DESAIN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN PADA KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS
LILLY APRILYA PREGIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Desain Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Kepulauan Anambas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Lilly Aprilya Pregiwati
RINGKASAN
LILLY APRILYA PREGIWATI. Desain Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, SUGENG HARI WISUDO, ARIF SATRIA dan MULYONO S. BASKORO
Sebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN No. 37 tahun 2014. Penetapan itu memberikan konsekuensi kepada KKPN Kepulauan Anambas sebagai salah satu wilayah penangkapan yang terletak di WPP 711 harus menjaga keberlanjutan baik keberlanjutan (1) kualitas habitat dan sumberdaya ikan, (2) aktivitas dan nilai yang telah berkembang di masyarakat lokal serta pendapatan dan mata pencaharian masyarakat serta (3) meningkatkan kapasitas lokal baik ditingkat masyarakat maupun kelembagaan.
Permasalahan perikanan tangkap yang terjadi di KKPN Kepulauan Anambas yaitu adanya gejala lebih tangkap yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah upaya penangkapan yang tidak dibarengi dengan produksi penangkapan, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, dan lokasi penangkapan yang semakin jauh hingga melebihi batas perairan kabupaten. Selain itu, permasalahan mengenai rusaknya ekosistem akibat aktivitas penambangan karang dan penangkapan ikan yang merusak pada beberapa tahun lalu. Dengan adanya pembentukan KKPN Kepulauan Anambas, maka perlu diperhatikan bahwa pengelolaan perikanan selanjutnya harus diatur berdasarkan zonasi agar pemanfaatan perikanan memperhatikan keberlanjutan. Permasalahan tersebut menggambarkan bahwa sangat minimnya upaya pengelolaan perikanan di KKPN Kepulauan Anambas sehingga perlu diatur strategi pengelolaan dengan pendekatan ekosistem agar tetap mempertahankan keberlanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis aktifitas perikanan tangkap di KKPN Kepulauan Anambas, (2) menilai kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, (3) menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan di KKPN Kepulauan Anambas, dan (4) merumuskan desain pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Konservasi.
Hasil penilaian kondisi pengelolaan perikanan dengan indikator pada EAFM sebagai metode penilaian perikanan berbasis ekosistem didapatkan bahwa KKPN Kepulauan Anambas termasuk dalam kategori baik. Sedangkan penilaian kinerja pengelolaan dengan menggunakan E-KKP3K didapatkan bahwa status pengelolaan yang telah dilakukan di KKPN Kepulauan Anambas berada pada katagori hijau yang berarti pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas masih minimum. Hasil penilaian analisis fungsi nilai menyebutkan bahwa komoditas unggulan sumberdaya perikanan di Anambas yaitu kerapu, cumi, tongkol, tenggiri, dan kuwe. Pemilihan alat tangkap yang tepat sesuai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah menggunakan pancing ulur, kemudian berturut-turut pancing tonda, bagan, dan terakhir bubu. Alokasi jumlah unit penangkapan optimum yang digunakan dalam penangkapan komoditas unggulan yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu.
Desain pengelolaan perikanan tangkap di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas adalah: a) Pengelolaan SDI tangkap harus sesuai dengan daya dukung sumber daya tersebut dalam hal ini potensi perikanan di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas, b) Jumlah alat tangkap yang harus ada di KKPN Kepulauan Anambas yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu, dan c) Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas. Dalam upaya implementasi desain pengelolaan perikanan tangkap di KPPN Kabupaten Kepulauan Anambas diperlukan Desain kelembagaan pengelolaan perikanan. Desain pengelolaan perikanan tangkap yang perlu diterapkan di KKPN Kepulauan Anambas yaitu bagaimana kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam kawasan konservasi perairan yang telah diatur berdasarkan sistem zonasi. Kelembagaan ini harus menyeimbangkan peran pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa atas wilayah perairan Kabupaten serta Satker Loka KKPN Pekanbaru sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan konservasi dengan menyatukan persepsi mengenai pengelolaan perikanan. Adapun konsep hubungan interaksi pengelola disusun berdasarkan pendekatan triple helix.
SUMMARY
LILLY APRILYA PREGIWATI. Design of Sustainable Marine Fisheries Management for Marine Protected Area in Anambas Island Regency Supervised by BUDY WIRYAWAN, SUGENG HARI WISUDO, ARIF SATRIA and MULYONO S. BASKORO
Anambas Islands Regency has been established as National Marine Conservation Area (KKPN) since 2014 through Marine and Fisheries Ministerial Decree Number 53 year 2014. The Establishment of KKPN Kepulauan Anambas, as one of fishing area located at FMA (Fisheries Management Area) 711, impacted to its responsibility to maintain the sustainability of (1) fish resources and habitat quality, (2) activities and local wisdom within the communities as well as their income and livelihoods, and (3) enhance the local capacities of the community and institutional.
The problems of capture fisheries at KKPN Kepulauan Anambas was overfishing indication marked by the increasing of fishing effort not resulted to the increase amount of fish catch, smaller sizes of fish catch, and the fishing site was farther up beyond the region’s boundary. Moreover, problems also occurred to the ecosystem due to coral mining activity and the impact of destructive fishing practiced a few years ago. Since established as KKPN, the future fisheries management in Anambas Islands should take into account its zoning system to ensure the sustainability of its resources. The above problems illustrate the very lack of effort of fisheries management in Anambas Islands, so that it needs to be managed further using ecosystem approach to management. Objectives of this study are: (1) Analyze capture fisheries activities in Anambas; (2) Assess the performance of KKPN; (3) determine optimum allocation unit for fish captures in KKPN Kepulauan Anambas; and (4) formulate fisheries management design in conservation area.
Type of Data used consists of secondary and primary data, which were collected through site observation using interviews and surveys. Data retrieval was done by technical in-depth interview method, whereas all important fisheries information obtained from key sources who mastered the problems in capture fisheries. Method of data analysis applied in this study were value function analysis to determine leading commodities priority and selection of suitable technology for catching fish, Linear Goal Programming model for simulated optimum fishing unit, EAFM approach to assess capture fisheries activities, E-KKP3K tools to assess KKPN Kepulauan Anambas performance, and descriptive method to create a model for fisheries capture management.
KKPN Fisheries management design in Anambas Islands should as follows: a) capture fisheries management must consistent with its carrying capacity, which means fisheries potency of KKPN Kepulauan Anambas, b) Numbers of fishing tools that allowed in KKPN Kepulauan Anambas should be 2371 for hand line, 70 for lift net, 2 for troll line, and 967 for trap, and c) all stakeholders should be involved in decision making process of KKPN Kepulauan Anambas fisheries management. An Institutional Design is needed to implement fisheries management design in KKPN Kepulauan Anambas. Capture fisheries management design applied in KKPN Kepulauan Anambas should follow with the marine conservation institutional design that already incorporated with zoning system. The institutional design developed has to be able to balance the roles between local government as authority of the region marine areas and Center for KKPN Pekanbaru as the authority for marine conservation area by harmonizing their perception of fisheries management concept. Inter-relation concept between these authorities were developed using triple helix approach.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
DESAIN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN PADA KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Mustaruddin, STP Dr Ir Sugeng Budiharsono
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan dengan judul Desain Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Kepulauan Anambas.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:
1. Komisi pembimbing yang terdiri dari Dr Ir Budy Wiryawan, MSc (ketua), Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi (anggota), Dr Arif Satria, SP, MSi (anggota) dan Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc (anggota) atas kesabaran, waktu dan sumbangan pemikiran yang sangat berharga dalam mengarahkan penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini
2. Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup dan sidang promosi yaitu Dr Mustaruddin, STP dan Dr Ir Sugeng Budiharsono atas saran dan masukan yang diberikan untuk perbaikan penulisan disertasi ini
3. Pemeritah Daerah Kabupaten Kepulauan Anambas, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Anambas, Satker Loka KKPN Kepulauan Anambas serta pihak-pihak yang telah memberikan dukungan, masukan dan data untuk melengkapi penyelesaian disertasi ini
4. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami dan putra-putri tercinta serta pimpinan dan rekan-rekan sejawat/staf atas doa dan dukungan dalam menyelesaikan disertasi ini
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kemanfaatan bagi pengembangan pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan Anambas pada khususnya dan pengelolaan perikanan Indonesia pada umumnya
Bogor, September 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Kerangka Berpikir 6
Kebaharuan (Novelty) 11
Metode Penelitian 11
2 KONDISI UMUM KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN KABUPATEN
KEPULAUAN ANAMBAS 17
Letak Geografis Wilayah Penelitian 17
Kondisi Perikanan Tangkap 17
Kondisi Kawasan Konservasi Perairan 23
Kondisi Pengelolaan Kawasan Konservasi 25
3 PENILAIAN AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DI KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS 28
Pendahuluan 28
Metode Penelitian 29
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 41
4 KINERJA PENGELOLAAN PERIKANAN DI KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS 42
Pendahuluan 42
Metode Penelitian 43
Hasil dan Pembahasan 45
Simpulan 52
5 OPTIMASI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN NASIONAL KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS 53
Pendahuluan 53
Metode Penelitian 54
Hasil Pembahasan 57
Simpulan 70
6 DESAIN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS 71
Metode Penelitian 72
Hasil Dan Pembahasan 72
Simpulan 97
SIMPULAN DAN SARAN 98
Simpulan 98
Saran 99
DAFTAR PUSTAKA 100
LAMPIRAN 106
DAFTAR TABEL
1 Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data 14 2 Perkembangan jumlah dan struktur armada penangkapan ikan di Kabupaten
Kepulauan Anambas selama periode tahun 2010-2014 18 3 Jumlah Armada tangkap pompong pada tahun 2014 18 4 Perkembangan alat tangkap ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas selama
periode tahun 2010-2015 19
5 Musim penangkapan berdasarkan jenis ikan di Kabupaten Kepulauan
Anambas 21
6 Tutupan lamun (%) pada beberapa lokasi di Kepulauan Anambas 24 7 Lokasi hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Anambas berdasarkan hasil
identifikasi 25
8 Kriteria dan bobot indikator penilaian EAFM 30
9 Model bendera 34
10 Hasil penilaian domain sumberdaya ikan 36
11 Hasil penilaian domain ekosistem dan habitat 37 12 Hasil penilaian domain teknologi penangkapan ikan 38
13 Hasil penilaian domain sosial 38
14 Hasil penilaian domain ekonomi 39
15 Hasil penilaian domain kelembagaan 40
16 Indeks hasil agregat indikator EAFM pada setiap domain 40 17 Kriteria pertanyaan dalam alat ukur status pengelolaan kawasan
menggunakan E-KKP3K 44
18 Status kinerja pengelolaan Kawasan Konservasai Perairan (KKP) 47 19 Ringkasan hasil analisis status efektivitas pengelolaan KKPN Kepulauan
Anambas 48
20 Jumlah pertnyaan peringkat Biru yang jawabannya Tidak 49 21 Jumlah pertanyaan pada peringkat Emas yang jawabannya Tidak 51 22 Matriks analisis nilai fungsi dalam pemilihan komoditas unggulan 58 23 Hasil penilaian untuk aspek teknis penangkapan komoditas unggulan 61 24 Kriteria dan penilaian aspek sosial penangkapan komoditas unggulan 62 25 Kriteria dan penilaian aspek ekonomi penangkapan komoditas unggulan 62 26 Kriteria penilaian aspek lingkungan penangkapan komoditas unggulan 63 27 Total hasil penilaian aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan 63
28 Jumlah produksi dari jenis ikan unggulan 65
29 Nilai potensi perikanan di Kepulauan Anambas berdasarkan kajian
Komnaskajiskan dan kajian SEAFDEC 66
30 Potensi dan jumlah JTB komoditas unggulan 66
31 Hasil Optimasi alat tangkap dengan alat tangkap eksisting 69 32 Matriks strategi pengelolaan perikanan tangkap di kawasan konservasi
perairan Anambas 90
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir Penelitian 8
3 Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Pomeroy dan
Rivera 2005) 10
4 Lokasi Penelitian di Kabupaten Kepulauan Anambas 12 5 Indeks musim penangkapan ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas 22 6 Struktur Satker Loka KKP Kabupaten Kepulauan Anambas 26 7 Contoh penentuan peringkat pengelolaan kawasan konservasi perairan
E-KKP3K (KKP 2012) 45
8 Tren produksi komoditas unggulan di Kabupaten Kepulauan Anambas 60 9 Kobe plot rencana strategi pengelolaan perikanan di KKPN Kepulauan
Anambas 73
10 Triple helix dalam pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas 86
11 Desain kelembagaan pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas 87 12 Desain pengelolaan perikanan di KKPN Kepulauan Anambas 89
13 Kapal pompong yang digunakan nelayan 107
14 Kapal jukung yang digunakan nelayan 107
DAFTAR LAMPIRAN
1 Gambar armada kapal yang digunakan nelayan Kabupaten Kepluauan
Anambas 107
2 Kegiatan diskusi dengan stakeholders 108
3 Rumus pengolahan Lindo 109
4 Hasil pengolahan Lindo 110
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa mendatang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, perikanan, dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alamnya dapat menggerakkan industri pariwisata bahari (Fauzi dan Anna 2005).
Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Natuna di Provinsi Kepulauan Riau pada Tahun 2008. Kabupaten Kepulauan Anambas dan laut sekitarnya terletak di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 termasuk dalam perairan Laut Cina Selatan yang secara geografis sebagai jalur pelayaran internasional. Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki 255 pulau dan 5 diantaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Dengan luasan laut 98% daripada daratannya, mata pencaharian utama masyarakat adalah perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Secara umum potensi perikanan di WPP 711 masih tergolong sangat tinggi. Tahun 2013, tercatat 10,93% atau sebesar 623,937 ton dari total produksi perikanan di Indonesia berasal dari WPP 711 (DJPT-KKP 2014). Sedangkan total potensi perikanan di Kabupaten Kepulauan Anambas berdasarkan DKP Kepri (2013) mencapai 88.792,20 ton/tahun. Sebagaimana yang tertera dalam KEPMEN KP Nomor 53 tahun 2014, Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki potensi sumberdaya alam laut yang sangat tinggi berupa ekosistem terumbu karang, dan keanekaragaman jenis biota laut, disamping keindahan wisata bahari serta sebagai tempat pemijahan beberapa spesies yang dilindungi seperti penyu sisik dan ikan napoleon. Luas terumbu karang teridentifikasi seluas 3.705,84 hektar dengan tutupan karang hidup antara 6% hingga 80%, luas padang lamun sebesar 62,77 hektar, dan luas hutan mangrove 766,32 hektar yang terdiri atas 122,86 hektar dengan kerapatan tinggi, 493,04 hektar dengan kerapatan sedang dan 150,42 hektar dengan kerapatan rendah.
2
ketergantungan manusia Indonesia terhadap sumberdaya laut. Ekosistem laut selain sebagai sumber makanan dan pendapatan juga sebagai regulator iklim dan cuaca.
Ketergantungan ini seyogyanya mendorong komitmen politik untuk mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan sejalan dengan world summit on sustainable development dalam mengembangkan sistem global jaringan KKP. Setidaknya pembentukan KKP akan berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan untuk menjaga ekosistem (ecological), mengelola konflik dalam pemanfaatan sumberdaya (social), dan memfasilitasi pemanfaatan sumberdaya secara efektif (economical). Hal ini selaras dengan kategori utama tujuan perikanan yakni aspek biologi, ekonomi, sosial, dan politik (Hilborn 2007).
KKP merupakan salah satu instrumen keberlanjutan ekosistem dengan tujuan antara lain untuk konservasi biodiversitas dan habitat, pengelolaan perikanan dan sebagai basis data secara ilmiah, serta mengarah pada berbagai tujuan pengelolaan pesisir dan laut dengan pendekatan basis ekosistem. Pada sisi masyarakat lokal, KKP sebagai instrumen untuk mempertahankan pola pengelolaan lokal dan peluang untuk upaya konservasi, pengembalian dan perlindungan biodiversitas guna kelangsungan mata pencaharian mereka. Hal tersebut produktif jika dibarengi dengan dukungan terhadap hak masyarakat lokal yang diimplikasikan dalam partisipatori pada manajemen dan basis masyarakat yang merupakan cikal bakal dari ko-manajemen.
Isu pembentukan KKP adalah tetap terjaganya keberlanjutan hak akses dan pemanfaatan oleh masyarakat lokal untuk keberlanjutan sumberdaya dan ekonomi dengan tetap mengembalikan manfaat ekonomi dan sosial-budaya kepada mereka, dukungan terhadap inisiasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan konservasi, dan prinsip pengelolaan basis masyarakat. Dengan kata lain, KKP merupakan upaya pengelolaan perikanan yang telah ada untuk lebih baik dengan salah satu tujuannya adalah mengurangi resiko eksploitasi berlebih (McGillard 2011). Hal utama yang penting menurut Hilmi (2012) adalah menjaga ketahanan dan proteksi terhadap kekayaan biodiversitas yang akan bermanfaat bagi masyarakat baik lokal, nasional maupun global, mengingat seperlima terumbu karang dunia berada di indonesia yakni sekitar 51.020 km2 (Glaser et al. 2012).
3 KP No 53 tahun 2014 total luasan subzona perikanan tangkap berkelanjutan yang ada di KKPN Kepulauan Anambas mencapa 1.222.498,99 ha atau sekitar 96,82% dari total luas KKPN Kepulauan Anambas atau sekitar 0,26% dari total luas perairan Kabupaten Kepulauan Anambas yang mencapai 4.602.927 ha.
Sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Kepulauan Anamabas tidak akan luput dari ancaman kerusakan baik ancaman antropogenik maupun alami, yang bisa menyebabkan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan. Hasil pengamatan studi sebelumnya menunjukkan bahwa ancaman kerusakan yang bersifat antropogenik marak terjadi. Kondisi Kabupaten Kepulauan Anambas yang strategis menyebabkan wilayah perairan Anambas sering menjadi kawasan praktek
illegal fishing dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem perairan yang akan mengancam dan dapat memprediksi pendapatan Indonesia dari sektor perikanan tangkap akan menurun drastis karena eksploitasi berlebihan dari berbagai stok ikan (WWF 2008). Selain itu kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap desktruktif seperti bom dan potas serta penambangan karang dan mangrove masih terjadi.
Peluang terjadinya kerusakan habitat dan ekosistem serta peningkatan over fishing sumberdaya sangat besar karena sejauh ini belum tersedia sistem serta model pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan dan lestari untuk suatu kawasan konservasi. Sementara itu, kawasan konservasi merupakan kawasan yang telah ditetapkan berdasarkan zonasi, dimana aktivitas penangkapan ikan hanya berlaku di zona kawasan konservasi berkelanjutan. Pembagian zonasi ini tentunya akan banyak menimbulkan permasalahan jika tidak diatur oleh sistem dan model pengelolaan yang tepat, mengingat sebagian besar masyarakat Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki profesi sebagai nelayan.
Oleh karena itu, perlu perencanaan dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berada dalam wilayah kawasan konservasi perairan. Pendekatan kawasan dalam pengelolaan perikanan memprakarsai sejumlah pemanfaatan berdasarkan pembatasan penangkapan dalam wilayah dan waktu yang menghubungkan daerah pemanfaatan sumberdaya perikanan dan daerah yang tidak boleh diambil hingga pembatasan alat tangkap tunggal baik secara sementara maupun permanen (Pipitone 2012). Adapun tujuan pengelolaan sumberdaya ikan sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan lingkungannya (Lembaga Negara Republik Indonesia 2004). Pengelolaan ini harus direncanakan sedemikian mungkin agar tidak terjadi benturan kepentingan sehingga dapat menimbulkan sebuah konflik dalam pengelolaan.
4
sumberdaya perikanan turut memengaruhi jumlah stok ikan di laut. Laju pertumbuhan populasi ikan akan terus meningkat dan menurun setelah mencapai titik optimum sedangkan perilaku manusia dalam mengekstraksi perikanan akan terus meningkat, selama pelaku usaha masih melihat adanya keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan. Pada akhirnya akan terjadi inefisiensi ekonomi karena pelaku usaha tidak mendapatkan keuntungan optimum dari kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan.
Hamdan (2007) dalam penelitiannya tentang analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa kondisi perikanan tangkap di kabupaten tersebut kurang berkelanjutan, ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika maupun kelembagaan. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: tekanan terhadap lahan mangrove, besarnya subsidi, rendahnya tingkat pendidikan, mitigasi habitat dan transparansi merupakan faktor pengungkit utama. Alat tangkap seperti purse seine,
gillnet, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai dan dogol yang dioperasikan di kabupaten ini juga, sudah dalam kondisi overcapacity.
Penelitian di Desa Teluk, Kabupaten Pandeglang oleh Priyatna et al. (2005) menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap dasar pengambilan keputusan dalam bertindak dan berimplikasi terhadap model pengelolaan sumberdaya perikanan. Masyarakat tidak mengenal sistem hak kepemilikan sumberdaya perikanan (SDP), didasarkan persepsi bahwa semua orang berhak memanfaatkan SDP karena laut merupakan milik Allah. Masyarakat juga tidak berkewajiban melakukan upaya konservasi karena anggapan “ikan tidak akan habis” dan pertimbangan rasional jangka pendek untuk kepentingan ekonomi. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa konsepsi non-property right system
berimplikasi terhadap pengelolaan SDP secara open access.
Penelitian mengenai pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Pulau-pulau Kecil dengan kasus kecamatan Siau Timur Selatan Kabupaten Sitaro oleh Bawalo (2015) menjelaskan bahwa masih begitu banyak kendala dalam pengelolaan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil terutama mengenai permasalahan penangkapan ikan secara ilegal serta ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai. Adanya peristiwa perubahan harga ikan per musim juga mempengaruhi dalam upaya pengelolaan di samping harus ada pemberdayaan masyarakat nelayan dan penguatan kelembagaan
Perumusan Masalah
5 ramah lingkungan pada beberapa tahun silam sangat berdampak besar terhadap kondisi perikanan sekarang. Imbas tersebut diindikasikan dari kondisi terumbu karang di beberapa tempat di KKPN Kepulauan Anambas yang buruk seperti pada laporan Corservation International Indonesia (2011) yang menyatakan bahwa persentase penutupan karang hidup (karang keras dan karang lunak) di KKPN Kepulauan Anambas berkisar antara 20 – 62% dengan rata-rata 45,2%. Dari hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang berkisar antara buruk hingga bagus dengan rata-rata kondisi sedang. Pet-soede dan Erdmann (1988) menjelaskan bahwa penggunaan bahan peledak dan racun sianida di Indonesia tidak hanya terjadi di perairan bebas, tetapi juga merambah dan menghancurkan sebagian besar terumbu karang di kawasan konservasi.
Selain masalah ekosistem, masalah lain yang muncul adalah gejala terjadinya penangkapan berlebih (overfishing). Gejala ini dapat dilihat dari peningkatan upaya penangkapan ikan (dengan indikator jumlah alat tangkap) yang tidak dibarengi dengan kenaikan produksi sesuai penambahan upaya penangkapan ikan untuk beberapa komoditas tertentu (Santoso 2015). Di sisi lain, sebagian besar masyarakat Anambas menggantungkan hidupnya menjadi nelayan, dimana jumlah nelayan terus meningkat setiap tahunnya namun jumlah tangkapan nelayan semakin menurun, ukuran tangkapan untuk beberapa ikan tertentu semakin menurun dan masyarakat menjadi semakin jauh untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Selain itu, beberapa fasilitas sarana prasarana yang telah tersedia seperti pelabuhan pendaratan dan tempat pelelangan ikan (TPI), tidak digunakan nelayan karena dianggap tidak dapat memudahkan dalam melakukan aktivitasnya.
Permasalahan tersebut menggambarkan bahwa sangat minimnya upaya pengelolaan perikanan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Partisipasi masyarakat lokal terbatas pada saat implementasi dan belum jelas porsi antara pemangku kepentingan di sisi pemerintah dan non pemerintah sehingga agenda dan target KKP tidak tepat. Keterbatasan masyarakat tersebut dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas masyarakat untuk dapat menjadi representatif dan terlibat dalam proses manajemen pengelolaan.
6
penangkapan ataupun budidaya perikanan. Sedangkan dalam kegiatan perikanan, diharapkan kegiatan pemanfaatan perikanan dapat dilakukan semaksimal mungkin untuk memberikan keuntungan yang maksimal bagi para nelayan, mengingat sebagian besar masyarakat Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki profesi sebagai nelayan.
Oleh karena itu, sangat diperlukan pengelolaan perikanan yang sifatnya komprehensif untuk menyatukan tujuan yang berbeda dari kondisi yang ada di Kabupaten Kepulauan Anambas. Bagaimana melakukan pengelolaan perikanan dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada di suatu Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) yang telah dibatasi oleh zonasi dalam pengelolaannya.
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menyusun desain pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di wilayah kawasan konservasi perairan Kabupaten Kepulauan Anambas. Tujuan tersebut dijabarkan dalam tujuan khusus yakni:
1) Menilai aktifitas perikanan tangkap di KKPN Kepulauan Anambas dengan EAFM;
2) Menilai Kinerja Pengelolaan Kawasan Konsevasi Perairan dengan E-KKP3K; 3) Menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan di KKPN Kepulauan
Anambas; dan
4) Merumuskan desain pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Konservasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
1. Sebagai bahan acuan bagi para pemanfaat sumberdaya mengenai status sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Anambas; dan
2. Sebagai bahan informasi dan acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam perencanaan zonasi dan menetapkan rencana pengelolaan serta kondisi kapasitas masyarakat di kawasan perairan di Kabupaten Kepulauan Anambas. 3. Sebagai contoh atau template model pengelolaan berkelanjutan untuk wilayah
yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan atau sejenisnya
Kerangka Berpikir
7 dalam pengelolaannya. Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perubahannya yaitu Undang- Undang No 45/2009. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional melalui KEPMEN Nomor 37 tahun 2014. Konsekuensi tersebut berupa pengelolaan yang terbatas terhadap zona-zona tertentu serta pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan ditetapkannya suatu wilayah menjadi KKPN. Pengelolaan dan pemanfaatan tersebut harusnya dapat diatur dengan baik untuk mencegah berbagai macam konflik yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi sebelum dan sesudah ditetapkannya Kabupaten Kepulauan Anambas menjadi Kawasan Konservasi Perairan.
8
Gambar 1 Kerangka pikir Penelitian
Prinsip konservasi dan perikanan berkelanjutan akan menerapkan pengelolaan kawasan konservasi dengan zonasi secara kolaboratif melalui pendekatan adaptif, penerapaan budaya lokal, dan keberlanjutan produktivitas perikanan dan pelestarian pemanfaatannya. Di sisi lain diperlukan pula dukungan masyarakat lokal dan integrasi pengetahuan dalam kerangka otonomi daerah (Bruckmeier and Larsen 2008).
Menurut Charles (2001) konsep pembangunan perikanan berkelanjutan mengandung empat aspek keberlanjutan yaitu :
1. Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass perikanan sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem yang menjadi perhatian utamanya.
2. Keberlanjutan sosioekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan.
9 4. Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat dalam sistem pengelolaan sebagai prasyarat dari ketiga pembangunan perikanan.
Implementasi konsep di atas harus mempertimbangkan kondisi wilayah pesisir yang ada hakekatnya penggerak utama kemajuan perekonomian di wilayah pesisir ditentukan oleh lima faktor yaitu ketersediaan sumberdaya manusia, ketersediaan sumberdaya alam, tingkat penggunaan teknologi, kekuatan institusi/kelembagaan; dan kebijakan politik.
Gambar 2 Segitiga keberlanjutan perikanan (Charles 2001)
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles 2001).
10
Pomeroy and Rivera (2005) menyatakan terdapat 5 (lima) tipe besar ko-manajemen menurut peran dari pemerintah dan pelaku perikanan, yaitu: (1) Instruktif. Tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah, (2) Konsultatif. Terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah, (3) Kooperatif. Dalam level ini, pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) Advisori. Dalam kerangka ini, pelaku perikanan memberikan input bagi pengambil keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut, (5) Informatif. Pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan untuk kemudian diinformasikan kembali kepada pemerintah. Secara jelas konsep ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Pomeroy dan Rivera 2005)
11 sesuai teori people centered development oleh (Karten 1984). Karten (1984) menjelaskan bahwa pendekatan dalam kegiatan pembangunan yang berorientasi pada masyarakat (people oriented) harus diubah dengan pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people centered development) artinya usaha pembangunan yang berlangsung dalam masyarakat dengan pendekatan pembangunan berorientasi pada masyarakat sebagai potret sentral pembangunan dengan berbagai dimensinya.
Kebaharuan (Novelty)
Kebaharuan dari penelitian ini adalah adanya konsep pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan untuk suatu kawasan konservasi dengan pendekatan teori
Triple Helix
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di perairan KKPN Kepulauan Anambas yang mencakup tujuh Kecamatan yaitu, Kecamatan Siantan, Kecamatan Siantan Tengah, Kecamatan Siantan Timur, Kecamatan Siantan Selatan, Kecamatan Palmatak, Kecamatan Jemaja, dan Kecamatan Jemaja Timur (Gambar 4).
Waktu penelitian dibagi menjadi dua periode waktu yaitu: waktu pertama adalah periode survei awal sekaligus dilakukan pengumpulan data sekunder di lokasi penelitian dan instansi terkait pada bulan Desember 2013 dan waktu kedua yaitu pengambilan data lapang mencakup data wawancara kepada semua
12
Ga
mba
r
4
L
ok
asi P
ene
li
ti
an di Ka
bupa
ten K
epula
ua
n Ana
13 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer
Data primer diperoleh dari pengambilan data langsung di lapangan mengenai kondisi biofisik perairan, kondisi sosial ekonomi perikanan, dan status kelembagaan di KKPN Kepulauan Anambas. Perolehan data primer dilakukan dengan wawancara langsung terhadap masyarakat dan berbagai pihak yang terkait.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari berbagai data yang telah tersedia di instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Anambas, BAPPEDA Kepulauan Anambas, LKKPN Kepulauan Anambas yang meliputi data produksi perikanan, data jumlah alat tangkap dan armada kapal, data luasan kawasan konservasi, dan data ekosistem perairan yang meliputi data kondisi ekosistem terumbu karang, ekosistem lamun, dan ekosistem mangrove. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan dua cara yaitu dengan wawancara dan pengamatan (observasi) langsung. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi literatur/dokumentasi.
Interview atau wawancara, digunakan dengan cara tanya jawab secara langsung dengan responden mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Narbuko dan Achmadi 2005). Pada penelitian ini metode wawancara yang digunakan dalam menggali data primer yaitu dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), dimana semua informasi penting mengenai perikanan didapatkan dari informan kunci yang menguasai masalah mengenai perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Anambas. Taylor dan Bogdan (1998) mendefinisikan bahwa in-depth interview merupakan wawancara antar seorang pewawancara dengan seorang informan yang dilakukan berulang-ulang yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai perspektif informan terhadap kondisi kehidupannya, pengalaman-pengalaman serta situasi yang dihadapi. Jumlah informan tidak ditentukan karena pada teknik in-depth interview jumlah informan adalah sesuai dengan kebutuhan data.
14
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Indeks Musim Penangkapan menggunakan Analisis Indeks Penangkapan, penilaian aktivitas penangkapan ikan menggunakan EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management), penilaian kinerja pengelolaan menggunakan E-KKP3K (Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), Pemilihan komoditas unggulan dan teknologi penangkapan ikan menggunakan metode scoring, optimasi unit penangkapan menggunakan Model
Linear Goal Programming dan perumusan desain pengelolaan dengan metode deskriptif.. Analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data Tujuan Jenis Data Yang
Dikumpulkan Sumber Data Teknik Analisis Data Analisis Indeks
Musim Penangkapan
Data Produksi per bulan, Data jumlah alat tangkap dan informasi mengenai musim penangkapan
Nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan
Indeks Musim Penangkapan
Menganalisis aktifitas perikanan tangkap di KKPN Kepulauan Anambas
Data mengenai ekosistem perairan, penangkapan ikan, kondisi ekonomi, kondisi sosial masyarakat dan kondisi kelembagaan di KKPN Kepulauan Anambas.
Data sekunder dari Dinas Perikanan dan Kelautan, Satker Loka KKPN Kepulauan (Ecosystem Approach to Fisheries Management) aspek biofisik, ekonomi dan sosial budaya, tata kelola, pendanaan, dan pelembagaan.
Hasil wawancara dengan stakeholder Satker Loka KKPN Kepulauan Anambas
EKKP3K (Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil)
Menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan
Data mengenai kondisi perikanan tangkap
Data sekunder (DKP Anambas dan Satker Loka KKPN Kepulauan Anambas)
Data primer (hasil wawancara dengan
perikanan tangkap di Kawasan Konservasi
15 Selain analisis tersebut untuk mengetahui pola musim penangkapan ikan di lokasi penelitian, maka dibutuhkan pola musim yang akurat. Penghitungan pola musim dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan (catch) dan upaya (effort) per bulan. Untuk mencari pola musim penangkapan digunakan data CPUE bulanan, namun karena data CPUE yang dihasilkan dari lapangan memiliki peluang yang tidak sama besar dengan distribusi normal maka metode rata-rata bergerak (moving average) digunakan agar data yang diperoleh mendekati data sebenarnya. Pola musim penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan analisis deret waktu terhadap hasil penangkapan. Dajan (1998) telah menghitung dengan langkah-langkah berikut:
1. Menyusun rata-rata bergerak CPUE selama 12 bulan (RG)
� = ∑ �
+
= −
Keterangan :
RGi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i; CPUEi : CPUE urutan ke-i; dan
i : 7, 8, … …, n-5
2. Menyususn rata-rata bergerak secara terpusat
� � = ∑ �
=
=
Keterangan :
RGPi : Rata-rata bergerak CPUE terpusat ke-i; RGi : Rata-rata bergerak 12 bulan urutan ke-i; dan
i : 7, 8, … …, n-5 3. Rasio rata-rata tiap bulan
� = �
� � Keterangan :
Rbi : Rasio rata-rata bulan urutan ke-i; CPUEi : CPUE urutan ke-i;
RGPi : Rata-rata bergerak CPUE terpusat urutan ke-i; dan
i : 7, 8, … …, n-5
16
i. Rasio rata-rata untuk bulan ke-I (RBBi) :
� = � ∑�
=
Keterangan :
RBBi : Rata-rata dari Rbij untuk bulan ke-i;
RBij : Rasio rata-rata bulanan dalam matriks ukuran i x j;
i : 1, 2, … …, 12; dan
j : 1, 2, 3, … …, n
ii. Jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) :
� = ∑ �
=
Keterangan :
JRBB : Jumlah rasio rata-rata bulanan; RBBi : Rata-rata Rbij untuk bulan ke-i; dan
i : 1, 2, 3, … …, 12 iii. Indeks musim penangkapan
Idealnya jumlah rasio rata-rata bulanan (JRBB) sama dengan 1200. Namun banyak faktor yang menyebabkan sehingga JRBB tidak selalu sama dengan 1200,oleh karena itu nilai rasio rata-rata bulanan harus dikoreksi dengan suatu nilai koreksi yang disebut dengan nilai Faktor Koreksi (FK). Rumus untuk memperoleh nilai Faktor Korelasi :
= � Keterangan :
FK : Nilai faktor korelasi; dan
JRBB : Jumlah rasio rata-rata bulanan
Indeks Musim Penangkapan (IMP) dihitung menggunakan rumus :
�� = � �
Keterangan :
IMPi : Indeks musim penangkapan bulanan ke-i; RBBi : Rasio rata-rata untuk bulan ke-i;
FK : Nilai faktor korelasi; dan
17
2
KONDISI UMUM KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS
Letak Geografis Wilayah Penelitian
Kabupaten Kepulauan Anambas secara kewilayahan merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau dengan ibu kotanya adalah Tarempa. Secara geografis Kabupaten Kepulauan Anambas terletak di antara 2o10’0’’- 3o40’0’’ LU sampai
dengan 105o15’0’’ – 106o45’0’’ BT dengan batas wilayah yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Laut China Selatan/Vietnam, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bintan, sebelah Barat berbatasan dengan Laut China Selatan/Malaysia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Natuna. Kabupaten Kepulauan Anambas secara geografis perairan terletak di wilayah perairan Laut China Selatan dan termasuk dalam WPP 711.
Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki tujuh Kecamatan yaitu Kecamatan Siantan, Kecamatan Siantan Selatan, Kecamatan Siantan Timur, Kecamatan Siantan Tengah, Kecamatan Palmatak, Kecamatan Jemaja, dan Kecamata Jemaja Timur yang terbagi dalam tiga Pulau Besar yaitu Pulau Jemaja, Pulau Siantan, dan Pulau Palmatak.
Kondisi Perikanan Tangkap
Kondisi Armada dan Kapal Perikanan
KKP (2009) menyebutkan bahwa kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Armada perikanan yang digunakan di seluruh Kabupaten Kepulauan Anambas didominasi oleh perahu motor berukuran 1-5 GT yang biasa disebut “pompong” oleh masyarakat setempat (Lampiran 1). Hampir semua Kecamatan menggunakan kapal pompong sebagai kapal penangkapan ikan. Kapal pompong digunakan masyarakat nelayan untuk melakukan penangkapan di wilayah 3 mil keatas. Selain pompong, sebagian kecil masyarakat nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas juga menggunakan jukung dimana jukung ini merupakan perahu tanpa menggunakan motor (Lampiran 1). Dalam pengoperasiannya, biasanya kapal-kapal jukung ditarik oleh kapal pompong ke tengah laut dalam melakukan penangkapan ikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengoperasian kapal jukung sangat bergantung dengan adanya kapal pompong yang akan ditumpanginya.
18
Tabel 2 juga menjelaskan jika perahu tanpa motor mengalami peningkatan, maka kapal motor akan cenderung mengalami penurunan, begitu pula sebaliknya. Pada tahun 2014, jumlah perahu tanpa motor mengalami peningkatan dari 174 unit menjadi 435 unit sedangkan jumlah kapal motor cenderung mengalami penurunan dari 3,079 unit menjadi 2,472 unit.
Tabel 2 Perkembangan jumlah dan struktur armada penangkapan ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas selama periode tahun 2010-2014
Tahun Jenis Armada (Unit) Jumlah
Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor
2010 2,154 - 1,838 3,722
2011 595 - 2,596 3,191
2012 174 - 3,079 3,253
2013 174 - 3,079 3,253
2014 435 - 2,472 2,907
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Anambas
Walaupun jumlah unit kapal motor lebih besar daripada jumlah perahu tanpa motor, namun kebanyakan masyarakat nelayan menggunakan kapal motor dengan ukuran 1-3 GT (Gross Tonase). Suhariyanto dan Zarochman (1999) menyatakan bahwa GT merupakan besarnya jumlah volume ruangan tertutup yang dianggap kedap air di dalam kapal ikan. Berdasarkan Tabel 3 pada tahun 2014, sebanyak 1492 unit dari 2472 unit kapal motor berukuran 1 GT, sebanyak 526 unit berukuran 2 GT, sebanyak 283 unit berukuran 3 GT dan sisanya berukuran 4 GT ke atas. Hal tersebut menjelaskan bahwa lebih masyarakat nelayan di Anambas merupakan nelayan Artisanal yang jangkauan daerah beroperasinya berada di sekitar karang dekat pantai yang tidak jauh jaraknya dari pulau-pulau di perairan Anambas. Selain itu juga, menjelaskan bahwa dari tujuh Kecamatan yang ada di Anambas, kebanyakan masyarakat nelayan berada di Kecamatan Palmatak yang diindikasikan dengan lebih banyaknya jumlah kapal pompong yang ada di Kecamatan tersebut. Tabel 3 Jumlah Armada tangkap pompong pada tahun 2014
No Kecamatan Jumlah Armada Tangkap (Pompong) (Unit) Total
1 GT 2 GT 3 GT 4 GT 5 GT 6 GT 7 GT 8 GT 9 GT 10 GT
1 Siantan 86 99 13 5 6 0 0 0 0 0 209
2 Palmatak 504 152 152 31 6 8 2 1 0 0 856
3 Siantan Timur 90 84 54 42 32 0 0 0 0 0 302
4 Siantan Selatan 301 50 9 2 10 0 0 0 0 0 372
5 Jemaja Timur 89 12 5 3 0 0 0 0 0 0 109
6 Jemaja 259 113 50 12 3 3 1 0 0 1 442
7 Siantan Tengah 163 16 0 0 1 2 0 0 0 0 182
Jumlah 1492 526 283 95 58 13 3 1 0 1 2472
19 Alat Penangkapan Ikan
Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas adalah pancing ulur mengingat sebagian besar habitat dasar perairan Anambas didominasi oleh ekosistem karang. Selain itu juga, terdapat alat tangkap lain yang digunakan dalam operasi penangkapan yaitu pancing tonda, bubu, dan bagan apung dan beberapa nelayan ada yang menggunakan rawai untuk menangkap hiu atau pari.
Secara umum perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada tahun 2010-2014 cenderung mengalami peningkatan, walaupun pada tahun terakhir mengalami penurunan (Tabel 4). Jika dilihat menurut jenis alat tangkap, hanya alat tangkap bagan yang terus mengalami peningkatan. Hal ini karena tiga tahun terakhir banyak kelompok nelayan yang menggunakan bagan apung untuk penangkapan cumi. Selain itu, pancing ulur yang menjadi alat tangkap dominan pada tahun 2014 mengalami penurunan jumlah, begitu pula dengan pancing rawai dan bubu.
Tabel 4 Perkembangan alat tangkap ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas selama periode tahun 2010-2015
Tahun
Jenis Alat (Unit)
Jumlah Pancing
Ulur
Pancing
Tonda Bubu
Pancing
Rawai Bagan
2010 1552 453 907 104 34 3,050
2011 2224 555 1,359 107 41 4,286
2012 2372 536 1,561 344 62 4,876
2013 2938 794 1,537 146 71 5,487
2014 2375 853 1,239 108 71 4,646
Sumber : DKP Kabupaten Kepulauan Anambas
20
mata pancing dan umpan. FAO mengklasifikasikan alat tangkap pancing tergolong dalam handlines and polelines dengan kode ISSCFG: LHP.09.1.0, pada kelompok pancing (hook and line).
Adapun prinsip penangkapan ikan dengan pancing yaitu hanya dengan meletakkan umpan alami (potongan daging ikan atau ikan utuh) maupun umpan buatan seperti benang, bulu ayam, ataupun tali rafia tergantung ikan sasaran yang akan ditangkap. Kemudian pancing diulur sampai kedalaman tertentu atau bahkan sampai dasar perairan dan digerak-gerakkan agar terlihat seperti ikan hidup. Jika sudah ada ikan yang memakan umpan, pancing dihentakkan sehingga akan terkait dengan mata pancing. Pengoperasian alat tangkap pancing sendiri membutuhkan waktu paling lama dibandingkan alat tangkap lain yang digunakan masyarakat nelayan di kawasan pulau-pulau kecil.
Selain pancing ulur, masyarakat nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas juga menggunakan pancing tonda dan pancing rawai dalam melakukan penangkapan. Pancing tonda digunakan nelayan dalam menangkap ikan tongkol sedangkan rawai biasa digunakan dalam menangkap hiu dan pari. Secara konstruksi penangkapan ikan tongkol biasanya menggunakan alat pancing tonda. Hal ini karena secara garis besar konstruksi pancing tonda yang dimiliki oleh nelayan terdiri atas tali pancing yang terdiri dari dua jenis yaitu tali utama (main line) dan tali cabang (branch line), kili-kili (swivel), mata pancing (hook), dan penggulung tali. Gambaran umum dari bentuk pancing tonda adalah sebagai berikut: tali utama yang diikatkan pada ujung kili-kili. Kemudian ujung kili-kili yang belum terikat, diikatkan ke tali cabang. Selanjutnya, tali cabang diikatkan pada mata pancing. Di tengah-tengah tali cabang diberi pemberat. Umpan yang digunakan adalah dari jenis umpan buatan yang berwana cerah atau mengkilau saat berada di dalam air. Umpan dipasang di bagian atas mata pancing yaitu dengan mengikatkan umpan pada lubang mata pancing yang merupakan tempat mengaitkan tali cabang. Pemasangan umpan di bagian atas mata pancing berfungsi untuk menutupi mata pancing agar tidak terlihat ikan sehingga dapat mengelabuhi pandangan ikan.
21 Alat tangkap bagan apung digunakan nelayan Anambas untuk menangkap cumi, ikan teri dan ikan tamban. Dalam pengoperasiannya, hal utama yang harus diperhatikan dalam penangkapan ikan dengan bagan apung adalah cahaya bulan, bila bulan terang (bulan purnama) maka bagan tidak beroperasi karena ikan-ikan tidak akan muncul ke permukaan. Oleh karena itu, nelayan mengoperasikan bagan selama 22 hari dalam satu bulan yaitu pada bulan gelap. Untuk mengoperasikan bagan, hal pertama yang dilakukan yaitu menentukan fishing ground ikan. Setelah didapatkan lokasi fishing ground yang tepat, maka jaring diturunkan kemudian lampu dinyalakan. Lamanya pemasangan lampu tergantung dari cepat atau lambatnya kelompok ikan berkumpul di sekitar lampu tersebut. Kemudian ketika kelompok ikan terkumpul di sekitar lampu, maka intensitas cahaya lampu yang berada dipinggiran bagan diperkecil, dan lampu yang berada di tengah bagan diperbesar intensitas cahayanya, hal ini dimaksudkan agar ikan berkumpul di tengah jaring. Kemudian setelah ikan berkumpul ditengah jaring, lalu jaring diangkat kembali ke atas.
Daerah dan Musim Penangkapan Penangkapan Ikan
Sebagian besar, daerah penangkapan ikan nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas masih di dalam kawasan perairan Kabupaten atau sejauh 12 mil dari pantai. Namun ada sebagian nelayan yang derah penangkapannya di atas 12 mil dari pantai, yaitu nelayan yang berasal dari Kecamatan Palmatak. Berdasarkan hasil wawancara, daerah penangkapan ikan nelayan digolongkan berdasarkan musim. Di Anambas sendiri ada empat musim berdasarkan angin yang dikenal oleh para nelayan, yaitu musim angin barat, timur, utara dan selatan. Selain itu, ikan-ikan tangkapan juga bergantung dengan musim (Tabel 5).
Tabel 5 Musim penangkapan berdasarkan jenis ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas
Musim
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Angin Utara vvvvv vvvv vv vvv vvvvv vvvvv
Angin Timur v v V V
Angin Selatan vv vv vv
Angin Barat vvv vvv
Musim Ikan
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sunu v v vv vvvv vvvvv vvvvv vvvv vvvv vv v v v
Kuwe v v vv vvvv vvvvv vvvvv vvvv vvvv vv v v v
Tenggiri vv v vvv vvvv vvvvv vvvv
Tongkol v v vv vvvv vvvvv vvvvv vvvv vvvv vv v v v
Kurisi v v vv vvvv vvvvv vvvvv vvvv v v v v v
22
Sebagaimana tergambar dalam Tabel 4, maka musim yang dikenal oleh nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas ada 4, yaitu angin utara, timur, selatan dan barat. Musim angin utara yang biasa orang awam kenal adalah musim angin kencang, biasanya terjadi dalam rentang bulan Oktober sampai bulan Maret dengan puncak bulan November-Januari. Pada musim ini, biasanya masyarakat nelayan akan banyak menangkap ikan tenggiri karena berdasarkan wawancara ikan tenggiri banyak ditemukan di Perairan Kabupaten Kepulauan Anambas pada musim angin kencang ini. Namun tidak semua nelayan Anambas yang pergi melaut saat melaut, hanya beberapa nelayan dengan kekuatan motor di atas 3 GT yang akan melaut.
Musim angin timur biasanya terjadi mulai bulan Maret-Juni, kemudian musim angin selatan biasanya berlangsung mulai bulan Juni-bulan Agustus. Pada musim angin timur dan selatan ini, aktivitas penangkapan ikan akan berlangsung karena musim tersebut merupakan musim teduh sehingga nelayan dengan mudah melakukan aktivitas penangkapan. Puncak musim tersebut berlangsung pada bulan Mei-Juni yang merupakan puncak dari beberapa penangkapan ikan yang menjadi komoditas utama nelayan, seperti ikan kerapu sunu, kuwe, tongkol, dan kurisi.
Gambar 5 Indeks musim penangkapan ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas Puncak musim penangkapan ikan di Kabupaten Kepulauan Anambas berdasarkan perhitungan Indeks Musim Penangkapan (Gambar 5) terjadi pada bulan Maret dan bulan Juni, sedangkan musim paceklik berkisar pada bulan November sampai Februari dengan puncak paceklik pada bulan Januari. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara nelayan bahwa musim angina kencang, dimana
23 nelayan tidak dapat menangkap ikan ikan berkisar antara bulan Oktober-sampai Februari.
Kondisi Kawasan Konservasi Perairan
Kondisi Ekosistem Karang
Ekosistem terumbu karang di Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya terdiri dari tiga tipe, yakni terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin (atol). Luas terumbu karang di TWP Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya adalah 3.705,84 hektar. Hasil identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan oleh Loka KKPN Pekanbaru di 116 titik pengamatan pada tahun 2011 hingga tahun 2013 didapatkan tutupan terumbu karang hidup di dalam kawasan berkisar antara 6,67% hingga 81% dengan rata-rata tutupan karang 47,84%. Menurut Gomez dan Yap (1988), kriteria kondisi ekosistem terumbu karang dikatakan rusak apabila tutupan karang hidup antara 0 – 24,9%, kondisi sedang antara 25 – 49,9%, kondisi baik antara 50 – 74,9% dan kondisi sangat baik antara 75 - 100%. Mengacu pada kriteria ini, maka hasil temuan pada survei menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang yang terdapat di dalam kawasan berada dalam kategori rusak hingga sangat baik, dengan rata-rata tutupan karang kategori sedang.
Kondisi terumbu karang yang masuk dalam kategori rusak ditemukan di 13 titik pengamatan yakni di Pulau Impol Kecil, Karang Salahnama, Karang Tuboi, Pulau Mangkai, Pulau Bawah bagian barat laut, Pulau Ipan, Pulau Repong, Pulau Rengek, Pulau Keramut, Pulau Pempang, Pulau Impol, dan Pulau Langor. Kondisi terumbu karang yang masuk dalam kategori sedang ditemukan di 50 titik pengamatan, sementara yang masuk dalam kategori baik ditemukan di 44 titik pengamatan. Sedangkan terumbu karang dengan kondisi sangat baik berada di 9 titik pengamatan, yakni Karang Kuning, Pulau Pasu, Pulau Gemili, Pulau Luyung, Pulau Selai, Pulau Akar, barat laut Pulau Jemaja, Pulau Tokong Malangbiru, dan Tanjung Lelan.
Dalam survei Marine Rapid Assessment Program (MRAP) tahun 2012, teridentifikasi 339 spesies karang dan spesies karang belum teridentifikasi. Dari 27 spesies tersebut, terdapat 2 spesies yang diduga sebagai spesies karang baru, yakni Montipora sp. dan Anacropora sp. yang banyak ditemukan di perairan Pulau Selai pada titik koordinat 106° 29.647 BT; 3° 11.219 LS. Selain itu, banyak ditemukan keragaman jenis karang Gorgonian yang hidup di kedalaman yang biasanya tidak ditemukan di ekosistem terumbu karang di lokasi lain (Mustika et al.
2012)
Kondisi Ekosistem Lamun
24
hanya seluas 62,77 hektar (Identifikasi dan Inventarisasi Potensi 2012). Berdasarkan hasil pengamatan di 3 lokasi pengamatan yaitu Desa Air Sena, Air Asuk dan Batu Belaah (Data dan Analisis Rencana Pengeloalaan dan Zonasi TWP Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya 2011), ditemukan tiga jenis lamun yaitu
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii. Tutupan lamun tertinggi yaitu dari jenis Enhalus acroides, dengan besar tutupan 30,76% dan ditemukan di Desa Airasuk. Sedangkan tutupan lamun terendah yaitu dari jenis
Halophila ovali dengan besar tutupan 1,36% dan ditemukan di Desa Airsena (Tabel 6). Namun, pada penelitian Pranata et al. (2014), tutupan lamun di Kabupaten Kepulauan Anambas berkisar hanya 2,75 – 10,28 % sehingga dapat dikelompokkan dalam kategori miskin.
Tabel 6 Tutupan lamun (%) pada beberapa lokasi di Kepulauan Anambas Lokasi
Pengamatan
Persen tutupan
Enhalus acoroides Halophila ovalis Thalassia hemprichii
Airsena 1,82 1,36 13,48
Airasuk 30,76 0,00 4,85
Batu Belah 0,00 8,33 0,00
Sumber : Identifikasi dan Inventarisasi Potensi (2011)
Kondisi Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Hasil identifikasi berdasarkan hasil citra menghasilkan data bahwa luas mangrove di kawasan TWP Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya adalah 766,32 ha yang terdiri dari 122,86 ha dengan kerapatan tinggi, 493,04 ha dengan kerapatan sedang, dan 150,42 ha dengan kerapatan rendah (Identifikasi dan Inventarisasi potensi 2012).
Adapun genus mangrove yang ditemukan di Kepulauan Anambas adalah
25 Tabel 7 Lokasi hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Anambas berdasarkan hasil identifikasi
Kecamatan Nama pulau/lokasi
Siantan Timur Batu Belah
Pulau Pangelat Pulau Bajau Pulau Punjung
Pulau Kerisan Pulau Swik
Siantan Tengah Air Asuk
Siantan Selatan Pulau Akar
Pulau Siantan Pulau Telaga Kecil
Pulau Lima
Jemaja Pulau Kramut Kecil
Tanjung Lelan Sumber : Identifikasi dan Inventarisasi Potensi (2011)
Kondisi Pengelolaan Kawasan Konservasi
Struktur Pengelola Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kepulauan Anambas ditetapkan pada tahun 2014 berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Perikanan dengan Nomor 37/KEPMEN-KP-/2014 yang sebelumnya dicadangkan menjadi KKP pada tahun 2011 berdasakan KEPMEN KP dengan nomor KEP.35/MEN/2011. Berdasarkan KEPMEN KP nomor 37/KEPMEN-KP-/2014 KKP Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan KKP Ynag tergolong dalam kategori Taman Wisata Perairan (TWP).
26
Dinas Perhubungan, Badan Penanaman Modal (Kabupaten Kepulauan Anambas), Conservation International Indonesia, Chonoco Phillips, Premier Oil, CSR West Natuna Consorsium/K3S SKK Migas di Kepulauan Anambas, RARE Indonesia.
Gambar 6 Struktur Satker Loka KKP Kabupaten Kepulauan Anambas
Arah Kebijakan Pengelolaan Perikanan di KKPN Kepulauan Anambas Arah kebijakan pengelolaan perikanan di Kabupaten Kepulauan Anambas sejak ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi didasarkan pada Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya yang tertuang dalam Kepmen KP No. 53 tahun 2014. Adapun arah kebijakan dalam pengelolaan perikanan tersebut yaitu:
1. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan dan Para Pihak a. Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan
b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia unit organisasi pengelola dan masyarakat
c. Pembangunan dan peningkatan sarpras pengelolaan TWP Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya
27 e. Inisiasi dan Pengembangan
f. Pendanaan berkelanjutan
2. Penguatan Pengelolaan Sumberdaya a. Perlindungan ekosistem terkait biota b. Rehabilitasi ekosistem terkait biota c. Penelitian dan pengembangan d. Pemanfaatan sumberdaya
e. Pengembangan sistem pengawasan f. Koordinasi pengawasan
g. Penguatan penyadaran masyarakat
3. Penguatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan a. Penguatan sosial dan budaya
b. Penguatan ekonomi c. Pemanfaatan kawasan
d. Penguatan sisem informasi promosi e. Aksi promosi
28
3
PENILAIAN AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN DI
KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN KABUPATEN
KEPULAUAN ANAMBAS
Pendahuluan
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan yang dilindungi berdasarkan definisi ini mencakup tidak hanya kawasan perairan laut tetapi juga perairan umum, termasuk sungai dan danau. KKP sendiri memiliki tiga pilar utama yaitu perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan. Sehingga sejatinya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dilakukan harusnya bisa memperhatikan kondisi ekologi di sekitar perairan tersebut. Karena pemanfaatan sumberdaya ikan secara berlebihan, ditambah lagi dengan pengerusakan ekosistem laut antara lain terumbu karang, hutan bakau, dan ekosistem laut lainnya akan menjadi salah satu sebab menipisnya stok sumberdaya ikan (Radarwati et al. 2010).
Dengan adanya suatu kawasan konservasi, diharapkan adanya kegiatan penangkapan perikanan harus bisa memperhatikan kaidah-kaidah ekologi dengan adanya pengelolaan yang telah ditetapkan. Selain dapat melindungi keanekaragaman hayati, harusnya pengelolaan KKP yang efektif akan mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan dan peningkatan ekonomi melalui aktivitas ekowisata bahari (PISCO 2002; Gell dan Roberts 2003). Apalagi sistem zonasi yang menjadi dasar dalam penerapan pengelolaan perikanan di kawsan konservasi sejatinya dilakukan untuk mendukung formulasi pengelolaan KKP yang efektif dan berkelanjutan. Formulasi ini melibatkan aspek-aspek biofisik, sosial-ekonomi-budaya, tata kelola (Bengen et al. 2003; White et al. 2006) dan pendanaan (Susanto 2005). Oleh karena itu, penetapan KKP harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Ekologi atau biofisik, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan;
b. Sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat; dan
c. Ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai kawasan.
29 dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). EAFM merupakan
sebuah konsep yang menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi, dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (KKP 2012).
Aktivitas penangkapan yang terjadi di KKPN Kepulauan Anambas sangat penting untuk dikelola dengan baik. Hal itu karena kondisi KKPN Kepulauan Anambas yang sangat strategis di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 dan berbatasan dengan banyak negara. Aktivitas penangkapan secara ilegal dan kegiatan manusia yang mengarah terhadap pengerusakan ekosistem perikanan marak terjadi di KKPN Kepulauan Anambas. Sehingga untuk mengetahui sejauh mana aktivitas penangkapan yang telah dilakukan di KKPN Kepulauan Anambas perlu dilakukan evaluasi penilaian yang berbasis ekositem menggunakan pendekatan EAFM. Dalam penilaiannya, EAFM menggunakan indikator spesifik dari aspek biofisik suatu kawasan perairan sehingga dapat mengidentifikasi indikator yg menjadi penting diberikan evaluasi agar dapat menjadi rekomedasi pengelolaan perikanan bagi pengelola KKPN Kepulauan Anambas. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas.
Metode Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai Juni 2015. Tempat penelitian yaitu di seluruh kawasan Konservasi Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Anambas, Kepulauan Riau.
Bahan dan Data