SENYAWA KIMIA PENCIRI JERNANG UNTUK
PEMBARUAN PARAMETER
STANDAR NASIONAL INDONESIA
UMAR TORIQ
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaharuan Parameter Standar Nasioanl Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Umar Toriq
ABSTRAK
UMAR TORIQ. Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter Standar Nasional Indonesia. Dibimbing oleh SUMINAR S ACHMADI dan TOTOK K WALUYO.
Jernang merupakan resin yang dihasilkan rotan jernang (Daemonorops draco) yang memiliki banyak manfaat sehingga harga dan permintaan akan getah jernang selalu tinggi. Badan Standardisasi Nasional telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk jernang berdasarkan parameter ciri fisik dan visual. Tiga mutu jernang tersebut dari mutu tertinggi ke rendah ialah “super”, A, dan B. Namun, parameter-parameter tersebut rentan dimanipulasi oleh pedagang untuk menambah bobot dan kebersihan jernang. Dalam penelitian ini diketahui semua parameter tersebut tidak saling berkorelasi erat dalam menentukan mutu kelas jernang. Kelas mutu menurut pedagang tidak selalu sama dengan penggolongan berdasarkan SNI. Analisis dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 473.5 nm menunjukkan bahwa secara kuantitatif, kelas mutu jernang menurut SNI berkorelasi positif dengan kadar resin dan absorbans. Usulan perbaikan metode analisis dengan SNI ialah ekstraksi dengan maserasi menggunakan pelarut aseton. Identifikasi senyawa menggunakan kromatograf gas-spektrometer massa menunjukkan keberadaan senyawa drakorhodin di semua sampel jernang. Dengan demikian, drakorhodin dapat dijadikan sebagai senyawa penciri dalam komoditas jernang.
Kata kunci: drakorhodin, jernang, spektrofotometer UV-Vis, Standar Nasional Indonesia
ABSTRACT
UMAR TORIQ. Marker Compound of Dragon’s Blood for Revision of Indonesia National Standard Parameter. Supervised by SUMINAR S ACHMADI and TOTOK K WALUYO.
Dragon’s blood, a resin exudated from rattan (Daemonorops draco) fruits has many benefits so that prices and demand are always high. The National Standardization Agency has issued Indonesia National Standard (SNI) for dragon’s blood based on physical characteristics and visual parameters. Three qualities of this commodity from the highest to the low quality are “super” , A , and B. However, these parameters are prone to be manipulated by traders to add weight and purity of the resin. In this study, it was discovered that all SNI parameters are not always correlated in determining the
classification of dragon’s blood. Analysis by ultraviolet-visible spectrophotometer at a wavelength of 473.5 nm showed that the classification according to SNI was positively correlated with the resin content and the absorbance. A quantitative analytical method proposed for SNI revision is extraction through maceration using acetone. Compound identification using gas chromatography-mass spectrometer showed the presence of dracorhodin compounds in all resins samples was. Therefore, dracorhodin can be used as a marker in dragon’s blood commodity.
SENYAWA KIMIA PENCIRI JERNANG UNTUK
PEMBARUAN PARAMETER
STANDAR NASIONAL INDONESIA
UMAR TORIQ
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter Standar Nasional Indonesia
Nama : Umar Toriq NIM : G440080094
Disetujui oleh
Prof Ir Suminar S. Achmadi, PhD Ir Totok K Waluyo, MSi
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Departemen Kimia
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter Standar Nasional Indonesia”. Karya ilmiah ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2012 di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan oleh Ibu Prof Ir Suminar S Achmadi, PhD selaku pembimbing I dan Bapak Ir Totok K Waluyo, MSi selaku pembimbing II. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Budi Arifin, MSi, Fadli A Muntaqo, SSi, dan Fanindra atas segala diskusi dan saran berkaitan dengan penelitian. Terima kasih juga kepada Bapak Sabur, Ibu Yenni Karmila, Dumas, Ani, dan Dwi atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Kimia Organik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, keluarga serta Aida atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penelitian ini disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Hibah Kerja Sama Antarlembaga dan Perguruan Tinggi yang diraih oleh Prof Ir Suminar S Achmadi, PhD.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Januari 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Uji Klasifikasi Jernang 2
Ekstraksi Resin Jernang 4
Identifikasi Senyawa 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 4
Klasifikasi Mutu SNI 4
Ekstrak Resin Jernang 8
Identitas Senyawa Berdasarkan GCMS 10
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 16
DAFTAR TABEL
1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010) 2
2 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar air jernang 5
3 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar resin jernang 5
4 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar pengotor jernang 6
5 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
kadar abu jernang 6
6 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
titik leleh jernang 7
7 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan
warna jernang 7
8 Mutu warna jernang berdasarkan UV-Vis pada λ 473.5 nm 8 9 Perbandingan hasil ektraksi soksletasi dengan pelarut dietil eter
dengan ekstraksi maserasi dengan pelarut aseton 9 10 Korelasi kandungan resin ekstrak aseton jernang dengan mutu SNI 9
11 Senyawa yang sering terdeteksi GCMS 11
12 Korelasi kadar drakorhodin dan 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-
fenil-2H-1- benzopiran-7-ol 13
DAFTAR GAMBAR
1 Korelasi kadar resin dengan absorbans jernang 10 2 Struktur 2,6,10,14-tetrametilpentadekana 11
3 Struktur asam linoleat dan trendiona 11
4 Struktur Struktur 7-pentadekuna dan 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentil-
sikloheksena 11
5 Struktur 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol dan
drakorhodin 12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rekapitulasi sifat fisis-kimia jernang 16 2 Senyawa dan kadarnya dalam berbagai mutu jernang berdasarkan
PENDAHULUAN
Jernang adalah resin hasil sekresi buah rotan jernang (Daemonorops draco) yang endemik di Asia Tenggara. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dan untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Getah ini merupakan hasil hutan bukan kayu yang cukup penting bagi masyarakat di sekitar hutan di Kabupaten Jambi, Aceh, dan Medan di Sumatra. Jernang memberikan sumbangan yang cukup nyata pada pendapatan rumah tangga tradisional yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal. Meskipun pada mulanya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi sekarang jernang banyak diperjualbelikan dengan harga cukup mahal, yaitu Rp700 ribu sampai Rp1 juta per kg. Hasil ekstraksi getah jernang menjadi penting karena merupakan bahan komoditas ekspor.
Masyarakat memanfaatkan getah jernang sebagai bahan obat tradisional seperti untuk pengobatan diare dan gangguan pencernaan, sebagai bahan pewarna untuk memperindah peralatan rumah tangga dan kerajinan. Di samping itu, juga sebagai bahan pewarna vernis, keramik, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, dan cat. Jernang juga digunakan sebagai serbuk untuk gigi, asma, sifilis, dan berkhasiat afrodisiak (Grieve 2006).
Jernang termasuk kelompok resin keras, yaitu padatan yang mengilat, bening sampai kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan, dan mudah terbakar kloroform, etil asetat, metanol, karbon disulfida, dan tidak larut air.
Komponen kimia utama pada resin yang dihasilkan buah jernang adalah resin ester dan drakoresino tanol (57–82%). Selain itu, resin berwarna merah tersebut juga mengandung berbagai senyawa seperti drakoresena (14%), drakoalban (hingga 2.5%), resin taklarut (0.3%), residu (18.4%), asam benzoilasetat, drakorhodin, dan beberapa pigmen terutama nordrakorhodin dan nordrakorubin (Purwanto et al. 2005). Di perdagangan, jernang dikelompokkan berdasarkan tingkat kebersihannya.
Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010)
Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
Mutu Super Mutu A Mutu B jernang berdasarkan parameter SNI, tahap ekstraksi, serta identifikasi senyawa. Senyawa diidentifikasi menggunakan kromatograf gas-spektrometer massa (GCMS) Shimadzu. Bahan yang digunakan adalah jernang yang sudah diolah dalam bentuk serbuk dan batangan yang didapat dari penjual di 3 kota.
Sampel jernang didapatkan dari pedagang yang tersebar di Provinsi Jambi sebanyak 5 jenis, yakni daerah penghasil jernang terbaik. Sampel juga didapat dari Aceh sebanyak 3 jenis dan Medan 1 jenis. Pemberian kode sampel pada penelitian ini berdasarkan asal kota didapatkannya. Untuk sampel dari Jambi diberi kode dimasukkan ke dalam timbel, selanjutnya dimasukkan ke dalam radas soxhlet. Sebanyak 200 mL dietil eter dimasukkan ke dalam labu didih dan radas soxhlet dirangkaikan. Sampel disoxhletasi selama 7 jam, kemudian dietil eter diuapkan hingga diperoleh resin. Sebanyak 50 mL air suling ditambahkan ke dalam resin dan dipindahkan ke dalam corong pisah. Resin pada fraksi dietil eter dipisahkan dari air suling dan dikeringudarakan. Ekstrak dikeringkan di dalam eksikator sampai diperoleh bobot tetap. Uji kadar resin dilakukan duplo.
Kadar Air (AOAC950.46 (B) 2005)
desikator hingga dingin. Bobot sampel ditimbang kembali sebagai bobot kering. Uji ini dilakukan duplo.
Penetapan Kadar Pengotor (SNI 5009: 2001)
Sebanyak 2 g contoh jernang dilarutkan ke dalam 10 mL toluena, kemudian disaring dengan kertas saring bebas air. Kertas saring yang digunakan sebelumnya dikeringkan di dalam oven sehingga didapatkan bobot konstan. Kertas saring yang sudah digunakan, dikeringkan bersama residu yang tidak tersaring, kemudian ditimbang hingga mendapatkan bobot konstan. Uji kadar pengotor dilakukan duplo.
Penetapan Kadar Abu (SNI 1671: 2010)
Contoh sebanyak 5 g ditimbang di dalam cawan porselen yang sebelumnya sudah diketahui bobotnya. Cawan yang berisi contoh dipanaskan di atas pembakar bunsen. Cawan dipanaskan sampai senyawa organik di dalamnya terbakar semua hingga berkurangnya asap. Cawan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam tanur bersuhu 600 °C untuk menyempurnakan pengabuan selama 2 jam. Abu yang didapat kemudian dilarutkan dengan air suling dan dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring bebas abu. Kertas saring kemudian dipindahkan ke dalam cawan porselen dan dibakar kembali dengan pembakar bunsen. Cawan yang sudah dipanaskan kemudian didinginkan di dalam eksikator hingga diperoleh bobot tetap. Uji kadar abu ini dilakukan duplo.
Penetapan Titik Leleh (AOAC 920.156 2005)
Contoh jernang 50–100 mg digerus di dalam mortar. Tabung kapiler diisi dengan jernang, dengan ditekan bagian ujung terbuka pada contoh. Tabung kapiler diketuk-ketukkan dengan dasar tertutup bagian bawah agar padatan yang menyumbat turun ke dasar tabung. Cara ini diulangi sampai didapatkan contoh padat dalam tabung setinggi 1–2 mm. Sebelumnya, pemanas listrik dinyalakan lalu suhunya dinaikkan dengan cepat sampai 65 °C. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam pemanas listrik untuk penetapan titik leleh. Setelah itu, diturunkan laju kenaikan suhunya 2–3 °C/menit. Penetapan titik leleh dilakukan duplo.
Penentuan Warna (SNI 1671: 2010)
Contoh getah jernang ditumbuk hingga halus dengan mortar. Contoh yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 g kemudian dilarutkan ke dalam etanol 20 mL di dalam gelas piala. Larutan tersebut dituangkan perlahan-lahan di atas kertas putih (HVS) kemudian dikering-udarakan. Hasil tersebut diamati secara visual.
Penentuan Warna dengan Spektrofotometri UV-Vis
Ekstraksi Resin Jernang
Sebanyak 5 g serbuk jernang yang telah dihaluskan dimasukkan ke gelas piala, kemudian dimaserasi dengan aseton sebanyak 50 mL. Ekstraksi dilakukan sebanyak triplo kemudian disaring. Hasil penyaringan digabungkan. Ekstrak gabungan kemudian dipekatkan dengan penguap putar hingga semua pelarutnya menguap. Ekstrak pekat yang diperoleh merupakan resin jernang yang berwarna merah. Bobot akhir ekstrak ditimbang dan dihitung rendemennya.
Identifikasi Senyawa
Komponen kimia ekstrak pekat dianalisis dengan GCMS. Analisis GCMS dilakukan di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri. Proses analisis menggunakan metode ionisasi serangan elektron (EI) pada kromatograf gas GC-17A (Shimadzu) yang ditandem dengan spektrometer massa MS QP 5050A; kolom kapiler DB-5 ms (J&W) (silika 30 m × 250 µm × 0.25 µm); suhu kolom 50 °C (0 menit) hingga 290 °C pada laju 15 °C/menit; gas pembawa helium pada tekanan tetap 7.6411 psi, dan pangkalan data yang digunakan adalah Wiley 7N tahun 2008.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi Mutu SNI
Dalam penelitian ini mutu sampel ditetapkan berdasarkan parameter SNI dan dicocokkan dengan mutu yang dinyatakan oleh pedagang. Berdasarkan informasi yang didapat dari pedagang, kelas mutu untuk sampel Jambi 2 termasuk super karena jernang tidak dicampur dengan resin lain. Sampel Jambi 3 dan Jambi 4 juga termasuk super, tetapi tidak diketahui pasti apakah resin tersebut dicampur dengan resin lain. Sampel Jambi 5 termasuk kelas mutu A dan Jambi 1 termasuk kelas B. Sampel Aceh 2 termasuk kelas mutu B dan Aceh 1 termasuk kelas mutu A. Sampel Aceh 3 memiliki mutu super tetapi tidak diuji parameter SNI-nya karena keterbatasan bahan. Sampel jernang Medan tidak diketahui kelas mutunya oleh pedagang; sampel ini ditentukan mutunya berdasarkan uji SNI dan absorbans serta dilihat kemiripan hasilnya dengan jernang yang sudah diketahui mutunya baik oleh pedagang dan SNI.
Kadar Air
Kecocokan antara standar SNI berdasarkan parameter kadar air dengan informasi pedagang sebesar 14%. Nilai kecocokan ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah mutu yang sesuai antara SNI dan pedagang dengan 7 jumlah sampel yang diketahui mutunya menurut pedagang.
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B
Kadar Resin
Kadar resin ditetapkan dengan ekstraksi panas menggunakan soxhlet. Kadar resin digunakan untuk mengetahui kemurnian jernang. Tabel 3 menunjukkan rerata kadar resin dari 2 penetapan. Hasilnya menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh pedagang 71% cocok. Rendahnya kadar resin karena pada umumnya pengolahan masih secara tradisional sehingga masih tercampur dengan kulit buahnya (Waluyo 2008).
Tabel 3 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan kadar resin jernang
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B
Kadar Pengotor
bila terlalu kuat menumbuk, buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan yang hancur (Waluyo 2008).
Tabel 4 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan kadar pengotor jernang
Keterangan: B* tidak memenuhi syarat kelas mutu B
Kadar Abu
Penetapan kadar abu bertujuan mengukur kadar bahan anorganik yang ada di dalam jernang. Parameter ini berkorelasi dengan banyaknya pengotor pada parameter sebelumnya. Tabel 5 menunjukkan hasil rerata penetapan kadar abu dari 2 penetapan. Jika menurut SNI, kelas mutu yang dihasilkan berdasarkan SNI cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan informasi pedagang. Kecocokan standar SNI berdasarkan parameter kadar abu dengan informasi pedagang hampir 60%.
Tabel 5 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan kadar abu jernang
Kelas mutu jernang berdasarkan kadar abu tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan kelas mutu berdasarkan parameter kadar pengotor. Menurut Waluyo (2008), kadar abu berkorelasi positif dengan kadar pengotor, semakin tinggi kadar pengotor, semakin tinggi pula kadar abunya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.
Titik Leleh
tercantum SNI jernang, yaitu untuk mutu super titik leleh minimum 80 °C dan untuk mutu A minimum 80 °C. Pernyataan ini membingungkan produsen maupun konsumen. Pada jernang Jambi 1, Aceh 1, dan Aceh 2 titik leleh tidak dicantumkan, karena sampai suhu 120 °C sampel tidak juga meleleh sehingga masuk kelas B seperti yang dinyatakan pada SNI. Perbedaan mutu antara SNI dan pedagang terjadi pada jernang Aceh 1. Selain itu, kecocokan antara mutu menurut pedagang dan SNI sebesar 85%. Titik leleh jernang juga berkorelasi positif dengan kadar pengotor.
Tabel 6 Kecocokan antara kelas mutu menurut SNI dan pedagang berdasarkan titik leleh jernang
Warna ditetapkan secara visual. Tabel 7 menunjukkan perbedaan mutu jernang berdasarkan SNI dengan pedagang untuk jernang Aceh 1. Selain itu, kecocokan antara mutu pedagang dan SNI sebesar 85%. Menurut Winarni et al. (2005), jernang dengan mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan diperoleh bubuk berwarna merah terang tembaga yang larut dalam metanol. Namun, pengamatan warna sebagai salah satu parameter SNI masih diragukan karena cara visual sifatnya subjektif. Oleh karena itu, warna dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis dengan konsentrasi yang sama.
pola korelasi positif antara absorbans dan kelas mutu SNI. Semakin tinggi kelas mutu jernang, semakin tinggi pula absorbans yang dihasilkan. Dari data tersebut, dapat diusulkan rentang absorbans berdasarkan mutu, yaitu untuk mutu super absorbans > 0.50, mutu A absorbans sebesar 0.30–0.43, dan mutu B absorbans <0.26.
Tabel 8 Mutu warna jernang berdasarkan UV-Vis pada λ 473.5 nm Sampel Absorbans Kelas mutu menurut SNI
Aceh 1 0.13 B
Pengujian sifat fisis-kimia bertujuan menentukan mutu jernang berdasarkan SNI dan selanjutnya dicocokkan dengan pernyataan pedagang. Hasil rekapitulasi pengujian standar SNI jernang (Lampiran 1) menunjukkan hasil yang tidak konsisten di tiap parameternya. Ada yang sesuai dengan informasi pedagang dan ada pula yang berlainan. Oleh karena itu, mutu SNI ditetapkan berdasarkan mutu yang paling sering muncul di tiap parameternya. Kesesuaian hasil yang diperoleh dari pengujian parameter SNI dengan informasi dari pedagang sebesar 85%. Hampir semua sampel memiliki mutu yang sesuai antara SNI dan pernyataan pedagang, kecuali untuk sampel Aceh 1. Pedagang menyatakan sampel Aceh 1 termasuk kelas mutu A, namun menurut hasil pengujian parameter SNI, termasuk kelas mutu B.
Berdasarkan hasil rekapitulasi, jernang Medan yang tidak diketahui kelas mutunya oleh pedagang, termasuk kelas mutu B. Hal tersebut juga dibuktikan dengan hasil absorbans 0.20, yaitu di bawah nilai absorbans jernang Jambi 1 yang memiliki mutu B. Pada dunia perdagangan umumnya, ciri yang diperhatikan dalam penentuan mutu jernang ialah kadar pengotor dan kadar resin (Puspitasari 2011). Namun, dalam praktiknya pedagang kadang menambahkan resin lain dan membersihkan jernang sehingga pembeli dapat terkecoh.
Ekstrak Resin Jernang
Rendemen resin dapat diperoleh dari proses ekstraksi dengan pelarut aseton. Aseton adalah pelarut terbaik dibandingkan dengan dietil eter dan metanol (Suwardi et al. 2003). Dalam penelitian ini, ekstrak aseton adalah 52.79%, sementara ekstrak eter 33.62%, sedangkan menurut Suwardi et al. yang menggunakan metanol, hanya 31.5%. Penentuan rendemen resin dengan ekstraksi sangat penting karena salah satu parameter mutu dalam SNI adalah kadar resin.
memperlihatkan bahwa kadar resin dari cara maserasi dengan aseton lebih tinggi dibandingkan dengan cara yang tercantum pada SNI (Tabel 9). Penggunaan panas pada cara soxhlet dikhawatirkan merusak senyawa-senyawa yang tidak tahan panas (Gafar 2010); kelemahan lain cara soxhlet ialah pelarut dietil eter yang sangat mudah menguap.
Tabel 9 Perbandingan hasil ektraksi soxhletasi dengan pelarut dietil eter dengan ekstraksi maserasi dengan pelarut aseton
Sampel Ekstrak dietil eter Ekstrak aseton
Aceh 1 8.11 21.97
Pada dasarnya setiap parameter mutu SNI tidak memperlihatkan korelasi yang konsisten. Bagaimanapun, yang paling dapat menunjukkan kelas mutu suatu jernang adalah pada kadar resinnya yang diakui oleh pedagang maupun peneliti. Hal tersebut terbukti dari semakin baik mutu suatu jernang, semakin tinggi pula kadar resinnya (Tabel 10). Namun, aspek kadar resin ini juga harus dibuktikan dengan analisis GCMS untuk membuktikan kemurnian jernang karena tidak jarang pedagang yang memanipulasi komoditasnya dengan resin atau bahan lain agar bobotnya bertambah. Kandungan resin tertinggi didapatkan pada jernang Jambi 2 sebesar 99.59% yang berdasarkan informasi pedagang, jernang tersebut murni.
Tabel 10 Korelasi kandungan resin ekstrak aseton jernang dengan mutu SNI
Sampel Mutu jernang uji SNI Kadar resin (%)
Aceh 1 B 21.97
0.50, sedangkan Jambi 3 memiliki absorbans 0.54 yang sedikit lebih tinggi dibandingkan Jambi 4. Selain sampel jernang Jambi 4 dan Jambi 3, sampel jernang lainnya memiliki korelasi positif antara kadar resin dan absorbansnya. Apabila diurutkan berdasarkan kelas mutunya, dapat ditentukan kisaran kadar ekstrak dan absorbans tiap kelas mutu (Gambar 1).
Gambar 1 Korelasi kadar resin ( ) dengan absorbans ( ) jernang
Jika ditarik garis lurus perbandingan antara kadar resin dan absorbansnya, terjadi kecenderungan positif. Terlihat peningkatan kadar resin dari sampel Aceh 1 sampai Jambi 2 pada grafik kadar resin. Namun, jika dibandingkan dengan grafik absorbans yang dikaitkan dengan pola kenaikan kadar resin terjadi pola tidak teratur pada titik jernang Jambi 4. Hasil korelasi kadar resin dengan absorbans membuktikan adanya pola korelasi positif dengan kelas mutu. Semakin tinggi kelas mutu suatu jernang, semakin tinggi pula kadar resin dan absorbansnya.
Identitas Senyawa Berdasarkan GCMS
Analisis GCMS menunjukkan keberadaan senyawa golongan fenolik sesuai dengan laporan Gonzales et al. (2009), seskuiterpena, turunan asam benzoat sesuai dengan laporan Edwards et al. (2003), turunan terpenoid sesuai dengan laporan Piozzi et al. (1974), dan flavilium pada jernang. Setidaknya ada 7 senyawa dari 59 senyawa dengan kemiripan lebih dari 80% (Lampiran 2) dari pangkalan data hasil analisis GCMS yang sering muncul pada semua jenis sampel (Tabel 11). Senyawa itu diantaranya ialah asam linoleat (Gambar 3) ditemukan pada jernang Jambi 1, Medan, Aceh 1, Aceh 3, dan Aceh 2. Senyawa trendiona (Gambar 3) ditemukan pada jernang Medan, Jambi 3, Aceh 1, Jambi 4, dan Aceh 3. Senyawa 7-pentadekuna (Gambar 4) ditemukan pada jernang Aceh 1, Medan, Aceh 2, dan Aceh 3. Senyawa 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena (Gambar 4) ditemukan pada jernang Aceh 1, Medan, Aceh 2, dan Aceh 3. Senyawa 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol (Gambar 5) ditemukan
0
<B B B B A Super Super Super* Super
Kad
ar
Kelas mutu
pada hampir semua sampel jernang. Hal ini menunjukkan bahwa resin jernang yang berasal dari pohon yang berbeda memiliki beberapa senyawa yang sama.
Tabel 11 Senyawa yang sering terdeteksi GCMS Senyawa
Gambar 3 Struktur asam linoleat dan trendiona
Gambar 5 Struktur 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H -1-benzopiran-7-ol dan drakorhodin
Senyawa drakorhodin juga ditemukan oleh Brockman dan Junge (1943), Xia et al. (2005), dan Gupta et al. (2008). Pada penelitian sebelumnya juga dilaporkan drakorhodin dan turunannya digunakan sebagai pigmen pewarna untuk benda-benda seni dari abad ke-15 (Baumer dan Dietemann 2010). Menurut Melo
et al. (2007), drakorhodin merupakan turunan antosianin, yaitu warna alami dari jernang. Senyawa 3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol sebenarnya juga muncul di semua jernang yang mengandung drakorhodin. Namun, belum ada penelitian yang menyatakan senyawa ini sebagai senyawa penciri jernang, maka dalam penelitian ini ditetapkan drakorhodin sebagai senyawa penciri.
Resin D. draco terdiri atas drakoresinotanol, drakorubin, drakorhodin dan asam abietat (Purwanto et al. 2005). Sifat medis beberapa resin jernang, terutama jenis Daemoronops, berasal dari keberadaan asam benzoat, yang bersifat antiseptik guna penyembuhan secara alami dalam beberapa kebudayaan modern (Edwards et al. 2003). Drakorhodin merupakan komponen utama yang ditemukan di dalam jernang D. draco. Senyawa flavilium alami ini memiliki potensi bahan obat secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti antimikrob, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik (Shi et al. 2009; Gupta D dan Gupta R 2011).
Senyawa drakorhodin merupakan senyawa kunci pigmen warna dari jernang, yang dalam penelitian ini berhasil diidentifikasi pada hampir semua sampel kecuali Aceh 2. Ada dugaan bahwa resin dalam jernang Aceh 2 mengandung pigmen lain yang juga berwarna merah. Hal itu berdasarkan hasil deteksi dengan GCMS yang menunjukkan bahwa hampir semua senyawa pada jernang Aceh 2 tidak terdeteksi pada jernang lainnya, kecuali senyawa 7-pentadekuna, asam linoleat, 4-(4-etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena, dan asam (E)-9-oktadekenoat. Sisanya 13 dari 17 senyawa tidak muncul pada sampel jernang lainnya. Kadar tertinggi hasil identifikasi jernang Aceh 2 ialah senyawa 1-metoksi-2-(2-metoksikarboniletil)-3,8-dimetildipirin-9-karbaldehida.
Kadar senyawa drakorhodin semua jenis jernang (Tabel 12) memperlihatkan pola yang tidak konsisten pada setiap mutu kelas jernang. Ekstrak Jambi 4 yang memiliki kualitas mutu super, memiliki kadar drakorhodin yang lebih rendah daripada Jambi 1 dan Jambi 5 yang memiliki kualitas B dan A. Ekstrak sampel Jambi 5 yang memiliki mutu A, mengandung drakohodin tertinggi dibandingkan dengan semua sampel yang memiliki mutu super. Hal ini dapat membuktikan bahwa tingginya kandungan resin pada jernang kemungkinan karena adanya penambahan resin selain jernang. Hal tersebut terbukti karena tingginya kadar
3,4-dihidro-5-metoksi-6-metil-2-
resin suatu jernang tidak sebanding dengan kandungan senyawa drakorhodin sebagai senyawa penciri pada jernang.
Tabel 12 Korelasi kadar drakorhodin dan 3,4-dihidro-5-metoksi-6- metil-2-fenil-2H-1-benzopiran-7-ol
Penentuan kelas mutu jernang berdasarkan parameter SNI bersifat fisis dan subjektif. Tidak ada kecocokan 100% antara parameter SNI dan mutu jernang menurut pedagang. Hal tersebut terbukti karena tidak adanya pola yang jelas di setiap mutu serta korelasi antara satu kelas mutu dan kelas mutu lainnya. Salah satu parameter SNI, yaitu kadar resin berkorelasi positif dengan mutu jernang. Semakin tinggi kadar resin semakin tinggi pula mutu jernang. Hal tersebut dibuktikan juga dengan korelasi absorbans sampel dengan kadar resinnya. Semakin tinggi kadar resin jernang, semakin tinggi pula absorbansnya. Cara ekstraksi resin yang baik ialah dengan maserasi dalam aseton pada suhu kamar.
Senyawa penciri yang dapat dijadikan parameter mutu jernang adalah drakorhodin dan turunannya. Selain itu, hasil analisis kandungan senyawa dengan GCMS dapat membuktikan kemurnian suatu jernang. Akan tetapi, tinggi rendahnya kadar resin jernang tidak berkorelasi positif dengan kandungan drakorhodin.
Saran
diperlukan senyawa murni sebagai senyawa standar. Selain itu, temuan dalam penelitian ini masih perlu dimantapkan untuk mutu jernang dari seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. AOAC 920.156 2005. Maryland (US): AOAC. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. AOAC 950.46 (B) 2005. Maryland (US): AOAC.
Baumer U, Dietemann P. 2010. Identification and differentiation of dragon’s blood in works orf art using gas chromatography/mass spectrometry. Anal Bioanal Chem. 397(3):1363-1376. doi: 10.1007/s00216-010-3620.
Brockman H, Junge H. 1943. Constitution of dracorhodin, a new pigment from “dragon’s blood”. Berichte der Deutschen Chemiscen Gesellshaft. 76:751-763. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2001. Gondorukem. Standar Nasional
Indonesia 01-5009.12:2001. Jakarta (ID): BSN. hlm 1-10.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Jernang. Standar Nasional Indonesia 1671-2010. Jakarta (ID): BSN. Hlm1-7.
Coppen JJW. 1995. Gum, Resin, and Latexes of Plant Origin: non Wood Products. Roma (IT): FAO of The United Nations.
Edwards HGM, Oliveira LFC, Prendergast HDV. 2003. Raman spectroscopic analysis of dragon’s blood resins-basis for distinguishing between Dracaena
(Convallariaceae), Daemonorops (Palmae) and Croton (Euphorbiaceae).
Analyst. 129(2):134-138.
Gafar PA. 2010. Performa teknologi dan mutu jernang produksi Indonesia. J Ris Indust. 4(3):37-44. therapeutic uses. J Ethnopharmacol. 115(3):361-380.
Gupta D, Gupta RK. 2011. Bioprotective properties of dragon’s blood resin: in vitro evaluating of antioxidant activity and antimicrobial activity. Gupta and Gupta BMC Complementary and Alternative Medicine [internet]. [diunduh 2012 Des 20]; 11(13):1-9. Tersedia pada: http://www.biomedcentral.com/ 1472-6882/11/13.
Piozzi F, Passannanti, Paternostro MP. 1974. Diterpenoid resin acids of
Daemonorops draco. J Phytochemistry. 13(10):2231-2233.
Purwanto Y, Polosakan Y, Susiarti S, Walujo EB. 2005. Ekstraktivisme jernang (Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di Jambi, Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik Bidang Botani Puslitbang LIPI. Bogor (ID): LIPI.
Puspitasari L. 2011. Pemanenan dan pengolahan buah rotan jernang (Daemonorops draco (Wills.) Blume)dalam upaya peningkatan produksi serta mutu jernang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rao GSR, Gerhart MA, Lee RT, Mitscher LA, Drake S. 1982. Antimicrobial agents from higher plants: Dragon’s blood resin. J Nat Prod. 45(5):646-648. doi: 10.1021/np50023a024
Shi J, Hu R, Lu Y, Sun C, Wu T. 2009. Single-step purification of dracorhodin from dragon’s blood resin of Daemonorops draco using high-speed counter-current chromatography combined with pH modulation. J Sep Sci. 32(23-24):4040-4047. doi: 10.1002/jssc.200900392.
Sumadiwangsa S. 1973. Klasifikasi dan sifat beberapa hasil hutan bukan kayu.
Laporan No. 28 Departemen Pertanian. Bogor: Direktorat Jenderal Kehutanan. Sumadiwangsa S. 2000. Usulan Kerja Peneliti (UKP). Bogor (ID): Pusat Litbang
Hasil Hutan. Tidak diterbitkan.
Suwardi SE, Zulnely, Yusnita E. 2003. Peningkatan efisiensi dan teknik isolasi jernang. Laporan Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor (ID): Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan. hlm 1-12.
Waluyo TK. 2008. Teknik ekstraksi tradisional dan analisis sifat-sifat jernang asal Jambi. JPHH. 26(1):30-40.
Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P. 2005. Sekilas tentang jernang sebagai komoditi yang layak dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri Kehutanan Melalui Peningkatan Efisiensi, Mutu, dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14 Desember 2004. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm 173-177.
Lampiran 1 Rekapitulasi sifat fisis-kimia jernang
Sampel Kadar resin (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) pengotor (%) Kadar Titik leleh
(°C) Warna Abs SNI
Mutu menurut pedagang
Jambi 1 37.01 17.00 6.08 55.16 - Merah pudar 0.23 B B
Jambi 2 99.56 9.33 0.83 12.64 71-73 Merah tua 0.72 Super Super
Jambi 3 95.23 4.67 0.67 9.75 82-91 Merah tua 0.54 Super Super
Jambi 4 92.60 12.67 2.73 20.09 80-83 Merah tua 0.50 Super Super
Jambi 5 61.42 9.00 4.52 38.09 81-84 Merah muda 0.43 A A
Aceh 1 8.11 11.59 9.48 89.59 - Merah tua 0.13 B A
Aceh 2 81.67 2.29 0.73 76.67 - Merah pudar 0.26 B B
Medan 50.9 4.53 8.21 57.82 75-80 Merah muda 0.20 B -
Keterangan : W1 : Bobot sampel awal (g) Keterangan: W1 : bobot kertas dan sampel dikeringkan
W2: Bobot sampel kering (g) W2 : bobot kertas
W : bobot sampel
Keterangan : a: bobot sampel (g)
b: bobot cawan kosong (g) c: bobot cawan dan abu (g)
17 Lampiran 2 Senyawa dan kadarnya dalam berbagai mutu jernang berdasarkan analisis GCMS
Senyawa Rt
(3a-α,4α,8a-β) -(+)-3,3a,4,5,8,8a-Heksahidro-3a,4-dihidroksi-8a-metil-7-(4-metilfenil)-1-(2H
)-(R)-(-)-14-Metil-8-heksadekun-1-ol 13.243 0.32 1
(Z)-9,17-Oktadekadienal 13.629 1.50 0.09 2
1,3-Difenilisobenzofuran 12.916 0.13 1
1,8-Dihidroksi-3-metoksi-6-metilantrakuinon 13.855 0.74 1
10,10-Dimetil-6-metilen-1-oksa-2-2,6,10,14-Tetrametilpentadekana 15.424 1.36 1.20 1.03 1.17 4
lanjutan lampiran 2
2-[(E )-4-Kloro-3-metil-2-butenil]-1,4-dimetoksi-6-metilbenzena
14.015 1.75 2.01 2
2-Hidroksisiklopentadekanon 11.473 0.09 1
2-Metil-3-(3-metilbut-2-il)-2-(4-metil-pent-3-eil)-oksetana
11.557 0.02 1
2-Metoksi-5-(2',3'-dimetoksifenil)siklohepta-2,4,6-trien-1-on
15.517 3.98 1
2-Monooleilgliserol 13.369 0.57 1
2-Oktil-siklopropaneoktanal 12.631 0.18 1
3,4-Dihidro-5-metoksi-6-metil-2-fenil-2H -1-benzopiran-7-ol
13.520 11.26 6.53 5.10 2.84 7.19 5.30 5.19 3.71 8
4-(4-Etilsikloheksil)-1-pentilsikloheksena 14.099 0.01 1.18 0.24 1.18 4
4a,8-Dimetil-2-isopropilperhidronaftalena 12.622 0.07 1
4-Dehidroksi-N -(4,5-metilenadioksi-2-nitrobenzilidena)tiramina
25.725 1.29 1
4-Hidroksi-3,3',4-trimetoksistilbena 14.913 3.16 1
4-Vinil-2-metoksifenol 6.038 0.09 1
5-Metoksi-4-metil-1,3-benzenadiol 8.638 0.03 1
7-Pentadekuna 12.983 0.09 0.63 1.01 1.06 4
9,10-Dideutero asam oktadekanoat 14.904 1.56 1.83 2
9,10-Dihidro-9,10,11-trimetil-9,10-metanoantrasena-11-ol
19.032 0.28 1
9,12-Oktadekadien-1-ol 14.787 3.78 1
3-(Dodekenil)-dihidro-2,5-furandiona 12.849 0.22 1
Aromadendrena 11.028 0.01 1
Asam 4-metoksi-6-metil-2-(3',5'-dimetoksibenzil)benzoat
17.236 0.84 1
19 lanjutan lampiran 2
Asam-(1)-heptadekena-(8)-karbonat 12.245 0.07 1
Asam linoleat 13.168 0.04 0.70 1.19 0.80 0.56 5
Asam linoleat etil ester 11.784 0.05 1
Asam metil ester 16-oktadekenoat 11.465 0.13 1
Asam metil ester (E)-8-oktadekenoat 11.465 0.06 1
Asam n-heksadekanoat 10.651 0.08 1
Dekahidro-1,4a-dimetil-7-(1-metiletil)-[1S-(1α,4a-α,7α,8a-β)]-naftalena
12.362 0.21 0.02 2
Dekahidro-3,3,4,7a-tetrametil-1H -siklopenta[a]pentalen-7-ol
10.441 0.01 0.01 2
Diepisedrena-1-oksida 12.128 0.01 1
Dietil ftalat 8.034 0.10 0.03 0.04 0.10 4
Drakorhodin 15.785 5.93 4.03 4.24 2.47 3.14 6.29 5.87 3.05 8
Isopiperitenon 7.053 0.03 1
Koiganal II 10.139 0.01 1
Metil ester asam palmitat 10.332 0.05 0.03 0.02 3
Olealdehida 12.631 0.41 1
p-Vinilguaiakol 5.794 0.23 1
Trendiona 14.267 4.50 3.10 5.23 4.38 3.71 5
Trifenil fosfat 13.269 0.08 1
Vianol 7.313 0.02 0.01 2
Viridiflorena 10.416 0.01 0.02 2
α-Amorfena 7.170 0.02 1
α-Kopaena 6.255 0.07 1
α-Kubebena 5.995 0.01 1
δ-Kadinena 7.480 0.01 1
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1989 dari Ayah Candri Rusja dan Ibu Munisah (Almh). Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan studi di SMAN 55 Jakarta pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN pada Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti masa perkuliahan penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) pada tahun 2010–2011, Bina Desa BEM KM IPB 2009–2010, dan Agrifarma IPB pada tahun 2009. Penulis merupakan salah satu penyusun dari 2 karya tulis yang didanai oleh Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2012 yang berjudul “Isolasi dan identifikasi proanthocyanidin ekstrak biji anggur (Vitis vinifera) berpotensi antioksidan” dan “Rekayasa proses produksi selulosa asetat dari limbah kulit nanas menggunakan Acetobacter xylinum sebagai bahan baku plastik ramah lingkungan”. Judul PKM kedua berhasil lolos dan dipresentasikan di Pimnas ke-25 tahun 2012 yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.