SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA
MASYARAKAT ACEH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH:
CUT RAFYQA FADHILAH
101301005
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang
saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas
sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam
skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik
yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Medan, April 2015
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee
pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee
tinggi.
The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba
ABSTRACT
This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan berkah dan
hidayah-Nya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya. Skripsi ini
berjudul “Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh.”
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima dukungan,
bantuan, bimbingan, serta saran dari beberapa pihak. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orangtua terbaikTeuku Abdullah Bennidan Nuraina Karim S.Pd. Terima
kasih ayah dan mami atas dukungan moral maupun materil, do’a, kasih
sayang yang tidak putus-putusnyadiberikan pada peneliti, serta perhatian dan
kepercayaannya. Terima Kasih untuk setiap do’a yang dipanjatkan kepada
peneliti.
2. Kakak dan abang-abang terbaik yang sangat peneliti sayangi Kak Intan, Bang
Pon, Bang Opit, dan Abang yang selalu sabar, mendukung, dan menyayangi
peneliti selama ini. I love you too.
3. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.
4. Ibu Ridhoi Meilona Purba, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
saran, komentar, dan juga terima kasih atas kesabaran yang Ibu berikan kepada
peneliti.
5. Ibu Meutia Nauly, S.Psi., Psikolog., M.Si dan Omar Khalifa Burhan,
M.Scselaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan sehingga penelitian ini bisa lebih baik lagi.
6. Khairi, Rika, Ayu, Dara, Indah, Upa, dan Novie. Sahabat-sahabat tercinta
sejak SMP dan SMA yang tetap saling mendukung satu sama lain dan telah
mengajarkan arti persahabatan sesungguhnya kepada peneliti.
7. Teman kuliah tercinta Ririn, Qiedeng, Ocha, Anggi, dan Riri. Terima kasih
telah menemani peneliti selama menjalani hari-hari perkuliahan. Terima kasih
atas dukungan, saran, bantuan, keceriaan, dan pembelajaran bagaimana
kerasnya kehidupan di Medan, Bung. Hope to see you again someday.
8. Teman kosan tercinta Sumarsono 16 dan Sarmin Girls, terutama Atin dan Teh
Oi, kakak-kakak dan adik-adik kosan yang tidak bisa ditulis satu per satu.
Terima kasih atas tawa canda yang membuat kehidupan perkuliahan dan anak
rantauan menjadi tak sesedih yang dibayangkan. Terima kasih telah
menemani peneliti melalui hari-hari dan berjuang di kota Medan.
9. Terimakasih untuk seluruh teman-teman angkatan 2010 atas pengalaman dan
suka duka selama menjalani proses perkuliahan di Fakultas Psikologi USU. I love you all.
10. Seluruh dosen Fakultas Psikologi USU. Terima kasih untuk ilmu yang sudah
11. Para staf dan pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terima kasih atas
pelayananan yang baik buat peneliti dan para mahasiswa lainnya.
12. Masyarakat Aceh yang telah menjadi responden dalam penelitian ini dan
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak
bisa peneliti sebutkan namanya satu per satu.
Sebagai manusia yang masih belajar, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf jika
terdapat kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Penulis berharap skripsi
yang dibuat ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Medan, April 2015
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Sikap ... 11
1. Definisi Sikap... 11
2. Komponen Sikap ... 13
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sikap ... 13
B. Jinamee dan Masyarakat Aceh ... 15
1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh ... 16
2. Adat Menetap Setelah Pernikahan ... 17
3. Warisan ... 17
4. Jinamee ... 17
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 23
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 24
C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel ... 24
1. Populasi Penelitian ... 24
2. Sampel Penelitian... 25
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 25
D. Metode Pengumpulan Data ... 26
1. Skala Sikap... 26
2. Wawancara Personal ... 27
E. Uji Validitas, Uji Daya Beda Aitem, dan Uji Reliabilitas ... 28
1. Uji Validitas ... 29
2. Uji Daya Beda Aitem ... 29
3. Uji Reliabilitas ... 30
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 32
1. Persiapan Penelitian ... 32
2. Pelaksanaan Penelitian ... 33
3. Pengolahan Data ... 33
G. Metode Analisa Data ... 33
1. Uji Normalitas ... 34
BAB IV HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 35
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 35
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin…... . 35
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan 35 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... . 36
B. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 36
1. Uji Normalitas Sebaran ... 37
C. Hasil Penelitian ... 37
2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39
3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39
D. Hasil Analisa Wawancara ... 39
1. Hasil Analisa Data Wawancara…... ... 40
a. AnalisaData Subjek 1 ... 40
b. AnalisaData Subjek 2 ... 42
c. AnalisaData Subjek 3 ... 46
d. AnalisaData Subjek 4 ... 48
2. Kesimpulan Interpretasi Data Hasil Wawancara…... ... 49
E. Pembahasan ... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran... 65
1. Saran Praktis ... 65
2. Saran Metodologis ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba ... 28
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba ... 30
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian... 31
Tabel 4.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 35
Tabel 5.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36
Tabel 6.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 36
Tabel 7. HasilUji Normalitas ... 37
Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh ... 39
Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh ... 39
Tabel 10. Gambaran Subjek 1 ... 40
Tabel 11. Gambaran Subjek 2 ... 42
Tabel 12. Gambaran Subjek 3 ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Penelitian
Lampiran 2 Reliabilitas Aitem
Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas
Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh Cut Rafyqa Fadhilah dan Ridhoi Meilona Purba
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap terhadap jinamee
pada masyarakat Aceh. Dalam pemberian mahar pernikahan, Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh calon pengantin wanita dan kewajiban bagi calon mempelai laki-laki. Jinameedalam adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas yang bila dirupiahkan sangat mahal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan jumlah subjek sebanyak 150 masyarakat Aceh dan menggunakan skala sikap yang disusun berdasarkan teori sikap. Teknik sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Hasil menunjukan bahwa sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dibalik fenomena jinamee tinggi di Aceh ternyata masyarakat Aceh memiliki kecenderungan sikap yang negatif terhadap jinamee
tinggi.
The Attitude of High Jinamee In Aceh Society Cut Rafyqa Fadhilah and Ridhoi Meilona Purba
ABSTRACT
This study aims to describe attitudes towards of thejinamee in people of Aceh. In granting a wedding dowry, Aceh known as the Serambi Mekkah is called the dowry is the jinamee. Jinamee is a right that is received by the bride and liabilities for prospective bridegroom. Jinamee in Aceh culture symbolized in the form of gold and very expensive. This study is a descriptive quantitative research with a number of subjects of 150 people in Aceh and using attitude scale is based on the theory of attitude. The sampling technique used is incidental sampling. Results showed that high jinamee attitude towards the people of Aceh are negative. This suggests that behind the phenomenon of high jinamee in Aceh Acehnese people have a tendency turns negative attitudes towards high jinamee.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Adat Mahar telah menjadi suatu hal yang ditakuti oleh sebagian besar
pemuda yang ingin menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta
yang sebagian besar perempuan saat inimeminta mahar dalam jumlah yang
tinggi (Ayu, 2010).
Ar-Rahli (2014) mengatakan bahwa tingginya kadar mahar telah
menjadi masalah sosial yang mencakup seluruh masyarakat, baik yang tinggal
di pedalaman maupun di daerah yang sudah berperadaban tinggi. Fenomena
ini menanamkan sebuah tradisi dan budaya pada masyarakat sehingga
menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindarkan. Apabila ada yang tidak
mengikuti maka akan menjadi bahan celaan orang lain. Lebih lanjut Ar-Rahli
(2014) juga menyatakan fenomena tingginya kadar mahar telah menjadi
sebuah hambatan bagi pasangan yang ingin menikah. Para laki-laki merasa
tertekan, sementara wanita hanya diam dan putus asa menghadapinya. Hal ini
menyebabkan keengganan banyak laki-laki untuk menikah.
Di Indonesia pemberian mahar pada calon pengantin wanita dikenal
dengan istilah yang bermacam-macam seperti pada masyarakat Batak disebut
“ujung, sinamot, pangolin, boli, tuhor,” Jawa “tukon” Nias “beli niha,” Bugis
“sunrang,” Bali “petuku n luh,” Dayak “pekaian” Ambon “beli dan Timor
juga bermaksud sebagai imbalan dalam hal melepas wanita dari lingkungan
keluarganya. Pemberian ini dapat berupa barang bernilai dan pada masyarakat
yang masih terkebelakang dapat berupa manik-manik, barang pusaka yang
bernilai magic atau binatang piaraan (Ismail & Daud, 2012).
Aceh yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah menyebut mahar ini dengan jinamee. Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang akan menikah. Sama halnya dengan mahar, jinameeini menjadi suatu hak yang diterima oleh dara baro (calon pengantin wanita), dan menjadi kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee tersebut kemudian menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan keluarganya (Sufi,
2004).
Jinamee dalam adat Aceh disimbolkan dengan bentuk emas. Sangat jarang dan hampir tidak pernah ditemui dalam adat Aceh memberikan
jinamee dalam bentuk selain emas. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat Aceh emas adalah simbol dari kemewahan dan kekayaan. Tradisi ini menjadi
kesepakatan sosial dan kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi
(Rizal, 2013).
Jumlah jinamee biasanya ditentukan menurut jumlah jinamee dari generasi keluarga sebelumnya. Apabila anak yang akan dinikahkan anak
pertama, maka ukuran jinamee didasarkan pada ukuran jinamee orangtuanya. Biasanya jinamee berkisar dari 5 sampai 25 mayam emas 24 karat. Mayam adalah ukuran emas untuk orang Aceh. Satu mayam kira-kira sama dengan
dikonversikan ke nilai mata uang rupiah berkisar puluhan juta rupiah. Harga
emas juga selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah
terhadap dolar. Jinamee ini tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan,
pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya (Sufi, 2004). Jinamee tersebut juga tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat
menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, dalam Ayu, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2010) mengenai makna jinamee
dalam penghargaan keluarga istri pada sistem pernikahan suku Aceh di
Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara, menunjukan bahwa
jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang
lebih menentukan adalah jumlah jinamee yang harus dibayar. Tingginya
jinamee di tentukan oleh keluarga perempuan dan disepakati lagi dengan pihak keluarga laki-laki. Jumlah jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam (4,5
gram), 30 mayam (9 gram), sampai dengan 50 mayam emas (15 gram).
Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan
kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga
akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.
mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari
pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).
Fenomena jinamee tinggi ini menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Aceh sehingga muncul daftar jumlah jinamee untuk setiap daerah di Aceh. Tabel ini muncul dalam media sosial facebook dan media sosial lainnya di internet.
Tabel 1. Jumlah jinamee di Provinsi Aceh
No Area Tipe-A Tipe-B Tipe-C Tipe-D
1. Pidie 60 s/d 50
mayam emas
40 s/d 30 mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 10 mayam emas
2. Pidie Jaya 40 s/d 30
mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
3. Bireuen 40 s/d 30
mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
4. Aceh Besar 50 s/d 40
mayam emas
30 s/d 20 mayam emas
19 s/d 15 mayam emas
14 s/d 10 mayam emas
5. Banda Aceh 60 s/d 50
mayam emas
40 s/d 30 mayam emas
25 s/d 20 mayam emas
19 s/d 10 mayam emas
6. Sabang 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
7. Lhokseumawe 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
8. Aceh Utara 35 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
9. Langsa 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
10. Aceh Timur 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 6 mayam emas
11. Aceh Tamiang 30 s/d 25 mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 5 mayam emas
mayam emas mayam emas mayam emas mayam emas
13. Aceh Barat 30 s/d 25
mayam emas
24 s/d 16 mayam emas
15 s/d 10 mayam emas
9 s/d 5 mayam emas
14. Aceh Selatan 20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
15. Aceh Tengah 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
16. Aceh Barat Daya
20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 4 mayam emas
17. Nagan Raya 30 s/d 20
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 4 mayam emas
18. Simeulue 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
19. Bener Meriah 20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
20. Gayo Luwes 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
21. Aceh Tenggara
20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
22. Subulussalam 20 s/d 16 mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
23. Singkil 20 s/d 16
mayam emas
20 s/d 16 mayam emas
12 s/d 10 mayam emas
9 s/d 3 mayam emas
Tabel diatas menunjukkan jumlah jinamee untuk setiap daerah, dari tipe A yang tertinggi hingga tipe D yang terendah. Jumlah-jumlah tersebut bila
dirupiahkan berkisar jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Muhadzdzier (2013) menyatakan tingginya jinamee di Aceh menjadi faktor penghambat pasangan yang akan menikah sehingga meningkatkan
perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang
Aceh, seharusnya Pemerintah mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh
(JMA) bagi laki-laki yang ingin menikah sebab jinamee dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dianggap memberatkan setiap laki-laki lajang di
Aceh yang ingin menikah.
Jinamee yang terlalu tinggi juga dinilailebih banyak menimbulkan kerugian dibandingkan dengan manfaat, seperti terhambatnya pernikahan
karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi permintaan tersebut. Selain
itu,jinamee yang berlebihan berpotensi menimbulkan hal yang negatif setelah menikah. Seorang laki-laki bisa saja merasa berhak melakukan kekerasan
terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi (Marwan Idris, 2011).
Permasalahan mengenai baik atau tidaknya, manfaat dan kerugian, serta
tujuan jinamee tinggi bagi pasangan yang menikah di Aceh tergambar dari hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa warga Aceh,
sebagaimana dikutip dibawah ini. Berikut komunikasi personal dari seorang
warga Aceh yang tergabung dalam Lembaga Majelis Adat Aceh (2014).
“Kalau calon pasangan dari pihak laki-laki sanggup memenuhi syarat jumlah jinamee dari calon pasangan pihak wanita maka tak ada salahnya mereka menikah dengan jinameetinggi.”
(Komunikasi personal, 12 Desember 2014)
Subjek selanjutnya yang peneliti wawancara adalah wargalaki-laki di
kota Bireun:
“Tidak setuju memberikan jinamee tinggi terhadap wanita sebelum menikah. Karena itu memberatkan kami orang laki-laki.”
Fenomena jinamee tinggi di Aceh menyebabkan pro dan kontra, kesenjangan sosial yang terjadi akibat jinamee tinggi, jumlah-jumlah jinamee
yang bervariatif di setiap daerah di Aceh, serta dampak dan manfaat yang
dirasakan terkait jinamee tinggi, membentuk sebuah sikap terhadap jinamee
tinggi pada masyarakat Aceh dalam melihat fenomena ini.
Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena di atas, maka dalam
penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran sikap terhadap
jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
B. RUMUSANMASALAH
Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan dibawah ini:
a. Bagaimana gambaran umum sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
b. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.
c. Bagaimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.
d. Berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh. e. Berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
C. TUJUANPENELITIAN
a. Untuk mengetahui bagimana gambaran umum sikap terhadap jinamee
tinggi pada masyarakat Aceh.
b. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin.
c. Untuk mengetahui bagimana gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari tingkat pendidikan.
d. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee tinggi menurut masyarakat Aceh.
e. Untuk mengetahui berapa jumlah jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
D. MANFAATPENELITIAN 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam ilmu
psikologi, khususnya dibidang Psikologi Sosial dalam menjelaskan sikap
terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Selain itu diharapkan penelitian ini dapat menambah sumber kepustakaan dan penelitian
Psikologi Sosial sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai masukan bagi Lembaga Adat Aceh dan pengamat sosial
masyarakat Aceh.
b. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat Aceh sehingga dapat
mengetahui dan memahami bagaimana gambaran sikap terhadap
jinamee tinggi pada masyarakat Aceh.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan adalah struktur penulisan secara garis besar yang ada
dalam penelitian.
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat peneltian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang landasan teoritis, yakni pembahasan
teori sikap, jinamee, dan masyarakat Aceh. Bab III : Metode Penelitian
Bab ini menguraikan tentang identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel,
metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji
reliabilitas, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa
data.
Bab IV : Analisa data dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian serta saran
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SIKAP
1. Definisi Sikap
Hogg (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa sikap adalah perasaan
dan kecenerungan perilaku terhadap objek sosial yang signifikan,
kelompok, peristiwa, atau simbol. Ia juga mendefinisikan sikap sebagai
perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif terhadap orang,
objek atau masalah. Baron (2004) juga menyatakan bahwa sikap merujuk
pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta
bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka
individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek.
Sementara Fishbein dan Ajzen (2005) menyatakan sikap adalah suatu
penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek.
Terdapat tiga model komponen penyusun sikap (Hogg, 2004). Model
komponen sikap yang pertama dikemukakan oleh Thurstone (1928). Ia
mendefinisikan sikap sebagai afek yang mendukung atau tidak mendukung
terhadap objek psikologis (Hogg, 2004). Secara lebih spesifik, Thurstone
(1928) mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
tehadap suatu objek psikologis. Model komponen sikap kedua
ditambahkan oleh Allport (1935), yaitu merupakan kesiapan mental untuk
lebih lanjut bahwa sikap terdapat dalam diri setiap individu yang
mempengaruhi keputusan seseorang mengenai apa yang baik atau buruk,
diinginkan atau tidak diinginkan, dan sebagainya. LaPierre (1934) yang
juga memperkenalkan model komponen kedua ini menjelaskan sikap
sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi
untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap
merupakan respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
Model komponen sikap yang ketiga menjelaskan bahwa sikapterdiri dari
komponen kognitif, afektif dan konatif yang menekankan pikiran
(kognitif), perasaan (afektif) dan tindakan sebagai dasar pengalaman
manusia (Rosenberg and Hovland, 1960). Lebih lanjut Eagle dan Chaiken
(1993) mengemukakan sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi
terhadap objek yang diekspresikan ke dalam proses kognitif, afektif, dan
konatif. Secord & Backman (1964) juga menjelaskan model tiga
komponen dimana menurutnya sikap merupakan keteraturan tertentu
dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan
(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap bukan
merupakan hal yang mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara
langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap
adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan
pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek
(skala interval tampak setara), skala Likert (skala rating yang
dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak sosial), skala Osgood (skala
diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein,
pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.
Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh para
ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk
evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu objek yang merupakan hasil
dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.
2. Komponen Sikap
Menurut Eagley & Chaiken (1993) ada tiga komponen pembentuk
sikap, yaitu:
1. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan, pendapat, dan
penilaian terhadap objek sikap.
2. Komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau
benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap.
3. Komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan
kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap
1. Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang individu alami akan membentuk dan
mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus
sosial.
2. Kebudayaan
Kebudayaan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan
sikap. Individu yang hidup dan dibesarkan dalam kebudayaan maka
kebudayaan tersebut akan berpengaruh besar terhadap pembentukan
sikapnya.
3. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Orang lain disekitar individu merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu tersebut.
4. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan serta dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah anatara sesuatu
yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan
6. Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh suatu lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap
yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang, akan tetapi
dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.
B. JINAMEEDAN MASYARAKAT ACEH
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara
pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Provinsi
Aceh merupakan suatu wilayah Pemerintahan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang
taat. Terdapat 18 Pemerintahan Kabupaten di Aceh saat ini, yaitu Kabupaten
Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh
Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh
Utara, Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya, dan
Simeulue; serta 5 Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh,
Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Subulussalam.
Suku yang mendiami Provinisi Aceh sejak dahulu adalah suku Aceh,
Suku Gayo, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku Kluet, Suku
1. Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh
Pernikahan dalam adat Aceh merupakan kegiatan yang tidak hanya
menjadi urusan pribadi atau keluarga, tetapi juga menjadi urusan masyarakat
setempat. Menurut masyarakat Aceh pernikahan merupakan suatu keharusan
yang ditetapkan oleh agama. Pernikahan adalah suatu bentuk hidup bersama
dari seorang laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan wanita yang telah
dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Adapun
langkah-langkah pernikahan dalam adat Aceh:
a. Seulangke. Apabila keluarga laki-laki sudah berketetapan untuk melamar seorang gadis, diutuslah kepada keluarga si gadis seorang seulangke
(penghubung). Seulangke ini harus orang yang pandai bicara dan terdiri dari laki-laki atau perempuan. Setelah dikemukakan maksud ini serta
lamaran diterima, maka utusan ini kembali.
b. Selanjutnya utusan tersebut kembali datang membawa tanda kongnarit
(tanda ikatan) berupa benda-benda berharga, biasanya emas. Apabila
tanda ini diterima maka kedua belah pihak telah terikat dengan suatu tali
pertunangan. Sekaligus pada saat itu ditetapkan pula waktu dan tanggal
pernikahan.
c. Tepat pada waktu pernikahan itu berlangsung, ditetapkan pula jumlah
jinamee yang harus diserahkan pihak laki-laki.
d. Apabila penentuan mas kawin itu selesai, maka selang beberapa bulan
baru pernikahan tersebut dilaksanakan dan diadakan secara
2. Adat Menetap Setelah Pernikahan
Pasangan yang baru menikah akan tinggal dirumah orang tua pihak
perempuan sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Pihak
keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan
kemampuan orang tua pihak perempuan. Pasangan yang telah menikah
tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai
mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan
mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah
tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah perempuan).
3. Warisan
Dalam masyarakat Aceh pembagian warisan dibagi sesuai hukum agama Islam. Namun biasanya, rumah diberikan kepada anak perempuan
apabila sebelumnya anak perempuan dan suaminya yang telah menikah
tinggal bersama kedua orang tua perempuan tersebut (Sufi, 2004).
Syamsuddin (2004) juga menyebutkan bahwa anak perempuan lebih
diutamakan memperoleh rumah, sehingga rumah tidak menjadi tanggung
jawab suaminya.
4. Jinamee
Menurut bahasa Jinameeberasal dari kata jame yang berarti tamu.
sebagai hadiah pernikahan (Ismail & Daud, 2012). Lebih lanjut Rizal
(2013) menjelaskan bahwa jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh
dara baro (calon pengantin wanita), dan kewajiban bagi linto baro (calon mempelai laki-laki). Jinamee ini sama artinya dengan mahar.
Jinameedi Aceh disimbolkan dalam bentuk emas karena menurut masyarakat Aceh emas merupakan simbol dari kemewahan dan kekayaan.
Jinamee ini tidak termasuk dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian,
sepatu, tas, kosmetika, dan sebagainya. Rizal (2013) menyebutkan bahwa
jinamee merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat Aceh dimana agama dan adat berperan didalamnya. Dalam tradisi masyarakat
Aceh, tinggi rendahnya jumlah jinamee sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor keturunan, bagi masyarakat Aceh keturunan merupakan suatu
hal yang penting dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah jinamee. Keturunan yang ada di Aceh dapat dilihat dalam beberapa bentuk,
yaitu; keturunan bangsawan (seperti; Tuanku, Cut, dan Ampon, dan
keturunan yang masih dianggap berhubungan dengan keluarga Nabi
(Sayed dan Syarifah). Maka dalam tradisi masyarakat Aceh mahar dari
keturunan tersebut secara otomatis berbeda.
b. Faktor kondisi keluarga, keluarga dengan latar belakang yang
c. Status sosial, seorang wanita suku Aceh yang memiliki status sosial
yang baik di masyarakat maka jinamee yang akan didapatkannya juga tinggi. Ismail dan Daud (2012) budayawan Aceh juga menyebutkan
bahwa status sosial seseorang dalam mencari jodoh juga menjadi
pertimbangan penting untuk melamar seorang gadis. Orangtua dari
pihak laki-laki akan memilih calon menantu yang didasarkan pada garis
keturunan si wanita dan status sosialnya dalam masyarakat yang
bertujuan untuk mendapatkan menantu dari keturunan yang baik.
Biasanya wanita yang berasal dari keluarga baik didasarkan pada
keluarga yang taat beribadah.
d. Faktor pendidikan, ketika wanita tersebut memiliki latar belakang
pendidikan yang bagus maka nilai jinamee yang akan diperolehnya juga semakin tinggi.
Faktor-faktor diatas hanya difokuskan kepada perempuan. Semakin
tinggi faktor yang disebutkan diatas, maka jumlah jinamee yang akan diperoleh seorang wanita suku Aceh juga akan semakin tinggi. Biasanya
jumlah jinamee ditetapkan kira-kira 50 gram sampai 100 gram emas lebih (Syamsuddin, 2004).
C. SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA MASYARAKAT ACEH
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi bagi pihak laki-laki. Jinameeyang merupakan adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas. Hal ini
dikarenakan bagi masyarakat Aceh emas merupakan simbol kemewahan dan
kekayaan. Satuan jinamee yang dipakai masyarakat Aceh adalah mayam, satu mayam sama dengan 3,30 gram. Harga emas akan mengalami perubahan
sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar, sehingga semakin
tinggi jinamee maka harga rupiah untuk membeli emas juga akan semakin mahal (Sufi, 2004).
Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang menikah di Aceh. jinamee tinggi menunjukan harga diri seorang wanita di Aceh dan berupa penghargaan yang diberikan kepada wanita tersebut. Seorang laki-laki
yang ingin menikahi seorang wanita di Aceh biasanya harus sanggup
memenuhi permintaan jumlah jinamee dari pihak wanita tersebut. Ada empat faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya jumlah jinamee dalam tradisi masyarakat Aceh, yaitu faktor keturunan, kondisi kehidupan keluarga si
wanita, status sosial wanita, dan terakhir faktor pendidikan. Semakin tinggi
faktor yang disebutkan, maka semakin tinggilah jinamee yang diperoleh si wanita. Perkembangan zaman saat ini membuat wanita sekarang berbeda
dengan dahulu, dimana meningkatnya status sosial dan pendidikan wanita
saat ini, sehingga menyebabkan permintaan jumlah jinamee kepada pihak laki-laki juga semakin tinggi (Rizal, 2013).
pasangan yang menikah tidak mudah bercerai. Selain itu jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita apabila dalam pernikahan suami kehilangan
pekerjaan, meninggal, atau terjadi perceraian, maka jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita.
Penelitian sebelumnya di Krueng Mane, Aceh utara menunjukkan bahwa jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya
yang lebih menentukan adalah jumlahjinamee yang harus dibayar. Jumlah
jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita berkisar 15 mayam, 30 mayam, sampai dengan 50
mayam emas (Ayu, 2010).
Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya, pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan
kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga
akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.
Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak
mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari
pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).
Sikap merupakan kecenderungan berperilaku terhadap objek sosial
yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Hogg juga mendefinisikan
sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif
komponen pembentuk sikap. Pertama, komponen kognitif berkaitan dengan
kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap. Kedua,
komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci,
suka atau tidak suka terhadap objek sikap. Yang terakhir, komponen konatif
berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap
objek sikap, Eagley & Chaiken (1993).
Berdasarkan komunikasi personal dengan beberapa masyarakat Aceh,
jinamee tinggi ternyata dapat menghambat pernikahan. Pihak laki-laki juga merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan jinamee tinggi tersebut sehingga pernikahan yang harus disegerakan terpaksa ditunda demi
tercapainya jumlah jinamee yang diinginkan. Terhambatnya pernikahan juga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan
wanita yang melajang di Aceh. Setelah menikah juga dikhawatirkan laki-laki
akan berperilaku semena-mena terhadap istrinya karena merasa telah
memberikan jinamee yang tinggi.
Sikap positif terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk ketika masyarakat Aceh memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku yang
mendukung jinamee tinggi tersebut. Sementara sikap negatif terhadap
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta dan
karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Azwar, 2003).
Penelitian ini berkaitan dengan sikap terhadap jinameetinggi pada masyarakat Aceh. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai identifikasi variabel
penelitian, definisi operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel,
metode pengumpulan data, uji validitas, uji daya beda aitem, uji reliabilitas,
prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variable merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2003). Variabel yang
digunakan dalam penelitian ini sikap.
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN
Sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh adalah bentuk evaluasi dan kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi
masyarakat Aceh diukur dengan menggunakan skala sikap berdasarkan tiga
komponen:
1. Komponen kognitif yaitu pengetahuan atau pemahaman masyarakat Aceh
terhadap jinamee tinggi.
2. Komponen afektif berkaitan dengan perasaan masyarakat Aceh terhadap
jinamee tinggi.
3. Komponen konatif memperlihatkan kesediaan masyarakat Aceh untuk
bertindak terhadap jinamee tinggi.
Sikap masyarakat Aceh terhadap jinamee tinggi dilihat dari besarnya nilai rata-rata dari titik tengah skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dan diberikan kepada masyarakat Aceh. Semakin tinggi
nilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin positif sikap yang
dimiliki partisipan terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya,semakin rendahnilai rata-rata partisipandalam skala, maka semakin negatif sikap yang dimiliki
partisipan terhadap jinamee tinggi.
C. POPULASI, SAMPEL, DAN TEKNIKPENGAMBILANSAMPEL 1. Populasi Penelitian
Menurut Azwar (2010), populasi merupakan kelompok subjek yang
akan dikenai penelitian. Populasi dalam penelitian meliputi kelompok
subjek yang harus memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang sama sehingga
dapat dibedakan dengan kelompok subjek yang lain. Adapun populasi
Banda Aceh. Alasan peneliti memilih kota Banda Aceh adalah karena
merupakan ibu kota Provinsi Aceh. Banda Aceh merupakan daerah di
Aceh yang terkenal dengan tingginya jinamee.
2. Sampel Penelitian
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang
dimiliki peneliti maka partisipan penelitian yang dipilih adalah sebagian
dari keseluruhan populasi yang dinamakan sampel (Field, 2009).
Pengambilan sampel digunakan untuk menggeneralisasikan sampel dan
menarik kesimpulan sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi
(Azwar,2010). Menurut Azwar tidak ada angka yang dikatakan pasti
mengenai berapa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian. Jumlah
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 150
masyarakat Aceh yang tinggal di kota Banda Aceh.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
non probability, dalam teknik non probability tidak semua individu dalam populasidiberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota
sampel. Teknik non probability yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode ini merupakan salah satu teknik
sampel yang dibutuhkan. Hal ini digunakan untuk memudahkan penelitian
(Sugiono, 2008).
D. METODE PENGUMPULANDATA
Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode.
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode skala dan wawancara personal sebagai alat ukur tambahan. Metode
skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar
pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000).
Sedangkan wawancara personal digunakan untuk mengeksplorasi hasil
penelitian dengan lebih dalam.
1. Skala Sikap
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan skala psikologi yang berbentuk skala Likert.
Skala ini disusun untuk mengungkap sikap subjek berupa sikap positif
dan negatif, setuju dan tidak setuju, serta pro dan kontra terhadap suatu
objek. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa
konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak
langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam
bentuk aitem–aitem pernyataan (Azwar, 2010). Pengumpulan data dalam
Skala ini bertujuan untuk melihat sikap subjek sebagai kesimpulan
apakah subjek memiliki sikap positif atau negatif tehadap jinamee tinggi. Disusun atas tiga komponen yang membentuk sikap yaitu komponen
kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Skala ini akan terdiri
dari aitem dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dan terdiri dari
aitem favorable dan unfavorable. Bobot penilaian favourable adalah 4 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 3 untuk jawaban Setuju, 2 untuk
pilihan jawaban Tidak Setuju (S), 1 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak
Setuju (STS). Sementara bobot penilaian unfavourable yakni 1 untuk jawaban Sangat Setuju (SS), 2 untuk jawaban Setuju, 3 untuk pilihan
jawaban Tidak Setuju (S), 4 untuk pilihan jawaban Sangat Tidak Setuju
(STS).
2. Wawancara Personal
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan
topik yang diteliti, dan bermaksud mengadakan eksplorasi terhadap isu
tersebut (Poerwandari, 2007).
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan secara personal dan
dilakukan kepada empat orang subjek yaitu ustad, pemuka adat, dan
sebagai penyedia data untuk membahas studi kasus mengenai bagaimana
sikap terhadap jinamee tinggi.
E. UJI VALIDITAS, UJI DAYA BEDA AITEM, DAN UJI RELIABILITAS
1. Uji Validitas
Azwar (2003) mendefinisikan validitas tes atau validitas alat ukur
adalah sejauh mana tes itu mengukur apa yang dimaksudkannya untuk
diukur, artinya derajat fungsi mengukurnya suatu tes atau derajat
kecermatan suatu tes. Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian
ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah isi yang diukur yang
[image:42.595.167.520.567.755.2]disebut dengan validitas isi (content validity). Dalam penelitian ini, validitas alat ukur ditentukan melalui pendapat profesional (professional judgement) dalam proses telaah soal.Pengujian validitas ini dilakukan dengan cara analisis rasional atau professional judgement dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak yang ahli di bidangnya.
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Sikap Sebelum Uji Coba
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 2, 4, 7, 11,
13, 14, 15, 20,
21, 33
3, 6, 8, 9, 17,
19, 25, 27
19 44,1%
Afektif 10, 22, 34, 36,
37
16, 26, 29, 31,
42, 43
Konatif 5, 12, 18, 24,
28, 32, 35, 38
23, 30, 39, 40,
41
13 30,2%
Total 43 100%
2. Uji Daya Beda Aitem
Pengujian reliabilitas terhadap hasil ukur skala dilakukan bila
aitem-aitem yang terpilih lewat prosedur analisis aitem telah dikompilasi
menjadi satu. Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan
hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar,
2003).
Daya beda aitem diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor aitem
dengan skor total. Koefisien korelasi aitem dengan skor total harus
signifikan, untuk memperoleh skor total digunakan teknik korelasi
PearsonProduct Moment (Azwar,2003). Semakin tinggi korelasi positif antara skor aitem dengan skor total maka semakin tinggi pula konsistensi
antara aitem tersebut dengan skor total yang diperoleh, sehingga daya
bedanya juga semakin tinggi. Bila koefisien korelasinya rendah atau
mendekati 0 (nol), maka berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan
fungsi alat ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Apabila korelasi
berharga negatif, maka dapat diartikan terdapat cacat pada aitem tersebut.
Penghitungannyadilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20 for windows.Batasan nilai indeks daya beda item dalam penelitian ini
yang akan digunakan dalam pengambilan data yang sebenarnya.
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Sikap Setelah Uji Coba
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 2, 4, 7, 11, 13, 14, 15, 20,
21, 33
3, 6, 8, 9, 17,
19, 25, 27
19 44,18%
Afektif 10, 22, 34, 36,
37
16, 26, 29, 31, 42, 43
11 25,58%
Konatif 5, 12, 18, 24, 28, 32, 35, 38
23, 30, 39, 40, 41
13 30,23%
Total 43 100%
Nomor yang ditebalkan berarti memiliki daya diskriminasi < 0,3
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas mengacu kepada kekonsistenan alat ukur yang
menunjukkan suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif sama
bila diukur kembali pada subjek yang sama. Uji reliabilitas alat ukur ini
menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya
memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai
subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan memiliki
efisiensi yang tinggi. Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini
alpha cronbach, yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal pada sekelompok individu sebagai subjek dengan
tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam skala.
Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis (Azwar, 2003).
Pengujian reliabilitas alat ukur diujicobakan kepada 90 masyarakat
Aceh. Berdasarkan dari hasil penghitungan reliabilitas dengan
menggunakan formula alpha cronbach didapatkan koefisien reliabilitas dari skala sikap adalah sebesar 0,942. Azwar (2003) mengatakan bahwa
nilai reliabilitas yang koefisiennya mencapai minimal rxx’ = 0,900
dianggap memuaskan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai reliabilitas
dari skala sikap ini sangat memuaskan dan menunjukkan bahwasanya alat
[image:45.595.150.507.475.731.2]ukur ini reliabel untuk digunakan.
Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Sikap yang Digunakan Dalam Penelitian
Komponen Favourable Unfavorable Jumlah
Aitem
Bobot
Kognitif 1, 3, 9, 11, 12,
13, 18, 19, 28
2, 5, 6, 7, 15,
17, 22, 24
17 48,57%
Afektif 8, 20, 29, 30,
31
14, 23, 27, 34,
35
10 28,57%
Konatif 4, 10, 16, 25,
32
21, 26, 33 8 22,85%
F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap
tersebut adalah tahap persiapan penilitian, tahap pelaksanaan penelitian dan
tahap pengolahan data.
1. Persiapan Penelitian
Pada tahapan ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pada tahap awal penelitian, peneliti akan membuat alat ukur
berdasarkan tiga komponen sikap. Kemudian peneliti membuat skala
dalam bentuk model Likert yang terdiri dari skala sikap.
b. Setelahskala selesai dibuat, maka aitem-aitem yang telah dibuat akan
dianalisis terlebih dahulu olehprofessional judgement, yakni dosen pembimbing.
c. Peneliti akan menguji coba atau melakukan try out terhadap subjek yang memiliki kriteria yang sama dengan kriteria penelitian. Uji coba
ini bertujuan untuk menseleksi aitem yang benar-benar sesuai dengan
variabel yang hendak diukur.
d. Selanjutnya peneliti melakukan uji coba alat ukur, peneliti menguji
daya beda aitem, validitas dan reliabilitas kedua skala dengan
reliabilitasnya, peneliti mengambil aitem-aitem yang sesuai untuk
dijadikan aitem-aitem dalam skala.
2. Pelaksanaan Penelitian
Setelah peneliti melakukan uji coba, merevisi alat ukur dan telah
menyusun kembali aitem-aitem yang sesuai pada saat uji coba, maka
peneliti mengambil data penelitian pada masyarakat Aceh sebanyak 150
orang. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan menggunakan teknik
incidental sampling, peneliti juga melakukan wawancara kepada empat orang partisipan penelitian.
3. Pengolahan Data
Setelah diperoleh data dari skala sikap pada masing-masing sampel, maka dilakukanlah pengolahan data dengan mengunakan metode statistik.
Pengolahan data menggunakan bantuan program aplikasi komputer SPSS.
G. METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisa dataone sample t-test,independent-sample t-test dan uji one way anova yang mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai dengan 4, dengan titik tengah
2,5. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan
tinggi di Aceh. Wawancara personal dilakukan berdasarkan pedoman
wawancara dari teori sikap.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian
yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip-prinsip distribusi
normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Pada penelitian ini
uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov
BAB IV
HASIL ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian.
Pembahasan pada bab ini dimulai dengan gambaran umum subjek penelitian dan
hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis data penelitian sesuai dengan
permasalahan dan analisa data tambahan yang ada.
A. Gambaran Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini berjumlah 150orang yang keseluruhannya adalah
masyarakat Aceh yang berada di Kota Banda Aceh. Subjek dalam penelitian
ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
[image:49.595.143.498.560.626.2]penyebarannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N % dari total N
Laki-laki 53 35,33%
Perempuan 97 64,66%
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan tingkat
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan N % dari total N
SMA 23 15,33%
D3 28 18,66%
D4 14 9,33%
S1 51 34%
S2 34 22,66%
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Subjek dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan usia dengan 5
pengelompokan kategori usia, yaitu: 18-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50
tahun, 51-60 tahun, dan 61-63 tahun,, dengan penyebaran sebagai berikut:
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia N % dari total N
Usia 18-30 Tahun 64 42,66%
Usia 31-40 Tahun 41 27,33%
Usia 41-50 Tahun 25 16,66%
Usia 51-60 Tahun 14 9,33%
Usia 61-63 Tahun 6 4%
B. Hasil Uji Asumsi Penelitian
Sebelum menganalisa data utama penelitian dengan t-test, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi penelitian. Uji asumsi penelitian
[image:50.595.140.499.433.563.2]1. Uji Normalitas Sebaran
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel
penelitian telah menyebar secara normal dan perlu dilakukan untuk
menentukan analisa data selanjutnya (Sugiyono, 2002). Uji normalitas
[image:51.595.158.515.280.323.2]sebaran dilakukan dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Tabel 7. Hasil Uji Normalitas
Variabel Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sikap .772 .590
Berdasarkan tabel 7, diperoleh nilai z sebesar 1,277 dan nilai
signifikansi (p) sebesar .590 . Oleh karena nilai p > 0,05 maka data
penelitian ini dikatakan terdistribusi normal.
C. Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah ingin menggambarkan bagimana gambaran
umum mengenai sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh, gambaran sikap terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh dilihat dari jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Tujuan penelitian ini juga ingin
mengetahui berapa gambaran jumlah jinamee tinggi dan jinamee rendah menurut masyarakat Aceh.
1. Gambaran Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh
Untuk menentukan bagaimana sikap masyarakat Aceh terhadap
mengujikan nilai rata-rata para partisipan dengan titik tengah skala. Dalam hal ini, rentang skor rentang yang mungkin adalah antara 1 sampai
dengan 4, dengan titik tengah 2,5. Apabila nilai rata-rata partisipan lebih
rendah secara signifikan dari titik tengah, maka rata-rata partisipan
memiliki kecenderungan sikap negatif negatif terhadap jinamee tinggi. Sebaliknya, apabila rata-rata partisipan lebih tinggi secara signifikan dari
titik tengah, maka rata-rata partisipan secara umum memiliki sikap positif
terhadap jinamee tinggi.
Secara umum, partisipan memiliki sikap yang cenderung negatif
2. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh
Tabel 8. Jumlah Jinamee Tinggi Menurut Masyarakat Aceh
Jumlah N % dari total N
5 s/d 10 Mayam Emas 9 6%
11 s/d 15 Mayam Emas 11 7,33%
16 s/d 20 Mayam Emas 15 10%
21 s/d 25 Mayam Emas 21 14%
26 s/d 30 Mayam Emas 36 24%
31 s/d 40 Mayam Emas 24 16%
50 Mayam Emas 19 12,66%
70 Mayam Emas 5 3,33%
80 Mayam Emas 4 2,66%
100 Mayam Emas 6 4%
3. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh
Tabel 9. Jumlah Jinamee Rendah Menurut Masyarakat Aceh
Jumlah N % dari total N
1 s/d 4 Mayam Emas 29 19,33%
5 s/d 10 Mayam Emas 57 38%
11 s/d 15 Mayam Emas 46 30,66%
16 s/d 20 Mayam Emas 18 12%
D. Hasil Analisa Wawancara Personal
Setelah dilakukan analisa deskriptif data utama penelitian ini maka
kemudian dilakukan analisa tambahan yaitu wawancara personal secara
kualitatif dengan beberapa subjek untuk mengeksplorasi studi kasus
dilakukan pada empat orang subjek penelitian, yaitu ustad, pemuka adat,
masyarakat laki-laki dan perempuan.
[image:54.595.163.507.278.383.2]1. Hasil Analisa Data Wawancara Personal a. Analisa Data Subjek 1
Tabel 10. Gambaran Umum Subjek 1
Keterangan Subjek 1
Nama ND
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 63 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Sarjana
Pekerjaan Penceramah, Ustad
Kognitif
Menurut pemahaman (kognitif) ND, beliau tidak setuju
terhadap fenomena jinamee tinggi di Aceh. ND menyatakan bahwa
jinamee tinggi tidak harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan.
Jinamee tinggi dapat menimbulkan dampak negatif seperti terhambatnya pernikahan, memberatkan pihak laki-laki sebagai
syarat pernikahan, sehingga banyak yang memilih berhutang atau
kredit. ND juga menyatakan sesuai dengan anjuran agama,
sebaiknya jumlah jinamee tidak memberatkan pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan. Menurutnya, apabila jinamee sudah terpenuhi dalam sebuah pernikahan, maka pernikahan sudah dapat dikatakan
sah secara agama. Oleh karena itu, ND memiliki pemahaman yang
menambahkan bahwa jinamee tinggi bukanlah patokan harga diri dari seorang perempuan.
“Jinamee itukan tidak harustinggi, jinamee sedikit juga tidak masalah yang pentingkan itu sah kalau kita nikah. Lagian
jinamee tinggi-tinggi kali juga gak baik yang ada banyak orang nikah utang sana sini dan nikahnya jadi lama. Dan harga diri perempuan itu juga tidak ada hubungan dengan
jinamee tinggi.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
Afektif
ND merasa tidak menyukai jinamee tinggi, dan kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi. Menurutnya, sebagai daerah
Serambi Mekkah, seharusnya masyarakat Aceh tidak mempermasalahkan jinamee tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. Pemikirannya tersebut juga sesuai dengan ajaran
agama, bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah yang maharnya
ringan. ND juga menambahkan, masyarakat Aceh sebagai
mayoritas umat muslim hendaknya mengikuti yang dianjurkan oleh
agama. Oleh karena itu, dampak negatif yang ditimbulkan seperti
perzinahan, hamil diluar nikah, bertambahnya laki-laki dan
perempuan yang melajang dapat dikurangi.
“Sebagai daerah yang terkenal dengan Serambi Mekkah saya merasa kecewa terhadap fenomena jinamee tinggi itu.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
“Tidak sukalah dengan jinamee tinggi itu.”
Konatif
ND tidak melarang pemberian jinamee tinggi pada masyarakat Aceh. Namun, beliau menghimbau dan menyarankan
kepada masyarakat Aceh agar menghindari penerapanjinamee yang terlalu tinggi sebagai syarat dalam sebuah pernikahan. ND juga
menambahkan, bahwa dengan menghindari pemberian jinamee
tinggi akan meringankan syarat sebuah pernikahan.
“Tidak usah diikuti saja. Yang penting ada mahar sedikit aja pernikahan sudah sah.”
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
[image:56.595.165.501.460.562.2]b. Analisa Data Subjek 2
Tabel 11. Gambaran Umum Subjek 2
Keterangan Subjek 2
Nama TR
Jenis Kelamin Laki-laki
Usia 59 tahun
Suku Aceh
Pendidikan Terakhir Sarjana
Pekerjaan Pegawai Negri Sipil, Tokoh Adat
Kognitif
Menurut pemahaman TR, jinamee tinggi itu memiliki tujuan. Menurutnya, jinamee tinggi merupakan harga diri dari kedua belah pihak baik perempuan dan laki-laki. Apabila pihak laki-laki mampu
tersebut secara tidak langsung akan menaikkan harga diri pada
pihak laki-laki. Begitu juga halnya dengan pihak perempuan,
apabila pihak perempuan diberikan jinamee tinggi, maka secara tidak langsung pihak perempuan dan keluarganya merasa dihargai
dan dimuliakan.
“Nyan jinamee tinggikan na maksud. Kon sembarang meunan. Jinamee itukan itu tanda harga diri perempuan dan keluarganya. Kalau laki-laki memberi jinamee dalam jumlah besarkan bagus juga untuk laki-laki itu berarti ia laki-laki baik dan terhormat.
(Komunikasi Personal, 10 November 2014)
TR juga menjelaskan bahwa dibalik pemberian jinamee
tinggi, salah satu keutamaannya yaitu menantu laki-laki diizinkan
untuk tinggal satu atap dengan mertuanya. Sehingga pihak laki-laki
tidak merasa dibebani d