• Tidak ada hasil yang ditemukan

MONOPOLI HARTA DALAM HADITS docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MONOPOLI HARTA DALAM HADITS docx"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MONOPOLI HARTA DALAM HADITS Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah Tafsir Ayat dan Hadits Ekonomi

Pengampu : Dede Rodin, M.Ag.

Disusun oleh :

Ichwan Hidayatullah (1605036030) Salsabila lathifatul khoiriyyah (1605036031) Inas Shakila (1605036032)

S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Islam menghendaki kesempurnaan pasar yang bebas dari upaya pihak-pihak yang menghendaki distorsi pasar demi meraup keuntungan tinggi dalam waktu singkat. Ketidaksempurnaan pasar juga bisa muncul disebabkan karena ketidaksempurnaan informasi yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi. Informasi merupakan hal yang penting, sebab ia menjadi dasar bagi pembuatan keputusan. Produsen berkepentingan untuk mengetahui seberapa besar permintaan dan tingkat harganya, berapa harga input dan teknologi yang tersedia, dan lain-lain, sehingga dapat menawarkan barangnya secara akurat. Demikian pula konsumen, ia harus mengetahui tingkat harga yang berlaku, kualitas barang yang dibelinya, dan lain lain, sehingga dapat menentukan permintaannya dengan akurat pula.1

Dari sekian banyak penyebab ketidaksempurnaan pasar, tampaknya monopoli merupakan faktor yang paling sering dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga. Perilaku ini mempunyai pengaruh negatif dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang.2 Padahal,

etika perdagangan atau ekonomi Islam menganjurkan untuk mencari rezeki secara baik dan seimbang dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadis.

(3)

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Monopoli Harta

Ada dua istilah dalam bahasa Arab terkait larangan monopoli, yakni ihtikar dan iktinaz. Secara sederhana, ihtikar sering diartikan monopoli dan iktinaz diartikan penimbunan. Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah mendefinisikan ihtikar dengan “membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat, manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut.” Fathi ad-Duraini mengartikan ihtikar dengan “tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut.”3 Menurut

mazhab Hambali, monopoli yaitu membeli bahan makanan untuk diperdagangkan dan ditimbun agar supaya langka dan harganya meningkat, untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Menurut Qardhawi, yang dimaksud dengan monopoli yaitu menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya. Menurut Imam Al-Ghazali (Madzab Syafi’i) monopoli atau ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak. Ulama madzab Maliki mendifinisikan ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen baik, makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar. Sedangkan menurut Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (ahli hadis dan ushul fiqh) mendifinisikan ihtikar sebagai penimbunan barang dagangan dari tempat peredarannya sehingga menjadikan barang tersebut langkah di pasaran.4

Sedangkan menimbun harta dalam bahasa Arab disebut iktinaz atau kanz al mal. Secara bahasa, iktinaz, sebagaimana dikatakan al-Ragib ashfahani, adalah ja'l aI-mal ba‘dhahu 'ala ba'dh wa hifzhuhu (menumpuk dan menyimpan harta). Pada saat

(4)

diharamkan, emas dan perak menjadi alat tukar dan standar bagi tenaga, jasa atau manfaat suatu harta. Atas dasar itu, larangan penimbunan emas dan perak itu juga terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Artinya, larangan itu juga mencakup larangan terhadap penimbunan uang secara umum. Karena itu, iktinaz dapat diartikan dengan menahan harta (dana), menahannya, menjauhkan dari peredaran dan membiarkannya menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Ada kesamaan antara iktinaz dan ihtikar dalam hal menumpuk dan menahan kekayaan. Hanya saja iktinaz terdorong oleh keengganan menginfakkan (menginvestasikan) harta pada hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan umum, sedang ihtikar terdorong oleh keinginan untuk meraup keuntungan besar, di mana harta (barang-barang kebutuhan masyarakat) yang ditahan itu akan dilepas ke pasar saat harganya naik. Tapi dampak dari keduanya sama; menimbulkan kerugian bagi orang banyak.5

B. Larangan Ihtikar dan Iktinaz dalam Hadis.

Larangan ihtikar (monopoli) dipertegas oleh sabda Rasullah SAW dalam

“Umar bin Khattab berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang melakukan monopoli makananan atas kaum muslim Allah akan menimpakan kepadanya penyakit dan kebangkrutan” (HR. Ibnu Majah)

ىلىعى اهىبه يلهغحيل نحاىدليحرهيل ةمرىكححل رىكىتىححا نحمى مىللىسىوى ههيحلىعى هللا للىصى هللا للوسلرى لىاقى ةىرىيحرىهل يبهاى نحعى

وىهلفى نىيمهلهسحمللحا

ىىىطهاخى

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang melakukan monopoli dengan tujuan agar harga naik atas kaum muslimin, maka dia telah melakukan dosa.” (HR. Ahmad)

(5)

جهرىعحأىلحا نحعى دهانىزلهلا يبهاى نحعى ككلهامى ىلىعى تلاحرىقى لىاقى ىيىححيى نلبح ىيىححيى انىثىدلى حى

نلابىكحرلللا ىقلى لىتىيل الى لىاقى مىللى سىوى ههيحلىعى هلللى لا ىللى صى ههللى لا لىوسلرى نلى اى ةىرىيحرىهل يبهاى نحعى

الىوى دكابىله رىضهاحى عحبهيى الىوى اوشلجىانىتى الىوى ضكعحبى عهيحبى ىلىعى محكلضلعحبى عحبهيى الىوى عكيحبىله

نحاى دىعحبى نهيحرىظىنلى لا رهيحخىبه وىهلفى كىلهذى دىعحبى اهىعىاتىبحا نحمىفى مىنىغىلحاوى لىبهإهلحا اورللصىتل

ركمحتى نحمه اعماصىوى اهىدلىرى اهىطىخهسى نحإهوى اهىكىسىمحاى اهىيىضهرى نحإهفى اهىبىللححيى

“Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya] dia berkata; Saya membaca di hadapan [Malik] dari [Abu Az Zinad] dari [Al A'raj] dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah mencegat pedagang untuk memborong barang-barangnya (sebelum sampai ke pasar); jangan membeli barang yang sedang dibeli orang lain; jangan menipu; orang kota hendaknya tidak memborong dagangan orang dusun (dengan maksud monopoli dan menaikkan harga); jangan menahan susu unta atau kambing yang akan dijual supaya kelihatan susunya banyak. Jika dia membeli dan memerahnya setelah membeli, maka dia boleh memilih dari dua keadaan, jika ia suka, maka dia boleh ditahannya namun jika tidak suka dia boleh mengembalikannya dengan satu sha' kurma (pengganti susu dan perahannya)." (HR. Muslim Nomor 2790)

Dari hadis diatas, pada kalimat “orang kota hendaknya tidak memborong dagangan orang dusun (dengan maksud monopoli dan menaikkan harga)” sudah sangat jelas bahwa Rasulullah SAW melarang orang memborong dagangan orang lain dengan maksud memonopoli agar harganya naik, karena ketika suatu dagangan diborong oleh satu orang saja secara otomatis akan terjadi kelangkaan di pasaran dan hal tersebut akan memberi kesempatan pada orang yang memborong tadi untuk

(6)

Larangan iktinaz oleh sabda Rasullah SAW dalam beberapa hadis, diantaranya : menceritakan kepada kami [Sulaiman] -yaitu Ibnu Bilal- dari [Yahya] -yaitu Ibnu Sa'id- dia berkata, " [Sa'id bin Musayyab] menceritakan bahwa [Ma'mar] berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa." (HR. Muslim nomor 3012).

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih yaitu apabila : a) Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.

b) Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.

c) Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat, maka itu tidak termasuk menimbun.

Adapun mengenai waktu penimbunan tidak terbatas dalam waktu pendek maupun panjang jika dapat menimbulkan fluktuasi ataupun tiga syarat tersebut diatas terpenuhi maka haram hukumnya.

Dari ibnu Umar, dari Rasullah SAW :

هلنحمه ءىىرهبىوى هىللا نىمهءىىرهبىدحقىفى ةليحلى نىيحعهبىرحااممعىطىرىكىتىححا نحمى

(7)

Pada dasarnya Rasulullah melarang menimbun barang pangan selama 40 hari, biasanya pasar akan mengalami fluktuasi jika sampai 40 hari barang tidak ada di pasar karena ditimbun, padahal masyarakat sangat membutuhkannya. Bila penimbunan dilakukan beberapa hari saja sebagai proses pendristibusian barang dari produsen ke konsumen maka belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Namun bila bertujuan menunggu saatnya naik harga sekalipun hanya satu hari maka termasuk penimbunan yang membahayakan dan tentu saja diharamkan.6

C. Cara Mencegah Penimbunan Barang

Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan memanfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian menahannya sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan umat karenanya. Perilaku buruk ini dilarang oleh islam. Umar Radhiyallahu Anhu memiliki perhatian yang besar dalam penimbunan barang dan mengawasinya. Diantara cara yang bisa diambil dalam fikih Umar Radhiyallahu Anhu untuk mencegah penimbunan barang dan memberantasnya adalah pengaturan perantara perdagangan, dan mengawasi harga. Keduanya akan dibahas sebagai berikut:

1. Mengatur Perantara Perdagangan

Perdagangan tidak bisa lepas dari perantara yang masuk diantara penjual dan pembeli untuk memudahkan tukar-menukar barang. Pada masa sekarang, sangat dibutuhkan adanya pedagang perantara, melihat banyaknya barang dan jasa, banyaknya jenisnya, meluasnya perdagangan di dalamnya, kesulitan hubungan langsung antara berbagai pihak dan perkenalan antara mereka untuk melakukan perdagangan. Maka datanglah peran perantara untuk menunjukkan barang dagangan kepada pembeli dan menunjukkan harga kepada penjual.

Disamping mengakui pentingnya perantara perdagangan, membiarkannya tanpa aturan bisa menyebabkan adanya penyalahgunaannya dari tugas sebenarnya dan menjadi cara untuk menipu, dan cara monopoli. Hal ini bisa membunuh persaingan, maka harga tidak stabil sesuai persediaan dan permintaan barang, akan tetapi terjadi

(8)

kesewenang-wenangan dari beberapa pedagang perantara yang menyebabkan naiknya harga. Untuk menjaga ekonomi dari pengaruh buruk dari para perantara perdagangan, Islam mengatur masalah perantara perdagangan, dan melarang beberapa campur tangan yang membahayakan umat, baik individu atau golongan. Diantara perantaraan perdagangan yang dilarang oleh Islam apa yang dijelaskan dalam hadis :

نحعى ههيبهاى نحعى سكولاطى نهبحا نحعى رىمىعحمى انىثىدلى حى دهحهاوىلحا دلبحعى انىثىدلى حى دىدلى سىمل انىثىدلى حى

['Abdul Wahid] telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Ibnu Thowus] dari [bapaknya] dari [Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma]; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang menyongsong (mencegat) kafilah dagang (sebelum mereka tahu harga di pasar) dan melarang pula orang kota menjual kepada orang desa. Aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma: "Apa arti sabda Beliau " dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa ". Dia menjawab: "Janganlah seseorang jadi perantara bagi orang kota". (HR. Bukhari nomor 2113)

Umar Radhiyallahu Anhu memerintahkan manusia untuk melaksanakan pesan Nabi Muhammad, dan berkata, “Dan janganlah orang yang tahu menjual kepada orang yang tidak tahu.” Umar memerintahkan untuk menunjukkan para pedagang dari orang Badui ke pasar, memberitahukan mereka jalan menuju pasar, agar dia mengetahui dengan sempurna keadaan pasar dan harga-harga, dan mereka bisa sampai ke pasar dan menjual barang dagangannya sesuai kehendaknya. Dalam hal ini Umar berkata, “Tunjukkan mereka ke pasar, tunjukkan mereka jalan, dan beritahu mereka tentang harga”

(9)

dan konsumen merupakan penyebab terpenting dari naiknya harga barang, dan konsumen harus menanggung semua tambahan itu, maka berkuranglah kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya dan hal tersebut menghalangi terwujudnya kesejahteraan umat.

2. Pengawasan Harga

Umar Radhiyallahu Anhu memiliki perhatian yang besar dalam mengikuti perkembangan harga dan mengawasinya. Ketika datang utusan kepadanya, maka dia bertanya tentang keadaan mereka dan harga-harga pada mereka. Tidak diragukan bahwa tingkat harga dianggap sebagai indikasi terbesar tingkat mata pencaharian, karena dia mempunyai pengaruh terhadap nilai mata uang. Bahkan naiknya harga merupakan indikasi terbesar inflasi, dimana ketika terjadi inflasi, harga harga naik tajam, dan hal tersebut menyebabkan berkurangnya nilai mata uang. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Islam menganggap kenaikan harga sebagai satu musibah, suatu bencana yang turun karena dosa manusia.7 Hal itu kelihatan ketika harga-harga

naik pada masa Rasulullah dan umat Islam datang kepadanya untuk menentukan harga, maka Rasulullah bersabda, “Tetapi aku berdoa..Artinya aku menghadap Allah agar menghilangkan mahalnya harga dan meluaskan rizki”. Rasulullah memberi alasan ketidak mauannya menentukan harga dengan sabdanya,

نحعى ةىمىلىسى نلبح دلاملى حى انىثىدلى حى جىاجلى حى انىثىدلى حى ىنلى ثىمللحا نلبح دلملى حىمل انىثىدلى حى

[Hammad bin Salamah] dari [Qatadah] dan [Humaid] dan [Tsabit] dari [Anas bin Malik] ia berkata, "Pernah terjadi kenaikan harga pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka orang-orang pun berkata, "Wahai Rasulullah, harga-harga telah melambung tinggi, maka tetapkanlah setandar harga untuk kami." Beliau lalu bersabda: "Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang menyempitkan

(10)

dan melapangkan, dan Dia yang memberi rizki. Sungguh, aku berharap ketika berjumpa dengan Allah tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku dalam hal darah dan harta." (HR. Ibnu Majah nomor 2191).

Dalam hadis tersebut terdapat ancaman yang keras terhadap penentuan harta dalam keadaan normal, dan itu dianggap sebagai kezhaliman kepada rakyat yang menyebabkan penguasa harus mempertanggungjawabkannya pada hari kiamat.

Ketika adanya monopoli, maka negara melakukan campur tangan untuk meluruskannya. Karena pedagang ketika melakukan monopoli atau menjual barang dengan harga yang bisa berpengaruh negatif dalam mendatangkan barang ke pasar, maka dengan perbuatannya tersebut dia telah mempengaruhi fluktuasi persediaan dan permintaan barang untuk kemaslahatan pribadi, maka campur tangan negara dalam keadaan tersebut adalah untuk kemaslahatan semua orang, mengalahkan kemaslahatan individu atau beberapa orang saja.8

BAB III PENUTUP Simpulan

(11)

Praktik monopoli sangat merugikan suatu perekonomian, islam sangat melarang praktik monopoli ihtikar ataupun iktinaz yang menyebabkan kerugian orang banyak. Islam mengatur masalah perantara perdagangan, dan melarang beberapa campur tangan yang membahayakan umat, baik individu atau golongan dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis. Partisipasi pemerintah dalam mencegah terjadinya praktik monopoli sangat diperlukan agar kemaslahatan umum dapat dilindungi.

DAFTAR PUSTAKA

Jabirah. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khattab, Jakarta : Khalifa, 2006.

(12)

Rodin, Dede. Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang : CV Karya Abadi Jaya, 2015.

Jurnal :

Abdul Fatah, Dede. Monopoli dalam Perspektif Ekonomi Islam, Volume IV, No. 2, 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan materi yang ketiga adalah tentang puasa, hadits yang berbicara berkenaan dengan hal tersebut diantaranya adalah, Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang membantu seorang muslim (dalam) suatu

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin 'Ayyasy dari 'Ashim dari Abu Wa`il dari Qais bin Abu Gharazah ia mengatakan;

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang pada tiap -tiap usai sholat bertasbih

Sedangkan materi yang ketiga adalah tentang puasa, hadits yang berbicara berkenaan dengan hal tersebut diantaranya adalah, Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan sanad marfu’ : bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga (jenis manusia) yang tidak

Yahya menceritakan kepada saya dari Malik dari Yahya bin Said bahwa seseorang berkata kepada Abu Musa al-Ashari, "Aku minum sedikit susu dari payudara istriku dan susu itu

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa