PENGARUH EKSTRAK NENAS (Ananas sativus) SEBAGAI
KOAGULAN TERHADAP KUALITAS
LEMBARAN KARET
TESIS
Oleh
TEMALI HULU 117006010/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Oleh
TEMALI HULU 117006010/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
Judul : PENGARUH EKSTRAK NENAS (Ananas sativus) SEBAGAI KOAGULAN TERHADAP KUALITAS LEMBARAN KARET
Nama Mahasiswa : TEMALI HULU
Nomor Pokok : 117006010
Program Studi : Magister Ilmu Kimia
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Darwin Yunus Nasution, MS Ketua
Eddiyanto, Ph.D Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc
Tanggal lulus : 26 April 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Darwin Yunus Nasution, MS Anggota : 1. Eddyanto, Ph.D
2. Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D 3. Prof. Dr. Thamrin, MSc
4. Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil 5. Prof. Dr. Yunazar Manjang
PERNYATAAN ORISINALITAS
PENGARUH EKSTRAK NENAS (Ananas sativus) SEBAGAI KOAGULAN TERHADAPKUALITAS
LEMBARAN KARET
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Perguruan Tinggi lain, dan
sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebut
sumbernya dalam daftar pustaka.
Medan, 26 April 2013
TEMALI HULU
DATA PRIBADI
Nama lengkap berikut gelar : TEMALI HULU, S.Pd
Tempat dan Tanggal Lahir : Ombolata, 22 S3ptember 1969
Alamat Rumah : Jl. Karet Gang IV No 2E Kelurahan Ilir
Gunungsitoli
Telepon / HP : 081 361 387 796
Email : benohulu@yahoo.co.id
Alamat Kantor : Jl. Nias Tengah Km. 7,5 desa Faekhu
Kecamatan Gunungsitoli Selatan
Telepon/Faks/HP : -
DATA PENDIDIKAN
SD : SD NEGERI 071150 Ombolata Alasa Tamat tahun : 1982
SMP : SMP Negeri 1 Alasa Tamat tahun : 1985
SMA : SMA Negeri 1 Gunungsitoli Tamat tahun : 1988
Strata-1 : IKIP Negeri Medan Tamat tahun : 1995
Strata-2 : Program Studi Magister Ilmu Kimia USU Tamat tahun : 2013
Segala sesuatu di jadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. (Yohanes 1 : 2)
Maka " Serahkan hidupmu kepada Tuhan, berharaplah Ia akan menolongmu." (Mazmur 37 : 5)
i
PENGARUH EKSTRAK NENAS (Ananas sativus) SEBAGAI KOAGULAN TERHADAP KUALITAS
LEMBARAN KARET
ABSTRAK
Penggunanaan ekstrak nenas (Ananas Sativus) yang disimpan selama 1 hari (N-5), 3 hari (N-4), 5 hari (N-3), 7 hari (N-2), dan 9 hari (N-1), sebagai penggumpal karet alam telah diteliti. Kecepatan koagulasi masing-masing ekstrak nenas telah diuji dan dibandingkan dengan koagulan asam formit. Kadar kotoran, kadar abu, kadar nitrogen, kandungan zat mudah menguap, plastisasi retensi indeks (PRI) dan viskositas Mooney, dari seluruh koagulum yang menggunakan koagulan diatas, telah dianalisa sesuai dengan uji baku karet Indonesia. Hasil penelitian ini telah dibandingkan dengan gumpalan karet yang menggunakan asam formiat. Kecepatan koagulasi, dan kualitas terbaik diperoleh saat menggunakan ekstrak nenas N-1 sebagai koagulan dan hasil akhir produk ini adalah setara dengan SIR-20.
Kata Kunci : Ekstrak nenas, karet alam koagulan, asam formiat, SIR
ii
THE EFFECT OF PINEAPPLE (Ananas sativus) EXTRACT AS COAGULANT ON QUALITY OF RUBBER SHEET
ABSTRACT
Pineapple (Ananas sativus) extract kept for 1 day (N-5), 3 days (N-4), 5 days (N-3), 7 days (N-2), and 9 days (N-1) as coagulant of natural rubber have been carried out. Coagulation rate of each coagulant has been tested and they have been compared to formic acid. The impurity, ash, nitrogen, and organic volatile content, as well as retention plasticity index and Mooney viscosity of the rubber sheets produced have been analysed follow the Standard Indonesia Rubber (SIR). Those results were compared to the coagulated rubber sheet by using formic acid as coagulant. Coagulation rate and the best quality obtained when N-1 extract as coagulant and the final product is equal to SIR-20.
Keywords: pineapple extract, natural rubber, coagulant, formic acid, and SIR
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan rahmat dan karunia yang dianugerahkan, sehingga penulis dapat menyusun
penelitian Tesis ini, dengan judul "Pengaruh ekstrak nenas (ananas sativus) sebagai
koagulan terhadap kualitas lembaran karet". Pada kesempatan ini ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak Komisi Pembimbing, yaitu
Bapak Dr. Darwin Yunus Nasution, MS selaku Promotor, dan Bapak Eddyanto, Ph.D
sebagai Co-Promotor atas segala bantuan, arahan dan bimbingan selama perencanaan
penelitian, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih
yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M. & H,
M.Sc. (C.T.M), Sp.A. (K) yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk
mengikuti program pendidikan Magister dalam bidang Ilmu Kimia pada FMIPA
USU.
2. Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas bantuan dan
izin belajar untuk mengikuti Program S-2 Ilmu Kimia.
3. Ketua Program Studi S-2 dan S-3 Ilmu Kimia FMIPA USU, Prof. Basuki
Wirjosentono, MS, Ph.D dan Bapak Sekretaris Program S-2 dan S-3 Ilmu Kimia,
Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc atas segala fasilitas dan bantuan yang
diberikan kepada penulis.
4. Tim penguji, Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D, Prof. Dr. Thamrin, MSc,
Prof. Dr. Harry Agusnar, MSc, M.Phil dan Prof. Dr. Yunazar Manjang yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan penilaian maupun saran-saran untuk
perbaikan tesis ini.
5. Bapak/Ibu Dosen Pascasarjana Ilmu Kimia yang telah membimbing dan
memotivasi saya sampai selesainya Tesis ini.
6. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU dan Kepala serta seluruh staf
Laboratorium Pusat Penelitian Karet Sungei Putih yang telah memberikan
iv
bantuan dan fasilitas dalam melakukan penelitian teisis ini.
7. Wali kota Gunungsitoli dan Kepala Dinas Pendidikan kota Gunungsitoli atas
kesempatan serta dukungan luar biasa yang diberikan kepada saya selama
mengikuti pendidikan di Pascasarjana USU Medan.
8. Secara khusus kepada Bapak Saharman Gea, Ph.D yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis selama perkuliahan di FMIPA USU.
9. Rekan-rekan mahasiswa Pacasarjana Jurusan Ilmu kimia FMIPA USU yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian Tesis ini.
10. Teristimewa kepada istri tercinta Irene Magdalena Zega, SE yang sangat
mendukung dan memotivasi saya dalam penulisan Tesis ini dan ketiga buah hati
tercinta, Bernath Bronsted Hulu, Jeverson Benediktus Hulu dan Reinhard Teir
Wilson Hulu sebagai sumber inspirasi saya.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih kurang sempurna oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca demi
kesempurnaan Tesis ini.
Penulis,
Temali Hulu
v
2.1.1. Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional 10
2.1.2. Prospek Perdagangan Karet Alam 11
2.1.3. Jenis-Jenis Karet Alam 12
2.2. Kemantapan dan Penggumpalan Lateks 15
vi
3.3.2. Menentukan Pengaruh Lama Pemyimpanan Ekstrak
Nenas Terhadap Kecepatan penggumpalan Lateks Segar 37
3.3.3. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249-1987 ( E ) J 38
4.3. Karakterisasi Koagulum Lateks Segar 54
4.3.1. Kadar Kotoran Koagulum Lateks Segar 54
4.3.2. Kadar Abu Koagulum Lateks Segar 57
4.3.3. Kadar Nitrogen Koagulum Lateks Segar 60
4.3.4. Kadar Zat Menguap Koagulum Lateks Segar 63
4.3.5. Penetapan Platisitas Index Retention (PRI) 66
4.3.6. Penetapan Viskositas Mooney 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 74
5.1. Kesimpulan 74
5.2. Saran 74
Daftar Pustaka. 75
Lampiran
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel. 2.1. Komposisi Karet Alam 9
Tabel 2.2. Skema Persyaratan Mutu Karet Indonesia 20
Tabel. 2.3. Kandungan Gizi Buah Nenas 31
Tabel 2.4. Kandungan Bromelin dalam Tanaman Nenas 32
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran pH Ekstrak Nenas 49
Tabel. 4.2. Lama Penggumpalan Lateks Segar 51
Tabel. 4.3. Perbandingan Selisih Lama Penggunpalan Ekstrak Nenas
Dengan Asam Formiat 53
Tabel 4.4. Kadar Kotoran Koagulum Lateks Segar 55
Tabel 4.5. Perbandingan Selisih Kadar Kotoran Koagulum Lateks Segar 57
Tabel 4.6. Kadar Abu Koagulan Lateks Segar 58
Tabel 4.7. Perbandingan Selisih Kadar Abu Koagulum Lateks Segar 59
Tabel 4.8. Kadar Nitrogen Koagulum Lateks Segar 61
Tabel 4.9 Perbandingan Selisih Kadar Nitrogen Koagulum Lateks Segar 63
Tabel 4.10 Kadar Zat Menguap Koagulum Lateks Segar 64
Tabel 4.11 Perbandingan Selisih Kadar Zat Menguap Koagulum Lateks Segar 66
Tabel 4.12. Nilai PRI Koagulum Lateks Segar 67
Tabel 4.13 Perbandingan Perbedaan Nilai PRI Koagulum Lateks Segar 69
Tabel 4.14 Nilai Viskositas Mooney Koagulum Lateks Segar 70
Tabel 4.15 Perbandingan Selisih Nilai Vr Koagulum Lateks Segar 74
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 1.1. Karet dan Kolam Penyimpanan Karet di Nias 6
Gambar 2.1. Rumus Struktur Kimia Karet Alam 8
Gambar 2.2. Partikel Karet 10
Gambar 2.3. Kebun Karet Alam 11
Gambar 2.4. Hidrolisa Protein 23
Gambar 2.5. Bagian-bagian Buah Nenas 29
Gambar 3.1. Contoh Potongan Uji Untuk Plastisitas 41
Gambar 4.1. Nenas 48
Gambar 4.2. Rumus Bangun Asam Sitrat 50
Gambar 4.3. Grafik Lama Penggumpalan Lateks Segar 52
Gambar 4.4. Penggumpalan Lateks Segar 53
Gambar 4.5. Koagulum 54
Gambar 4.6. Grafik Kadar Kotoran Kaogulum Lateks Segar 56
Gambar 4.7. Grafik Kadar Abu Kaogulum Lateks Segar 58
Gambar 4.8. Grafik Kadar Nitrogen Koagulum Lateks Segar 61
Gambar 4.8. Grafik Kadar Zat Menguap Kaogulum Lateks Segar 65
Gambar 4.8. Grafik Plasitisitas Retention Indek (PRI) Lateks Segar 68
Gambar 4.9. Grafik Viskositas Mooney Kaogulum Lateks Segar 71
i
PENGARUH EKSTRAK NENAS (Ananas sativus) SEBAGAI KOAGULAN TERHADAP KUALITAS
LEMBARAN KARET
ABSTRAK
Penggunanaan ekstrak nenas (Ananas Sativus) yang disimpan selama 1 hari (N-5), 3 hari (N-4), 5 hari (N-3), 7 hari (N-2), dan 9 hari (N-1), sebagai penggumpal karet alam telah diteliti. Kecepatan koagulasi masing-masing ekstrak nenas telah diuji dan dibandingkan dengan koagulan asam formit. Kadar kotoran, kadar abu, kadar nitrogen, kandungan zat mudah menguap, plastisasi retensi indeks (PRI) dan viskositas Mooney, dari seluruh koagulum yang menggunakan koagulan diatas, telah dianalisa sesuai dengan uji baku karet Indonesia. Hasil penelitian ini telah dibandingkan dengan gumpalan karet yang menggunakan asam formiat. Kecepatan koagulasi, dan kualitas terbaik diperoleh saat menggunakan ekstrak nenas N-1 sebagai koagulan dan hasil akhir produk ini adalah setara dengan SIR-20.
Kata Kunci : Ekstrak nenas, karet alam koagulan, asam formiat, SIR
ii
THE EFFECT OF PINEAPPLE (Ananas sativus) EXTRACT AS COAGULANT ON QUALITY OF RUBBER SHEET
ABSTRACT
Pineapple (Ananas sativus) extract kept for 1 day (N-5), 3 days (N-4), 5 days (N-3), 7 days (N-2), and 9 days (N-1) as coagulant of natural rubber have been carried out. Coagulation rate of each coagulant has been tested and they have been compared to formic acid. The impurity, ash, nitrogen, and organic volatile content, as well as retention plasticity index and Mooney viscosity of the rubber sheets produced have been analysed follow the Standard Indonesia Rubber (SIR). Those results were compared to the coagulated rubber sheet by using formic acid as coagulant. Coagulation rate and the best quality obtained when N-1 extract as coagulant and the final product is equal to SIR-20.
Keywords: pineapple extract, natural rubber, coagulant, formic acid, and SIR
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia modern saat ini banyak peralatan‐peralatan yang
menggunakan bahan yang sifatnya elastis tidak mudah pecah bila jatuh dari suatu
tempat. Peningkatan kebutuhan tersebut secara langsung menunjukkan peningkatan
kebutuhan karet alam.
Menurut data International Rubber Study Goup (2007), dalam kurun waktu 5
tahun terakhir konsumsi karet alam di dalam negeri meningkat rata-rata sebesar
10,98 % per tahun, sedangkan di dunia internasional meningkat rata-rata 4,72 % per
tahun. Peningkatan harga minyak bumi yang sangat tajam di pasaran internasional,
menyebabkan permintaan terhadap karet alam naik pesat, karena karet sintetis yang
bahan bakunya berasal dari fraksi minyak bumi harganya ikut meningkat tajam.
Terkait dengan hal itu beberapa lembaga perkaretan internasional memprediksi
permintaan karet alam dunia ke depan akan meningkat lebih tinggi yaitu pada tahun
2007 diperkirakan sebesar 6,2 % dan tahun 2008 sebesar 7,5 %.
Indonesia adalah pemilik lahan terluas perkebunan karet di dunia. Namun bila
dibandingkan dengan negara lain produsen karet seperti Malaysia dan Thailand,
tingkat produktivitas karet di tanah air jauh lebih rendah, baik dalam kuantitas
maupun kualitas. Thailand menjadi negara produsen karet terbesar diperkirakan
mencapai 3,47 juta ton pada tahun ini disusul Indonesia. Sedangkan Malaysia
menempati posisi ketiga sebanyak 1,10 juta ton, India 893.000 ton, Vietnam 780.000
ton dan China 679.000 ton. Untuk itu upaya meningkatkan produktivitas harus
senantiasa dilakukan sehingga mampu bersaing dan juga memberi sumbangan berarti
bagi kesejahteraan petani karet.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk
penanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas
area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet
milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar
milik swasta. (Depperindag. 2007). Total produksi karet saat ini sekitar 2.5 juta
ton/tahun. Jumlah ini tentu akan bisa ditingkatkan dengan memberdayakan
lahan-lahan kosong yang (apabila) masih tersedia dan disertai dengan perbaikan system
tanam yang lebih produktif. Namun, selain upaya perluasan lahan, inovasi
peningkatan mutu dan pemberian nilai tambah secara ekonomi pada produk-produk
karet terus dilakukan sehingga produk-produk tersebut dapat dimanfaatkan dalam
berbagai bidang, bahkan menjadi komponen barang-barang berteknologi tinggi.
Permasalahan lain dari pengembangan industri karet adalah relatif masih
tingginya jumlah impor produksi barang-barang karet dan masih rendahnya
produktivitas tanaman karet, karena belum menggunakan klon unggul, masih
rendahnya kualitas bahan olahan karet yang menyebabkan rendahnya kualitas karet
remah (crumb rubber), masih rendahnya kualitas SDM petani dalam budi daya
tanaman, pra panen, pasca panen dan pengolahan primer, serta masih lemahnya
kelembagaan petani dan kemitraan usaha serta akses permodalan yang menyebabkan
rendahnya posisi tawar petani dalam perolehan harga yang sesuai (masih sekitar 60%
harga FOB).
Disisi lain, tuntutan konsumen terhadap standar mutu suatu produk sudah tidak
bisa dihindarkan lagi. Pengawasan mutu dalam kegiatan penerapan jaminan mutu,
merupakan langkah penting bagi pelaku usaha untuk mendapatkan pengakuan formal
terkait dengan konsistensi standar mutu produk yang dihasilkan. Pemerintah Republik
Indonesia telah mengeluarkan Permentan No 38 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olahan Karet (Bokar) serta Permendag No 53
Tahun 2009 tentang Pengawasan Mutu Bahan Olahan Komoditi Ekspor Standard
Indonesia Rubber yang diperdagangkan, maka kebijakan tersebut harus
ditindaklanjuti dengan pengawasan mutu agar bokar yang diperdagangkan dapat
memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan.
3
Tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Nias adalah Tanaman Perkebunan
Rakyat dengan komoditi kelapa, karet, nilam, cokelat, pinang, kopi, dan cengkeh. Hal
ini terlihat dari banyaknya rumah tangga yang mengusahakan tanaman perkebunan
rakyat. Komuditi utama produk perkebunan di Nias adalah karet dan kopra. Khusus
produksi karet di Kabupaten Nias dari tahun ke tahun terus meningkat, pada tahun
2009 tercatat 52.470 Ton dan produksi tahun 2011 sebanyak 59.060 Ton (BPS
Kabupaten Nias, 2012).
Kualitas karet rakyat Nias relatif rendah dibanding kualitas karet dari daerah lain.
Rendahnya kualitas karet rakyat Nias disebabkan oleh rendahnya SDM petani karet
tentang kualitas dan cara mengolah karet yang bernilai ekonomi tinggi, terutama cara
penggumpalan dan penyimpanan karet sebelum dijual. Petani karet di Nias,
menyimpan karet hasil kebunnya di dalam kolam berlumpur dengan asumsi berat
karet yang akan dijual tidak berkurang bahkan akan bertambah. Penanganan karet
seperti ini tentu akan menurunkan kualitas karet itu sendiri.
Ketebalan koagulum dan penyimpanan di dalam kolom berlumpur dapat
mempengaruhi kandungan air karet, yang memudahkan berkembangnya
mikroorganisma pengurai protein dan hidrokarbon karet yang mengakibatkan
berbagai efek yang tidak diinginkan, antara lain mengurangi modulus. Ketebalan
bahan olah karet selain menunjukan tingkat kandungan lateks pada bahan olah karet
juga menunjukkan spesifikasi mutu dan penggunaan bahan olah karet. Semakin tipis
(ketebalan kecil) maka semakin tinggi mutu bahan olah karet, hal ini disebabkan pada
bahan olah karet yang tipis memiliki jumlah kadungan air yang kecil.
Selain itu, petani karet di Nias sering menggunakan koagulan yang tidak
disarankan industri (asam formiat dan asam cuka), ada yang menggunakan asam
sulfat, ekstrak buah nenas, parutan buah nenas, air sisa pembusukan sisa makanan
yang dikumpulkan dan juga ada yang menggunakan pupuk urea.
Adapun penyebab petani menggunakan koagulan yang tidak disarankan oleh
industri yakni mahalnya harga asam formiat dan asam cuka serta sulit
mendapatkannya, selain disebabkan rendahnya pemahaman petani cara penanganan
yang baik terhadap lateks hasil penyadapan.
Hasil penelitian uji penggunaan berbagai jenis koagulan terhadap mutu bahan
olah karet (Hevea brasiliensis), koagulum lateks dengan koagulan ekstrak nenas
memiliki volume yang lebih besar dibanding koagulan lainnya, hal ini disebabkan
pada koagulum yang dihasilkan bahan ekstrak nenas masih banyak mengandung air
di dalam bahan olah karetnya. Koagulan ekstrak nenas memiliki sifat menahan air
yang memudahkan berkembangnya mikroorganisme pengurai protein dan
hidrokarbon karet. (Saputra, 2012).
Dalam rangka peningkatan mutu karet alam di Kabupaten Nias dan mengatasi
sulitnya mendapatkan koagulan yang disarankan industri, maka perlu dilakukan
kajian dan penelitian koagulan alternatif yang tersedia di daerah Nias. Penggunaan
ekstrak nenas sebagai koagulan perlu dilakukan kajian dan penelitian karakteristik
sifat fisik dan kimia ekstrak buah nenas, dan karakteriasi dari lembaran karet yang
dihasilkan, yang meliputi kadar abu, kadar kotoran, kadar nitrogen, kadar zat
menguap, plasiticity retention index (PRI) dan viskositas mooney.
1.2. Rumusan Massalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik sifat fisik dan kimia ekstrak buah nenas setelah
disimpan dalam udara terbuka dan tertutup dengan variasi interval waktu ?
2. Adakah pengaruh lamanya penyimpanan ekstrak nenas sebagai koagulan lateks
terhadap kecepatan penggumpalan lateks ?
3. Adakah perbedaan kualitas karet olahan yang menggunakan koagulan ekstrak
buak nenas bila dibandingkan dengan kualitas karet yang menggunakan koagulan
asam formiat sebagi koagulan yang direkomendasikan ?
4. Bagaimana kualitas karet olahan dari Kabupaten Nias yang menggunakan
ekstrak nenas sebagai koagolan dapat memenuhi standar mutu karet Indonesia ?
5
1.3. Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini yang menjadi batas permasalahan berupa:
1. Bahan baku (raw material) dalam penelitian ini adalah ekstrak nenas (Ananas
sativus) yang sudah matang jenis Cayene
2. Ekstrak nenas dihasilkan dari buah nenas (kulit dan daging buah).
3. Koagulum karet yang dianalisa adalah koagulum karet yang menggunakan
koagolan ekstrak nenas yang disimpan selama 1, 3, 5, 7 dan 9 hari, serta asam
formiat.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan ekstrak nenas terhadap
keasaman ekstrak nenas dan pengaruhnya terhadap kecepatan penggumpalan
karet
2. Untuk mendapatkan alternatif koagulan karet alam yang terdapat di daerah
3. Untuk mengetahui perbandingkan kualitas mutu lembaran karet yang
digumpalkan dengan ekstrak nenas (Ananas sativus) dengan yang digumpalkan
dengan asam formiat.
4. Untuk mengetahui kualitas mutu lembaran karet yang digumpalkan dengan
ekstrak nenas (Ananas sativus) yang mengacu pada standar mutu karet Indonesia
( Standard Indonesia Rubber / SIR )
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain :
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi dunia
industri, ilmu pengetahuan, dan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan kualitas karet dan bahan olahan karet Nias melalui pemanfaatan sumber
daya alam.
1.6. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan penelitian meliputi :
1. Mempelajari dan mengati bagaimana proses penanganan karet rakyat dan bahan
olahan karet di Nias
2. Mempelajari jenis-jenis kontaminan yang ada di dalam pengolahan bahan baku
karet dan bahan olahan karet di Nias.
3. Mempelajari kandungan zat kimia yang terdapat pada buah tanaman nenas
(Ananas sativus)
4. Mengusulkan alternatif teknik koagulasi dengan koagulan alternatif dan
pemprosesan bahan olahan karet menjadi karet yang bermutu.
5. Analisa kualitas lembaran karet yang menggunakan penggumpal ekstrak nenas
(Ananas sativus) .
Gambar 1.1. Karet dan Kolam Penyimpanan Karet di Nias
7
karet alam telah dimanfaatkan secara meluas pada pembuatan ban, selang, sepatu, alat
rumah tangga, olah raga, peralatan militer dan kesehatan.
Karet alam yang berwujud cair disebut lateks. Lateks merupakan suatu cairan
yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan, yang terdiri atas partikel karet
dan bahan non karet yang terdispersi di dalam air (Triwiyoso et al., 1995). Lateks
segar pada umumnya berupa cairan susu, tetapi kadang-kadang sedikit berwarna,
tergantung dari klon (varietas) tanaman karet.
Lateks atau getah karet terdapat di dalam pembuluh-pembuluh lateks yang
letaknya menyebar secara melingkar di bagian luar lapisan kambium. Lateks
diperoleh dengan membuka atau menyayat lapisan korteks. Penyayatan lapisan
korteks tanaman karet dikenal sebagai proses penyadapan, yaitu suatu tindakan
membuka pembuluh lateks agar lateks yang terdapat di dalam tanaman dapat keluar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lateks adalah penyadapan, arah dan sudut
kemiringan irisan sadap, panjang irisan sadap, letak bidang sadap, kedalaman irisan
sadap, frekuensi penyadapan dan waktu penyadapan. Lateks hasil penyadapan dikenal
dengan nama lateks kebun (Junaidi, 1996).
Karet alam adalah senyawa hidrokarbon yang merupakan polimer alam hasil
penggumpalan lateks alam dan merupakam makromolekul poliisoprena (C5H8)n yang
bergabung secara ikatan kepala ke ekor (head to tail). Menurut Honggokusumo
(1978), bahan penyusun karet alam adalah isoprena C5H8 yang saling berikatan secara
kepala ke ekor 1,4 membentuk poliisoprena (C5H8)n , dimana n adalah derajat
polimerisasi yang menyatakan banyaknya monomer yang berpolimerisasi membentuk
polimer
Karet alam mempunyai struktur molekul cis-1,4-polyisoprena. Umumnya berat
molekulnya berkisar 104-107 dan indeks distribusi berat molekul diantara 2.5 sampai
10. Dengan kelenturan rantai molekul yang tinggi, karet alam memiliki elastisitas
luar biasa, ketahanan leleh yang tinggi, dan kehilangan histerisis yang rendah. Di saat
yang sama streoregulitas tinggi dari struktur molekul karet alam menyebabkan
ketegangan pada daerah kristal yang berakibat pada kemampuan memperkuat diri
sendiri yang ditandai dengan menjadi naiknya kemampuan tarik, ketahanan koyak
(tear strength) dan ketahanan gores. Selain itu, sifat di atas membuat karet alam
mudah untuk diproses. Rumus bangun molekul isoprena (2-metil-1,3-butadiena) dan
cis-1,4 poliisoprena adalah sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1
H2C C CH CH2
CH3
(a)
H3C H H3C H
C = C C = C
H2C CH2 H2 C CH2
(b)
Gambar 2.1. Rumus Struktur Kimia Karet Alam. (a) 2-metil-1,3-butadiena, (b) cis-1,4 poliisoprena
Komposisi karet alam secara umum adalah senyawa hidrokkarbon, protein,
karbonhidrat, lipida, persenyaan organik lain, mineral, dan air. Besarnya persentase
dari masing-masing bagian tersebut tidak sama, tergantung pada cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan. Menurut Surya (2006), komposisi karet alam sebagai
berikut :
9
Tabel. 2.1.Komposisi Karet Alam (Surya , 2006)
No Komponen Komponen dalam
latex segar (%)
Komponen dalam latex kering (%)
1 Karet Hidrokarbon 36 92-94
2 Protein 1,4 2,5-3,5
3 Karbohidrat 1,6 -
4 Lipida 1,6 2,5-3,2
5 Persenyawaan Organik Lain 0,4 -
6 Persenyawaan Anorganik 0,5 0,1-0,5
7 Air 58,5 0,3-1,0
Menurut Triwiyoso dan siswanto (1995), lateks terdiri atas partikel karet dan
bahan bukan karet yang terdispersi di dalam air dengan jumlah yang relatif kecil.
Untuk mengetahuinya, lateks hevea di pusingkan delam alat pemusing ultra dengan
kecepatan ± 18.000rpm selama 15 menit. Lateks terdiri dari empat fraksi, yaitu fraksi
karet (37%), fraksi frey wyssling, fraksi serum (48%) dan fraksi dasar (15%).
Menurut Tanaka (1998), partikel karet terdidi atas hidrokarbon yang diselimuti
oleh fosfolipida dan protein dengan diameter 0,1 µ m - 1,0 µm. Partikel karet tersebar
secara merata (tersuspensi) dalam serum lateks dengan ukuran 0,04 -3,0 mikron atau
0,2 milyar partikel karet per mililiter lateks. Partikel karet memiliki bentuk lonjong
sampai bulat. Bobot jenis lateks 0,045 pada suhu 70 0F, serum 1,02 dan karet 0,91.
Perbedaan bobot jenis dapat menyebabkan terjadinya pemisahan pada permukaan
lateks. Bentuk partikel karet dapat ditunjukkan pada gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Partikel Karet (Tanaka, 1998)
2.1.1 Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional
Karet memiliki berbagai peranan penting bagi Indonesia, antara lain : (a) Sumber
pendapatan dan lapangan kerja penduduk; (b) Sumber devisa negara dari ekspor
non-migas; (c) Mendorong tumbuhnya agro-industri di bidang perkebunan; dan (d)
Sumber daya hayati dan pelestarian lingkungan. Luas areal tanaman karet pada tahun
2006 sekitar 3,31 juta hektar, dengan produksi 2,64 juta ton atau 27,3% produksi
karet alam dunia (9.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil
karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2007). Pada tahun 2005, karet
mampu menghasilkan devisa hingga US $ 2,58 milyar, naik menjadi US $ 3,77
milyar pad tahun 2006, menempatkan karet sebagai komoditas penghasil devisa
terbesar diantara komoditas perkebunan. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun
terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985
menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 2,29 juta ton pada tahun 2006. Pendapatan
devisa dari komoditi ini pada tahun 2005 mencapai US$ 2,58 milyar, dan meningkat
tajam menjadi US $ 4,36 milyar pada tahun 2006 seiring dengan melonjaknya harga
karet dari 1,2 USD/kg hingga sekitar 2 USD/kg pada tahun 2006 (Depperind, 2007).
Bagi perekonomian nasional, karet merupakan komoditas perkebunan yang
sangat penting. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga
memberikan kontribusi yang signifikan sebagai salah satu sumber devisa non-migas,
pemasok bahan baku karet dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan
sentral-sentral ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangan karet. Karet
11
bersama-sama dengan kelapa sawit merupakan dua komoditas utama penghasil devisa
terbesar dari subsektor perkebunan. dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, karet
menyumbang devisa dari 25% hingga 40% terhadap total ekspor produk perkebunan.
Gambar 2.3KebunKaret Alam
Disamping sebagai penghasil devisa ekspor, perkebunan karet sebagian besar
merupakan perkebunan rakyat dengan rata-rata luas kepemilikan relatip kecil, tetapi
merupakan sumber mata penghasilan bagi berjuta-juta keluarga petani karet. Pada
tahun 2006, luas areal perkebunan rakyat mencapai tidak kurang dari 85%, sisanya
merupakan perkebunan Negara dan Swasta. Dari total produksi, hampir 76% nya
berasal dari perkebunan rakyat.
2.1.2. Prospek Perdagangan Karet Alam
Hasil kajian para pakar memperlihatkan bahwa prospek perdagangan karet alam
dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan konsumsi
karet menurut ramalan ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris Jenderal
International Rubber Study Goup, Dr. Hidde P. Smit, mennunjukkan bahwa konsumsi
karet alam akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 8,5 juta ton di
tahun 2005, naik menjadi 9,23 pada tahun 2006, dan diprediksi menjadi 11,9 juta ton
pada tahun 2020. Sementara itu produksi karet alam dunia sebesar 8,5 juta ton pada
tahun 2005, naik menjadi 9,18 juta ton pada tahun 2006, diprediksi menjadi 11,4 juta
ton di tahun 2020. Harga karet alam di pasar dunia juga diprediksikan tetap bertahan
pada level di atas US $ 1 per kg, bahkan pada tahun 2013 diperkirakan bisa
menembus US $ 2,4 per kg dan bahkan level harga tersebut telah dicapai pada tahun
2006 ini. Pada tahun 2020 diperkirakan harga karet alam di pasaran dunia tetap
bertahan pada angka US $ 1,9 per kg. Timbulnya peningkatan konsumsi karet alam di
negara-negara Asia disebabkan makin meningkatnya perkembangan industri ban dan
komponen industri lainnya. Konsumsi karet alam dan karet sintetik dunia yang pada
tahun 2004 baru mencapai 20,03 juta ton akan meningkat mencapai 28,67 juta ton
pada tahun 2020, diantaranya 11,9 juta ton karet alam. Indonesia diharapkan dapat
memasok 3,5 juta ton pada tahun 2020.
IRSG berpendapat bahwa pada jangka panjang diperkirakan terdapat kekurangan
pasok yang tidak saja disebabkan oleh permintaan dunia yang meningkat dengan
cepat tetapi juga 2 diantara 3 negara penghasil karet alam yaitu Malaysia dan
Thailand yang merupakan negara dengan ekonomi yang berkembang cepat, mungkin
menjadi generasi baru dari Newly Industrialized Countries (NICs), sehingga kedua
negara akan meninggalkan agobisnis karet. Indonesia diharapkan dapat mengisi
kekurangan pasok untuk kebutuhan dunia.
2.1.3. Jenis-Jenis Karet Alam
Karet merupakan polimer yang bersifat elastis, sehingga dinamakan pula sebagai
elastomer. Saat ini karet digolongkan atas karet sintetik dan karet alam. Karet sintetik
dibuat secara polimerisasi fraksi-fraksi minyak bumi. Contoh karet sintetik yang kini
banyak beredar adalah SBR (Strirene Butadiene Rubber), NBR (Nitrile Butadiene
Rubber), karet silikon, Urethane, dan karet EPDM (Ethilena Propilena Di Monomer).
Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Braziliensis. Karet
alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal
elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan
(fatigue). Berdasarkan keunggulan tersebut, maka saat ini karet alam sangat
dibutuhkan terutama oleh industri ban.
13
Berdasarkan cara pengolahan dan jenis bahan baku penggumpalan, karet alam
dibedakan dalam 2 golongan :
1. Karet konvensional.
Karet konvensional adalah karet yang tingkatan mutunya ditetapkan berdasarkan
sifat-sifat visual, seperti warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan noda-noda lain.
Sesuai dengan mutu, sifat visual dan cara pengepakan, karet alam terdiri dari 8 tipe
(Anonim, 2012), yaitu :
Karet spesifikasi teknis adalah karet yang diolah dalam bentuk karet remah dan jenis
mutunya ditetapkan berdasarkan pengujian sifat-sifat teknis sesuai dengan rumusan “
International Standard Organization “, yaitu mencakup kadar kotoran, kadar abu,
kadar tembaga, kadar mangan, kadar zat yang mudah menguap, kadar nitrogen, PRI
dan karakteristik vulkanisasi (curing characteristics). Di Indonesia karet spesifikasi
teknis ini dikenal sebagai SIR (Standars Indonesian Rubber), yang ditetapkan oleh
Menteri Perdagangan dan Perindusterian Republik Indonesia dan mengacu kepada
perkembangan teknologi serta permintaan konsumen. Selain itu mengenal lateks
kebun yang berwarna putih kekuning-kuningan, diperoleh dari pohon Hevea
brasiliensis. Komponen utamanya adalah karet (36%, b/b), protein (2%, b/b), air
(59%, b/b), damar (1%, b/b), abu (0,5%, b/b), dan gula (1,5%, b/b). Angka-angka
tersebut diatas tidak tetap, tergantung pada beberapa faktor seperti jenis klon karet,
keadaan tanah, keadaan cuaca, keadaan iklim, musim dan lain sebagainya. Hasil
pengolahan lateks kebun secara teknis pemusingan kimiawi, dengan menambahkan
bahan penggumpal asam organik seperti asam formiat dan asam asetat pada pH
sekitar 4,5 menghasilkan lateks pekat dengan kadar karet kering 60 % dan mutunya
memenuhi spesifikasi teknis yang mengacu kepada American Society for Testing and
Material D 1076 (ASTM.D.1076) atau International Organization for Standardization
2004 (ISO. 2004). Berdasarkan kadar amonia yang terdapat dalam lateks pekat kita
mengenal : Lateks pekat amonia rendah (Low Ammonia) adalah lateks pekat yang
mengandung amonia maksimum 0,29%, lateks pekat amonia tinggi (High Ammonia)
adalah lateks pekat yang mengandung amonia maksimmum 0,60%.
Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet
sit asap, karet krep dan crumb rubber.
a) Lateks pekat diolah langsung dari lateks kebun melalui proses pemekatan yang
umumnya secara sentrifugasi sehingga kadar airnya turun dari sekitar 70%
menjadi 40-45%. Lateks pekat banyak dikonsumsi untuk bahan baku sarung
tangan, kondom, benang karet, balon, kateter, dan barang jadi lateks lainnya.
Mutu lateks pekat dibedakan berdasarkan analisis kimia antara lain kadar karet
kering, kadar NaOH, Nitrogen, MST dan analisis kimia lainnya.
b) Karet sit asap atau dikenal dengan nama RSS (Ribbed Smoked Sheet) dan karet
krep (creep) digolongkan sebagai karet konvensional, juga dibuat langsung dari
lateks kebun, dengan terlebih dulu menggumpalkannya kemudian digiling
menjadi lembaran-lembaran tipis, dan dikeringkan dengan cara pengasapan untuk
karet sit asap, dan dengan cara pengeringan menggunakan udara panas untuk
karet krep. Mutu karet konvensional dinilai berdasarkan analisis visual
permukaan lembaran karet. Mutu karet akani makin tinggi bila permukaannya
makin serag, tidak ada gelembung, tidak mulur, dan tidak ada kotoran serta
teksturnya makin kekar/kokoh.
c) Crumb rubber (karet remah) digolongkan sebagai karet spesifikasi teknis
(TSR=Technical Spesified Rubber), karena penilaian mutunya tidak dilakukan
15
secara visual, namun dengan cara menganalisis sifat-sifat fisiko-kimianya seperti
kadar abu, kadar kotoran, kadar N, plastisitas Wallace dan viskositas Mooney.
Crumb rubber produksi Indonesia dikenal dengan nama SIR (Standard
Indonesian Rubber). Saat ini umumnya (SIR 10 dan 20) dibuat dari lump atau
sleb dari perkebunan rakyat. Disebabkan bahan bakunya kotor, maka proses
pengolahan dipabrik crumb rubber melibatkan berbagai peralatan pengecilan
ukuran (size reduction) dan pencucian.
2.2 Kemantapan dan penggumpalan Lateks
Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil, yaitu tidak terjadi koagulasi
atau penggumpalan selama penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
kestabilan lateks tersebut adalah sebagai berikut :
1) Ada kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum)
misalnya assosiasi komponen-komponen bukan karet pada permukaan
partikel-partikel karet.
2) Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri (Robert, A. D., 1988).
Disamping kedua faktor di atas ada tiga faktor lain yang dapat menyebabkan
sistem koloid partikel-partikel karet menjadi tetap stabil, yaitu :
1) Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak
menolak antara dua atau lebih partikel karet tersebut.
2) Adanya interaksi antara molekul air dengan partikel karet yang menghalangi
terjadinya penggabungan partikel-partikel karet tersebut.
3) Energi bebas antara permukaan yang rendah.
Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang teradsorpsi
pada pernukaan partikel karet (lapisan primer) dan lapisan protein pada lapisan luar
(lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel koloid. Penambahan
bahan pengawet ammonia dan bahan pemantap ammonium laurat akan
menyempurnakan lapisan pelindung tersebut (Ompusunggu, M dan A. Darussamid,
1989).
Penggumpalan atau koagulasi lateks merupakan peristiwa perubahan fasa sol ke
fasa gel dengan pertolongan bahan penggumpal. Kemantapan koloid lateks
merupakan hal yang penting untuk mengetahui sifat-sifat fisis dan kimia lateks.
Menurut Honggokusumo (1978), kemantapan lateks dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu gerak Brown, muatan listrik dan dehidrasi.
Lateks dapat menggumpal secara alami (spontaneus coagolation) apabila setelah
penyadapan lateks dibiarkan. Menurut Goutara et. al (1985), peristiwa spontaneus
coagolation dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet (anti Koagulan).
Bahan yang sering digunakan pada lateks dalah NH3. Anti koagulan tersebut
berfungsi untuk menaikkan pH lateks, sehingga dapat meningkatkan kemantapan
lateks dan juga berfungsi sebagai bakterisida.
Menurut Barney (1973), penggumpalan lateks dapat terjadi karena penurunan
muatan listrik dan dehidrasi. Penggumpalan lateks dapat berlangsung dengan
penambahan elektrolit, penambahan zat aktif permukaan dan pengaruh enzim. Dilain
pihak, Honggokusumo (1978) menyatakan bahwa penggumpalan lateks mengikuti
prinsip dehidrasi, dilakukan dengan menambahkan bahan yang menyerap lapisan
molekul air disekeliling partikel karet yang bersifat sebagai selaput pelindung.
Penurunan pH dalam lateks terjadi karena terbentuknya asam-asam yang
dihasilkan oleh bakteri, pelepasan serum B dari fraksi dasar yang sifatnya relatif asam
atau oleh penambahan asam. Penambahan asam akan menyebabkan turunnya pH
sampai pada titik isoelektrik (4,7), yang dapat menyebabkan partikel-partikel karet
kehilangan muatan atau netral, sehingga tidak terdapat lagi daya tolak
partikel-partikel karet yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya penggumpalan.
Penggumpalan diawali dengan flokulasi yaitu interaksi antara partikel karet dengan
partikel karet lainnya selanjutnya terjadilah koagulasi.
Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil
penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan. Hal ini pertama-tama
berlaku untuk alat-alat yang digunakan dalam pekerjaan penggumpalan lateks
bersentuhan dengannya. Selain dari kemungkinan pengotor lateks oleh
17
kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran tersebut dapat pula menyebabkan
terjadinya prokougulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk
diolah.
Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan.
Dalam keadaan tertentu, pada saat penggumpalan lateks biasa juga menggunakan
obat anti koagulasi (antikoagulan) untuk mencegah terjadinya prokougulasi. Tetapi
penggunaan anti koagulasi ini harus dibatasi sampai batas sekecil-kecilnya, karena
biasanya cukup besar dan kadang-kadang lateks yang dibubuhi antikoagulan
memerlukan obat koagulan (misalnya asam semut) yang terpaksa kadarnya harus
dinaikkan. Penambahan asam yang berlebihan dalam proses koagulasi juga dapat
menghambat proses pengeringan (Setyamidjaja, 1993).
Penggumpalan dengan cara penetralan muatan dalam lateks dapat juga terjadi
dengan sendirinya akibat kontaminasi dengan mikroba yang terdapat disekelilingnya.
Mikroba ini merombak senyawa-senyawa bukan karet seperti karbohidrat, protein
atau lipid menghasilkan lemak eteris (asam asetat dan asam propionat).
Penggumpalan dapat juga terjadi dengan cara dehidrasi yaitu dengan penambahan
alcohol yang bersifat menarik air. Penggumpalan dapat juga dilakukan dengan
penambahan larutan elektrolit bermuatan positif yang menetralkan muatan negatif
dari sistem koloid seperti kalsium dan magnesium (Roberts, 1988)
Adapun bahan-bahan penggumpal lateks yang sering digunakan adalah asam
asetat (CH3COOH) dan asam formiat (HCOOH). Pada waktu penggumpalan lateks
harus diperhatikan hal-hal berikut :
1) JumLah asam yang harus sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 20 mL
CH3COOH 2,5% atau 20 mL HCOOH 2% tiap 1 liter lateks.
2) Pengadukan harus hati-hati dan sempurna karena dapat menyebabkan gelembung
udara, ketebalan dan kekerasan koagulum yang tidak merata.
2.3. Kontaminasi Pada Bahan Olah Karet
Lateks sebagai sumber pertama dari bahan baku crumb rubber sesungguhnya
merupakan material alam yang sangat bersih, bahkan mengandung bahan-bahan yang
berperan penting dalam menjaga mutunya agar tetap baik. Didalam lateks, selain
hidrokarbon karet (polimer poliisoprena), terkandung juga berbagai senyawa penting
antara lain lipid dan protein. Lipid berperan sebagai antioksidan, yakni bahan
pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain
berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang
mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Masuknya
kontaminan ke dalam karet, akan merusak bahan-bahan alami tersebut . Kontaminasi
terhadap sesuatu produk diartikan sebagai pencemaran. Dengan demikian kontaminan
bisa didefinisikan sebagai zat pencemar, karena berdampak buruk terhadap mutu,
seperti bersifat meracuni, produk menjadi cepat busuk, merusak tekstur, warna, dan
kerusakan mutu lainnya. Demikian pula untuk karet, kontaminan bisa menyebabkan
karet mudah teroksidasi, memperlemah elastisitas, menurunkan kekuatan tarik, dan
ketahanan sobek dari vulkanisatnya.
Sebagai contoh kasus untuk karet, tawas sebagai koagulan bisa dianggap sebagai
kontaminan, karena didalam tawas terkandung logam alkali yang bersifat sebagai
pro-oksidan, serta berdampak menahan air yang memudahkan berkembangnya
mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon karet. Itulah sebabnya mengapa
koagulan yang disarankan hingga kini adalah asam semut, asam cuka atau asam
lemah lainnya. Koagulan-koagulan tersebut tidak berbahaya, bahkan meningkatkan
mutu karena bersifat mendorong air/serum untuk segera keluar dari koagulum.
Contoh lain yang sering terjadi di dalam bahan baku crumb rubber adalah sering
masuknya pasir dan tatal ke dalam bokar secara sengaja maupun tidak disengaja.
Untuk mengeluarkan kedua zat pengotor tersebut diperlukan serangkaian proses
pengecilan dan pencucian yang banyak memerlukan air, listrik dan waktu proses.
19
Dengan demikian, kontaminan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap mutu
produk, namun juga memerlukan biaya ekstrak untuk membersihkannya.
2.4. Standart Mutu Karet Indonesia
Pengawasan mutu dalam kegiatan penerapan jaminan mutu karet, merupakan
langkah penting bagi pelaku usaha untuk mendapatkan pengakuan formal terkait
dengan konsistensi standar mutu produk yang dihasilkan. Pemerintah Republik
Indonesia melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah mengeluarkan SNI
06-1903-2000 tentang StandardIndonesia Rubber (SIR)
Standar ini meliputi ruang Iingkup, definisi, penggolongan, bahan olah, syarat
ukuran, syarat mutu, pengbilan contoh, cara uji, pengemasan, syarat penandaan dan
catatan umum Standard Indonesian Rubber (SIR).
Standard Indonesian Rubber adalah karet alam yang diperoleh dengan
pengolahan bahan olah karet yang berasal dari getah batang pohon Hevea Brasiliensis
secara mekanis dengan atau tanpa bahan kimia, serta mutunya ditentukan secara
spesifikasi teknis.
SIR digolongkan dalam 6 jenis mutu yaitu:
1) SIR 3 CV ( Constant Viscosity )
2) SIR 3 L ( Light )
3) SIR 3 WF ( Whole Field )
4) SIR 5
5) SIR 10
6) SIR 20
Syarat mutu karet yang telah ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia
melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan mengeluarkan SNI
06-1903-2000 tentang Standard Indonesia Rubber (SIR), ditunjukkan dalam Tabel 2.2. di
bawah ini.
Tabel 2.2. Skema Persyaratan Mutu Karet Indonesia
1 Kadar Kotoran (b/b) % Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03 Maks 0.03
2 Kadar Abu (b/b) % Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.50 Maks 0.75 Maks 1.00
3 Kadar Zat Menguap (b/b) % Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80 Maks 0.80
4 P R I - Min 60 Min 75 Min 75 Min 70 Min 60 Min 50
5 Po - - Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 Min 30
6 Nitrogen (b/b) % Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60 Maks 0.60
7 Kemantapan
- Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan
13 Warna Pita Plastik - Jingga Transparan Putih Susu/
Transparan
*) Tanda Pengenal Tingkatan Batasan Viskositas Mooney :
CV — 50 45 — 55
CV — 60 55 — 65
CV — 70 65 — 75
'*) Informasi mengenai cure diberikan dalam bentuk rheogaph sebagai standard
non—mandatory. (SNI 06-1903-2000)
21
2.4.1 Kadar Kotoran
Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325
mesh. Adanya kotoran didalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat
dinamika yang unggul darl vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan
ketahanan retak lenturnya. Kotoran tersebut juga mengganggu pada pembuatan
vulkanisat tipis
Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi untuk
memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling ulang, dilarutkan didalam
pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat untuk
memudahkan larutnya karet (rubber peptiser). Larutan kotor yang tertinggal
kemudian dituangkan melalui saringan 325 mesh. Kotoran yang tertinggal pada
saringan setelah dikeringkan didalam oven, kemudian ditimbang setelah didinginkan.
Hasil pelaksanaan pengujian yang baik, dapat dilihat dari mudah bergeraknya
kotoran kering didalam saringan
Kadar kotoran dapat dihitung dengan rumus :
Kadar kotoran =
x
100 % ...(2.1)dengan:
A = bobot saringan berikut kotoran
B = bobot saringan kosong
C = bobot potongan uji
2.4.2 Kadar Abu
Abu didalam karet terjadi dari Oksida, Karbonat dan Fosfat dari Kalium, Magnesium,
Kalsium, Natrium dan beberapa unsur lain dalam jumlah yang berbeda-beda. Abu
dapat pula mengandung silicat yang berasal dari karet atau benda asing yang jumlah
kandungannya bergantung pada pengolahan bahan mentah karet.
Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor seperti tanah yang
mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan membusuk). Kadar abu
ini dapat tinggi akibat perlakukan yang tidak dianjurkan misalnya penggumpalan
lateks dengan menggunakan ammonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet kering
tinggi.
Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar tinggkat
pengolahan maka kadar abu semakin rendah, misalnya lateks yang digumpalkan
tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari pada dengan
pengenceran. Dengan kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan maka
semakin rendah kadar abu karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci
bersama serum (Kartowardoyo, 1980).
Abu dari karet memberikan sedikit gambaran mengenai jumlah bahan mineral
didalam karet. Beberapa bahan mineral didalam karet yang meninggalkan abu dapat
mengurangi sifat dinamika yang unggul seperti kalor timbul ( heat build - up) dan
ketahanan retak Ientur (flex cracking resistance) dari vulkanisat karet slam.
Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :
Kadar Abu =
x
100 % ...(2.2)dengan
A = bobot cawan berikut abu
B = bobot kosong
C = bobot potongan uji
2.4.3. Kadar Nitrogen
Karet alam pada umumnya memiliki kadar nitrogen yang cukup tinggi, yang besarnya
berpengaruh terhadap sifat teknis karet. Menurut Alfa et al (1998), tingginya kadar
nitrogen akan mempengaruhi karakteristik vulkanisasi dan sifat vulkanisat karet.
Kandungan nitrogen karet alam terdapat dalam bentuk protein. Menurut Yapa dan
23
Yapa (1984), hidrolisis protein dapat dilakukan dengan metode kimiawi dan metode
enzimatis.
Menurut Johnson dan Peterson (1974), cara efisien untuk menghidrolisis protein
adalah dengan menggunakan enzim protease. Enzim protease atau proteolitik adalah
enzim yang dapat menguraikan atau memecahkan protein. Protease termasuk dalam
kelas utama enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi reaksi hidrolisis. Menurut
Winarno (1989), reaksi kalalisis enzim protease adalah menghidrolisis ikatan peptida
pada protein. Reaksi hidrolisisi protein dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4.Hidrolisa Protein (Winarno, 1989)
Nitrogen terdapat di dalam karet terutama berasal dari protein dan dapat
digunakan sebagai petunjuk besarnya kadar protein. Walaupun banyaknya nitrogen
bergantung pada jenis protein, diperkirakan kadar protein = 6,25 x kadar nitrogen,
tetapi tidak dapat dianggap sebagai kadar protein yang sebenarnya. Karet Skim
mengandung kadar nitrogen yang tinggi. Nitrogen ditetapkan dengan cara semimikro
Kjeldahl. Karet dioksidasi dengan pemanasan oleh campuran katalis dan asam sulfat
pekat, yang merubah senyawaan nitrogen menjadi ammonium hidrogensulfat. Setelah
suasana dirubah menjadi basa, amonia dipisahkan dengan destilasi uap dan diikat
oleh larutan standar asam borat, kemudian dititer dengan larutan standar asam sulfat.
Kadar nitrogen dapat dihitung dengan rumus :
Kadar Nitrogen =
-
x
100 % ...(2.3)dengan :
V1 = mL H2SO4 untuk titrasi larutan berisi contoh
V2 = mL H2SO4 untuk titrasi larutan blanko
N = Normalitas H2SO4
W = bobot contoh (g)
2.4.4. Kadar Zat Menguap
Zat menguap di dalam karet sebagian besar terdiri dari uap air dan sisanya adalah
zat-zat lain seperti serum yang mudah menguap pada suhu 100 0C. Kadar zat menguap
adalah bobot yang hilang dari potongan uji setelah pengeringan.
Adanya zat yang mudah menguap di dalam karet, selain dapat menyebabkan bau
busuk, memudahkan tumbuhnya jamur yang dapat menimbulkan kesulitan pada
waktu mencampurkan bahan-bahan kimia ke dalam karet pada waktu pembuatan
kompon tersebut terutama untuk pencampuran karbon black pada suhu rendah.
Kadar zat menguap dapat dihitung dengan rumus :
Kadar Zat Menguap =
x
100 % ...(2.4)dengan :
A = bobot cawan berikut contoh sebelum dipanaskan
B = bobot cawan berikut contoh setelah dipanaskan
C = bobot potongan uji
2.4.5. Plastisitas Retention Index
Plasticity Retention Index (PRI) adalah cara pengujian yang sederhana dan cepat
untuk mengukur ketahanan karet terhadap degadasi oleh oksidasi pada suhu tinggi.
Oksidasi karet oleh udara (O2) terjadi pada ikatan rangkap molekul karet, yang akan
berakhir dengan pemutusan ikatan rangkap karbon-karbon sehingga panjang rantai
polimer semakin pendek.
25
Terputusnya rantai polimer pada karet mengakibatkan sifat karet menjadi rendah.
Bila nilai PRI diketahui, dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet mudah
menjadi lunak atau lengket jika lama disimpan atau dipanaskan. Hal ini berhubungan
dengan vulkanisasi karet pada pembuatan barang jadi, agar diperoleh sifat dari barang
jadi karet yang lebih kuat.
Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan
dan proses pengolahan karet. Terdapatnya nilai PRI yang rendah, disebabkan karena
terjadinya reaksi oksidasi pada karet. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
oksidasi pada karet antara lain adalah:
a). Sinar Matahari
Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang menggiatkan terjadinya
oksidasi pada karet apabila bahan baku lateks dan koagulum tekena langsung
oleh sinar matahari, hal ini ditandai dengan mengeringnya kulit permukaan lateks
dan koagulum.
b. Pengenceran lateks dan Koagulum
Pengenceran lateks dengan penambahan air yang terlalu banyak dan perendaman
dengan air yang terlalu lama yang tujuannya untuk mencuci kotoran-kotoran
yang melekat pada koagulum. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat-zat
non-karet didalam lateks seperti terlarutnya asam-asam amino yang berfungsi sebagai
anti oksidasi dan dapat juga berfungsi sebagai bahan pemacu cepat pada
pembuatan barang jadi karet yang selanjutnya menurunkan PRI pada karet.
c. Zat-zat pro-oksidasi (tembaga atau mangan)
Kandungan ion-ion log seperti Cu, Mg, Mn, dan Ca berkolerasi dengan kadar abu
didalam analisa karet. Kadar abu diharapkan rendah karena sifat logam tembaga
(Cu) dan mangan (Mn) adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion
merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang
melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi
dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah.
d. Pengeringan karet
Penguraian molekul karet oleh reaksi oksidasi dapat pula terjadi bila karet
dikeringkan terlalu lama dan temperatur pengeringan yang dipakai adalah 127oC, dengan waktu pengeringan 2 - 4 jam tergantung pada jenis alat pengeringan.
Nilai PRI akan turun bila terjadi ikatan silang (Storage Hardening) didalam lateks
kebun dan diantara butiran-butiran karet hasil pengeringan. Ikatan silang terjadi
pada pembentukan gel secara perlahan-lahan sehingga butiran-butiran karet
menjadi melendir dan lengket-lengket. Hal ini akan menyebabkan plastisitas
karet Po karet, maka akan merubah nilai PRI karet sehingga menjadi
turun.(Oppusunggu, 1998)
Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi
khususnya pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka
terhadap oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang
mempengaruhi nilai PRI adalah perimbangan prooksidan dan anti oksidan dalam
karet. (Wadah, 1991)
Pengujian ini meiiputi pengujian plastisitas Wallace dari potongan uji sebelum
dan sesudah pengusangan didalam oven. Nilai PRI diukur dari besarnya keliatan
karet mentah yang masih tertinggal apabila sampel karet tersebut dipanaskan didalam
oven selama 30 menit pada suhu 140 oC. Nilai PRI adalah persentase keliatan karet
sesudah dipanaskan dan ditentukan dengan alat ukur Wallace Plastimeter.
Suhu dan waktu pengusangan diatur sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan perbedaan yang nyata dari berbagai jenis karet mentah. Nilai PRI yang
tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degadasi oleh oksidasi.
Besarnya nilai plasticity retention index (PRI) dapat dihitung dengan rumus :
Plasticity Retention Index (PRI) =
x
100 ...(2.5)dengan :
27
Po = Plastisitas awal
Pa (P30) = Plastisitas setelah pengusangan selama 30 menit
2.4.6. Viskositas Mooney
Viskositas Mooney karet alam (Heave Brasiliensi) menunjukkan panjangnya rantai
molekul karet atau berat molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya.
Pada umumnya semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin
panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran dengan dengan
kata lain karetnya semakin kental dan keras, sebaliknya karet yang memiliki
viskositas sangat rendah akan memberikan sifat karet jadi lembek dan kuat. Dalam
pembuatan ban dari karet alam dengan berat molekul tinggi cukup menarik karena
sifat fisika ban yang dihasilkan seperti daya kenyal, tegangan tarik, perpanjangan
putus dan sebagainya cukup baik.
Karet mempunyai nilai viskositas yang berbeda-beda dan nilai ini naik terus
selama penyimpanan atau disebut juga dengan pengerasan selama penyimpanan.
Karet yang sudah direaksikan dengan bahan kimia ini akan mempunyai nilai
viskositas yang tetap dan tidak berubah lagi untuk beberapa waktu. Karet yang
mempunyai viskositas konstan disebut viscosity stabilized rubber.
Viskositas dari karat pada umumnya di uji dengan alat ' Mooney Viscometer'
yang prinsip kerjanya adalah memutarkan sebuah rotor yang berbentuk silinder
didalam karat tersebut. Makin besar viskositas karet, makin besar pula perlawanan
yang diberikan oleh karet tersebut kepada rotor. Besarnya torak yang dialami oleh
sumbu rotor diukur oleh sebuah pegas yang berbentuk U dan dihubungkan dengan dengan mikrometer yang mempunyai skala 0 — 100.
2.5. Tanaman Nenas
2.5.1. Ciri-ciri Tanaman Nenas
Nanas (Ananas sativus) adalah sejenis tumbuhan tropis yang berasal dari Brazil,
Bolivia dan Paraguay. Tumbuhan ini termasuk dalam familia nanas-nanasan (Famili
Bromeliaceae). Perawakan tumbuhannya rendah, dengan 30 atau lebih daun yang
panjang, berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal
(Wikipedia, 2013).
Tanaman nanas yang berusia satu sampai dua tahun, tingginya 50- 150 cm,
mempunyai tunas yang merayap pada bagian pangkalnya. Daun berkumpul dalam
roset akar, dimana bagian pangkalnya melebar menjadi pelepah. Daun berbentuk
seperti pedang, tebal dan liat, dengan panjang 80-120 cm dan lebar 2-6 cm, ujungnya
lancip menyerupai duri, berwarna hijau atau hijau kemerahan. Buahnya berbentuk
bulat panjang, berdaging, dan berwarna hijau, jika masak warnanya menjadi kuning,
rasanya asam sampai manis (Dalimartha, 2001).
Menurut Muchtadi et al. (1994), buah nenas termasuk buah non klimaterik, yaitu
buah yang dipetik saat masak dan tidak mengalami kenaikkan respirasi yang cepat
selama pematangan . Tanaman nenas tumbuh dengan baik pada daerah tropis dengan
ketinggian 100 m sampai 800 meter di atas permukaan laut dengan suhu antara 21 oC
sampai 27 oC, curah hujan rata-rata 1000 mm sampai 1500 mm (Muljohardjo, 1984).
Tanah yang cocok untuk pertumbuhan nenas adalah tanah berpasir yang kaya akan
bahan organik dengan pH kurang dari 5,5 dan kandungan garam rendah.
Buah yang dihasilkan dari tanaman nenas merupakan buah majemuk berbentuk
slinder dengan bobot berkisar 0,5 kg sampai 3,0 kg. Panjang buah nenas berkisar
antara 10 cm sampai 14 cm dengan lingkar buah antara 30 cm sampai 36 cm
(Hudayah dan Hansani, 1981). Pada umumnya buah nenas memiliki daging buah
yang relatif tebal, tidak berbiji dan penuh kelopak yang berdaging. Bagian-bagian
buah nenas dapat dilihat pada Gambar 2.5
29
Gambar 2.5. Bagian-bagian Buah Nenas (Dull, 1971)
1. Mahkota 5. Kulit
2. Hati 6. Kelopak
3. Kelanjar madu 7. Daun pelindung
4. Plasenta 8. Tangkai
2.5.2. Klasifikasi Tanaman Nenas
Klasifikasi tanaman nanas adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Bromeliales
Famili : Bromiliaceae
Genus : Ananas
Species : Ananas sativus (Wikipedwia Indonesia, 2010).
2.5.3. Jenis-Jenis Nanas
Berdasarkan habitat tanaman, terutama bentuk daun dan buah dikenal 4 jenis
golongan nanas, yaitu:
a. Cayenne
Daun halus, ada yang berduri dan ada yang tidak berduri, ukuran buah besar,
silindris, mata buah agak datar, berwarna hijau kekuning-kuningan, dan rasanya
agak masam.
b. Queen
Daun pendek dan berduri tajam, buah berbentuk lonjong mirip kerucut sampai
silindris, mata buah menonjol, berwarna kuning kemerah-merahan dan rasanya
manis.
c. Spanyol
Daun panjang kecil, berduri halus sampai kasar, buah bulat dengan mata datar.
d. Abacaxi
Daun panjang berduri kasar, buah silindris atau seperti piramida.
Varietas nanas yang banyak ditanam di Indonesia adalah golongan Cayene dan
Queen. Golongan Spanish dikembangkan di Kepulauan India Barat, Puerto Riko,
Meksiko dan Malaysia. Golongan Abacaxi banyak ditanam di Brazilia (Santoso,
2010).
2.5.4. Kandungan Gizi Buah Nanas
Buah Nenas dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kulit buah, daging buah dan hati
buah. Kandungan kimia buah nenas dari bagian buah yang dapat dimakan sangat
bervariasi tergantung daerah pertumbuhan, kondisi sebelum panen dan kondisi
sesudah panen. Menurut Samson (1980) buah nenas mengandung protein 0,4%, gula
12-15% (2/3 bagian sukrosa), asam 0,6% (terbanyak 85% asam sitrat), air 80-85%,
abu 0,5%, lemak 0,1%, serat kasar dn vitamin.
Menurut Wirakusumah (2000) kandungan gizi dalam 100 g buah nanas adalah
sebagai berikut :
31
Tabel 2.3.Kandungan Gizi Buah Nenas
No. Unsur Gizi Jumlah
1. Kalori (kal) 50,00
2. Protein ( g ) 0,40
3. Lemak ( g ) 0,20
4. Karbohidrat (g) 13,00
5. Kalsium (mg) 19,00
6. Fosfor (mg) 9,00
7. Serat (g) 0,40
8. Besi (g) 0,20
9. Vitamin A (IU) 20,00
10. Vitamin B1 (mg) 0,08
11. Vitamin B2 (mg) 0,04
12. Vitamin C (mg) 20,00
13. Niacin (g) 0,20
Menurut Dull (1971) , asam organik utama yang terdapat dalam buah nenas
adalah asam sitrat, yang merupakan asam tidak menguap yang terbanyak dalam buah
nenas. Selain asam sitrat, dalam buah nenas juga terdapat asam malat dan asam
oksalat. Vitamin yang bayak terdapat dalam buah nenas adalah vitamin C, yang
besarnya dipengaruhi oleh tingkat kematangan , bagian daging buah dan varietas.
Pigmen yang terdapat dalam buah nenas adalah karoten dan xantofil yang
keduanya berperan dalam memberikan warna buah, Kandungan pigmen karoten
dalam buah nenas lebih besar dibandingkan dengan pigmen xantofil.
2.5.5. Ekstrak Nenas
Sari buah nenas atau ekstrak buah nenas merupakan cairan hasil pemerasan dengan
tekanan atau alat mekanis yang dikeluarkan dari bagian buah yang dapat dimakan.
Cairan tersebut dapat keruh atau bening tergantung dari jenis yang digunakan.