PERILAKU JUNSHI PARA TOKOH CERITA
DALAM NOVEL
KISAH 47 RONIN KARYA JOHN ALLYN
OLEH : Mega Astuti
040708001
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 9
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 10
1.5 Tinjauan dan Manfaat Penelitian ... 15
1.6 Metode Penelitian ... 16
BAB II LATAR BELAKANG KISAH 47 RONIN 2.1 Feodalisme Zaman Edo... 17
2.1.1 Struktur Pemerintahan Feodalisme ... 18
2.1.2 Sistem Budaya ... 21
2.1.3 Sistem Pendidikan ... 23
2.1.4 Sistem Ekonomi ... 24
2.2 Konsep Junshi dan Pemikiran Terhadap Junshi ... 25
2.3 Sinopsis Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn ... 33
BAB III ANALISIS KESETIAAN 47 RONIN 3.1 Bushido ... 37
3.2 Kesetiaan Terhadap Shogun ... 41
3.3 Kesetiaan Terhadap Asano Takumi Naganori ... 48
3.5 Junshi Sebagai Tanda Kesetiaan Dalam 47 Ronin ... 64
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ... 63 4.2 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
Skripsi ini membahas salah satu kebudayaan Jepang yaitu bunuh diri. Budaya bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang sudah ada sejak zaman dahulu. Pada skripsi ini, budaya bunuh diri yang dilakukan masyrakat Jepang terjadi pada zaman Edo. Sikap bunuh diri yang dilakukan orang Jepang pada zaman Edo merupakan bukti sikap kepatuhan atau malu bila tidak bisa memberikan yang terbaik kepada kelompoknya.
Zaman Edo dalam sejarah Jepang disebut dengan Zaman Feodal. Ini dikarenakan sistem pemerintahan Jepang menggunakan sistem Feodal, yaitu sistem politik yang menekankan ketergantungan antara Raja dan tuan tanah. Zaman feodal ditandai dengan pembagian kasta-kasta dalam masyarakat yang meliputi istilah Shi no ko sho. Shi yaitu Kaisar sebagai pemimpin, Kizoku atau kaum bangsawan sebagai pelaksana administrasi, samurai sebagai golongan yang mempunyai pengaruh dalam bidang politik dan ekonomi, No adalah petani, Ko adalah tukang dan Sho adalah pedagang sebagai kelas terendah.
terlahir kembali, menjadikan samurai tidak pernah takut menghadapi kematian. Pengabdian kesetiaan samurai melebihi batas antara hidup dan mati. Contoh kesetiaan samurai kepada majikannya yang terdapat pada kisah 47 Ronin. Kisah 47 Ronin adalah cerita mengenai pembalasan dendam mantan samurai atas kematian majikan mereka. Kisah ini terjadi di wilayah Akou di Jepang. Kisah pembalasan dendam para Ronin dilakukan untuk membalaskan dendam majikan mereka yang telah meninggal. Balas dendam ini dilakukan karena Kira Kozuke No Suke, sebagai pejabat Koke telah melukai Asano Takumi.
Balas dendam Ronin merupakan pengabdian kepatuhan mereka terhadap Asano Takumi Naganori. Ini dikarenakan Asano adalah majikan para Ronin. Balas dendam Ronin dipimpin oleh Oishi Kuranosuke Yoshitaka adalah kepala samurai klan Asano. Maka balas dendam Ronin dipimpin oleh Oishi. Oishi dan anak buahnya memenggal kepala Kira dan meletakkan kepala musuh majikan mereka di atas makam Asano. Balas dendam yang dilakukan mereka telah berhasil.
Pembahasan dalam skripsi selanjutnya, adalah mengenai kesetiaan para mantan samurai yang melakukan Junshi. Kesetiaan Ronin ditunjukkan melalui sikap serta perbuatan yang terdapat pada novel kisah 47 Ronin karya John Allyn. Kesetiaan samurai diambil dari berbagai cuplikan adegan yang terdapat pada novel, selanjutnya proses menganalisa kesetiaan melalui tanda-tanda yaitu bahasa atau percakapan. Dalam penelitian skripsi ini digunakan pendekatan semiotika yaitu metode menganalisis yang mengkaji tanda. Tanda adalah perwakilan yang dapat berupa pengalaman, perasaan, percakapan, serta gerakan anggota badan. Selain pendekatan semiotika, skripsi ini juga menggunakan pendekatan historis yang dihubungkan dengan teori tradisional yaitu proses menganalisa berdasarkan keadaan sejarah pada saat peristiwa terjadi. Keadaan sejarah peristiwa 47 Ronin yaitu pada zaman Edo. Selanjutnya proses menganalisis dihubungkan dengan keadaan sejarah pada zaman Edo.
Penelitian yang banyak memfokuskan pada keadaan sejarah peristiwa 47 ronin diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kehidupan sejarah masyarakat Jepang pada zaman Edo. Selain itu penelitian perilaku Junshi para samurai dapat dijadikan sebagai wawasan pengetahuan dalam hal kepahlawanan yang ada di Jepang.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jepang merupakan bagian dari masyarakat yang mudah
terpengaruh dengan keadaan sekitar yang dapat membuat mereka merasa tertekan.
Tekanan terhadap lingkungan sekitar ini sering menjadikan orang Jepang tersebut
berkeinginan untuk mengakhiri hidup mereka)
(http://wikipedia.org/wiki/bunuhdiri). Salah satu cara yang paling populer bagi
masyarakat Jepang untuk mengakhiri hidup adalah dengan melakukan bunuh diri.
Fenomena bunuh diri ini ternyata mendapat prioritas perhatian yang lebih
dibandingkan dengan permasalahan yang lainnya. Di Jepang sejak tahun 1998
secara konstan jumlah bunuh diri pertahun lebih dari 30.000 kasus. Tercatat tahun
2006 terdapat 32.155 orang yang mencabut nyawanya dengan
sengaja
masyarakat Jepang melakukan bunuh diri terdiri atas beberapa faktor, yaitu :
1. Bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mempertahankan harga diri
2. Dikucilkan dari pergaulan seperti Sekolah, Kantor, ataupun keluarga
3. Stress karena masalah kesehatan atau menjadi pengangguran
4. Adanya literatur yang menggambarkan bunuh diri sebagai sesuatu yang
indah
5. Pandangan beragama yang kurang dalam masyarakat, mereka lebih
meyakini akan adanya reinkarnasi, yaitu keyakinan bahwa mereka akan
Perilaku masyarakat Jepang ini merupakan pencerminan dari berbagai pola
masyarakat Jepang yang terdahulu. Sikap kepatuhan atau malu bila tidak bisa
memberikan yang terbaik kepada satu kelompok membuat orang Jepang
melakukan bunuh diri sebagai jalan terakhir daripada hidup dengan menanggung
malu. Pengintegrasian sikap ini menjadi peraturan tersendiri dalam kelompok
tersebut, apabila kode etik group menuntut mereka untuk merelakan nyawanya
maka mereka harus rela membunuh dirinya demi satu kepentingan dan keyakinan
bersama. Alasan untuk melakukan bunuh diri juga bisa dikarenakan pemecatan
pekerjaan, orang Jepang beranggapan apabila mereka dipecat dari suatu
perusahaan, mereka merasa dikhianati oleh perusahaan tersebut, karena kesetiaan
yang selama ini mereka berikan tidak dihargai. Perasaan malu dan harga diri yang
jatuh serta keadaan keluarga yang semakin sulit karena pemecatan tersebut, juga
menjadi alasan bagi orang Jepang untuk melakukan bunuh diri.
Sikap masyarakat Jepang yang sering melakukan bunuh diri bukan sebagai
sikap yang tidak bertanggung jawab, justru sikap ini merupakan wujud rasa
pertanggungjawaban mereka atas perilaku yang telah mereka lakukan
sebelumnya.
Perilaku masyarakat Jepang ini dapat terlihat dari sikap para nenek
moyang Jepang terdahulu yang sering melakukan bunuh diri. Salah satunya adalah
Junshi yang banyak dilakukan pada zaman Edo. Junshi dapat diartikan sebagai
jalan kematian karena kesetiaan. Sikap ini merupakan salah satu jalan kematian
yang banyak dilakukan masyarakat Jepang untuk membuktikan kesetiaan
pengabdian atau kepatuhan mereka kepada majikan. Perilaku ini umumnya
samurai mengikuti jalan kematian majikannya ketika atasan mereka meninggal
dalam pertempuran ataupun tidak. Junshi ini merupakan tradisi pada zaman
Chinese Wei untuk memberikan penghormatan kepada Yamato sekitar abad ke
646. Junshi dilakukan para kaum samurai melalui seppuku sebagai salah satu cara
kematian yang umum dilakukan untuk Junshi. Perilaku ini banyak terjadi pada
masa pemerintahan Tokugawa, ketika peperangan banyak terjadi, Junshi menjadi
terkenal dikalangan samurai untuk mengikuti kematian majikan mereka.
Sikap yang berlandaskan atas kesetiaan ini adalah salah satu bukti
pengabdian mutlak para samurai kepada majikan mereka. Keinginan untuk
mengikuti kematian majikan ini adalah pandangan kaum samurai pada saat itu
yang beranggapan mereka tidak dapat hidup tanpa majikannya dan perasaan
menanggung malu karena harus turun kelas menjadi Ronin, samurai yang tak
bertuan. Karena keadaan inilah yang kemudian menjadikan para samurai
berkeinginan untuk mengikuti jalan sang majikan dengan melakukan bunuh diri.
Budaya Junshi yang paling banyak terjadi adalah ketika masa
pemerintahan feodal, yaitu sistem politik yang menekankan ketergantungan antara
Raja serta tuan tanah. Hubungan ketergantungan ini merupakan penyerahan diri
seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan
pemeliharaan.
Keterikatan hubungan inilah yang menimbulkan satu hubungan yang
hirarkis yaitu antara kaum bawah (yang lemah) dengan kaum yang atas (yang
berkuasa). Sikap kepatuhan dan kesetiaan para samurai dalam mengabdikan
masyarakat Jepang yaitu 47 Ronin yang terdapat pada salah satu novel Kisah 47
Ronin karya John Allyn.
Novel sebagai salah satu karya sastra, bukan cerpen atau roman,
merupakan medium yang sangat ideal untuk mengangkat peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan. Novel mempunyai keterbukaan sendiri untuk
mengetengahkan digresi sehingga jalan cerita bisa mencapai beratus halaman.
Karena sifatnya yang demikian, maka novel dapat digunakan untuk mengangkat
kehidupan baik beberapa individu maupun masyarakat luas. Tak jarang pula novel
sering diperankan untuk menyampaikan ide-ide pembaruan.
Novel adalah media dalam penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan
penulis dalam merespon kehidupan sekitarnya. Novel- novel bertemakan
kehidupan sosial mempunyai nilai lebih dalam kontekstual, persoalan sosial yang
ada pada zaman tersebut menjadi tema umum pada novel-novel. Tema mengenai
korupsi, mental kepemimpinan, watak-watak kolektif golongan, keterbelakangan,
kebodohan, kemiskinan, adalah tema-tema yang menyangkut kondisi sezaman.
Novel-novel demikian menjadikan dirinya bersifat universal apabila penggalian
masalah mencapai sifat-sifat dasar kolektif manusia di suatu masa di suatu tempat.
Novel pada saat ini, pada umumnya terdiri atas dua unsur yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri atau dengan kata lain unsur-unsur yang secara langsung turut
serta membangun cerita. Unsur-unsur ini diantaranya tema, plot, latar, penokohan,
sudut pandang cerita, bahasa atau gaya bahasa dan lain- lain. Unsur ini merupakan
nilai yang muncul dari mediumnya yaitu melalui penggambaran sensoris dan
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut.
Dengan kata lain unsur-unsur ini dapat mempengaruhi bangun cerita dari suatu
karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut meliputi kebudayaan, sosial,
psikologis, ekonomi, politik, agama dan lain-lain yang dapat mempengaruhi
pengarang dalam karya tulisnya.
Dalam analisis ini akan di bahas salah satu unsur intrinsik dalam novel,
yaitu tokoh yang terdapat dalam novel Kisah 47 Ronin karya John Allyn.
Aminuddin (2000 : 79) mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita.
Tokoh-tokoh yang di ceritakan dalam suatu cerita tentu mempunyai
peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang mempunyai peranan yang penting dalam
suatu cerita merupakan tokoh utama. Sedangkan tokoh yang mempunyai peranan
yang tidak penting karena kemunculannya hanya membantu disebut tokoh
pembantu. Penentuan tokoh yang ditampilkan pengarang dalam karya fiksi
tersebut merupakan kebebasan kreatifitas pengarang. Oleh karena pengarang yang
sengaja menciptakan dunia dalam fiksi miliknya sendiri, maka para pengarang
pun mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai
dengan keinginannya sendiri, termasuk bagaimana perwatakan dalam cerita
tersebut, merupakan kebebasan pengarang.
Novel Kisah 47 Ronin karya John Allyn ini merupakan novel sejarah
mengenai kehidupan pada zaman Edo. Ke 47 Ronin atau Akouroshi adalah
peristiwa pembalasan dendam 47 Ronin dari Ako di bawah pimpinan Oishi
Takumi no Kami dengan cara melakukan penyerbuan ke rumah kediamaan Kira
Kozuke no Suke Yoshihisa.
Peristiwa pembunuhan ini dikenal sebagai Genroku Ako Jiken (Peristiwa
Ako era Genroku). Disebut Genroku karena terjadi pada tanggal 14 bulan 12
tahun ke-15 era Genroku, atau 30 Januari 1703. Ako merupakan sebuah kota yang
terletak di perfektur Hyogo yang merupakan tempat asal 47 Ronin.
Sebelum perang dunia ke II, kisah ini dikenal dengan Akogishi (perwira
setia dari Ako) dan dijadikan teladan kesetiaan samurai kepada majikannya.
Seusai perang dunia ke II, kisah ini lebih dikenal sebagai Akoroshi (Ronin dari
Ako) atau Shijushichishi (47 samurai). Namun dalam budaya populer jepang
sekarang ini kisah ini dikenal dengan Chusingura yang lebih menonjolkan
kepahlwanan 47 ronin dari Ako sekaligus mencerca Kira Kozuke no Suke.
Tahun 1703 para Akouroshi di Akou yaitu nama salah satu wilayah di
Jepang, Ro yang berarti tidak bertuan atau tidak memiliki majikan, sedangkan shi
yang berati bushi atau lebih dikenal dengan sebutan Ronin.
Ronin adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan tuannya atau terpisah
dari tuannya. Berpisah dari tuannya bisa dikarenakan si majikan meninggal atau
akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut. Samurai yang tidak lagi
memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai seorang samurai. Dalam tradisi
samurai, ronin memiliki derajat di bawah samurai. Bagi seorang ronin hanya ada
dua pilihan yaitu menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam kemiliteran.
Kisah ini merupakan kisah bunuh dirinya 47 orang Ronin yang tidak
bertuan di wilayah Akou. Ke 47 Ronin ini melakukan bunuh diri setelah berhasil
mereka. Para Ronin ini membunuh Pangeran Kira dan mempersembahkan kepala
Pangeran tersebut di makam tuannya Asano Takumi No Kaminaganori. Asano
yang merupakan pemimpin di daerah Akou adalah Daimyo yang memiliki daerah
kekuasaan serta kastil, Asano pada akhirnya melakukan seppuku setelah melukai
Pangeran Kira Kozuke Yoshinaka seorang Koke (Pejabat tinggi bakufu) dan juga
seorang Daimyo yang tergolong sebagai Daimyo Shimphan (Keluarga Tokugawa).
Kejadian ini membuat Shogun marah karena sifat Asano yang sama sekali
tidak menunjukkan sifat seorang Bushi. Akhirnya Shogun memutuskan hukuman
Seppuku bagi Daimyo Asano, yakni ia harus melakukan bunuh diri dengan
memotong perut.
Sepeninggal Daimyo Asano, maka daerah Akou ditarik kembali oleh
Shogun. Rentetan peristiwa ini membuat para pengikut Asano (Samurai) marah
dan berniat untuk melakukan balas dendam. Akhir dari balas dendam ini para
Samurai yang pada saat itu berjumlah 47 orang akan melakukan Junshi sebagai
wujud kesetiaan tanpa batas seorang Samurai kepada majikannya.
Perilaku bunuh diri ke 47 Ronin ini akan penulis bahas melalui skripsi
yang berjudul:
” PERILAKU JUNSHI PARA TOKOH CERITA DALAM NOVEL KISAH 47
RONIN KARYA JOHN ALLYN.”
I.2. Perumusan Masalah
Golongan Samurai dalam kehidupan pada zaman feodal Tokugawa
merupakan sosok-sosok yang berani, setia dan memiliki loyalitas pengabdian
Sifat-sifat ini dapat tergambar secara jelas dalam Novel karya John Allyn
ini, di mana para tokoh cerita yang pada umumnya menceritakan kisah mantan
samurai (Ronin) berusaha untuk tetap mengabdi kepada majikannya meskipun ia
telah meninggal.
Oishi yang merupakan tokoh utama dalam kisah ini adalah kepala
pemimpin samurai yang merupakan pengikut Daimyo Asano. Oishi serta beberapa
anak buahnya pada akhirnya melakukan balas dendam untuk majikannya. Akhir
dari peristiwa balas dendam ini para Ronin yang tetap menjunjung tinggi
kesetiaan melakukan bunuh diri untuk mengikuti tuannya (Junshi), sebagai wujud
kesetiaan tanpa batas seorang samurai kepada majikannya. Dengan menggunakan
pendekatan analitis, pendekatan historis serta pendekatan semiotik sebagai acuan
dalam menganalisa, maka penulis
mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut :
1. Bagaimana latar belakang sejarah kehidupan para tokoh cerita pada
Zaman Edo berdasarkan novel tersebut ?
2. Bagaimana latar belakang para tokoh cerita melakukan Junshi berdasarkan
cerita novel Kisah 47 Ronin ?
I.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap
perlu adanya pembatasan ruang lingkup masalah dalam pembahasan nantinya. Hal
ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga
Dalam analisis ini, penulis hanya akan membahas dan memfokuskan pada
latar belakang kehidupan para samurai khususnya pada zaman feodal Jepang
berdasarkan novel, juga perilaku para mantan samurai yang memilih untuk bunuh
diri demi majikannya(Junshi), yang penulis gambarkan pada tokoh Asano Takumi
Naganori dan Oishi Kuranosuke Yoshitaka juga kesetiaan terhadap Shogun,
dilihat dari sejarah kehidupan pada saat itu. Sebagai pendukung data penulis juga
akan mendeskripsikan bagaimana kondisi kehidupan para Samurai pada Zaman
Edo khususnya yang menjadi latar belakang Kisah 47 Ronin.
I.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka
Dalam pembahasan ini penulis mencoba untuk mengangkat salah satu
unsur intrinsik dalam karya sastra novel yaitu tokoh. Tokoh dalam setiap karya
sastra baik secara lisan(drama, teater) serta tulisan(novel, komik) mempunyai
peranan yang sangat penting, karena tokoh merupakan alat atau perantara para
pengarang sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu
yang sengaja ingin di sampaikan kepada pembaca.
Boulton dalam Aminuddin ( 2000 : 79 ) mengungkapkan bahwa cara
pengarang menggambarkan dalam memunculkan tokohnya itu dapat
bermacam-macam. Pengarang dalam suatu novel bisa saja memunculkan tokoh sebagai
pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya,
pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri dan mungkin pelaku
yang hanya hidup dalam alam mimpi. Kesemua perilaku ini dalam dunia fiksi
Perilaku tokoh merupakan suatu sifat atau karakter yang di munculkan
oleh pengarang sebagai wujud dari karakteristik cerita yang coba diangkat oleh
pengarang. Dalam menggambarkan berbagai perilaku yang terdapat dalam karya
fiksi tersebut pengarang harus mengikuti alur cerita yang telah ada apabila kisah
yang diangkat merupakan cerita fiksi sejarah, namun pengarang juga mempunyai
kebebasan sendiri dalam menentukan jalan cerita atau karakter tokoh yang akan
diangkat dalam karya tersebut.
Berbagai perilaku yang terdapat dalam karya cerita tentu saja saling
berbeda antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya, namun dalam penelitian
kali ini, penulis mencoba menggambarkan beberapa karakter tokoh yang terdapat
pada Novel Kisah 47 Ronin ini.
Dalam konteks masalah keprilakuan tidak jauh berbeda dengan
permasalahan ilmu-ilmu sosial seperti phisikologi, sosiologi serta ilmu-ilmu sosial
lainnya. Ilmu keprilakuan(behavior science), merupakan percabangan dari
ilmu-ilmu sosial dalam arti luas. Hal ini dimaksudkan bahwa ilmu-ilmu keprilakuan
merupakan konsep awal dari ilmu-ilmu sosial yang lain.
Wilhelm Wundt dalam Danim Sudarwan (1997:40) di laboratorium
Psychology-Experimental mengatakan bahwa ketajaman panca indera, waktu
reaksi dan ketrampilan gerak manusia memberi efek luas terhadap aktifitas dalam
penelitian keprilakuan. Menurut Wilhelm perilaku manusia secara hipotek
merupakan fungsi dari ketajaman panca indera, kapasitasnya melakukan reaksi
dan kecekatannya dalam bergerak. Ilmu pengetahuan tingkah laku(behavioral
scince),merupakan disiplin akademik dan intelektual yang relatif baru. Ilmu ini
Kazt dan Rosenzweig dalam Danim Sudarwan (1979:52), telah sepakat
bahwa ilmu pengetahuan tingkah laku (perilaku) telah menjadi ilmu (scientific
discipline).
Perilaku bunuh diri menurut Hidayat dalam Kiblat (1996 : 43-45),
”Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti telah kehilangan jiwa dan
pikiran.” Dari hal ini dapat diartikan bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan
orang tersebut berdasarkan ketidakmampuan untuk berfikir secara wajar dengan
akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar
lepas dari permasalahan yang dihadapinya. Emile Durkheim dalam Realitas Sosial
(1985: 150 – 157), berpendapat bahwa perilaku bunuh diri merupakan salah satu
gejala sosial.
Perilaku bunuh diri(Junshi), yang dilakukan masyarakat Jepang
merupakan salah satu cara kematian yang dilakukan seorang pengikut untuk
mengikuti kematian majikannya. Junshi yang dilakukan seorang bawahan kepada
atasannya merupakan wujud dari kesetiaan bawahan kepada atasan.
Tujuan penelitian perilaku dalam skripsi ini yaitu untuk memahami,
menjelaskan kepada pembaca atau para peneliti-peneliti awal mengenai pola
perilaku para tokoh cerita melakukan bunuh diri (Junshi) berdasarkan latar
belakang kisah yang terjadi pada saat itu.
b. Kerangka Teori
Penelitian ini lebih banyak menggabungkan antara sastra dengan budaya.
Dalam hal ini sastra yang merupakan medium perantara dalam menyampaikan ide
bahwa intensitas hubungan antara sastra dan kebudayaan dapat dijelaskan melalui
dua cara, pertama yaitu sebagaimana terjadinya intensitas hubungan antara sastra
dengan masyarakat, sebagai sosiologi sastra, kaitan antara sastra dan kebudayaan
dalam hal ini dipicu oleh stagnasi strukturalisme. Kedua, yaitu hubungan antara
sastra dan kebudayaan juga dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap kebudayaan,
sebagai studi kultural.
Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Ratna (1997:25),
berpendapat bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Melville J.Herskovits dalam Ratna (1997:25), mengartikan kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia. Wujud dari kebudayaan ini dapat berupa
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial , religi, seni dan lain-lain.
Jadi dapat dikatakan bahwa sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang
sama, yaitu aktivitas manusia tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui
kemampuan imajinasi dan kreativitas sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui
kemampuan akal sebagai kemampuan intelektualitas.
Keterkaitan antara kedua hal ini tentu memiliki batasan tertentu, dalam
proses analisis ini penulis menggunakan pandekatan historis, juga pendekatan
semiotika. Pendekatan historis dalam hal ini dapat dihubungkan dengan teori
tradisional. Teori ini berorientasi pada hal-hal sejarah dan makna yang terkandung
Namun dalam hal penelaahan karya sastra ini tetap berpatokan pada teks
sastra, dalam hal ini adalah novel. Aminuddin (2000 : 46 ), mengatakan bahwa
pendekatan historis adalah pendekatan yang menekankan pada pemahaman
tentang biografi pengarang, serta latar belakang peristiwa yang melatari cerita
tersebut.
Pendekatan semiotika merupakan pendekatan yang menggunakan
unsur-unsur tanda dalam menganalisis. Hoed dalam Nurgiyantoro(1998: 40)
berpendapat bahwa semiotika merupakan ilmu atau metode analisis yang
mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang
dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda
ini dapat berupa gerakan anggota badan, mulut,mata, warna, bentuk, karya seni :
sastra, lukis, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada di sekitar kita.
Faruk (1994 : 44) mendefinisikan bahwa semiotika ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai suatu
tanda.
Teori Mimesis dalam Aminuddin (2000 : 57) memiliki anggapan bahwa
teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Maka
penulis mencoba menjabarkan bagaimana keadaan zaman pada saat terjadi,
berdasarkan teks novel. Penelaahan ini tidak hanya meneliti bagaimana peristiwa
yang terjadi berdasarkan sejarah tapi juga bagaimana karakter tokoh atau perilaku
tokoh yang ada pada karya tersebut dan merupakan bagian dari sistem budaya
masyarakat Jepang sendiri.
Perilaku tokoh yang merupakan sentral point dalam skripsi ini akan
tanda-tanda yang terdapat dalam novel ini. Tanda ini berupa anggota gerakan
tubuh atau karakter sifat manusia serta penggambaran realitas kehidupan yang ada
pada saat itu.
I.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan
penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan sejarah kehidupan para tokoh cerita pada zaman Edo
berdasarkan novel.
2. Mendeskripsikan apa yang melatari belakangi para Ronin untuk untuk
melakukan Junshi dalam novel Kisah 47 Ronin.
b. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat nantinya bagi pihak-pihak
tertentu baik penulis maupun pembaca, diantaranya yaitu :
1. Bagi para peneliti yang ingin mempelajari mengenai salah satu
perilaku masyarakat Jepang khususnya kaum samurai yaitu Junshi.
2. Sebagai sumber tambahan dalam penelitian sejarah Jepang yang
berhubungan dengan Junshi.
I.6. Metode Penelitian
Metode dalam melakukan sebuah penelitian merupakan salah satu jalan
mencoba menggunakan metode Library Research (Studi kepustakaan) dan metode
deskriptif. Menurut Koentjaraningrat ( 1976 : 30) penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok. Dalam hal ini data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, gambar,dan bukan data angka. Studi kepustakaan merupakan
suatu kegiatan penelitian yang banyak menggunakan atau mengambil sumber
acuan dari berbagai buku yang berhubungan dengan karya sastra , kritik sastra
serta buku-buku lainnya sebagai literatur tambahan.
Dalam memecahkan permasalahan penelitian ini, penulis mengumpulkan
keseluruhan data yang ada yang berupa data tulisan. Data ini dapat berupa
buku-buku, artikel, informasi baik dari media elektronik maupun tulisan, selain itu
penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Perpustakaan Umum
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Progarm Studi Bahasa dan Sastra
Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Konsulat
Jendral Jepang di Medan, serta website atau situs-situs yang menunjang dalam
BAB II
LATAR BELAKANG KISAH 47 RONIN
2.1. Feodalisme Zaman Edo
Selama Abad ke 10 – 11 ketika pusat perhatian pemerintahan berada pada
Fujiwara, sistem pemerintahan didominasi oleh kaum aristokrat. Pusat
pemerintahan banyak mengadopsi kebudayaan atau sistem peradaban pada saat itu
dari Bangsa China. Transformasi sistem peradaban ini antara lain ekonomi, dan
politik. Perkembangan ini selanjutnya yang dijadikan Jepang sebagai pintu
gerbang modernisasi.
Zaman Edo atau yang lebih dikenal dengan masa Tokugawa merupakan
zaman yang sangat berpengaruh bagi jepang, hal ini dapat dikaitkan dengan masa
Restorasi Meiji yang merupakan masa pencerahan bagi Jepang. Berbagai
kemajuan yang dicapai Jepang pada saat ini yaitu mulai dari lahirnya berbagai
bentuk kesenian sampai sistem perekonomian. Perkembangan-perkembangan ini
pada akhirnya menjadikan masyarakat Jepang semakin maju dan berkembang.
Tokugawa merupakan daimyo yang berkedudukan di daerah Mikawa pada
tahun 1603 berhasil menjadi shogun yang berarti sebagai penguasa feodal
tertinggi setelah mengalahkan Toyotomi pada perang Sekigahara (1600). Ciri khas
pemerintahan pada masa Tokugawa ini ditandai dengan adanya sistem kelas yang
resmi dan turun temurun. Kekuasaanlah yang lebih menentukan status daripada
kekayaan. Sistem kelas itu meliputi Kaisar sebagai kelas tertinggi, kemudian
kaum bushi yang berkedudukan untuk melaksanakan kekuasaan politik,
sedangkan yang berada di tingkat yang paling bawah adalah rakyat jelata.
Kelas Samurai atau Bushi yang memerintah pada saat itu bukan hanya
memonopoli semua kekuasaan politik tetapi juga membedakan pola hidupnya
dengan cara-cara masyarakat biasa. Perbedaan secara sosial ini ditunjukkan
dengan kewajiban para petani dan pengrajin serta para pedagang untuk mengabdi
dan memberi makan para samurai. Formalitas kehidupan sosial serta
keterikatannya pada tradisi di masa ini menjadikan suatu keadaan yang tidak
terbuka untuk pembaharuan atau sedikit sekali memungkinkan adanya keragaman,
hal ini dikarenakan kesetiaan bawahan terhadap atasan lebih ditekankan pada saat
ini (Benedict, 1992 : 35 – 43).
Keadaan ini sejalan dengan sejarah terbentuknya zaman Edo, Tokugawa
yang berhasil mengalahkan Keshogunan Toyotomi dalam perang Sekigahara,
adalah dikarenakan kesetiaan pengabdian diri anak buahnya terhadap atasan,
Watsuji dalam Hamzon ( 1995 : 7 ).
2.1.1. Struktur Pemerintahan Feodalis
Feodalisme merupakan istilah yang relatif baru, kata ini muncul pada abad
pertengahan ke – 18. Secara hukum dan institusi kata ini lebih cenderung
disingkat menjadi feodal yang berarti melindungi hak dari aristokrasi tanah dan
memungkinkan para penguasa untuk menerapkan kekuasaan secara acak terhadap
para petani. Dalam sejarah Jepang, sebelum memasuki zaman feodal sistem
pemerintahan disebut dengan sistem Ritsuryo.
1. Seluruh tanah dikuasai oleh kaisar.
2. Didirikan administrasi pemerintahan yang berada di pusat.
3. Seluruh lahan pertanian disumbangkan ke pusat dan diberikan kepada
para penguasa tanah (pemilik perorangan ), atau lebih dikenal dengan
istilah Han-den-shu-ju.
4. Lahan pertanian gabungan yang berasal dari 50 rumah dijadikan satu
menjadi dusun atau desa.
5. Pemerintah membentuk pemerintahan lokal baru yang dipimpin oleh
Koku–shi yang dipilih bukan berdasarkan hubungan klan melainkan
atas pertimbangan politik. Hal ini dilakukan untuk mengubah sistem
klan tradisional dan memusatkan kekuasaan pada kaisar.
Dari sistem ini dapat diketahui bahwa Kaisar yang memegang kekuasaan
tertinggi, para Kizoku (bangsawan) bertugas sebagai pelaksana administrasi
pemerintahan di pusat dan daerah, sementara kedudukan para samurai sebagai
golongan yang disegani memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang
politik dan ekonomi, sedangkan para petani dan pedagang berada di kelas yang
terendah.
Sitem kepemilikan tanah secara pribadi belum dikenal pada saat ini maka
sistem pemilikan tanah disebut dengan istilah Kochi Komin yaitu wilayah umum
dan masyarakat umum. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah Sonraku kyodo
tai yaitu kelompok kerjasama di daerah. Kelompok ini dipimpin oleh Kizoku.
Administrasi kelompok ini terpisah dari pemerintahan Ritsuryo. Karena adanya
kebebasan menguasai Kubunden Sei yaitu sistem pembagian lahan pertanian,
bergabung dengan kelompok petani Kizoku tersebut. Tanah pertanian milik
Kizoku ini disebut dengan Shoen. Shoen ini terbagi atas dua yaitu :
1. Immune Sho adalah wilayah pertanian bebas yaitu sebidang tanah yang
merupakan milik pemerintah yang kemudian diolah dengan sistem
Ritsuryo dan dikontrol oleh Kaisar. Usaha ini kurang menghasilkan
bagi para petani untuk meningkatkan aktifitas produksi karena adanya
tekanan dari pemerintah daerah. Diantaranya yaitu menyalahkan
gunakan penggunaan lahan pertanian untuk keuntungan sementara.
Berdasarkan ini pemerintah meninjau kembali dan pada akhirnya
meresmikan sistem administrasi
2. Sho of Private origin adalah Sho yang berasal dari kepemilikan
pribadi, yaitu petani dapat mengolah kembali tanah pertanian yang
terbuang tanpa harus mendaftarkannya pada pemerintah. Namun
keadaan ini dapat berakibat hilangnya tahan pertanian karena dicuri
oleh para perampok. Sebagai jalan untuk melindungi tanah mereka,
para petani harus merelakan tanah mereka diberikan kepada orang
yang lebih kuat sebagai jaminan perlindungan tanah mereka.
Berbagai persaingan yang terjadi antara kelompok tani yang meninggalkan
Kochikomin ini menyebabkan timbulnya berbagai peperangan yang pada akhirnya
terbentuk serdadu perang yang disebut Bushi. Bushi yang pada awalnya mengabdi
pada tuannya Kizoku, lama kelamaan tidak bergantung lagi pada Kizoku. Para
kalangan Bushi ini kemudian berkumpul membentuk satu kekuatan yang kuat
yang banyak menggunakan para Bushi sebagai serdadu dalam peperangan,
diantaranya yaitu peperangan antar keluarga Kizoku yaitu Taira dan Minamoto
yang dikenal dengan istilah Hogen no ran dan Heiji no ran. Akhir dari
peperangan inilah yang menghancurkan sistem Ritsuryo dan berubah menjadi
Ujizoku yaitu keluarga kerabat dan sistem Kochikomin berubah menjadi Shichi Shimin yang berarti kepemilikan tanah dan warga secara swasta, (Nakamura
dalam Hamzon 1995 :12 – 13).
2.1.2. Sistem Budaya
Bila dibandingkan dengan kebudayaan kelas samurai, maka kebudayaan
Chonin atau kebudayaan pedagang lebih berkembang pada saat ini, hal ini dapat
dikarenakan taraf hidup Chonin yang sangat mendukung. Bidang kesenian, teater,
kabuki, dan joruri adalah seni yang banyak berkembang. Bisnis hiburan dan
restaurant banyak bermunculan yang merupakan bagian dari kebudayaan Chonin.
Haiku juga lahir pada masa ini, yang banyak menceritakan mengenai kehidupan
pedagang.
Bila dibandingkan dengan Tanka, Haiku jauh lebih diminati karena isinya
mudah dimengerti bila dibandingkan Tanka yang jauh lebih rumit.
Pada kalangan samurai, banyak yang melakukan studi Ranggaku yaitu ilmu-ilmu
Belanda. Hal ini muncul dari adanya keinginan untuk belajar mengenai ilmu-ilmu
empiris, matematika, geografi dan lain-lain. Beberapa contoh para samurai yang
kemudian terkenal karena kepintarannya dalam ilmu ini yaitu Seki Takakazu
(1642-1708), merupakan orang Jepang yang sangat ahli dalam bidang matematika,
Jepang dari Kyushu sampai Hokkaido dengan alat ukur buatan sendiri. Sugita
Genpaku orang Jepang yang berhasil menerjemahkan buku kedokteran Belanda ke
dalam bahasa Jepang.
Secara umum kebudayaan Tokugawa pada masa ini lebih banyak
mengajarkan mengenai hubungan antara bawahan dan atasan. Pemahaman
mengenai ini pertama kali diberikan pada kalangan Bushi, ajaran ini kemudian
dirumuskan dalam Shido yaitu ajaran yang banyak mengandung nilai – nilai
kepatuhan atau pengabdian. Watsuji dalam Hamzon (1995:44-45), mengartikan
lima macam pemikiran mengenai etika kesadaran (Gorin) yang meliputi
pengabdian seseorang yaitu :
1. Pengabdian pengikut terhadap tuannya
2. Pengabdian anak terhadap ayah
3. Pengabdian adik laki – laki terhadap kakak laki – laki
4. Pengabdian istri terhadap suami
5. Hubungan antar orang yang sederajat
Demi kepentingan penerapan pemikiran inilah, maka agama Kristen
dilarang berkembang, karena dianggap bertolak belakang. Agama Kristen yang
mengajarkan kesamaan kedudukan manusia dihadapan Tuhannya ini sangat
bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Shido. Karena ini pulalah
yang menjadikan salah satu alasan Jepang melakukan Seklusi atau penutupan
2.1.3. Sistem Pendidikan
Secara garis besar, sistem pendidikan yang diutamakan pada zaman Edo
adalah ajaran mengenai kesetiaan. Kesetiaan ini banyak diajarkan umumnya pada
kalangan Bushi atau Samurai, namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari pun
unsur kesetiaan ini banyak terwujud pada rakyat biasa. Kesetiaan atau kepatuhan
dari bawahan kepada atasan yang banyak diajarkan pada kaum prajurit merupakan
prinsip dasar pada ajaran agama Budha, walaupun pandangan beragama pada
masyarakat Jepang bersifat Politheisme atau percaya kepada banyak Tuhan,
namun Jepang tetap memasukkan unsur agama Buddha ini dalam ajaran mereka
Shido, yang kemudian lebih diartikan menjadi sebuah keyakinan atau jalan hidup
orang Jepang.
Dalam pengajarannya sendiri, pendidikan kesetiaan yang mengambil unsur
dari agama Budha yang diajarkan pada prajurit banyak menerapkan adanya
Reinkarnasi yaitu suatu kepercayaan bahwa kita akan hidup atau terlahir kembali
lagi di dunia setelah meninggal nanti, keyakinan ini sangat diterapkan pada
prajurit untuk tidak takut kepada kematian.
2.1.4. Sistem Ekonomi
Pada masa awal pemerintahan Tokugawa Ieyashu dan Hidetada, pendapatan ekonomi banyak didapatkan dari pendapatan daerah yang disebut
Gokaku atau lima wilayah yang meliputi : Shinano selatan, Kii Mikawa, Suruga,
dan Totomi. Pendapatan ekonomi juga diperoleh dari hasil pertambangan dan
keuntungan dari peperangan. Edwin O. Reischauer dalam Usihension (2004:27)
perdamaian dan stabilitas memungkinkan terjadinya lompatan yang besar dalam
produksi pada abad ke 17.
Memasuki pemerintahan ke 3 Tokugawa Iemitsu, perekonomian mulai
mengalamai kemerosotan yang bukan hanya terjadi pada kalangan Bakufu saja
tapi juga di kedaimyoan mengalami hal yang sama. Hal ini dipicu dengan
diberlakukannya peraturan Sankin Kotai yaitu peraturan dari Keshogunan yang
mewajibkan para Daimyo untuk tinggal selang setahun di Edo, yang membuat
para daimyo harus meningkatkan produksi han masing-masing untuk memenuhi
kebutuhan hidup selama di Edo, selain itu para Daimyo juga diwajibkan
membayar untuk berbagai pembangunan fasilitas umum.
Biaya hidup yang semakin membengkak ini, membuat para daimyo
memutuskan untuk menaikkan pajak antara 40%-60% dari pendapatan petani.
Pemikiran dasar dari pajak ini yaitu tidak membiarkan petani sampai mati dan
tidak membiarkan sampai hidup kuat (Situmorang 1995 : 63).
Ketergantungan para Bushi dan Daimyo terhadap pajak dari para petani
ini terdapat pada salah satu kutipan Reischauer dalam Usihension(2004:29):
”Samurai yang pendapatannya terikat pada beras dari pajak pertanian, makin jatuh dalam hutang pada pedagang kota. Keadaan ini menggerogoti seluruh sistem Tokugawa yang telah dibagi menjadi empat. Pemerintahan Shogun berusaha untuk mengembalikan utang kelas berkuasa yang semakin lama semakin bertambah dengan mengurangi pengeluaran, termasuk gaji kepada para pembantunya dan menetapkan Undang-Undang hidup mewah serta pembatasan kepada para pedagang. Dalam keadaan putus asa, mencoba memonopoli dagang tetapi semua itu sia -sia ”.
Walaupun secara garis besar kehidupan para Bushi dan Daimyo
para pedagang yang kehidupannya lebih baik. Dengan demikian kehidupan
perekonomian pada zaman ini dapat dikatakan maju karena tidak ada perang,
petani memang diharuskan bekerja sekuat tenaga, tapi keberhasilan dalam bidang
perdagangan dapat menaikkan tingkat perekonomian pada saat itu.
2.2. Konsep Junshi dan Pemikiran Mengenai Junshi
Jika dilihat berdasarkan kanjinya Jun 殉dan shi 死, memiliki arti bunuh diri mengikuti kematian majikan. Louis Frederic dalam Japan Encyclopedy ( 2000
: ), mengartikan Junshi sebagai jalan kematian atau bunuh diri yang dilakukan
karena unsur kesetiaan.
Tradisi kuno ini pada umumnya dilakukan oleh pelayan yang setia pada
Rajanya yang berkuasa, dan memilih untuk melakukan bunuh diri ketika Raja atau
majikan tersebut meninggal karena para pengikut tersebut beranggapan mereka
tidak dapat hidup tanpa majikannya dan memilih untuk mati agar tetap bersama
majikan atau Raja tersebut. Tradisi ini merupakan sejarah pada zaman Chinese
Wei (Weizhi ) untuk menghormati Yamato pada abad 646. Dalam hal ini, banyak
samurai dan pelayan yang membunuh dirinya ketika majikan atau Raja mereka
meninggal.
Sikap dan perilaku yang menunjukkan kesetiaan ini dianggap para samurai
atau pelayan pada saat itu merupakan sesuatu yang sangat mulia dan untuk
mewujudkan kesetiaan tersebut, mereka melakukan Junshi atau mengikuti
kematian tuannya sebagai bentuk pengabdian mutlak untuk tuannya. Selain Junshi
para samurai juga melakukan Adauchi yaitu pembalasan dendam untuk majikan.
dilakukan dengan keyakinan agar arwah majikan mereka bersemayam lebih
tenang dialam akhirat, dan para pengikutnya juga mendapatkan ketenangan hidup
dari perlindungan arwah majikan tersebut. Pada masa ini, perilaku Adauchi dan
Junshi saling berkaitan, pada umumnya, apabila kematian seorang majikan
dikarenakan suatu perkelahian atau pertempuran maka sebagai pengikutnya,
samurai harus terlebih dahulu melakukan Adauchi lalu diakhiri dengan Junshi,
pada saat itulah seorang samurai akan merasa dirinya benar-benar sebagai samurai
sejati karena telah melakukan seluruh pengabdiannya sampai kepada kematian.
Junshi dalam konteks, diluar pemahaman sebagai samurai, dapat berupa
hanya mengikuti kematian tuan. Para pelayan diluar golongan samurai tidak
dituntut untuk membalaskan dendam majikannya. Cara mereka menunjukkan
pengabdian kesetiaannya hanya dengan mengikuti kematian. Cara melakukan
Junshi ini pun berbeda dengan golongan para samurai, para samurai yang
melakukan Junshi dapat dicontohkan dengan melakukan Seppuku, sedangkan
golongan para pelayan biasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya
gantung diri. Yang terpenting dari makna Junshi ini adalah mengikuti kematian
tuan, sedangkan cara dan waktu melaksanakannya tidak terlalu penting, karena
dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Pemahaman orang Jepang khususnya samurai terhadap Junshi yaitu
berlandaskan unsur kesetiaan yang merupakan salah satu ajaran yang paling
ditekankan dalam ajaran Bushido. Ajaran Bushido ini terdapat dalam Bushido
lama yaitu Budha Zen. Selanjutnya Yamamoto Tsunetomo dalam buku Hagakure
banyak menuliskan konsep kesetiaan seorang Bushi. Buku ini banyak dijadikan
Hagakure dapat juga disebut sebagai buku yang banyak mengajarkan bagaimana
”mati yang terbaik” sebagai wujud kesetiaan. Buku ini ditulis pada kurun abad ke
18, dan menggaris besarkan tentang keberanian untuk mati.
Keberanian untuk mati, telah membawa semangat tersendiri bagi samurai.
Keberanian untuk mati menurut Yamamoto Tsunetomo dalam buku Hagakure
yaitu :
" Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada Kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk Kematian ". (www.mythus.samurai.html)
Jalan kematian samurai yang merupakan pembuktian dari kata setia
banyak diwujudkan para samurai dengan keberanian mereka untuk selalu siap
mati, hal ini dapat berupa, keberanian mati di medan pertempuran, Seppuku,
Junshi, Kanshi atau bunuh diri yang dilakukan sewaktu melakukan demonstrasi,
dan Sokotsu-shi yaitu bunuh diri dengan cara melakukan seppuku sebagai tanda
untuk menebus dosa yang telah diperbuat.
Konsep keberanian dan kesetiaan menurut Yamamoto Tsunetomo dalam
Hamzon (1995:27-28), yaitu:
”Sebagai pelayan harus hanya memikirkan kepentingan tuan. Dengan demikian akan menjadi anak buah hebat. Anak buah dari generasi ke generasi hidup karena kebaikan tuannya, oleh karena itu harus membalasnya dengan keharusan mengabdikan diri bagi tuan sebagai On ( kebaikan ). Lebih – lebih jikalau mempunyai ketrampilan, Dengan pengetahuan untuk diabadikan kepada tuan. Tetapi walaupun tidak mempunyai ilmu dan ketrampilan, jika mengabdi kepada tuan adalah lebih baik daripada mempunyai ketrampilan tetapi tidak mengabdi”.
Lebih lanjut Yamamoto juga menuliskan mengenai pengabdian bushi yang
”Ada orang yang semenjak dilahirkan sudah dikaruniai kecakapan. Ada juga dengan berusaha keras. Ada orang yang waktu dilahirkan bodoh, tetapi dengan berdoa untuk mengabdi kepada tuan ia akan mendapatkan kecakapan karena berusaha memikirkan rencana jauh untuk mengabdi. Tetapi ada juga orang yang hanya memikirkan diri sendiri, ini adalah buruk. Melakukan shiseigan ( empat doa Permohonan ) bagi tuan adalah paling baik”. ( Hamzon 1995:28-29 )
Ke-4 isi shiseigan tersebut yaitu :
1. Agar menjadi bushi yang mampu mematuhi peraturan yang berlaku bagi
bushi.
2. Agar menjadi bushi yang berguna bagi tuan.
3. Agar menjadi bushi yang mengabdi kepada orang tua.
4. Agar menjadi bushi yang berhati jujur terhadap sesama manusia.
Prinsip untuk mengabdikan jiwaraga bagi tuannya, mengandung arti
bahwa kematian bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Ini adalah prinsip utama
untuk menjadi seorang Bushi. Cakupan mengenai ini sesuai dengan jalan
Yamamoto yang berbunyi :
”Menjadi abdi tuan, selain untuk mengabdikan diri, tidak membutuhkan apa – apa jikalau ada dua – tiga orang seperti ini, ie akan bersemangat. Di dunia ini banyak orang mempunyai talenta, kecakapan. Tetapi pada waktu ditinggal mati oleh tuan, para generasi penerus banyak yang berpikiran kotor untuk menjadi ahli warisnya. Orang kuat, orang lemah, orang pintar semua hidup bersemangat, tetapi pada saat mengorbankan diri bagi tuan menjadi Lemah. Sedikit pun tidak mempunyai kepahlawanan, menjadi orang yang tidak berguna. Pada waktu ada masalah sebaiknya menjadi orang yang rela mengorbankan jiwaraga, dengan alasan mempunyai perasaan yang sama dengan tuan. Pada saat seperti ini harus ada kesiapan untuk mati. Biasanya ada gejala, masyarakat menjadi murung, generasi penerus tidak menghiraukan kematian. Walaupun dikatakan mengutamakan janji Gi ( balas budi ) terhadap tuan, akan menjauhkannya dan hal ini menyolok mata”. (Hamzon 1995:29-30).
Yamamoto Tsunetomo telah lama bercita – cita untuk mengabdikan
tuannya meninggal, maka ia berfikir untuk mengikuti jalan majikannya dengan
melakukan Junshi.
Kesetiaannya ini juga tertulis dalam bukunya Hagakure yang berbunyi :
”Sebelum mati tuan, saya bekerja sebagai kamigata, entah karena apa suatu saat ingin pulang. Memohon kepada orang untuk mengganti bekerja. Berjalan siang dan malam berikutnya, sehingga masih sempat bertemu dengan tuan, hal ini adalah suatu yang sangat aneh. keadaaan penyakit tuan sudah sangat kritis, saya waktu di Kyoto betul – betul tidak mengetahuinya. Tetapi pada waktu kecil saya bercita – cita ingin menemani kematian tuan. Walaupun orang lain banyak yang berpikiran kotor untuk hidup lama. Sekarang adalah kesempatannya”. (Hamzon 1995:30-31)
Pelarangan pemerintahan bakufu untuk melakukan Junshi, memutuskan
Tsunetomo untuk melakukan Sukke yaitu pengasingan diri dari dunia sekitar, dan
memilih untuk menjalani hidup dengan mengabdikan diri pada ajaran agama,
pelarangan dari Bakufu memutuskan Tsunetomo menjadi pengikut ajaran Budha
Zen di kaki gunung Kinryu, sebelah barat Nabeshima dan menuliskan konsep
Bushido yang kemudian menjadi ajaran khusus bagi kaum samurai.
Dari berbagai isi yang terdapat pada Hagakure dapat dikatakan bahwa
kesetiaan merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang Samurai. Kisah 47 Ronin
merupakan contoh kisah nyata kesetiaan para samurai kepada majikannya. Untuk
menjadi seorang samurai dituntut harus mengabdi penuh kepada tuannya atau
Zettai teki . Keadilan seorang samurai terletak pada kesungguhannya dalam
mengabdi, ketulusan dan kejujuran sama berharganya dengan nyawa mereka.
Bushi no Ichi Gon atau janji samurai melebihi janji akan harga dirinya. Samurai
sebagai kestria sejati tidak menunjukkan tanda mengenai penderitaan dan
Segala tanggung jawab harus dipikul tanpa mengeluh dan menangis.
Dalam bertindak dan berpikir seorang samurai juga penuh dengan ketenangan.
Ajaran Budha Zen tentang Reinkarnasi yaitu untuk mengabdi sebanyak 7 kali
menjadi abdi tuan adalah wujud loyalitas pengabdian kesetiaan samurai demi
tuan.
Kesetiaan di atas adalah kesetiaan yang diajarkan dalam ajaran Budha Zen,
sedangkan kesetiaan dalam sudut pandang Konfusionis lebih ditekankan pada
ajaran Gorin atau etika kesadaran. Hamzon (2000: 1), mengartikan kesetiaan
sebagai wujud kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kesetiaan menurut Hamzon terbagi atas
tiga unsur yaitu ;
1. Setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa.
2. Setia karena ajaran moral.
3. Setia karena untuk mendapat keuntungan ekonomi.
Sedangkan kesetiaan pengabdian samurai terdiri atas dua ikatan yaitu :
1. Ikatan berdasarkan perjanjian tuan dan pengikut
Ikatan ini berupa Onko dan Hoko. Onko adalah pemberian yang diberikan
dari tuan untuk para pengikutnya. Tuan dengan sengaja menyediakan hadiah
kepada pengikutnya dengan syarat, samurai tersebut harus berhasil memenangkan
pertempuran. Apabila seorang samurai mati dalam barisan bushi tanpa diketahui
tuan,maka samurai tersebut akan mati sia-sia (Inuji), dan tidak akan mendapatkan
apa – apa dari tuan, tapi sebaliknya apabila samurai mati dalam barisan bushi dan
diketahui tuannya, maka samurai tersebut akan mendapat nama dan hadiah dari
Hal ini merupakan balasan dari Hoko atau pelayanan yang telah diberikan
pengikut, dan untuk membalas Onko tersebut pengikut harus mampu
mengorbankan diri melewati batas antara hidup dan mati.
2. Ikatan berdasarkan pada hubungan darah atau keluarga
Ikatan ini merupakan ikatan ke samping dan bersifat kekeluargaan,
berbeda dengan ikatan antara tuan dan pengikutnya, dalam keluarga tidak ada
struktur hubungan tuan dan pengikut yang terpencar- pencar. Sesama anggota ie
memiliki kaitan, maka ikatan vertikal dan horizontal sangat diperlukan
sehubungan dengan meluasnya keluarga karena perkawinan.
Konsep kesetiaan yang memiliki latar belakang yang berbeda ini secara
garis besar dikarenakan sifat tata krama orang Jepang yang meliputi On, Giri,Chu,
dan Gimu :
On Yaitu : Suatu konsep kebaikan, seseorang yang berkedudukan lebih
terhormat harus memberikan bantuan kepada yang lebih rendah.
Giri yaitu : Suatu konsep balas budi dari anak buah yang telah menerima On
dari tuannya.
Chu yaitu : Konsep balas budi dari pengikut terhadap Tuannya, pada zaman Edo, Chu adalah balas budi terhadap tuan, balas budi terhadap Shogun, maka konsep Chu ini bertumpu di tangan Shogun.
Gimu yaitu : Konsep pembalasan kebaikan setulus hati. Bahwa kebaikan yang
telah diterima harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi.
Dari berbagai latar belakang proses tata krama orang Jepang ini kemudian
munculah keinginan dalam hati untuk berbuat yang terbaik untuk majikan, salah
memberikan pelayanan yang terbaik yaitu patuh dan setia. Konsep setia ini
kemudian membuat para samurai banyak yang mengambil jalan untuk
menunjukkan loyalitas mereka kepada tuannya dengan melakukan Junshi. Konsep
Junshi dan perilaku mengenai ini dapat digambarkan dalam Kisah 47 Ronin.
Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat sinopsis Kisah 47 Ronin tersebut
berdasarkan novel karya John Allyn.
2.3. Sinopsis Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn
Oshi Kuranosuke Yoshitaka merupakan kepala klan Asano. Klan Asano
dipimpin oleh seorang Daimyo yang bernama Asano Takumi No Naganori. Dalam
sistem pemerintahan pada zaman Edo setiap Daimyo diwajibkan melakukan
Sankin Kotai yaitu peraturan yang mewajibkan setiap Daimyo untuk tinggal
selang setahun di Edo. Hal ini dilakukan oleh pihak Keshogunan agar ketika
terjadi peperangan atau ancaman para Daimyo sudah berada di Ibukota yaitu Edo.
Kejadian ini terjadi pada tanggal 14 Maret 1701, pada hari itu akan
dilaksanakan upacara Istana di Kediaman Shogun atau lebih tepatnya di ruangan
Matsu No Ourouka atau tempat berkumpulnya para Daimyo, upacara ini
dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan antara Kaisar dengan
Shogun yang telah mempersatukan wilayah tersebut dengan kekuatan militer yang
dihadiri oleh para Daimyo dari berbagai daerah serta satu orang Daimyo Shimpan
yang masih tergolong keluarga Keshogunan. Daimyo Shimpan ini adalah Kira
Kozuke No Suke Yoshihisa yang juga bertindak sekaligus sebagai pemimpin
upacara Istana. Berdasarkan status kekuasaan wilayah, Kira tidak memiliki
namun karena beliau pernah diutus ke Kyoto untuk mengikuti tata upacara di
Istana maka telah memberikan gengsi tersendiri untuk dirinya yang berbeda dari
Daimyo yang lain dan Kaisar telah memberikan kepercayaan tersendiri bagi Kira
untuk melatih para Daimyo yang lain mengenai tata cara upacara di Istana.
Kepercayaan Kaisar inilah yang kemudian disalah gunakan oleh Kira untuk
mendapatkan suap dari Daimyo yang lain yang ingin belajar dengannya. Perilaku
Kira yang salah ini diketahui oleh Asano. Asano menganggap sikap Kira tersebut
bukanlah ciri dari seorang Samurai yang baik. Karena sikap Asano yang dianggap
kurang bersahabat dengan tidak mau memberikan upeti kepada Kira inilah yang
kemudian menjadi sebuah perang dingin tersendiri antara Kira dan Asano. Sikap
Kira yang suka korupsi, sombong dan menganggap diri penting ini sangat jauh
dari nilai samurai bagi Asano.
Pagi itu dalam perjalanan menuju Kediaman Shogun, para rombongan
Asano bertemu dengan sekumpulan orang – orang yang sedang memandu seekor
anjing yang mati. Dalam pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi seluruh binatang
diperlakukan seperti layaknya seorang manusia terlebih pada seekot anjing. Ini
dikarenakan Shogun pada saat itu lahir pada tahun anjing, dan keinginannya untuk
mempunyai anak membuat Tokugawa melarang untuk membunuh semua
binatang, ini berdasarkan keyakinan nya apabila ia membunuh seekor binatang
maka ia tidak akan mempunyai anak.
Pemandangan ini mempunyai arti sendiri bagi Asano, bukan awal hari
yang menyenangkan, pikirnya dalam hati. Sesampainya di Kediaman Shogun para
Daimyo dari berbagai wilayah telah berkumpul. Diantaranya yaitu Lord Date
ruangan tersebut juga terdapat Kira yang memandang Asano dan memperhatikan
apakah ada perubahan pada sikap kedaerahan Asano. Kira berpikir pasti ada jalan
untuk mengubah sikap Asano tersebut.
Sebelum upacara dimulai, datang seorang pendamping Ibunda Shogun
yaitu Kajikawa. Kajikawa menghampiri Asano dan menanyakan apakah ada
perubahan acara dalam upacara ini. Kira yang pada saat itu melihat percakapan itu
langsung menjawab, " jangan membuang waktu dengan bertanya pada orang tolol
itu ". " Jika pertanyaannya soal upacara tanyakan padaku atau Lord Date atau
salah satu pelayan, mereka lebih tahu dibanding Asano! ".
Ucapan itu membuat Asano merasa kesal dan marah pada Kira. Kira lalu
menghampiri Asano dan berkata " Jika uang memang sangat berarti bagimu, ada
cara lain untuk memuaskan ku. Aku dengar isterimu cantik... ".
Kajikawa yang menjadi saksi pada saat itu kurang yakin dengan apa yang
didengarnya. Asano juga hampir tak percaya dengan pendengarannya. Asano
yang sudah marah dan kesal akhirnya kesabarannya memuncak langsung melukai
bahu Kira dengan Wakizashi ( pedang ). Sikap Asano yang telah mengeluarkan
pedang di Kediaman Kaisar merupakan kesalahan besar apalagi telah melukai
Kira yang sama sekali tak melakukan pemberontakan.
Perbuatan Asano ini membuat Tokugawa sangat marah, dan sebagai
hukumannya beliau memerintahkan Asano untuk melakukan Seppuku. Asano
masih merasa beruntung Kaisar masih memberikannya kesempatan untuk mati
secara terhormat. Keputusan seppuku ini juga yang menjadi bukti bagi para
pengikut Asano bahwa majikan mereka melakukan kesalahan untuk menjaga
Kematian Asano dan penarikan wilayah kekuasaan, membuat para pegikut
Asano berang dan berniat melakukan Adauchi sebagai wujud balas dendam
mereka atas majikannya yang meninggal.
Balas dendam para mantan samurai ini dipimpin oleh Oishi sebagai kepala
para samurai dan berhasil membunuh Kira dan memenggal kepala musuh
majikannya tersebut dan kemudian meletakkannya di makam Asano sebagai bakti
mereka yang telah membalaskan dendam majikannya.
Akhir dari peristiwa ini, para mantan samurai tersebut melakukan Junshi
sebagai wujud kesetiaan tanpa batas mereka kepada Tuannya. Ke – 47 mantan
samurai ini dimakamkan berhadapan dengan makam Tuan mereka. Perilaku
Junshi inilah sebagai bukti kesetiaan yang melebihi batas antara hidup dan mati
para samurai. Dalam bab berikutnya penulis akan mencoba menganalisa perilaku
Junshi tersebut berdasarkan para tokoh cerita yang diwakilkan oleh tokoh Oishi,
BAB III
ANALISIS KESETIAAN 47 RONIN
3.1. Bushido
Bushido merupakan salah satu ajaran yang terdapat pada agama Budha
Zen. Pada abad ke 13, ajaran ini berasal dari Cina yang dibawa oleh Pendeta Esai
(1141-1251), dan Pendeta Dogen (1200-1253). Dalam ajaran ini terdapat 4 aliran
yaitu Zen, Jodo, Shinzu, dan Nichiren (Hokke). Ajaran yang banyak diterapkan
pada kaum samurai ini, menganut suatu keyakinan apabila seseorang mati maka
setelah kematiannya ia akan bereinkarnasi dan bisa hidup kembali dikehidupan
yang lain. Maka untuk bisa menjadi seorang samurai harus tidak takut terhadap
kematian karena ajaran Bushido yang diterapkan lebih banyak berkaitan dengan
kematian.
Clearly dalam Gusti Wulandari (2006 : 22) mengatakan pada dasarnya
ajaran Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan
penghayatan kekosongan. Dalam meditasi ini, seorang samurai diharapkan untuk
dapat berkonsentrasi dan mengenali diri sendiri serta tidak membatasi diri sendiri.
Tujuan dari meditasi ini agar para samurai nantinya dapat mengendalikan rasa
takut, rasa tidak tenang dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan para
samurai tersebut terbunuh dalam pertempuran.
Bushido juga merupakan kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak
terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama budha yaitu Zen dan
"Kekuasaan yang absolut". Kesemua ini dicapai melalui meditasi (Sayidiman
1982:48).
Bila dilihat dari huruf kanjinya yaitu 武士 Bushi dan道do, memiliki arti jalan pendekar atau kode etik pengabdian anak buah terhadap tuan dalam bentuk
kesetiaan yang mutlak sehingga anak buah bersedia mati demi tuan. Pengabdian
kesetiaan ini tanpa memikirkan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau
irrasional yang terpenting hanya mengabdikan diri terhadap tuan.
Bagi seorang samurai kehormatan terbesar dalam hidup mereka adalah
kemampuan serta konsekuensi dalam melakukan ajaran Bushido itu sendiri.
Pelayanan diri sendiri, keadilan, rasa malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah
hati, kesederhanaan, semangat bertarung, kehormatan, kasih sayang serta
kesetiaan merupakan kunci utama dalam bushido. Seorang samurai sendiri
penghargaan terbesar dalam hidupnya apabila ia mampu menjalankan kesemua
hal di atas tanpa mengharap balasan. Bushido juga merupakan perpaduan antara
Konfusionisme dengan etika feodal Jepang dan kebiasaaan masyarakat umum
selama masa pemerintahan Edo yang tidak hanya meliputi semangat dalam
berperang dan kemampuan dalam menggunakan pedang tapi juga meliputi
keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan,
pengendalian diri dan kesetiaan kepada satu majikan (Keys To The Japanese
Heart and Soul, 1996 : 51).
Bushido secara harfiah memiliki makna pedoman kaum kesatria. Bushido
yang terdiri dari penggalan kata Bushi yang berarti kesatria dan do yang berarti
jalan memiliki defenisi harfiah yaitu jalan yang harus dipatuhi samurai, dalam
merupakan peraturan yang berlaku bagi kaum samurai. Sesuai dengan kutipan
Nitobe dalam Usihension (2004 : 33) :
武士道は文学通り武士あるいは騎士の道であり武士がその職分を尽くす時でも、日常
生活でも、日常生活言行いあいても守らなければならない道であって言いかれば武士
の掟であり、武士の階級の漆に伴う。
”Bushido dalam kesusastraan adalah jalan kesatria, kesatria bertugas untuk melayani setiap saat. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalani keseharian pun harus menjaga perkataan atau perbuatan sesuai dengan jalan kesatria. Seorang kesatria harus setia seperti pernis cat”
Bushido semula berawal dari kebutuhan – kebutuhan praktis para samurai,
tetapi setelah masuknya ajaran Konfusionisme, Bushido menjadi suatu landasan
nasional bukan hanya sekedar moralitas kaum prajurit. (Bellah, 1992 : 90). Ajaran
Bushido yang benyak menekankan kesetiaan mutlak pada tuan, mengandung arti
bukan hanya kepatuhan pasif tapi juga kepatuhan aktif dengan mewujudkannya
melalui sifat-sifat seorang kesatria. Rangkuman sifat tersebut yaitu kesetiaan,
yang menjadi tanggung jawab terbesar bagi samurai, bahkan, bila perlu harus mati
untuk menunjukkan kesetiaan seorang samurai.
Pengabdian serta kesetiaan para Samurai kepada majikan, dalam hal ini
dapat berupa Kaisar, Daimyo, atau tuannya, sangat luar biasa. Mereka hidup
dengan memberikan pelayanan tanpa mengharapkan kekayaan atau benda-benda.
Kejujuran dan kepercayaan sangat dijunjung tinggi sehingga mereka dapat
mencapai kehormatan yang merupakan penghargaan tertinggi.
Janji untuk mengabdikan diri bagi tuannya menurut Tsunetomo dalam
Situmorang (1995 : 24-25) adalah pengertian dari Bushido itu sendiri, janji anak
1. Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah
dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.
2. Menjadi anak buah yang betul – betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul
melaksanakan sumpah setia kepada tuan.
Tsunetomo lebih lanjut mengatakan, anak buah tidak akan memperdulikan apapun
selain janjinya kepada tuannya. Janji mengabdikan diri bagi tuannya ini tidak
memperdulikan nasehat Saka, Koshi, dan Amaterasu Omikami, walaupun akan
jatuh ke neraka, dan mendapat hukuman dari Dewa, tidak ada pilihan lain bagi
seorang samurai yaitu hanya untuk mengabdi bagi Tuannya.
Lebih lanjut dalam ajaran Shinto, Bushido dibekali dengan ajaran
kesetiaan dan patriotisme. Kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada
yang berkuasa, sehinggga dapat menetralkan kemungkinan sifat sombong seorang
militer, (Sayidiman 1982 : 49 ). Kepercayaan Shinto lebih mengutamakan
kesetiaan dan kecintaan kepada negara dan Tenno (Kaisar). Dalam ajaran Shinto,
seorang Kaisar memiliki status yang setara Dewa sementara samurai bertugas
untuk mengabdikan dirinya kepada Kaisar dan Daimyo (tuan tanah).
Pengabdian yang melebihi batas antara hidup dan mati, dan irrasional ini,
dapat ditunjukkan pada cerita legendaris, pada zaman Edo yang sangat dikenal
masyarakat Jepang, Kisah 47 Ronin, yang menceritakan semangat, keberanian
serta pengabdian kesetiaan yang tulus dapat digambarkan melalui para
tokoh-tokoh dalam cerita ini. Dalam sub bab berikutnya penulis akan mencoba
menganalisa perilaku kesetian para mantan Samurai melaui tokoh Shogun selaku
kemudian akan berakhir dengan Junshi yang dilakukan ke 47 Ronin sebagai
pembuktian kesetiaan mereka pada atasan.
3.2. Kesetiaan Terhadap Shogun
Kisah 47 Ronin terjadi pada masa pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi
yaitu antara tahun 1608-1709. Tokugawa Tsunayoshi merupakan Shogun ke 5 dari
Dinasti Keluarga Tokugawa di Jepang. Tokugawa dilahirkan pada tanggal 23
February 1646 di Edo. Dia adalah anak dari Tokugawa Iemitsu.
Tokugawa Tsunayoshi merupakan Shogun yang memberi banyak
perhatian dalam hal religi. Hal ini dapat terlihat ketika dalam masa
pemerintahannya, Tokugawa memasukkan ajaran Zhu Xi yang notebene
merupakan bagian dari Neo-Konfusionisme (http://id.Wikipedia.org). Ajaran ini
memberi makna tersendiri bagi Tsunayoshi untuk menjalankan kehidupan serta
pemerintahannya berdasarkan peraturan dari dirinya. Salah satunya yaitu adanya
peraturan mengenai perlakuan terhadap binatang khususnya anjing. Anjing adalah
binatang yang paling dilindungi pada masa pemerintahannya, hal ini berdasarkan
keyakinannya yang lahir pada tahun anjing. Apabila ia melindungi binatang
tersebut, maka ia akan mendapat segala kemudahan, keyakinannya ini juga dipacu
dengan keinginannya untuk mempunyai anak. Atas dasar itulah, anjing mendapat
prioritas yang berbeda, serta perlakuan selayaknya manusia. Karena perlakuannya
yang begitu khusus pada anjing, membuat Tsunayoshi mempunyai julukan sendiri
yaitu Inu Kubo, Inu berarti anjing sedangkan Kubo adalah panggilan resmi untuk
pada usia 62 tahun. Ketegasan serta kedisplinannya terhadap peraturan memberi
dampak tersendiri bagi anak buahnya.
Pengabdian anak buah dalam menjalani peraturan tersebut dapat terlihat
pada bab 1 hal 10, pada saat sistem pertanian mengalami kerugian akibat Undang
– Undang Pelestarian Hidup yang diberlakukan Shogun, berikut merupakan
percakapan antara Oishi dan Putri Asano :
Cuplikan 1 :
Putri Asano : ”Paman, mengapa pertanian ini tidak dirawat ? Apakah sebaiknya
Paman laporkan pada Ayah karena para petani tidak melakukan tugas
sebagaimana mestinya ?”.
Oishi tertawa perlahan. Belum sempat dia menjawab, gadis cilik itu melanjutkan,
Putri Asano : ” Mungkin sebaiknya kita jangan menyalahkan para petani
sebelum mendengar penjelasan mereka. Tapi apa alasan mereka
menelantarkan ladang seperti itu ? ”.
Oishi : ” Mereka terpaksa, gadis kecil, berdasarkan Undang – Undang
Pelestarian Hidup, mereka dilarang membunuh bintang yang merusak
ladang.”
Putri Asano : ” Kenapa ada larangan membunuh binatang, terutama yang benar
– benar mengganggu ?”
Oishi : ” Karena Shogun sudah melarang membunuh binatang. Dan
karena kami setia pada Ayahmu sehingga kami tak berpikir untuk
mempermalukan beliau dengan melanggar perintah pemimpin-nya, yaitu