50 25 RABIULAWAL - 9 RABIULAKHIR 1432 H
TELAAH PENDIDIKAN
Membangun Perpustakaan
Berbasis Masyarakat
BENNI SETIAWAN
“Buku adalah gudang ilmu.
Perpustakaan adalah gudang buku.
Jadi, banyak bermainlah di
perpustakaan, sehingga kamu dapat
menguasai ilmu dan dunia. Jika kalian
tidak punya buku, bacalah tulisan di
sepanjang jalan atau potongan koran
bekas. Karena di dalamnya ada ilmu
pengetahuan”.
P
etuah bijak itu sayup-sayup masih penulis ingat ketika hendak memulai tulisan ini. Kata bijak itu diujar oleh seorang guru—yang biasa disapa Pak Daliman— ketika penulis masih duduk di bangku kelas IV SD Negeri Ponowaren II Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah. Waktu itu penulis tidak terlalu mengerti mengenai hal tersebut. Selain karena masih kecil dan belum mengenal dengan baik budaya baca, tumpukan buku di perpustakaan SD—sebagaimana juga terjadi di berbagai SD Negeri di penjuru Tanah Air—begitu kumal dan sudah menguning. Tata letaknya pun tidak karuan. Jangankan membaca buku di perpustakaan, untuk masuk saja kami enggan.Nasib perpustakaan memang di ujung tanduk. Terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah di negeri ini. Padahal pendidikan pada tingkat tersebut menurut Romo Mangunwijaya merupakan basis atau fondasi bagi tingkat berikutnya. Dari sinilah kebiasaan-kebiasaan baik dan pemahaman dasar ilmu pengetahuan disemai. Ketika pendidikan di tingkat dasar terabaikan, maka akan berakibat pada kelangsungan pendidikan selanjutnya.
Peran serta masyarakat
Di sinilah, peran penting masyarakat dalam membangun budaya baca. Masyarakat adalah keluarga kedua bagi seseorang, setelah rumah tangga/keluarga. Dengan demikian masyarakat perlu berperan serta secara aktif guna mewujudkan masyarakat terdidik dengan sadar membaca sehingga terwujud masyarakat berperadaban.
Peran serta masyarakat mewujudkan perpustakaan ini sesuai dengan amanat Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2007, tentang
Perpustakaan, khususnya Pasal 43. Pasal tersebut menyebutkan bahwa masyarakat berperan serta dalam pembentukan, penyelenggaraan, pengelolaan, pengembangan dan pengawasan perpustakaan.
Mengapa masyarakat perlu berperan serta? Hal ini karena perpustakaan di Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Perpustakaan masih menjadi barang asing bagi masyarakat Indonesia. Ia belum menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, sebagaimana mereka makan nasi.
Menurut Pustakawan Utama H Soekarman, setidaknya ada sembilan faktor yang menyebabkan perpustakaan Indonesia menjadi lemah. Yaitu, jumlah penduduk yang besar dan tersebar di banyak pulau, budaya dan tingkat kecerdasan bangsa yang majemuk, lemahnya kesadaran masyarakat, lemahnya kesadaran sebagian penentu kebijakan soal perpustakaan, akan arti penting informasi dan perpustakaan; rendahnya minat baca serta kebiasaan membaca; kemampuan keuangan pemerintah; masih sedikit pustakawan terdidik; masih sedikit institusi pendidikan perpustakaan; dan lemahnya sumber bahan pustaka nasional (Indah Wijaya, 2008).
Lebih dari itu, sebagaimana telah disinggung di atas, budaya baca masyarakat Indonesia memang masih memrihatinkan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya budaya baca masyarakat Indonesia. Pertama, budaya yang sudah ada secara turun-menurun adalah budaya cerita, bukan budaya baca dan perkembangannya menuju ke arah budaya menonton (televisi).
Kedua, penghasilan kebanyakan masyarakat Indonesia masih
rendah sehingga buku masih dianggap barang mahal. Ketiga, adalah sistem pendidikan Indonesia belum menunjang tumbuh kembangnya budaya baca karena orientasinya masih membaca untuk lulus bukan membaca untuk pencerahan sepanjang hidup.
Keempat, keberadaan perpustakaan yang belum memadai.
Tentunya masih banyak alasan yang dapat kita daftar jika ingin membicarakan tentang penghambat perkembangan budaya baca di Indonesia. Sebagai contoh alasan tentang penghasilan masyarakat Indonesia yang masih rendah. Memang rata-rata pendapatan perkapita masyarakat Indonesia rendah, namun yang perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana alokasi pengeluarannya.
Jika masyarakat sadar akan arti penting buku dan meninggalkan rokok, maka pada dasarnya masyarakat Indonesia
De
m
o (Vi
si
t ht
tp:
//www.pdfspl
itm
erge
r.c
om
51
SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011
TELAAH PENDIDIKAN
mempunyai potensi besar untuk mengembangkan budaya baca. Kunci sukses keberhasilan pengembangan budaya baca ada di tangan masyarakat itu sendiri. Masyarakat mempunyai tanggung jawab menyadarkan orang lain agar mempunyai budaya baca sebagai bekal hidup mandiri dan berkeadaban.
Masyarakat Gemar Membaca
Kemudian bagaimana cara agar masyarakat gemar membaca, sehingga mereka tercerahkan? Ada beberapa hal yang perlu diagendakan. Pertama, membangun kantong-kantong baca di setiap desa/dusun. Kantong baca ini dapat dimulai dengan membangun tempat membaca koran di setiap RT/RW. Kegiatan ini merupakan bagian dari program koran masuk desa yang telah disemai oleh beberapa perusahaan penerbitan
koran (surat kabar di beberapa daerah).
Dengan adanya koran yang dipajang di tempat umum maka masyarakat akan dengan sendirinya mempunyai kesa-daran untuk membaca. Mem-baca koran di tempat umum juga memberi kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu membeli surat kabar untuk dapat mengetahui informasi terkini dari media massa cetak. Membaca koran di tempat umum juga akan mengakrabkan anggota ma-syarakat, sehingga tidak terjadi
gap (jurang pemisah) antara si kaya dan si miskin.
Setelah koran dibaca di pagi hari, maka harus ada masyara-kat yang menyimpan, meng-kliping berita-berita tersebut berdasarkan tema-tema
terten-tu. Hal ini dapat dikerjakan oleh alumnus sekolah menengah atas (SMA) atau perguruan tinggi (PT) sebagai bagian peran sertanya membangun peradaban di masyarakat.
Kumpulan kliping ini kemudian di letakkan di rumah ketua RT/ RW atau perpustakaan desa sebagai tempat penyimpan. Di sinilah arti penting perpustakaan desa bagi pengembangan budaya baca masyarakat. Perpustakaan desa tidak hanya berfungsi dan hidup ketika ada lomba tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi atau pun nasional. Ia merupakan motor penggerak atau pusat kegiatan belajar masyarakat, sehingga makna perpustakaan menjadi hidup. Dengan hidupnya perpustakaan desa diharapkan masyarakat tidak hanya mengenal balai desa sebagai tempat mengurus surat-surat namun juga sebagai basis atau pusat peradaban desa. Lebih dari itu, perpustakaan desa merupakan jantung masyarakat sehingga keadaban masyarakat dapat ditilik dari seberapa banyak koleksi buku sebagai referensi atau sumber bacaannya.
Perpustakaan desa akan semakin kuat jika di setiap
poskamling (pos keamanan linkungan) ada buku. Poskamling sebagai perpustakaan pernah penulis temui di Desa Tamanmartani, Sleman, Yogyakarta sekian tahun lalu saat kuliah kerja nyata (KKN). Masyarakat di sana tidak hanya memanfaatkan poskamling sebagai tempak cangkruk (berkumpul dan berbincang santai), namun juga sebagai tempat belajar membaca, karena di sana ada beberapa buku bacaan, majalah, dan koran baru setiap pagi.
Dengan demikian, poskamling tidak hanya menjadi pusat keamanan lingkungan mandiri masyarakat, namun juga pusat kegiatan belajar masyarakat (KBM). Lebih dari itu, poskamling tidak hanya menjadi “milik” kaum laki-laki saja, namun juga ruang publik bagi perempuan desa dan anak-anak sebagai tempat belajar dan
memperoleh informasi terkini.
Kedua, menjadikan rumah
sebagai perpustakaan. Rumah sudah saatnya tidak hanya menjadi tempat berlindung dari panas dan hujan. Rumah sudah saatnya menjadi happy home
living (tempat tinggal yang
nyaman dan menyenangkan). Artinya, setiap rumah hendaknya menyediakan sepetak tempat untuk buku atau perpustakaan.
Pojok perpustakaan ini selain sebagai tempat buku yang ditata rapi juga dapat dijadikan sarana diskusi keluarga. Diskusi keluar-ga tidak hanya dapat dilakukan di meja makan atau saat makan saja, namun juga di sebuah tempat khusus di dalam rumah. Dari sinilah, gairah membaca dan membudayakan membaca da-pat disemai dengan baik. Adanya pojok perpustakaan di rumah, juga mendorong dialog interaktif yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Kebiasaan membaca di rumah dan didukung oleh keberadaan perpustakaan di setiap desa akan mendorong percepatan peningkatan kualitas keilmuan masyarakat. Seseorang akan terbiasa dengan buku sehingga budaya menonton televisi dapat diminimalisir sedemikian rupa.
Lebih dari itu, ketika seorang anak sudah terbiasa membaca di dalam rumah, maka ia akan dengan sendirinya mencintai perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah akan menjadi tempat yang asyik dan nyaman lagi menyenangkan bagi siswa sehingga kondisinya selalu bersih dan koleksi bukunya pun semakin beragam, karena mendapat sentuhan dingin dari anak-anak yang doyan membaca.l
________________________________________________________ Penulis adalah Warga Muhammadiyah, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Agenda Pendidikan Nasional, tinggal di Sukoharjo.
Hadirnya perpustakaan di masyarakat amat diperlukan.
Foto: DIDIK SUJARWO