• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kebiasaan Menyirih Dan Menyuntil Dengan Derajat Atrisi Dan Abrasi Gigi Pada Perempuan Penyirih/Penyuntil Suku Karo Di Pancur Batu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kebiasaan Menyirih Dan Menyuntil Dengan Derajat Atrisi Dan Abrasi Gigi Pada Perempuan Penyirih/Penyuntil Suku Karo Di Pancur Batu"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEBIASAAN MENYIRIH DAN

MENYUNTIL DENGAN DERAJAT ATRISI

DAN ABRASI GIGI PADA PEREMPUAN

PENYIRIH/PENYUNTIL SUKU KARO

DI PANCUR BATU

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

BOB PERMANA SIMANUNGKALIT NIM: 070600108

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Biologi Oral

Tahun 2013

Bob Permana Simanungkalit

Hubungan Kebiasaan Menyirih dan Menyuntil dengan Derajat Atrisi dan Abrasi Gigi pada Perempuan Penyirih/Penyuntil Suku Karo di Pancur Batu

xii + 70 halaman

Menyirih dan menyuntil merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah suku Karo di Sumatera Utara. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi dan kebiasaan menyuntil dapat menyebabkan abrasi gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara derajat atrisi gigi dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih; apakah ada hubungan antara derajat abrasi gigi dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil, pada perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Pancur Batu Sumatera Utara.

(3)

dan umur penyirih. Data abrasi gigi responden dikelompokkan berdasarkan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil.

Dalam penelitian ini dijumpai atrisi derajat 1 (4,4%), derajat 2 (20%), derajat 3 (75,6%), dan tidak dijumpai atrisi derajat 4. Dijumpai abrasi derajat 1 (7,8%), derajat 2 (92,2%), dan tidak dijumpai derajat 3 dan 4. Analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi gigi dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, dan umur penyirih; ada hubungan yang signifikan antara derajat abrasi gigi dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, dan umur penyuntil.

Kesimpulan penelitian adalah ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi gigi dengan lama menyirih (p = 0,001), frekuensi menyirih (p = 0,001), dan umur penyirih (p = 0,001); tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi gigi dengan komposisi menyirih (p = 0,948); ada hubungan yang signifikan antara derajat abrasi gigi dengan lama menyuntil (p = 0,01), frekuensi menyuntil (p = 0,001), dan umur penyuntil (p = 0,047); tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat abrasi dengan komposisi menyuntil (p = 0,674).

(4)

ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 04 April 2013

Pembimbing: Tanda tangan

(5)

iii

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 04 April 2013

TIM PENGUJI

KETUA : Rehulina Ginting, drg., M.Si. ANGGOTA : 1. Lisna Unita, drg., M.Kes.

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan perlindungan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., Ph.D., C.Ort., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku Ketua Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

3. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG., selaku penasehat akademik yang telah memberikan perhatian dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Rehulina Ginting, drg., M.Si., Lisna Unita, drg., M.Kes., dan Minasari, drg., selaku tim penguji skripsi, Yendriwati, drg., M. Kes., Dr. Ameta Primasari, drg., M.Kes., MDSc., dan Yumi Lindawati, drg., selaku staf pengajar Departemen Biologi Oral FKG USU, Ngaisah dan Dani Irma Suryani selaku staf pegawai yang telah memberikan bantuan, saran, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Dr. Erna Mutiara, Ir., MKM., selaku staf pengajar bidang statistika FKM USU atas bimbingan dan bantuan dalam rancangan penelitian dan pengolahan data.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai FKG USU yang telah memberikan bimbingan dan semangat selama penulis menjalankan pendidikan di FKG USU.

(7)

v

8. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak (S. Simanungkalit) dan Ibu (R. Sijabat) yang telah memberikan doa, kasih sayang, perhatian, semangat, kesabaran, dan semua dukungan moral dan materil. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Abang (Dorlan Simanungkalit), kedua Kakak (Puspa Simanungkalit dan Pratiwi Simanungkalit), Adik (Bhatilda Putri Mentari Simanungkalit), dan segenap keluarga yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.

9. Teman-teman penulis yang telah memberikan bantuan dan semangat, Egia Ninta, Lee Zuo Long, Joel, Kesevan, Amar, Amira, Moratua, Peter Limas, dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berguna bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang kedokteran gigi.

Medan, 04 April 2013 Penulis,

(8)

vi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL --- i

HALAMAN PERSETUJUAN --- ii

HALAMAN TIM PENGUJI --- iii

KATA PENGANTAR --- iv

DAFTAR ISI --- vi

DAFTAR TABEL --- ix

DAFTAR GAMBAR --- x

DAFTAR GRAFIK --- xi

DAFTAR LAMPIRAN --- xii

BAB 1 PENDAHULUAN --- 1

1.1 Latar Belakang --- 1

1.2 Rumusan Masalah --- 3

1.3 Hipotesis Penelitian --- 3

1.4 Tujuan Penelitian --- 3

1.5 Manfaat Penelitian --- 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA --- 4

2.1 Kebiasaan Menyirih dan Menyuntil --- 4

2.2 Komposisi Menyirih dan Menyuntil --- 6

2.2.1 Daun Sirih --- 6

2.2.2 Kapur --- 7

2.2.3 Pinang --- 9

2.2.4 Gambir --- 10

2.2.5 Tembakau --- 11

2.3 Efek Menyirih dan Menyuntil Terhadap Kesehatan --- 12

2.4 Atrisi Gigi --- 13

2.4.1 Definisi Atrisi Gigi --- 13

(9)

vii

2.5 Abrasi Gigi --- 17

2.5.1 Definisi Abrasi Gigi --- 17

2.5.2 Efek Menyuntil Terhadap Abrasi Gigi --- 18

2.6 Kombinasi Atrisi dan Abrasi Gigi Dalam Terjadinya Keausan Gigi --- 20

4.2.1 Hubungan Lama Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 32

4.2.2 Hubungan Frekuensi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 33

4.2.3 Hubungan Komposisi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi ---- 34

4.2.4 Hubungan Umur Penyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 36

4.3 Abrasi Gigi --- 37

4.3.1 Hubungan Lama Menyuntil dengan Derajat Abrasi Gigi --- 37

4.3.2 Hubungan Frekuensi Menyuntil dengan Derajat abrasi Gigi ---- 38

4.3.3 Hubungan Komposisi Menyuntil dengan Derajat abrasi Gigi --- 40

4.3.4 Hubungan Umur dengan Derajat Abrasi Gigi --- 41

BAB 5 PEMBAHASAN --- 43

5.1 Latar belakang pemilihan subjek penelitian --- 43

5.2 Karakteristik Umum Penyirih --- 44

5.3 Atrisi dan Abrasi gigi --- 45

5.4 Hubungan Kebiasaan Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 47

5.4.1 Hubungan Lama Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 47

5.4.2 Hubungan Frekuensi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 49

5.4.3 Hubungan Komposisi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi ---- 50

5.4.4 Hubungan Umur Penyirih dengan Derajat Atrisi Gigi --- 52

5.5 Hubungan Kebiasaan Menyuntil dengan Derajat Abrasi Gigi --- 54

5.5.1 Hubungan Lama Menyuntil dengan Abrasi Gigi --- 54

(10)

viii

5.5.3 Hubungan Komposisi Menyuntil dengan Abrasi Gigi --- 59

5.5.4 Hubungan Umur Penyuntil dengan Abrasi Gigi --- 61

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN --- 65

6.1 Kesimpulan --- 65

6.2 Saran --- 65

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Karakteristik umum penyirih --- 31 2. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan lama menyirih --- 32 3. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan frekuensi

menyirih --- 34 4. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan komposisi

menyirih --- 35 5. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan umur penyirih --- 36 6. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan lama menyuntil -- 38 7. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan frekuensi

menyuntil --- 39 8. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan komposisi

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. A. Pohon sirih; B. Daun sirih --- 6

2. A. Kapur sirih; B. Pasta kapur sirih --- 8

3. A. Pohon pinang; B. Biji pinang --- 9

4. A. Tunas gambir; B. Gambir --- 11

5. A. Pohon tembakau; B. Irisan tembakau kering --- 12

6. Indeks atrisi gigi --- 16

7. A. Atrisi gigi derajat 1; B. Atrisi gigi derajat 2; C. Atrisi gigi derajat 3; D. Atrisi gigi derajat 4 --- 17

8. Indeks abrasi gigi --- 19

9. A. Abrasi gigi derajat 1; B. Abrasi gigi derajat 2; C. Abrasi gigi derajat 3; D. Abrasi gigi derajat 4 --- 20

10. Gambaran klinis gigi atrisi derajat 1 --- 29

11. Gambaran klinis gigi atrisi derajat 2 --- 29

12. Gambaran klinis gigi atrisi derajat 3 --- 29

13. Gambaran klinis gigi abrasi derajat 1 --- 30

(13)

xi

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman 1. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan lama menyirih ---- 32 2. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan frekuensi

menyirih --- 33 3. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan komposisi

menyirih --- 34 4. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan umur penyirih ---- 36 5. Distribusi frekuensi derajat abrasi gigi berdasarkan lama menyuntil - 37 6. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan frekuensi

menyuntil --- 38 7. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan komposisi

(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kerangka Penelitian 2. Alur Pikir

3. Ethical Clearance 4. Informed Consent 5. Kuesioner

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyirih merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia. Kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat atau pada acara yang sifatnya ritual keagamaan.1 Kebiasaan menyirih juga dijumpai pada masyarakat suku Karo, khususnya pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara. Kebiasaan ini terus berlangsung sampai saat ini, baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada saat upacara adat. Hal yang unik pada suku Karo adalah bahwa kebiasaan menyirih biasanya dilanjutkan dengan kegiatan menyuntil.

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2 Menyuntil adalah suatu proses menggosok-gosokkan gumpalan suntil pada permukaan gigi dan mukosa rahang atas dan rahang bawah sebelah labial atau bukal dengan gerakan memutar.3 Gumpalan suntil adalah hasil kunyahan campuran sirih ditambah dengan sejumlah tembakau, yang dibentuk menjadi gumpalan dan digosok-gosokkan ke permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal.

(16)

Papua, khususnya masyarakat di wilayah pesisir pantai, komposisi menyirih terdiri atas pinang, buah sirih, dan kapur.7-8

Menyirih dan menyuntil memiliki efek positif dan negatif terhadap kesehatan umum maupun rongga mulut. Efek positif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap kesehatan umum diantaranya dapat menetralkan asam lambung, mengobati sakit perut, sakit kepala, dan demam,3 relaksasi, meningkatkan konsentrasi, mengembalikan mood bekerja,9 meningkatkan kapasitas kerja, kewaspadaan, dan stamina,10 menekan rasa lapar,11 mengurangi gejala schizoprenia,12 mencegah morning sickness pada ibu hamil,13 dan mencegah osteoporosis.14 Efek positif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap kesehatan rongga mulut adalah dapat menyegarkan nafas dan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab karies gigi.11

Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap kesehatan umum diantaranya terkait dengan penyakit kardiovaskular, karsinoma hepatoseluler, sirosis hati, hiperlipidemia, hiperkalsaemia, penyakit ginjal kronis,15 hipertensi, obesitas, diabetes melitus, sindrom metabolik, induksi sindrom ekstrapiramidal, sindrom milk-alkali, induksi displasia serviks uterus, kanker kerongkongan dan hati, berat lahir bayi rendah pada ibu penyirih/penyuntil, dan predisposisi kolonisasi Helicobacter pylori dalam saluran pencernaan.16 Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua, yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi. Terhadap mukosa mulut menyirih dan menyuntil dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid, perubahan warna pada mukosa mulut, penyakit periodontal, dan kanker mulut. Terhadap gigi menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, fraktur akar, nekrosis pulpa, dan terbentuknya kalkulus dan stein pada gigi.17 Menyuntil dapat menyebabkan abrasi gigi, hipersensitivitas dentin, nekrosis pulpa, dan terbentuknya stein dan kalkulus pada gigi.18

(17)

terhadap gigi, secara khusus hubungan antara kebiasaan menyirih dengan derajat atrisi gigi dan hubungan antara kebiasaan menyuntil dengan derajat abrasi gigi, pada perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Pancur Batu Sumatera Utara.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi gigi pada penyirih dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih?

2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara derajat abrasi gigi pada penyuntil dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil?

1.3 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara derajat atrisi gigi pada penyirih dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.

2. Ada hubungan antara derajat abrasi gigi pada penyuntil dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil.

1.4Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara derajat atrisi gigi pada penyirih dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.

2. Untuk mengetahui hubungan antara derajat abrasi gigi pada penyuntil dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil.

1.5 Manfaat Penelitian

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebiasaan Menyirih dan Menyuntil

Kebiasaan menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2 Kebiasaan ini merupakan praktek kuno yang umum di banyak negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara, yang melengkapi penerimaan sosial di banyak masyarakat dan juga populer di kalangan wanita. Kebiasaan mengunyah sirih telah dikenal dan dilaporkan di berbagai negara seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua Nugini, beberapa Pulau Pasifik, dan populasi migran di tempat-tempat seperti Afrika Selatan dan Timur, Inggris, Amerika Utara, dan Australia.19

Di Indonesia, khususnya pada suku Karo di Sumatera Utara, kebiasaan menyirih biasanya dilanjutkan dengan kebiasaan menyuntil. Menyuntil adalah suatu proses menggosok-gosokkan gumpalan suntil pada permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal dengan gerakan memutar.3 Gumpalan suntil adalah hasil kunyahan campuran sirih ditambah dengan sejumlah tembakau, yang dibentuk menjadi gumpalan dan digosok-gosokkan ke permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal.9

Bukti arkeologi menunjukkan bahwa mengunyah campuran sirih telah dipraktekkan sejak zaman kuno dan telah bertahan sampai ke abad dua puluh. Diperkirakan terdapat 10-20% dari populasi dunia yang memiliki kebiasaan menyirih. Kebiasaan ini banyak ditemukan di Asia Tenggara, anak benua India, Pasifik Barat, dan daerah pinggiran lainnya. Kebiasaan menyirih adalah hal yang asing di dunia Barat. Namun, orang-orang yang bermigrasi ke negara-negara barat seperti Amerika utara membawa serta kebiasaan ini.2

(19)

cengkeh, adas manis, kunyit, mustar atau pemanis, sering ditambahkan sesuai dengan preferensi lokal. Preferensi lain lebih memilih produk pinang kering yang diproduksi secara komersial seperti Paan masala dan Supari.20 Selain untuk dikunyah, campuran sirih dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya secara luas digunakan untuk tujuan pengobatan, magis, dan simbolis. Bahan-bahan ini digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk gangguan pencernaan dan cacing. Hal ini diyakini untuk memfasilitasi kontak dengan kekuatan supranatural dan sering digunakan untuk mengusir roh, terutama yang berhubungan dengan penyakit. Dalam peran simbolis, bahan-bahan ini dijumpai di hampir semua upacara keagamaan dan festival dalam kalender bulan.3

Peralatan sirih terbuat dari bahan-bahan alam yang umum di daerah kepulauan. Bahan-bahan yang digunakan bersifat tahan lama, tahan air, dan ringan. Misalnya, wadah kapur yang terbuat dari sabut kelapa di Flores, dari tanduk yang diukir di Sulawesi tenggara, dan dari labu di Timor Timur. Tanduk kerbau atau kelapa juga digunakan untuk spatula. Masyarakat Ifugao di Filipina membuat kotak kapur dari tulang manusia, serta mendekorasinya dengan adegan bergambar yang menceritakan kisah kematian si pemilik tulang. Tanduk rusa digunakan di Burma untuk meremukkan pinang; pinang diremukkan menjadi potongan-potongan kecil ketika didorong dari bagian tanduk yang luas ke bagian yang sempit.3

(20)

2.2 Komposisi Menyirih dan Menyuntil 2.2.1 Daun Sirih

Daun sirih (Piper Betel Linn) adalah tumbuhan merambat Asia tropis yang berhubungan dekat dengan lada. Daun ini pada umumnya disebut betel (Bahasa Inggris), paan (Bahasa India), phlu (Bahasa Thailand) dan sirih (Bahasa Indonesia). Daun sirih banyak digunakan sebagai penyegar mulut dan tumbuh secara ekstensif di India, Sri Lanka, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan negara-negara Asia Tenggara. Daunnya dikunyah tersendiri atau bersama dengan bahan lain seperti pinang (kattha), cengkeh, kapulaga, pinang, manisan mawar dan adas untuk tujuan mengunyah.21 Daun sirih memiliki rasa pedas dan menghasilkan minyak esensial yang banyak digunakan sebagai obat. Penelitian lain menunjukkan bahwa minyak esensial daun sirih memiliki efek antijamur, antiseptik, dan anthelmintik.22

Daun sirih kaya akan karoten, asam askorbat, dan fenolat. Senyawa fenolik dari tanaman ini berkaitan dengan chavicol, chavibetol, chavibetol asetat, dan eugenol.22 Eugenol adalah zat aromatik yang mudah menguap dan tidak jenuh yang dapat merangsang sistem saraf pusat, dan merupakan sejenis alkaloid, yang terkenal memiliki sifat seperti kokain.23 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan mengunyah daun sirih dapat mencegah osteoporosis dalam kelompok masyarakat yang secara ekonomi dan sosial kurang beruntung. Unsur utama daun sirih adalah minyak atsiri, yang bervariasi di negara berbeda dan dikenal sebagai minyak sirih.24

(21)

Daun sirih bersifat aromatik, karminatif, dan stimulan, dan juga merupakan afrodisiak (zat yang dapat merangsang kinerja sel tubuh) dan antiseptik yang dapat meningkatkan proses pencernaan, memperjelas suara, dan mengobati perut kembung. Jus daun sirih dapat mengobati batuk dan gangguan pencernaan pada anak. Daunnya juga digunakan sebagai kontra-iritan untuk menekan sekresi susu pada abses payudara dan juga berkhasiat menyembuhkan luka. Minyak daun sirih adalah stimulan lokal aktif yang digunakan dalam pengobatan catarrhs pernapasan, melalui aplikasi lokal atau kumur, juga inhalant untuk penderita difteri.24

Berbagai spesies daun sirih telah ditemukan yang memperluas spektrum aktivitas antibakteri. Minyak sirih mengandung dua fenol, betel-fenol (chavibetol) dan chavicol. Cadinene juga telah ditemukan. Minyak yang terbaik adalah yang berwarna kuning terang yang diperoleh dari daun segar. Investigasi phytochemical pada daun sirih menunjukkan bahwa daun sirih memiliki jumlah tannins yang tinggi.24 Penelitian yang dilakukan The International Agency for Research on Cancer (IARC 2004), menyatakan bahwa terdapat bukti yang cukup bahwa campuran sirih tanpa tembakau bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker mulut, dan campuran sirih dengan tembakau, dapat menyebabkan kanker mulut dan kanker faring dan kerongkongan.25

2.2.2 Kapur

(22)

dahulu kemudian dihancurkan dengan palu, di Indonesia kerang dihancurkan dengan tangan, setelah dikurangi menjadi bubuk halus, air, dan kadang-kadang sedikit

Gambar 2. A. Kapur sirih; B. Pasta kapur sirih.26

(23)

2.2.3 Pinang

Pinang (Areca catechu) adalah pohon palem berbatang tunggal dan ramping yang dapat tumbuh sampai 30 m. Pinang dibudidayakan dari Afrika Timur dan Semenanjung Arab sampai ke Asia tropis dan dari Indonesia sampai ke Pasifik tengah dan New Guinea. Bijinya dikunyah sebagai stimulan pengunyahan sebesar 5% dari populasi dunia, membuatnya lebih populer daripada permen karet tapi tidak sepopuler tembakau. Pinang sering digunakan dalam ritual budaya atau sosial, dan dijumpai dalam upacara-upacara kebudayaan Asia dan Pasifik.27 Pinang dapat digunakan secara sendiri maupun bersama dengan bahan lain seperti tembakau, kapur, gambir, dan bahan rempah-rempah lainnya, yang dibungkus dalam daun sirih dan disebut sebagai campuran sirih.

Di India tengah popular produk olahan campuran sirih yang dikenal sebagai pan masala. Produk ini terdiri atas pinang, gambir, kapur, dan mungkin juga tembakau.17 Kebiasaan mengunyah pinang telah diketahui berpotensi merusak kesehatan. Bukti-bukti selama 40 tahun terakhir, terutama dalam bentuk studi epidemiologi dan eksperimental skala besar menunjukkan bahwa bahkan ketika dikonsumsi tanpa menggunakan tembakau atau kapur, memiliki efek yang berpotensi berbahaya pada rongga mulut. Efek ini dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu efek yang mempengaruhi jaringan keras gigi, yang meliputi gigi, jaringan periodonsium,

(24)

dan sendi temporomandibular, dan efek yang mempengaruhi jaringan lunak, yaitu mukosa yang melapisi rongga mulut.17 Ekstrak pinang diketahui bersifat sitotoksik dan genotoksik dan secara luas terlibat dalam perkembangan kanker mulut.23

Air liur penyirih dilaporkan mengandung nitrosamin yang berasal dari alkaloid pinang. Kanker sel skuamosa oral adalah tumor ganas yang paling umum terjadi di Papua Guinea, tempat dimana praktek menyirih sangat luas. Hal serupa juga terjadi di bagian Asia Selatan dan Tenggara.23 Arecoline, yang merupakan alkaloid cholinomimetic, adalah unsur utama dari pinang. Zat Ini memiliki efek diaphoretik yang kuat; merangsang kelenjar ludah, lakrimal, lambung, pankreas, usus, dan sel-sel mukosa saluran pernapasan; meningkatkan tonus otot dan pergerakan otot polos di seluruh tubuh; memperlambat denyut jantung; mengkonstriksi pupil mata, dan meniru aksi asetilkolin dalam tubuh. Penggunaan buah pinang dalam bentuk apapun tidak aman untuk kesehatan mulut.23

2.2.4 Gambir

Gambir adalah bahan astringen berwarna coklat kemerahan, yang sering dioleskan pada daun sirih yang digunakan untuk membungkus bahan menyirih. Terdapat dua jenis gambir berdasarkan pohon atau semak dari mana gambir tersebut diekstrak, salah satunya dari rebusan dan ekstrak inti kayu Acacia catechu, Willd, yang berasal dari India dan Myanmar, kadang-kadang disebut gambir hitam. Kandungan utamanya adalah catechu-tannic acid (25-35%), acacatechin (2-10%), quercetin, dan red catechu.9

(25)

sarinya keluar, dan setelah mendingin campuran akan mengkristal, kemudian dibentuk menjadi bola kecil atau kotak.9

Gambar 4. A. Tunas gambir; B. Gambir.29

2.2.5 Tembakau

Tembakau sering ditambahkan ke dalam campuran sirih. Bahan tembakau dibuat dari daun Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum yang dikeringkan dan difermentasi sebagian, tanpa proses lebih lanjut. Di sebagian besar wilayah Indonesia, tembakau tidak termasuk bahan campuran sirih, melainkan setelah campuran sirih dikunyah selama beberapa menit, gumpalan tembakau yang diiris halus ditempatkan dalam komisura labial dan akhirnya digunakan untuk membersihkan gigi. Kadang-kadang tembakau dibuat menjadi bubuk dan dikombinasikan dengan molase atau direbus sebelum digunakan.3 Tembakau tanpa asap mengandung lebih dari 3.000 bahan kimia, yang mana 28 diantaranya diketahui bersifat karsinogen.18

(26)

Gambar 5. A. Pohon tembakau; B. Irisan tembakau kering.30

Ketika digunakan sebagai bahan campuran sirih, daun tembakau memiliki risiko kanker mulut yang sama dengan populasi yang hanya mengunyah tembakau. Penelitian yang dilakukan The International Agency for Research on Cancer (IARC) 2004, menyatakan bahwa terdapat bukti yang cukup bahwa campuran sirih tanpa tembakau bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker mulut, dan campuran sirih dengan tembakau, dapat menyebabkan kanker mulut dan kanker faring dan kerongkongan.9

2.3. Efek Menyirih dan Menyuntil Terhadap Kesehatan

(27)

Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap kesehatan umum diantaranya terkait dengan penyakit kardiovaskular, karsinoma hepatoseluler, sirosis hati, hiperlipidemia, hiperkalsaemia, penyakit ginjal kronis,15 hipertensi, obesitas, diabetes melitus, sindrom metabolik, induksi sindrom ekstrapiramidal, sindrom milk-alkali, induksi displasia serviks uterus, kanker kerongkongan dan hati, berat lahir bayi rendah pada ibu penyirih/penyuntil, dan predisposisi kolonisasi Helicobacter pylori dalam saluran pencernaan.16 Efek negatif kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua, yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi. Terhadap mukosa mulut menyirih dan menyuntil dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid, perubahan warna pada mukosa mulut, penyakit periodontal, dan kanker mulut. Terhadap gigi menyirih dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, fraktur akar, nekrosis pulpa, dan terbentuknya kalkulus dan stein pada gigi.17 Menyuntil dapat menyebabkan abrasi gigi, hipersensitivitas dentin, nekrosis pulpa, dan terbentuknya stein dan kalkulus pada gigi.18

2.4 Atrisi Gigi

2.4.1 Definisi Atrisi Gigi

(28)

pengunyahan. Hal ini dihasilkan oleh kontak gigi dengan gigi antara gigi yang berantagonis.

Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi, tetapi juga pada perubahan skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya. Tingkat dan perluasan keausan gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologi gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan.31 Atrisi tidah hanya disebabkan karena terpaparnya gigi oleh beban pengunyahan dalam jangka waktu yang lama, tetapi juga berkorelasi dengan kebersihan gigi, disgnati, bruxism, dan kebiasaan diet.34

2.4.2 Efek Menyirih Terhadap Atrisi Gigi

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2 Dalam proses menyirih terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi. Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. Dalam campuran sirih bahan yang bersifat kasar adalah kapur. Kapur memiliki sifat kasar karena pada umumnya kapur terbuat dari kulit kerang atau batu kapur yang dihaluskan. Kekasaran kapur menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi dalam proses menyirih. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.31

(29)

antagonisnya atau bahan pinang. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah. Tekanan pengunyahan yang besar dapat menyebabkan arthrosis pada sendi temporomandibular.17 Apabila kapur dan pinang digunakan dengan frekuensi yang tinggi, gigi dengan segera akan mengalami atrisi gigi yang parah. Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin. Dentin yang terpapar, saat menerima rangsangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul persepsi rasa sakit atau ngilu.35 Dentin terdiri atas 70% materi inorganik dan 30% materi organik, sementara enamel terdiri atas 96% materi inorganik dan 4% materi organik.36 Hal ini menyebabkan atrisi gigi yang terjadi pada lapisan dentin lebih cepat daripada lapisan enamel. Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa.37

(30)

degeneratif.39 Mengunyah pinang yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan menyirih telah diketahui secara luas dapat menyebabkan atrisi gigi, pewarnaan dan pembentukan faset pada gigi, dan prevalensi periodontitis yang lebih tinggi.40

Dalam penelitian ini, atrisi gigi yang diteliti adalah atrisi yang terjadi pada permukaan oklusal gigi. Peneliti menggunakan indeks keausan gigi Smith dan Kight sebagai indeks untuk menilai seberapa besar derajat atrisi gigi responden. Berdasarkan indeks keausan gigi Smith dan Knight, atrisi gigi dikelompokkan ke dalam 5 derajat, yaitu:41

- Derajat 0 = Tidak ada terjadi atrisi.

- Derajat 1 = Terjadi atrisi sebatas pada enamel saja.

- Derajat 2 = Terjadi atrisi sampai sepertiga oklusal dengan dentin terbuka. - Derajat 3 = Terjadi atrisi sampai sepertiga tengah dengan pulpa terbuka. - Derajat 4 = Terjadi atrisi sampai sepertiga servikal dengan pulpa terbuka. Untuk memperjelas indeks atrisi gigi, peneliti telah membuat ilustrasi gambar indeks atrisi gigi pada gambar 6 berikut ini.

Gambar 6. Indeks atrisi gigi.

(31)

gigi, tetapi juga pada perubahan skeletal, morfologi lengkung gigi, dan hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya.31

Tingkat dan perluasan keausan gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologi gigi dan lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam makanan. Keausan gigi dapat juga merupakan hasil dari bruxism atau pengasahan gigi dan aksi non-pengunyahan.31

Secara klinis derajat atrisi gigi dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. A. Atrisi gigi derajat 1; B. Atrisi gigi derajat 2; C. Atrisi gigi derajat 3; D. Atrisi gigi derajat 4.42

2.5 Abrasi Gigi

2.5.1 Definisi Abrasi Gigi

Abrasi gigi adalah terkikisnya lapisan enamel gigi karena faktor mekanis

selain kontak antara gigi-geligi.43 Abrasi gigi dapat terjadi sebagai akibat dari

(32)

gigi yang tidak tepat, menggigit benda keras seperti pena, pensil atau gagang pipa, membuka pin rambut dengan gigi, dan menggigit kuku. Abrasi juga dapat disebabkan jepitan dari cangkolan gigi tiruan sebagian lepasan. Abrasi dapat terjadi pada penjahit yang memutuskan benang dengan gigi dan musisi yang memainkan alat musik tiup.44

2.5.2 Efek Menyuntil Terhadap Abrasi Gigi

Menyuntil adalah suatu proses menggosok-gosokkan gumpalan suntil dengan gerakan memutar pada permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal.3 Gumpalan suntil adalah komposisi menyirih ditambah dengan sejumlah tembakau, yang dikunyah kemudian digosok-gosokkan ke permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal.9 Menyuntil telah dikaitkan dengan berbagai lesi rongga mulut. Lesi pada gigi dapat berupa abrasi gigi dan kehilangan tulang pada rahang.18 Lesi pada mukosa dapat berupa melanosis, gingivitis ulseratif nekrosis akut, luka bakar dan keratotik, black hairy tongue, stomatitis nikotinik, erosi palatal, leukoplakia, displasia epitel, dan karsinoma sel skuamosa.45 Menyuntil juga dapat menyebabkan resesi gingiva, penguningan gigi, stain, dan bau mulut kronis.18

Abrasi dari kegiatan menyuntil biasanya terjadi pada permukaan vestibular, namun dapat juga pada permukaan oklusal jika tembakau dikunyah. Para penyuntil biasanya menempatkan tembakau antara gusi dan pipi atau di dalam pipi dan kemudian mengisapnya serta membuang jusnya.46 Abrasi gigi sebagai akibat kebiasaan menyuntil dapat dipengaruhi oleh lamanya kebiasaan menyuntil, frekuensi menyuntil, dan konsistensi bahan menyuntil.Dalam penelitian ini, abrasi gigi yang diteliti adalah abrasi gigi yang terjadi pada permukaan labial, dimana dalam menentukan besar derajat abrasi gigi responden, peneliti menggunakan indeks keausan gigi Smith dan Knight, yang membagi derajat abrasi gigi ke dalam 5 derajat, yaitu:41

- Derajat 0 = Tidak ada terjadi abrasi.

- Derajat 1 = Terjadi abrasi sebatas enamel saja.

(33)

- Derajat 3 = Terjadi abrasi sampai ke lapisan dentin yang lebih dalam tanpa mengenai pulpa.

- Derajat 4 = Enamel abrasi pada daerah labial sampai ke lapisan pulpa.

Untuk memperjelas indeks abrasi gigi, peneliti telah membuat ilustrasi gambar indeks abrasi gigi pada gambar 8 berikut ini.

Gambar 8. Indeks abrasi gigi.

Keausan gigi merupakan hasil interaksi dari atrisi gigi, erosi gigi, abrasi gigi, dan abfraksi gigi, yang dapat terjadi dalam isolasi atau kombinasi.41 Pemakaian jaringan keras yang berlebihan adalah masalah permanen yang terjadi pada semua kelompok umur yang dianggap sebagai bagian dari proses penuaan dan merupakan masalah bagi kedokteran gigi saat ini.47

(34)

Secara klinis derajat abrasi gigi dapat dilihat pada gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. A. Abrasi gigi derajat 1; B. Abrasi gigi derajat 2; C. Abrasi gigi derajat 3; D. Abrasi gigi derajat 4.48

2.6 Kombinasi Atrisi dan Abrasi Gigi Dalam Terjadinya Keausan Gigi Keausan gigi dapat dibedakan atas keausan mekanis, keausan kimia, dan keausan biomekanis.49 Keausan mekanis adalah keausan yang disebabkan gesekan mekanis antara gigi dengan gigi maupun benda lain selain gigi. Keausan kimia adalah keausan yang disebabkan oleh zat kimia.50 Keausan biomekanis adalah keausan yang diawali oleh mikrofraktur pada bagian servikal gigi yang disebabkan oleh tekanan pengunyahan.51 Keausan gigi dapat terjadi sebagai akibat kombinasi antara keausan mekanis, kimia, dan biomekanis.49

(35)

Selain itu, atrisi oklusal menyebabkan tinggi mahkota berkurang yang berdampak pada berkurangnya tinggi wajah bagian bawah. Tinggi mahkota gigi yang berkurang memungkinkan mandibula berrotasi dalam arah maju dan ke atas, konsekuensinya adalah overjet insisivus sering diganti oleh gigitan edge to edge.53

Abrasi adalah keausan mekanis dari permukaan gigi karena obyek eksternal.52 Agen eksternal yang memiliki efek abrasif pada gigi termasuk bulu sikat gigi dan faktor makanan.54 Erosi adalah hilangnya substansi gigi akibat zat asam eksogen atau endogen tanpa keterlibatan bakteri.52 Faktor erosif dapat berupa ekstrinsik atau intrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi minuman seperti jus buah segar, minuman berkarbonasi, minuman ringan, minuman beralkohol, dll. Faktor intrinsik termasuk penyakit refluks gastrointestinal dan gangguan makan.54 Abfraksi adalah istilah relatif baru yang menunjukkan hilangnya substansi mikrostruktur gigi di daerah berpusatnya tekanan, dan biasanya terlihat di daerah servikal.52 Telah dikemukakan bahwa abfraksi merupakan konsekuensi dari kekuatan eksentrik pada pertumbuhan gigi alami.54 Meskipun proses tersebut dapat terjadi secara independen mereka dapat terjadi dalam banyak kasus secara kolektif.52

(36)
(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan menyirih dengan derajat atrisi gigi dan hubungan kebiasaan menyuntil dengan derajat abrasi gigi pada perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Pancur Batu.55

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Pancur Batu, dengan pertimbangan mayoritas penduduk di Pancur Batu adalah penduduk suku Karo yang masih kental dengan kebiasaan menyirih dan menyuntil. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan september 2011 sampai dengan bulan februari 2012.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah perempuan suku Karo di Pancur Batu. Sampel penelitian adalah perempuan suku Karo di Pancur Batu yang memiliki kebiasaan menyirih dan menyuntil. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian.56

3.4 Besar Sampel

(38)

Dengan:

Pa-P0 = perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi

di populasi

Berdasarkan rumus uji hipotesis proporsi didapatkan besar sampel sebanyak 90 orang, yaitu perempuan suku Karo yang memiliki kebiasaan menyirih sekaligus kebiasaan menyuntil.

3.5 Kriteria Penerimaan

Kriteria inklusi atrisi a. Perempuan penyirih suku Karo

umur 30 – 60 tahun.

b. Memiliki kebiasaan menyirih > 2 tahun.

c. Memiliki minimal 5 gigi posterior utuh pada rahang atas dan rahang bawah.

Kriteria eksklusi atrisi a. Menderita bruksism. b. Tidak memakai protesa.

Kriteria inklusi abrasi a. Perempuan penyuntil suku Karo

umur 30 – 60 tahun.

b. Memiliki kebiasaan menyuntil > 2 tahun.

c. Memiliki minimal 5 gigi anterior utuh pada rahang atas dan rahang bawah.

Kriteria eksklusi abrasi a. Memiliki kebiasaan menggigit

jarum, paku, pulpen, atau pensil. b. Tidak memakai protesa.

Sampel

(39)

3.6 Cara Kerja

1. Penyirih/penyuntil yang sesuai dengan kriteria inklusi diwawancarai dengan menggunakan kuesioner.

2. Penyirih/penyuntil diinstruksikan berkumur dengan air mineral (aqua) untuk membersihkan sisa-sisa kegiatan menyirih/menyuntil.

3. Permukaan oklusal gigi rahang atas dan rahang bawah dikeringkan dengan gulungan kapas dengan bantuan pinset.

4. Peneliti menilai besar derajat atrisi responden berdasarkan indeks keausan gigi Smith dan Knight41, pada permukaan oklusal gigi rahang atas dan rahang bawah dengan menggunakan kaca mulut dibantu dengan senter sebagai alat penerangan.

5. Data derajat atrisi gigi responden dimasukkan ke dalam tabel derajat atrisi. 6. Permukaan labial gigi dan bukal rahang atas dan rahang bawah dikeringkan dengan gulungan kapas dengan bantuan pinset.

7. Peneliti menilai besar derajat abrasi responden berdasarkan indeks keausan gigi Smith dan Knight41, pada permukaan labial gigi rahang atas dan rahang bawah dengan menggunakan kaca mulut dibantu dengan senter sebagai alat penerangan.

8. Data abrasi gigi dimasukan ke dalam tabel derajat abrasi gigi. 9. Data atrisi dan abrasi gigi diolah dan dianalisis.

3.7 Variabel Penelitian

Variabel Tergantung - Atrisi gigi - Abrasi gigi Variabel Bebas

- Lama menyirih/menyuntil - Frekuensi menyirih/menyuntil - Komposisi menyirih/menyuntil - Umur penyirih/penyuntil

Variabel Terkendali

Perempuan penyirih suku Karo usia 30 – 60 tahun di Pasar Pancur Batu, Sumatera Utara

Variabel Tidak Terkendali Berat bahan komposisi

(40)

3.8Definisi Operasional

1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya

terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2

2. Menyuntil adalah suatu proses menggosok-gosokkan gumpalan suntil dengan

gerakan memutar pada permukaan gigi dan mukosa sebelah labial atau bukal.3

3. Gumpalan suntil adalah komposisi menyirih ditambah dengan sejumlah

tembakau, yang dikunyah kemudian digosok-gosokkan ke permukaan gigi dan mukosa

sebelah labial atau bukal.9 Kegiatan menyuntil dalam penelitian ini adalah kegiatan yang

dilakukan setelah kegiatan menyirih.

4. Perempuan penyirih/penyuntil suku Karo adalah perempuan suku Karo yang

masih melakukan kebiasaan menyirih/menyuntil sampai pada saat penelitian dilaksanakan dengan lama menyirihmenyuntil minimal 2 tahun.

5. Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi berupa keausan pada permukaan

oklusal gigi sebagai akibat proses pengunyahan dalam kegiatan menyirih.31 Derajat atrisi

dibagi atas derajat 0, 1, 2, 3, dan 4, berdasarkan indeks keausan gigi Smith dan Knight.41

6. Abrasi gigi adalah hilangnya substansi gigi berupa keausan pada permukaan

labial gigi sebagai akibat gesekan mekanis antara bahan menyuntil dengan permukaan

gigi.43 Derajat abrasi dibagi atas derajat 0, 1, 2, 3 dan 4, berdasarkan indeks keausan gigi

Smith dan Knight.41

7. Lama menyirih/menyuntil adalah berapa lama responden telah melakukan

kebiasaan menyirih/menyuntil sampai saat penelitian dilaksanakan.

8. Frekuensi menyirih/menyuntil adalah berapa kali responden mengganti

campuran sirih/suntil dalam satu hari.

9. Komposisi menyirih/menyuntil adalah bahan-bahan yang digunakan dalam

kegiatan menyirih/menyuntil.

10. Umur penyirih/penyuntil adalah umur responden saat penelitian dilakukan.

3.9 Alat

1. Masker

2. Sarung tangan

(41)

4. Kapas 5. Pinset 6. Mouth guard 7. Kaca mulut 8. Senter

3.10 Bahan

1. Air mineral (aqua)

3.11 Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 19:

1. Tabel univariat untuk mengetahui karakteristik umum subjek penelitian. 2. Tabel bivariat untuk mengetahui distribusi resiko atrisi gigi berdasarkan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih; distribusi resiko abrasi gigi berdasarkan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyirih, dan umur penyuntil.

3. Uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara derajat atrisi gigi dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih; hubungan antara derajat abrasi gigi dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil.

3.12 Masalah Etika

(42)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara derajat atrisi gigi dengan lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih; apakah ada hubungan antara derajat abrasi gigi dengan lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil. Populasi yang diteliti adalah perempuan suku Karo di Pancur Batu. Sampel yang diteliti adalah perempuan suku Karo yang memiliki kebiasaan menyirih dan menyuntil, dengan besar sampel 90 orang. Sampel harus memenuhi beberapa kriteria inklusi yaitu: perempuan penyirih/penyuntil suku Karo umur 30 – 60 tahun; memiliki kebiasaan menyirih/menyuntil > 2 tahun; untuk atrisi gigi, sampel minimal memiliki 5 gigi posterior utuh pada rahang atas dan bawah; untuk abrasi gigi, sampel minimal memiliki 5 gigi anterior utuh pada rahang atas dan bawah. Sampel yang sesuai dengan kriteria kemudian diwawancarai dengan kuesioner untuk memperoleh data sampel. Pemeriksaan atrisi dan abrasi gigi dilakukan dengan terlebih dahulu menginstruksikan responden berkumur-kumur dengan segelas aquades. Hal ini dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa kegiatan menyirih/menyuntil sehingga mempermudah pemeriksaan. Kemudian permukaan oklusal dan labial gigi rahang atas dan bawah dikeringkan dengan menggunakan kapas dengan bantuan pinset.

(43)

selanjutnya diolah dan dianalisis. Gambaran klinis atrisi gigi dapat dilihat pada gambar 10, 11, dan 12 berikut ini.

Gambar 10. Gambaran klinis atrisi gigi derajat 1.58

Gambar 11. Gambaran klinis atrisi gigi derajat 2.58

(44)

Gambaran klinis abrasi gigi dapat dilihat pada gambar 13 dan 14 berikut ini.

Gambar 13. Gambaran klinis abrasi gigi derajat 1.58

(45)

4.1Karakteristik Umum Penyirih/Penyuntil Tabel 1. Karakteristik umum penyirih/penyuntil

Karakteristik Terbanyak kapur, gambir, dan pinang

(77,8)

Tembakau, daun sirih, kapur, dan gambir

(22,2) Umur penyirih/penyuntil 50 – 59 tahun

(41,1) Alasan menyirih/menyuntil Menenangkan pikiran

(64,4)

Supaya mulut segar (1,1)

Frekuensi menyikat gigi Dua kali/hari (72,2)

Tiga kali/hari (4,4)

(46)

16,7

4.2.1 Hubungan Lama Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi Grafik 1. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan lama menyirih

Grafik 1 menunjukkan bahwa atrisi gigi derajat 3 meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya lama menyirih; atrisi gigi derajat 1 dan 2 menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya lama menyirih. Hal ini terjadi karena semakin lama kebiasaan menyirih dilakukan, permukaan oklusal gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan atrisi gigi derajat 1 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 2, dan atrisi gigi derajat 2 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 3.

Tabel 2. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan lama menyirih

(47)

0

Sekali/hari Dua kali/hari Tiga kali/hari > Tiga kali/hari

Jum Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001 artinya ada hubungan yang signifikan antara lama menyirih dengan derajat atrisi gigi. Nilai kontigensia sebesar 50,9%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 32,5 yang berarti kelompok lama menyirih 16 – 36 tahun mempunyai resiko terhadap atrisi gigi sebesar 32,5 kali dibandingkan kelompok lama menyirih 2 – 15 tahun.

4.2.2 Hubungan Frekuensi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi Grafik 2. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan frekuensi menyirih

(48)

0

Daun sirih, kapur, dan gambir Daun sirih, kapur, gambir, dan pinang Tabel 3. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan frekuensi menyirih.

Frekuensi Menyirih Uji Chi-Square, signifikan dengan p < 0,05

Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001 artinya ada hubungan yang signifikan antara frekuensi menyirih dengan derajat atrisi gigi. Nilai kontigensia sebesar 35,1%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 10,111 yang berarti penyirih dengan frekuensi menyirih lebih dari tiga kali/hari mempunyai resiko terhadap atrisi gigi sebesar 10,111 kali dibandingkan dengan penyirih dengan frekuensi menyirih satu – tiga kali per/hari.

(49)

Grafik 3 menunjukkan bahwa atrisi gigi derajat 3 dan 1 mengalami peningkatan persentase yang tidak signifikan seiring dengan penambahan pinang dalam komposisi menyirih; atrisi gigi derajat 2 mengalami penurunan persentase seiring dengan penambahan pinang dalam komposisi menyirih. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi menyirih tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat atrisi gigi.

Tabel 4. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan komposisi menyirih.

Komposisi Menyirih Uji Chi-Square, tidak signifikan dengan p > 0,05

(50)

0 4.2.4 Hubungan Umur Penyirih dengan Derajat Atrisi Gigi

Grafik 4. Distribusi frekuensi derajat atrisi gigi berdasarkan umur penyirih

Grafik 4 menunjukkan bahwa atrisi gigi derajat 3 meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya umur penyirih; atrisi gigi derajat 1 dan 2 menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya umur penyirih. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur penyirih maka permukaan oklusal gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan atrisi gigi derajat 1 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 2, dan atrisi gigi derajat 2 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 3.

Tabel 5. Distribusi frekuensi resiko atrisi gigi berdasarkan umur penyirih

(51)

27,8 Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001 artinya ada hubungan yang signifikan antara umur penyirih dengan derajat atrisi gigi. Nilai kontigensia sebesar 34,9%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 5,952 yang berarti penyirih dengan umur 50 – 69 tahun mempunyai resiko terhadap atrisi gigi sebesar 5,952 kali dibandingkan dengan penyirih dengan umur 30 – 49 tahun.

4.3 Abrasi Gigi

4.3.1 Hubungan Lama Menyuntil dengan Derajat Abrasi Gigi Grafik 5. Distribusi frekuensi derajat abrasi gigi berdasarkan lama menyuntil

(52)

100

Sekali/hari Dua kali/hari Tiga kali/hari > Tiga kali/hari

Jum Tabel 6. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan lama menyuntil

Lama Menyuntil Uji Chi-Square, signifikan dengan p < 0,05

Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,01 artinya ada hubungan yang signifikan antara lama menyuntil dengan derajat abrasi gigi. Nilai kontigensia sebesar 26,2%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 10,6 yang berarti penyuntil dengan lama menyuntil 16 – 36 tahun mempunyai resiko terhadap abrasi gigi sebesar 10,6 kali dibandingkan dengan penyuntil dengan lama menyuntil 2 – 15 tahun.

(53)

Grafik 6 menunjukkan bahwa abrasi gigi derajat 2 semakin meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya frekuensi menyuntil; abrasi gigi derajat 1 semakin menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya frekuensi menyuntil. Hal ini terjadi karena semakin tinggi frekuensi menyuntil, permukaan labial gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan abrasi gigi derajat 1 meningkat menjadi abrasi gigi derajat 2.

Tabel 7. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan frekuensi menyuntil.

Frekuensi Menyuntil Uji Chi-Square, signifikan dengan p < 0,05

(54)

10 7,1

Tembakau, daun sirih, kapur, dan gambir

Tembakau, daun sirih, kapur, gambir, dan pinang

Jum 4.3.3 Hubungan Komposisi Menyuntil dengan Derajat Abrasi Gigi Grafik 7. Distribusi frekuensi derajat abrasi gigi berdasarkan komposisi menyuntil

Grafik 7 menunjukkan bahwa abrasi gigi derajat 3 mengalami peningkatan persentase yang tidak signifkan seiring dengan penambahan pinang ke dalam komposisi menyuntil; abrasi gigi derajat 1 menurun persentasenya seiring dengan penambahan pinang ke dalam komposisi menyuntil; abrasi gigi derajat 3 tidak dijumpai pada kedua kelompok komposisi menyuntil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara komposisi menyuntil dengan derajat abrasi gigi.

Tabel 8. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan komposisi menyuntil

Komposisi Menyuntil Tembakau, daun sirih,

kapur, dan gambir Tembakau, daun sirih,

kapur, gambir, dan pinang

(55)

0 Berdasarkan uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,674 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara komposisi menyuntil dengan derajat abrasi gigi. Nilai kontigensia sebesar 4,4%. Diperoleh nilai odd ratio sebesar 1,444 yang berarti penyuntil dengan komposisi menyuntil tembakau, daun sirih, kapur, gambir, dan pinang mempunyai resiko terhadap abrasi gigi sebesar 1,444 kali dibandingkan dengan penyuntil dengan komposisi menyuntil tembakau, daun sirih, kapur, dan gambir.

4.3.4 Hubungan Umur dengan Derajat Abrasi Gigi

Grafik 8. Distribusi frekuensi derajat abrasi gigi berdasarkan umur penyuntil

(56)

Tabel 9. Distribusi frekuensi resiko abrasi gigi berdasarkan umur penyuntil Uji Chi-Square, signifikan dengan p < 0,05

(57)

BAB V PEMBAHASAN

5.1Latar Belakang Pemilihan Subjek Penelitian

Penyirih adalah orang yang memiliki kebiasaan menyirih, dimana kebiasaan tersebut dilakukan secara teratur dengan frekuensi menyirih minimal sekali sehari. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir dan pinang.2 Kebiasaan menyirih adalah kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat,1 khususnya pada perempuan penyirih suku Karo di Pancur Batu. Kebiasaan menyirih biasanya dilakukan sebagai pengisi waktu luang sambil berjualan, berladang, maupun saat berkumpul dengan teman. Hal yang unik dalam masyarakat suku Karo adalah bahwa kebiasaan menyirih biasanya dilanjutkan dengan kegiatan menyuntil.

Kebiasaan menyirih berdampak pada meningkatnya frekuensi pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan menyebabkan semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi frekuensi pengunyahan, maka semakin sering gigi terpapar oleh gesekan mekanis yang berasal dari kontak antara gigi dengan gigi antagonisnya dalam proses pengunyahan. Semakin sering gigi terpapar oleh gesekan mekanis akibat pengunyahan, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan disebut atrisi gigi. Besarnya derajat atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih bergantung pada empat faktor utama, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.9

(58)

terjadinya abrasi gigi.29 Abrasi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara permukaan gigi dengan benda asing selain gigi.43 Abrasi gigi dapat terjadi pada penyuntil karena dalam proses menyuntil terjadi gesekan mekanis yang berulang antara permukaan gigi dengan gumpalan suntil. Gesekan mekanis ini akan menyebabkan pengikisan pada permukaan gigi. Besarnya derajat abrasi pada penyuntil bergantung pada empat faktor utama, yaitu lama menyuntil, frekuensi menyuntil, komposisi menyuntil, dan umur penyuntil.

Keausan gigi merupakan hasil interaksi dari atrisi gigi, abrasi gigi, erosi gigi, dan abfraksi gigi. Keausan gigi merupakan masalah permanen yang terjadi pada semua kelompok umur yang dianggap sebagai bagian dari proses penuaan dan merupakan masalah bagi kedokteran gigi saat ini.43 Proses atrisi dan abrasi gigi pada penyirih terjadi secara irreversible dan progressive, dimana bila proses atrisi dan abrasi ini terus berlangsung akan terjadi kehilangan substansi enamel sampai ke lapisan dentin, dan bila tidak ditangani dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrosis pulpa.37 Melihat bahwa masyarakat suku Karo di Pancur Batu Sumatera Utara masih kental dengan kebudayaan menyirih dan menyuntil, peneliti memilih sampel perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Pancur Batu Sumatera Utara untuk dijadikan subjek penelitian.

5.2 Karakteristik Umum Penyirih

(59)

Komposisi menyirih terbanyak adalah daun sirih, kapur, gambir, dan pinang (77,8%) dan tersedikit adalah daun sirih, kapur, dan gambir (22,2%), hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan penyirih suku Karo di Pancur Batu menyirih dengan komposisi daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Adanya kapur dan pinang dalam campuran sirih dapat memperparah derajat atrisi gigi dan pinang yang keras dapat menyebabkan gangguan pada sendi termporomandibular31; komposisi menyuntil terbanyak adalah tembakau, daun sirih, kapur, gambir, dan pinang (77,8%) dan tersedikit adalah tembakau, daun sirih, kapur, dan gambir (22,2%), hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan penyuntil suku Karo di Pancur Batu menyuntil dengan komposisi tembakau, daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Adanya kapur dan pinang dalam campuran suntil dapat memperparah derajat abrasi gigi.

Umur penyirih/penyuntil terbanyak adalah umur 50 – 59 tahun (41,1%) dan tersedikit umur 30 – 39 tahun (11,1%); pendidikan terakhir terbanyak adalah SD (34,4%) dan tersedikit perguruan tinggi (1,1%), hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Pancur Batu memiliki pendidikan yang rendah; alasan menyirih/menyuntil terbanyak adalah untuk menenangkan pikiran (64,4%) dan tersedikit supaya mulut segar (1,1%), alasan menenangkan pikiran menjadi penyebab utama tingginya frekuensi menyirih/menyuntil yang dilakukan perempuan penyirih/penyuntil suku Karo di Sumatera Utara; frekuensi menyikat gigi terbanyak adalah dua kali/hari (72,2%) dan tersedikit tiga kali/hari (4,4%).

5.3 Atrisi dan Abrasi Gigi

(60)

cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data, yang dilakukan sekaligus pada suatu saat. Dalam membahas atrisi dan abrasi gigi dari aspek epidemiologinya, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, mengingat terjadinya atrisi dan abrasi gigi bukan hanya karena adanya kontak antara enamel (host) dengan bahan menyirih/menyuntil (agent), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (environment),59 seperti laju aliran saliva, diet asam, dan komposisi enamel.60

Laju aliran saliva turut mempengaruhi derajat atrisi dan abrasi gigi karena laju aliran saliva menentukan kapasitas pembersihan dan buffer saliva. Apabila laju aliran saliva berkurang, kapasitas pembersihan dan buffer saliva menjadi inadequat, yang menyebabkan terjadinya retensi asam yang abnormal dalam mulut, berlanjut kepada terjadinya erosi gigi. Penyirih/penyuntil dengan laju aliran saliva yang rendah akan dengan mudah mengalami erosi gigi ketika terpapar oleh makanan atau minuman yang asam, karena tidak adanya buffer yang menetralkan asam dari makanan atau minuman yang asam. Erosi gigi yang terjadi akibat laju aliran saliva yang rendah akan memperparah terjadinya atrisi maupun abrasi gigi.60

Komposisi enamel juga turut mempengaruhi derajat atrisi dan abrasi gigi. Hal ini disebabkan karena komposisi enamel menentukan resistensi enamel terhadap asam. Komposisi enamel, yaitu kristal hidroksiapatit, secara kimia mampu bertukar ion dengan lingkungan eksternal. Secara umum diketahui bahwa resistensi enamel terhadap asam terutama tergantung pada kandungan fluoridenya. Difusi ion fluoride ke dalam lapisan enamel akan mengubah hidroksiapatit menjadi fluorohidroksiapatit dan fluoroapatit, yang memiliki kandungan kalsium rendah dan stabilitas kimia yang lebih besar. Hal ini menyebabkan resistensi enamel terhadap asam menjadi lebih besar.61

(61)

atau pada umur yang lebih tua, sehingga kebiasaan menyirih belum berlangsung lama, yang menyebabkan atrisi gigi belum mencapai derajat 4.3 Pada penelitian ini juga dijumpai abrasi gigi derajat 1 dan 2, dan tidak dijumpai abrasi gigi derajat 0, 3, dan 4. Tidak dijumpainya abrasi gigi derajat 0, karena abrasi gigi derajat 0 artinya tidak ada terjadi abrasi sama sekali, dimana keadaan ini hanya dijumpai pada bayi yang belum mengunyah. Tidak dijumpainya abrasi gigi derajat 3 dan 4 disebabkan karena bahan suntil tidak selalu digosok-gosokkan ke permukaan gigi, bahan suntil lebih sering dibiarkan begitu saja di dalam bibir atau pipi,3 sehingga abrasi gigi yang terjadi belum mencapai derajat 3 dan 4.

5.4 Hubungan Kebiasaan Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi 5.4.1 Hubungan Lama Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2 Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan terjadinya atrisi gigi.17,40 Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan.31 Salah satu faktor yang mempengaruhi besar derajat atrisi akibat menyirih adalah lama menyirih. Lama menyirih adalah berapa lama penyirih telah melakukan kebiasaan menyirih, terhitung sejak pertama kali melakukannya sampai pada saat penelitian dilakukan. Lama menyirih turut mempengaruhi besar derajat atrisi karena semakin lama penyirih melakukan kebiasaan menyirih, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi antagonisnya dalam proses menyirih. Semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin tinggi derajat atrisi.62

(62)

vertikal rahang. Penurunan dimensi vertikal rahang telah dilaporkan terkait dengan berbagai penyakit atau gangguan pada sistem stomatognasi, diantaranya dapat menyebabkan nyeri atau kliking pada sendi temporomandibular, kerusakan struktur sendi temporomandibular, dan mengganggu hubungan fungsional yang normal antara kondilus, diskus, dan eminensia, yang akan menimbulkan rasa sakit, kelainan fungsi, atau kedua-duanya.53

Atrisi gigi sebagai akibat kebiasaan menyirih dalam waktu yang lama, akan semakin diperparah dengan adanya bahan menyirih yang bersifat kasar dan keras. Dalam campuran sirih, bahan yang bersifat kasar adalah kapur dan bahan yang bersifat keras adalah pinang. Apabila gigi terpapar dengan kapur dan pinang dalam waktu yang lama, maka gigi akan mengalami banyak pengikisan. Bahan pinang yang keras akan menstimuli otot-otot pengunyahan untuk memberikan tekanan pengunyahan yang besar. Tekanan pengunyahan yang besar menyebabkan gaya gesekan yang besar antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan. Kondisi ini menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Tekanan pengunyahan yang besar dapat menyebabkan perforasi, keausan, bahkan fraktur pada diskus sendi temporomandibular, yang dapat mendorong terjadinya perubahan pada permukaan artikular sendi temporomandibular.31

(63)

Penelitian seperti ini juga pernah dilakukan oleh Chang dan DeVol di Taiwan pada tahun 1973, yang menunjukkan bahwa lama menyirih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap derajat atrisi gigi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya persentase excessive attrition seiring dengan meningkatnya lama menyirih, sebaliknya slight dan medium attrition menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya lama menyirih.62

5.4.2 Hubungan Frekuensi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan terjadinya atrisi gigi.17,40 Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan.31 Salah satu faktor yang mempengaruhi besar derajat atrisi akibat menyirih adalah frekuensi menyirih. Frekuensi menyirih adalah berapa kali penyirih mengganti kunyahan sirih dalam satu hari. Frekuensi menyirih turut mempengaruhi besar derajat atrisi karena semakin tinggi frekuensi menyirih, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses menyirih. Semakin banyak terjadi pengikisan pada gigi, maka semakin tinggi derajat atrisi gigi.62

(64)

banyak pengikisan yang terjadi pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan derajat atrisi gigi menjadi meningkat.62

Demikian pula derajat atrisi gigi pada penyirih dengan frekuensi menyirih lebih dari tiga kali/hari dan komposisi menyirih daun sirih, kapur, gambir, dan pinang, umumnya lebih tinggi dari penyirih dengan frekuensi menyirih lebih dari tiga kali/hari dan komposisi menyirih daun sirih, kapur, dan gambir. Hal ini terjadi karena semakin keras komposisi menyirih maka semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi dalam proses menyirih. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan semakin cepatnya terjadi atrisi gigi yang parah.62

Dalam penelitian ini, hubungan antara frekuensi menyirih dengan derajat atrisi gigi menunjukkan perbedaan yang bermakna. Ini artinya frekuensi menyirih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap derajat atrisi gigi. Hal ini terlihat pada grafik 2, dimana atrisi gigi derajat 3 meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya frekuensi menyirih, sebaliknya atrisi gigi derajat 1 dan 2 menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya frekuensi menyirih. Hal ini terjadi karena semakin tinggi frekuensi menyirih, permukaan oklusal gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan atrisi gigi derajat 1 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 2, dan atrisi gigi derajat 2 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 3. Penelitian seperti ini juga pernah dilakukan oleh Chang dan DeVol di Taiwan pada tahun 1973, yang menunjukkan bahwa frekuensi menyirih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap derajat atrisi gigi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya persentase excessive attrition seiring dengan meningkatnya frekuensi menyirih, sebaliknya slight dan medium attrition menurun persentasenya seiring dengan meningkatnya frekuensi menyirih.62

5.4.3 Hubungan Komposisi Menyirih dengan Derajat Atrisi Gigi

(65)

akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan.31 Salah satu faktor yang mempengaruhi besar derajat atrisi gigi akibat menyirih adalah komposisi menyirih. Komposisi menyirih adalah bahan-bahan yang terkandung dalam campuran sirih. Komposisi menyirih turut mempengaruhi besar derajat atrisi gigi karena semakin kasar atau keras komposisi menyirih, maka semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Semakin mudah terjadi pengikisan pada gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.17

Komposisi menyirih yang umumnya digunakan oleh perempuan penyirih suku Karo di Pancur Batu adalah daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Dalam komposisi menyirih tersebut terdapat bahan yang kasar dan keras. Bahan yang kasar dalam campuran sirih adalah kapur. Kapur sirih memiliki sifat yang kasar karena pada umumnya kapur sirih terbuat dari kulit kerang atan batu kapur yang dihaluskan.3 Kekasaran kapur menyebabkan semakin mudahnya terjadi pengikisan pada permukaan gigi dalam proses menyirih. Semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.17 Di dalam komposisi menyirih juga terdapat bahan pinang yang bersifat keras. Ketika dikunyah, bahan pinang akan menstimuli otot-otot pengunyahan untuk memberikan tekanan pengunyahan yang besar. Tekanan pengunyahan yang besar menyebabkan gigi menerima gesekan mekanis yang besar. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka semakin semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan semakin cepatnya terjadi atrisi gigi yang parah.31

(66)

ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Trivedy di Kanada pada tahun 2002, yang menunjukkan bahwa derajat atrisi gigi bergantung pada konsistensi atau kekerasan bahan pinang. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan jumlah dan berat komposisi menyirih yang digunakan di Kanada dan di Sumatera Utara. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh jumlah dan berat masing-masing komposisi menyirih terhadap derajat atrisi gigi.17

5.4.4 Hubungan Umur Penyirih dengan Derajat Atrisi Gigi

Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang.2 Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan terjadinya atrisi gigi.17,40 Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan.31 Salah satu faktor yang mempengaruhi besar derajat atrisi gigi akibat menyirih adalah umur penyirih. Umur penyirih adalah umur responden saat penelitian dilakukan. Umur penyirih turut mempengaruhi besar derajat atrisi gigi karena semakin tua umur penyirih maka semakin lama kebiasaan menyirih telah dilakukan. Semakin lama kebiasaan menyirih dilakukan maka semakin banyak kegiatan menyirih yang telah dilakukan. Semakin banyak kegiatan menyirih dilakukan maka semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi akibat kontak yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses menyirih. Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi maka semakin banyak pengikisan yang terjadi pada permukaan gigi. Hal ini menyebabkan derajat atrisi gigi menjadi meningkat.62

Gambar

Gambar 1. A. Pohon sirih; B. Daun sirih.14
Gambar 2. A. Kapur sirih; B. Pasta kapur sirih.26
Gambar 3. A. Pohon pinang; B. Biji pinang.28
Gambar 4. A. Tunas gambir; B. Gambir.29
+7

Referensi

Dokumen terkait