• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan Willingness to Accept (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan Willingness to Accept (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN

PENDEKATAN

WILLINGNESS TO ACCEPT

(Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)

FAIZAL MARWAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(2)

RINGKASAN

FAIZAL MARWAN. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan Willingness to Accept (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat). Dibimbing Oleh Eka Intan Kumala Putri.

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor semakin meningkat. Luas Kota Bogor yang hanya 11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km sudah padat untuk menampung jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan. Saat ini ada 3.508 unit angkot yang diijinkan beroperasi di dalam kota, di tambah lagi ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek operasinya memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi bagian dari beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap harinya. Dengan banyaknya volume kendaraan tersebut maka menyebabkan terjadinya kemacetan di Kota Bogor.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian ini. Adapun permasalahan yang dikaji adalah 1) Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan oleh pengguna jalan saat terjebak kemacetan? 2) Apakah penguna jalan bersedia menerima kompensasi sebagai akibat dari terkena dampak kemacetan? 3) Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA)? 4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut? Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Metode ini memiliki kemampuan untuk mengestimasi manfaat lingkungan dari berbagai sisi.

Berdasarkan hasil penelitian, kemacetan menyebabkan pengguna jalan merasakan lelah, stres, waktu yang hilang serta dampak terhadap penggunaan bahan bakar. Pengeluaran pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal untuk pengguna mobil adalah sebesar Rp 40.500,00 per mobil sedangkan motor Rp 12.277,03 per motor. Namun apabila mereka terjebak dalam kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi sebesar Rp 52.159,09 per mobil dan Rp 19.182,43 per motor. Potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan di Kecamatan Bogor Barat setiap tahunnya mencapai Rp 152.460.925.983,00 per tahun.

(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

” ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN

PENDEKATAN WILLINGNESS TO ACCEPT (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH

PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2011

(4)

Judul Skripsi : Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas dengan Pendekatan Willingness to Accept (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)

Nama : Faizal Marwan

NIM : H44060392

Menyetujui, Pembimbing,

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS NIP 19650212 199003 2001

Mengetahui, Ketua Departemen,

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sumardi dan Kayati Suhartati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Lestari pada tahun 1994, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Sukamaju 1. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Depok, lalu melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Cibinong dan masuk dalam program IPA pada tahun 2003. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan setelah setahun di Tingkat Persiapan Bersama, penulis melanjutkan ke Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN PENDEKATAN WILLINGNESS TO ACCEPT (Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)”

Kemacetan merupakan masalah yang sering terjadi di kota-kota besar. Hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat akan transportasi cukup besar daripada ketersediaan prasarana transportasi yang tersedia, atau bahkan prasarana transportasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kemacetan terjadi tidak hanya disebabkan oleh banyaknya kendaraan di jalan, tetapi juga disebabkan oleh banyaknya angkutan umum yang berhenti di jalan untuk menunggu penumpang sehingga terjadi kemacetan yang tidak dapat dihindari.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalan pembuatan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna menyempurnakan skripsi ini.

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan skripsi ini banyak di bantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT atas karunia dan rahmat Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran serta masukan-masukan dan motivasi yang membangun.

3. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Novindra, SP. selaku dosen penguji siding skripsi atas masukan yang berharga.

4. Bapak Aiptu Ach. Sujana selaku Kepala Bantara Urusan Lalu Lintas kota Bogor atas informasi dan masukannya.

5. Staf pengajar dan karyawan/wati di lingkungan Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) FEM IPB

6. Orang tua tercinta serta Sat Herniati yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual.

7. Rekan-rekan mahasiswa ESL 43 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 8. Teman-teman “Pioneer”, X-band dan Sat band atas saran dan dukungannya. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak

(8)

DAFTAR ISI

2.1.2 Definisi Kemacetan Transportasi ... 9

2.2 Metode Estimasi Penilaian Lingkungan ... 10

2.2.1 Konsep Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Methode/CVM) ... 11

2.2.2 Kelebihan dak Kelemahan Dari Teknik CVM ... 12

2.3 Willingness to Accept (WTA)... 13

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 22

4.4.1 Mengestimasi Dampak Kemacetan Secara Sosial Ekonomi ... 23

4.4.2 Analisis Kesediaan Menerima Masyarakat Sesuai Skenario yang Ditawarkan ... 23

4.4.3 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Dampak Kemacetan ... 23

4.4.4 Analisis Fungsi Kesediaan Menerima Masyarakat ... 26

4.5 Pengujian Statistik ... 27

V. GAMBARAN UMUM LOKASI ... 30

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31

5.1.1 Keadaan Umum Kecamatan Bogor Barat ... 32

(9)

VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI

PENGGUNA JALAN ... 43

6.1 Analisa Dampak Kemacetan Terhadap Sosial Ekonomi pengguna Jalan ... 43

6.2 Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan ... 46

VII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT ... 49

7.1 Willingness to Accept (WTA) Pengguna Jalan Terhadap Kemacetan ... 49

7.2 Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dalam Menghadapi Kerugian Akibat Kemacetan ... 50

7.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA Pengguna Jalan dalam Menghadapi Kemacetan ... 54

VIII. Simpulan dan Saran ... 59

8.1 Simpulan ... 59

8.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota

Bogor Tahun 2008 ... 4 2 Jumlah Penduduk Kota Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin

2008 ... 5 3 Metode Pengolahan Data ... 22 4 Deskripsi Pengukuran Nilai WTA ... 27 5 Jumlah Kendaraan di Kecamatan Bogor Barat sampai dengan

November 2010 ... 31 6 Luas Wilayah per Kelurahan se Kecamatan Bogor Barat ... 34 7 Golongan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bogor Barat ... 36 8 Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk

Pembelian BBM ... 47 9 Alasan Ketidaksediaan Responden Mengungkapkan Nilai

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Klasifikasi valuasi non-market... 10

2 Kerangka Pemikiran Operasional... 20

3 Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden ... 38

4 Perbandingan Jenis Pekerjaan Responden ... 39

5 Perbandingan Tingkat Pendapatan Responden ... 39

6 Perbandingan Usia Responden... 40

7 Perbandingan Jenis Kelamin Responden ... 41

8 Perbandingan Kategori Pengguna Jalan ... 41

9 Perbandingan Lama Macet Responden ... 42

10 Perbandingan Jarak Tempuh Responden ... 42

11 Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 44

12 Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan dalam Mengungkapkan kerugian akibat kemacetan.. 49

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Peta Kota Bogor ... 63

2 Hasil Uji Statistik ... 64

3 Situasi Kemacetan di Kecamatan Bogor Barat ... 67

(13)

ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS DENGAN

PENDEKATAN

WILLINGNESS TO ACCEPT

(Studi Kasus : Kecamatan Bogor Barat)

FAIZAL MARWAN H44060392

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dampak-dampak awal dari revolusi industri adalah kepadatan dan kemacetan yang semakin meningkat, gangguan-gangguan keamanan baru, serta pengotoran air dan udara. Transportasi merupakan kunci bagi industrialisasi. Bila bahan mentah tidak dapat dikirim ke pabrik-pabrik dan hasil industri tidak dapat didistribusikan ke pasar-pasar, maka revolusi industri tidak akan berlangsung. Karena itu maka jalan-jalan baru, jalan kereta api, jalur-jalur pelayaran, dan kanal-kanal di bangun di kota-kota. Biasanya fasilitas transportasi tersebut hanya diletakkan di atas pola yang sudah ada, seringkali berakibat pada timbulnya kesemrawutan. Sebelum revolusi industri, pekerja biasanya dipekerjakan di rumah atau di toko dan warung dekat rumah. Bersamaan dengan revolusi industri muncul pula suatu fenomena baru dalam kehidupan kota, yaitu perjalanan ke tempat kerja. Mekanisasi alat angkut dan industri menjadikan perkembangan daerah-daerah kota (Satyaputra, 2007).

(15)

untuk mendukung perwujudan Indonesia yang lebih sejahtera dan sejalan dengan perwujudan Indonesia yang aman dan damai serta adil dan demokratis.

Untuk mendukung perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi pelayanan umum transportasi adalah melalui penyediaan jasa transportasi guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan masyarakat luas dengan harga terjangkau baik di perkotaan maupun pedesaan, mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta untuk melancarkan mobilitas distribusi barang dan jasa dan mendukung pertumbuhan sektor-sektor ekonomi nasional (Sapta, 2009).

Salah satu bagian penting dari transportasi adalah angkutan darat dalam hal ini yakni kendaraan bermotor sebagai andalan sektor tersebut. Perkembangan yang terjadi pada jumlah kendaraan bermotor secara langsung memberikan gambaran mengenai kondisi sub sektor angkutan darat. Jumlah kendaraan bermotor yang cenderung meningkat, merupakan indikator semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi yang memadai sejalan dengan mobilitas penduduk yang semakin tinggi.

Sektor transportasi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu mencapai 19.3% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor yaitu 71,80% dari jumlah kendaraan bermotor pada periode 2004-2005 dan tingkat pertumbuhannya mencapai 30% dalam lima tahun terakhir. Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk di Indonesia mencapai 1:8 pada akhir tahun 2005 (Sapta, 2009).

(16)

km sudah padat untuk menampung jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan. Saat ini ada 3.508 unit angkot yang diizinkan beroperasi di dalam kota, di tambah lagi ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek operasinya memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi bagian dari beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap harinya. Dengan banyaknya volume kendaraan tersebut maka menyebabkan terjadinya kemacetan di Kota Bogor.

Menurut Kepala Bantara Urusan Satuan Lalu Lintas kota Bogor Aiptu Ach. Sujana mengatakan bahwa penyebab kemacetan yang terjadi bisa disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya ialah banyaknya persimpangan yang ada di Kota Bogor, banyaknya jumlah kendaraan baik itu kendaraan umum maupun kendaraan pribadi yang melintas di jalan, sarana dan prasaran jalan yang kurang memadai serta pertumbuhan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan.

(17)

Tabel 1. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor

Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor 2009 dari BPS

Masyarakat Kota Bogor, dalam hal ini adalah pengguna jalan, selalu dihadapkan dengan kemacetan lalu lintas sehingga mereka menganggap kemacetan adalah bagian dari rutinitas hidup. Padahal saat mereka terjebak dalam kemacetan, banyak manfaat yang hilang. Kemacetan dilihat dari dampak sosialnya dapat membuat seseorang menjadi stres, lelah, hingga terlambat ke kantor atau sekolah.

(18)

kemacetan lalu lintas waktu tempuh dalam suatu perjalanan akan lebih lama, padahal waktu tersebut dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu adanya studi yang adanya mengkaji tentang besarnya dampak sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari dampak yang dirasakan saat terjebak kemacetan dan berapa besarnya kerugian pengguna jalan jika ada kompensasi yang diberikan akibat terjebak kemacetan. Penggunaan Willingness to Accept (WTA) digunakan untuk mengetahui besarnya kompensasi yang bersedia diterima pengguna jalan terkait dengan dampak sosial ekonomi yang dirasakan setiap individu.

1.2 Perumusan Masalah

Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tidak terkecuali di Kota Bogor khususnya Kecamatan Bogor Barat yang penduduknya terbanyak bila dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kota bogor. Berikut adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kota Bogor tahun 2008.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin 2008

Kecamatan Laki-laki Perempuan Total

Bogor Selatan 91.85 87.644 179.494

Bogor Timur 47.185 47.144 94.329

Bogor Utara 83.485 82.76 166.245

Bogor Tengah 56.45 55.502 111.952

Bogor Barat 103.874 101.249 205.123

Tanah Sereal 93.632 91.429 185.061

Kota Bogor 476.476 465.728 942.204

2007 457.717 447.415 905.132

2006 444.508 434.63 879.138

2005 431.862 423.223 855.085

2004 424.819 406.752 831.571

(19)

Dengan meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan transportasi pun ikut meningkat. Pemenuhan kebutuhan transportasi sangat diperlukan agar mobilitas penduduk dapat berjalan dengan baik sehingga berdampak positif bagi aktifitas sosial maupun ekonomi. Namun di sisi lain, semakin bertambahnya alat transportasi juga mengurangi jarak lintasan antar kendaraan di jalan raya, sehingga semakin lama menyebabkan terjadinya kemacetan. Masalah kemacetan telah mengganggu aktifitas masyarakat, khususnya aktifitas ekonomi (Sapta, 2009).

Kemacetan merupakan masalah yang sering terjadi di kota-kota besar. Hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat akan transportasi cukup besar daripada ketersediaan prasarana transportasi yang tersedia, atau bahkan prasarana transportasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kemacetan terjadi tidak hanya disebabkan oleh banyaknya kendaraan di jalan, tetapi juga disebabkan oleh banyaknya angkutan umum yang berhenti di jalan untuk menunggu penumpang sehingga terjadi kemacetan yang tidak dapat dihindari.

(20)

produktif, kini banyak dihabiskan di jalan, sehingga mereka kehilangan manfaat tertentu seperti biaya, waktu dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi :

1. Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan oleh pengguna jalan saat terjebak kemacetan?

2. Apakah penguna jalan bersedia menerima kompensasi sebagai akibat dari terkena dampak kemacetan?

3. Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA)?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis dampak kemacetan secara sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjebak kemacetan.

2. Menganalisis kesediaan menerima masyarakat sesuai skenario yang ditawarkan.

3. Mengestimasi besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima.

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian

(21)

1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat mengaplikasikan teori yang didapatkan selama kuliah mengenai metode Contingent Valuation Method (CVM) yang terkait dengan lingkungan.

2. Bagi Pemerintah Kota Bogor diharapkan agar menjadi bahan masukan bahwa kemacetan di Kota Bogor telah mengkhawatirkan dan telah mengganggu aktifitas masyarakat, khususnya aktifitas ekonomi. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan yang dapat mengatasi masalah kemacetan tersebut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan mempunyai ruang lingkup sebagai berikut :

1. Perhitungan nilai kerugian kemacetan dihitung melalui pendekatan biaya pengeluaran bahan bakar.

2. Perhitungan nilai WTA masyarakat dilakukan dengan memasukkan seluruh unsur dalam penelitian yakni penumpang angkutan umum serta pengguna kendaraan bermotor.

(22)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Transportasi

Sistem transportasi erat kaitannya dengan keadaan ekonomi suatu wilayah karena pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi kondisi sistem transportasi yang ada di wilayah tersebut. Sistem transportasi yang baik akan mempermudah pergerakan mobilitas perekonomian baik produksi, distribusi, maupun konsumsi. Teori transportasi saat ini menempatkan sistem transportasi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari infrastruktur desa maupun kota (Sapta, 2009).

2.1.1 Definisi Transportasi

Transportasi merupakan turunan dari kombinasi tata guna lahan yang saling membutuhkan yang kemudian membentuk suatu pergerakan dari guna lahan satu ke guna lahan lain. Transportasi di darat ada beberapa macam, mulai dari kendaraan tidak bermesin seperti sepeda, delman, andong, becak dan sebagainya, serta kendaraan bermesin seperti motor dan mobil. Masyarakat biasanya menggunakan transportasi pribadi seperti mobil pribadi, sewaan, ataupun motor untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi. Pengguna jalan yang tidak memiliki kendaraan pribadi dapat menggunakan transportasi massal, seperti bus, angkot, ojek, dan lain sebagainya (Sapta, 2009).

2.1.2 Definisi Kemacetan Transportasi

(23)

transportasi. Jumlah kendaraan yang melintasi suatu jalan mendekati kapasitas fisik fasilitas jalan yang ada dan membuat kecepatan berlalu lintas akan semakin melambat sehingga kemampuan keseluruhan perlintasan di jalan tersebut menjadi turun (Sapta, 2009). Menurut definisi teknik tata lalu lintas yang dimaksud dengan macet atau kemacetan lalu lintas adalah suatu kondisi dimana arus lalu lintas terhambat namun masih berjalan.

2.2 Metode Estimasi Penilaian Lingkungan

Secara umum, teknik valuasi ekonomi yang tidak dapat dipasarkan ( non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survey di mana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkannya secara lisan maupun tertulis. Secara sistematis, teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada tampilan berikut ini.

Valuasi Non-Market

Tidak langsung Langsung (Survey)

(Revealed WTP) (Expressed WTP)

*Hedonic Pricing *Contingent Valuation *Travel Cost *RandomUtility model *Random Utility model *Contingent Choice

Sumber : Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pustaka Gramedia Utama, Jakarta.

(24)

2.2.1 Konsep Metode Valuasi Kontingensi

Pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis tahun 1963 dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya (Fauzi, 2006). Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit.

CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan kedua, keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan (Fauzi, 2006)..

(25)

2.2.2 Kelebihan dan Kelemahan Dari Teknik CVM

Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan dari penggunaan CVM yaitu: 1. Sifatnya yang fleksibel dan dapat diterapkan pada beragam kekayaan

lingkungan, tidak hanya terbatas pada benda atau kekayaan alam yang terukur secara nyata di pasar saja.

2. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu: seringkali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.

3. Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.

4. Dibandingkan dengan teknik penilaian yang lain, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna.

5. Kapasitas CVM dapat menduga ”nilai non pengguna”

6. Responden dapat dipisahkan ke dalam kelompok pengguna dan non pengguna sesuai dengan informasi yang didapatkan dari kegiatan wawancara.

Adapun kelemahan dari teknik CVM adalah timbulnya bias. Bias tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

1. Bias Strategi, yaitu bias yang terjadi karena barang lingkungan memiliki

sifat ”non-excludability” dalam pemanfaatannya, sehingga akan

mendorong terciptanya responden yang bersifat ”free rider” dan tidak jujur

(26)

2. Bias Rancangan, yaitu mencakup cara informasi disajikan, instruksi yang diberikan, format pertanyaan, dan jumlah serta tipe informasi yang disajikan kepada responden.

3. Bias yang berhubungan dengan kondisi kejiwaan responden, yang terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan dan waktunya dihabiskan untuk barang lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu. 4. Kesalahan Pasar Hipotetis, terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden dalam pasar hipotetis membuat tangapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan.

2.3 Willingness to Accept (WTA)

Kesediaan untuk menerima atau WTA merupakan suatu ukuran dalam konsep penilaian ekonomi dari barang/jasa lingkungan. Ukuran ini memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan disekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa besar jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTA untuk menilai peningkatan atau pemburukan kondisi lingkungan antara lain :

(27)

2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan.

3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.

Perhitungan WTA dapat dilakukan secara langsung (direct method) melalui survey dan wawancara dengan masyarakat, maupun secara tidak langsung (indirect method) dengan menghitung nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi. Metode bertanya pun tidak jauh berbeda dengan WTP. Menurut Hanley dan Spash (1993), terdapat 4 (empat) metode bertanya yang digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTA responden, yaitu :

1. Metode Tawar Menawar (bidding game), yang dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang

tertentu yang diajukan sebagai titik awal. Jika “ya” maka besarnya nilai uang

diturunkan sampai ke tingkat yang disepakati.

2. Metode Pertanyaan Terbuka (open-endedquestion), dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah minimal uang yang diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberikan petunjuk yang dapat mempengaruhi nilai yang diberikan dan tidak digunakannya nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias titik awal. Namun, metode ini lemah dalam akurasi nilai dan terlalu besar variasinya.

(28)

menerima sehingga responden dapat memilih nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Pada awalnya, metode ini dikembangkan untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk mengembangkan kualitas metode ini sering diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang/jasa lingkungan yang lain. Metode ini memiliki keunggulan dalam memberikan stimulan dalam membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai minimum yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu, seperti pada metode tawar-menawar. Untuk menggunakan metode ini diperlukan pengetahuan statistik yang relatif baik. 4. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (closed-ended referendum), yang

menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan kepada responden apakah mau menerima atau tidak sejumlah uang tersebut akibat perubahan kualitas lingkungan.

2.4 Analisis Regresi Linier Berganda

Terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat pada regresi berganda. Hubungan kedua variabel memungkinkan seseorang untuk memprediksi secara akurat variabel terikat berdasarkan pengetahuan variabel bebas. Namun situasi peramalan di kehidupan nyata tidaklah begitu sederhana, diperlukan lebih dari satu variabel secara akurat. Model regresi yang terdiri lebih dari satu variabel bebas disebut model regresi berganda.

(29)

varian yang minimum, (3) konsisten, (4) efisien, dan (5) linier. Menurut Gujarati (2003) analisis regresi berganda digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi :

1. E (ui) = 0, untuk setiap i, dimana i= 1, 2, …, n. artinya rata-rata galat adalah nol, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ui tergantung pada variabel bebas tertentu adalah nol.

2. Cov (ui,ui) = 0, i ≠ j. artinya covarian (ui,uj) = 0, dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat yang satu dengan yang lain.

3. Var (ui) = σ2, untuk setiap i, dimana i = 1, 2, …, n. artinya setiap galat memiliki varian yang sama (asumsi homoskedastisitas).

4. Cov (ui, X1i) = cov (ui, X2i) = 0. artinya kovarian setiap galat memiliki varian yang sama. Setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda. 5. Tidak ada multikoliniearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang

pasti antara variabel yang menjelaskan, atau variabel penjelas harus saling bebas.

2.5 Penelitian Terdahulu

Sapta (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Dampak

(30)

dan sebesar Rp 853.357.639,50 untuk pengguna jalan yang menggunakan sepeda motor serta sebesar Rp 3.721.137.094,00 untuk para supir angkutan umum.

Selain itu, Sapta juga menghitung besarnya pengeluaran penggunaan BBM bila pengguna jalan terkena kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan. Hasil dari perhitungan tersebut dihasilkan Rp 13.933,25 pengeluaran pengguna jalan yang menggunakan mobil dalam kondisi normal. Sedangkan apabila terkena kemacetan, pengeluarannya menjadi sebesar Rp 19.171,12. Sementara itu, besarnya pengeluaran BBM pada pengguna sepeda motor dalam keadaan normal yakni sebesar Rp 5.082,87, sedangkan dalam kondisi terkena kemacetan menjadi sebesar Rp 7.172,65. Pendapatan pengguna jalan yang hilang pun dihitung oleh Sapta dan menghasilkan nilai sebesar Rp 7.377.521.660,00.

(31)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor semakin meningkat. Luas Kota Bogor yang hanya 11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km sudah padat untuk menampung jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan. Saat ini ada 3.508 unit angkot yang diijinkan beroperasi di dalam kota, di tambah lagi ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek operasinya memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi bagian dari beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap harinya

Selain itu, jumlah kendaraan yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai 9.360 unit. Persentase jumlah kendaraan pribadi dari luar Kota Bogor yang masuk setiap harinya sekitar 35% dari jumlah kendaraan pribadi berplat-F di Kota Bogor tercatat berjumlah 38.994 unit

Kemacetan lalu lintas merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dengan kondisi populasi kendaraan sebanyak itu. Kemacetan semakin lama semakin memberikan masalah yang akhirnya berdampak pada masalah lingkungan. Masalah lingkungan ini juga akhirnya berdampak pada pada sosial ekonomi masyarakat.

(32)

kerugian lainnya yang merupakan dampak yang harus ditanggung masyarakat, khususnya para pengguna jalan. Mengingat besarnya dampak yang terjadi, maka diperlukan analisis mengenai kerugian pengguna jalan.

Kompensasi merupakan cerminan besarnya nilai kerugian dari pengguna jalan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat untuk menerima kompensasi. Penilaian ekonomi mengenai kemacetan dengan mencari nilai WTA pengguna jalan dengan menggunakan tahapan dalam CVM dan analisis regresi berganda. Metode dan analisis tersebut akan memberikan besaran nilai WTA pengguna jalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

(33)

Kendaraan di Kota Bogor

Pribadi Umum

Tidak Tertib ·Jumlah kendaraan meningkat Overcappacity dari waktu ke waktu

·Kapasitas jalan terbatas

·Kondisi jalan dan infrastruktur lainnya buruk

Kemacetan Masalah Lingkungan

Dampak Sosial-Ekonomi

Dampak Sosial Kemacetan WTA Faktor yang

Mempengaruhi

Deskriptif-Kualitatif CVM

Nilai Kerugian Sosial

Ekonomi

Rekomendasi Pengelolaan

atas Kemacetan

(34)

IV.

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan setelah melakukan survey (baik secara langsung maupun tak langsung) dengan mempertimbangkan: (1) Kecamatan Bogor Barat merupakan salah satu kecamatan di Kota Bogor yang mengalami kemacetan lalu lintas dari waktu ke waktu, (2) Adanya kesesuaian data yang diharapkan dapat mendukung dan mewujudkan tujuan penelitian yang diajukan. Pengambilan data primer melalui kuisioner dilakukan pada bulan November 2010. 4.2 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan wawancara langsung kepada responden menggunakan kuisioner, sedangkan untuk data sekunder diambil dari beberapa instansi terkait dengan objek penelitian seperti BPS, Samsat Kota Bogor, DLLAJ Kota Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor, Kecamatan Bogor Barat, perpustakaan serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.

4.3 Metode Pengumpulan Data

(35)

yang terjadi di Kecamatan Bogor Barat. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan mewawancarai responden yang ditemui di jalan serta pusat perbelanjaan. Banyaknya responden dalam penelitian ini berjumlah 110 orang. Penetapan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kaidah pengambilan sampel secara statistika yaitu minimal sebanyak 30 data/sampel dimana data tersebut mendekati sebaran normal.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat dampak sosial dari kemacetan lalu lintas melalui kuisioner, sedangkan metode kuantitatif menggunakan rumus nilai tengah contoh. Metode CVM digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai WTA pengguna jalan. Selanjutnya untuk menentukan tingkat validitas, reabilitas, dan signifikansi dalam penggunaan CVM, dilakukan pengujian dengan program SPSS 16 for Windows. Berikut adalah metode pengolahan data untuk setiap tujuan penelitian seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Metode Pengolahan Data

No. Tujuan Penelitian Alat Analisis Teknik Pengumpulan Data

1 Mengestimasi dampak kemacetan secara sosial ekonomi

Deskriptif dan kualitatif

Kuisioner

2 Kajian mengenai kesediaan menerima masyarakat sesuai skenario yang ditawarkan

(36)

4.4.1 Mengestimasi Dampak Kemacetan Secara Sosial Ekonomi

Data yang diperlukan untuk estimasi ini meliputi dampak yang dirasakan oleh responden ketika mengalami kemacetan lalu lintas. Dampak yang dialami bisa berupa stres, waktu yang terbuang, emosi, bahan bakar yang hilang, dan lain-lain. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan kualitatif. 4.4.2 Analisis Kesediaan Menerima Masyarakat Sesuai Skenario yang

Ditawarkan

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data mengenai proporsi kesediaan menerima masyarakat sesuai dengan skenario yang ditawarkan. Informasi ini diperoleh dari kuisioner penelitian. Alasan responden mengenai kesediaan menerima diperoleh dari wawancara secara mendalam (interdeph interview) terhadap masyarakat.

4.4.3 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Dampak Kemacetan

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai dana kompensasi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut. Pendekatan CVM akan digunakan untuk mengetahui nilai WTA masyarakat dalam penelitian ini. Pendekatan CVM dalam penelitian ini terdiri dari enam tahap pekerjaan (Hanley dan Spash, 1993) :

1. Membangun Pasar Hipotetis

(37)

kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan. Besarnya kompensasi atau WTA akan ditanyakan kepada responden atas pemberlakuan kebijakan tersebut dimana WTA tersebut mencerminkan besarnya kerugian individu dalam rupiah, sehimgga pertanyaan yang sesuai untuk skenario di atas adalah : ”Bersediakah Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah berupa pemberian kompensasi terhadap pengguna jalan yang mengalami kemacetan dengan menerima kompensasi tersebut?”

2. Memperoleh Nilai Tawaran

Metode yang digunakan untuk memperoleh nilai tawaran pada penelitian ini adalah metode pertanyaan terbuka (open ended question), yaitu dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah minimal uang yang ingin diterima akibat kemacetan.

3. Menghitung Nilai Rata-rata dari WTA

Jika nilai WTA telah didapat, maka diperlukan perhitungan rata-ratanya. Ukuran nilai median tidak dipengaruhi oleh penawaran (bids) yang besar dalam batas atas tingkat distribusinya. Tahap ini biasanya diabaikan adanya penawaran sanggahan (protes bids), dimana yang dimaksud dengan penawaran sanggahan adalah respon dari responden yang bingung untuk menentukan jumlah yang mereka ingin terima karena mereka tidak mempunyai keinginan untuk ikut serta dalam kebijakan pemerintah ini.

4. Menduga Kurva Penawaran WTA

(38)

midWTA = f (Z1, Z2, Z3, Z4, Z5, Z6, Z7, Z8,€)

Keterangan :

midWTA = Nilai tengah WTA responden Z5 = Frekuensi terkena kemacetan Z1 = Tingkat pendidikan Z6 = Durasi terkena kemacetan

Z2 = Jenis pekerjaan Z7 = Waktu yang hilang

Z3 = Tingkat pendapatan Z8 = Lelah

Z4 = Umur € = Galat

5. Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penwaran dikonversikan terhadap populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai tengah WTA maka dapat diduga nilai total WTA dari masyarakat dengan menggunakan rumus :

Dimana :

TWTA = Total WTA

WTAi = WTA individu ke-i

ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi

(i = 1, 2, 3, ..., k) 6. Mengevaluasi Penggunaan CVM

(39)

dilakukan dengan uji keandalan yang melihat R squared dari model Ordinary Least Square (OLS).

4.4.4 Analisis Fungsi Kesediaan Menerima Masyarakat

Analisis fungsi Willingness to Accept digunakan model regresi linier berganda. Fungsi persamaan sebagai berikut :

WTA = f (α0 +α1 Z1+ α2 Z2+ α3 Z3+ α4 Z4+ α5 Z5+ α6 Z6+ α7 Z7+ α8 Z8+ €)

Keterangan :

α0 = Intersep Z5 = Frekuensi terkena kemacetan

α1... α8 = Koefesien regresi Z6 = Durasi terkena kemacetan

Z1 = Tingkat pendidikan Z7 = Waktu yang hilang

Z2 = Jenis pekerjaan Z8 = Lelah

Z3 = Tingkat pendapatan € = Galat

Z4 = Umur

(40)

Tabel 4. Deskripsi Pengukuran Nilai WTA

Variabel Keterangan Variabel Cara Pengkuran

WTA Willingness to Accept Responden ditanyakan besarnya kompensasi yang bersedia terima melalui open-ended question (Rp)

Z1 Tingkat pendidikan Responden ditanyakan jenjang

pendidikan mereka mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi (tahun)

Z2 Jenis pekerjaan Menanyakan responden mengenai

profesi mereka. Jenis pekerjaan dibedakan menjadi PNS, Karyawan swasta, Pengusaha/Wiraswasta dan sebagainya.

Z3 Tingkat pendapatan Responden diminta untuk menjawab

rata-rata pendapatan (Rp)

Z4 Umur Responden ditanyakan langsung umur

mereka

Z5 Frekuensi terkena kemacetan Responden ditanyakan berapa kali

mengalami kemacetan dalam setiap hari perjalanan mereka (tahun)

Z6 Durasi terkena kemacetan Menanyakan kepada responden

durasi/lama waktu saat terjebak dalam kemacetan (menit)

Z7 Waktu yang hilang Menanyakan kepada responden apakah

waktu mereka hilang/terbuang akibat terjebak kemacetan.Apakah (ya atau tidak)

Z8 Lelah Apakah responden merasakan

kelelahan saat terjebak kemacetan (ya atau tidak)

4.5 Pengujian Statistik

Uji kebaikan dari model yang telah dibuat dapat dilakukan melalui pengujian secara statistik. Uji yang dilakukan adalah :

1. Uji Koefisien Regresi Secara Bersama-sama (Uji F)

(41)

F hitung = R k = Jumlah variabel independen Hipotesis dalam uji F sebagai berikut :

Ho : Tidak ada pengaruh antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

H1 : Ada pengaruh antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.

Hoditerima bila F hitung ≤ F tabel Ho ditolak bila F hitung > F tabel

2. Uji Koefesien Regresi Secara Parsial (Uji t)

Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah dalam regresi variabel independen (X1 ,X2 ,… ,Xn) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel

bi = Koefesien regresi variabel i Sbi = Standar error variabel i Hipotesis dalam uji F sebagai berikut :

Ho : Secara parsial tidak ada pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.

H1 : Secara parsial ada pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.

Ho diterima bila –t tabel ≤ t hitung ≤ t tabel

(42)

3. Uji Terhadap Kolinear Ganda (Multicoliniearity)

Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah multicoliniearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Masalah multicoliniearity dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai VIF (Varian Inflation Factor) < 10 maka tidak ada masalah multicoliniearity.

4. Uji Heterokedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Masalah heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan Uji White. Uji white dilakukan dengan meregresikan residual kuadrat sebagai variabel dependen dengan variabel dependen ditambah dengan kuadrat variabel independen, kemudian ditambahkan lagi dengan perkalian dua variabel independen. Prosedur pengujiandilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Tidak ada heterokedastisitas H1 : Ada heterekodastisitas

Jika α = 5%, maka tolak H0 jika obs*R-square > X2 atau P-value< α.

5. Uji Normalitas

(43)
(44)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Bogor mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena Kota Bogor merupakan salah satu kota penyangga Jakarta sebagai ibukota negara. Pemerintah kota membangun dan mengembangkan Kota Bogor sebagai kota jasa yaitu kota yang menyediakan berbagai jasa untuk memenuhi kebutuhan penduduk mulai dari ekonomi, sosial, hingga edukasi dan rekreasi.

Salah satu kecamatan di Kota Bogor adalah Kecamatan Bogor Barat. Kecamatan Bogor Barat merupakan kecamatan di Kota Bogor dengan jumlah penduduk terbanyak1. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu ikut mempengaruhi berbagai aktifitas yang dilakukan oleh masyarakatnya, salah satunya adalah sektor transportasi. Masalah yang terjadi dalam sektor transportasi di Kecamatan Bogor Barat yakni kemacetan.

Menurut data dari Sistem Administrasi Satu Atap (SAMSAT) Kota Bogor, saat ini ada sekitar 21.830 unit kendaraan yang terdaftar di Kecamatan Bogor Barat. Adapaun rincian jumlah kendaraan tersebut terdapat pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Jumlah Kendaraan di Kecamatan Bogor Barat sampai dengan

November 2010

No Jenis Kendaraan Jumlah

1 Mobil Penumpang 3.502

Sumber : SAMSAT Kota Bogor, 2010

(45)

Sementara itu, panjang kondisi jalan di Kota Bogor ada perubahan yang berarti, data yang diperoleh dari BPS untuk panjang jalan yang telah ada adalah 576.665 Km padatahun 2005 dan pada tahun 2008 panjang jalan bertambah yakni menjadi 749.213 Km. Kondisi jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1. Walaupun kondisi jalan mengalami pertambahan pertumbuhan, kemacetan tak dapat terhindarkan, hal ini dikarenakan jumlah pertumbuhan kendaraan lebih tinggi daripada pertumbuhan jalan di Kota Bogor.

Ada tiga titik utama kemacetan di Kecamatan Bogor Barat, yakni di pertigaan Bubulak-Laladon, Gunung Batu dan Loji. Kemacetan biasanya terjadi pada jam-jam sibuk sekitar pukul 07.00-12.00 WIB. Kemacetan yang terjadi biasa disebabkan oleh banyaknya angkot yang berhenti sembarangan, jalan rusak, banyaknya kendaraan yang melintas serta persimpangan yang menghubungkan titik-titik jalan di Kecamatan Bogor Barat.

5.1.1 Keadaan Umum Kecamatan Bogor Barat

(46)

Dalam menjalankan tugas kedinasan sehari-hari, saat ini kecamatan berpedoman kepada Peraturan Walikota Bogor Nomor 38 Tahun 2005 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Tata Kerja dan Uraian Tugas Jabatan Struktural di lingkungan Kecamatan. Disamping itu ada 3 (tiga) buah kewenangan yang diserahkan oleh Walikota kepada Camat berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 3 Tahun 2005 yakni Pelayanan Umum Bidang Kependudukan, Izin Mendirikan Bangunan, dan Izin Gangguan, yang pelaksanaan teknisnya ditetapkan dengan ketentuan tertentu.

Kecamatan Bogor Barat merupakan salah satu Kecamatan di wilayah Kota Bogor, memiliki luas wilayah 3.174,00 Ha. Adapun batas-batasnya adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor; - Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan

Tanah Sareal Kota Bogor;

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor;

(47)

Tabel 6. Luas Wilayah per Kelurahan se Kecamatan Bogor Barat

Sumber : Laporan Kecamatan Bogor Barat tahun 2008

Kondisi fisik Kecamatan Bogor Barat secara tofografi mempunyai kemiringan 0-2% dan 3-15% yang merupakan lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman, perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain.

(48)

april s/d Oktober antara 128 s/d 345 mm/tahun. Sedangkan kondisi suhu seperti halnya wilayah Bogor lainnya yaitu berkisar antara 26oC s/d 34oC dengan kelembaban udara menjadikan Kecamatan Bogor Barat sangat cocok untuk dijadikan kawasan pemukiman.

5.1.2 Kondisi Demografi

Kondisi penduduk di Kecamatan Bogor Barat tersebar cukup merata diberbagai kelurahan yang terdapat di wilayah ini dengan proporsi terhadap keseluruhan penduduk Kecamatan Bogor Barat sebesar 11,17% terdapat di Kelurahan Gunung Batu dan wilayah yang memiliki jumlah penduduk terkecil adalah Kelurahan Pasir Mulya dengan proporsi sebesar 2,5% dari jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Bogor Barat.

Perkembangan jumlah penduduk di kelurahan-kelurahan yang ada di wilayah Kecamatan Bogor Barat ini mengalami dinamika, namun dalam kurun waktu 2000-2006, penduduk wilayah ini cenderung mengalami penurunan. Pengurangan jumlah penduduk yang cukup tajam terjadi di Kelurahan Menteng dengan laju sebesar 3,80%. Pengurangan ini terjadi diakibatkan berkembangnya wilayah Kelurahan Menteng, yang merupakan bagian dari wilayah pusat kota. Perkembangan tersebut memicu terjadinya alih guna lahan dari pemukiman ke non pemukiman yang kemudian menyebabkan penduduk yang semula bermukim di Kelurahan tersebut pindah ke daerah pinggiran. Pengurangan jumlah penduduk juga terjadi di Kelurahan Pasir Jaya, Gunung Batu, Sindang Barang, Bubulak, Cilendek Timur, Cilendek Barat, dan Loji.

(49)

Kelurahan Curug Mekar dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,15%. Letak Kelurahan Curug Mekar yang strategis, tidak terlalu jauh dari pusat kota dan pusat perdagangan, serta sebagian besar wilayahnya adalah perumahan yang dibangun pengembang (PT. Inti Innovaco) mengakibatkan kelurahan ini menjadi pilihan untuk bermigrasi, yang berdasarkan pengamatan lapangan kebanyakan pendatang dari daerah DKI Jakarta maupun luar kota lainnya, selain pertumbuhan penduduk secara alami. Sementara itu ada fenomena menarik bahwa kelurahan-kelurahan yang berada di pinggiran juga mengalami penambahan jumlah penduduk dengan angka pertumbuhan yang bervariasi, yakni kelurahan Pasir Kuda, Pasir Mulya, Situ Gede, Margajaya, Balumbang Jaya, dan Curug.

Sementara itu apabila dilihat dari kepadatan di wilayah ini, Kelurahan Curug Mekar memiliki kepadatan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 97,52 jiwa/Ha, dan Kelurahan Margajaya memiliki kepadatan penduduk terendah, yaitu 20,66 jiwa/Ha. Kepadatan penduduk di Kecamatan Bogor Barat dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu kepadatan rendah, kepadatan sedang dan kepadatan tinggi. Dengan nilai dari masing-masing golongan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini :

Tabel 7. Golongan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bogor Barat

No Golongan Kepadatan Penduduk Jumlah (Jiwa/Ha)

1 Rendah 21,56 - 41,76

2 Sedang 41,76 - 64,84

3 Tinggi >64,84

Sumber : Laporan Kecamatan Bogor Barat tahun 2008

(50)

golongan kepadatan penduduk sedang adalah Kelurahan Bubulak, Kelurahan Balumbang Jaya, Kelurahan Loji, Kelurahan Pasir Jaya, Kelurahan Pasir Kuda, Kelurahan Curug, Kelurahan Menteng. Sementara itu enam kelurahan lainnya termasuk kelurahan dengan golongan kepadatan penduduk tinggi, enam kelurahan tersebut adalah : Kelurahan Gunung Batu, Kelurahan Pasir Mulya, Kelurahan Semplak, Kelurahan Curug Mekar, Kelurahan Cilendek Barat, Kelurahan Cilendek Timur.

Sebagian besar penduduk Kecamatan Bogor Barat berprofesi sebagai pegawai swasta dan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Keberadaan kantor-kantor pemerintah di sekitar Bogor Barat baik itu kantor pemerintah maupun penelitian yang cukup banyak dapat menjelaskan jumlah yang cukup signifikan pada presentase ini. Mudahnya jalur menuju Jakarta membuat banyak pekerja di kantor-kantor swasta yang berada di daerah Jakarta dan sekitarnya, memilih untuk tinggal di Bogor akan tetapi melakukan kegiatannya diluar Kota Bogor.

5.2 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden di Kecamatan Bogor Barat diperoleh dari hasil survey yang dilakukan terhadap 110 orang pengguna jalan yang ditemui peneliti. Karakteristik responden ini dinilai dari beberapa variabel. Meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, usia, jenis kelamin dan kategori pengguna jalan.

i. Tingkat Pendidikan

(51)

jumlah terbesar, yaitu sebesar 40 orang (36%), sedangkan responden dengan tingkat pendidikan SD memilki jumlah terkecil, yakni sebesar 11 orang (10%). Perbandingan persentase untuk tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 3. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden ii. Pekerjaan

(52)

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 4. Perbandingan Jenis Pekerjaan Responden iii. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan tertinggi responden berada pada selang >Rp. 1.000.000,00 - Rp 2.000.000,00 perbulan yaitu sebanyak 53 responden atau 53,48% dari keseluruhan responden. Responden dengan tingkat pendapatan melebihi level tertinggi yang diajukan (>Rp 5.000.000,00) merupakan para pengusaha serta beberapa pegawai swasta, yaitu sebesar 8,7%. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber : Data Primer, 2010

(53)

iv. Usia

Tingkat usia responden pengguna jalan di Kota Bogor khususnya di Kecamatan Bogor Barat cukup beragam, mulai dari anak sekolah hingga usia lanjut. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 32 orang (29,09% dari jumlah responden keseluruhan). Responden yang berusia 15-25 tahun dan 26-35 tahun memiliki jumlah yang sama yakni sebanyak 30 orang atau sebesar 27,27% dari total responden keseluruhan. Responden yang berusia 46-55 tahun berjumlah 11 orang (10% dari total responden), responden yang berusia 56-65 tahun berjumlah tujuh orang (5,45% dari total responden), responden yang berusia 66-75 tahun berjumlah satu orang (0,91% dari total responden). Perbandingan distribusi usia responden dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber : Data Data Primer, 2010

Gambar 6. Perbandingan Usia Responden v. Jenis Kelamin

(54)

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 7. Perbandingan Jenis Kelamin Responden vi. Kategori Pengguna Jalan

Para responden yang merupakan pengguna jalan di Kota bogor khususnya di Kecamatan Bogor Barat menggunakan berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi dalam penelitian ini adalah penumpang angkutan umum, yaitu sebesar 40,36% dari jumlah responden. Persentase jumlah pengguna jalan dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 8. Perbandingan Kategori Pengguna Jalan vii. Lama Macet

(55)

macet pada kisaran waktu antara 31 – 60 menit, 61 – 90 menit, dan 91 – 120 menit berturut-turut yakni sebesar 23%, 10%, dan 3%. Perbandingan lama macet yang dirasakan oleh responden dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 9. Perbandingan Lama Macet Responden viii. Jarak Tempuh

Jarak tempuh responden tertinggi yakni berkisar antara 0 – 10 km atau sebesar 77% dari total keseluruhan responden. Sementara itu, jarak tempuh pada kisaran 11 – 20 km dan 21 – 30 km berturut-turut yakni sebesar 22% dan 1%. Perbandingan jarak tempuh antar responden dapat dilihat pada Gambar 10.

Sumber : Data Primer, 2010

(56)

VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI

PENGGUNA JALAN

6.1. Dampak Kemacetan Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan

Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di daerah perkotaan. Beberapa faktor spesifik seperti jumlah penduduk, urbanisasi, penambahan pemilikan kendaraan, dan penambahan jumlah perjalanan juga turut menambah masalah kemacetan lalu lintas. Penambahan jumlah penduduk dan urbanisasi biasanya terjadi di negara yang sedang berkembang.

Perkembangan Kota Bogor yang pesat menyebabkan lebih banyak penduduk yang datang dan menetap. Hal ini bisa dilihat dengan berkembangnya jumlah pemukiman penduduk di berbagai wilayah di Kota Bogor. Penduduk ini memerlukan tempat tinggal yang akan menyebabkan kota menjadi lebih padat. Mobilitas penduduk meningkatkan kebutuhan akan angkutan umum. Sesuai dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan, dan jumlah perjalanan juga akan meningkat sehingga menghasilkan lebih banyak kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan transportasi. Akan tetapi pertumbuhan ruas jalan tidak sebanding dengan kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan transportasi, sehingga frekuensi kemacetan di Kota Bogor meningkat.

(57)

semuanya akibat dari pemanfaatan seseorang atau kelompok terhadap barang publik tersebut.

Hasil penelitian terhadap 110 responden di Kota Bogor menunjukkan bahwa kemacetan merupakan situasi yang sangat merugikan sehingga berdampak pada sosial ekonomi pengguna jalan itu sendiri. Umumnya, setiap responden yang pernah mengalami kemacetan langsung memberikan pernyataan negatif. Dampak kemacetan terhadap sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari jenis pekerjaan pengguna jalan tersaji pada Gambar 11.

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak Kemacetan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

(58)

benefit, baik sosial maupun ekonomi bagi pengguna jalan itu sendiri. Responden yang menyatakan waktu yang hilang saat terjebak kemacetan adalah sebanyak 96 orang atau 87,27% dari keseluruhan responden. Rincian untuk responden yang merasakan waktu yang hilang adalah 30 sopir (100% dari jumlah sopir yang menjadi responden). Sebanyak 9 responden lainnya(96,15% dari jumlah lainnya yang menjadi responden), dan masing-masing untuk PNS, pelajar atau mahasiswa dan pengusaha memiliki persentase sebesar 40%, 95,45%,34,62% dari kelompok responden masing-masing.

Hal ini jelas mengindikasikan bahwa sebagian besar pengguna jalan merasakan dampak waktu yang hilang saat mereka terjebak kemacetan. Kinerja mengendarai kendaraan menjadi lebih berat saat berada dalam kemacetan karena mereka harus menginjak gas dan mengerem lebih sering. Selain membuat perjalanan lebih lama dibandingkan dengan kondisi normal, kemacetan juga membuat badan lelah dan berdampak pada emosi pengguna jalan sehingga ada dari mereka yang menggerutu, kesal, marah dan akhirnya stres.

(59)

6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan

Kemacetan yang sering terjadi tidak hanya berdampak pada sisi sosial pengguna jalan saja, namun tentunya pada kendaraan yang digunakan pengguna jalan. Kemacetan akan mempengaruhi setiap perjalanan, baik perjalanan untuk bekerja maupun perjalanan bukan untuk bekerja. Hal itu akan mempengaruhi pergerakan orang dan arus barang. Kendaraan yang melaju pada lalu lintas normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. Kendaraan bermotor biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per satu liter bensin dengan jarak yang dapat ditempuhnya, misalnya konsumsi satu liter bensin untuk delapan kilometer untuk jenis kendaraan mobil, tetapi efisiensi kendaraan ini juga dipengaruhi oleh jenis mobil, kapasitas cc mesin, dan merk mobil tersebut.

(60)

Tabel 8. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM

Pengeluaran Rata-Rata Mobil (33 unit) Motor (37 unit) Pengeluaran rata-rata normal per kendaraan/hari Rp 40.500,00 Rp 12.277,03

Pengeluaran rata-rata macet per kendaraan/hari Rp 52.159,09 Rp 19.182,43

Rata-rata kerugian per kendaraan/hari Rp 11.659,09 Rp 6.905,41

Sumber : Data Primer, 2010

Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan bermotor untuk pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 40.500,00 per mobil. Namun apabila terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 52.159,09 per mobil karena konsumsi BBM menjadi meningkat. Begitu pula pada kendaraan jenis sepeda motor dimana pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 12.277,03 per motor. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 19.182,43.

Meningkatnya pengeluaran ini merupakan kerugian yang harus ditanggung oleh setiap pengguna kendaraan baik mobil maupun motor. Kerugian yang ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran kemacetan per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran normal per kendaraan yaitu sebesar Rp 11.659,09 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 6.905,41, sehingga total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 18.564,00.

(61)

Jumlah kerugian tersebut hanya untuk satu titik kemacetan saja. Namun, bila dikalikan dengan seluruh titik kemacetan di Kecamatan Bogor Barat yang jumlahnya sekitar 3 titik kemacetan, dengan asumsi bahwa volume kendaraan pada setiap titik kendaraan sama dengan volume kendaraan di Gunung Batu, maka total kerugian BBM akibat kemacetan adalah sebesar Rp 417.701.167,00 per hari. Berarti potensi ekonomi yang hilang dari pengguna BBM akibat kemacetan di Kecamatan Bogor Barat mencapai Rp 152.460.925.983,00 per tahun. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar untuk kota yang termasuk daerah sub-urban.

(62)

VII.

ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT

7.1. Willingness to Accept (WTA) Pengguna Jalan Terhadap Kemacetan Analisis WTA pengguna jalan di Kota Bogor khususnya di Kecamatan Bogor Barat dilakukan dengan cara menanyakan kepada 110 orang responden mengenai kesediaan mereka untuk mengungkapkan kerugian atas kemacetan yang mereka rasakan akibat kemacetan yang terjadi. Distribusi pilihan bersedia dan tidak bersedia pengguna jalan yang mengekspresikan kerugian mereka akibat kemacetan dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 12. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan dalam Mengungkapkan kerugian Akibat Kemacetan

(63)

Tabel 9. Alasan Ketidaksediaan Responden dalam Mengungkapkan Nilai Kerugian Akibat Kemacetan

Alasan Frekuensi (orang) Persentase (%)

Tidak Peduli 5 26,32

TidakPerlu 10 52,63

Tidak Dapat Dinilai dengan Uang 4 21,05

Jumlah 19 100,00

Sumber : Data Primer, 2010

Penjelasan dari Tabel 9 adalah bahwa alasan ketidaksediaan responden mengungkapkan nilai kerugian mereka adalah didasari oleh persepsi mereka terhadap kerugian akibat kemacetan. Sebanyak lima responden menyatakan bahwa mereka tidak peduli dengan kerugian yang mereka tanggung akibat kemacetan. Sepuluh responden menyatakan bahwa kerugian tidak perlu dikonversikan dengan nilai nominal. Sedangkan empat responden sisanya menyatakan bahwa kerugian mereka seperti hilangnya waktu, stres, dan sebagainya tidak bisa dinilai dengan uang atau kerugian mereka sangatlah besar sehingga mereka tidak bisa mengungkapkan besarnya kerugian mereka dalam bentuk nominal uang.

7.2. Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dalam Menghadapi Kerugian Akibat Kemacetan

(64)

1 Membangun Pasar Hipotetis

Responden diberikan informasi bahwa pemerintah Kota Bogor akan memberlakukan suatu kebijakan baru dalam manajemen transportasi darat dengan tujuan untuk memperbaiki mekanisme lalu lintas di lapangan. Adapun kebijakan tersebut ialah pemberian kompensasi terhadap pengguna jalan yang terkena kemacetan, karena kemacetan yang terjadi tidak dapat dihindarkan. Setiap responden akan dinilai kompensasi yang diterimanya atas kemacetan yang terjadi. Kompensasi tersebut adalah biaya pengganti dari kerugian yang mereka rasakan akibat terjadinya kemacetan.

2 Memperoleh Nilai WTA

Berdasarkan pertanyaan yang ditawarkan dalam kuesioner melalui metode pertanyaan terbuka (open ended question), maka diperoleh nilai kompensasi yang bersedia diterima pengguna jalan bila terjebak kemacetan. Hasil perhitungan statistik memperoleh nilai rata-rata responden sebesar Rp 386.154,00/bulan.

3. Menghitung Nilai Rata-rata dari WTA

(65)

Tabel 10. Distribusi Besaran WTA Responden

Penumpang Motor Mobil

∑ WTA (Rp) 8.110.000 10.980.000 16.050.000

Frekuensi (orang) 28 30 33

Rata-rata WTA (Rp) 289.642,86 366.000,00 486.363,64

Sumber : Data Primer, 2010

Dugaan nilai WTA responden berdasarkan data WTA yang diekspresikan 91 responden (sebanyak 19 responden tidak mengekspresikan WTA mereka, sehingga tidak masuk dalam perhitumgan) menghasilkan nilai rata-rata WTA pengguna jalan sebesar Rp 289.642,86 untuk penumpang, Rp 366.000,00 untuk motor, dan Rp 486.363,64 untuk mobil. Nilai tersebut mencerminkan besarnya nilai kerugian setiap individu pengguna jalan yang terkena kemacetan.

4. Menduga Bid Curve

(66)

Sumber : Data Primer, 2010

Gambar 13. Dugaan Bid Curve WTA Pengguna Jalan terhadap Kemacetan 5. Menentukan Total WTA (Agregating Data)

(67)

dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah Kota Bogor dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi kemacetan yang ada.

6. Evaluasi pelaksanaan CVM

Berdasarkan hasil regresi berganda, diperoleh nilai R2 = 79,56%. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15% (Mitchell dan Carson, 1989 dalam Garrod dan Willis, 1999) oleh karena itu hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian masih dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable).

7.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA Pengguna Jalan dalam Menghadapi Kemacetan

Model Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kecamatan Bogor Barat diamati dengan memasukkan delapan variabel bebas (independent variable) yang diduga mempengaruhi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Delapan variabel tersebut adalah tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, umur, frekuensi terkena kemacetan, durasi terkena kemacetan, waktu yang hilang, dan lelah. Model Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan dalam menghadapi kemacetan di Kecamatan Bogor Barat dibangun dengan analisis regresi berganda.

Gambar

Tabel 1. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor Tahun 2008
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin 2008
Gambar 1. Klasifikasi Valuasi Non-Market
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada daerah simpang empat sekitar Pasar Sungai Dama ini sering terjadi aktivitas bongkar muat barang maupun penumpang yang akhirnya menyebabkan kemacetan arus lalu lintas

EVY SYAFRINA HARAHAP. Ketimpangan Wilayah dan Kedudukan Kecamatan Dalam Pembangunan Wilayah. Hanafiah Dan Eka Intan Kumala Putri. Pembangunan suatu wilayah adalah fungsi

Menurut Hobbs (1995), arus lalu lintas dari berbagai arah akan bertemu pada suatu titik persimpangan, kondisi tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian ini. Adapun permasalahan yang dikaji adalah 1) Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan

Pandanaran menuju pusat Kota Semarang lebih pendek dari pada rute alternative yang dibuat sebelumnya, hal tersebut disebabkan oleh kelas kemacetan lalu lintas mengalami

Selain itu, terdapat pula Malang Town Square (MATOS) yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Kota Malang. Kemacetan lalu lintas dapat mengham- bat

Adapun yang menjadi fokus penelitian adalah: (1) penyebab dan dampak kemacetan lalu lintas dan (2) kebijakan dan evaluasi kebijakan trans- portasi Dinas

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian ini. Adapun permasalahan yang dikaji adalah 1) Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan