• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Junshi Para Tokoh Cerita Dalam Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Junshi Para Tokoh Cerita Dalam Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU JUNSHI PARA TOKOH CERITA

DALAM NOVEL

KISAH 47 RONIN KARYA JOHN ALLYN

OLEH : Mega Astuti

040708001

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

(2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 9

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 10

1.5 Tinjauan dan Manfaat Penelitian ... 15

1.6 Metode Penelitian ... 16

BAB II LATAR BELAKANG KISAH 47 RONIN 2.1 Feodalisme Zaman Edo... 17

2.1.1 Struktur Pemerintahan Feodalisme ... 18

2.1.2 Sistem Budaya ... 21

2.1.3 Sistem Pendidikan ... 23

2.1.4 Sistem Ekonomi ... 24

2.2 Konsep Junshi dan Pemikiran Terhadap Junshi ... 25

2.3 Sinopsis Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn ... 33

BAB III ANALISIS KESETIAAN 47 RONIN 3.1 Bushido ... 37

3.2 Kesetiaan Terhadap Shogun ... 41

3.3 Kesetiaan Terhadap Asano Takumi Naganori ... 48

(3)

3.5 Junshi Sebagai Tanda Kesetiaan Dalam 47 Ronin ... 64

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 63 4.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA

(4)

Abstrak

Skripsi ini membahas salah satu kebudayaan Jepang yaitu bunuh diri. Budaya bunuh diri yang dilakukan masyarakat Jepang sudah ada sejak zaman dahulu. Pada skripsi ini, budaya bunuh diri yang dilakukan masyrakat Jepang terjadi pada zaman Edo. Sikap bunuh diri yang dilakukan orang Jepang pada zaman Edo merupakan bukti sikap kepatuhan atau malu bila tidak bisa memberikan yang terbaik kepada kelompoknya.

Zaman Edo dalam sejarah Jepang disebut dengan Zaman Feodal. Ini dikarenakan sistem pemerintahan Jepang menggunakan sistem Feodal, yaitu sistem politik yang menekankan ketergantungan antara Raja dan tuan tanah. Zaman feodal ditandai dengan pembagian kasta-kasta dalam masyarakat yang meliputi istilah Shi no ko sho. Shi yaitu Kaisar sebagai pemimpin, Kizoku atau kaum bangsawan sebagai pelaksana administrasi, samurai sebagai golongan yang mempunyai pengaruh dalam bidang politik dan ekonomi, No adalah petani, Ko adalah tukang dan Sho adalah pedagang sebagai kelas terendah.

(5)

terlahir kembali, menjadikan samurai tidak pernah takut menghadapi kematian. Pengabdian kesetiaan samurai melebihi batas antara hidup dan mati. Contoh kesetiaan samurai kepada majikannya yang terdapat pada kisah 47 Ronin. Kisah 47 Ronin adalah cerita mengenai pembalasan dendam mantan samurai atas kematian majikan mereka. Kisah ini terjadi di wilayah Akou di Jepang. Kisah pembalasan dendam para Ronin dilakukan untuk membalaskan dendam majikan mereka yang telah meninggal. Balas dendam ini dilakukan karena Kira Kozuke No Suke, sebagai pejabat Koke telah melukai Asano Takumi.

Balas dendam Ronin merupakan pengabdian kepatuhan mereka terhadap Asano Takumi Naganori. Ini dikarenakan Asano adalah majikan para Ronin. Balas dendam Ronin dipimpin oleh Oishi Kuranosuke Yoshitaka adalah kepala samurai klan Asano. Maka balas dendam Ronin dipimpin oleh Oishi. Oishi dan anak buahnya memenggal kepala Kira dan meletakkan kepala musuh majikan mereka di atas makam Asano. Balas dendam yang dilakukan mereka telah berhasil.

(6)

Pembahasan dalam skripsi selanjutnya, adalah mengenai kesetiaan para mantan samurai yang melakukan Junshi. Kesetiaan Ronin ditunjukkan melalui sikap serta perbuatan yang terdapat pada novel kisah 47 Ronin karya John Allyn. Kesetiaan samurai diambil dari berbagai cuplikan adegan yang terdapat pada novel, selanjutnya proses menganalisa kesetiaan melalui tanda-tanda yaitu bahasa atau percakapan. Dalam penelitian skripsi ini digunakan pendekatan semiotika yaitu metode menganalisis yang mengkaji tanda. Tanda adalah perwakilan yang dapat berupa pengalaman, perasaan, percakapan, serta gerakan anggota badan. Selain pendekatan semiotika, skripsi ini juga menggunakan pendekatan historis yang dihubungkan dengan teori tradisional yaitu proses menganalisa berdasarkan keadaan sejarah pada saat peristiwa terjadi. Keadaan sejarah peristiwa 47 Ronin yaitu pada zaman Edo. Selanjutnya proses menganalisis dihubungkan dengan keadaan sejarah pada zaman Edo.

Penelitian yang banyak memfokuskan pada keadaan sejarah peristiwa 47 ronin diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kehidupan sejarah masyarakat Jepang pada zaman Edo. Selain itu penelitian perilaku Junshi para samurai dapat dijadikan sebagai wawasan pengetahuan dalam hal kepahlawanan yang ada di Jepang.

(7)
(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Jepang merupakan bagian dari masyarakat yang mudah

terpengaruh dengan keadaan sekitar yang dapat membuat mereka merasa tertekan.

Tekanan terhadap lingkungan sekitar ini sering menjadikan orang Jepang tersebut

berkeinginan untuk mengakhiri hidup mereka)

(http://wikipedia.org/wiki/bunuhdiri). Salah satu cara yang paling populer bagi

masyarakat Jepang untuk mengakhiri hidup adalah dengan melakukan bunuh diri.

Fenomena bunuh diri ini ternyata mendapat prioritas perhatian yang lebih

dibandingkan dengan permasalahan yang lainnya. Di Jepang sejak tahun 1998

secara konstan jumlah bunuh diri pertahun lebih dari 30.000 kasus. Tercatat tahun

2006 terdapat 32.155 orang yang mencabut nyawanya dengan

sengaja

masyarakat Jepang melakukan bunuh diri terdiri atas beberapa faktor, yaitu :

1. Bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mempertahankan harga diri

2. Dikucilkan dari pergaulan seperti Sekolah, Kantor, ataupun keluarga

3. Stress karena masalah kesehatan atau menjadi pengangguran

4. Adanya literatur yang menggambarkan bunuh diri sebagai sesuatu yang

indah

5. Pandangan beragama yang kurang dalam masyarakat, mereka lebih

meyakini akan adanya reinkarnasi, yaitu keyakinan bahwa mereka akan

(9)

Perilaku masyarakat Jepang ini merupakan pencerminan dari berbagai pola

masyarakat Jepang yang terdahulu. Sikap kepatuhan atau malu bila tidak bisa

memberikan yang terbaik kepada satu kelompok membuat orang Jepang

melakukan bunuh diri sebagai jalan terakhir daripada hidup dengan menanggung

malu. Pengintegrasian sikap ini menjadi peraturan tersendiri dalam kelompok

tersebut, apabila kode etik group menuntut mereka untuk merelakan nyawanya

maka mereka harus rela membunuh dirinya demi satu kepentingan dan keyakinan

bersama. Alasan untuk melakukan bunuh diri juga bisa dikarenakan pemecatan

pekerjaan, orang Jepang beranggapan apabila mereka dipecat dari suatu

perusahaan, mereka merasa dikhianati oleh perusahaan tersebut, karena kesetiaan

yang selama ini mereka berikan tidak dihargai. Perasaan malu dan harga diri yang

jatuh serta keadaan keluarga yang semakin sulit karena pemecatan tersebut, juga

menjadi alasan bagi orang Jepang untuk melakukan bunuh diri.

Sikap masyarakat Jepang yang sering melakukan bunuh diri bukan sebagai

sikap yang tidak bertanggung jawab, justru sikap ini merupakan wujud rasa

pertanggungjawaban mereka atas perilaku yang telah mereka lakukan

sebelumnya.

Perilaku masyarakat Jepang ini dapat terlihat dari sikap para nenek

moyang Jepang terdahulu yang sering melakukan bunuh diri. Salah satunya adalah

Junshi yang banyak dilakukan pada zaman Edo. Junshi dapat diartikan sebagai

jalan kematian karena kesetiaan. Sikap ini merupakan salah satu jalan kematian

yang banyak dilakukan masyarakat Jepang untuk membuktikan kesetiaan

pengabdian atau kepatuhan mereka kepada majikan. Perilaku ini umumnya

(10)

samurai mengikuti jalan kematian majikannya ketika atasan mereka meninggal

dalam pertempuran ataupun tidak. Junshi ini merupakan tradisi pada zaman

Chinese Wei untuk memberikan penghormatan kepada Yamato sekitar abad ke

646. Junshi dilakukan para kaum samurai melalui seppuku sebagai salah satu cara

kematian yang umum dilakukan untuk Junshi. Perilaku ini banyak terjadi pada

masa pemerintahan Tokugawa, ketika peperangan banyak terjadi, Junshi menjadi

terkenal dikalangan samurai untuk mengikuti kematian majikan mereka.

Sikap yang berlandaskan atas kesetiaan ini adalah salah satu bukti

pengabdian mutlak para samurai kepada majikan mereka. Keinginan untuk

mengikuti kematian majikan ini adalah pandangan kaum samurai pada saat itu

yang beranggapan mereka tidak dapat hidup tanpa majikannya dan perasaan

menanggung malu karena harus turun kelas menjadi Ronin, samurai yang tak

bertuan. Karena keadaan inilah yang kemudian menjadikan para samurai

berkeinginan untuk mengikuti jalan sang majikan dengan melakukan bunuh diri.

Budaya Junshi yang paling banyak terjadi adalah ketika masa

pemerintahan feodal, yaitu sistem politik yang menekankan ketergantungan antara

Raja serta tuan tanah. Hubungan ketergantungan ini merupakan penyerahan diri

seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan

pemeliharaan.

Keterikatan hubungan inilah yang menimbulkan satu hubungan yang

hirarkis yaitu antara kaum bawah (yang lemah) dengan kaum yang atas (yang

berkuasa). Sikap kepatuhan dan kesetiaan para samurai dalam mengabdikan

(11)

masyarakat Jepang yaitu 47 Ronin yang terdapat pada salah satu novel Kisah 47

Ronin karya John Allyn.

Novel sebagai salah satu karya sastra, bukan cerpen atau roman,

merupakan medium yang sangat ideal untuk mengangkat peristiwa-peristiwa

penting dalam kehidupan. Novel mempunyai keterbukaan sendiri untuk

mengetengahkan digresi sehingga jalan cerita bisa mencapai beratus halaman.

Karena sifatnya yang demikian, maka novel dapat digunakan untuk mengangkat

kehidupan baik beberapa individu maupun masyarakat luas. Tak jarang pula novel

sering diperankan untuk menyampaikan ide-ide pembaruan.

Novel adalah media dalam penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan

penulis dalam merespon kehidupan sekitarnya. Novel- novel bertemakan

kehidupan sosial mempunyai nilai lebih dalam kontekstual, persoalan sosial yang

ada pada zaman tersebut menjadi tema umum pada novel-novel. Tema mengenai

korupsi, mental kepemimpinan, watak-watak kolektif golongan, keterbelakangan,

kebodohan, kemiskinan, adalah tema-tema yang menyangkut kondisi sezaman.

Novel-novel demikian menjadikan dirinya bersifat universal apabila penggalian

masalah mencapai sifat-sifat dasar kolektif manusia di suatu masa di suatu tempat.

Novel pada saat ini, pada umumnya terdiri atas dua unsur yaitu unsur intrinsik dan

unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya

sastra itu sendiri atau dengan kata lain unsur-unsur yang secara langsung turut

serta membangun cerita. Unsur-unsur ini diantaranya tema, plot, latar, penokohan,

sudut pandang cerita, bahasa atau gaya bahasa dan lain- lain. Unsur ini merupakan

nilai yang muncul dari mediumnya yaitu melalui penggambaran sensoris dan

(12)

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur- unsur yang berada di luar karya

sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut.

Dengan kata lain unsur-unsur ini dapat mempengaruhi bangun cerita dari suatu

karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut meliputi kebudayaan, sosial,

psikologis, ekonomi, politik, agama dan lain-lain yang dapat mempengaruhi

pengarang dalam karya tulisnya.

Dalam analisis ini akan di bahas salah satu unsur intrinsik dalam novel,

yaitu tokoh yang terdapat dalam novel Kisah 47 Ronin karya John Allyn.

Aminuddin (2000 : 79) mengatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban

peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita.

Tokoh-tokoh yang di ceritakan dalam suatu cerita tentu mempunyai

peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang mempunyai peranan yang penting dalam

suatu cerita merupakan tokoh utama. Sedangkan tokoh yang mempunyai peranan

yang tidak penting karena kemunculannya hanya membantu disebut tokoh

pembantu. Penentuan tokoh yang ditampilkan pengarang dalam karya fiksi

tersebut merupakan kebebasan kreatifitas pengarang. Oleh karena pengarang yang

sengaja menciptakan dunia dalam fiksi miliknya sendiri, maka para pengarang

pun mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai

dengan keinginannya sendiri, termasuk bagaimana perwatakan dalam cerita

tersebut, merupakan kebebasan pengarang.

Novel Kisah 47 Ronin karya John Allyn ini merupakan novel sejarah

mengenai kehidupan pada zaman Edo. Ke 47 Ronin atau Akouroshi adalah

peristiwa pembalasan dendam 47 Ronin dari Ako di bawah pimpinan Oishi

(13)

Takumi no Kami dengan cara melakukan penyerbuan ke rumah kediamaan Kira

Kozuke no Suke Yoshihisa.

Peristiwa pembunuhan ini dikenal sebagai Genroku Ako Jiken (Peristiwa

Ako era Genroku). Disebut Genroku karena terjadi pada tanggal 14 bulan 12

tahun ke-15 era Genroku, atau 30 Januari 1703. Ako merupakan sebuah kota yang

terletak di perfektur Hyogo yang merupakan tempat asal 47 Ronin.

Sebelum perang dunia ke II, kisah ini dikenal dengan Akogishi (perwira

setia dari Ako) dan dijadikan teladan kesetiaan samurai kepada majikannya.

Seusai perang dunia ke II, kisah ini lebih dikenal sebagai Akoroshi (Ronin dari

Ako) atau Shijushichishi (47 samurai). Namun dalam budaya populer jepang

sekarang ini kisah ini dikenal dengan Chusingura yang lebih menonjolkan

kepahlwanan 47 ronin dari Ako sekaligus mencerca Kira Kozuke no Suke.

Tahun 1703 para Akouroshi di Akou yaitu nama salah satu wilayah di

Jepang, Ro yang berarti tidak bertuan atau tidak memiliki majikan, sedangkan shi

yang berati bushi atau lebih dikenal dengan sebutan Ronin.

Ronin adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan tuannya atau terpisah

dari tuannya. Berpisah dari tuannya bisa dikarenakan si majikan meninggal atau

akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut. Samurai yang tidak lagi

memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai seorang samurai. Dalam tradisi

samurai, ronin memiliki derajat di bawah samurai. Bagi seorang ronin hanya ada

dua pilihan yaitu menjadi orang bayaran atau turun pangkat dalam kemiliteran.

Kisah ini merupakan kisah bunuh dirinya 47 orang Ronin yang tidak

bertuan di wilayah Akou. Ke 47 Ronin ini melakukan bunuh diri setelah berhasil

(14)

mereka. Para Ronin ini membunuh Pangeran Kira dan mempersembahkan kepala

Pangeran tersebut di makam tuannya Asano Takumi No Kaminaganori. Asano

yang merupakan pemimpin di daerah Akou adalah Daimyo yang memiliki daerah

kekuasaan serta kastil, Asano pada akhirnya melakukan seppuku setelah melukai

Pangeran Kira Kozuke Yoshinaka seorang Koke (Pejabat tinggi bakufu) dan juga

seorang Daimyo yang tergolong sebagai Daimyo Shimphan (Keluarga Tokugawa).

Kejadian ini membuat Shogun marah karena sifat Asano yang sama sekali

tidak menunjukkan sifat seorang Bushi. Akhirnya Shogun memutuskan hukuman

Seppuku bagi Daimyo Asano, yakni ia harus melakukan bunuh diri dengan

memotong perut.

Sepeninggal Daimyo Asano, maka daerah Akou ditarik kembali oleh

Shogun. Rentetan peristiwa ini membuat para pengikut Asano (Samurai) marah

dan berniat untuk melakukan balas dendam. Akhir dari balas dendam ini para

Samurai yang pada saat itu berjumlah 47 orang akan melakukan Junshi sebagai

wujud kesetiaan tanpa batas seorang Samurai kepada majikannya.

Perilaku bunuh diri ke 47 Ronin ini akan penulis bahas melalui skripsi

yang berjudul:

” PERILAKU JUNSHI PARA TOKOH CERITA DALAM NOVEL KISAH 47

RONIN KARYA JOHN ALLYN.”

I.2. Perumusan Masalah

Golongan Samurai dalam kehidupan pada zaman feodal Tokugawa

merupakan sosok-sosok yang berani, setia dan memiliki loyalitas pengabdian

(15)

Sifat-sifat ini dapat tergambar secara jelas dalam Novel karya John Allyn

ini, di mana para tokoh cerita yang pada umumnya menceritakan kisah mantan

samurai (Ronin) berusaha untuk tetap mengabdi kepada majikannya meskipun ia

telah meninggal.

Oishi yang merupakan tokoh utama dalam kisah ini adalah kepala

pemimpin samurai yang merupakan pengikut Daimyo Asano. Oishi serta beberapa

anak buahnya pada akhirnya melakukan balas dendam untuk majikannya. Akhir

dari peristiwa balas dendam ini para Ronin yang tetap menjunjung tinggi

kesetiaan melakukan bunuh diri untuk mengikuti tuannya (Junshi), sebagai wujud

kesetiaan tanpa batas seorang samurai kepada majikannya. Dengan menggunakan

pendekatan analitis, pendekatan historis serta pendekatan semiotik sebagai acuan

dalam menganalisa, maka penulis

mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai

berikut :

1. Bagaimana latar belakang sejarah kehidupan para tokoh cerita pada

Zaman Edo berdasarkan novel tersebut ?

2. Bagaimana latar belakang para tokoh cerita melakukan Junshi berdasarkan

cerita novel Kisah 47 Ronin ?

I.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap

perlu adanya pembatasan ruang lingkup masalah dalam pembahasan nantinya. Hal

ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga

(16)

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membahas dan memfokuskan pada

latar belakang kehidupan para samurai khususnya pada zaman feodal Jepang

berdasarkan novel, juga perilaku para mantan samurai yang memilih untuk bunuh

diri demi majikannya(Junshi), yang penulis gambarkan pada tokoh Asano Takumi

Naganori dan Oishi Kuranosuke Yoshitaka juga kesetiaan terhadap Shogun,

dilihat dari sejarah kehidupan pada saat itu. Sebagai pendukung data penulis juga

akan mendeskripsikan bagaimana kondisi kehidupan para Samurai pada Zaman

Edo khususnya yang menjadi latar belakang Kisah 47 Ronin.

I.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka

Dalam pembahasan ini penulis mencoba untuk mengangkat salah satu

unsur intrinsik dalam karya sastra novel yaitu tokoh. Tokoh dalam setiap karya

sastra baik secara lisan(drama, teater) serta tulisan(novel, komik) mempunyai

peranan yang sangat penting, karena tokoh merupakan alat atau perantara para

pengarang sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu

yang sengaja ingin di sampaikan kepada pembaca.

Boulton dalam Aminuddin ( 2000 : 79 ) mengungkapkan bahwa cara

pengarang menggambarkan dalam memunculkan tokohnya itu dapat

bermacam-macam. Pengarang dalam suatu novel bisa saja memunculkan tokoh sebagai

pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya,

pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri dan mungkin pelaku

yang hanya hidup dalam alam mimpi. Kesemua perilaku ini dalam dunia fiksi

(17)

Perilaku tokoh merupakan suatu sifat atau karakter yang di munculkan

oleh pengarang sebagai wujud dari karakteristik cerita yang coba diangkat oleh

pengarang. Dalam menggambarkan berbagai perilaku yang terdapat dalam karya

fiksi tersebut pengarang harus mengikuti alur cerita yang telah ada apabila kisah

yang diangkat merupakan cerita fiksi sejarah, namun pengarang juga mempunyai

kebebasan sendiri dalam menentukan jalan cerita atau karakter tokoh yang akan

diangkat dalam karya tersebut.

Berbagai perilaku yang terdapat dalam karya cerita tentu saja saling

berbeda antara satu tokoh dengan tokoh yang lainnya, namun dalam penelitian

kali ini, penulis mencoba menggambarkan beberapa karakter tokoh yang terdapat

pada Novel Kisah 47 Ronin ini.

Dalam konteks masalah keprilakuan tidak jauh berbeda dengan

permasalahan ilmu-ilmu sosial seperti phisikologi, sosiologi serta ilmu-ilmu sosial

lainnya. Ilmu keprilakuan(behavior science), merupakan percabangan dari

ilmu-ilmu sosial dalam arti luas. Hal ini dimaksudkan bahwa ilmu-ilmu keprilakuan

merupakan konsep awal dari ilmu-ilmu sosial yang lain.

Wilhelm Wundt dalam Danim Sudarwan (1997:40) di laboratorium

Psychology-Experimental mengatakan bahwa ketajaman panca indera, waktu

reaksi dan ketrampilan gerak manusia memberi efek luas terhadap aktifitas dalam

penelitian keprilakuan. Menurut Wilhelm perilaku manusia secara hipotek

merupakan fungsi dari ketajaman panca indera, kapasitasnya melakukan reaksi

dan kecekatannya dalam bergerak. Ilmu pengetahuan tingkah laku(behavioral

scince),merupakan disiplin akademik dan intelektual yang relatif baru. Ilmu ini

(18)

Kazt dan Rosenzweig dalam Danim Sudarwan (1979:52), telah sepakat

bahwa ilmu pengetahuan tingkah laku (perilaku) telah menjadi ilmu (scientific

discipline).

Perilaku bunuh diri menurut Hidayat dalam Kiblat (1996 : 43-45),

”Individu yang melakukan tindakan bunuh diri berarti telah kehilangan jiwa dan

pikiran.” Dari hal ini dapat diartikan bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan

orang tersebut berdasarkan ketidakmampuan untuk berfikir secara wajar dengan

akal sehat, sehingga mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya agar

lepas dari permasalahan yang dihadapinya. Emile Durkheim dalam Realitas Sosial

(1985: 150 – 157), berpendapat bahwa perilaku bunuh diri merupakan salah satu

gejala sosial.

Perilaku bunuh diri(Junshi), yang dilakukan masyarakat Jepang

merupakan salah satu cara kematian yang dilakukan seorang pengikut untuk

mengikuti kematian majikannya. Junshi yang dilakukan seorang bawahan kepada

atasannya merupakan wujud dari kesetiaan bawahan kepada atasan.

Tujuan penelitian perilaku dalam skripsi ini yaitu untuk memahami,

menjelaskan kepada pembaca atau para peneliti-peneliti awal mengenai pola

perilaku para tokoh cerita melakukan bunuh diri (Junshi) berdasarkan latar

belakang kisah yang terjadi pada saat itu.

b. Kerangka Teori

Penelitian ini lebih banyak menggabungkan antara sastra dengan budaya.

Dalam hal ini sastra yang merupakan medium perantara dalam menyampaikan ide

(19)

bahwa intensitas hubungan antara sastra dan kebudayaan dapat dijelaskan melalui

dua cara, pertama yaitu sebagaimana terjadinya intensitas hubungan antara sastra

dengan masyarakat, sebagai sosiologi sastra, kaitan antara sastra dan kebudayaan

dalam hal ini dipicu oleh stagnasi strukturalisme. Kedua, yaitu hubungan antara

sastra dan kebudayaan juga dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap kebudayaan,

sebagai studi kultural.

Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski dalam Ratna (1997:25),

berpendapat bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan

oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Melville J.Herskovits dalam Ratna (1997:25), mengartikan kebudayaan

sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang

kemudian disebut sebagai superorganic. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa

kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan

yang terdapat dalam pikiran manusia. Wujud dari kebudayaan ini dapat berupa

perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial , religi, seni dan lain-lain.

Jadi dapat dikatakan bahwa sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang

sama, yaitu aktivitas manusia tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui

kemampuan imajinasi dan kreativitas sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui

kemampuan akal sebagai kemampuan intelektualitas.

Keterkaitan antara kedua hal ini tentu memiliki batasan tertentu, dalam

proses analisis ini penulis menggunakan pandekatan historis, juga pendekatan

semiotika. Pendekatan historis dalam hal ini dapat dihubungkan dengan teori

tradisional. Teori ini berorientasi pada hal-hal sejarah dan makna yang terkandung

(20)

Namun dalam hal penelaahan karya sastra ini tetap berpatokan pada teks

sastra, dalam hal ini adalah novel. Aminuddin (2000 : 46 ), mengatakan bahwa

pendekatan historis adalah pendekatan yang menekankan pada pemahaman

tentang biografi pengarang, serta latar belakang peristiwa yang melatari cerita

tersebut.

Pendekatan semiotika merupakan pendekatan yang menggunakan

unsur-unsur tanda dalam menganalisis. Hoed dalam Nurgiyantoro(1998: 40)

berpendapat bahwa semiotika merupakan ilmu atau metode analisis yang

mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang

dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda

ini dapat berupa gerakan anggota badan, mulut,mata, warna, bentuk, karya seni :

sastra, lukis, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada di sekitar kita.

Faruk (1994 : 44) mendefinisikan bahwa semiotika ilmu yang mempelajari

sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai suatu

tanda.

Teori Mimesis dalam Aminuddin (2000 : 57) memiliki anggapan bahwa

teks sastra pada dasarnya merupakan wakil atau penggambaran dari realitas. Maka

penulis mencoba menjabarkan bagaimana keadaan zaman pada saat terjadi,

berdasarkan teks novel. Penelaahan ini tidak hanya meneliti bagaimana peristiwa

yang terjadi berdasarkan sejarah tapi juga bagaimana karakter tokoh atau perilaku

tokoh yang ada pada karya tersebut dan merupakan bagian dari sistem budaya

masyarakat Jepang sendiri.

Perilaku tokoh yang merupakan sentral point dalam skripsi ini akan

(21)

tanda-tanda yang terdapat dalam novel ini. Tanda ini berupa anggota gerakan

tubuh atau karakter sifat manusia serta penggambaran realitas kehidupan yang ada

pada saat itu.

I.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan

penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan sejarah kehidupan para tokoh cerita pada zaman Edo

berdasarkan novel.

2. Mendeskripsikan apa yang melatari belakangi para Ronin untuk untuk

melakukan Junshi dalam novel Kisah 47 Ronin.

b. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat nantinya bagi pihak-pihak

tertentu baik penulis maupun pembaca, diantaranya yaitu :

1. Bagi para peneliti yang ingin mempelajari mengenai salah satu

perilaku masyarakat Jepang khususnya kaum samurai yaitu Junshi.

2. Sebagai sumber tambahan dalam penelitian sejarah Jepang yang

berhubungan dengan Junshi.

I.6. Metode Penelitian

Metode dalam melakukan sebuah penelitian merupakan salah satu jalan

(22)

mencoba menggunakan metode Library Research (Studi kepustakaan) dan metode

deskriptif. Menurut Koentjaraningrat ( 1976 : 30) penelitian deskriptif yaitu

penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu

individu, keadaan, gejala, atau kelompok. Dalam hal ini data yang dikumpulkan

berupa kata-kata, gambar,dan bukan data angka. Studi kepustakaan merupakan

suatu kegiatan penelitian yang banyak menggunakan atau mengambil sumber

acuan dari berbagai buku yang berhubungan dengan karya sastra , kritik sastra

serta buku-buku lainnya sebagai literatur tambahan.

Dalam memecahkan permasalahan penelitian ini, penulis mengumpulkan

keseluruhan data yang ada yang berupa data tulisan. Data ini dapat berupa

buku-buku, artikel, informasi baik dari media elektronik maupun tulisan, selain itu

penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Perpustakaan Umum

Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Progarm Studi Bahasa dan Sastra

Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Konsulat

Jendral Jepang di Medan, serta website atau situs-situs yang menunjang dalam

(23)

BAB II

LATAR BELAKANG KISAH 47 RONIN

2.1. Feodalisme Zaman Edo

Selama Abad ke 10 – 11 ketika pusat perhatian pemerintahan berada pada

Fujiwara, sistem pemerintahan didominasi oleh kaum aristokrat. Pusat

pemerintahan banyak mengadopsi kebudayaan atau sistem peradaban pada saat itu

dari Bangsa China. Transformasi sistem peradaban ini antara lain ekonomi, dan

politik. Perkembangan ini selanjutnya yang dijadikan Jepang sebagai pintu

gerbang modernisasi.

Zaman Edo atau yang lebih dikenal dengan masa Tokugawa merupakan

zaman yang sangat berpengaruh bagi jepang, hal ini dapat dikaitkan dengan masa

Restorasi Meiji yang merupakan masa pencerahan bagi Jepang. Berbagai

kemajuan yang dicapai Jepang pada saat ini yaitu mulai dari lahirnya berbagai

bentuk kesenian sampai sistem perekonomian. Perkembangan-perkembangan ini

pada akhirnya menjadikan masyarakat Jepang semakin maju dan berkembang.

Tokugawa merupakan daimyo yang berkedudukan di daerah Mikawa pada

tahun 1603 berhasil menjadi shogun yang berarti sebagai penguasa feodal

tertinggi setelah mengalahkan Toyotomi pada perang Sekigahara (1600). Ciri khas

pemerintahan pada masa Tokugawa ini ditandai dengan adanya sistem kelas yang

resmi dan turun temurun. Kekuasaanlah yang lebih menentukan status daripada

kekayaan. Sistem kelas itu meliputi Kaisar sebagai kelas tertinggi, kemudian

(24)

kaum bushi yang berkedudukan untuk melaksanakan kekuasaan politik,

sedangkan yang berada di tingkat yang paling bawah adalah rakyat jelata.

Kelas Samurai atau Bushi yang memerintah pada saat itu bukan hanya

memonopoli semua kekuasaan politik tetapi juga membedakan pola hidupnya

dengan cara-cara masyarakat biasa. Perbedaan secara sosial ini ditunjukkan

dengan kewajiban para petani dan pengrajin serta para pedagang untuk mengabdi

dan memberi makan para samurai. Formalitas kehidupan sosial serta

keterikatannya pada tradisi di masa ini menjadikan suatu keadaan yang tidak

terbuka untuk pembaharuan atau sedikit sekali memungkinkan adanya keragaman,

hal ini dikarenakan kesetiaan bawahan terhadap atasan lebih ditekankan pada saat

ini (Benedict, 1992 : 35 – 43).

Keadaan ini sejalan dengan sejarah terbentuknya zaman Edo, Tokugawa

yang berhasil mengalahkan Keshogunan Toyotomi dalam perang Sekigahara,

adalah dikarenakan kesetiaan pengabdian diri anak buahnya terhadap atasan,

Watsuji dalam Hamzon ( 1995 : 7 ).

2.1.1. Struktur Pemerintahan Feodalis

Feodalisme merupakan istilah yang relatif baru, kata ini muncul pada abad

pertengahan ke – 18. Secara hukum dan institusi kata ini lebih cenderung

disingkat menjadi feodal yang berarti melindungi hak dari aristokrasi tanah dan

memungkinkan para penguasa untuk menerapkan kekuasaan secara acak terhadap

para petani. Dalam sejarah Jepang, sebelum memasuki zaman feodal sistem

pemerintahan disebut dengan sistem Ritsuryo.

(25)

1. Seluruh tanah dikuasai oleh kaisar.

2. Didirikan administrasi pemerintahan yang berada di pusat.

3. Seluruh lahan pertanian disumbangkan ke pusat dan diberikan kepada

para penguasa tanah (pemilik perorangan ), atau lebih dikenal dengan

istilah Han-den-shu-ju.

4. Lahan pertanian gabungan yang berasal dari 50 rumah dijadikan satu

menjadi dusun atau desa.

5. Pemerintah membentuk pemerintahan lokal baru yang dipimpin oleh

Koku–shi yang dipilih bukan berdasarkan hubungan klan melainkan

atas pertimbangan politik. Hal ini dilakukan untuk mengubah sistem

klan tradisional dan memusatkan kekuasaan pada kaisar.

Dari sistem ini dapat diketahui bahwa Kaisar yang memegang kekuasaan

tertinggi, para Kizoku (bangsawan) bertugas sebagai pelaksana administrasi

pemerintahan di pusat dan daerah, sementara kedudukan para samurai sebagai

golongan yang disegani memiliki pengaruh yang sangat besar dalam bidang

politik dan ekonomi, sedangkan para petani dan pedagang berada di kelas yang

terendah.

Sitem kepemilikan tanah secara pribadi belum dikenal pada saat ini maka

sistem pemilikan tanah disebut dengan istilah Kochi Komin yaitu wilayah umum

dan masyarakat umum. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah Sonraku kyodo

tai yaitu kelompok kerjasama di daerah. Kelompok ini dipimpin oleh Kizoku.

Administrasi kelompok ini terpisah dari pemerintahan Ritsuryo. Karena adanya

kebebasan menguasai Kubunden Sei yaitu sistem pembagian lahan pertanian,

(26)

bergabung dengan kelompok petani Kizoku tersebut. Tanah pertanian milik

Kizoku ini disebut dengan Shoen. Shoen ini terbagi atas dua yaitu :

1. Immune Sho adalah wilayah pertanian bebas yaitu sebidang tanah yang

merupakan milik pemerintah yang kemudian diolah dengan sistem

Ritsuryo dan dikontrol oleh Kaisar. Usaha ini kurang menghasilkan

bagi para petani untuk meningkatkan aktifitas produksi karena adanya

tekanan dari pemerintah daerah. Diantaranya yaitu menyalahkan

gunakan penggunaan lahan pertanian untuk keuntungan sementara.

Berdasarkan ini pemerintah meninjau kembali dan pada akhirnya

meresmikan sistem administrasi

2. Sho of Private origin adalah Sho yang berasal dari kepemilikan

pribadi, yaitu petani dapat mengolah kembali tanah pertanian yang

terbuang tanpa harus mendaftarkannya pada pemerintah. Namun

keadaan ini dapat berakibat hilangnya tahan pertanian karena dicuri

oleh para perampok. Sebagai jalan untuk melindungi tanah mereka,

para petani harus merelakan tanah mereka diberikan kepada orang

yang lebih kuat sebagai jaminan perlindungan tanah mereka.

Berbagai persaingan yang terjadi antara kelompok tani yang meninggalkan

Kochikomin ini menyebabkan timbulnya berbagai peperangan yang pada akhirnya

terbentuk serdadu perang yang disebut Bushi. Bushi yang pada awalnya mengabdi

pada tuannya Kizoku, lama kelamaan tidak bergantung lagi pada Kizoku. Para

kalangan Bushi ini kemudian berkumpul membentuk satu kekuatan yang kuat

(27)

yang banyak menggunakan para Bushi sebagai serdadu dalam peperangan,

diantaranya yaitu peperangan antar keluarga Kizoku yaitu Taira dan Minamoto

yang dikenal dengan istilah Hogen no ran dan Heiji no ran. Akhir dari

peperangan inilah yang menghancurkan sistem Ritsuryo dan berubah menjadi

Ujizoku yaitu keluarga kerabat dan sistem Kochikomin berubah menjadi Shichi Shimin yang berarti kepemilikan tanah dan warga secara swasta, (Nakamura

dalam Hamzon 1995 :12 – 13).

2.1.2. Sistem Budaya

Bila dibandingkan dengan kebudayaan kelas samurai, maka kebudayaan

Chonin atau kebudayaan pedagang lebih berkembang pada saat ini, hal ini dapat

dikarenakan taraf hidup Chonin yang sangat mendukung. Bidang kesenian, teater,

kabuki, dan joruri adalah seni yang banyak berkembang. Bisnis hiburan dan

restaurant banyak bermunculan yang merupakan bagian dari kebudayaan Chonin.

Haiku juga lahir pada masa ini, yang banyak menceritakan mengenai kehidupan

pedagang.

Bila dibandingkan dengan Tanka, Haiku jauh lebih diminati karena isinya

mudah dimengerti bila dibandingkan Tanka yang jauh lebih rumit.

Pada kalangan samurai, banyak yang melakukan studi Ranggaku yaitu ilmu-ilmu

Belanda. Hal ini muncul dari adanya keinginan untuk belajar mengenai ilmu-ilmu

empiris, matematika, geografi dan lain-lain. Beberapa contoh para samurai yang

kemudian terkenal karena kepintarannya dalam ilmu ini yaitu Seki Takakazu

(1642-1708), merupakan orang Jepang yang sangat ahli dalam bidang matematika,

(28)

Jepang dari Kyushu sampai Hokkaido dengan alat ukur buatan sendiri. Sugita

Genpaku orang Jepang yang berhasil menerjemahkan buku kedokteran Belanda ke

dalam bahasa Jepang.

Secara umum kebudayaan Tokugawa pada masa ini lebih banyak

mengajarkan mengenai hubungan antara bawahan dan atasan. Pemahaman

mengenai ini pertama kali diberikan pada kalangan Bushi, ajaran ini kemudian

dirumuskan dalam Shido yaitu ajaran yang banyak mengandung nilai – nilai

kepatuhan atau pengabdian. Watsuji dalam Hamzon (1995:44-45), mengartikan

lima macam pemikiran mengenai etika kesadaran (Gorin) yang meliputi

pengabdian seseorang yaitu :

1. Pengabdian pengikut terhadap tuannya

2. Pengabdian anak terhadap ayah

3. Pengabdian adik laki – laki terhadap kakak laki – laki

4. Pengabdian istri terhadap suami

5. Hubungan antar orang yang sederajat

Demi kepentingan penerapan pemikiran inilah, maka agama Kristen

dilarang berkembang, karena dianggap bertolak belakang. Agama Kristen yang

mengajarkan kesamaan kedudukan manusia dihadapan Tuhannya ini sangat

bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Shido. Karena ini pulalah

yang menjadikan salah satu alasan Jepang melakukan Seklusi atau penutupan

(29)

2.1.3. Sistem Pendidikan

Secara garis besar, sistem pendidikan yang diutamakan pada zaman Edo

adalah ajaran mengenai kesetiaan. Kesetiaan ini banyak diajarkan umumnya pada

kalangan Bushi atau Samurai, namun dalam kenyataan kehidupan sehari-hari pun

unsur kesetiaan ini banyak terwujud pada rakyat biasa. Kesetiaan atau kepatuhan

dari bawahan kepada atasan yang banyak diajarkan pada kaum prajurit merupakan

prinsip dasar pada ajaran agama Budha, walaupun pandangan beragama pada

masyarakat Jepang bersifat Politheisme atau percaya kepada banyak Tuhan,

namun Jepang tetap memasukkan unsur agama Buddha ini dalam ajaran mereka

Shido, yang kemudian lebih diartikan menjadi sebuah keyakinan atau jalan hidup

orang Jepang.

Dalam pengajarannya sendiri, pendidikan kesetiaan yang mengambil unsur

dari agama Budha yang diajarkan pada prajurit banyak menerapkan adanya

Reinkarnasi yaitu suatu kepercayaan bahwa kita akan hidup atau terlahir kembali

lagi di dunia setelah meninggal nanti, keyakinan ini sangat diterapkan pada

prajurit untuk tidak takut kepada kematian.

2.1.4. Sistem Ekonomi

Pada masa awal pemerintahan Tokugawa Ieyashu dan Hidetada, pendapatan ekonomi banyak didapatkan dari pendapatan daerah yang disebut

Gokaku atau lima wilayah yang meliputi : Shinano selatan, Kii Mikawa, Suruga,

dan Totomi. Pendapatan ekonomi juga diperoleh dari hasil pertambangan dan

keuntungan dari peperangan. Edwin O. Reischauer dalam Usihension (2004:27)

(30)

perdamaian dan stabilitas memungkinkan terjadinya lompatan yang besar dalam

produksi pada abad ke 17.

Memasuki pemerintahan ke 3 Tokugawa Iemitsu, perekonomian mulai

mengalamai kemerosotan yang bukan hanya terjadi pada kalangan Bakufu saja

tapi juga di kedaimyoan mengalami hal yang sama. Hal ini dipicu dengan

diberlakukannya peraturan Sankin Kotai yaitu peraturan dari Keshogunan yang

mewajibkan para Daimyo untuk tinggal selang setahun di Edo, yang membuat

para daimyo harus meningkatkan produksi han masing-masing untuk memenuhi

kebutuhan hidup selama di Edo, selain itu para Daimyo juga diwajibkan

membayar untuk berbagai pembangunan fasilitas umum.

Biaya hidup yang semakin membengkak ini, membuat para daimyo

memutuskan untuk menaikkan pajak antara 40%-60% dari pendapatan petani.

Pemikiran dasar dari pajak ini yaitu tidak membiarkan petani sampai mati dan

tidak membiarkan sampai hidup kuat (Situmorang 1995 : 63).

Ketergantungan para Bushi dan Daimyo terhadap pajak dari para petani

ini terdapat pada salah satu kutipan Reischauer dalam Usihension(2004:29):

”Samurai yang pendapatannya terikat pada beras dari pajak pertanian, makin jatuh dalam hutang pada pedagang kota. Keadaan ini menggerogoti seluruh sistem Tokugawa yang telah dibagi menjadi empat. Pemerintahan Shogun berusaha untuk mengembalikan utang kelas berkuasa yang semakin lama semakin bertambah dengan mengurangi pengeluaran, termasuk gaji kepada para pembantunya dan menetapkan Undang-Undang hidup mewah serta pembatasan kepada para pedagang. Dalam keadaan putus asa, mencoba memonopoli dagang tetapi semua itu sia -sia ”.

Walaupun secara garis besar kehidupan para Bushi dan Daimyo

(31)

para pedagang yang kehidupannya lebih baik. Dengan demikian kehidupan

perekonomian pada zaman ini dapat dikatakan maju karena tidak ada perang,

petani memang diharuskan bekerja sekuat tenaga, tapi keberhasilan dalam bidang

perdagangan dapat menaikkan tingkat perekonomian pada saat itu.

2.2. Konsep Junshi dan Pemikiran Mengenai Junshi

Jika dilihat berdasarkan kanjinya Jun 殉dan shi 死, memiliki arti bunuh diri mengikuti kematian majikan. Louis Frederic dalam Japan Encyclopedy ( 2000

: ), mengartikan Junshi sebagai jalan kematian atau bunuh diri yang dilakukan

karena unsur kesetiaan.

Tradisi kuno ini pada umumnya dilakukan oleh pelayan yang setia pada

Rajanya yang berkuasa, dan memilih untuk melakukan bunuh diri ketika Raja atau

majikan tersebut meninggal karena para pengikut tersebut beranggapan mereka

tidak dapat hidup tanpa majikannya dan memilih untuk mati agar tetap bersama

majikan atau Raja tersebut. Tradisi ini merupakan sejarah pada zaman Chinese

Wei (Weizhi ) untuk menghormati Yamato pada abad 646. Dalam hal ini, banyak

samurai dan pelayan yang membunuh dirinya ketika majikan atau Raja mereka

meninggal.

Sikap dan perilaku yang menunjukkan kesetiaan ini dianggap para samurai

atau pelayan pada saat itu merupakan sesuatu yang sangat mulia dan untuk

mewujudkan kesetiaan tersebut, mereka melakukan Junshi atau mengikuti

kematian tuannya sebagai bentuk pengabdian mutlak untuk tuannya. Selain Junshi

para samurai juga melakukan Adauchi yaitu pembalasan dendam untuk majikan.

(32)

dilakukan dengan keyakinan agar arwah majikan mereka bersemayam lebih

tenang dialam akhirat, dan para pengikutnya juga mendapatkan ketenangan hidup

dari perlindungan arwah majikan tersebut. Pada masa ini, perilaku Adauchi dan

Junshi saling berkaitan, pada umumnya, apabila kematian seorang majikan

dikarenakan suatu perkelahian atau pertempuran maka sebagai pengikutnya,

samurai harus terlebih dahulu melakukan Adauchi lalu diakhiri dengan Junshi,

pada saat itulah seorang samurai akan merasa dirinya benar-benar sebagai samurai

sejati karena telah melakukan seluruh pengabdiannya sampai kepada kematian.

Junshi dalam konteks, diluar pemahaman sebagai samurai, dapat berupa

hanya mengikuti kematian tuan. Para pelayan diluar golongan samurai tidak

dituntut untuk membalaskan dendam majikannya. Cara mereka menunjukkan

pengabdian kesetiaannya hanya dengan mengikuti kematian. Cara melakukan

Junshi ini pun berbeda dengan golongan para samurai, para samurai yang

melakukan Junshi dapat dicontohkan dengan melakukan Seppuku, sedangkan

golongan para pelayan biasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya

gantung diri. Yang terpenting dari makna Junshi ini adalah mengikuti kematian

tuan, sedangkan cara dan waktu melaksanakannya tidak terlalu penting, karena

dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pemahaman orang Jepang khususnya samurai terhadap Junshi yaitu

berlandaskan unsur kesetiaan yang merupakan salah satu ajaran yang paling

ditekankan dalam ajaran Bushido. Ajaran Bushido ini terdapat dalam Bushido

lama yaitu Budha Zen. Selanjutnya Yamamoto Tsunetomo dalam buku Hagakure

banyak menuliskan konsep kesetiaan seorang Bushi. Buku ini banyak dijadikan

(33)

Hagakure dapat juga disebut sebagai buku yang banyak mengajarkan bagaimana

”mati yang terbaik” sebagai wujud kesetiaan. Buku ini ditulis pada kurun abad ke

18, dan menggaris besarkan tentang keberanian untuk mati.

Keberanian untuk mati, telah membawa semangat tersendiri bagi samurai.

Keberanian untuk mati menurut Yamamoto Tsunetomo dalam buku Hagakure

yaitu :

" Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada Kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk Kematian ". (www.mythus.samurai.html)

Jalan kematian samurai yang merupakan pembuktian dari kata setia

banyak diwujudkan para samurai dengan keberanian mereka untuk selalu siap

mati, hal ini dapat berupa, keberanian mati di medan pertempuran, Seppuku,

Junshi, Kanshi atau bunuh diri yang dilakukan sewaktu melakukan demonstrasi,

dan Sokotsu-shi yaitu bunuh diri dengan cara melakukan seppuku sebagai tanda

untuk menebus dosa yang telah diperbuat.

Konsep keberanian dan kesetiaan menurut Yamamoto Tsunetomo dalam

Hamzon (1995:27-28), yaitu:

”Sebagai pelayan harus hanya memikirkan kepentingan tuan. Dengan demikian akan menjadi anak buah hebat. Anak buah dari generasi ke generasi hidup karena kebaikan tuannya, oleh karena itu harus membalasnya dengan keharusan mengabdikan diri bagi tuan sebagai On ( kebaikan ). Lebih – lebih jikalau mempunyai ketrampilan, Dengan pengetahuan untuk diabadikan kepada tuan. Tetapi walaupun tidak mempunyai ilmu dan ketrampilan, jika mengabdi kepada tuan adalah lebih baik daripada mempunyai ketrampilan tetapi tidak mengabdi”.

Lebih lanjut Yamamoto juga menuliskan mengenai pengabdian bushi yang

(34)

”Ada orang yang semenjak dilahirkan sudah dikaruniai kecakapan. Ada juga dengan berusaha keras. Ada orang yang waktu dilahirkan bodoh, tetapi dengan berdoa untuk mengabdi kepada tuan ia akan mendapatkan kecakapan karena berusaha memikirkan rencana jauh untuk mengabdi. Tetapi ada juga orang yang hanya memikirkan diri sendiri, ini adalah buruk. Melakukan shiseigan ( empat doa Permohonan ) bagi tuan adalah paling baik”. ( Hamzon 1995:28-29 )

Ke-4 isi shiseigan tersebut yaitu :

1. Agar menjadi bushi yang mampu mematuhi peraturan yang berlaku bagi

bushi.

2. Agar menjadi bushi yang berguna bagi tuan.

3. Agar menjadi bushi yang mengabdi kepada orang tua.

4. Agar menjadi bushi yang berhati jujur terhadap sesama manusia.

Prinsip untuk mengabdikan jiwaraga bagi tuannya, mengandung arti

bahwa kematian bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Ini adalah prinsip utama

untuk menjadi seorang Bushi. Cakupan mengenai ini sesuai dengan jalan

Yamamoto yang berbunyi :

”Menjadi abdi tuan, selain untuk mengabdikan diri, tidak membutuhkan apa – apa jikalau ada dua – tiga orang seperti ini, ie akan bersemangat. Di dunia ini banyak orang mempunyai talenta, kecakapan. Tetapi pada waktu ditinggal mati oleh tuan, para generasi penerus banyak yang berpikiran kotor untuk menjadi ahli warisnya. Orang kuat, orang lemah, orang pintar semua hidup bersemangat, tetapi pada saat mengorbankan diri bagi tuan menjadi Lemah. Sedikit pun tidak mempunyai kepahlawanan, menjadi orang yang tidak berguna. Pada waktu ada masalah sebaiknya menjadi orang yang rela mengorbankan jiwaraga, dengan alasan mempunyai perasaan yang sama dengan tuan. Pada saat seperti ini harus ada kesiapan untuk mati. Biasanya ada gejala, masyarakat menjadi murung, generasi penerus tidak menghiraukan kematian. Walaupun dikatakan mengutamakan janji Gi ( balas budi ) terhadap tuan, akan menjauhkannya dan hal ini menyolok mata”. (Hamzon 1995:29-30).

Yamamoto Tsunetomo telah lama bercita – cita untuk mengabdikan

(35)

tuannya meninggal, maka ia berfikir untuk mengikuti jalan majikannya dengan

melakukan Junshi.

Kesetiaannya ini juga tertulis dalam bukunya Hagakure yang berbunyi :

”Sebelum mati tuan, saya bekerja sebagai kamigata, entah karena apa suatu saat ingin pulang. Memohon kepada orang untuk mengganti bekerja. Berjalan siang dan malam berikutnya, sehingga masih sempat bertemu dengan tuan, hal ini adalah suatu yang sangat aneh. keadaaan penyakit tuan sudah sangat kritis, saya waktu di Kyoto betul – betul tidak mengetahuinya. Tetapi pada waktu kecil saya bercita – cita ingin menemani kematian tuan. Walaupun orang lain banyak yang berpikiran kotor untuk hidup lama. Sekarang adalah kesempatannya”. (Hamzon 1995:30-31)

Pelarangan pemerintahan bakufu untuk melakukan Junshi, memutuskan

Tsunetomo untuk melakukan Sukke yaitu pengasingan diri dari dunia sekitar, dan

memilih untuk menjalani hidup dengan mengabdikan diri pada ajaran agama,

pelarangan dari Bakufu memutuskan Tsunetomo menjadi pengikut ajaran Budha

Zen di kaki gunung Kinryu, sebelah barat Nabeshima dan menuliskan konsep

Bushido yang kemudian menjadi ajaran khusus bagi kaum samurai.

Dari berbagai isi yang terdapat pada Hagakure dapat dikatakan bahwa

kesetiaan merupakan kehormatan tertinggi bagi seorang Samurai. Kisah 47 Ronin

merupakan contoh kisah nyata kesetiaan para samurai kepada majikannya. Untuk

menjadi seorang samurai dituntut harus mengabdi penuh kepada tuannya atau

Zettai teki . Keadilan seorang samurai terletak pada kesungguhannya dalam

mengabdi, ketulusan dan kejujuran sama berharganya dengan nyawa mereka.

Bushi no Ichi Gon atau janji samurai melebihi janji akan harga dirinya. Samurai

sebagai kestria sejati tidak menunjukkan tanda mengenai penderitaan dan

(36)

Segala tanggung jawab harus dipikul tanpa mengeluh dan menangis.

Dalam bertindak dan berpikir seorang samurai juga penuh dengan ketenangan.

Ajaran Budha Zen tentang Reinkarnasi yaitu untuk mengabdi sebanyak 7 kali

menjadi abdi tuan adalah wujud loyalitas pengabdian kesetiaan samurai demi

tuan.

Kesetiaan di atas adalah kesetiaan yang diajarkan dalam ajaran Budha Zen,

sedangkan kesetiaan dalam sudut pandang Konfusionis lebih ditekankan pada

ajaran Gorin atau etika kesadaran. Hamzon (2000: 1), mengartikan kesetiaan

sebagai wujud kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan

mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kesetiaan menurut Hamzon terbagi atas

tiga unsur yaitu ;

1. Setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa.

2. Setia karena ajaran moral.

3. Setia karena untuk mendapat keuntungan ekonomi.

Sedangkan kesetiaan pengabdian samurai terdiri atas dua ikatan yaitu :

1. Ikatan berdasarkan perjanjian tuan dan pengikut

Ikatan ini berupa Onko dan Hoko. Onko adalah pemberian yang diberikan

dari tuan untuk para pengikutnya. Tuan dengan sengaja menyediakan hadiah

kepada pengikutnya dengan syarat, samurai tersebut harus berhasil memenangkan

pertempuran. Apabila seorang samurai mati dalam barisan bushi tanpa diketahui

tuan,maka samurai tersebut akan mati sia-sia (Inuji), dan tidak akan mendapatkan

apa – apa dari tuan, tapi sebaliknya apabila samurai mati dalam barisan bushi dan

diketahui tuannya, maka samurai tersebut akan mendapat nama dan hadiah dari

(37)

Hal ini merupakan balasan dari Hoko atau pelayanan yang telah diberikan

pengikut, dan untuk membalas Onko tersebut pengikut harus mampu

mengorbankan diri melewati batas antara hidup dan mati.

2. Ikatan berdasarkan pada hubungan darah atau keluarga

Ikatan ini merupakan ikatan ke samping dan bersifat kekeluargaan,

berbeda dengan ikatan antara tuan dan pengikutnya, dalam keluarga tidak ada

struktur hubungan tuan dan pengikut yang terpencar- pencar. Sesama anggota ie

memiliki kaitan, maka ikatan vertikal dan horizontal sangat diperlukan

sehubungan dengan meluasnya keluarga karena perkawinan.

Konsep kesetiaan yang memiliki latar belakang yang berbeda ini secara

garis besar dikarenakan sifat tata krama orang Jepang yang meliputi On, Giri,Chu,

dan Gimu :

On Yaitu : Suatu konsep kebaikan, seseorang yang berkedudukan lebih

terhormat harus memberikan bantuan kepada yang lebih rendah.

Giri yaitu : Suatu konsep balas budi dari anak buah yang telah menerima On

dari tuannya.

Chu yaitu : Konsep balas budi dari pengikut terhadap Tuannya, pada zaman Edo, Chu adalah balas budi terhadap tuan, balas budi terhadap Shogun, maka konsep Chu ini bertumpu di tangan Shogun.

Gimu yaitu : Konsep pembalasan kebaikan setulus hati. Bahwa kebaikan yang

telah diterima harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi.

Dari berbagai latar belakang proses tata krama orang Jepang ini kemudian

munculah keinginan dalam hati untuk berbuat yang terbaik untuk majikan, salah

(38)

memberikan pelayanan yang terbaik yaitu patuh dan setia. Konsep setia ini

kemudian membuat para samurai banyak yang mengambil jalan untuk

menunjukkan loyalitas mereka kepada tuannya dengan melakukan Junshi. Konsep

Junshi dan perilaku mengenai ini dapat digambarkan dalam Kisah 47 Ronin.

Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat sinopsis Kisah 47 Ronin tersebut

berdasarkan novel karya John Allyn.

2.3. Sinopsis Novel Kisah 47 Ronin Karya John Allyn

Oshi Kuranosuke Yoshitaka merupakan kepala klan Asano. Klan Asano

dipimpin oleh seorang Daimyo yang bernama Asano Takumi No Naganori. Dalam

sistem pemerintahan pada zaman Edo setiap Daimyo diwajibkan melakukan

Sankin Kotai yaitu peraturan yang mewajibkan setiap Daimyo untuk tinggal

selang setahun di Edo. Hal ini dilakukan oleh pihak Keshogunan agar ketika

terjadi peperangan atau ancaman para Daimyo sudah berada di Ibukota yaitu Edo.

Kejadian ini terjadi pada tanggal 14 Maret 1701, pada hari itu akan

dilaksanakan upacara Istana di Kediaman Shogun atau lebih tepatnya di ruangan

Matsu No Ourouka atau tempat berkumpulnya para Daimyo, upacara ini

dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan antara Kaisar dengan

Shogun yang telah mempersatukan wilayah tersebut dengan kekuatan militer yang

dihadiri oleh para Daimyo dari berbagai daerah serta satu orang Daimyo Shimpan

yang masih tergolong keluarga Keshogunan. Daimyo Shimpan ini adalah Kira

Kozuke No Suke Yoshihisa yang juga bertindak sekaligus sebagai pemimpin

upacara Istana. Berdasarkan status kekuasaan wilayah, Kira tidak memiliki

(39)

namun karena beliau pernah diutus ke Kyoto untuk mengikuti tata upacara di

Istana maka telah memberikan gengsi tersendiri untuk dirinya yang berbeda dari

Daimyo yang lain dan Kaisar telah memberikan kepercayaan tersendiri bagi Kira

untuk melatih para Daimyo yang lain mengenai tata cara upacara di Istana.

Kepercayaan Kaisar inilah yang kemudian disalah gunakan oleh Kira untuk

mendapatkan suap dari Daimyo yang lain yang ingin belajar dengannya. Perilaku

Kira yang salah ini diketahui oleh Asano. Asano menganggap sikap Kira tersebut

bukanlah ciri dari seorang Samurai yang baik. Karena sikap Asano yang dianggap

kurang bersahabat dengan tidak mau memberikan upeti kepada Kira inilah yang

kemudian menjadi sebuah perang dingin tersendiri antara Kira dan Asano. Sikap

Kira yang suka korupsi, sombong dan menganggap diri penting ini sangat jauh

dari nilai samurai bagi Asano.

Pagi itu dalam perjalanan menuju Kediaman Shogun, para rombongan

Asano bertemu dengan sekumpulan orang – orang yang sedang memandu seekor

anjing yang mati. Dalam pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi seluruh binatang

diperlakukan seperti layaknya seorang manusia terlebih pada seekot anjing. Ini

dikarenakan Shogun pada saat itu lahir pada tahun anjing, dan keinginannya untuk

mempunyai anak membuat Tokugawa melarang untuk membunuh semua

binatang, ini berdasarkan keyakinan nya apabila ia membunuh seekor binatang

maka ia tidak akan mempunyai anak.

Pemandangan ini mempunyai arti sendiri bagi Asano, bukan awal hari

yang menyenangkan, pikirnya dalam hati. Sesampainya di Kediaman Shogun para

Daimyo dari berbagai wilayah telah berkumpul. Diantaranya yaitu Lord Date

(40)

ruangan tersebut juga terdapat Kira yang memandang Asano dan memperhatikan

apakah ada perubahan pada sikap kedaerahan Asano. Kira berpikir pasti ada jalan

untuk mengubah sikap Asano tersebut.

Sebelum upacara dimulai, datang seorang pendamping Ibunda Shogun

yaitu Kajikawa. Kajikawa menghampiri Asano dan menanyakan apakah ada

perubahan acara dalam upacara ini. Kira yang pada saat itu melihat percakapan itu

langsung menjawab, " jangan membuang waktu dengan bertanya pada orang tolol

itu ". " Jika pertanyaannya soal upacara tanyakan padaku atau Lord Date atau

salah satu pelayan, mereka lebih tahu dibanding Asano! ".

Ucapan itu membuat Asano merasa kesal dan marah pada Kira. Kira lalu

menghampiri Asano dan berkata " Jika uang memang sangat berarti bagimu, ada

cara lain untuk memuaskan ku. Aku dengar isterimu cantik... ".

Kajikawa yang menjadi saksi pada saat itu kurang yakin dengan apa yang

didengarnya. Asano juga hampir tak percaya dengan pendengarannya. Asano

yang sudah marah dan kesal akhirnya kesabarannya memuncak langsung melukai

bahu Kira dengan Wakizashi ( pedang ). Sikap Asano yang telah mengeluarkan

pedang di Kediaman Kaisar merupakan kesalahan besar apalagi telah melukai

Kira yang sama sekali tak melakukan pemberontakan.

Perbuatan Asano ini membuat Tokugawa sangat marah, dan sebagai

hukumannya beliau memerintahkan Asano untuk melakukan Seppuku. Asano

masih merasa beruntung Kaisar masih memberikannya kesempatan untuk mati

secara terhormat. Keputusan seppuku ini juga yang menjadi bukti bagi para

pengikut Asano bahwa majikan mereka melakukan kesalahan untuk menjaga

(41)

Kematian Asano dan penarikan wilayah kekuasaan, membuat para pegikut

Asano berang dan berniat melakukan Adauchi sebagai wujud balas dendam

mereka atas majikannya yang meninggal.

Balas dendam para mantan samurai ini dipimpin oleh Oishi sebagai kepala

para samurai dan berhasil membunuh Kira dan memenggal kepala musuh

majikannya tersebut dan kemudian meletakkannya di makam Asano sebagai bakti

mereka yang telah membalaskan dendam majikannya.

Akhir dari peristiwa ini, para mantan samurai tersebut melakukan Junshi

sebagai wujud kesetiaan tanpa batas mereka kepada Tuannya. Ke – 47 mantan

samurai ini dimakamkan berhadapan dengan makam Tuan mereka. Perilaku

Junshi inilah sebagai bukti kesetiaan yang melebihi batas antara hidup dan mati

para samurai. Dalam bab berikutnya penulis akan mencoba menganalisa perilaku

Junshi tersebut berdasarkan para tokoh cerita yang diwakilkan oleh tokoh Oishi,

(42)

BAB III

ANALISIS KESETIAAN 47 RONIN

3.1. Bushido

Bushido merupakan salah satu ajaran yang terdapat pada agama Budha

Zen. Pada abad ke 13, ajaran ini berasal dari Cina yang dibawa oleh Pendeta Esai

(1141-1251), dan Pendeta Dogen (1200-1253). Dalam ajaran ini terdapat 4 aliran

yaitu Zen, Jodo, Shinzu, dan Nichiren (Hokke). Ajaran yang banyak diterapkan

pada kaum samurai ini, menganut suatu keyakinan apabila seseorang mati maka

setelah kematiannya ia akan bereinkarnasi dan bisa hidup kembali dikehidupan

yang lain. Maka untuk bisa menjadi seorang samurai harus tidak takut terhadap

kematian karena ajaran Bushido yang diterapkan lebih banyak berkaitan dengan

kematian.

Clearly dalam Gusti Wulandari (2006 : 22) mengatakan pada dasarnya

ajaran Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan

penghayatan kekosongan. Dalam meditasi ini, seorang samurai diharapkan untuk

dapat berkonsentrasi dan mengenali diri sendiri serta tidak membatasi diri sendiri.

Tujuan dari meditasi ini agar para samurai nantinya dapat mengendalikan rasa

takut, rasa tidak tenang dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan para

samurai tersebut terbunuh dalam pertempuran.

Bushido juga merupakan kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak

terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama budha yaitu Zen dan

(43)

"Kekuasaan yang absolut". Kesemua ini dicapai melalui meditasi (Sayidiman

1982:48).

Bila dilihat dari huruf kanjinya yaitu 武士 Bushi dan道do, memiliki arti jalan pendekar atau kode etik pengabdian anak buah terhadap tuan dalam bentuk

kesetiaan yang mutlak sehingga anak buah bersedia mati demi tuan. Pengabdian

kesetiaan ini tanpa memikirkan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau

irrasional yang terpenting hanya mengabdikan diri terhadap tuan.

Bagi seorang samurai kehormatan terbesar dalam hidup mereka adalah

kemampuan serta konsekuensi dalam melakukan ajaran Bushido itu sendiri.

Pelayanan diri sendiri, keadilan, rasa malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah

hati, kesederhanaan, semangat bertarung, kehormatan, kasih sayang serta

kesetiaan merupakan kunci utama dalam bushido. Seorang samurai sendiri

penghargaan terbesar dalam hidupnya apabila ia mampu menjalankan kesemua

hal di atas tanpa mengharap balasan. Bushido juga merupakan perpaduan antara

Konfusionisme dengan etika feodal Jepang dan kebiasaaan masyarakat umum

selama masa pemerintahan Edo yang tidak hanya meliputi semangat dalam

berperang dan kemampuan dalam menggunakan pedang tapi juga meliputi

keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan,

pengendalian diri dan kesetiaan kepada satu majikan (Keys To The Japanese

Heart and Soul, 1996 : 51).

Bushido secara harfiah memiliki makna pedoman kaum kesatria. Bushido

yang terdiri dari penggalan kata Bushi yang berarti kesatria dan do yang berarti

jalan memiliki defenisi harfiah yaitu jalan yang harus dipatuhi samurai, dalam

(44)

merupakan peraturan yang berlaku bagi kaum samurai. Sesuai dengan kutipan

Nitobe dalam Usihension (2004 : 33) :

武士道は文学通り武士あるいは騎士の道であり武士がその職分を尽くす時でも、日常

生活でも、日常生活言行いあいても守らなければならない道であって言いかれば武士

の掟であり、武士の階級の漆に伴う。

”Bushido dalam kesusastraan adalah jalan kesatria, kesatria bertugas untuk melayani setiap saat. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalani keseharian pun harus menjaga perkataan atau perbuatan sesuai dengan jalan kesatria. Seorang kesatria harus setia seperti pernis cat”

Bushido semula berawal dari kebutuhan – kebutuhan praktis para samurai,

tetapi setelah masuknya ajaran Konfusionisme, Bushido menjadi suatu landasan

nasional bukan hanya sekedar moralitas kaum prajurit. (Bellah, 1992 : 90). Ajaran

Bushido yang benyak menekankan kesetiaan mutlak pada tuan, mengandung arti

bukan hanya kepatuhan pasif tapi juga kepatuhan aktif dengan mewujudkannya

melalui sifat-sifat seorang kesatria. Rangkuman sifat tersebut yaitu kesetiaan,

yang menjadi tanggung jawab terbesar bagi samurai, bahkan, bila perlu harus mati

untuk menunjukkan kesetiaan seorang samurai.

Pengabdian serta kesetiaan para Samurai kepada majikan, dalam hal ini

dapat berupa Kaisar, Daimyo, atau tuannya, sangat luar biasa. Mereka hidup

dengan memberikan pelayanan tanpa mengharapkan kekayaan atau benda-benda.

Kejujuran dan kepercayaan sangat dijunjung tinggi sehingga mereka dapat

mencapai kehormatan yang merupakan penghargaan tertinggi.

Janji untuk mengabdikan diri bagi tuannya menurut Tsunetomo dalam

Situmorang (1995 : 24-25) adalah pengertian dari Bushido itu sendiri, janji anak

(45)

1. Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah

dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.

2. Menjadi anak buah yang betul – betul dapat diandalkan, yaitu betul-betul

melaksanakan sumpah setia kepada tuan.

Tsunetomo lebih lanjut mengatakan, anak buah tidak akan memperdulikan apapun

selain janjinya kepada tuannya. Janji mengabdikan diri bagi tuannya ini tidak

memperdulikan nasehat Saka, Koshi, dan Amaterasu Omikami, walaupun akan

jatuh ke neraka, dan mendapat hukuman dari Dewa, tidak ada pilihan lain bagi

seorang samurai yaitu hanya untuk mengabdi bagi Tuannya.

Lebih lanjut dalam ajaran Shinto, Bushido dibekali dengan ajaran

kesetiaan dan patriotisme. Kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada

yang berkuasa, sehinggga dapat menetralkan kemungkinan sifat sombong seorang

militer, (Sayidiman 1982 : 49 ). Kepercayaan Shinto lebih mengutamakan

kesetiaan dan kecintaan kepada negara dan Tenno (Kaisar). Dalam ajaran Shinto,

seorang Kaisar memiliki status yang setara Dewa sementara samurai bertugas

untuk mengabdikan dirinya kepada Kaisar dan Daimyo (tuan tanah).

Pengabdian yang melebihi batas antara hidup dan mati, dan irrasional ini,

dapat ditunjukkan pada cerita legendaris, pada zaman Edo yang sangat dikenal

masyarakat Jepang, Kisah 47 Ronin, yang menceritakan semangat, keberanian

serta pengabdian kesetiaan yang tulus dapat digambarkan melalui para

tokoh-tokoh dalam cerita ini. Dalam sub bab berikutnya penulis akan mencoba

menganalisa perilaku kesetian para mantan Samurai melaui tokoh Shogun selaku

(46)

kemudian akan berakhir dengan Junshi yang dilakukan ke 47 Ronin sebagai

pembuktian kesetiaan mereka pada atasan.

3.2. Kesetiaan Terhadap Shogun

Kisah 47 Ronin terjadi pada masa pemerintahan Tokugawa Tsunayoshi

yaitu antara tahun 1608-1709. Tokugawa Tsunayoshi merupakan Shogun ke 5 dari

Dinasti Keluarga Tokugawa di Jepang. Tokugawa dilahirkan pada tanggal 23

February 1646 di Edo. Dia adalah anak dari Tokugawa Iemitsu.

Tokugawa Tsunayoshi merupakan Shogun yang memberi banyak

perhatian dalam hal religi. Hal ini dapat terlihat ketika dalam masa

pemerintahannya, Tokugawa memasukkan ajaran Zhu Xi yang notebene

merupakan bagian dari Neo-Konfusionisme (http://id.Wikipedia.org). Ajaran ini

memberi makna tersendiri bagi Tsunayoshi untuk menjalankan kehidupan serta

pemerintahannya berdasarkan peraturan dari dirinya. Salah satunya yaitu adanya

peraturan mengenai perlakuan terhadap binatang khususnya anjing. Anjing adalah

binatang yang paling dilindungi pada masa pemerintahannya, hal ini berdasarkan

keyakinannya yang lahir pada tahun anjing. Apabila ia melindungi binatang

tersebut, maka ia akan mendapat segala kemudahan, keyakinannya ini juga dipacu

dengan keinginannya untuk mempunyai anak. Atas dasar itulah, anjing mendapat

prioritas yang berbeda, serta perlakuan selayaknya manusia. Karena perlakuannya

yang begitu khusus pada anjing, membuat Tsunayoshi mempunyai julukan sendiri

yaitu Inu Kubo, Inu berarti anjing sedangkan Kubo adalah panggilan resmi untuk

(47)

pada usia 62 tahun. Ketegasan serta kedisplinannya terhadap peraturan memberi

dampak tersendiri bagi anak buahnya.

Pengabdian anak buah dalam menjalani peraturan tersebut dapat terlihat

pada bab 1 hal 10, pada saat sistem pertanian mengalami kerugian akibat Undang

– Undang Pelestarian Hidup yang diberlakukan Shogun, berikut merupakan

percakapan antara Oishi dan Putri Asano :

Cuplikan 1 :

Putri Asano : ”Paman, mengapa pertanian ini tidak dirawat ? Apakah sebaiknya

Paman laporkan pada Ayah karena para petani tidak melakukan tugas

sebagaimana mestinya ?”.

Oishi tertawa perlahan. Belum sempat dia menjawab, gadis cilik itu melanjutkan,

Putri Asano : ” Mungkin sebaiknya kita jangan menyalahkan para petani

sebelum mendengar penjelasan mereka. Tapi apa alasan mereka

menelantarkan ladang seperti itu ? ”.

Oishi : ” Mereka terpaksa, gadis kecil, berdasarkan Undang – Undang

Pelestarian Hidup, mereka dilarang membunuh bintang yang merusak

ladang.”

Putri Asano : ” Kenapa ada larangan membunuh binatang, terutama yang benar

– benar mengganggu ?”

Oishi : ” Karena Shogun sudah melarang membunuh binatang. Dan

karena kami setia pada Ayahmu sehingga kami tak berpikir untuk

mempermalukan beliau dengan melanggar perintah pemimpin-nya, yaitu

Referensi

Dokumen terkait

Perjalanan hidup Ikal juga mengajari Ikal menjadi sosok orang yang selalu peduli terhadap orang lain. Sebab ia menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidak semua bersifat baik dan

Dengan berlandaskan teori Hurlock (2012) tersebut maka dampak dari perceraian yang terjadi pada anak yang tergambar dari novel The Last Song ini meliputi

Dengan teori psikologi neurosis akan dijelaskan fenomena psikis yang dialami tokoh John Wade, yang berakar dari masa lalu dan muncul pada masa depanB. Dengan demikian

Fase ini menunjukkan ketika Jayanegara masih kecil dan masih banyak kebutuhan yang terpenuhi atas dirinya. Pada tahap ini Jayanegara merasa menyatu dengan sosok

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Deskriptif berarti memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan

Berdasarkan judul penelitian ini, masalah penelitian dibatasi pada perilaku ‟‟lesbian” yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Nayla karya Djenar Maesa. Ayu. 1

Perjalanan hidup Ikal juga mengajari Ikal menjadi sosok orang yang selalu peduli terhadap orang lain. Sebab ia menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidak semua bersifat baik dan

mengajari Ikal menjadi sosok orang yang selalu peduli terhadap orang lain. Sebab ia menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidak semua bersifat baik dan juga bersifat jahat. Hal