• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA

MASYARAKAT ACEH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH:

CUT RAFYQA FADHILAH

101301005

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang

saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas

sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam

skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik

yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku.

Medan, April 2015

(3)

Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee

pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee

tinggi.

(4)

The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba

ABSTRACT

This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan berkah dan

hidayah-Nya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi

Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya. Skripsi ini

berjudul “Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh.”

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima dukungan,

bantuan, bimbingan, serta saran dari beberapa pihak. Untuk itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua terbaikTeuku Abdullah Bennidan Nuraina Karim S.Pd. Terima

kasih ayah dan mami atas dukungan moral maupun materil, do’a, kasih

sayang yang tidak putus-putusnyadiberikan pada peneliti, serta perhatian dan

kepercayaannya. Terima Kasih untuk setiap do’a yang dipanjatkan kepada

peneliti.

2. Kakak dan abang-abang terbaik yang sangat peneliti sayangi Kak Intan, Bang

Pon, Bang Opit, dan Abang yang selalu sabar, mendukung, dan menyayangi

peneliti selama ini. I love you too.

3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

4. Ibu Ridhoi Meilona Purba, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima

(6)

saran, komentar, dan juga terima kasih atas kesabaran yang Ibu berikan kepada

peneliti.

5. Ibu Meutia Nauly, S.Psi., Psikolog., M.Si dan Omar Khalifa Burhan,

M.Scselaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan

banyak masukan sehingga penelitian ini bisa lebih baik lagi.

6. Khairi, Rika, Ayu, Dara, Indah, Upa, dan Novie. Sahabat-sahabat tercinta

sejak SMP dan SMA yang tetap saling mendukung satu sama lain dan telah

mengajarkan arti persahabatan sesungguhnya kepada peneliti.

7. Teman kuliah tercinta Ririn, Qiedeng, Ocha, Anggi, dan Riri. Terima kasih

telah menemani peneliti selama menjalani hari-hari perkuliahan. Terima kasih

atas dukungan, saran, bantuan, keceriaan, dan pembelajaran bagaimana

kerasnya kehidupan di Medan, Bung. Hope to see you again someday.

8. Teman kosan tercinta Sumarsono 16 dan Sarmin Girls, terutama Atin dan Teh

Oi, kakak-kakak dan adik-adik kosan yang tidak bisa ditulis satu per satu.

Terima kasih atas tawa canda yang membuat kehidupan perkuliahan dan anak

rantauan menjadi tak sesedih yang dibayangkan. Terima kasih telah

menemani peneliti melalui hari-hari dan berjuang di kota Medan.

9. Terimakasih untuk seluruh teman-teman angkatan 2010 atas pengalaman dan

suka duka selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Psikologi USU. I love you all.

10. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang sudah

(7)

11. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas

pelayananan yang baik buat peneliti dan para mahasiswa lainnya.

12. Masyarakat Aceh yang telah menjadi responden dalam penelitian ini dan

semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak

bisa peneliti sebutkan namanya satu per satu.

Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf jika

terdapat kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Penulis berharap skripsi

yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Medan, April 2015

(8)

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Sikap ... 11

1. Definisi Sikap... 11

2. Komponen Sikap ... 13

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap ... 13

B. Jinamee dan Masyarakat Aceh ... 15

1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh ... 16

2. Adat Menetap Setelah Pernikahan ... 17

3. Warisan ... 17

4. Jinamee ... 17

(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 23

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 24

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 24

1. Populasi Penelitian ... 24

2. Sampel Penelitian... 25

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 25

D. Metode Pengumpulan Data ... 26

1. Skala Sikap... 26

2. Wawancara Personal ... 27

E. Uji Validitas, Uji Daya Beda Aitem, dan Uji Reliabilitas ... 28

1. Uji Validitas ... 29

2. Uji Daya Beda Aitem ... 29

3. Uji Reliabilitas ... 30

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 32

1. Persiapan Penelitian ... 32

2. Pelaksanaan Penelitian ... 33

3. Pengolahan Data ... 33

G. Metode Analisa Data ... 33

1. Uji Normalitas ... 34

BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Gambaran Subjek Penelitian ... 35

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin…... . 35

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan 35 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... . 36

B. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 36

1. Uji Normalitas Sebaran ... 37

C. Hasil Penelitian ... 37

(10)

2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39

3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39

D. Hasil Analisa Wawancara ... 39

1. Hasil Analisa Data Wawancara…... ... 40

a. AnalisaData Subjek 1 ... 40

b. AnalisaData Subjek 2 ... 42

c. AnalisaData Subjek 3 ... 46

d. AnalisaData Subjek 4 ... 48

2. Kesimpulan Interpretasi Data Hasil Wawancara…... ... 49

E. Pembahasan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran... 65

1. Saran Praktis ... 65

2. Saran Metodologis ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba ... 28

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba ... 30

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian... 31

Tabel 4.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 35

Tabel 5.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36

Tabel 6.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 36

Tabel 7. HasilUji Normalitas ... 37

Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39

Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39

Tabel 10. Gambaran Subjek 1 ... 40

Tabel 11. Gambaran Subjek 2 ... 42

Tabel 12. Gambaran Subjek 3 ... 46

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian

Lampiran 2 Reliabilitas Aitem

Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas

(13)

Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee

pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee

tinggi.

(14)

The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba

ABSTRACT

This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Adat Mahar telah menjadi suatu hal yang ditakuti oleh sebagian besar

pemuda yang ingin menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta

yang sebagian besar perempuan saat inimeminta mahar dalam jumlah yang

tinggi (Ayu, 2010).

Ar-Rahli (2014) mengatakan bahwa tingginya kadar mahar telah

menjadi masalah sosial yang mencakup seluruh masyarakat, baik yang tinggal

di pedalaman maupun di daerah yang sudah berperadaban tinggi. Fenomena

ini menanamkan sebuah tradisi dan budaya pada masyarakat sehingga

menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Apabila ada yang tidak

mengikuti maka akan menjadi bahan celaan orang lain. Lebih lanjut Ar-Rahli

(2014) juga menyatakan fenomena tingginya kadar mahar telah menjadi

sebuah hambatan bagi pasangan yang ingin menikah. Para laki-laki merasa

tertekan, sementara wanita hanya diam dan putus asa menghadapinya. Hal ini

menyebabkan keengganan banyak laki-laki untuk menikah.

Di Indonesia pemberian mahar pada calon pengantin wanita dikenal

dengan istilah yang bermacam-macam seperti pada masyarakat Batak disebut

“ujung, sinamot, pangolin, boli, tuhor,” Jawa “tukon” Nias “beli niha,” Bugis

“sunrang,” Bali “petuku n luh,” Dayak “pekaian” Ambon “beli dan Timor

(16)

juga bermaksud sebagai imbalan dalam hal melepas wanita dari lingkungan

keluarganya. Pemberian ini dapat berupa barang bernilai dan pada masyarakat

yang masih terkebelakang dapat berupa manik-manik, barang pusaka yang

bernilai magic atau binatang piaraan (Ismail & Daud, 2012).

Aceh yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang akan menikah. Sama halnya dengan mahar, jinameeini menjadi suatu hak yang diterima oleh dara baro (calon pengantin wanita), dan menjadi kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya (Sufi,

2004).

Jinamee dalam adat Aceh disimbolkan dengan bentuk emas. Sangat jarang dan hampir tidak pernah ditemui dalam adat Aceh memberikan

jinamee dalam bentuk selain emas. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat Aceh emas adalah simbol dari kemewahan dan kekayaan. Tradisi ini menjadi

kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi

(Rizal, 2013).

Jumlah jinamee biasanya ditentukan menurut jumlah jinamee dari generasi keluarga sebelumnya. Apabila anak yang akan dinikahkan anak

pertama, maka ukuran jinamee didasarkan pada ukuran jinamee orangtuanya. Biasanya jinamee berkisar dari 5 sampai 25 mayam emas 24 karat. Mayam adalah ukuran emas untuk orang Aceh. Satu mayam kira-kira sama dengan

(17)

dikonversikan ke nilai mata uang rupiah berkisar puluhan juta rupiah. Harga

emas juga selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah

terhadap dolar. Jinamee ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan,

pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya (Sufi, 2004). Jinamee tersebut juga tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat

menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, dalam Ayu, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2010) mengenai makna jinamee

dalam penghargaan keluarga istri pada sistem pernikahan suku Aceh di

Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara, menunjukan bahwa

jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang

lebih menentukan adalah jumlah jinamee yang harus dibayar. Tingginya

jinamee di tentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati lagi dengan pihak keluarga laki-laki. Jumlah jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam (4,5

gram), 30 mayam (9 gram), sampai dengan 50 mayam emas (15 gram).

Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan

kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga

akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.

(18)

mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari

pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).

Fenomena jinamee tinggi ini menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Aceh sehingga muncul daftar jumlah jinamee untuk setiap daerah di Aceh. Tabel ini muncul dalam media sosial facebook dan media sosial lainnya di internet.

Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh

No Area Tipe-A Tipe-B Tipe-C Tipe-D

1. Pidie 60 s/d 50

mayam emas

40 s/d 30 mayam emas

25 s/d 20 mayam emas

19 s/d 10 mayam emas

2. Pidie Jaya 40 s/d 30

mayam emas

25 s/d 20 mayam emas

19 s/d 15 mayam emas

14 s/d 10 mayam emas

3. Bireuen 40 s/d 30

mayam emas

25 s/d 20 mayam emas

19 s/d 15 mayam emas

14 s/d 10 mayam emas

4. Aceh Besar 50 s/d 40

mayam emas

30 s/d 20 mayam emas

19 s/d 15 mayam emas

14 s/d 10 mayam emas

5. Banda Aceh 60 s/d 50

mayam emas

40 s/d 30 mayam emas

25 s/d 20 mayam emas

19 s/d 10 mayam emas

6. Sabang 35 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 6 mayam emas

7. Lhokseumawe 35 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 6 mayam emas

8. Aceh Utara 35 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 6 mayam emas

9. Langsa 30 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 6 mayam emas

10. Aceh Timur 30 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 6 mayam emas

11. Aceh Tamiang 30 s/d 25 mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 5 mayam emas

(19)

mayam emas mayam emas mayam emas mayam emas

13. Aceh Barat 30 s/d 25

mayam emas

24 s/d 16 mayam emas

15 s/d 10 mayam emas

9 s/d 5 mayam emas

14. Aceh Selatan 20 s/d 16 mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

15. Aceh Tengah 20 s/d 16

mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

16. Aceh Barat Daya

20 s/d 16 mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 4 mayam emas

17. Nagan Raya 30 s/d 20

mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 4 mayam emas

18. Simeulue 20 s/d 16

mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

19. Bener Meriah 20 s/d 16 mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

20. Gayo Luwes 20 s/d 16

mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

21. Aceh Tenggara

20 s/d 16 mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

22. Subulussalam 20 s/d 16 mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

23. Singkil 20 s/d 16

mayam emas

20 s/d 16 mayam emas

12 s/d 10 mayam emas

9 s/d 3 mayam emas

Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe A yang tertinggi hingga tipe D yang terendah. Jumlah-jumlah tersebut bila

dirupiahkan berkisar jutaan hingga puluhan juta rupiah.

Muhadzdzier (2013) menyatakan tingginya jinamee di Aceh menjadi faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan

perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang

(20)

Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh

(JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab jinamee dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dianggap memberatkan setiap laki-laki lajang di

Aceh yang ingin menikah.

Jinamee yang terlalu tinggi juga dinilailebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan

karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain

itu,jinamee yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan

terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi (Marwan Idris, 2011).

Permasalahan mengenai baik atau tidaknya, manfaat dan kerugian, serta

tujuan jinamee tinggi bagi pasangan yang menikah di Aceh tergambar dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa warga Aceh,

sebagaimana dikutip dibawah ini. Berikut komunikasi personal dari seorang

warga Aceh yang tergabung dalam Lembaga Majelis Adat Aceh (2014).

“Kalau calon pasangan dari pihak laki-laki sanggup memenuhi syarat jumlah jinamee dari calon pasangan pihak wanita maka tak ada salahnya mereka menikah dengan jinameetinggi.”

(Komunikasi personal, 12 Desember 2014)

Subjek selanjutnya yang peneliti wawancara adalah wargalaki-laki di

kota Bireun:

“Tidak setuju memberikan jinamee tinggi terhadap wanita sebelum menikah. Karena itu memberatkan kami orang laki-laki.”

(21)

Fenomena jinamee tinggi di Aceh menyebabkan pro dan kontra, kesenjangan sosial yang terjadi akibat jinamee tinggi, jumlah-jumlah jinamee

yang bervariatif di setiap daerah di Aceh, serta dampak dan manfaat yang

dirasakan terkait jinamee tinggi, membentuk sebuah sikap terhadap jinamee

tinggi pada masyarakat Aceh dalam melihat fenomena ini.

Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, maka dalam

penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap

jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

B. RUMUSANMASALAH

Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang

dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini:

a. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

b. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.

c. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.

d. Berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh. e. Berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.

C. TUJUANPENELITIAN

(22)

a. Untuk mengetahui bagimana gambaran umum sikap terhadap jinamee

tinggi pada masyarakat Aceh.

b. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.

c. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.

d. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh.

e. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.

D. MANFAATPENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu

psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial dalam menjelaskan sikap

terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian

Psikologi Sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan bagi Lembaga Adat Aceh dan pengamat sosial

(23)

masyarakat Aceh.

b. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat Aceh sehingga dapat

mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap

jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan adalah struktur penulisan secara garis besar yang ada

dalam penelitian.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat peneltian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang landasan teoritis, yakni pembahasan

teori sikap, jinamee, dan masyarakat Aceh. Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan tentang identifikasi variabel penelitian,

definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel,

metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji

reliabilitas, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa

data.

Bab IV : Analisa data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan

(24)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SIKAP

1. Definisi Sikap

Hogg (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa sikap adalah perasaan

dan kecenerungan perilaku terhadap objek sosial yang signifikan,

kelompok, peristiwa, atau simbol. Ia juga mendefinisikan sikap sebagai

perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif terhadap orang,

objek atau masalah. Baron (2004) juga menyatakan bahwa sikap merujuk

pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta

bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka

individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek.

Sementara Fishbein dan Ajzen (2005) menyatakan sikap adalah suatu

penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek.

Terdapat tiga model komponen penyusun sikap (Hogg, 2004). Model

komponen sikap yang pertama dikemukakan oleh Thurstone (1928). Ia

mendefinisikan sikap sebagai afek yang mendukung atau tidak mendukung

terhadap objek psikologis (Hogg, 2004). Secara lebih spesifik, Thurstone

(1928) mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif

tehadap suatu objek psikologis. Model komponen sikap kedua

ditambahkan oleh Allport (1935), yaitu merupakan kesiapan mental untuk

(26)

lebih lanjut bahwa sikap terdapat dalam diri setiap individu yang

mempengaruhi keputusan seseorang mengenai apa yang baik atau buruk,

diinginkan atau tidak diinginkan, dan sebagainya. LaPierre (1934) yang

juga memperkenalkan model komponen kedua ini menjelaskan sikap

sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi

untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap

merupakan respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Model komponen sikap yang ketiga menjelaskan bahwa sikapterdiri dari

komponen kognitif, afektif dan konatif yang menekankan pikiran

(kognitif), perasaan (afektif) dan tindakan sebagai dasar pengalaman

manusia (Rosenberg and Hovland, 1960). Lebih lanjut Eagle dan Chaiken

(1993) mengemukakan sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi

terhadap objek yang diekspresikan ke dalam proses kognitif, afektif, dan

konatif. Secord & Backman (1964) juga menjelaskan model tiga

komponen dimana menurutnya sikap merupakan keteraturan tertentu

dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan

(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap bukan

merupakan hal yang mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara

langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap

adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan

pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek

(27)

(skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang

dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak sosial), skala Osgood (skala

diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein,

pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh para

ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk

evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu objek yang merupakan hasil

dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen Sikap

Menurut Eagley & Chaiken (1993) ada tiga komponen pembentuk

sikap, yaitu:

1. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan, pendapat, dan

penilaian terhadap objek sikap.

2. Komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau

benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap.

3. Komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan

kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

(28)

1. Pengalaman Pribadi

Apa yang telah dan sedang individu alami akan membentuk dan

mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus

sosial.

2. Kebudayaan

Kebudayaan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan

sikap. Individu yang hidup dan dibesarkan dalam kebudayaan maka

kebudayaan tersebut akan berpengaruh besar terhadap pembentukan

sikapnya.

3. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Orang lain disekitar individu merupakan salah satu diantara

komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu tersebut.

4. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang.

5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem

yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan serta dikarenakan

keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri

individu. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah anatara sesuatu

yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan

(29)

6. Pengaruh Faktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh suatu lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi

sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap

yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang, akan tetapi

dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.

B. JINAMEEDAN MASYARAKAT ACEH

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara

pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Provinsi

Aceh merupakan suatu wilayah Pemerintahan dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang

taat. Terdapat 18 Pemerintahan Kabupaten di Aceh saat ini, yaitu Kabupaten

Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh

Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh

Utara, Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya, dan

Simeulue; serta 5 Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh,

Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Subulussalam.

Suku yang mendiami Provinisi Aceh sejak dahulu adalah suku Aceh,

Suku Gayo, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku Kluet, Suku

(30)

1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh

Pernikahan dalam adat Aceh merupakan kegiatan yang tidak hanya

menjadi urusan pribadi atau keluarga, tetapi juga menjadi urusan masyarakat

setempat. Menurut masyarakat Aceh pernikahan merupakan suatu keharusan

yang ditetapkan oleh agama. Pernikahan adalah suatu bentuk hidup bersama

dari seorang laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan wanita yang telah

dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Adapun

langkah-langkah pernikahan dalam adat Aceh:

a. Seulangke. Apabila keluarga laki-laki sudah berketetapan untuk melamar seorang gadis, diutuslah kepada keluarga si gadis seorang seulangke

(penghubung). Seulangke ini harus orang yang pandai bicara dan terdiri dari laki-laki atau perempuan. Setelah dikemukakan maksud ini serta

lamaran diterima, maka utusan ini kembali.

b. Selanjutnya utusan tersebut kembali datang membawa tanda kongnarit

(tanda ikatan) berupa benda-benda berharga, biasanya emas. Apabila

tanda ini diterima maka kedua belah pihak telah terikat dengan suatu tali

pertunangan. Sekaligus pada saat itu ditetapkan pula waktu dan tanggal

pernikahan.

c. Tepat pada waktu pernikahan itu berlangsung, ditetapkan pula jumlah

jinamee yang harus diserahkan pihak laki-laki.

d. Apabila penentuan mas kawin itu selesai, maka selang beberapa bulan

baru pernikahan tersebut dilaksanakan dan diadakan secara

(31)

2. Adat Menetap Setelah Pernikahan

Pasangan yang baru menikah akan tinggal dirumah orang tua pihak

perempuan sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Pihak

keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan

kemampuan orang tua pihak perempuan. Pasangan yang telah menikah

tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai

mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan

mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah

tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah perempuan).

3. Warisan

Dalam masyarakat Aceh pembagian warisan dibagi sesuai hukum agama Islam. Namun biasanya, rumah diberikan kepada anak perempuan

apabila sebelumnya anak perempuan dan suaminya yang telah menikah

tinggal bersama kedua orang tua perempuan tersebut (Sufi, 2004).

Syamsuddin (2004) juga menyebutkan bahwa anak perempuan lebih

diutamakan memperoleh rumah, sehingga rumah tidak menjadi tanggung

jawab suaminya.

4. Jinamee

Menurut bahasa Jinameeberasal dari kata jame yang berarti tamu.

(32)

sebagai hadiah pernikahan (Ismail & Daud, 2012). Lebih lanjut Rizal

(2013) menjelaskan bahwa jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh

dara baro (calon pengantin wanita), dan kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee ini sama artinya dengan mahar.

Jinameedi Aceh disimbolkan dalam bentuk emas karena menurut masyarakat Aceh emas merupakan simbol dari kemewahan dan kekayaan.

Jinamee ini tidak termasuk dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian,

sepatu, tas, kosmetika, dan sebagainya. Rizal (2013) menyebutkan bahwa

jinamee merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat Aceh dimana agama dan adat berperan didalamnya. Dalam tradisi masyarakat

Aceh, tinggi rendahnya jumlah jinamee sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor keturunan, bagi masyarakat Aceh keturunan merupakan suatu

hal yang penting dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah jinamee. Keturunan yang ada di Aceh dapat dilihat dalam beberapa bentuk,

yaitu; keturunan bangsawan (seperti; Tuanku, Cut, dan Ampon, dan

keturunan yang masih dianggap berhubungan dengan keluarga Nabi

(Sayed dan Syarifah). Maka dalam tradisi masyarakat Aceh mahar dari

keturunan tersebut secara otomatis berbeda.

b. Faktor kondisi keluarga, keluarga dengan latar belakang yang

(33)

c. Status sosial, seorang wanita suku Aceh yang memiliki status sosial

yang baik di masyarakat maka jinamee yang akan didapatkannya juga tinggi. Ismail dan Daud (2012) budayawan Aceh juga menyebutkan

bahwa status sosial seseorang dalam mencari jodoh juga menjadi

pertimbangan penting untuk melamar seorang gadis. Orangtua dari

pihak laki-laki akan memilih calon menantu yang didasarkan pada garis

keturunan si wanita dan status sosialnya dalam masyarakat yang

bertujuan untuk mendapatkan menantu dari keturunan yang baik.

Biasanya wanita yang berasal dari keluarga baik didasarkan pada

keluarga yang taat beribadah.

d. Faktor pendidikan, ketika wanita tersebut memiliki latar belakang

pendidikan yang bagus maka nilai jinamee yang akan diperolehnya juga semakin tinggi.

Faktor-faktor diatas hanya difokuskan kepada perempuan. Semakin

tinggi faktor yang disebutkan diatas, maka jumlah jinamee yang akan diperoleh seorang wanita suku Aceh juga akan semakin tinggi. Biasanya

jumlah jinamee ditetapkan kira-kira 50 gram sampai 100 gram emas lebih (Syamsuddin, 2004).

C. SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA MASYARAKAT ACEH

(34)

merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bagi pihak laki-laki. Jinameeyang merupakan adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas. Hal ini

dikarenakan bagi masyarakat Aceh emas merupakan simbol kemewahan dan

kekayaan. Satuan jinamee yang dipakai masyarakat Aceh adalah mayam, satu mayam sama dengan 3,30 gram. Harga emas akan mengalami perubahan

sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar, sehingga semakin

tinggi jinamee maka harga rupiah untuk membeli emas juga akan semakin mahal (Sufi, 2004).

Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang menikah di Aceh. jinamee tinggi menunjukan harga diri seorang wanita di Aceh dan berupa penghargaan yang diberikan kepada wanita tersebut. Seorang laki-laki

yang ingin menikahi seorang wanita di Aceh biasanya harus sanggup

memenuhi permintaan jumlah jinamee dari pihak wanita tersebut. Ada empat faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya jumlah jinamee dalam tradisi masyarakat Aceh, yaitu faktor keturunan, kondisi kehidupan keluarga si

wanita, status sosial wanita, dan terakhir faktor pendidikan. Semakin tinggi

faktor yang disebutkan, maka semakin tinggilah jinamee yang diperoleh si wanita. Perkembangan zaman saat ini membuat wanita sekarang berbeda

dengan dahulu, dimana meningkatnya status sosial dan pendidikan wanita

saat ini, sehingga menyebabkan permintaan jumlah jinamee kepada pihak laki-laki juga semakin tinggi (Rizal, 2013).

(35)

pasangan yang menikah tidak mudah bercerai. Selain itu jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita apabila dalam pernikahan suami kehilangan

pekerjaan, meninggal, atau terjadi perceraian, maka jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita.

Penelitian sebelumnya di Krueng Mane, Aceh utara menunjukkan bahwa jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya

yang lebih menentukan adalah jumlahjinamee yang harus dibayar. Jumlah

jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam, 30 mayam, sampai dengan 50

mayam emas (Ayu, 2010).

Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan

kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga

akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.

Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak

mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari

pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).

Sikap merupakan kecenderungan berperilaku terhadap objek sosial

yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Hogg juga mendefinisikan

sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif

(36)

komponen pembentuk sikap. Pertama, komponen kognitif berkaitan dengan

kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap. Kedua,

komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci,

suka atau tidak suka terhadap objek sikap. Yang terakhir, komponen konatif

berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap

objek sikap, Eagley & Chaiken (1993).

Berdasarkan komunikasi personal dengan beberapa masyarakat Aceh,

jinamee tinggi ternyata dapat menghambat pernikahan. Pihak laki-laki juga merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan jinamee tinggi tersebut sehingga pernikahan yang harus disegerakan terpaksa ditunda demi

tercapainya jumlah jinamee yang diinginkan. Terhambatnya pernikahan juga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan

wanita yang melajang di Aceh. Setelah menikah juga dikhawatirkan laki-laki

akan berperilaku semena-mena terhadap istrinya karena merasa telah

memberikan jinamee yang tinggi.

Sikap positif terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk ketika masyarakat Aceh memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku yang

mendukung jinamee tinggi tersebut. Sementara sikap negatif terhadap

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian

deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan

karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Azwar, 2003).

Penelitian ini berkaitan dengan sikap terhadap jinameetinggi pada masyarakat Aceh. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel

penelitian, definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel,

metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji reliabilitas,

prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variable merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek

atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2003). Variabel yang

digunakan dalam penelitian ini sikap.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi

(38)

masyarakat Aceh diukur dengan menggunakan skala sikap berdasarkan tiga

komponen:

1. Komponen kognitif yaitu pengetahuan atau pemahaman masyarakat Aceh

terhadap jinamee tinggi.

2. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan masyarakat Aceh terhadap

jinamee tinggi.

3. Komponen konatif memperlihatkan kesediaan masyarakat Aceh untuk

bertindak terhadap jinamee tinggi.

Sikap masyarakat Aceh terhadap jinamee tinggi dilihat dari besarnya nilai rata-rata dari titik tengah skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dan diberikan kepada masyarakat Aceh. Semakin tinggi

nilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin positif sikap yang

dimiliki partisipan terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya,semakin rendahnilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin negatif sikap yang dimiliki

partisipan terhadap jinamee tinggi.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN TEKNIKPENGAMBILANSAMPEL 1. Populasi Penelitian

Menurut Azwar (2010), populasi merupakan kelompok subjek yang

akan dikenai penelitian. Populasi dalam penelitian meliputi kelompok

subjek yang harus memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang sama sehingga

dapat dibedakan dengan kelompok subjek yang lain. Adapun populasi

(39)

Banda Aceh. Alasan peneliti memilih kota Banda Aceh adalah karena

merupakan ibu kota Provinsi Aceh. Banda Aceh merupakan daerah di

Aceh yang terkenal dengan tingginya jinamee.

2. Sampel Penelitian

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang

dimiliki peneliti maka partisipan penelitian yang dipilih adalah sebagian

dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel (Field, 2009).

Pengambilan sampel digunakan untuk menggeneralisasikan sampel dan

menarik kesimpulan sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi

(Azwar,2010). Menurut Azwar tidak ada angka yang dikatakan pasti

mengenai berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian. Jumlah

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 150

masyarakat Aceh yang tinggal di kota Banda Aceh.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

non probability, dalam teknik non probability tidak semua individu dalam populasidiberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota

sampel. Teknik non probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode ini merupakan salah satu teknik

(40)

sampel yang dibutuhkan. Hal ini digunakan untuk memudahkan penelitian

(Sugiono, 2008).

D. METODE PENGUMPULANDATA

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode.

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

metode skala dan wawancara personal sebagai alat ukur tambahan. Metode

skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar

pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000).

Sedangkan wawancara personal digunakan untuk mengeksplorasi hasil

penelitian dengan lebih dalam.

1. Skala Sikap

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala Likert.

Skala ini disusun untuk mengungkap sikap subjek berupa sikap positif

dan negatif, setuju dan tidak setuju, serta pro dan kontra terhadap suatu

objek. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa

konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak

langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam

bentuk aitem–aitem pernyataan (Azwar, 2010). Pengumpulan data dalam

(41)

Skala ini bertujuan untuk melihat sikap subjek sebagai kesimpulan

apakah subjek memiliki sikap positif atau negatif tehadap jinamee tinggi. Disusun atas tiga komponen yang membentuk sikap yaitu komponen

kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Skala ini akan terdiri

dari aitem dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju

(S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dan terdiri dari

aitem favorable dan unfavorable. Bobot penilaian favourable adalah 4 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 3 untuk jawaban Setuju, 2 untuk

pilihan jawaban Tidak Setuju (S), 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak

Setuju (STS). Sementara bobot penilaian unfavourable yakni 1 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 2 untuk jawaban Setuju, 3 untuk pilihan

jawaban Tidak Setuju (S), 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju

(STS).

2. Wawancara Personal

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan

untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan

topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu

tersebut (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara personal dan

dilakukan kepada empat orang subjek yaitu ustad, pemuka adat, dan

(42)

sebagai penyedia data untuk membahas studi kasus mengenai bagaimana

sikap terhadap jinamee tinggi.

E. UJI VALIDITAS, UJI DAYA BEDA AITEM, DAN UJI RELIABILITAS

1. Uji Validitas

Azwar (2003) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur

adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk

diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat

kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian

ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang

[image:42.595.167.520.567.755.2]

disebut dengan validitas isi (content validity). Dalam penelitian ini, validitas alat ukur ditentukan melalui pendapat profesional (professional judgement) dalam proses telaah soal.Pengujian validitas ini dilakukan dengan cara analisis rasional atau professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba

Komponen Favourable Unfavorable Jumlah

Aitem

Bobot

Kognitif 1, 2, 4, 7, 11,

13, 14, 15, 20,

21, 33

3, 6, 8, 9, 17,

19, 25, 27

19 44,1%

Afektif 10, 22, 34, 36,

37

16, 26, 29, 31,

42, 43

(43)

Konatif 5, 12, 18, 24,

28, 32, 35, 38

23, 30, 39, 40,

41

13 30,2%

Total 43 100%

2. Uji Daya Beda Aitem

Pengujian reliabilitas terhadap hasil ukur skala dilakukan bila

aitem-aitem yang terpilih lewat prosedur analisis aitem telah dikompilasi

menjadi satu. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan

hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar,

2003).

Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem

dengan skor total. Koefisien korelasi aitem dengan skor total harus

signifikan, untuk memperoleh skor total digunakan teknik korelasi

PearsonProduct Moment (Azwar,2003). Semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total maka semakin tinggi pula konsistensi

antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh, sehingga daya

bedanya juga semakin tinggi. Bila koefisien korelasinya rendah atau

mendekati 0 (nol), maka berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan

fungsi alat ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Apabila korelasi

berharga negatif, maka dapat diartikan terdapat cacat pada aitem tersebut.

Penghitungannyadilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20 for windows.Batasan nilai indeks daya beda item dalam penelitian ini

(44)
[image:44.595.156.506.153.421.2]

yang akan digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya.

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba

Komponen Favourable Unfavorable Jumlah

Aitem

Bobot

Kognitif 1, 2, 4, 7, 11, 13, 14, 15, 20,

21, 33

3, 6, 8, 9, 17,

19, 25, 27

19 44,18%

Afektif 10, 22, 34, 36,

37

16, 26, 29, 31, 42, 43

11 25,58%

Konatif 5, 12, 18, 24, 28, 32, 35, 38

23, 30, 39, 40, 41

13 30,23%

Total 43 100%

Nomor yang ditebalkan berarti memiliki daya diskriminasi < 0,3

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada kekonsistenan alat ukur yang

menunjukkan suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif sama

bila diukur kembali pada subjek yang sama. Uji reliabilitas alat ukur ini

menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya

memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai

subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan memiliki

efisiensi yang tinggi. Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini

(45)

alpha cronbach, yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan

tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam skala.

Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2003).

Pengujian reliabilitas alat ukur diujicobakan kepada 90 masyarakat

Aceh. Berdasarkan dari hasil penghitungan reliabilitas dengan

menggunakan formula alpha cronbach didapatkan koefisien reliabilitas dari skala sikap adalah sebesar 0,942. Azwar (2003) mengatakan bahwa

nilai reliabilitas yang koefisiennya mencapai minimal rxx’ = 0,900

dianggap memuaskan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai reliabilitas

dari skala sikap ini sangat memuaskan dan menunjukkan bahwasanya alat

[image:45.595.150.507.475.731.2]

ukur ini reliabel untuk digunakan.

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian

Komponen Favourable Unfavorable Jumlah

Aitem

Bobot

Kognitif 1, 3, 9, 11, 12,

13, 18, 19, 28

2, 5, 6, 7, 15,

17, 22, 24

17 48,57%

Afektif 8, 20, 29, 30,

31

14, 23, 27, 34,

35

10 28,57%

Konatif 4, 10, 16, 25,

32

21, 26, 33 8 22,85%

(46)

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap

tersebut adalah tahap persiapan penilitian, tahap pelaksanaan penelitian dan

tahap pengolahan data.

1. Persiapan Penelitian

Pada tahapan ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pada tahap awal penelitian, peneliti akan membuat alat ukur

berdasarkan tiga komponen sikap. Kemudian peneliti membuat skala

dalam bentuk model Likert yang terdiri dari skala sikap.

b. Setelahskala selesai dibuat, maka aitem-aitem yang telah dibuat akan

dianalisis terlebih dahulu olehprofessional judgement, yakni dosen pembimbing.

c. Peneliti akan menguji coba atau melakukan try out terhadap subjek yang memiliki kriteria yang sama dengan kriteria penelitian. Uji coba

ini bertujuan untuk menseleksi aitem yang benar-benar sesuai dengan

variabel yang hendak diukur.

d. Selanjutnya peneliti melakukan uji coba alat ukur, peneliti menguji

daya beda aitem, validitas dan reliabilitas kedua skala dengan

(47)

reliabilitasnya, peneliti mengambil aitem-aitem yang sesuai untuk

dijadikan aitem-aitem dalam skala.

2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah peneliti melakukan uji coba, merevisi alat ukur dan telah

menyusun kembali aitem-aitem yang sesuai pada saat uji coba, maka

peneliti mengambil data penelitian pada masyarakat Aceh sebanyak 150

orang. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan teknik

incidental sampling, peneliti juga melakukan wawancara kepada empat orang partisipan penelitian.

3. Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari skala sikap pada masing-masing sampel, maka dilakukanlah pengolahan data dengan mengunakan metode statistik.

Pengolahan data menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS.

G. METODE ANALISIS DATA

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisa dataone sample t-test,independent-sample t-test dan uji one way anova yang mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai dengan 4, dengan titik tengah

2,5. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan

(48)

tinggi di Aceh. Wawancara personal dilakukan berdasarkan pedoman

wawancara dari teori sikap.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian

yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi

normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Pada penelitian ini

uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov

(49)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian.

Pembahasan pada bab ini dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian dan

hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian sesuai dengan

permasalahan dan analisa data tambahan yang ada.

A. Gambaran Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah 150orang yang keseluruhannya adalah

masyarakat Aceh yang berada di Kota Banda Aceh. Subjek dalam penelitian

ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin,

[image:49.595.143.498.560.626.2]

penyebarannya adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N % dari total N

Laki-laki 53 35,33%

Perempuan 97 64,66%

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan tingkat

(50)
[image:50.595.142.500.141.270.2]

Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan N % dari total N

SMA 23 15,33%

D3 28 18,66%

D4 14 9,33%

S1 51 34%

S2 34 22,66%

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan usia dengan 5

pengelompokan kategori usia, yaitu: 18-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50

tahun, 51-60 tahun, dan 61-63 tahun,, dengan penyebaran sebagai berikut:

Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia N % dari total N

Usia 18-30 Tahun 64 42,66%

Usia 31-40 Tahun 41 27,33%

Usia 41-50 Tahun 25 16,66%

Usia 51-60 Tahun 14 9,33%

Usia 61-63 Tahun 6 4%

B. Hasil Uji Asumsi Penelitian

Sebelum menganalisa data utama penelitian dengan t-test, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi penelitian. Uji asumsi penelitian

[image:50.595.140.499.433.563.2]
(51)

1. Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel

penelitian telah menyebar secara normal dan perlu dilakukan untuk

menentukan analisa data selanjutnya (Sugiyono, 2002). Uji normalitas

[image:51.595.158.515.280.323.2]

sebaran dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Tabel 7. Hasil Uji Normalitas

Variabel Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

Sikap .772 .590

Berdasarkan tabel 7, diperoleh nilai z sebesar 1,277 dan nilai

signifikansi (p) sebesar .590 . Oleh karena nilai p > 0,05 maka data

penelitian ini dikatakan terdistribusi normal.

C. Hasil Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah ingin menggambarkan bagimana gambaran

umum mengenai sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh, gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Tujuan penelitian ini juga ingin

mengetahui berapa gambaran jumlah jinamee tinggi dan jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.

1. Gambaran Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh

Untuk menentukan bagaimana sikap masyarakat Aceh terhadap

(52)

mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai

dengan 4, dengan titik tengah 2,5. Apabila nilai rata-rata partisipan lebih

rendah secara signifikan dari titik tengah, maka rata-rata partisipan

memiliki kecenderungan sikap negatif negatif terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya, apabila rata-rata partisipan lebih tinggi secara signifikan dari

titik tengah, maka rata-rata partisipan secara umum memiliki sikap positif

terhadap jinamee tinggi.

Secara umum, partisipan memiliki sikap yang cenderung negatif

(53)

2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh

Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh

Jumlah N % dari total N

5 s/d 10 Mayam Emas 9 6%

11 s/d 15 Mayam Emas 11 7,33%

16 s/d 20 Mayam Emas 15 10%

21 s/d 25 Mayam Emas 21 14%

26 s/d 30 Mayam Emas 36 24%

31 s/d 40 Mayam Emas 24 16%

50 Mayam Emas 19 12,66%

70 Mayam Emas 5 3,33%

80 Mayam Emas 4 2,66%

100 Mayam Emas 6 4%

3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh

Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh

Jumlah N % dari total N

1 s/d 4 Mayam Emas 29 19,33%

5 s/d 10 Mayam Emas 57 38%

11 s/d 15 Mayam Emas 46 30,66%

16 s/d 20 Mayam Emas 18 12%

D. Hasil Analisa Wawancara Personal

Setelah dilakukan analisa deskriptif data utama penelitian ini maka

kemudian dilakukan analisa tambahan yaitu wawancara personal secara

kualitatif dengan beberapa subjek untuk mengeksplorasi studi kasus

(54)

dilakukan pada empat orang subjek penelitian, yaitu ustad, pemuka adat,

masyarakat laki-laki dan perempuan.

[image:54.595.163.507.278.383.2]

1. Hasil Analisa Data Wawancara Personal a. Analisa Data Subjek 1

Tabel 10. Gambaran Umum Subjek 1

Keterangan Subjek 1

Nama ND

Jenis Kelamin Laki-laki

Usia 63 tahun

Suku Aceh

Pendidikan Terakhir Sarjana

Pekerjaan Penceramah, Ustad

 Kognitif

Menurut pemahaman (kognitif) ND, beliau tidak setuju

terhadap fenomena jinamee tinggi di Aceh. ND menyatakan bahwa

jinamee tinggi tidak harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan.

Jinamee tinggi dapat menimbulkan dampak negatif seperti terhambatnya pernikahan, memberatkan pihak laki-laki sebagai

syarat pernikahan, sehingga banyak yang memilih berhutang atau

kredit. ND juga menyatakan sesuai dengan anjuran agama,

sebaiknya jumlah jinamee tidak memberatkan pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan. Menurutnya, apabila jinamee sudah terpenuhi dalam sebuah pernikahan, maka pernikahan sudah dapat dikatakan

sah secara agama. Oleh karena itu, ND memiliki pemahaman yang

(55)

menambahkan bahwa jinamee tinggi bukanlah patokan harga diri dari seorang perempuan.

Jinamee itukan tidak harustinggi, jinamee sedikit juga tidak masalah yang pentingkan itu sah kalau kita nikah. Lagian

jinamee tinggi-tinggi kali juga gak baik yang ada banyak orang nikah utang sana sini dan nikahnya jadi lama. Dan harga diri perempuan itu juga tidak ada hubungan dengan

jinamee tinggi.”

(Komunikasi Personal, 10 November 2014)

 Afektif

ND merasa tidak menyukai jinamee tinggi, dan kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi. Menurutnya, sebagai daerah

Serambi Mekkah, seharusnya masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan jinamee tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. Pemikirannya tersebut juga sesuai dengan ajaran

agama, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang maharnya

ringan. ND juga menambahkan, masyarakat Aceh sebagai

mayoritas umat muslim hendaknya mengikuti yang dianjurkan oleh

agama. Oleh karena itu, dampak negatif yang ditimbulkan seperti

perzinahan, hamil diluar nikah, bertambahnya laki-laki dan

perempuan yang melajang dapat dikurangi.

“Sebagai daerah yang terkenal dengan Serambi Mekkah saya merasa kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi itu.”

(Komunikasi Personal, 10 November 2014)

“Tidak sukalah dengan jinamee tinggi itu.”

(56)

 Konatif

ND tidak melarang pemberian jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Namun, beliau menghimbau dan menyarankan

kepada masyarakat Aceh agar menghindari penerapanjinamee yang terlalu tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. ND juga

menambahkan, bahwa dengan menghindari pemberian jinamee

tinggi akan meringankan syarat sebuah pernikahan.

“Tidak usah diikuti saja. Yang penting ada mahar sedikit aja pernikahan sudah sah.”

(Komunikasi Personal, 10 November 2014)

[image:56.595.165.501.460.562.2]

b. Analisa Data Subjek 2

Tabel 11. Gambaran Umum Subjek 2

Keterangan Subjek 2

Nama TR

Jenis Kelamin Laki-laki

Usia 59 tahun

Suku Aceh

Pendidikan Terakhir Sarjana

Pekerjaan Pegawai Negri Sipil, Tokoh Adat

 Kognitif

Menurut pemahaman TR, jinamee tinggi itu memiliki tujuan. Menurutnya, jinamee tinggi merupakan harga diri dari kedua belah pihak baik perempuan dan laki-laki. Apabila pihak laki-laki mampu

(57)

tersebut secara tidak langsung akan menaikkan harga diri pada

pihak laki-laki. Begitu juga halnya dengan pihak perempuan,

apabila pihak perempuan diberikan jinamee tinggi, maka secara tidak langsung pihak perempuan dan keluarganya merasa dihargai

dan dimuliakan.

“Nyan jinamee tinggikan na maksud. Kon sembarang meunan. Jinamee itukan itu tanda harga diri perempuan dan keluarganya. Kalau laki-laki memberi jinamee dalam jumlah besarkan bagus juga untuk laki-laki itu berarti ia laki-laki baik dan terhormat.

(Komunikasi Personal, 10 November 2014)

TR juga menjelaskan bahwa dibalik pemberian jinamee

tinggi, salah satu keutamaannya yaitu menantu laki-laki diizinkan

untuk tinggal satu atap dengan mertuanya. Sehingga pihak laki-laki

tidak merasa dibebani d

Gambar

Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh
Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan/profit usaha per bulan dari kelompok usaha kecil di Kecamatan Singkil Kota Manado sebesar r 1.352.500

A Content Analysis on First Semester English Workbooks for Seventh Graders: English Supplementary Materials, Global, and Cerah.. Skripsi

Kode: 2415.009 Pembangun an SPAM di Kawasan Khusus Pembangun an SPAM di Kawasan Kumuh L/d Pembangunan SPAM baru dalam rangka penanganan kawasan kumuh • Pembangunan

Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan

Dengan adanya pabrik di lingkungan masyarakat ini merupakan momentum untuk meningkatkan kesejahteraan. Biasanya masyarakat akan berdampak positif semenjak

Sebagaimana telah disebutkan di atas, berbuat keke­ liruan di dalam penahanan bisa disimpulkan sebagai suatu perbuatan melawan hukum karena penahanan dilaksanakan tidak

Adapun faktor yang diamati dalam penelitian ini adalah Kurs (Dollar AS), Harga Karet, dan Indeks Harga Perdagangan Besar, Inflasi. Data yang digunakan dalam penelitian

Kehidupan dalam keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Seorang ayah itu adalah sebagai pemimpin dalam keluarga untuk mengatur keluarga, serta orang