.

Untuk meyakinkan fraksi tersebut merupakan protein (IgY) yang diharapkan,

dilanjutkan pengujian SDS-PAGE untuk menentukan berat molekul dari protein.

Profil pita IgY hasil pemurnian menggunakan kromatografi (FPLC) yang

dianalisis menggunakan SDS-PAGE dengan pewarnaan comassie blue disajikan

pada Gambar 5. Metode SDS-PAGE digunakan untuk mendeteksi keberadaan

protein dari larutan hasil purifikasi berdasarkan atas ukuran dari protein. SDS

adalah detergen anionik yang mampu bereaksi dengan bagian hidrofobik dari

protein . Dengan pemanasan maka seluruh bagian polipeptida akan terselimuti

sehingga menjadi tidak bermuatan (Hames & Rickwood dalam Suartha 2006).

Profil pita protein setelah pemurnian pada sumur ke-2 dan ke-3 (fraksi ke-3 dan

fraksi ke-4 dari hasil FPLC) menunjukkan adanya pita protein dengan berat

(31)

lain menandakan tidak adanya cemaran protein lain. Hal ini menunjukkan

purifikasi dengan metode FPLC mendapatkan sampel protein (IgY) murni.

Verdoliva et al. (2000) menyatakan bahwa, kemurnian IgY dengan metode

FPLC lebih tinggi dibandingkan dengan metode dialisis karena protein dipisahkan

dengan spesifik berdasarkan ukuran protein, hidrofobisitas, afinitas dan muatan

listrik. Beberapa peneliti juga melaporkan berat molekul dari IgY berkisar antara

160 kDa sampai 180 kDa (Zhang 2003), kadang-kadang pada SDS-PAGE

didapatkan dua pita protein dengan berat molekul 70 kDa untuk rantai berat dan

21 kDa untuk rantai ringan (Hatta dalam Suartha 2006).

[image:31.612.197.449.278.485.2]

Gambar 5 Hasil SDS-PAGE IgY anti S. Enteritidis setelah pemurnian FPLC. 1: Marker umum (Bio-Rad), 2 : Marker IgY (Promega),

3-4 : hasil FPLC.

Aktifitas Biologis IgY sebagai Anti adhesi

Uji hambat adhesi menggunakan dosis IgY anti S. Enteritidis 100 µg/ml

yang diinkubasikan pada sel epitel pipi (0.5 x 106 sel/ml), kemudian diinfeksikan

dengan bakteri utuh S. Enteritidis (0.5 x 108 sel/ml). Sementara sebagai kontrol

dilakukan uji adhesi (tanpa menggunakan IgY). Nilai adhesi kontrol adalah 61 sel

(32)

pipi (Gambar 6). Ini berarti IgY anti S. Enteritidis mempunyai kemampuan untuk

menghambat perlekatan bakteri S. Enteritidis pada sel epitel pipi. Proses infeksi

bakteri selalu diawali dengan proses adhesi. Adhesi merupakan tahap inisiasi dari

proses kolonisasi. Ada tiga faktor yang mendukung perlekatan bakteri terhadap sel

inang yaitu tropisme sel, spesifitas species dan spesifitas genetika. Disamping itu

ada faktor non spesifik seperti ikatan kimia yang terbentuk antara komponen

permukaan bakteri dan sel inang yang spontan secara termodinamika

mempengaruhi proses perlekatan tersebut (Beachey dalam Mustopa 2004).

Nilai Adhesi Anti S.Enteritidis

61 35 0 10 20 30 40 50 60 70

Tanpa IgY 100 ụg

Perlakuan Dengan IgY

[image:32.612.161.469.257.435.2]

J u m lah S e l B a kt er i

Gambar 6 Nilai adhesi IgY anti S. Enteritidis.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa adanya adhesi S. Enteritidis pada

permukaan sel epitel pipi dan bisa dilihat pada Gambar 7. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa, IgY mampu berikatan dengan antigen yang terdapat pada

permukaan bakteri S. Enteritidis dan menyebabkan penurunan kemampuan

adhesif bakteri tersebut ke permukaan sel epitel pipi. Burges dalam Mustopa

(2004) menyatakan bahwa, immunoassay antibodi monoklonal lebih spesifik

karena antibodi monoklonal biasanya diarahkan pada satu epitop dari antigen

target. Antibodi terhadap toksin (antitoksin) bekerja dengan cara memblok bagian

aktif toksin sehingga kemampuannya dalam menginfeksi sel-sel inang menjadi

lemah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peluang tentang penggunaan IgY

(33)
[image:33.612.157.473.87.243.2]

Gambar 7 Adhesi dan anti adhesi S. Enteritidis pada sel epitel pipi menggunakan pewarnaan Giemsa dengan mikroskop 1000x.

a : adhesi , b : anti adhesi S. Enteritidis.

Fagositosis dan Peran IgY sebagai Opsonin

Preinkubasi bakteri S. Enteritidis dengan IgY selama 60 menit menyebabkan

kapasitas fagositosis meningkat secara nyata. Dalam penelitian ini, perlakuan

tanpa pemberian IgY diperoleh nilai aktifitas makrofag sebesar 34% dan kapasitas

fagositosis sebesar 4.8 sel bakteri per sel epitel pipi. Sementara perlakuan dengan

pemberian IgY diperoleh nilai aktifitas makrofag sebesar 56% dan kapasitas

fagositosis sebesar 5.1 sel bakteri per sel epitel pipi (Gambar 8).

Nilai Aktifitas dan Kapasitas Fagositosis Anti S. Enteritidis

34

56

4,8 5,1

0 10 20 30 40 50 60

Tanpa IgY 100 ug

Perlakuan dengan IgY

Aktifitas Fagositosis (%) Kapasitas Fagositosis

Gambar 8 Nilai aktifitas dan kapasitas fagositosis anti S. Enteritidis.

[image:33.612.160.486.495.678.2]
(34)

Proses fagositosis secara garis besar dibagi dalam dua tahap, yaitu fase

perlekatan dan fase ingesti. Selama fase perlekatan, terjadi sentuhan kuat oleh

partikel dan fagositosis melalui proses tanpa dorongan. Fase ingesti merupakan

proses penelanan partikel dan kemudian partikel dimasukkan ke dalam sitoplasma

yang terinvaginasi (Kuby 1997). Adanya proses fagositosis S. Enteritidis oleh sel

makrofag dapat dilihat pada Gambar 9.

Bila kepada bakteri tersebut diberikan antibodi spesifik terhadap kapsulnya

yang tersusun oleh polisakarida, maka bakteri tersebut akan diselimuti sehingga

dapat mempermudah fagositosis oleh sel fagosit (Kuby 1997). Semua jenis

antibodi atau faktor-faktor serum lain, yang mampu membuat setiap selubung

mikroorganisme maupun partikel sehingga lebih sensitif untuk difagositosis,

dinamakan opsonin. Dan prosesnya dinamakan opsonisasi. Opsonisasi

menyebabkan bakteri lebih dikenal oleh makrofag sehingga aktifitas fagositosis

lebih besar.

Gambar 9 Respon fagositosis sel makrofag peritonium terhadap bakteri S. Enteritidis didalam sitoplasma sel fagosit terhadap banyak bakteri menggunakan pewarnaan Giemsa dengan mikroskop 1000x. a : tanpa IgY (kontrol) b : dengan penambahan IgY

(35)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Adhesi S. Enteritidis pada permukaan sel epitel pipi bersifat spesifik dan

IgY anti S. Enteritidis dapat menghambat perlekatan S. Enteritidis pada sel

epitel pipi (IgY anti S. Enteritidis dapat berfungsi sebagai anti adhesi).

2. IgY anti S. Enteritidis dapat berfungsi sebagai opsonin dan inkubasi

S. Enteritidis dengan IgY meningkatkan nilai kapasitas fagositosis.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan sediaan

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Adesiyun A, Carson A, McAdo K, Bailey C. 2000. Molecular analysis of

Salmonella Enteritidis isolates from the Carribean by pulsed field gel electhrophoresis. Pan Am. J Public Health 8(50): 342-347.

Ahmed R, Soule G, Demezuk WH, Clack C, Khakhtia R, Ratman S, Marshall S, Ng. Lai-King, Woodward DL, Johnsons WM, Rodgers. 2000. Epidemiologic typing of Salmonella enterica serotype Enteritidis in a Canada wide outbreak of gastroenteritis due to contaminated cheese.

J CLin Microbiol 38(6): 2403-2406.

[Anonim]. 2006. Fast protein liquid chromatography (FPLC). http://www.en.wikipedia/wiki/FPLC-12.catched. [24 Juli 2006].

[Anonim]. 2007a. Diare. http://www.dinkes-dki.go.id [5 Februari 2007].

[Anonim]. 2007b. Basic immunology for ICU3.

http://www.bmb.leds.ac.uk/…/immunol/index.htm [5 Februari 2007].

Behn I, Hommel U, Oertel M, Hauschild S. 1996. Kinetic of IgY formation after immnunisation of hens with differents protein antigen . Altex 13: 18-21.

Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Waholo AS Penerjemah; Soeripto N editor. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Imunology III.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantitites of protein utilizing the principle of protein dye binding. Anal Biochem 72: 248-254.

Carlender D. 2002. Avian IgY antibodi : in vivo and in vitro. Uppsala. Acta Universitatis Upsaliensis.

[CCDR] Canada Communicable Diseases Report. 1997. Salmonella Enteritidis Phage 4 in Ontario. 23(1).

Chang YB. 2000. Prevalence of Salmonella spp. In poultry broiler and shell egg in Korea.J Food Prot 63(5): 655-658.

Clark M. 2007. About Salmonella. [terhubung berkala]. http://www.about-salmonella.com. [1Februari 2007]

(37)

Craven SE, Williams DS. 1997. Inhibition of Salmonella typhimurium attachment to chicken cecal mucus by intestinal isolates of Enterobacteriaceae and Lactobacilli. Avian Dis 4: 548-558

Davalos PL, Ortego VJL, Bastos GD, Hodalgo AR. 2000. Collodial stability of IgY coated latex microspheres. Colloids and surfaces B. Biointerfaces. 20 (2): 165-175.

Doyle, Rosenberg. 1990. Microbial cell surface hidrophobicity. Am.

Soc Microbiol Pp 1-37.

Estuningsih S. 1998. Isolasi dan karekterisasi reseptor hemaglutinin Streptococcus agalaticiae pada permukaan sel epitel ambing sapi perah sebagai landasan pencegahan mastitis. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gast RK, Holt PS. 2000. Deposition of phages type 4 and 13a Salmonella

Enteritidis strains in yolk and albumen of eggs laid by experimentally infected hens. Avian Dis 44: 706-710.

Gast RK. 2003. Salmonella infection. In disease of poultry. Ed ke-10. B. To Calnek. Pp 81-82.

Haak FM. 1994. Why IgY? Chicken policlonal antibody, an appealing alternative. Promega noes magazine.

Hang’ombe BM, Sharma RN, Skjerve E, Tuchili LM. 1999. Occurance of

Salmonella Enteritidis in pooled table eggs and market ready chicken carcasses in Zambia.Avian Dis 43: 597-599.

Harianto. 2004. Penyuluhan penggunaan oralit untuk menanggulangi diare di masyarakat.Majalah Ilmu Kefarmasian 1 (1): 27–33. Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia. [terhubung berkala].

http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2004/v01n01/Harianto010104.pdf. [5 Februari 2007].

Harloe ED, Lane D. 1998. Antibodies : a laboratory manual. Cold spring Harbor laboratory. USA.

Hudson L, Hay FC. 1989. Practical immunology. Ed ke-3. Boston, Melbourne : Blackwell science publications. Oxford London. Edinburgh.

Humprey T. 1998. Important and relevant attributs of Salmonella organism proceeding of international symposium on food borne Salmonella in poultry. Baltimore, Maryland. p: 44-55.

(38)

Kuby J. 1997. Imunology. Ed ke-3. New York W.H. Freeman and Company.

Kusumaningsih A. 2007. Profil dan gen resistensi antimikroba Salmonella

Enteritidis asal ayam, telur dan manusia. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Laemmli U. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature. 227: 680–685.

Larson A, Sjoquist J. 1998. Chicken antibodies : a tool to avoid false positive result by rheumatoid factor in latex fixation test. J Immunol Method

p: 108.

Lay BW, S Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Jakarta. Rajawali Press.

Lay BW. 2000. Bahan ajar ilmu penyakit unggas. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Macario AJL, Macario EC EC. 1985. Monoclonal antibodies againts bacteria.. Academic Press. New York.

Mims CA. 1982. The Pathogenesis of infectious disease. Academic Press London.

Mustopa AZ. 2004. Peran imunoglobulin Y (IgY) sebagai anti adhesi dan opsonin untuk pencegahan serangan Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) K 1.1. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Narat M. 2003. Production of antibodies in chicken. Food Technol Biotechnol

41 (3): 259-267.

Pascual MM, Hugas JL, Baidola, Monfort JM, Gariga M. 1999. Lactobacilus salivartius CTC2197 Prevents Salmonella Enteritidis colonization in chickens. App Environ Microb 65(11): 4981-4986

Polson A, Von WM, Van RM. 1980. Isolation of viral IgY antibodies from yolks of immunized hens. ImmunolCommun 9 (5): 475-493.

Pruimboom IM, Rimler RB, Ackerman MR, Brogden KA. 1996. Capsular hyaluronic acid mediated adhesion of Pasteurella mulcotida to Turkey airsac macrophages. Avian Disease 40: 887-893.

Poernomo S, Bahri. 1997. Salmonella serotyping conducting at Bogor Research.

Rawendra R. 2005. Prospek pengembangan imunoglobulin Yolk (IgY) kering beku sebagai Nutraceutical Food anti Enterophatogenic Eschericia coli

(39)

Riemann H, Himathongkha S, Wiiooughby D, Tarbell R, Breitmeyer R. 1998. A survey for Salmonella by drag swabbing manure piles in Californian egg ranches. Avian Dis 42: 67-72.

Roitt IM, Delvas PJ. 2001. Roitt’s essensial imumunology. London : Balcwell Science.

Rodrique DC, Tauxe RV, Rowe B. 1990. International increase in Salmonella enteritidis: a new pandemic? Epidemiol Infect 105: 21-27.

Saeed AM. 1999. Salmonella enterica serovar Enteritidis in human and animal, epidemiology, pathogenesis and control. Iowa State University Press. Iowa USA.

Schade R, Stack C, Hendriksen C, Erhard M, Hugl H, Koch G, Larsson A, Polmann W, Rogenmortel M Van, Erijke, Spielmann H, Steinbusch H, Straughan D. 1996. The Production of Avian (Egg Yolk) antibodies. IgY

Alternatives to Lboratorium Animal. 24: 925-934.

Schwartz, Lazar M. 1980. Compendium of immunology. New York. Van Nostrand Reihold Company.

Soejoedono RD, Hayati Z, Wibawan IWT. 2005. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis : produksi Yolk Imunoglobulin (IgY) anti plaque dan diare dengan titik berat pada anti Streptococcus mutan, Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis. Laporan RUT XII Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB dengan Kementrian Riset dan Teknologi RI.

Soejoedono RD, Hayati Z, Wibawan IWT. 2006. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis : produksi Yolk Imunoglobulin (IgY) anti plaque dan diare dengan titik berat pada anti Streptococcus mutan, Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis. Laporan RUT XII Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB dengan Kementrian Riset dan Teknologi RI.

Suartha IN. 2006. Karakteristik imunoglobulin Y antitetanus diisolasi dari telur ayam sebagi pengganti antitetanus serum kuda. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Su LH, C. Chiu, T. Wu, J. Chia, A. Kuo, C. Lee, C. Sun, J. Ou. 2002. Molecular epidemiology of Salmonella Enteritidis isolated in Taiwan.

Microbiol Immunol 46(12): 833-840.

(40)

Svendsen BL, Hau J. 1996. Chickens eggs in polyclonal antibody production. Scand J. Lab. Anim Sci 23 (1): 85-91.

Verdoliva A, Basile G, Farnssina G. 2000. Affinity purification of immunoglobulin from chicken egg yolk using a new synthetic ligand. Biopharmaceutich Italy. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/query.fcgi?CMD . [ 2 Februari 2007].

Warr GW, Magor KE, Higgins. 1995. IgY : Clues to the prigins of modern antibodies. Imunology today 16 (8) : 392-398.

Wibawan IWT, Laemmler Ch. 1992. Relationship between group B Streptococcal serotypes and cell surface hidrophobicity. J Vet Med 39: 376-382.

Wibawan IWT, Pasaribu FH. 1993. Peluang pengembangan test koaglutinasi untuk deteksi serotipe Streptococcus agalactiae. Agrotek 1 (2): 43-47.

Wibawan IWT, Pasaribu FH, Utama IH, Abdul Mawjood A, Laemmler Ch. 1999. The role hyaluronic acid capsular material of Streptococcus equi subsp. zooepidemicus in mediating adherence to hela cells and in resisting phagocytosis. Res Vet Sci 67: 131-135.

Zhang W. 2003. The use of gene spesific IgY antibodies for drag target discovery.

Gambar

Gambar 1  Struktur IgG dan IgY (Anonim 2007b). a : IgG, b : IgY.
Tabel 1  Perbandingan IgY dan IgG (Zhang  2003)
Gambar 2  Salmonella Enteritidis (Clark 2007).
Gambar 3  Hasil uji agar gel presipitasi IgY anti S. Enteritidis. 3a : Serum, 3b : Kuning telur
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan yang penulis teliti ialah penggunaan mobile banking (mobile banking yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mobile banking yang hanya dapat digunakan

1 Introduksi Alat Roller Pangsit  Tidakmemilikiala troller pangsit  Penipisan adonan menggunakan roller manual kapasitas 1 kg adonan pangsit per jam  Memiliki 1 alat

Pada contoh numerikyang dibahas dengan model program computer, dapat diketahui bahwa penggunaan base isolator akan memperpanjang waktu getar struktur, sehingga mereduksi

Gambar 5 Blok Simulink Sliding pada sistem kecepatan Perbandingan hasil pengontrolan PID dan S-PID pada model sistem kecepatan dapat dilihat pada gambar 6 dengan

tentang gizi yang kurang baik pada anak sekolah dasar salah satunya.. disebabkan oleh kurangnya pengetahuan gizi

Tujuan pendirian sanggar pusat kebugaran ini adalah sepenuhnya untuk menciptakan manusia yang sehat, bugar dan memiliki bentuk tubuh yang ideal, Isometric Pilates

4.6 Histogram Hasil Uji Organoleptik untuk Penilaian Daya Terima pada Selai Tomat dan Pepaya yang Ditambahkan Gula Pasir

Dari hasil analisis kesalahan-kesalahan Nahwu pada tulisan Bahasa Arab siswa – siswi Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Miftahul Ulum dapat disimpulkan bahwa kesalahan Nahwu