HASIL PENELITIAN TUGAS AKHIR
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTES KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN ANTARA KEPARAHAN FRAKTUR MANDIBULA DAN KEPARAHAN CEDERA KEPALA
OLEH:
ANDI FALATEHAN PEMBIMBING:
Dr. EDDY SUTRISNO H., SpBP
SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK DAN REKONSTRUKSI DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRACT
Background. There were studies about mandible fractures indicated that mandible fractures have certain correlations with head injuries. One of them said that among patients with facial bones fractures, patients with mandible fractures could suffer more severe head injury. Other study mentioned that the more severe ones mandible fractures the less likely one had loss of consciousness.
Method. The study was held at two teaching hospitals of FK-USU Medan during a periode of six months. Patients admitted to emergency units of those hospitals with broken jaws were evaluate according ATLS procedures. In secondary survey the broken jaws were evaluated thoroughly, including the x-ray examinations wether the patients had one, two or more than two lines of fractures of the mandible. Simultaneously the severity of the head injury were being evaluated wether the patients had mild, moderate or severe head injury based on Glasgow Coma Scale. The datas will be analyzed descriptively and statistically with SPSS 15.0 programs.
Results. There were only 16 patients included in the study, 13 males and 3 females. Their age were ranged between 12 to 65 years old. The cause of the injuries were all traffic accident. Eleven patients with 1 line fracture, 2 with 2 lines frctures and 3 with more than two lines of fractures. The angle of mandible was the most frequently involved within 6 cases, parasimphises involved in 5 cases, alveolars in 4 cases, body in 3 cases and simphises in 2 cases. Fifteen patients with mild head injuries, only 1 with moderate head injury and none with severe head injury. Eight with loss of consciousness and 8 without.
Discussion. Since there were not enough samples to be analyzed statistically, the report was only descriptively. Alike previous study of Ajmal (2007) most cause of broken jaw was traffic accident. Six over 16 patients had lines of fractures involving mandible angle, as King and Bewes (2002) mentioned in their book. There was tendency of lost consciousness mare frequent among patients with less lines of fractures on their broken jaws, just like Hung (2005) mentioned in her study. The correlations between the severity of mandible fractures and head injuries cannot be analyzed in this study.
Summary. Caused by lack of samples, this study can not tell if there was any correlations between the severity of mandible fractures and the severity of head injuries.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wajah secara topografis merupakan bagian tubuh yang tidak terlindungi dan mudah terpapar trauma, sehingga cedera wajah merupakan merupakan cedera yang sangat sering dijumpai. Fraktur tulang wajah paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dan perkelahian, sehingga umumnya merupakan kasus multiple trauma. Meskipun fraktur tulang wajah sendiri jarang membutuhkan tindakan bedah segera, namun cedera yang menyertai sering merupakan kasus bedah emergensi.(Schwartz, 2003)
Trauma maxillofacial merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Hal ini berhubungan dengan tingginya insidensi fraktur tulang wajah dengan berbagai kombinasi, dengan fraktur mandibula sabagai salah satu yang paling sering didapati. Kecelakaan lalulintas dilaporkan sebagai penyebab tersering dari fraktur mandibula di negara-negera berkembang, sedangkan di negara-negara maju penyebab terseringnya adalah perkelahian (Ajmal, 2007).
Rai (2006) menyebutkan tulang wajah yang paling sering mengalami fraktur adalah mandibula (61%), diikuti zygoma (27%) dan tulang hidung (19,5%).
Penelitian oleh Fawzy dan Sudjatmiko (2007) di RSCM Jakarta menemukan rata-rata 14,3 kasus fraktur tulang muka setiap bulannya, 31,4% diantaranya disertai cedera otak serius. Penelitian tersebut menemukan fraktur mandibula sebagai yang tersering (31,30%), diikuti oleh fraktur maksila (23,48%). Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya fraktur tulang muka 1/3 tengah mengurangi resiko terjadinya cedera otak traumatika yang lebih berat, sementara fraktur mandibula menambah resiko terjadinya cedera otak yang lebih berat, dimana keparahan cedera otak dinilai berdasarkan SKG.
Berdasarkan SKG cedera otak dibagi atas : 1. cedara otak ringan SKG 14 – 15 2. cedera otak sedang SKG 9 – 13 3. cedera otak berat SKG < 9
Di Medan belum pernah dilaporkan bagaimana hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan berat ringannya cedera otak yang menyertai.
1.2. Perumusan Masalah
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1. Tujuan Penelitian
Untuk menentukan bagaimana hubungan antara keparahan fraktur mandibula dengan berat ringannya cedera kepala pada kasus- kasus trauma.
2.2. Manfaat Penelitian
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Mandibula memiliki struktur anatomis seperti balok melintang dengan dua pennyangga yang terhubung dengan dasar tengkorak melalui sendi temporo mandibular. Hubungan ini membentuk struktur seperti cincin yang rentan terhadap pola fraktur tertentu. Otot-otot masseter, pterygoid medial, pterygoid lateral dan temporalis merupakan otot-otot mastikasi yang memproduksi gerakan sekaligus penahan mandibula. Arah tarikan dari otot-otot ini menentukan stabilitas dari pola fraktur mandibula tertentu, sehingga fraktur mandibula dapat dibedakan sebagai yang favourable dan unfavourable (Peltier, 2004).
Fraktur mandibula paling sering dialami oleh laki-laki dewasa. Fraktur dapat single atau multiple. Fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya gigi yang tanggal pada daerah fraktur. Fraktur klas I jika gigi masih ada pada kedua sisi garis fraktur, klas II jika ada gigi yang tanggal pada salah satu sisi garis fraktur dan klas III jika gigi tanggal pada kedua sisi garis fraktur. (Stierman , 2000).
Fraktur mandibula dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bagian tulang yang paling lemah dan tempat fraktur yang paling sering adalah : (1) kolum kondilus, (2) angulus mandibula dan (3) regio premolar. Fraktur pada angulus dan corpus mandibula adalah fraktur terbuka, tapi tidak pada fraktur rami, kondilus atau prosesus koronoideus. Seringkali pasien fraktur mandibula disertai dengan cedera yang lain, dan kombinasi pada cedera rahang dan kepala sangat umum terjadi. (King dan Bewes, 2002)
Secara keseluruhan, keparahan fraktur mandibula dapat berupa ada atau tidaknya displacement ( favourable atau unfavourable), letak garis fraktur (simfisis, angulus, ramus dll),
ada atau tidaknya avulsi gigi di daerah fraktur (klas I, klas II atau klas III), unilateral/bilateral atau jumlah garis fraktur (single atau multiple).
Diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap tulang wajah pada pasien dengan fraktur mandibula, karena sering terdapat cedera yang multiple. Secara khusus pemeriksaan terhadap adanya fraktur mandibula adalah :
• Uji stabilitas gigi dan inspeksi terhadap adanya perdarahan pada gusi, sebagai symptom
adanya fraktur alveolar.
• Memeriksa ada tidaknya maloklusi dan step-off
• .Melakukan palapasi terhadap mandibula untuk mencari adanya rasa sakit, bengkak dan
• Memeriksa adanya edema yang terlokalisir atau ekimosis pada dasar mulut.
• Jika ada gigi yang hilang, pastikan bahwa gigi tersebut tidak teraspirasi.
• Lakukan inspeksi di anterior lubang telinga, apakah terlihat ekimosis dan lakukan
palpasi untuk menentukan adanya rasa sakit. Area ini adalah kondilus mandibula yang sering tak terlihat pada pemeriksaan radiologis.
• Fraktur mandibula dianggap terjadi jika pada pasien ditemukan adanya kesulitan
membuka mulut, trismus, maloklusi gigi, atau teraba step-off pada simfisis, angulus atau korpus mandibula. Perdarahan gusi didasar
gigi juga menunjukkan adanya fraktur mandibula, terutama jika terjadi malalignment gigi. Edema atau ekimosis dapat ditemukan pada dasar mulut. Defisit neurologis dapat ditemukan berupa hipestesia di alveolar inferior dan mentum.
Pemeriksaan Radiologis :
• Yang terbaik adalah foto panorama view / Panorex. Namun jika foto ini tidak dapat
dilakukan, lakukan foto rutin mandibula.
• Foto rutin mandibula mencakup proyeksi AP dan lateral oblique bilateral untuk melihat
angulus dan korpus mandibula.
• Foto submental juga dapat membantu memastikan kondisi simfisis mandibula.(Widell,
• Dalam kondisi yang amat terbatas schedell photo proyeksi AP dan Lateral saja sudah
cukup memadai.
Lebih dari 80% penderita cedera yang datang ke ruang emergensi selalu disertai dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalulintas berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, korban kekerasan dan lain-lain. Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada pada kepala, mulai dari bagian terluar (scalp) hingga bagian terdalam (intracranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi.(Japardi, 2005)
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.
• Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari
kekuatan mekanik
yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan dapat bersifat fokal ataupun difus.
• Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala segera setelah resusitasi meliputi
1. Tingkat kesadaran
2. Pupil dan pergerakan bola mata.
3. Reaksi motorik terhadap rangsang dari luar 4. Reaksi motorik terbaik
5. Pola pernapasan .
Tingkat kesadaran dinilai dengan Skala Koma Glasgow (SKG), yang terdiri dari 3 komponen, yaitu : respon mata, respon motorik dan respon verbal.
Nilai tertinggi dari pemeriksaan SKG adalah 15 dan terendah adalah 3. Berdasarkan nilai SKG, cedera kepala dapat dibagi atas:
1. Cedera kepala ringan (mild head injury) G 14 – 15 2. Cedera kepala sedang(moderate head injury) SKG 9 – 13
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Cross Sectional
2. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Rumah Sakit-Rumah Sakit . Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
3. Objek Penelitian
- Sampel Seluruh pasien yang masuk ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Pendidikan FK – USU dengan fraktur mandibula akibat trauma, dengan atau tanpa tanda-tanda cedera kepala ringan, sedang atau berat, atau cedera lainnya.
- kriteria inklusi 1. Seluruh pasien dengan fraktur mandibula 2. Penderita bersedia menjalani pemeriksaan
fisik terhadap cedera yang diderita pada kepala dan mandibulanya.
- kriteria eksklusi Penderita yang tidak bersedia menjalani pemeriksaan fisik dan radiologis terhadap cederanya.
4. Waktu Penelitian Dilakukan 6 bulan (Maret s/d September 2008).
5. Pelaksanaan Penelitian Penderita yang datang ke Unit Gawat Darurat akibat trauma menjalani prosedur penanganan sesuai prinsip ATLS.
Pada secondary survey dilakukan pemeriksaan fisik yang lebih teliti terhadap cedera pada kepala dan wajahnya, termasuk pameriksaan terhadap mandibula serta menghitung ulang SKG.
Apabila secara klinis ditemukan fraktur mandibula, dilakukan pemeriksaan radiologis Schedell Photo AP dan Lateral.
Dengan hasil X-Ray mandibula ditentukan keparahan fraktur mandibula yang diderita :
• Ringan ditemukan 1 garis fraktur
• Sedang ditemukan 2 garis fraktur
Dengan SKG ditentukan keparahan cedera kepala yang diderita :
• Ringan SKG 14 – 15
• Sedang SKG 9 – 13
• Berat SKG < 9
6, Pengolahan Data Data yang diperoleh akan ditabulasi dan diuji kemaknaannya dengan chi-square tests dengan menggunakan program SPSS 15.0.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini didapatkan 16 orang pasien dengan fraktur mandibula akibat trauma yang masuk ke rumah sakit – rumah sakit tempat pendidikan FK – USU. Data mengenai pasien-pasien tersebut terangkum dalam Table 1.
Table 1. Distribusi subjek penelitian.
No umur j.kel MOI pgsn SKG Grs fx Lokasi fx
Dari data tersebut didapatkan subjek penelitian dengan usia dalam kisaran 12 – 65 tahun, dengan usia rata-rata 33,4 tahun. Penyebab trauma seluruhnya berupa kecelakaan lalu-lintas. Pasien laki-laki berjumlah 13 orang dan perempuan 3 orang (Gambar 1).
Pada kelompok pasien laki-laki 10 dari 13 pasien mengalami fraktur mandibula dengan 1 garis fraktur, 1 pasien dengan 2 garis fraktur dan 3 pasien dengan lebih dari 2 garis fraktur. Sedangkan pada kelompok perempuan masing-masing 1 pasien mengalami fraktur mandibula dengan 1, 2 dan lebih dari 2 garis fraktur (Tabel 2; Gambar 6).
Tabel 2. Distribusi Jumlah Garis Fraktur Menurut Jenis Kelamin.
Jumlah garis fraktur
Jeniskelamin 1 grs fx 2 grs fx >2 grs fx Total
laki-laki 10 1 2 13
Perempuan 1 1 1 3
Total 11 2 3 16
Gambar 6. Distribusi Jumlah Garis Fraktur Menurut Jenis Kelamin
Pada kelompok perempuan masing-masing 2 pasien dengan garis fraktur yang melibatkan simfisis, parasimfisis dan angulus mandibula (Gambar 7).
Tabel 3. Distribusi Lokasi Fraktur Menurut Jenis Kelamin
Lokasi fraktur Jns
kelamin
Simf Parasimf Corpus angulus alveolar Total
Laki-laki 0 3 3 4 4 14
Perempuan 2 2 0 2 0 6
Total 2 5 3 6 4 20
Gambar 7. Distribusi lokasi fraktur menurut jenis kelamin
Tabel 4. Distribusi Jumlah Garis Fraktur Menurut Riwayat Pingsan
Jumlah garis fraktur Riwayat
pingsan 1 grs fx 2 grs fx >2 grs fx Total
(+) 7 1 0 8
( - ) 4 1 3 8
total 11 2 3 16
Gambar 8. Distribusi jumlah garis fraktur menurut riwayat pingsan
Tabel 5. Distribusi Riwayat Pingsan Menurut Lokasi Fraktur yang Terlibat
Lokasi fraktur Riwayat
pingsan Simf parasimf Corpus angulus alveolar Total
(+) 1 1 2 2 3 9
( - ) 1 4 1 4 1 11
Total 2 5 3 6 4 20
Gambar 9. Distribusi riwayat pingsan menurut lokasi fraktur yang terlibat
Pada pasien dengan lebih dari 2 garis fraktur, 1 diantaranya dengan garis fraktur yang melibatkan simfisis mandibula, 3 melibatkan parasimfisis dan 2 melibatkan angulus mandibula (Tabel 6 ; Gambar 10).
Tabel 6. Distribusi Lokasi Fraktur yang Terlibat Menurut Jumlah Garis Fraktur
Lokasi fraktur Jumlah
garis Fraktur
Simf parasimf Corpus angulus alveolar Total
1 0 0 3 4 4 11 2 1 2 0 0 0 3 >2 1 3 0 2 0 6
Total 2 5 3 6 4 20
5.2. Pembahasan
Pada penelitian ini, fraktur mandibula yang dialami pasien seluruhnya disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas. Data ini sesuai dengan hasil penelitian Ajmal (2007) yang menemukan kecelakaan lalu-lintas sebagai penyebab tersering fraktur mandibula di negara-negara berkembang, sedangkan di negara-negara maju penyebab terseringnya adalah perkelahian. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa fraktur mandibula lebih banyak dialami oleh laki-laki dibanding perempuan (Gambar 1), dengan asumsi bahwa aktifitas laki-laki di jalan raya lebih tinggi dibanding perempuan, meskipun belum ada data yang pasti untuk mendukung asumsi ini.
King dan Bewes (2002) menyatakan bahwa salah satu tempat terlemah dan yang paling sering mengalami fraktur pada mandibula adalah angulus mandibula, disamping colum condylus dan regio premolar. Pada penelitian ini dijumpai fraktur mandibula paling sering melibatkan daerah angulus mandibula, yaitu 6 dari 16 orang (Gambar 3).
Penelitian ini menemukan 15 dari 16 pasien fraktur mandibula mengalami cedera kepala ringan (SKG 14 – 15), 1 pasien mengalami cedera kepala sedang (SKG 9 – 13) dan tidak ditemukan yang mengalami cedera kepala berat (SKG < 9) (Gambar 4). Tidak seperti yang diuraikan pada penelitian Fawzy dan Sudjatmiko (2007) yang menyebutkan bahwa diantara pasien fraktur tulang wajah, fraktur mandibula menimbulkan resiko cedera kepala yang lebih berat. Namun pada penelitian ini hamper seluruhnya mengalami cedera kepala ringan.
Pada kelompok perempuan, masing-masing 1 pasien dengan 1 garis fraktur, 2 garis fraktur dan lebih dari 2 garis fraktur (Gambar 6). Pada kelompok laki-laki, 4 fraktur masing-masing melibatkan alveolar dan angulus mandibula, dan 3 fraktur masing-masing-masing-masing melibatkan parasimfisis dan corpus mandibula. Sedangkan pada kelompok perempuan 2 pasien fraktur masing-masing melibatkan simfisis, parasimfisis dan angulus mandibula (Gambar 7). Tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua kumpulan data tersebut diatas dan sejauh ini penulis belum menemukan data mengenai pola fraktur mandibula dikaitkan dengan jenis kelamin dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Distribusi jumlah garis fraktur pada kelompok pasien dengan dan tanpa riwayat pingsan menunjukkan bahwa pada kelompok yang tidak mengalami riwayat pingsan 4 dari 8 pasien dengan 1 garis fraktur, 1 pasien dengan 2 garis fraktur dan 2 pasien dengan lebih dari 2 garis fraktur. Sedangkan pada kelompok yang mengalami riwayat pingsan, 7 dari 8 pasien dengan 1 garis fraktur, 1 pasien dengan 2 garis fraktur dan tidak ada yang dengan lebih dari 2 garis fraktur (Gambar 8). Data ini menunjukkan adanya kecenderungan riwayat pingsan lebih banyak dialami oleh pasien dengan fraktur mandibula yang lebih ringan, sebaliknya pasien dengan fraktur mandibula yang lebih berat cenderung tidak mengalami riwayat pingsan.
3 garis fraktur. Hung mengasumsikan keadaan ini berkaitan dengan banyaknya energi trauma yang terserap pada mandibula dibanding dengan yang diteruskan ke otak, dimana semakin parah fraktur mandibula, semakin besar energi yang terserap pada mandibula dan semakin sedikit yang diteruskan ke otak,sehingga cedera otak yang ditimbulkan semakin ringan. Begitu pula sebaliknya.
Pada kelompok pasien dengan fraktur mandibula yang melibatkan daerah simfisis didapati 1 pasien dengan riwayat pingsan dan 1 tanpa riwayat pingsan. Pada kelompok pasien dengan fraktur mandibula yang melibatkan daerah parasimfisis: 1 dengan riwayat pingsan dan 4 tanpa riwayat pingsan dan pada kelompok pasien dengan fraktur mandibula yang melibatkan daerah angulus mandibula: 2 dengan riwayat pingsan dan 4 tanpa riwayat pingsan. Sebaliknya, pada kelompok pasien dengan fraktur mandibula yang melibatkan corpus mandibula dan alveolar: masing-masing 2 dan 3 dengan riwayat pingsan dan masing-masing 1 tanpa riwayat pingsan (Gambar 9). Keadaan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan fraktur di daerah parasimfisis dan angulus mandibula cenderung tidak mengalami pingsan, sedangkan pasien dengan fraktur di daerah alveolar dan corpus mandibula cenderung mengalami pingsan. Padahal menurut penelitian Widell (2005) fraktur pada angulus mandibula termasuk kategori fraktur high impact, namun ternyata pada penelitiian ini tidak ditemukan kaitannya dengan ada atau tidaknya riwayat pingsan.
Distribusi lokasi fraktur menurut jumlah garis fraktur yang diderita menemukan fraktur mandibula yang melibatkan simfisis hanya didapati pada pasien dengan dengan 2 garis fraktur dan lebih dari 2 garis fraktur, tapi tidak pada pasien dengan 1 garis fraktur. Begitu pula dengan fraktur mandibula yang melibatkan parasimfisis ditemukan pada pasien dengan 2 garis fraktur dan lebih 2 garis fraktur tapi tidak ditemukan pada pasien dengan 1 garis fraktur. Fraktur mandibula yang melibatkan angulus ditemukan pada pasien dengan 1 garis fraktur dan lebih dari 2 garis fraktur. Sedangkan fraktur yang melibatkan daerah corpus dan alveolar hanya ditemukan pada pasien dengan 1 garis fraktur (Gambar 10). Keadaan ini dapat dikaitkan dengan hasil penelitian Widell(2005) yang membagi fraktur di wajah berdasarkan kekuatan benturan yang dibutuhkan untuk menyebabkan fraktur, yaitu: fraktur High Impact (> 50 kali gaya gravitasi) dan Low Impact (< 50 kali gaya gravitasi). Menurut penelitian tersebut fraktur pada simfisis dan
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pada penelitian ini didapat 16 orang pasien fraktur mandibula dengan usia rata-rata 33,4 tahun, laki-laki > perempuan, seluruhnya dengan penyebab berupa kecelakaan lalu-lintas, pasien terbanyak dengan 1 garis fraktur, lokasi fraktur paling banyak melibatkan angulus mandibula, umumnya dengan cedera kepala ringan, dan yang memiliki riwayat pingsan sama banyak dibanding dengan yang tidak.
2. pada penelitian ini hanya ada data yang menunjukkan adanya kecenderungan riwayat pingsan lebih banyak dialami oleh pasien dengan fraktur mandibula yang lebih ringan, sebaliknya pasien dengan fraktur mandibula yang lebih berat cenderung tidak mengalami riwayat pingsan, serta data yang seolah-olah menunjukkan bahwa kelompok pasien dengan fraktur di daerah parasimfisis dan angulus mandibula cenderung tidak mengalami pingsan, sedangkan pasien dengan fraktur di daerah alveolar dan corpus mandibula cenderung mengalami pingsan.
6.2. Saran
Mengingat sedikitnya jumlah sampel karena terbatasnya waktu penelitian, perlu dilakukan penelitian berkelanjutan, dengan penelitian ini sebagai penelitian awal atau penelitian sejenis dengan indikator lain keparahan fraktur mandibula, seperti ada atau tidaknya gigi avulsi, displaced atau undisplaced, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan
DAFTAR PUSTAKA
Ajmal S, Khan A K, Jadoon H, Malik S A, Management Protocol of Mandibular Fractures at Pakistan Institute of Medical Sciences, Islamabad, Pakistan, Departement of Plastic Surgey, Pakistan Institute of Medical Sciences, 2007.
Fawzy A, Sudjatmiko G, Hubungan Antara Fraktur Tulang Muka dan Cedera Otak Traumatika, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Program Pendidikan Dokter Spesialis I Bidang Studi Ilmu Bedah Plastik, Jakarta, 2007.
Hung Y C, Fracture Jaw, Lose Consciousness and Suffer Less if You Don’t Black Out, Lincoln Medical and Mental Health, Bronx, New York, 2007.
Japardi I, Cedera Kepala, PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 31 – 33, 2004. King M, Bewes P, Bedah Primer Trauma, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 137 – 139, 2004. Moenadjat Y, Strategi Penatalaksanaan Trauma Muka, Proceeding of The 14th congress of
Indonesisn Surgeons, Bali, Indonesia, 2002.
Peltier J, Ryan M W, Qinn F B, Mandible Fractures, Grand Round Presentation, UTMB, Departement of Otolaryngology, 2004.
Sastrodiningrat A G, Pemahaman Indikator-indikator Dini Dalam Menentukan Prognosa Cedera Kepala Berat, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007. Schwartz S I, Principles of Surgery, 7th edition, McGraw Hill, 146 – 147 , 2003.
Stiermen K L, Balley B J, Mandible Fractures, Grand Round Presentation, UTMB, Department of Otolaryngology, 2000.
Sukasah C, Penatalaksanaan Trauma Muka, Kuliah Staf, Departemen Ilmu Bedah RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo, 2002.
Lampiran 1: foto klinis dan radiologis subjek penelitian.
1.
1
Raju/12 thn/LK Penyebab : KLL Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 15
Jlh grs Fx: 1 letak fx: Corpus Dextra
2.
Nurhayati/44 thn/PR Penyebab: KLL Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
3.
Apid/50 thn/LK Penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
Jlh grs fx: 1 letak fx: angulus dextra
4.
Sadiem/65 thn/PR Penyebab trauma: KLL Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 14
5.
Faisal/45 thn/ LK Penyebab trauma: KLL Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
Jlh grs fx : 2 Letak grs fx : bilateral Parasimfisis
6.
Reki/19 thn/LK Penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
7.
Irfan Rido/18 thn/LK penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 15
Jlh grs fx: 1 letak grs fx: alveolar
8.
Hariansyah/17 thn/LK penyebab: KLL Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 15
9.
Jailani /50 thn/LK peneyebab: KLL Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 12
Jlh grs fx: 1 Letak grs fx: angulus dextra
10.
Anwar /55 thn/LK penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 14
11.
Andika /26 thn/PR penyebab: KLL
Riwayat Pingsan: ( + ) SKG: 15
Jlh grs fx: 1 letak grs fx: corpus sinistra
12.
.
Boy Riza/17 thn/LK penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
13.
Agus Darwis/25 thn/LK penyebab: KLL Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 15
Jlh grs fx: 1 letak grs fx: angulus sinistra
14.
Saidah /22 thn/PR penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( + ) SKG: 15
15.
Dodi srg/23 thn/LK penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15
Jlh grs fx: 3 letak grs fx: bilateral parasimfisis kominutif
16.
M safii/47 thn/LK penyebab: KLL
Riwayat pingsan: ( - ) SKG: 15