• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cedera Kepala 2.1.1. Definisi - Hubungan Antara Cedera Kepala Ringan dan Kelainan Intrakranial Berdasarkan CT-Scan Kepala Pada Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cedera Kepala 2.1.1. Definisi - Hubungan Antara Cedera Kepala Ringan dan Kelainan Intrakranial Berdasarkan CT-Scan Kepala Pada Tahun 2013"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Kepala 2.1.1. Definisi

Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic

brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit

berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak,

ataupun otak sebagai akibat dari trauma. Perlukaan yang terjadi dapat

mengakibatkan terjadinyabenjolan kecil namun dapat juga berakibat serius

(Heller, 2013). Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi

otak ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal

yang dapat terjadi di mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama

berolahraga, ataupun di medan perang (Manley dan Mass, 2013). Head injury

merupakan istilah yang lebih luas dari traumatic brain injury.Tidak adanya

konsensus yang mengatur tentang definisi yang tepat menyebabkan terjadinya

tumpang tindih ini (Williams, 2004).

Cedera kepala disebut-sebut terjadi sebagai hasil dari interaksi antara

seorang individu dengan agen eksternal seperti kekuatan mekanis (Reilly dan

Bullock, 2005).Cedera kepala merupakan fenomena klinis yang kompleks dengan

klasifikasi, perjalanan penyakit (clear natural history), ataupun kriteria diagnostik

patologi anatomi yang kurang jelas (Raji, dkk, 2014). Menurut Dawodu (2013),

cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh suatu

proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari

luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan

fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi

(2)

2.1.2. Epidemiologi

Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.

Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor

yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah

(Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala

akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian

dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak

jelas pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di

negara-negara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya cedera

kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan di

negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).

Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per 100.000

orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu angka

yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan

Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and

Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika

Serikat adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan

Menon, 2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah

sekitar 235 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006).

Insidensi cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000

orang setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004,

terdapat sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di

Negara China Timur (Wu, dkk, 2008).

Di Indonesia, penelitian mengenai insidensi cedera kepala masih sangat

minim sehingga angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih belum dapat

ditentukan.Di RSUP Haji Adam Malik Medan tercatat sekitar 1.627 kasus cedera

kepala terjadi pada tahun 2010 (Indharty, 2012). Di RSUD dr. Pirngadi Medan

dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah kematian 92

(3)

Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang

berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun

(Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala

derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan

memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.

Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala

ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan

intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan

yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki

disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale

(GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera

kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).

Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah,

prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah

sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) <13 akhirnya akan meninggal.

Mortalitas pasien-pasien dengan GCS ≤ 8 setelah dilakukan resusitasi adalah

sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di rumah sakit dengan GCS ≤ 12, sekitar

8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6 jam pertama, dan 2% akan meninggal

dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka panjang pasien-pasien dengan cedera

kepala berat jauh lebih buruk disbanding dengan pasien dengan cedera kepala

ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat dapat pulih dengan

baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).

2.1.3. Etiologi

Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering

dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari

kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20

sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan

(4)

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :

1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung

maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).

2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang

meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi

sistemik (Sibuea, 2009).

2.1.4. Klasifikasi

Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai dari

klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi cedera

kepala berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga sistem

klasifikasi yang umum digunakan, yaitu :

1. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya, klasifikasi ini seringkali

digunakan untuk kepentingan penelitian klinis.

2. Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini

terutama digunakan untuk menentukan penanganan pasien cedera

kepala pada fase akut.

3. Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya cedera kepala,

klasifikasi ini paling sering digunakan untuk kepentingan pencegahan

(Saatman, dkk, 2008).

2.1.4.1. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan

Sampai saat ini, penelitian mengenai penanganan pasien-pasien dengan

cedera kepala dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat keparahan kerusakan

neurologis (neurologic injury severity criteria) pasien tersebut. Skala pengukuran

yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kerusakan

neurologis pada orang dewasa adalah GCS. Dasar dari pernyataan tersebut adalah,

GCS memiliki realibilitas inter-observer dan kapabilitas dalam menentukan

(5)

GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain digunakan

untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita cedera kepala, GCS

juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis secara kuantitatif serta dapat

digunakan secara umum untuk mendeskripsikan keparahan pasien-pasiencedera

kepala.Nilai GCS dapat diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan membuka

mata, motorik, dan verbal pasien. Masing-masing komponen pemeriksaan

memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan 5.Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat

dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (GCS 14 – 15), cedera kepala sedang

(GCS 9 – 13), dan cedera kepala berat (GCS 3 – 8) (Sibuea, 2009).

Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jannet, 1974)

Assesment Area Score

(6)

Verbal Response ( V )

2.1.4.2. Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic

Klasifikasi pathoanatomic menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis

yang mengalami abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk terapi yang

tepat sasaran. Kebanyakan pasien dengan trauma yang parah akan memiliki lebih

dari satu jenis perlukaan bila pasien diklasifikasikan menggunakan metode ini.

Penilaian dilakukan dimulai dari bagian luar kepala hingga ke dalam untuk

melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari laserasi dan kontusio kulit kepala,

fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan

subaraknoid, kontusio dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal, perdarahan

intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari akson. Masing-masing

dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih jauh lagi meliputi seberapa luas

kerusakan yang terjadi, lokasi, dan distribusinya (Saatman, dkk, 2008).

2.1.4.3. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala

menabrak secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading) ataupun

(7)

dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan

tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi

berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah

terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).

2.1.5. Patogenesis& Patofisiologi 2.1.5.1. Cedera Otak Primer

Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak

terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi

trauma (Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007). Cedera ini dapat

berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan

distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan

ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi

neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal,

multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak

dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio,

laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh

darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan

intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).

2.1.5.2. Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada

otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan

sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang

(Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty (2012), cedera otak sekunder merupakan

lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi

peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi,

neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.

Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder

(8)

jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial

yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor

ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan

istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,

hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta

hemostasis (Indharty, 2012).

2.1.5.3. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum

Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai

oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran

darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan

akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob.

Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan

pembentukan oedem. Sebagai akibat berlangsungnya metabolisme anaerob,

sel-sel otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan terjadinya

kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent (Werner

dan Engelhard, 2007).

Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang

diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang

berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya

N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta

kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-dependent(Werner dan Engelhard,

2007).

Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting

di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid

peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan

konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai

tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-like proteins), translocases, dan

(9)

dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan

mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler

dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel

terprogram (apoptosis)(Werner dan Engelhard, 2007).

2.2. Computed Tomography Scanning / CT-Scan Kepala

Computed tomography (CT) merupakan sebuah teknologi yang secara

ekstensif digunakan dalam bidang neuroradiologi yang mampu menghasilkan

gambaran cross-sectional suatu jaringan. Gambar yang dihasilkan CT merupakan

hasil dari radiasi ion-ion yang diperoleh dari penyerapan X-ray pada jaringan

spesifik yang diperiksa. CT menawarkan berbagai keperluan yang berguna untuk

memeriksa otak seseorang (Jordan, dkk, 2010). CT juga merupakan pemeriksaan

diagnostik yang cepat, tidak menyakitkan, noninvasif, dan akurat. Hasil dari CT

juga mampu mengurangi keperluan dilakukannya tindakan pembedahan

eksploratif maupun biopsi yang invasif (Fertikh, dkk, 2013).

2.2.1. Prinsip Dasar Kerja CT-Scan

Prinsip dasar dari radiografi adalah bahwa sinar X diserap berbagai jenis

jaringan dengan berbagai derajat yang berbeda. Penyerapan sinar X terbanyak

adalah oleh tulang. Alasannya, tulang merupakan jaringan padat yang

menyebabkan perjalanan sinar X menuju film ataupun detektor yang berada pada

posisi bersebrangan dengan pemancar sinar menjadi terhambat. Sedangkan,

jaringan dengan densitas yang rendah seperti udara dan lemak hampir tidak

menyerap sinar X sedikitpun sehingga, sinar X dapat menuju film atau detektor

(Perron, 2008).

2.2.2. Indikasi CT-Scan Kepala

Secara umum terdapat dua indikasi untuk melakukan CT-scan otak,

yaitu(Jordan, dkk, 2010):

1. Indikasi primer

(10)

b. Ada dugaan perdarahan intrakranial akut

c. Evaluasi terhadap aneurisma

d. Deteksi ataupun evaluasi proses kalsifikasi

e. Evaluasi segera paska pembedahan untuk terapi tumor,

perdarahan intrakranial, ataupun lesi perdarahan.

f. Adanya dugaan malfungsi shunt

g. Perubahan status mental

h. Peningkatan tekanan intrakranial

i. Sakit kepala

j. Defisit neurologis akut

k. Dugaan infeksi intrakranial

l. Dugaan hidrosepalus

m. Lesi kongenital (seperti kraniosinostosis, makrosepali, dan

mikrosepali)

n. Evaluasi kelainan psikiatri

o. Herniasi otak

p. Dugaan adanya massa atau tumor

2. Indikasi sekunder

a. Bila magnetic resonance imaging (MRI) tidak tersedia atau di

kontraindikasikan bagi penderita

b. Diplopia

c. Disfungsi saraf kranialis

d. Kejang

e. Apnea

f. Sinkop

g. Ataksia

h. Dugaan penyakit neurodegeneratif

i. Pertumbuhan yang terlambat

j. Disfungsi neuroendokrin

(11)

l. Toksisitas obat

m. Displasia kortikal ataupun kelainan morfologi otak lainnya

Selain dari berbagai kriteria tersebut, terdapat Canadian CT Head Rule

yang menyebutkan bahwa pasien-pasien dengan cedera kepala ringan harus

dilakukan pemeriksaan CT kepala bila terdapat beberapa indikasi berikut (Stiell,

dkk, 2001):

1. Risiko tinggi

a. Skor GCS < 15 setelah 2 jam paska trauma

b. Dicurigai adanya fraktur tengkorak terbuka ataupun depressed

c. Adanya tanda fraktur basis kranii (hemotimpani, “racoon”

eyes, cairan serebrospinal yang keluar dari telinga ataupun

hidung, battle’s sign)

d. Muntah ≥ 2 kali

e. Usia ≥ 65 tahun

2. Risiko menengah

a. Amnesia before impact > 30 mins

b. Mekanisme trauma yang berbahaya (pejalan kaki yang ditabrak

oleh kendaraan bermotor, penumpang yang terlempar dari

kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau

5 tangga)

2.2.3. Berbagai Kelainan Intrakranial pada CT-Scan Kepala 2.2.3.1. Fraktur Tengkorak

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tulang memiliki densitas tertinggi

pada CT Scan (+1000HU). Atas alasan inilah, berbagai fraktur pada tengkorak

baik comminuted fracture maupun depressed fracture dapat diidentifikasi dengan

mudah pada CT Scan. Walaupun demikian, terdapat beberapa jenis fraktur yang

(12)

fraktur basis kranii. Selain itu, dalam mendiagnosa fraktur tengkorak seringkali

dibingungkan oleh kehadiran sutura pada tengkorak (Perron, 2008).

Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture; B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii

Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)

Fraktur dapat terjadi pada berbagai tempat di tengkorak. Adanya fraktur

tengkorak meningkatkan kecurigaan telah terjadinya kelainan pada intrakranial.

Bila pada CT Scan dijumpai adanya udara pada intrakranial, hal ini

mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada tulang tengkorak dan selaput

duramater. Fraktur basis kranii paling sering dijumpai pada petrous ridge (bagian

padat yang berbentuk piramid yang berada pada tulang temporal). Akibat dari

densitas tulang ini, garis fraktur akan sulit untuk diidentifikasi pada area ini.

Selain berusaha mencari garis fraktur untuk menegakkan terjadinya fraktur basis

kranii ini, pada klinisi dapat pula memberi perhatian pada mastoid air cells yang

terdapat pada tulang ini. Adanya darah pada mastoid air cells menandakan bahwa

terjadinya fraktur basis kranii. Sama halnya dengan mastoid air cells, sinus-sinus

seperti maksilaris, etmoidalis, dan sphenoid harus terlihat pada CT Scan dan berisi

udara. Apabila dijumpai cairan pada salah satu dari sinus ini, dapat dicurigai

(13)

Gambar 2.2. Gambaran CT Scan kepala yang menunjukkan adanya udara pada intrakranial

Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)

2.2.3.2. Perdarahan Epidural

Karakteristik gambaran perdarahan epidural pada CT scan berupa lesi yang

bikonveks, fokal, dan berbatas halus. Perdarahan epidural tidak akan melewati

garis sutura yang disebabkan oleh intaknya lapisan duramater. Perdarahan

epidural secara primer (85%) berasal dari laserasi pembuluh arteri terutama arteri

meningeal media yang disebabkan oleh fraktur tengkorak. Pada sedikit kasus, asal

darah pada perdarahan epidural dapat berasal dari pembuluh vena otak.

Perdarahan epidural cenderung berakumulasi dengan cepat, inilah alasannya

mengapa perdarahan epidural termasuk kedalam kasus kegawatdaruratan medis

(14)

Gambar 2.3. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan

Sumber : Douglas K. McDonald, dkk dalam Imaging in Epidural Hematoma

(2013)

2.2.3.3. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural merupakan penumpukan darah di bawah lapisan

duramater tetapi masih diluar dari otak dan lapisan araknoid (Meagher, 2013).

Gambaran perdarahan subdural pada CT Scan menyerupai bentuk bulan sabit /

crescent. Selain itu, pada perdarahan subdural, darah dapat melewati garis sutura

(Perron, 2008). Perdarahan subdural memiliki angka morbiditas dan mortalitas

yang tinggi, sekalipun ditangani dengan baik. Umumnya perdarahan subdural

disebabkan oleh trauma, tetapi perdarahan ini dapat pula terjadi secara spontan

ataupun sebagai akibat dari suatu tindakan medis seperti pungsi lumbal Pemberian

(15)

risiko yang meningkatkan terjadinya perdarahan subdural (Engelhard III, dkk,

2014).

Gambar 2.4. Perdarahan subdural (biru) dengan pergeseran garis sutura (oranye)

Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)

2.2.3.4. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang

subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Gambaran hiperdens

darah pada CT Scan dapat terlihat dalam waktu beberapa menit setelah terjadi

perdarahan (Perron, 2008). Perdarahan subaraknoid paling sering disebabkan oleh

(16)

Gambar 2.5. Perdarahan subaraknoid : A. darah mengisi sisterna suprasellar; B. darah mengisi sisterna shylvii

Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)

2.2.3.5. Perdarahan Intraparenkim

Perdarahan intraparenkim adalah akumulasi darah di parenkim otak.

Perdarahan dengan diameter 5mm dapat dideteksi pada pemeriksaan CT Scan

kepala. Perdarahan intraparenkim dapat diikuti dengan terjadinya edema yang

akhirnya menyebabkan terkompresinya jaringan otak di sekitarnya. Parenkim otak

yang bergeser ini menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang

berpotensial menyebabkan sindrom herniasi yang fatal (Liebeskind, 2013 dan

Perron, 2008).

2.2.3.6. Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular dapat terjadi sebagai akibat dari trauma

langsung ataupun komplikasi dari perdarahan intraparenkim dan subaraknoid

yang disertai dengan ruptur ventrikel. Perdarahan intraventrikular dapat dikenali

dari gambarannya yang berupa white density pada rongga ventrikel yang

normalnya berwarna gelap. Komplikasi dari perdarahan intraventrikular dapat

(17)

Gambar 2.6. Perdarahan intraparenkim (oranye) disertai dengan perdarahan intraventrikular (biru)

Gambar

Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture;
Gambar 2.2. Gambaran CT Scan kepala yang menunjukkan adanya udara pada  intrakranial
Gambar 2.3. Perdarahan epidural yang terjadi pada lobus frontalis kanan
Gambar 2.4. Perdarahan subdural (biru) dengan pergeseran garis sutura (oranye) Sumber : Andrew D
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa didapatkan bahwa seluruh variabel yaitu: penerapan teknologi pekerjaan persiapan dan subgrade (X.1), penerapan teknologi pekerjaan subbase Kls B, dan

Hal ini dikarenakan lensa cembung yang dipakai untuk memfokuskan cahaya yang masuk pada rangkaian dioda menimbulkan intensitas cahaya lebih besar dari pada intensitas

SPA (saluran pernafasan akut ) sebenarnya merupakan self limited disease yang sembuh sendiri dalam 5 ± 6 hari jika tidak terjaidi infasi kuman lain,

Sub Komite Mutu Profesi adalah sub komite yang bertanggungjawab terhadap mutu dan peningkatan mutu pelayanan medis secara professional dan sesuai standar praktek klinik yang

Dan Nancy Veronica S (2010) menyatakan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kualitas layanan terhadap loyalitas pelanggan, sedangkan pada penelitian

Pernyataan tersebut mendukung pendapat dari Kotler (2007) yang menyatakan promosi penjualan sebagai unsur utama dalam kampanye pemasaran adalah berbagai kumpulan

Membran terbaik yang dapat digunakan dalam pemisahan larutan detergen ialah pada konsentrasi NPE 5% yang memiliki nilai indeks rejeksi di atas