• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Penilaian Vegetasi Sebagai Indikator Proses Degradasi di Daerah Karst Pegunungan Kendeng Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Penilaian Vegetasi Sebagai Indikator Proses Degradasi di Daerah Karst Pegunungan Kendeng Utara"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK PENILAIAN

INDEKS VEGETASI SEBAGAI INDIKATOR

PROSES DEGRADASI DI DAERAH KARST

PEGUNUNGAN KENDENG UTARA

ARDIYA YUSTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Penilaian Indeks Vegetasi Sebagai Indikator Proses Degradasi di Daerah Karst Pegunungan Kendeng Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ARDIYA YUSTIKA. Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Penilaian Indeks Vegetasi Sebagai Indikator Proses Degradasi di Daerah Karst Pegunungan Kendeng Utara. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Daerah karst merupakan wilayah yang umumnya mempunyai produktivitas pertanian yang rendah karena memiliki tanah yang kurang subur. Pemanfaatan lahan yang intensif seperti yang tampak di daerah karst Pegunungan Kendeng Utara dapat menyebabkan daerah karst ini terancam oleh proses degradasi atau proses penggurunan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan penggunaan lahan, menilai tingkat degradasi lahan, menilai indeks vegetasi, menganalisis morfometri permukaan lahan, dan menilai faktor dominan penyebab degradasi lahan. Metode interpretasi citra Landsat 8 secara visual digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan, sedangkan metode scoring dan interpolasi digunakan untuk memetakan tingkat degradasi lahan. Parameter yang digunakan adalah kualitas vegetasi, tingkat deforestasi, persentase batuan permukaan, dan tingkat pengelolaan lahan. Untuk penilaian indeks vegetasi digunakan metode EVI, SAVI, II, TRVI, NDVI melalui perangkat lunak ENVI 4.5, sedangkan untuk analisis morfometri digunakan perangkat lunak SAGA dengan parameter yang dinilai meliputi kemiringan dan kelengkungan lereng serta indeks kekasaran permukaan. Adapun analisis pohon keputusan digunakan untuk melihat variabel dominan penyebab area terdegradasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lahan terdiri atas hutan (12.80%), kebun campuran (12.86%), pemukiman (4.66%), tambang (0.13%), dan tegalan (70.28%). Tegalan merupakan penggunaan yang paling dominan dan sebagian besar ditanami jagung. Berdasarkan 71 titik sampel yang diperoleh, didapatkan bahwa area terdegradasi relatif lebih dominan di wilayah pegunungan bagian barat daripada di bagian timur. Dari hasil penilaian indeks vegetasi, TRVI terpilih sebagai metode terbaik untuk menduga area terdegradasi dengan nilai rata-rata indeks paling tinggi (0.2). Kelebihan indeks ini ditunjukkan oleh tingkat kejelasan warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Dari hubungan morfometri permukaan lahan dengan kelas degradasi lahan didapatkan bahwa daerah

terdegradasi berada pada kemiringan lereng rendah, bertopografi cekung, dan tidak kasar, sedangkan untuk daerah tidak terdegradasi berada pada kemiringan lereng

tinggi, bertopografi cembung, dan kasar. Dalam analisis pohon keputusan

didapatkan bahwa TRVI selalu berada pada node utama, adapun untuk akurasi TRVI dikombinasikan dengan morfometri diperoleh kemiringan lereng berada pada node kedua. Dengan kata lain TRVI dan kemiringan lereng merupakan faktor yang berpengaruh untuk menduga degradasi di area karst dan tingkat akurasi yang diperoleh untuk daerah penelitian mencapai 94.00%.

(5)

ABSTRACT

ARDIYA YUSTIKA. The Use of Landsat 8 Imagery for Vegetation Index Assesment as Indicator for Degradation Processes in North Kendeng Karst Mountains. Supervised by BOEDI TJAHJONO and BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.

Karst area is generally has low agricultural productivity due to having poor soil. Intensive land use occured in the karst region of North Kendeng Mountains can be a threat for land degradation process or desertification in this region. The purpose of this study was to map land use, to assess land degradation by field, to assess vegetation index, to analyze land surface morphometry, and to assess dominant factor causing land degradation. Landsat 8 imagery was interpreted visually for producing land use map, while scoring and interpolation methods were used to assess land degradation degree. Several parameters for assessing it were the quality of vegetation, the rate of deforestation, the percentage of surface rocks, and the level of land management. The method of EVI, SAVI, II, TRVI, and NDVI were used for assessing the vegetation index through ENVI 4.5 software, whereas by SAGA software land surface morphometric has been analyzed, comprising slope steepnes, slope curvature, and surface roughness index. The decision tree analysis used for finding the dominant factor causing the land degradation. The results showed that the land use existing in the study area consists of forest (12.80%), mixed gardens (12.86%), settlement (4.66%), quary (0.13%), and dryland agriculture or tegalan (70.28%). The most dominant crop of tegalan was corn. Based on 71 sample points obtained, it indicated that the land degradation were dominantly taken place in western part of North Kendeng Mountain than the eastern part. According to the vegetation index, TRVI showed the best result for indicating the degraded land as shown of its high average value (0.2) and TRVI also exhibit better contrast color than others. The relationship between land surface morphometry and land degradation showed that the degraded land area was characterized by lower slope steepnes and have concave and not rude topography, otherwise the undegraded land were characterized by high slope steepnes and have convex and rude topography. According to decision tree analysis, TRVI was always on the primary node, while for combination of TRVI and morphometry showed that slope is in the second node. It indicates that TRVI and slope steepnes could be used for indicator for estimating land degradation in karst area. For study area its accuracy reaches 94.00%.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

ARDIYA YUSTIKA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK PENILAIAN

INDEKS VEGETASI SEBAGAI INDIKATOR

(8)
(9)

Judul Skripsi: Pemanfaatan Citra Landsat 8 Untuk Penilaian Vegetasi Sebagai

Indikator Proses Degradasi di Daerah Karst Pegunungan Kendeng Utara

Nama NIM

: Ardiya Yustika : A141 00083

Dr Boedi MSc

Pembimbing I

Disetujui oleh

Ir Hendro MSc

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya skipsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Studi Strata Satu (S1) di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc dan Ir. Bambang Hendro Trisasongko, M.sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada warga pegunungan Kendeng Utara yang banyak membantu dalam pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan untuk bapak, ibu, adik, dan semua keluarga atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran.

2. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan FAPERTA IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

3. Teman-teman dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan angkatan 47 yang telah memberi bantuan dan dukungan kepada penulis.

Penulis berharap semoga segala kebaikan semua pihak yang telah membantu mendapatkan balasan dari Allah Subhanahu Wata'ala. Akhir kata semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu kedepannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

METODE ... 5

Bahan ... 5

Alat ... 6

Metode Penelitian ... 6

Kondisi Wilayah Daerah Penelitian ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

I. Peta Penggunaan Lahan ... 16

II. Degradasi Lahan... 19

III. Indeks Vegetasi ... 20

IV. Hubungan Indeks Vegetasi dengan Tingkat Degradasi ... 22

V. Kondisi Morfometri Permukaan ... 28

VI. Akurasi ... 31

SIMPULAN DAN SARAN ... 33

Simpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 33

LAMPIRAN ... 35

(12)

DAFTAR TABEL

1 Data sekunder penelitian ... 6

2 Perangkat lunak untuk penelitian ... 6

3 Skor deforestasi ... 8

4 Skor batuan permukaan ... 8

5 Skor tipe vegetasi terhadap resiko kebakaran dan perlindungan terhadap erosi ... 8

6 Skor kerapatan vegetasi ... 9

7 Skor pengelolaan tanah ... 9

8 Rumus indeks vegetasi ... 11

9 Persebaran penggunaan lahan karst ... 16

10 Hasil statistik keterpisahan indeks vegetasi dengan kelas degradasi . 23 11 Hasil statistik sebaran data indeks vegetasi ... 24

12 Nilai korelasi antara morfometri permukaan lahan dengan degradasi ... 30

13 Data validasi ... 32

14 Akurasi per-kelas validasi ... 32

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian ... 5

2 Pengambilan foto batuan ... 7

3 Diagram perhitungan skor akhir ... 9

4 Ilustrasi teknik IDW ... 10

5 Diagram alir penelitian ... 14

6 Bentuklahan pegunungan karst kendeng utara ... 15

7 Peta penggunaan lahan di daerah penelitian ... 16

8 Foto penggunaan lahan ... 18

9 Peta persebaran tingkat degradasi lahan yang disajikan dengan metode interpolasi di daerah penelitian ... 19

10 Karakteristik band citra Landsat 8 ... 20

11 Kurva karakteristik reflektan dari objek tanah, air, vegetasi serta posisi band spektral ... 21

12 Sebaran statistik indeks vegetasi ... 21

13 Hubungan kelas degradasi (garis merah) dengan indeks vegetasi (a) EVI (b) SAVI (c) II (d) TRVI (e) NDVI ... 26

14 Grafik hubungan antara indeks vegetasi (TRVI) dengan kelas degradasi ... 27

15 Peta kelengkungan lereng ... 29

16 Peta kemiringan lereng ... 29

17 Peta indeks kekasaran permukaan ... 30

18 Pohon keputusan data validasi variabel TRVI dan terrain ... 31

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Kerentanan Penggurunan di Indonesia ... 35

2 Kelas degradasi ... 36

3 Nilai TRVI ... 39

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penggurunan merupakan proses lanjutan dari kerusakan lahan. Penyebab utama dari kerusakan lahan adalah deforestasi atau eksploitasi lahan yang berlebihan baik di bidang pertanian, pertambangan, atau pun yang lainnya. Kerusakan lahan merupakan persoalan kompleks karena melibatkan permasalahan spasial, temporal, sosial, ekonomi, iklim dan tanah, sehingga merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji (Warren 2002). Oleh sebab itu, untuk menduga besarnya potensi penggurunan di suatu wilayah dapat dilakukan melalui pendekatan analisis degradasi lahan.

Berdasarkan publikasi United States Departement of Agriculture (USDA 1998) dalam peta Desertification Vurnerability, disebutkan bahwa ancaman penggurunan telah terjadi di beberapa negara. Menurut United Nation Convention To Combat Desertification (UNCCD 1994) negara-negara yang berpotensi mengalami penggurunan dapat ditemukan di wilayah-wilayah yang memiliki kondisi alam yang beriklim semi kering hingga kering, seperti di wilayah-wilayah bagian Afrika. Namun demikian, Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori mengalami proses penggurunan. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah daerah yang berpotensi mengalami penggurunan hanya sebagian kecil, sedangkan di Jawa Timur potensi proses penggurunan agak merata di seluruh daerah (Gambar Lampiran 1). Berdasarkan gambar tersebut, Pulau Jawa masih dalam kategori rendah hingga sedang untuk mengalami proses penggurunan, sehingga menurut kategori tersebut Pulau Jawa masih tergolong aman. Namun demikian potensi penggurunan yang rendah tersebut dapat meningkat jika kondisi lingkungan tidak dikelola dengan baik.

(14)

2

Perumusan Masalah

Ancaman penggurunan di daerah karst di Pegunungan Kendeng Utara Jawa Tengah cukup dirasakan akhir-akhir ini, antara lain oleh adanya proses eksploitasi lahan karst oleh para penambang kapur yang dilakukan secara ilegal. Meskipun skalanya mungkin masih kecil, namun gejala tersebut tampak tidak mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, terutama dari sisi fungsi lahan karst dalam ekosistem, sehingga perlu mendapat perhatian oleh pihak pemerintah agar tidak terjadi perkembangan lebih lanjut. Selain itu proses alih fungsi lahan atau konversi lahan juga cukup dirasakan terutama pada lahan hutan menjadi lahan bukan hutan yang juga mengancam proses degradasi lahan maupun kelestarian ekosistem. Penelitian terhadap proses penggurunan di daerah karst juga tergolong sangat jarang dilakukan, oleh karenanya penelitian ini diharapkan ikut memperkaya khasanah ilmu dan pembelajaran dalam ilmu lingkungan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di daerah karst Pegunungan Kendeng Utara bertujuan untuk melakukan:

1. Pemetaan penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat 8. 2. Penilaian kelas degradasi lahan melalui pengumpulan data primer. 3. Penilaian indeks vegetasi sebagai proxy atau penduga degradasi lahan.

4. Penilaian morfometri bentuklahan dan menilai faktor dominan penyebab degradasi lahan.

Manfaat Penelitian

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Indeks vegetasi

Jensen (2000) menyebutkan bahwa indeks vegetasi bersifat memaksimalkan sensitifitas parameter biofisik yang ditandai dengan adanya respon yang linear. Hal ini berarti sensitifitas biofisik dapat diketahui dari berbagai kondisi vegetasi, nilai validasi, dan indeks kalibarasi. Dalam penelitian Frank dan Karn (2003) menunjukkan bahwa ekstrak indeks vegetasi dari data penginderaan jauh memiliki korelasi yang tinggi terhadap biomassa dan hijau daun yang menutupi. Metode ini sangat berguna terutama untuk perhitungan biomassa dalam skala besar, estimasi penutupan jangka panjang, dan evaluasi perubahan tutupan.

Ratio Vegetation Index (RVI) merupakan rumus indeks vegetasi pertama sehingga bentuk rumus RVI masih sederhana. Model ini mempunyai kelemahan karena nilai yang dihasilkan berupa garis grafik yang tidak menyebar normal. Oleh karena itu, muncul metode lain yaitu Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI) yang menggunakan akar kuadrat yang membuat garis grafik meyebar normal. Namun kelemahan masih ada pada keduanya, karena ada data pembaginya bernilai nol (Eastmen 2003).

Normalized Diferrence Vegetation Index (NDVI) diperkenalkan oleh Rouse et al. tahun 1974 untuk menghasilkan spektral indeks vegetasi untuk memisahkan vegetasi hijau dari kecerahan tanah. NDVI paling umum digunakan karena mempertahankan kemampuan untuk meminimalkan efek topografi dan pembagian dengan nol mengurangi kesalahan (error). Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) merupakan metode lain yang berkembang sebagai hasil modifikasi dari NDVI. Dalam SAVI dimasukkan unsur L (koefisien tanah) yang bervariasi sesuai dengan karakteristik reflektan tanah (misal cerah), namun menurut Eastman (2003) faktor L yang dipilih tergantung kepada kepadatan suatu vegetasi yang ingin dianalisis. Vegetasi dengan kerapatan yang rendah digunakan faktor L bernilai 1.0, untuk kriteria vegetasi tidak jarang dan tidak rapat (intermediate) bernilai 0.5, dan vegetasi yang rapat bernilai 0.25. Jika memasukkan nilai L = 0, maka rumus SAVI akan sama dengan rumus NDVI. Oleh karena itu rumus SAVI yang bersifat menambahkan faktor tanah, hanya mengekstrak nilai vegetasi.

Morfometeri Permukaan

(16)

4

Index (TRI) adalah ukuran yang dikembangkan oleh Riley et al (1999) yang merumuskan suatu jumlah perbedaan ketinggian antar pixel-pixel yang berdekatan. Dalam hal ini meningkatnya nilai TRI mencerminkan peningkatan kekasaran permukaan. Secara teoritis, nilai indeks kekasaran permukaan berkisar dari 1.0 (sangat datar) hingga lebih dari 800 (89° piksel kemiringan) (Stambaugh & Guyette 2007) tergantung pada luas area yang diinginkan dan perangkat lunak yang digunakan. Nilai indeks kekasaran bisa diperoleh dari analisis data DEM, namun nilai ketinggian di dalam DEM dapat berubah-ubah jika perubahan resolusi DEM dilakukan.

Pohon Keputusan

Decision Tree (pohon keputusan) adalah salah satu metode klasifikasi yang menggambarkan konstruksi pohon keputusan. Metode ini terdiri dari node keputusan yang dihubungkan dengan cabang, dari simpul akar dan berakhir di node daun (leaf node) (Larose 2005).

(17)

5

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 hingga bulan Januari 2015. Wilayah studi berada di sebagian kawasan karst Kendeng Utara yang secara administratif tercakup dalam tiga kabupaten yakni Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Blora seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini. Luas wilayah daerah penelitian meliputi 418.85 km2 dan secara geografis terletak pada 110o 475” – 110o1836Bujur Timur dan 6o51’47” – 7o048 Lintang Selatan. Analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari kerja lapang dan data sekunder yang macamnya seperti tertera dalam Tabel 1.

(18)

6

Tabel 1 Data sekunder penelitian

No Nama Bahan Skala

1 Peta Administrasi Kabupaten di Indonesia 1:250.000 2 Peta Geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur 1:100.000 3 Peta Landsystem Jawa Tengah dan Jawa Timur 1:250.000 4 Citra Landsat 8 tahun 2013 wilayah Jawa Tengah dan

Jawa Timur

5 Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Kudus

1:25.000

Alat

Alat yang digunakan untuk mengolah data berupa seperangkat komputer dengan jumlah perangkat lunak seperti tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Perangkat lunak untuk penelitian

Perangkat lunak Fungsi

ArcGis 9.3 Digitasi, query landform

ArcView 3.3 Koreksi geometri, digitasi, query batuan

Envi 4.5 Indeks Vegetasi, RoI (Region of Interest), nilai statistik pada titik RoI, membuat DEM

Saga Membuat morfometri permukaan (terrain)

Microsoft Office Excel 2013 Pengolahan nilai statistik, memasukkan data Microsoft Visio 2007 Membuat diagram

Statistica-7 Membuat grafik

Tanagra 14 Membuat pohon keputusan

Global Mapper 13 Mengolah data raster DEM

Alat yang digunakan untuk pengecekan lapang berupa GPS, klinometer, kompas, kamera, tali, milimeter blok, dan besi cor.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan secara bertahap seperti uraian berikut ini:

(19)

7

1. Pemetaan penggunaan lahan dari citra Landsat 8.

Pemetaan penggunaan lahan dilakukan dengan citra Landsat 8 tahun 2013. Sebelum diolah, pada citra dilakukan terlebih dahulu penggabungan (fusi) antara band multispektral resolusi rendah (30 meter) dengan band pankromatik yang beresolusi tinggi (15 meter). Tujuan penggabungan adalah untuk mempertajam gambar. Penajaman citra kemudian dilakukan dengan teknik HSV (Hue Saturation Value) yang diolah dengan perangkat lunak Envi 4.5. Teknik HSV dipilih karena dianggap menghasilkan warna yang lebih jelas, sehingga hasilnya dapat memperlihatkan batas-batas dari tiap tutupan dengan jelas. Intepretasi terhadap penggunaan lahan secara visual dilakukan dengan acuan 7 kunci intepretasi. Adapun unsur dasar dari intepretasi yang digunakan untuk intepretasi visual, meliputi warna/rona, ukuran, bayangan, situs, pola, tekstur, dan asosiasi.

2. Penilaian kelas degradasi dengan data primer.

a. Metode penentuan pengambilan sampel lapangan dilakukan dengan menggunakan sampel acak namun menyebar merata (random sampling) per-bentuklahan yang berjumlah 71 yang tersebar mewakili setiap daerah penelitian. Peta bentuklahan dapat dilihat pada Gambar 6 sedangkan parameter vegetasi dari hasil kerja lapang yang digunakan adalah untuk menilai kelas degradasi

b. Kriteria yang digunakan untuk pengkelasan degradasi meliputi deforestasi, batuan permukaan, kualitas vegetasi, dan pengelolaan tanah.

 Dasar penilaian kelas deforestasi di lapangan didasarkan pada kenyataan bahwa lahan tersebut telah terkonversi atau belum, yaitu dari hutan ke penggunaan lahan bukan hutan. seperti lahan pertanian, peternakan, pemukiman, dan lainnya. Metode penilaian deforestasi dapat dilihat pada Tabel 3.

 Untuk jumlah batuan permukaan dihitung dengan cara mengambil sampel pada area dengan luas 1m2 sebanyak 2 petak dalam 1 titik pengamatan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

(20)

8

Hasil pengambilan sampel selanjutnya diolah dengan perangkat lunak ArcView Gis 3.3 dan ditentukan persentase batuan permukaan.

 Untuk kualitas vegetasi didasarkan pada aspek resiko kebakaran dan perlindungan terhadap erosi, serta kerapatan vegetasi.

 Untuk pengelolaan tanah, dasar penilaiannya adalah pada tingkat intensifitas pengelolaan tanah.

Metode analisis yang digunakan untuk penilaian kelas degradasi lahan adalah dengan metode scorring seperti disajikan pada Tabel 3 sampai Tabel 7.

Tabel 3 Skor deforestasi

Tabel 4 Skor batuan permukaan

Sumber: Salvati et al. 2013

Tabel 5 Skor tipe vegetasi terhadap resiko kebakaran dan perlindungan terhadap erosi

Sumber: Salvati et al. 2013 *dengan modifikasi

Variabel Nilai Kelas Skor

Hutan tahan hujau; kebun 1

Hutan dan semak belukar 1.3

Hutan yang berganti daun; jagung 1.6 Anggur; tanaman tahunan (sereal, jagung,

beras) area vegetasi rendah; lahan gundul 2

Perlindungan Terhadap Erosi

Semak; hutan tahan hijau; kebun 1 Hutan berganti daun bersemak 1.3 Hutan berganti daun dan jagung 1.6

Hutan berganti daun 1.8

Anggur; tanaman tahunan (sereal, jagung,

(21)

9 Tabel 6 Skor kerapatan vegetasi

Sumber: Departemen Kehutanan 2003 dalam Firdaus et al. 2013 *dengan modifikasi

Tabel 7 Skor pengelolaan tanah

Variabel Kelas* Skor

Pengelolan tanah

Hasil utama tergantung kesuburan tanah dan kondisi lingkungan yang masih alami. Dalam kondisi tanaman tahunan, satu tanaman per tahun atau lahan belum ditanami.

1 Varietas yang digunakan terbatas. Tidak cukup kesuburan alami, mulai diperlukan pengolahan lahan. Contohnya terjadi pada lereng curam, seperti pembuatan terasering.

1.5 Varietas yang digunakan mulai beragam. Diperlukan

pengolahan lahan yang intensif. Contohnya terjadi pada topografi datar (flat).

2

Sumber: Salvati et al. 2013 *dengan modifikasi

Dari hasil penetapan skor selanjutnya dilakukan analisis bertahap, yaitu pertama dilakukan pengkelasan antar skor resiko kebakaran dengan perlindungan terhadap erosi (Tabel 5) untuk menghasilkan tipe vegetasi. Selanjutnya, hasil dari penilaian tipe vegetasi dikalikan dengan kelas kerapatan vegetasi (Tabel 6) untuk menghasilkan kualitas vegetasi. Dari tahap ini untuk menghasilkan kelas degradasi lahan, maka dilakukan perkalian skor dari masing-masing parameter, yaitu skor deforestasi, batuan permukaan, kulaitas vegetasi dan pengelolaan tanah. Sistem penilaian ini secara diagramatis disajikan pada Gambar 3 di atas. Adapun secara matematis, penilaian tingkat degradasi lahan didasarkan pada perhitungan dengan rumus sebagai berikut (Salvati et al. 2013):

� � � � = � � �� /

Keterangan:

Def: deforestasi KV: kualitas vegetasi BP: batuan permukaan PL: pengelolaan tanah

Variabel Nilai Kelas Skor*

NDVI

0.42 – 1.00 Tinggi 1

0.33 – 0.42 Sedang 1.5

-1.00 – 0.32 Jarang 2

(22)

10

c. Penentuan area daerah sekitar kelas degradasi.

Untuk mendapatkan gambaran persebaran spasial dari kelas degradasi lahan di daerah penelitian, maka dari 71 titik sampel yang telah dianalisis selanjutnya dilakukan proses interpolasi dengan metode Inverse Distance Weighting (IDW). Pendekatan IDW adalah salah satu teknik interpolasi yang menghitung rata-rata berat jarak antar titik sampel yang berketetanggaan (Burrough 1998 dalam Arun 2013). Berikut ilutrasi interpolasi teknik IDW yang menentukan nilai radius 12 titik dari titik di sekitarnya (Gambar 4).

Titik hitam yang berada disekeliling titik merah merupakan titik yang telah diketahui nilainya untuk mendapatkan nilai titik merah. Dengan mempertimbangkan jarak terdekat tetangga yang berjumlah 12 titik.

3. Indeks vegetasi

a. Sebelum mengolah indeks vegetasi yang berhubungan dengan data DN (Digital Number) maka dilakukan koreksi radiometrik. Adapun rumus yang digunakan untuk mengkoreksi radiometrik diambil dari USGS (2014).

��′=

� �+ �

��′=TOA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari. �= 0.00002, (REFLECTANCE_MULT_BAND_p, di mana p

adalah nomor Band)

�= -0.1, (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, di mana p adalah nomor Band)

�= Nilai digital number (DN)

b. Sebelum memahami penggunaan band yang digunakan dalam rumus indeks vegetasi, maka perlu memahami terlebih dahulu karakteristik band citra Landsat 8. Untuk itu pada citra Landsat 8 diambil sampel pada setiap tutupan kemudian dikombinasikan band satu dengan antara band lainnya. Dari kombinasi tersebut didapatkan 2 nilai untuk mengetahui hubungan antar band dan ciri tiap band terhadap tutupan lahan.

Gambar 4 Ilustrasi teknik IDW

Jarak

(23)

11 c. Persamaan yang digunakan dalam tahap akhir perhitungan indeks

vegetasi ini disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rumus indeks vegetasi

Indeks Vegetasi Rumus Acuan

Infrared Index (II) berkembang, namun penelitian ini hanya menggunakan 5 indeks vegetasi karena kelima indeks tersebut yang paling umum ditelaah, yaitu Infrared Index (II), Enhanced Vegetation Index (EVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Transformed Ratio Vegetation Index (TRVI), dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Rumus-rumus di atas diolah dengan menggunakan perangkat lunak Envi 4.5 Untuk metode Infrared Index dilakukan sedikit modifikasi terhadap band yang digunakan, yaitu untuk band NIRTM4 (0.77-0.99µ) diganti dengan band 5 NIR (0.85-0.88µ) dari Landsat 8, adapun band MidIRTM5 (1.55-1.75µ) diganti dengan band 6-SWIR (1.57-1.65µ) Landsat 8. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian ini tidak menggunakan citra Landsat TM dan di antara dua band yang bersangkutan memiliki panjang gelombang yang mirip.

(24)

12

4. Morfometri permukaan lahan (terrain)

Ukuran yang berhubungan dengan karakteristik topografi disebut morfometri yang disajikan dalam bentuk data raster DEM (Digital Elevation Model). DEM merupakan suatu susunan gambaran pixel-pixel dengan nilai ketinggian yang berhubungan dengan pixel lainnya. Data DEM dibangun dari data kontur Rupa Bumi Indonesia (RBI) digital skala 25.000 yang diolah dengan perangkat lunak ENVI 4.5. Selanjutnya digunakan metode B-Spline Interpolation yang diolah dengan perangkat lunak SAGA untuk memperhalus bentuk DEM. Metode B-spline berkonsep menjaga kelengkungan minimum agar pergerakan nilai sampelnya tetap kontinyu bersamaan dengan perubahan kemiringan lereng. Parameter penilaian morfometri permukaan meliputi kemiringan lereng (slope), kelengkungan lereng (curvature), dan indeks kekasaran permukaan atau TRI (Topography Roughness Index). Untuk melihat hubungan morfometri permukaan dengan kelas degradasi, maka dilakukan perhitungan korelasi dari data kelas degradasi dengan perangkat lunak Microsoft Excel.

5. Akurasi kelas

Teknik analisis yang dipilih untuk menyatakan hubungan semua nilai variabel dengan kelas degradasi dan kelas tidak terdegradasi adalah analisis pohon keputusan (decision tree). Teknik pohon keputusan yang dipakai dalam penelitian ini adalah algoritma C4.5. Metode ini secara rekursif (mencari beberapa kemungkinan untuk memperoleh nilai pasti) mengunjungi tiap simpul keputusan dan memilih percabangan optimal, sampai tidak ada lagi cabang yang mungkin dihasilkan (Larose 2005). Akurasi pengkelasan kelas degradasi diambil dari data validasi (25% dari masing-masing kelas) yang dibandingkan dengan data aktual yang kemudian menghasilkan prediksi model pohon keputusan.

Secara utuh kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5 mulai dari tahap persiapan sampai analisis akhir.

Kondisi Wilayah Daerah Penelitian

Kawasan karst Kendeng Utara terbentang meliputi tiga kabupaten yakni Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Blora di Provinsi Jawa Tengah. Kesatuan rangkaian pegunungan dapat dilihat dalam hasil pemetaan bentuklahan daerah karst pegunungan Kendeng Utara (Gambar 6). Secara geomorfologis pegunungan barat terdiri dari kompleks perbukitan antiklinal, hogback, dan lembah homoklinal. Demikian pula di pegunungan timur, yang terdiri dari kompleks perbukitan antiklinal, hogback, dan lembah homoklinal, sedangkan yang membatasi antara kedua pegunungan tersebut adalah berupa lembah sinklinal.

(25)

13 hogback atau punggung bukit memanjang yang masih bertahan dari proses denudasi.

(26)

Gambar 5 Diagram alir penelitian

(27)

15

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Peta Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 8 tahun 2013 secara visual dan cek lapangan didapatkan bahwa penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dipilahkan menjadi 5 jenis, yaitu hutan, kebun campuran, pemukiman, tambang, dan tegalan. Luas dari masing-masing jenis penggunaan lahan disajikan pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasial disajikan pada Gambar 7.

Tabel 9 Persebaran penggunaan lahan karst

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa luas penggunaan lahan terbesar adalah tegalan (70.28%), disusul oleh kebun campuran dan hutan berturut-turut 12.86% dan 12.08%. Untuk pemukiman hanya mencapai 4.66%, sedangkan tambang lebih kecil lagi sebesar 0.13. Luas permukiman meskipun sebesar 4.66% namun

Penggunaan lahan Luas (km2) %Luas

Hutan 50.58 12.08

Kebun campuran 53.86 12.86

Permukiman 19.51 4.66

Tambang 0.53 0.13

Tegalan 294.38 70.28

total 418.85 100

(29)
(30)

18

(31)

II. Degradasi Lahan

Kelas degradasi lahan dibedakan menjadi dua, yaitu lahan terdegradasi dan tidak terdegradasi. Hasil analisis data dapat dilihat pada Lampiran 2 yang menunjukkan bahwa 55 titik terkelaskan sebagai lahan terdegradasi dan 16 titik tidak terdegradasi. Titik-titik hasil pengecekan lapang yang telah dikelaskan digunakan untuk mengetahui data sekitar titik yang belum mempunyai nilai melalui metode interpolasi (IDW). Gambar hasil interpolasi yang menggambarkan daerah terdegradasi atau yang berpotensi mengalami penggurunan disajikan pada Gambar 9.

Jumlah titik yang dikelaskan sebagai daerah terdegradasi lebih banyak dibandingkan dengan daerah tidak terdegradasi. Rentang skor akhir yang diperoleh berkisar dari angka 1.10 sampai 1.79 dimana semakin tinggi skor memperlihatkan semakin terdegradasi (Gambar 9). Warna hijau hingga kekuningan termasuk dalam kategori nilai yang rendah, artinya daerah yang tidak terdegradasi berada pada rentang nilai 1.10 hingga 1.48. Warna merah muda hingga putih memiliki nilai yang tinggi, artinya daerah terdegradasi berada pada rentang nilai 1.49 hingga 1.79. Secara spasial daerah yang memiliki kelas tidak terdegradasi banyak terletak di pegunungan sebelah timur, sedangkan daerah terdegradasi sebagian besar menyebar di pegunungan sebelah barat, meskipun ada sebagian yang berada di pegunungan sebelah timur.

Gambar 9 Peta persebaran tingkat degradasi lahan yang disajikan dengan metode interpolasi di daerah penelitian

(32)

20

III. Indeks Vegetasi

Jenis vegetasi terdiri dari berbagai macam, namun secara umum dipilah menjadi dua, yaitu vegetasi berkayu dan tidak berkayu. Setiap jenis mempunyai sifat yang berbeda dalam memantulkan cahaya, sehingga pada data penginderaan jauh keduanya dapat dibedakan pada band-band tertentu. Gambar 10 merupakan gambar yang menjelaskan hubungan reflektan antara beberapa band dari Landsat 8.

Gambar 10 merupakan kombinasi reflektan antar band yang menunjukkan keterpisahan antar tutupan lahan. Gambar 10 (a) menunjukkan kombinasi band 5-NIR dengan band 4 Red. Untuk band 5 (panjang gelombang 0.85-0.88) berfungsi meningkatkan nilai spektral vegetasi berkayu. Menurut USGS (2014) band ini lebih menekankan pada nilai biomassa vegetasi yang tinggi. Adapun band 4-Red (panjang gelombang 0.64-0.67) memiliki nilai reflektan lebih tinggi pada vegetasi tidak berkayu. Tanaman tidak berkayu memiliki kerapatan tajuk yang jarang, sehingga akan meningkatkan sumbangan komponen yang terdapat di bawah tanaman tersebut seperti tanah, air, dan tanaman lain atau bayangan. Dengan kata lain, band 4 mengidentifikasi jenis tanaman buatan manusia. Seperti ditunjukkan pada Gambar 11 bahwa band 4 memiliki reflektan tanah lebih tinggi dibandingkan dengan reflektan vegetasi.

Pada Gambar 10 (b) menunjukkan kombinasi antara band 6-SWIR (Short Wave Infra Red) dengan band 2 Blue. Dalam hal ini band 6 mempunyai panjang gelombang 1.57-1.65 dan band 2-Blue mempunyai panjang gelombang 0.45 – 0.51. Band 6 menghasilkan nilai reflektan vegetasi tidak berkayu yang tinggi, dan nilainya lebih besar daripada band 4, sedangkan band 2 memiliki nilai reflektan yang tinggi pada objek tubuh air.

0

Gambar 10 Karakteristik band citra Landsat 8

(33)

21

Sumber: Lillesand et al. 1979

Hasil analisis indeks vegetasi dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 12 berupa gambar pola grafik garis indeks vegetasi EVI (Enhancend Vegetation Index), SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index), II (Infrared Index), TRVI (Transformed Ratio Vegetation Index), dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) per-titik sampel.

EVI SAVI II TRVI NDVI

-0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0 2,2 2,4

Median 25%-75% Non-Outlier Range Outliers Extremes

Gambar 12 Sebaran statistik indeks vegetasi

(34)

22

Berdasarkan Gambar 12 terlihat sedikit perbedaan sebaran nilai yang telihat antar kelima indeks vegetasi berdasarkan boxplot median. Kelima indeks vegetasi menunjukkan nilai yang tidak simetris, hal ini dapat dilihat dari pencilan (outliers) di bagian atas boxplot pada masing-masing indeks vegetasi. Untuk nilai EVI dan TRVI pada grafik tampak disertai dengan whisker atau kaki boxplot bagian atas yang lebih panjang daripada yang kaki bawah, artinya kurang mengikuti sebaran normal dan mrnjulur ke suatu sisi tertentu. Gambar boxplot indeks vegetasi EVI dan SAVI berkedudukan sejajar yang artinya mempunyai sebaran normal.

IV. Hubungan Indeks Vegetasi dengan Tingkat Degradasi

(35)

23 Tabel 10 Hasil statistik keterpisahan indeks vegetasi dengan kelas degradasi

(36)

24

Tabel 11 Hasil statistik sebaran data indeks vegetasi Grafik nilai tengah (median)

Median Non-Outlier Range

Terdegradasi Tidak Terdegradasi

Median Non-Outlier Range

II TRVI

Median Non-Outlier Range

Terdegradasi Tidak Terdegradasi

Median Non-Outlier Range

NDVI

(37)

25 Nilai indeks vegetasi EVI, SAVI, II, TRVI, dan NDVI pada grafik mean (rata-rata) menunjukkan keterpisahan yang jelas antar indeks vegetasi terhadap kelas degradasi. Keterpisahan ini memiliki selisih rata-rata antara kelas tidak terdegradasi dan terdegradasi pada EVI, SAVI, II, TRVI, dan NDVI berturut-turut adalah 0.07, 0.06, 0.09, 0.2 dan 0.09. Dari angka-angka tersebut nilai yang tinggi menunjukkan kejelasan warna yang tinggi, sehingga kontras yang tinggi akan mempermudah dalam melihat kondisi vegetasi di area karst yang terdegradasi.

Untuk melihat sebaran data antara indeks vegetasi dengan kelas degradasi di daerah penelitian disajikan pada hasil statistik median Tabel 11. Pada tabel tersebut terutama untuk indeks vegetasi EVI, SAVI, dan II terlihat bahwa rentang nilai untuk kelas tidak terdegradasi masuk dalam kelas terdegradasi, artinya bahwa antara kedua kondisi ini sulit untuk dibedakan, sedangkan untuk indeks vegetasi TRVI dan NDVI perbedaan sebaran nilai masih terlihat kelas tidak terdegradasi dengan kelas terdegradasi. Sebaran nilai area tidak terdegradasi sedikit lebih besar dibandingkan dengan area terdegradasi. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kelas tidak terdegradasi memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas terdegradasi karena memiliki nilai kerapatan vegetasi yang lebih tinggi.

(38)

26

Gambar 13 Hubungan kelas degradasi (garis merah) dengan indeks vegetasi (a) EVI (b) SAVI (c) II (d) TRVI (e) NDVI

a

b

c

d

(39)

27

Gambar 14 Grafik hubungan antara indeks vegetasi (TRVI) dengan kelas degradasi

Indeks vegetasi berdasarkan kerja lapang dipilah menjadi tiga yaitu rendah (ditanami oleh tanaman pertanian), sedang (ditanami oleh tanaman pertanian yang dinaungi oleh pohon berkayu), dan rapat (hutan). Kondisi lapang tersebut kemudian disesuaikan dengan nilai TRVI (Lampiran 3), dan didapatkan rentang nilai 0.7813

– 1.6182 kelas rendah, untuk 1.6183 – 1.9079 untuk kelas sedang, dan 1.980 – 3.0178 untuk kelas rapat. Grafik boxplot di atas (Gambar 14) menunjukkan hubungan antara kelas kerapatan vegetasi (rendah, sedang, dan tinggi) dengan kelas degradasi (tidak terdegradasi dan terdegradasi). Garis merah menunjukkan hubungan antar kedua kelas yang saling berhubungan.

(40)

28

pada lahan-lahan yang tidak terdegradasi ini mungkin tampak sebagai suatu kesalahan, namun hal ini lebih disebabkan oleh adanya perbedaan metode pemetaan antara kedua peta yang dipadukan, yaitu antara peta indeks vegetasi dengan peta degradasi lahan. Yang pertama dihasilkan dari analisis citra langsung, sedangkan yang kedua dihasilkan dari proses interpolasi. Dengan demikian hasil yang pertama mencerminkan posisi objek yang sebenarnya (alami), sedangkan hasil yang kedua merupakan hasil pemodelan (yang bersifat kontinyu). Jika dilakukan proses tumpang-tindih (overlay) antara peta kerapatan vegetasi dengan peta degradasi maka didapatkan nilai persen luas seperti terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Luas tutupan vegetasi dengan kelas degradasi Tidak Terdegradasi Degradasi

Rapat 10.2% 3.8%

Sedang 64.9% 45.2%

Jarang 24.9% 51.1%

Pada tabel tersebut juga terlihat bahwa vegetasi dengan kerapatan sedang dan jarang banyak dominan di kedua area, yaitu lahan terdegradasi dan tidak terdegradasi.

.

V. Kondisi Morfometri Permukaan

(41)

29

Untuk morfometri kelengkungan lereng hasil interpolasi disajikan pada Gambar 16. Peta kelengkungan lereng tersebut memiliki rentang nilai antara -0.003 hingga 0.004, artinya daerah tersebut bertopografi lembah dan bukit. Titik warna hijau menunjukkan daerah yang memiliki permukaan cekungan, sedangkan warna

(42)

30

putih yang memiliki permukaan cembung. Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa daerah karst pegunungan Kendeng ini didominasi oleh warna putih sehingga merupakan suatu hamparan perbukitan yang terbentang mulai dari barat hingga timur.

Adapun menurut peta indeks kekasaran permukaan yang disajikan pada Gambar 17 terlihat bahwa pegunungan ini memiliki rentang nilai kekasaran permukaan dari 0.35 hingga 7.43. Pegunungan di bagian timur sebagian besar didominasi oleh warna hijau, artinya permukaan tidak terjal atau flat yang ditunjukkan dengan nilai indeks kekasaran permukaan yang masih rendah. Namun untuk pegunungan sebelah barat lebih didominasi oleh warna kuning hingga putih, artinya memilih permukaan yang semakin terjal yang ditunjukkan dengan nilai indeks kekasaran yang tinggi. Menurut Meng et al. (2013) informasi kekasaran permukaan untuk melihat hubungan dengan degradasi lahan perlu diketahui karena konteks spasial dan informasi topografi merupakan parameter yang umum digunakan untuk pendugaan penggurunan di daerah karst.

Hubungan antara morfometri bentuklahan dengan kelas degradasi lahan menurut analisis korelasi disajikan pada Tabel 12.

Tabel 13 Nilai korelasi antara morfometri permukaan lahan dengan degradasi Korelasi Kemiringan Lereng Kelengkungan Lereng TRI

Degradasi -0.021 -0.007 -0.024

Tidak terdegradasi -0.252 -0.310 -0.258

Berdasarkan hasil analisis terhadap morfometri lahan daerah penelitian dengan kelas degradasi lahan didapatkan bahwa morfometri permukaan kelas terdegradasi memiliki nilai korelasi mendekati 0, artinya tidak ada hubungan antara

(43)

31 morfometri dengan kelas terdegradasi. Oleh karena itu, pembahasan morfometri hanya digunakan untuk melihat karakteristik suatu lahan.

Kelas terdegradasi memiliki kemiringan lereng negatif, artinya semakin terdegradasi maka kemiringan lereng semakin rendah. Nilai korelasi kelas tidak terdegradasi memiliki kemiringan lereng negatif, artinya semakin tidak terdegradasi maka kemiringan lereng akan semakin tinggi.

Kelas terdegradasi memiliki kelengkungan lereng nilai korelasi negatif, artinya daerah terdegradasi memiliki topografi cekung. Untuk kelengkungan lereng dengan kelas tidak terdegradasi bernilai negatif, artinya daerah tersebut memiliki topografi cembung.

Untuk indeks kekasaran permukaan dengan kelas terdegradasi memiliki nilai korelasi negatif, artinya semakin terdegradasi maka daerah tersebut semakin tidak kasar. Kelas tidak terdegradasi dengan kelengkungan lereng memiliki nilai korelasi negatif, artinya semakin tidak terdegradasi maka daerah tersebut semakin bertopografi kasar.

VI. Akurasi

Hasil analisis pohon keputusan dari berbagai variabel didapatkan bahwa indeks vegetasi TRVI terpilih menjadi node utama untuk mengembangkan node selanjutnya. Node terpilih mempunyai nilai entropy yang kecil dimana variabel tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam penilaian. Seperti pembahasan yang sebelumnya dikatakan bahwa TRVI merupakan indeks vegetasi terbaik untuk pendugaan penggurunan sebab memiliki warna yang lebih kontras dibandingkan dengan yang lainnya. Hasil analisis pohon keputusan berdasarkan data validasi sebagai input disajikan pada gambar di bawah ini (Gambar 18).

Data validasi TRVI dan terrain (kemiringan lereng, kelengkungan lereng, dan indeks kekasaran permukaan) dengan nilai kesalahan 0.0556 yang menunjukkan bahwa menurut analisis pohon keputusan data terklasifikasi dengan baik antar variabel pada perangkat lunak Tanagra 1.4. Variabel indeks kekasaran permukaan dan kelengkungan lereng tidak dilibatkan dalam analisis ini karena pohon keputusan secara otomatis akan mengeliminasi kriteria yang tidak perlu atau tidak berpengaruh. Pada hasil analisis pohon keputusan, TRVI<1.5780 masuk dalam kelas terdegradasi, TRVI≥1.5780 dengan kemiringan lereng<8.25 masuk dalam kelas terdegradasi, dan TRVI≥1.578 dengan kemiringan lereng≥8.25 masuk dalam

(44)

32

kelas tidak terdegradasi. Di bawah ini disajikan tabel hasil prediksi dari pohon keputusan yang dibandingkan dengan data aktual (hasil scorring) (Tabel 13).

Tabel 14 Data validasi Titik TRVI Kemiringan

lereng

Tgl = Tegalan, Kc = Kebun campuran, Pmk = Pemukiman, Htn = Hutan

Dari hasil prediksi pohon keputusan pada Tabel 14 terdapat kesalahan pada titik S41. Data aktual (hasil scorring) menunjukkan kelas degradasi, namun setelah diklasifikasi menurut model, data tersebut masuk ke dalam kelas tidak terdegradasi. Kelas yang terdegradasi merupakan akibat dari aktivitas manusia dimana penggunaan lahan lebih dominan tegalan, sedangkan kelas yang tidak terdegradasi, penggunaan lahan lebih dominan hutan. Pada Tabel 15 di bawah ini disajikan akurasi data validasi yang diperoleh dari hasil kesalahan data validasi.

Tabel 15 Akurasi per-kelas validasi

Kelas Penggurunan Jumlah data Jumlah kesalahan* Akurasi model (%)

Validasi Terdegradasi 14 1 92.86

Tidak Terdegradasi 4 0 100.00

Total 18

Akurasi total validasi 94.00%

*warna kuning Tabel 13

(45)

33

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan lahan di daerah karst terdiri dari hutan, kebun campuran, pemukiman tambang, dan tegalan, dengan luas terbesar pada lahan tegalan (70.28%). Hal ini menunjukkan bahwa pegunungan karst Kendeng Utara dipengaruhi oleh intervensi manusia. Dari penilaian degradasi lahan didapatkan bahwa sebagian besar wilayah dikategorikan sebagai terdegradasi, terutama di wilayah barat. Dari hasil analisis indeks vegetasi (EVI, SAVI, II, TRVI, NDVI)

dengan menggunakan citra Landsat 8, didapatkan bahwa TRVI(Transformed Ratio

Vegetation Index) mempunyai nilai terbaik untuk menduga area terdegradasi dengan ketajaman warna lebih tinggi daripada yang lain. Persebaran kerapatan vegetasi mencerminkan persebaran area tidak terdegradasi atau area terdegradasi.

Decision tree efektif dan efisien untuk mengetahui variabel-variabel penyebab

daerah terdegradasi dan tidak terdegradasi. Berdasarkan klasifikasi decision tree,

TRVI merupakan faktor yang berpengaruh untuk melihat area degradasi dan tidak terdegradasi. Dari sisi morfometri, secara aktual daerah terdegradasi memiliki lereng rendah, bertopografi cekung, dan mempunyai permukaan tidak kasar. Sebaliknya daerah tidak terdegradasi memiliki kemiringan lereng tinggi, bertopografi cembung, dan permukaan kasar. Faktor dominan lainnya yang menyebabkan terjadinya proses degradasi di daerah penelitian adalah kemiringan lereng. Akurasi hasil prediksi sebesar 94.00%.

Saran

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengaplikasikan metode yang sama di beberapa area karst lainnya.

2. Untuk melakukan mitigasi terhadap proses penggurunan akibat degradasi lahan maka perlu adanya pendekatan yang dilakukan seperti konservasi karst Kendeng Utara sesuai dengan budaya daerah setempat agar tercipta simbiosis yang menguntungkan bagi lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Arun PV. 2013. A Comparative Analysis of Different DEM Interpolation Methods. The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science. (16): 133-139. Eastman J Ronald. 2003. IDRISI Kilimanjaro Guide to GIS and Image Processing.

USA: Clark University.

Firdaus HS, Taufik M, Utama W. 2013. Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus : Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso). Jurnal Teknik Pomits. 10(10): 301-9271.

(46)

34

Gerrard AJ. 1981. Soils and Landform. An Integration Geomorphology and Pedology. UK: George Allen & Unwin.

Jensen, JR. 2000. Remote Sensing of the Environment. An Earth Resource Perspective. USA: Prentice-Hall, Inc.

Jiang Z, Huete RA, Didan K, Miura T. 2008. Development of a two-band enhanced vegetation index without a blue band. Remote Sensing of Environment. (112): 3833–3845.

Komalasari WB. 2007. Metode Pohon Regresi Untuk Exploratori Data dengan Peubah yang Banyak dan Kompleks. Informatika Pertanian. 16(1): 967-980. Larose, DT. 2005. Discovering Knowledge in Data : An Introduction to Data

Mining. New Jersey:A John Wiley and Sons Inc.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1979. Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta : Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari : Remote Sensing and Image Intepretation.

Meng L, Baoqing H, Lianglin W. 2013. Artificial Neural Network Classification of Karst Rocky Desertification Degree Using SPOT Satelite Imagery and DEM Data. Remote Sensing Image Processing, Geographic Information System, and Other Aplication. 8006(80060): X1-X5.

Riley SJ, DeGloria SD, Elliot R. 1999. A Terrain Rudggedness Index That Quantifies Topographic Heterogeneity. Intermountain Journal of Science. 5(1-4): 23-27.

Salvati L, Mancino G, De Zuliani E, Sateriano A, Zitti M, Ferrara A. 2013. An Expert System to Evaluate Environmental Sensitivity: A Local-Scale Approach To Desertification Risk. Applied Ecology and Environmental Research. 11(4): 611-627.

Stambaugh MC, Guyette R P. 2007. Predicting Spatio-Temporal Variability in Fire Return Intervals Using A Topographic Roughness Index. Forest Ecology and Management. 254(2008): 463–473.

USDA. 1998. Global Desertification Vulnerability [Terhubung Berkala]. http://www.nrcs.usda.gov/. [Januari 2014].

USGS. 2014. Using the USGS Landsat Product [Terhubung Berkala]. http://landsat.usgs.gov/Landsat8_ Using_Product.php [Maret 2014]

UNCCD. 1994. United Nations Convention To Combat Desertification In Those Countries Experiencing Serious Drought And/Or Desertification, Particularly In Africa. [Suatu Pertemuan Umum] A/48/226.

Warren A. 2002. Land Degradation is Contextual. Land Degradation and Development. 13: 449-459

(47)

35

LAMPIRAN

Lokasi Penelitian

Sumber: USDA 1998

(48)
(49)

37

Lampiran 2 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

s1T3 1.0 1.0 1.0 1.0 2.0 1.0000 1.0000 1.0000 1.1892 Tidak Terdegradasi s1T4 1.5 1.0 1.6 1.8 2.0 1.6971 1.3027 2.0000 1.6721 Degradasi s1T5 1.5 1.5 1.6 2.0 2.0 1.7889 1.6381 2.0000 1.7706 Degradasi s1T6 1.0 1.5 1.3 1.3 2.0 1.3000 1.3964 1.0000 1.2927 Tidak Terdegradasi s1T7 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s1T8 1.5 1.5 1.6 1.8 1.3 1.6971 1.5955 2.0000 1.5794 Degradasi s1T9 1.0 1.0 1.3 1.3 2.0 1.3000 1.1402 1.0000 1.2289 Tidak Terdegradasi s2B1 1.5 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.4142 1.5000 1.5883 Degradasi s2B10 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 2.0000 1.5000 1.7321 Degradasi s2B11 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s2B12 1.0 1.0 1.0 1.8 2.0 1.3416 1.1583 1.0000 1.2337 Tidak Terdegradasi s2B13 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s2B14 1.5 2.0 2.0 2.0 1.3 2.0000 2.0000 1.5000 1.5552 Degradasi s2B2 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s2B3 1.5 2.0 2.0 2.0 1.3 2.0000 2.0000 1.5000 1.5552 Degradasi s2B4 1.5 1.5 2.0 1.6 1.3 1.7889 1.6381 1.5000 1.4795 Degradasi s2B5 1.5 2.0 2.0 2.0 1.3 2.0000 2.0000 1.5000 1.5552 Degradasi s2B6 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 2.0000 1.5000 1.7321 Degradasi s2B7 1.5 2.0 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.7889 1.5000 1.6844 Degradasi s2B8 1.5 2.0 1.6 2.0 2.0 1.7889 1.8915 1.5000 1.7081 Degradasi s2B9 1.5 1.0 1.0 1.6 2.0 1.2649 1.1247 1.5000 1.4999 Degradasi s2T1 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s2T10 1.5 1.5 2.0 1.3 2.0 1.6125 1.5552 1.5000 1.6265 Degradasi s2T11 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 2.0000 1.5000 1.7321 Degradasi

(50)

Lampiran 2 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

s2t2 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s2T3 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi s2T4 1.0 1.0 1.3 1.3 2.0 1.3000 1.1402 1.0000 1.2289 Tidak Terdegradasi s2T5 1.5 1.0 1.3 1.0 2.0 1.1402 1.0678 1.0000 1.3378 Tidak Terdegradasi s2T6 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi s2T7 1.5 1.5 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.5492 1.0000 1.4683 Degradasi s2T8 1.5 1.5 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.5492 1.5000 1.6249 Degradasi s2t9 1.5 1.5 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.5492 1.5000 1.6249 Degradasi s3B1 1.5 1.5 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.5492 1.5000 1.6249 Degradasi s3B2 1.5 1.5 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.5492 1.5000 1.6249 Degradasi s3B3 1.5 1.5 1.3 1.8 2.0 1.5297 1.5148 1.5000 1.6158 Degradasi s3B4 1.5 1.0 1.3 1.8 2.0 1.5297 1.2368 1.5000 1.5360 Degradasi s3B5 1.5 1.5 1.3 1.6 2.0 1.4422 1.4708 1.5000 1.6040 Degradasi s3T1 1.0 1.0 1.3 1.3 1.3 1.3000 1.1402 1.0000 1.1034 Tidak Terdegradasi s3T10 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi

s3T2 1.5 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.4142 2.0000 1.7067 Degradasi s3T3 1.5 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.4142 2.0000 1.7067 Degradasi S3T4 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi s3T5 1.0 1.0 1.0 1.3 2.0 1.1402 1.0678 1.0000 1.2089 Tidak Terdegradasi s3T6 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi s3T7 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi s3T8 1.0 1.0 2.0 1.3 2.0 1.6125 1.2698 1.0000 1.2624 Tidak Terdegradasi s3T9 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 2.0000 1.7955 Degradasi

s41 1.5 1.0 1.6 1.6 2.0 1.6000 1.2649 1.5000 1.5446 Degradasi

(51)

Lampiran 2 (Lanjutan)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

s42 1.5 1.0 1.3 1.3 2.0 1.3000 1.1402 1.0000 1.3600 Tidak Terdegradasi s43 1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.7321 1.5000 1.6709 Degradasi s44 1.5 1.0 2.0 2.0 2.0 2.0000 1.4142 1.5000 1.5883 Degradasi

Lampiran 3 Nilai TRVI

(52)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ardiya Yustika, dilahirkan di Kota Pati pada tanggal 01 November 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Suhardi dan Ibu Sari.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di TK Dharma Wanita Malang hingga tahun 1998, kemudian melanjutkan di SD Muktiharjo 01 Pati hingga tahun 2004, melanjutkan di SMPN 02 Pati hingga tahun 2007, kemudian melanjutkan di SMAN 03 Pati hingga lulus tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Pertanian, mengambil mayor Manajemen Sumberdaya Lahan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM) periode 2011/2012 sebagai anggota divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa. Kemudian dalam Himpunan Mahasiswa Ilmuh Tanah (HMIT) periode 2012/2013 sebagai ketua Divisi Kewirausahaan. Kemudian sebagai asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra pada tahun 2013 dan 2014, dan juga sebagai asisten praktikum mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Landskap tahun 2013.

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Data sekunder penelitian
Gambar 2  Pengambilan foto batuan
Tabel 3  Skor deforestasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara parsial, variabel Citra Merek dan Kualitas Produk berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Pembelian Indomie HypeAbis Mie Goreng Rasa Ayam Geprek kecuali variabel

Dilihat dari aspek afektif dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat pengguna pusat informasi publik terhadap adanya keterbukaan informasi publik yaitu; masyarakat

Berdasarkan hasil uji coba, didapatkan bahwa aplikasi dapat digunakan sebagai pembelajaran tentang keamanan aplikasi berbasis web melalui serangkaian

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal

Berdasarkan Smith (2009:11), dalam penelitian fenomenologi melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam

b) Aktifitas siswa.. Aktifitas siswa dalam kegiatan pembelajaran pda siklus II pertemuan II adalah 87% dengan kategori “sangat aktifi” yang berarti bahwa tingkat aktifitas siswa

Karakteristik Tempat Perkembangbiakan Larva Anopheles di Desa Bulubete Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.. Poltekes Kemenkes Palu Bagian

Sumber data sekunder penulis gunakan untuk mencari data yang ada kaitanya dengan Pola Bimbingan Orang Tua Asuh Dalam Menanamkan Kedisiplinan Anak di Panti Asuhan