1
I.
PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang
Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk
hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah
sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga
pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir. Pencemaran di hulu
sungai akan menimbulkan biaya sosial di hilir (extematily effect) dan pelestarian
di hulu memberikan manfaat di hilir (Azwir, 2006).
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan jumlah
kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman, pertanian maupun industri semakin meningkat. Meskipun 2/3 dari luas bumi adalah air, namun tidak semua
jenis air dapat digunakan secara langsung. Oleh karena itu persediaan air bersih
yang terbatas dapat menimbulkan masalah yang cukup serius. Air bersih
dibutuhkan oleh berbagai macam industri, memenuhi kebutuhan penduduk,
irigasi, ternak, dan sebagainya. Jumlah penduduk yang meningkat juga
mempengaruhi peningkatan jumlah industri untuk pemenuhan kebutuhan
penduduk. Peningkatan jumlah penduduk dan industri akan berdampak semakin
banyaknya sampah atau limbah yang dihasilkan. Hal ini akan berpengaruh pada
daya tampung lingkungan. Daya tampung lingkungan yang terbatas menyebabkan
terjadinya kelangkaan sumber daya alam, terjadinya pencemaran, dan timbulnya
persaingan untuk mendapatkan sumber daya alam.
Sungai Musi merupakan sumberdaya alam yang menjadi salah satu jalur
utama perdagangan dan pemasok air terbesar bagi penduduk Sumatera Selatan.
2 Sungai Musi sebagai sumber bahan baku air untuk memenuhi kebutuhan air
bersih penduduk.
Tabel 1. Kepadatan Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga Menurut Kecamatan di Kota Palembang Tahun 2010
No Kecamatan Luas Jumlah Kepadatan
Penduduk
Sumber : BPS Kota Palembang, Angka Sensus Penduduk 2010
Indonesia memiliki sekitar 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak
sungai dimana 600 sungai diantaranya berpotensi menimbulkan banjir. Panjang
total sungai utama mencapai 94.573 km dengan luas Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kondisi sungai yang menurun kualitas maupun kuantitasnya dapat dilihat dari
jumlah DAS kritisnya yang semakin bertambah, pada tahun 1984 tercatat
sebanyak 22 DAS dalam kondisi kritis, kemudian bertambah menjadi 39 pada
tahun 1992, pada tahun 1998 menjadi 59 DAS, dan 62 DAS pada tahun 2003 yang
3 pada tahun 2005 DAS yang mengalami kerusakan diperkirakan sudah mencapai
282 DAS (Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005). Tingginya laju peningkatan
DAS kritis tidak terlepas dari pengelolaan dari hulu hingga ke hilir.
Data dampak ekonomi dari sanitasi di Asia Tenggara tahun 2008
menyatakan bahwa sekitar 70 persen sungai di Indonesia telah mengalami
pencemaran. Beberapa sungai yang tercemar adalah Sungai Deli, Sungai
Batanghari, Sungai Musi, Sungai Air Bengkulu, Sungai Ciliwung, Sungai
Citarum, dan Sungai Brantas.1 Beberapa sungai penting di Indonesia telah
mengalami pencemaran dan tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan
pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada status mutu air untuk berbagai sungai
penting di Indonesia pada tahun 2004 yang menunjukkan bahwa Sungai Musi
masuk dalam kategori tercemar ringan (Lampiran 1).
Saat ini kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi semakin mengalami
penurunan karena pengaruh banyaknya limbah industri yang dibuang langsung ke
sungai. Pada daerah hulu Sungai Musi terjadi aktivitas konversi lahan hutan oleh
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan kuasa pertambangan yang membabat
hutan lindung, tercatat dari sekitar 7,7 juta hektar DAS yang ada, hanya 800
hektar saja lahan yang masih dalam keadaan baik. Penyebab utamanya adalah
alih fungsi hutan alam dan lahan alami (rawa) oleh berbagai aktifitas pembalakan
liar dan industri. Lahan kritis pada wilayah DAS di Sumsel terbagi dalam empat
kategori diantaranya kategori agak kritis seluas 1,7 juta ha, kategori kritis 3,5 juta
ha, potensial kritis 1,5 juta ha dan sangat kritis 784 ha. Proyek perkebunan skala
besar seperti kelapa sawit ataupun Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga saat ini
4 semakin berpengaruh dalam menghancurkan wilayah DAS, hutan gambut dan
kawasan suaka alam lainnya (Hadi 2011).2
Pencemaran di hulu juga diakibatkan kebakaran hutan dan kegiatan
industri yang membuang limbah produksi yang sebenarnya belum memenuhi
baku mutu untuk dilepas secara langsung ke sungai. Sementara, di bagian hilir
selain disebabkan rumahtangga yang membuang sisa-sisa makanan, sampah,
kotoran atau tinja baik manusia maupun hewan yang mengandung bakteri Fecal
coli ke sungai, pencemaran juga diakibatkan oleh kegiatan perdagangan,
domestik, maupun transportasi sungai, dan terutama oleh aktivitas industri.
Pencemaran ini membuat kualitas air semakin menurun dan biaya produksi untuk
pengolahan air semakin tinggi. Pencemaran ini juga berpengaruh terhadap
penurunan ekonomi di daerah Sungai Musi karena banyaknya warga yang
menggantungkan diri dari pemanfaatan Sungai Musi seperti objek wisata,
transportasi, bekerja sebagai nelayan, dan banyaknya tempat-tempat makan dan
hotel di pinggiran sungai.
Dalam rangka pengendalian pencemaran air, pemerintah telah membuat
beberapa peraturan antara lain UU.No.23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup,
UU.No.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air dan PP.No.82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air serta lainnya.
Penetapan baku mutu air (stream standard) dari sungai sebagai badan air
penampung perlu memperhatikan daya tampung beban pencemarannya pada ruas
sungai tersebut. Pengendalian polusi dengan baku mutu lingkungan beroperasi
dengan memaksa pencemar untuk menjaga pembuangan limbahnya dibawah batas
5 tertentu. Baku mutu ini ditujukan untuk menjaga taraf polutan dalam lingkungan
tetap berada dibawah baku mutu ambien.
Widyastuti (2001) memperoleh hasil analisis untuk parameter COD dan
minyak di wilayah pengamatan Sungai Musi ternyata telah melewati ambang
batas seperti yang telah ditetapkan dalam PP No.20 tahun 1990. Tingginya nilai
COD pada semua stasiun pengamatan di Sungai Musi, menunjukkan sungai ini
telah mengalami pencemaran yang berasal dari bahan organik yang tidak dapat
diuraikan secara biologi. Air Sungai Musi bagian hilir termasuk kategori tercemar
sedang - berat (kisaran 0.48-1.557) berdasarkan nilai indeks keanekaragaman
Shanon - Wiener.
Baku mutu limbah yang dibuang ke Sungai Musi tidak sesuai dengan baku
mutu standar yang ditetapkan pemerintah. Dari pemeriksaan laboratorium Dinas
Kesehatan Kota Palembang untuk sampel air Sungai Musi Kota Palembang pada
tahun 2010 yang dilakukan di sepuluh kelurahan, diperoleh hasil bahwa mutu air
di sepuluh titik tersebut sudah tidak memenuhi syarat baik dari hasil pemeriksaan
bakteriologis, fisika dan kimia (Lampiran 2).
Kegiatan industri dapat memberi dampak berupa dampak positif maupun
dampak negatif. Banyak industri skala besar yang secara geografis berbatasan
langsung dengan Sungai Musi dan sangat rentan dengan masalah lingkungan.
Salah satu masalah yang timbul yaitu pencemaran limbah, sementara Sungai Musi
merupakan salah satu sungai yang selama ini dimanfaatkan warga sekitar untuk
memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Pada kegiatan operasional produksinya industri menghasilkan limbah
6 terutama ikan dan pencemaran tersebut berdampak negatif bagi masyarakat.
Limbah cair adalah salah satu limbah yang dibuang industri ke Sungai Musi, yang
mengandung bahan-bahan organik maupun anorganik. Banyak warga yang
mengeluh setiap kali pabrik mengeluarkan limbah, karena menimbulkan bau yang
tidak sedap, sesak napas dan kadang mengakibatkan mual jika mengkonsumsi air
yang diambil dari Sungai Musi.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk memperbaharui informasi dari telaah
sebelumnya, karena kondisi Sungai Musi saat ini semakin mengalami penurunan.
Penilaian atas dampak sosial dan ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui
berapa sebenarnya nilai yang diinginkan masyarakat sebagai ganti rugi atas
turunnya kualitas lingkungan akibat kegiatan industri. Hal inilah yang menjadi
dasar bagi penulis mengambil judul “Eksternalitas Negatif dari Pencemaran Sungai Musi - Palembang Akibat Kegiatan Industri”.
1.2. Perumusan Masalah
Sungai Musi memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat
Palembang, khususnya bagi warga di sekitar sungai, baik dari segi ekologis dan
ekonominya. Namun saat ini kualitas sungai tersebut mengalami penurunan
karena banyaknya pencemaran industri yang memberikan dampak negatif. Banyak
kasus pencemaran industri mulai dari tumpahan minyak di Sungai Musi dan
pencemaran udara yang menimbulkan masalah lingkungan (Lampiran 3).
Pencemaran sungai dapat terjadi karena pengaruh kualitas air limbah yang
melebihi baku mutu air limbah, di samping itu juga ditentukan oleh debit air
limbah yang dihasilkan. Pencemaran ini terjadi oleh bahan kimia berbahaya
7 Penduduk yang mempergunakan air minum yang bersumber dari air tanah
atau pun air permukaan terutama yang berdekatan dengan kegiatan industri
mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena dampak dari bahan-bahan berbahaya.
Kerugian yang dirasakan masyarakat dapat dihitung baik dari sisi ekonomi dan
sosial, oleh karena itu masyarakat yang menerima eksternalitas negatif dari
pencemaran ini layak untuk menerima ganti rugi atau kompensasi.
Berdasarkan atas pemikiran tersebut maka masalah yang dapat dirumuskan
adalah :
1. Bagaimana eksternalitas negatif yang diterima masyarakat atas pencemaran
Sungai Musi oleh aktivitas industri?
2. Bagaimana peluang kesediaan masyarakat di sekitar Sungai Musi dalam
menerima dana kompensasi akibat pencemaran industri?
3. Berapa besar nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA)
atas pencemaran Sungai Musi akibat aktivitas industri?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai kompensasi
masyarakat yang terkena dampak pencemaran industri di sekitar kawasan
Sungai Musi?
1.3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka diperoleh tujuan dari
dilaksanakannya penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mendeskripsikan eksternalitas negatif akibat pencemaran Sungai Musi karena
kegiatan industri.
2. Mengkaji peluang kesediaan masyarakat di sekitar Sungai Musi dalam
8 3. Menghitung besarnya nilai kesediaan menerima kompensasi (WTA)
masyarakat akibat eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari pencemaran
Sungai Musi oleh aktivitas industri.
4. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai kompensasi
masyarakat yang terkena dampak pencemaran industri sekitar kawasan
Sungai Musi.
1.4. Manfaat penelitian a. Bagi Penulis
Sebagai alat untuk mempraktekkan teori-teori yang selama ini diperoleh
selama kuliah, sehingga penulis dapat menambah ilmu secara praktis tentang
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, serta pemahaman yang lebih
mendalam mengenai pentingnya menjaga sumberdaya lingkungan yang tersedia
sehingga dapat terus dimanfaatkan tanpa mengurangi kualitasnya.
b. Instansi/Perusahaan
Sebagai pertimbangan untuk penentuan besarnya dana kompensasi yang
pantas diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak negatif atas
pencemaran akibat kegiatan produksinya.
c. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah
untuk menentukan kebijakan terkait masalah pencemaran Sungai Musi yang telah
melibatkan banyak perusahaan dan mengorbankan kesejahteraan masyarakat,
khususnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Musi.
d. Bagi Masyarakat
Masyarakat lebih memahami betapa pentingnya menjaga kualitas sungai
9 yang ditimbulkan oleh pencemaran Sungai Musi, baik secara sosial dan ekonomi,
dan itu mendorong masyarakat untuk lebih menjaga lingkungan dan turut
berpartisipasi dalam perbaikan Sungai Musi yang telah tercemar.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dan batasan-batasan dalam penelitian yang dilakukan yaitu :
1. Objek penelitian adalah warga sekitar Sungai Musi yang memanfaatkan air
Sungai Musi dan merasakan kerugian dari dampak pencemaran oleh limbah
industri.
2. Responden penelitian adalah bapak atau ibu dalam rumahtangga dan
pihak-pihak yang terkena dampak pencemaran dan kerugian ekonomi.
3. Dampak dalam penelitian ini adalah dampak sosial dan ekonomi yang
dirasakan masyarakat.
4. Penelitian dibatasi hanya pada pencemaran air akibat kegiatan industri
5. Willingness To Accept adalah nilai yang bersedia diterima oleh masyarakat
10
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Air
Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi mahluk hidup dan tanpa
air maka tidak akan ada kehidupan. Dalam Pasal 5 UU No.7 tahun 2004 tentang
sumberdaya air dinyatakan, “negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif”.
Air yang relatif bersih sangat didambakan oleh manusia, baik untuk
keperluan sehari-hari, industri, pertanian, sanitasi kota dan lain sebagainya.
Belakangan ini air menjadi masalah yang cukup rentan di beberapa wilayah di
Indonesia, untuk memperoleh air yang bersih dan sehat menjadi kondisi yang sulit
dan memerlukan biaya yang mahal karena air telah tercemari oleh limbah dari
hasil kegiatan manusia baik dari limbah rumah tangga, industri, pertanian dan
kegiatan lainnya (Wardhana, 2001).
Dewasa ini perkembangan sektor industri dan transportasi semakin
meningkat, baik industri minyak dan gas bumi, pertanian, industri kimia, industri
logam dasar, industri jasa dan jenis aktivitas manusia lainnya, maka semakin
meningkat pula tingkat pencemaran pada perairan, udara dan tanah akibat
berbagai kegiatan tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/1998, yang dimaksud
dengan pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam air/udara oleh kegiatan manusia atau proses
alam, sehingga kualitas udara/air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi
11 Dalam rangka mencegah terjadinya pencemaran oleh akibat kegiatan
tersebut maka ditetapkan baku mutu lingkungan termasuk baku mutu air, baku
mutu limbah cair, baku mutu udara ambient, baku mutu udara emisi, dan
sebagainya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksudkan yaitu :
1. Air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber air,
dan terdapat diatas permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini
adalah air yang terdapat di bawah permukaan tanah dan air laut.
2. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga
kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
3. Pengendalian adalah upaya pencegahan dan atau penanggulangan dan atau
pemulihan.
4. Baku mutu air adalah batas atau kadar makluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang
ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan
peruntukannya.
5. Beban pencemaran adalah jumlah suatu parameter pencemaran yang
terkandung dalam sejumlah air atau limbah.
6. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada sumber air
12 air sehingga melewati baku mutu air yang ditetapkan sesuai dengan
peruntukannya.
7. Baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemaran yang
ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari suatu jenis kegiatan
tertentu
8. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup.
Dalam pasal 7 penggolongan air menurut peruntukannya ditetapkan sebagai
berikut :
• Golongan A : Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.
• Golongan B : Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum.
• Golongan C : Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
• Golongan D : Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan,industri, pembangkit listrik tenaga air.
Sifat-sifat kimia air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk
menentukan tingkat pencemaran air adalah nilai pH, keasaman dan alkalinitas,
suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, warna dan kekeruhan, jumlah
padatan, nitrat, amoniak, fosfat, daya hantar listrik dan klorida. Nilai pH air yang
normal untuk suatu kehidupan yaitu berkisar antara 6,5 sampai 7,5. Sedangkan pH
air tercemar seperti air limbah (buangan) berbeda-beda tergantung pada jenis
limbah dan karakteristiknya. Pada Tabel 2 ditunjukkan hubungan antara sumber
13 Tabel 2. Hubungan antara sumber limbah dan karakteristiknya.
Karakteristik Sumber Limbah
Fisika :
Warna Bahan organik, limbah industri dan domestik
Bau Penguraian limbah industri
Padatan Sumber air, limbah industri dan domestik
Suhu limbah industri dan domestik
Kimia :
Organik
Karbohidrat Limbah industri, perdagangan dan domestik
Minyak dan Lemak Limbah industri, perdagangan dan domestik
Pestisida Limbah hasil pertanian
Penol Limbah industri
Anorganik
Alkali Sumber air, limbah domestik, infiltrasi air tanah,
buangan air ketel
Klorida Sumber air, limbah industri, pelemahan air
Logam Berat Limbah industri
Nitrogen Limbah industri, domestik
pH Limbah industri
Posfor Limbah industri, domestik dan alamiah
Sulfur Limbah industri, domestik
Bahan beracun Perdagangan, Limbah industri
Biologi :
Virus Limbah domestik
Sumber : Kristanto, 2004
2.2. Limbah Industri
Peningkatan kualitas hidup dicapai oleh manusia dengan cara mengolah
dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada demi tercapainya kesejahteraan.
Pengolahan sumberdaya tersebut memerlukan alat-alat bantu berupa mesin-mesin
yang berteknologi tinggi untuk memperoleh produk yang melimpah dalam waktu
yang lebih singkat. Kegiatan eksploitasi besar-besaran terjadi pada kekayaan
alam, seolah-olah peningkatan kualitas hidup menjadi sasaran utama. Namun pada
kenyataannya kesejahteraan hidup yang diharapkan sulit untuk dicapai, karena
disamping memperoleh keuntungan, industri dan teknologi justru memberi
dampak yang negatif terhadap lingkungan dan kehidupan manusia (Wardhana,
14 Industri dalam kaitannya dengan lingkungan untuk memperoleh suatu
produk jadi selalu menimbulkan produk lain yang kurang bermanfaat atau lebih
rendah nilai ekonominya, yang biasanya disebut sebagai limbah. Pencemaran
yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik
dan mengandung bahan beracun dan berbahaya (B-3). Limbah B-3 dinyatakan
sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak
lingkungan hidup dan sumberdaya. Beberapa kemungkinan yang akan terjadi
akibat masuknya limbah kedalam lingkungan :
Lingkungan tidak mengalami perubahan yang berarti. Hal ini disebabkan
karena volume limbah kecil, parameter pencemaran yang terdapat dalam
limbah sedikit dengan konsentrasi yang kecil.
Ada pengaruh perubahan lingkungan, tetapi tidak sampai mengakibatkan
pencemaran.
Memberikan perubahan bagi lingkungan dan menimbulkan pencemaran.
Limbah yang dilepas ke sungai dapat merusak bahkan mematikan habitat
sungai dan juga mengakibatkan gangguan kesehatan bagi manusia, terutama bagi
masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai dan memanfaatkan air sungai untuk
keperluan MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Selain mencemari sungai, zat-zat kimia
akan mengendap ke dasar sungai yang kemudian akan mencemari air bawah
tanah. Masyarakat di sekitar sungai yang melakukan pengeboran untuk
memperoleh air bersih seringkali mendapatkan air bawah tanah yang keruh,
berbau bahkan berlendir. Jika masyarakat memaksakan diri untuk menggunakan
air yang telah tercemar ini untuk keperluan sehari-hari, maka akan menimbulkan
15 hasil pembakaran dari kegiatan industri juga menimbulkan perubahan kualitas
udara, yang mengorbankan masyarakat melalui penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan (ISPA) akibat pencemaran udara.
2.3. Eksternalitas Negatif
Eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu
individu atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap
utilitas atau fungsi produksi inividu atau perusahaan lain (Mueller, 1989).
Eksternalitas dapat juga diartikan sebagai dampak yang diterima oleh pihak ketiga
yang diakibatkan oleh suatu kegiatan transaksi atau kegiatan ekonomi tertentu.
Pada banyak kasus, baik dampak negatif dan dampak positif bisa terjadi
secara bersamaan. Dampak yang menguntungkan misalnya kejadian pada industri
pupuk dimana perusahaan ini memproduksi dan memasaran pupuk untuk
mendukung ketahanan pangan nasional (swasembada pangan), mengurangi
pengangguran, meningkatkan perekonomian bagi masyarakat sekitar, daerah
setempat dan nasional. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan
suara yang mengganggu kenyamanan dan kesejahteraan warga sekitarnya.
Hartwick dan Olewiler (1998) dalam Fauzi 2006 menggunakan
terminologi lain untuk menggambarkan eksternalitas yaitu eksternalitas privat dan
eksternalitas publik. Eksternalitas privat hanya melibatkan beberapa pihak
(individu), bahkan bisa juga bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill over
(limpahan) kepada pihak lain. Sedangkan, eksternalitas publik terjadi apabila
16 Kemungkinan eksternalitas yang dapat terjadi dalam interaksi ekonomi, yaitu :
1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain
Tindakan produsen dimana kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya
perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Contohnya
sebuah pabrik yang menimbulkan polusi air, akan mengakibatkan peningkatan
biaya produksi perusahaan lain yang juga memanfaatkan air tersebut dalam proses
produksinya.
2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen
Aktivitas produsen yang merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah
tangga (konsumen). Contohnya, pencemaran sungai yang diakibatkan limbah
suatu pabrik akan mengganggu kesejahteraan masyarakat yang memanfaatkan air
sungai tersebut.
3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau
mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain. Contohnya yaitu seseorang yang
merokok dalam angkot akan mengganggu kenyamanan penumpang lainnya.
4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen
mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu.
Adanya eksternalitas tidak akan mengganggu tercapainya efisiensi
masyarakat jika semua dampak negatif maupun dampak positif dimasukkan dalam
perhitungan produsen dalam menetapkan jumlah barang yang diproduksi.
Efisiensi akan tercapai apabila : MSC = MSB
17 Dimana :
MSC = Marginal Social Cost
MSB = Marginal Social Benefit
PMC = Marginal Private Cost
MEC = Marginal External Cost
MPB = Marginal Private Benefit
MEB = Marginal External Benefit
Pada kasus eksternalitas negatif, produsen tidak memperhitungkan MEB
dan MEC dalam penentuan harga dan jumlah barang yang dihasilkan, sehingga
ada kecenderungan produksi pada tingkat yang terlalu besar karena perhitungan
biaya menjadi terlalu murah dibandingkan dengan biaya yang harus dipikul oleh
seluruh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa dalam eksternalitas negatif MSC =
PMC + MEC > MSB, sehingga produksi harus dikurangi agar efisien produksi
optimum dapat dicapai ditinjau dari seluruh masyarakat.
Sumber : Mangkoesoebroto (1993)
Gambar 1. Kurva Eksternalitas Negatif
2.4. Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian terdahulu yang telah membahas tentang masalah
pencemaran sungai, tetapi kurang menilai dari aspek lingkungan dan ekonominya.
18 kompensasi (WTA) yang diinginkan oleh masyarakat atas pencemaran Sungai
Musi oleh akibat kegiatan industri.
Salah satu penelitian yang membahas tentang kesediaan menerima dana
kompensasi yaitu Bahroin Idris Tampubolon dari Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Tampubolon (2011)
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Willingness To Accept Masyarakat akibat Eksternalitas Negatif Kegiatan Penambangan Batu Gamping (Studi Kasus
Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor”. Tujuan penelitian tersebut adalah mengidentifikasi eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat
akibat dari aktivitas penambangan batu gamping, mengkaji peluang kesediaan
masyarakat dalam menerima dana kompensasi, mengkuantifikasi besarnya nilai
kesediaan menerima dana kompensasi, serta mengkaji faktor-faktor yang
berpengaruh pada besarnya nilai dana kompensasi masyarakat sekitar
penambangan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan, sebagian besar masyarakat
menyatakan eksternalitas negatif yang dirasakan adalah kebisingan dan getaran,
perubahan kualitas udara serta perubahan kualitas dan kuantitas air. Hanya
sebagian kecil responden yang menyatakan kehilangan keanekaragaman hayati.
Mayoritas responden menyatakan bersedia menerima dana kompensasi atas
eksternalitas negatif yang timbul. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah
sebesar Rp.137.500 per bulan per kepala keluarga dan nilai total WTA responden
sebesar Rp.6.325.000 per bulan. Nilai total WTA masyarakat adalah sebesar
19 WTA responden adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dummy
wiraswasta dan pegawai swasta.
Antika (2011) dengan judul “Analisis Willingness to Accept Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Brantas”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, Contingen Valuation
Method (CVM), dan analisis regresi. Analisis deskriptif kualitatif digunakan
dalam menganalisis persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa
lingkungan. CVM digunakan untuk mengestimasi nilai WTA masyarakat terhadap
program pembayaran jasa lingkungan, sedangkan analisis regresi digunakan untuk
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA.
Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi sebagian responden menilai
baik terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang pernah berjalan.
Responden juga merasa puas dikarenakan perubahan kualitas lingkungan yang
semakin baik. Udara yang lebih sejuk serta kuantitas air yang melimpah baik di
musim kemarau maupun musim hujan. Berdasarkan hasil analisis CVM diperoleh
nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp. 8.265,00 per pohon per tahun.
Evaluasi CVM dilakukan dengan melihat nilai R2 analisis berganda yaitu sebesar
43,6%. Nilai R2 yang kecil ini disebabkan oleh pengambilan data primer cross
section yang dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan untuk populasi belum
dapat menangkap keragaman yang ada secara keseluruhan. Sementara itu,
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi nilai WTA responden adalah jumlah pohon
yang diikutkan dalam program PJL, tingkat pendapatan rumah tangga, tingkat
pendidikan, jumlah tanggungan, lama tinggal, kepuasan responden terhadap
20 Widiastuty (2001) dari Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Sriwidjaja terhadap Kualitas Sungai Musi Kotamadya Palembang”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui teknologi pengolahan limbah pabrik PT. Pupuk
Sriwidjaja serta perubahan kualitas air baik dari segi fisik, kimia dan biologi
(hewan makrobentos) akibat adanya kegiatan pabrik terhadap perairan Sungai
Musi di Kotamadya Palembang, Provinsi Sumatera Selatan selaku pengambil
kebijakan dalam pengelolaan lingkungan tentang kondisi kualitas air Sungai Musi.
Hasil analisis menunjukkan secara umum kualitas fisik air Sungai Musi
(suhu, DLH, muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan) dari sembilan stasiun
pengamatan yang dianalisa masih menunjukkan keadaan yang relatif baik untuk
berbagai peruntukkan. Derajat keasaman dan kandungan oksigen terlarut pada
sembilan stasiun pengamatan masih pada tingkat normal. Kandungan ammonia
dan padatan tersuspensi di sembilan stasiun pengamatan masih tergolong rendah.
Hasil analisis untuk parameter COD dan minyak di sembilan stasiun pengamatan
ternyata telah melewati ambang batas seperti yang telah ditetapkan dalam PP
No.20 tahun 1990. Tingginya nilai COD pada semua stasiun pengamatan di
Sungai Musi, menunjukkan sungai ini telah mengalami pencemaran yang berasal
dari bahan organik yang tidak dapat diuraikan secara biologi. Air Sungai Musi
bagian hilir termasuk kategori tercemar sedang - berat (kisaran 0.48-1.557)
berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shanon - Wiener. Penelitian tersebut
pada intinya membahas hal yang sama dengan yang dilakukan oleh penulis.
Namun peneliti tersebut lebih bersifat teknik, sedangkan penulis melakukan survei
21 Penelitian mengenai kesediaan menerima dana kompensasi kepada
masyarakat sudah cukup banyak dilakukan. Banyak kesamaan antara
penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian-penelitian ini, namun terdapat juga beberapa
perbedaan. Perbedaannya antara lain yaitu dari segi lokasi, tujuan, jenis kegiatan
yang melatarbelakangi pencemaran, serta perbedaan persepsi masyarakat.
Penelitian ini menganalisis dampak pencemaran dari aspek sosial dan ekonomi,
dan fokus penelitian yaitu dampak atas pencemaran air sungai. Metode penelitian
yang digunakan oleh penulis untuk menentukan nilai kompensasi akibat
pencemaran Sungai Musi adalah dengan tahapan Contingent Valuation Method
22
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Willingness to Accept
Willingness to Accept yaitu nilai yang bersedia diterima oleh masyarakat
sebagai kompensasi atas penurunan kualitas sumberdaya alam. Metode Valuasi
Kontingen (Contingent Valuation Method) adalah metode teknik survei untuk
menyatakan keinginan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan
terhadap komoditi yang tidak memiliki nilai pasar seperti barang lingkungan.
WTA merupakan bagian dari metode CVM yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Melalui tahapan dalam CVM akan diperoleh nilai WTA sebagai
ganti rugi atas pencemaran Sungai Musi terhadap masyarakat. Penilaian akan
dilakukan melalui tahapan-tahapan tersebut sehingga diperoleh hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian dan juga menghindari bias yang terjadi dalam penelitian.
A. Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat
Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai
Willingness to Accept (WTA) dari setiap responden adalah :
a. Responden merupakan warga sekitar Sungai Musi yang merasakan kerugian
dari dampak pencemaran limbah industri dan bersedia menerima dana
kompensasi.
b. Nilai WTA yang diberikan merupakan nilai minimum yang bersedia diterima
responden jika kompensasi yang diberi benar-benar dilaksanakan.
c. Industri bersedia memberikan dana kompensasi atas penurunan kualitas
23 d. Responden dipilih secara acak dari populasi yang terkena dampak penurunan
kualitas Sungai Musi.
B. Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept
Metode yang dapat digunakan untuk memperoleh besarnya penawaran
nilai WTA/WTP responden (Hanley dan Spash,1993) adalah :
1. Bidding Game (Metode tawar-menawar)
Metode yang digunakan dengan menanyakan kepada responden tentang
sejumlah nilai tertentu yang diajukan sebagai titik awal. Jika “Ya”, maka besarnya nilai uang dinaikan sampai titik maksimum yang telah disepakati.
2. Open-ended Question (Metode pertanyaan terbuka)
Metode yang digunakan dengan menanyakan langsung kepada responden
berapa jumlah uang maksimum yang ingin dibayarkan atau jumlah uang minimum
yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Metode ini mempunyai
kelebihan dimana responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi
nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias titik awal.
Kelemahan metode ini yaitu kurangnya akurasi nilai serta terlalu besar variasinya,
selain itu sering ditemui responden yang kesulitan dalam menjawab pertanyaan
karena tidak biasa dengan pertanyaan yang ada dalam kuesioner.
3. Closed-ended Question (Metode Pertanyaan tertutup)
Metode ini hampir sama dengan metode Open-ended Question, yang
membedakannya yaitu bentuk pertanyaannya tertutup. Responden diberikan
beberapa nilai WTA/WTP yang disarankan kepada mereka dan kemudian akan
dipilih, sehingga responden dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan keinginan
24 4. Payment Card (Metode kartu pembayaran)
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari
berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan menerima, sehingga
responden dapat memilih nilai maksimal/minimal sesuai dengan preferensinya.
Keunggulan metode ini adalah memberikan stimulant untuk membantu responden
berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum atau minimum yang akan diberikan
tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu, sepert pada metode
tawar-menawar. Penggunaan metode ini memerlukan pengetahuan statistik yang baik.
C. Langkah-langkah untuk Mengetahui Nilai Willingness to Accept Masyarakat
Nilai WTA masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan
CVM. Ada enam tahapan dalam CVM (Hanley and Spash, 1993) , yaitu :
1. Membangun Pasar Hipotetik (Setting Up to the Hypotetical Market)
Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik dan
pertanyaan mengenai nilai barang atau jasa lingkungan. Pasar hipotetik tersebut
membangun suatu alasan mengapa masyarakat seharusnya menerima dana
kompensasi atas barang atau jasa lingkungan dimana tidak terdapat nilai dalam
mata uang berapa harga barang atau jasa lingkungan tersebut.
2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTA
Setelah membuat instrumen survei, kemudian membuat administrasi
survei. Tahapan ini dapat dilakukan melalui wawancara dengan tatap muka, surat,
atau perantara telepon mengenai besarnya nilai WTA minimum yang bersedia
diterima. Wawancara dengan teknik-teknik tersebut tidak menutup kemungkinan
25 3. Memperkirakan Nilai Rata-rata WTA
Nilai WTA masyarakat telah terkumpul, kemudian menghitung nilai
tengah dan nilai rata-rata dari WTA. Nilai tengah dihitung apabila terdapat
rentang nilai penawaran yang terlalu jauh. Jika perhitungan nilai penawaran
menggunakan rata-rata, maka nilai yang diperoleh akan lebih tinggi dari nilai
yang sebenarnya. Nilai tengah penawaran tidak dipengaruhi oleh rentang yang
cukup besar dan selalu lebih kecil daripada nilai rata-rata.
4. Memperkirakan Kurva WTA
Kurva penawaran dapat diperkirakan dari nilai WTA sebagai variabel
dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut sebagai variabel
independennya. Kurva penawaran berfungsi untuk memperkirakan perubahan
nilai WTA karena perubahan sejumlah variabel independen, dan untuk menguji
sensitivitas jumlah WTA terhadap variasi perubahan mutu lingkungan.
5. Menjumlahkan Data
Proses dimana nilai tengah penawaran dikonversikan terhadap total
populasi yang dimaksudkan.
6. Mengevaluasi Penggunaan CVM
Menilai sejauh mana penerapan CVM telah berhasil dilaksanakan.
Penilaian dilakukan dengan cara melihat tingkat keandalan (reability) fungsi
26
D. Organisasi dari Pengoperasian CVM
1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.
2. Alat pembayaran yang digunakan dan/atau ukuran kesejahteraan
(WTP/WTA) sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat.
3. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang
publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk
penawaran mereka.
4. Jika memungkinkan, ukuran WTA sebaiknya dicari, karena responden sering
kesulitan dengan nilai minimal yang ingin mereka terima.
5. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah
perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.
6. Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk
memperkecil strategi bias secara khusus.
7. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.
8. Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik yang
sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.
9. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali jika mereka setuju dengan
harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk Radjusted,
direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash
27
3.1.2 Model Regresi Logistik
Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui pengaruh satu
variable independen atau lebih (X) terhadap satu variable dependen (Y), dengan
syarat:
1. Variabel dependent harus merupakan variable dummy yang hanya punya dua
alternatif. Misalnya Puas/tidak puas, suka/tidak suka, atau ya/tidak, dimana
jika responden menjawab puas maka kita beri skor 1 dan jika menjawab tidak
puas kita beri skor 0.
2. Variabel independent mempunyai skala data interval atau rasio.
Model Logit menggunakan peubah penjelasnya baik itu peubah kategorik
maupun peubah numerik untuk menduga peluang kejadian tertentu dari peubah
respon kategori. Analisis pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori
peubah respon dilakukan melalui transformasi logit (Juanda , 2009).
Peluang kejadian tertentu dari peubah respons kategori (pi), ditransformasi
sehingga :
i = indeks semua kasus (observasi 1,2,..,n).
pi = peluang kejadian (misalnya, membeli) terjadi untuk kasus ke-i.
28
Gambar 2. Gambaran Transformasi Logit, dengan Asumsi Peubah X Berskala Interval.
Salah satu keuntungan penggunaan analisis regresi logistik adalah bahwa
ukuran asosiasi ini seringkali merupakan fungsi dari penduga parameter yang
didapatkan. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis
regresi logistik adalah rasio odd. Regresi logistik tidak terbatas hanya dapat
diterapkan pada kasus dimana variabel X nya bertipe interval atau rasio saja,
tetapi regresi logistik juga dapat diterapkan untuk kasus dimana variabel X nya
bertipe data nominal atau ordinal. Hal seperti ini analog dengan regresi linier
dengan variabel dummy.
3.2 Kerangka Operasional
Joseph Schumpeter (dalam Marchinelli dan Smelser, 1990:14-20)
mengisyaratkan tentang pentingnya inovasi dalam proses pembangunan ekonomi
di suatu negara. Pesatnya hasil penemuan menjadi salah satu tolak ukur kemajuan
pembangunan ekonomi suatu bangsa. Industri sebagai indikator peningkatan
inovasi memberi dampak negatif yang mencemari lingkungan. Pencemaran sungai
dan air tanah terutama dari kegiatan domestik, industri, dan pertanian. Limbah
29 menghasilkan BOD, COD, zat organik, dan berbagai pencemar beracun
(Kristanto, 2004).
Sungai Musi adalah salah satu sungai yang juga telah mengalami
pencemaran, padahal sungai ini adalah sungai terpanjang di Sumatera.
Pencemaran inilah yang akan diteliti hubungannya dengan kondisi lingkungan
sekitar dan penentuan nilai kompensasi. Sungai Musi memberi manfaat yang
sangat besar bagi warga Palembang, mulai sebagai sumber air untuk kegiatan
sehari-hari, sumber air untuk industri, sarana transportasi dan perdagangan antar
wilayah serta sumber mata pencaharian bagi sebagian besar masyarakat yang
tinggal di pinggiran sungai tersebut.
Kerusakan badan Sungai Musi disebabkan oleh besarnya beban
pencemaran yang masuk ke DAS sungai tersebut. Oleh karena itu untuk
mendapatkan beban pencemaran yang sesuai dengan baku mutu air limbah,
diperlukan proses pengolahan yang benar dan pengaturan debit limbah yang akan
dibuang ke badan air. Proses pembuangan sisa hasil pengolahan dan limbah
industri ke sungai tidak boleh melebihi baku mutu yang telah ditentukan, harus di
proses terlebih dahulu melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) hingga
layak untuk dilepas langsung ke sungai. Namun kebanyakan industri yang
membuang limbahnya ke Sungai Musi tidak memperhatikan baku mutu yang
layak sehingga mencemari sungai.
Berdasarkan masalah tersebut dilakukan serangkaian penelitian untuk
mengkaji persepsi masyarakat atas kualitas air sungai, dampak pencemaran
sungai, etimasi nilai WTA dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai
30 menggunakan deskriptif kualitatif. Analisis mengenai nilai kompensasi (WTA)
dilakukan menggunakan tahapan-tahapan dalam pendekatan CVM. Peluang
kesediaan menerima WTA dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA akan
dianalisis dengan regresi logistik dan regresi linear berganda. Hasil penelitian
diharapkan dapat memberi informasi mengenai kebijakan apa yang sebaiknya
diterapkan dalam masalah perbaikan kualitas sumberdaya sungai dan dapat
menjadi pertimbangan bagi pihak perusahaan dalam penentuan keputusan dalam
penyelesaian eksternalitas negatif dengan kompensasi. Alur penelitian lebih jelas
dapat dilihat pada diagram alur kerangka berpikir yang dapat dilihat dalam
31
Gambar 3 Diagram Alur Kerangka Berpikir
Keterangan :
= Batasan Penelitian = Aliran
1. Penurunan kualitas dan kuantitas air bersih
Rekomendasi nilai kompensasi atas pencemaran Sungai Musi
Industri
Nilai Kompensasi (WTA) Eksternalitas
Eksternalitas Positif Eksternalitas Negatif
32
IV.
METODE PENELITIAN
4.1. Pemilihan Lokasi dan waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di daerah hulu dan hilir Sungai Musi, yang
terletak di kota Palembang Sumatera Selatan. Penentuan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive), dengan pertimbangan karena Sungai Musi merupakan sungai
terbesar di provinsi Sumatera dan juga menjadi salah satu sungai yang mengalami
pencemaran akibat kegiatan industri. Pengumpulan data primer dimulai dari awal
bulan Februari 2012 sampai dengan Maret 2012 selama kurang lebih dua bulan.
4.2. Metode Pemilihan Responden
Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan teknik
purposive sampling yaitu memilih secara sengaja (dengan suatu kriteria tertentu)
seorang individu untuk dijadikan sampel dengan pertimbangan bahwa responden
adalah pelaku baik individu atau lembaga yang dianggap mengerti permasalahan
yang terjadi dan mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan atau
memberi masukan kepada para pengambil kebijakan. Responden yaitu anggota
keluarga (bapak atau ibu) sebagai perwakilan dari rumah tangga yang terpilih
menjadi sampel. Jumlah responden adalah 70 rumahtangga (RT) yang bermukim
di sekitar kawasan Sungai Musi yang tercemar industri. Penetapan jumlah sampel
yang digunakan dalam penelitian ini telah memenuhi kaidah pengambilan sampel
secara statistika yaitu minimal sebanyak 30 data/sampel dimana data tersebut
mendekati sebaran normal (Walpole, 1982).
4.3. Jenis dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
33 observasi dan wawancara dengan berpedoman pada kuesioner yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Pengumpulan data primer dilakukan berdasarkan
wawancara langsung dengan masyarakat setempat yang mengalami kerugian
karena pencemaran. Kemudian melakukan studi literatur untuk mengetahui
sumber-sumber dan dampak terjadinya pencemaran. Data primer yang
dibutuhkan meliputi karakteristik responden, respon responden terhadap
pencemaran yang terjadi pada Sungai Musi, dan respon responden atas berapa
biaya ganti rugi yang diinginkan masyarakat (Willingness To Accept, WTA)
karena kualitas air Sungai Musi yang saat ini telah mengalami penurunan akibat
pencemaran industri.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dinas atau instansi terkait
serta dari pustaka yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan
dalam penelitian ini meliputi data mengenai semua hal yang menyangkut
informasi mengenai kesehatan masyarakat sekitar yang terkena dampak, data
polutan yang dihasilkan, dan data lain yang dibutuhkan. Data-data tersebut dapat
diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), Dinas Kesehatan Kota Palembang, Badan Pusat
Statistik (BPS), Forum Komunikasi DAS Musi, perpustakaan, internet, serta
lembaga literatur lainnya yang relevan.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian
terhadap besarnya biaya ganti rugi yang diinginkan masyarakat akibat penurunan
34
Contingent Valuation Method (CVM) yang biasa juga disebut dengan metode
survei, sedangkan untuk analisis kerugian ekonomi yang dialami masyarakat
akibat pencemaran ini digunakan metode analisis deskriptif, peluang kesediaan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA digunakan metode regresi
logistik dan regresi linear berganda. Pengolahan dan analisis data dilakukan
dengan menggunakan komputer program Microsoft Office Excel dan Statistical
Product and Service Solutions (SPSS) 16 For Windows Evaluation Version. Tabel
3 menunjukkan matriks metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3. Matriks Metode Analisis Data
No Tujuan Penelitian Sumber Data dan Jumlah Sampel
Metode Analisis Data 1 Mendeskripsikan eksternalitas
negatif akibat pencemaran Sungai Musi karena kegiatan industri.
2 Mengkaji peluang kesediaan
masyarakat di sekitar Sungai Musi dalam menerima dana kompensasi akibat pencemaran industri.
Kuesioner
Responden = 70 RT
Analisis Regresi Logistik
3 Menghitung besarnya Willingness to accept masyarakat akibat eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari pencemaran Sungai Musi oleh aktivitas industri.
Kuesioner
Responden = 60 RT (yang menjawab YA)
CVM
4 Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai kompensasi masyarakat yang terkena dampak pencemaran industri sekitar kawasan Sungai Musi.
4.4.1 Identifikasi Dampak Pencemaran Sungai Musi
Penelitian ini dilakukan dengan cara menanyakan secara langsung (survei)
kepada masyarakat di kawasan Sungai Musi dengan metode purposive sampling.
Analisis biaya ganti rugi yang diinginkan masyarakat Willingness To Accept
35
Contingent Valuation Method (CVM) menunjukkan berapa tingkat kompensasi
terhadap masyarakat. Besarnya WTA dari masyarakat ini dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, penghasilan dan biaya pengeluaran. Pertanyaan yang disampaikan
berupa pertanyaan mengenai dampak yang diterima masyarakat, kualitas air, serta
kerugian ekonomi dari pencemaran Sungai Musi tersebut.
4.4.2 Analisis Kesediaan Menerima WTA Responden Sesuai Skenario yang Ditawarkan
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data mengenai proporsi
kesediaan menerima masyarakat sesuai skenario yang ditawarkan. Informasi
tersebut dapat diperoleh melalui kuesioner penelitian, sedangkan alasan responden
tentang kesediaan menerima diperoleh dari wawancara secara mendalam
(interdeph interview) terhadap masyarakat. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kesediaan rumahtangga dalam menerima dana kompensasi
dilakukan dengan alat regresi logit. Model logit digunakan untuk mengestimasi
peluang rumahtangga untuk menerima atau tidak menerima dana kompensasi
akibat pencemaran Sungai Musi oleh industri. Bentuk model regresi logit yang
digunakan untuk mengkaji kesediaan/ketidaksediaan rumahtangga dalam
menerima dana kompensasi yaitu :
Li Sedia = Ln [Pi/(1-Pi)] = β0+ β1PDK + β2PDPT + β3JTG + β4 US + β5 LT
+ β6 JTT + β7 KWA + β8 BTPA + β9 BKSH + β10 Dbruh + β11
Dwrsta + β13 Dnlyn +
ε
i dimana :Li Sedia = peluang responden bersedia atau tidak bersedia menerima akibat
eksternalitas negatif dari pencemaran Sungai Musi akibat kegiatan industri (bernilai 1 untuk “bersedia” dan bernilai 0 untuk “tidak bersedia”)
β = konstanta
36 PDK = Pendidikan (tahun)
PDPT = Pendapatan (Rp)
JTG = Jumlah tanggungan (orang) US = Usia responden (tahun) LT = Lama Tinggal (tahun) JTT = Jarak tempat tinggal (meter) KWA = Kualitas air (deskriptif)
BTPA = Biaya Pengeluaran untuk Air bersih (Rp) BKSH = biaya kesehatan (Rp)
Dbruh = dummy jenis pekerjaan buruh (buruh =1 ; bukan buruh = 0) Dwrsta = dummy jenis pekerjaan pegawai swasta (wiraswasta =1 ; bukan
wiraswasta = 0)
Dnlyn = dummy jenis pekerjaan nelayan (nelayan =1 ; bukan nelayan = 0) i = responden ke-i
ε
i = galat4.4.3. Analisis Nilai WTA dari Masyarakat terhadap Pencemaran Sungai Musi
Pendekatan CVM akan digunakan untuk mengetahui besarnya nilai WTA
masyarakat dalam penelitian ini. Pendekatan tersebut memiliki enam tahapan
(Hanley and Spash, 1993), yaitu :
1. Membangun Pasar Hipotetis
Dalam penelitian ini, pasar hipotetis dibentuk berdasarkan skenario bahwa
industri di sekitar Sungai Musi akan memberlakukan kebijakan baru yaitu
pemberian dana kompensasi terhadap masyarakat yang terkena dampak
pencemaran. Responden akan diberi gambaran bahwa industri akan memberikan
kompensasi/fasilitas bagi masyarakat sebagai upaya pengurangan dampak negatif
yang timbul. Bentuk kompensasi yang ditawarkan bervariasi, dan responden akan
37 ditawarkan berupa perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, listrik, dll),
pembangunan klinik kesehatan, penyediaan alat penyaring air, dan pemberian
dana kompensasi. Pertanyaan dalam pasar hipotetis yang akan dibentuk dalam
skenario adalah :
2. Memperoleh Nilai Penawaran
Survei dilakukan dengan wawancara langsung dan responden ditanya nilai
minimum WTA dengan cara Payment Card (Metode kartu pembayaran).
3. Menghitung Dugaan Nilai Rata-rata WTA
Perhitungan nilai rata-rata dan median dapat dilakukan setelah nilai WTA
diperoleh. Dugaan rata-rata dihitung dengan rumus :
dimana :
E WTA = Dugaan rataan WTA xi = Jumlah tiap data n = Jumlah Responden
i = Responden ke-i yang bersedia menerima kompensasi
4. Menduga Kurva Penawaran
Menduga penawaran merupakan proses menentukan variabel-variabel
yang diduga berpengaruh terhadap nilai WTA. Pendugaan akan dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut ini :
WTA = f (PDK, PDPT, JTG, US, LT, JTT, KWA, BTPA, BKSH, Dbruh, Dwrsta , Dnlyn)
dimana :
PDK = Pendidikan (tahun)
38 PDPT = Pendapatan (Rp)
JTG = Jumlah tanggungan (orang) US = Usia responden (tahun) LT = Lama Tinggal (tahun) JTT = Jarak tempat tinggal (meter) KWA = Kualitas air (deskriptif)
BTPA = Biaya Pengeluaran untuk Air bersih (Rp) BKSH = biaya kesehatan (Rp)
Dbruh = dummy jenis pekerjaan buruh (buruh =1 ; bukan buruh = 0)
Dwrsta = dummy jenis pekerjaan pegawai swasta (wiraswasta =1 ; bukan wiraswasta = 0)
Dnlyn = dummy jenis pekerjaan nelayan (nelayan =1 ; bukan nelayan = 0)
5. Menjumlahkan Data
Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penawaran
dikonversikan terhadap populasi yang dimaksud. Nilai total WTA masyarakat
dapat diperoleh setelah menduga nilai tengah WTA masyarakat dengan rumus :
dimana :
TWTA = Total WTA
WTAi = WTA individu ke-i
ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi
(i=1,2,3,…,k)
6. Mengevaluasi Penggunaan CVM
Tahap ini merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah
39 (reability) fungsi WTA. Uji yang dapat dilakukan dengan uji keandalan yang
melihat R square dari model Ordinary Least Square (OLS)
4.4.4 Analisis Fungsi Willingness to Accept (WTA)
Analisis fungsi WTA bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi nilai WTA masyarakat yang mengalami eksternalitas negatif
atas pencemaran air Sungai Musi. Fungsi persamaannya sebagai berikut :
midWTA = β0+ β1PDK + β2PDPT + β3JTG + β4US + β5LT + β6JTT + β7
KWA + β8 BTPA + β9 BKSH + β10 Dbruh + β11 Dwrsta + β12
Dnlyn +
ε
dimana :
midWTA = Nilai WTA responden β = konstanta
β 1,,,β13 = koefisien regresi β = konstanta
β 1,,,β13 = koefisien regresi PDK = Pendidikan (tahun) PDPT = Pendapatan (Rp)
JTG = Jumlah tanggungan (orang) US = Usia responden (tahun) LT = Lama Tinggal (tahun) JTT = Jarak tempat tinggal (meter) KWA = Kualitas air (deskriptif)
BTPA = Biaya Pengeluaran untuk Air bersih (Rp) BKSH = biaya kesehatan (Rp)
Dbruh = dummy jenis pekerjaan buruh (buruh =1 ; bukan buruh = 0) Dwrsta = dummy jenis pekerjaan pegawai swasta (wiraswasta =1 ; bukan
wiraswasta = 0)
Dnlyn = dummy jenis pekerjaan nelayan (nelayan =1 ; bukan nelayan = 0) i = responden ke-i
40 Variabel-variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah
variabel pendidikan, jumlah tanggungan, usia responden, lama tinggal, biaya
kesehatan, biaya tambahan pengeluaran untuk memperoleh air bersih, jenis
pekerjaan buruh, wiraswasta, dan nelayan. Pendidikan yang semakin tinggi
mencerminkan semakin tingginya tingkat pengetahuan responden akan
eksternalitas lingkungan, sehingga responden akan mengharapkan nilai yang
tinggi. Jumlah tanggungan terkait dengan banyaknya anggota keluarga dalam satu
rumahtangga yang terkena dampak dari pencemaran Sungai Musi. Usia responden
dan lama tinggal diduga menjadi variabel yang berpengaruh positif. Semakin lama
responden tinggal di daerah tercemar maka semakin tinggi nilai kompensasi yang
diinginkan. Biaya kesehatan terkait dengan besarnya dana yang dikeluarkan
responden untuk mengobati penyakit yang timbul akibat pencemaran. Semakin
tinggi biaya kesehatan dan biaya tambahan pengeluaran untuk memperoleh air
bersih maka semakin tinggi nilai kompensasi yang diinginkan. Jenis pekerjaan
buruh, wiraswasta, dan nelayan diduga akan menginginkan nilai kompensasi yang
tinggi karena jenis pekerjaan mereka yang memiliki resiko yang tinggi dan
keterkaitan langsung dengan pemanfaatan air Sungai Musi.
Variabel-variabel yang diduga berpengaruh negatif terhadap nilai WTA
yaitu pendapatan, jarak tempat tinggal, kualitas air, jenis pekerjaan pegawai
swasta. Semakin tinggi tingkat pendapatan responden maka responden tersebut
akan merasa semakin berkecukupan untuk mengatasi dampak pencemaran
sehingga nilai WTA yang diinginkan rendah. Jarak tempat tinggal yang semakin
dekat dengan sumber pencemaran diduga akan membuat nilai WTA yang
41 semakin tinggi (baik) kualitas air, maka nilai kompensasi yang diharapkan akan
semakin kecil. Jenis pekerjaan pegawai swasta diduga akan menginginkan nilai
kompensasi yang rendah karena jenis pekerjaan mereka yang memiliki resiko dan
keterkaitan yang rendah dengan pemanfaatan air Sungai Musi.
4.4.5 Pengujian Parameter Regresi
Pengujian secara statistik terhadap model dapat dilakukan dengan cara :
1. Uji Keandalan
Uji keandalan dilakukan dalam evaluasi CVM dilihat dengan nilai
R-Square (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTA. Mitchell dan Carson (1989)
dalam Hanley dan Spash (1993) merekomendasikan 15 persen sebagai batas
minimum dari R2 yang realiabel. Nilai R2 yang lebih besar dari 15 persen
menunjukkan tingkat reabilitas yang baik dalam penggunaan CVM.
2. Uji Statistik t
Uji statistik t adalah uji untuk mengetahui apakah dalam regresi variabel
bebas (X1, X2, …, Xn) secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel
terikatnya (Y). Ramanathan dalam Tampubolon 2011, prosedur pengujian uji
statistik t adalah :
H0 : βi = 0 atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
H1 : βi ≠ 0 atau variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat
42 Jika t hit(n-k) > tα/2, maka terima H1 (-t tabel atau t hitung > t tabel), artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).
3. Uji Statistik F
Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama terhadap variabel terikat. Prosedur pengujian menurut
(Ramanathan 1997, dalam Tampubolon, 2011) adalah :
H0 = β1 = β2 = β3 = … β = 0 H0 = β1 = β2 = β3 = … β ≠ 0
dimana :
JKK = jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom JKG = jumlah kuadrat galat
n = jumlah sampel k = jumlah peubah
Jika Fhit < Ftabel maka terima Ho yang artinya secara serentak variabel
bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y). Jika Fhit >
Ftabel, maka terima H1 yang berarti variabel bebas (Xi) secara serentak
berpengaruh nyata terhadap variabel terikat (Y). Pengujian juga dapat melihat
nilai P-value dari model seluruh variabel bebas secara bersama. Apabila P-value
< α yang digunakan, maka tolak H0 yang artinya variabel bebas secara bersama -sama berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.
4. Uji Terhadap Kolinear Ganda ( Multicollinearity )
Dalam model dengan banyak peubah sering mengalami masalah
multikolinear yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas.
43 dengan membandingkan besarnya koefisien determinasi (R2 ) dengan koefisien
determinasi parsial antar dua variabel bebas (r2 ). Masalah multicollinearity juga
dapat dilihat langsung melalui hasil komputer, dimana apabila Varian Inflation
Factor (VIF) < 10 tidak ada masalah multikolinear.
5. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi metode pendugaan kuadrat terkecil adalah
homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran
atas asumsi ini disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya masalah
heteroskedastisitas dilakukan dengan uji White, yaitu dengan meregresikan
residual kuadrat sebagai variabel dependen, dengan variabel dependen ditambah
dengan kuadrat variabel independen, kemudian ditambahkan lagi dengan
perkalian dua variabel independen.
Prosedur pengujiannya dilakukan dengan hipotesis berikut :
H0 : Tidak ada heterokedastisitas H1 : ada heterokedastisitas
6. Uji Normalitas
Uji normalitas perlu dilakukan untuk mengetahui apakah error term dari
data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal
sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Uji yang dapat dilakukan yaitu uji
Kolmogorov-smirnov. Uji Kolmogorov Smirnov adalah uji beda antara data yang
diuji normalitasnya dengan data normal baku. Seperti pada uji beda biasa, jika
signifikansi dibawah 5% berarti data yang akan diuji mempunyai perbedaan yang
signifikan dengan data normal baku, yang artinya data tersebut tidak normal. Jika
signifikansi di atas 5% maka tidak terjadi perbedaan yang signifikan antara data
44
V. GAMBARAN UMUM
5.1 Keadaan Umum Kota Palembang
Kota Palembang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Selatan.
Secara geografis Kota Palembang terletak antara 2°52' - 3°5' Lintang Selatan dan
104°37' - 104°52' Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata delapan meter dari
permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin
b) Batas Selatan : Kabupaten Ogan Komering Ilir
c) Batas Timur : Kabupaten Banyuasin
d) Batas Barat : Kabupaten Banyuasin
Luas wilayah Kota Palembang adalah 400,61 km2 dengan jumlah
penduduk yaitu 1.455.284 jiwa, terdiri dari 16 kecamatan dengan luas wilayah
terbesar yaitu Kecamatan Gandus (68,78 km2), sedangkan kecamatan dengan luas
terkecil yaitu Kecamatan Ilir Barat II (6,22 km2). Kecamatan dengan tingkat
kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Ilir Timur I (10677,85 jiwa/
km2), sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu
Kecamatan Sematang Borang (625,88 jiwa/km2). Palembang memiliki 107
jumlah kelurahan dengan 946 rukun warga (RW) dan 4.018 unit organisasi rukun
tetangga (RT). Lokasi penelitian berada di tiga kecamatan yaitu di Kecamatan
Seberang Ulu I, Kecamatan Gandus dan Kecamatan Ilir Timur II (Lampiran 4).
Pada Tabel 4 ditunjukkan luas daerah dan pembagian wilayah
45 Tabel 4. Luas Daerah dan Pembagian Wilayah Administrasi Menurut Kecamatan
di Kota Palembang Tahun 2010
No Kecamatan Luas
Sumber : BPS Kota Palembang, 2011
Letak Kota Palembang cukup strategis sebagai jalur transportasi karena
dilalui oleh jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antar daerah di Pulau
Sumatera, dan terdapat Sungai Musi yang dilintasi Jembatan Ampera yang juga
berfungsi sebagai sarana transportasi air dan perdagangan antar wilayah.
5.1.1 Kondisi Sungai Musi
Dari segi kondisi hidrologi, Kota Palembang terbelah oleh Sungai Musi
menjadi dua bagian besar disebut Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Studi ini
dilakukan di dua wilayah tersebut karena diduga pencemaran Sungai Musi terjadi
di sepanjang Sungai, mulai dari hulu hingga hilir. Sungai Musi merupakan sungai
terbesar di Sumatera dengan panjang mencapai 750 km dengan kedalaman
mencapai 25 meter yang dapat dilalui kapal-kapal besar. Air sungai Musi
mengalir dari anak-anak sungai besar mulai dari Jambi dan Bengkulu sehingga
46 Sembilan yang berarti sembilan sungai besar, yaitu Sungai Musi beserta delapan
sungai besar yang bermuara di sungai Musi. Adapun delapan sungai tersebut
besar yang melintasinya. Sungai Musi adalah sungai terbesar dengan lebar
rata-rata 504 meter (lebar terpanjang 1.350 meter berada disekitar Pulau Kemaro, dan
lebar terpendek 250 meter berlokasi di sekitar Jembatan Musi II). Ketiga sungai
besar lainnya adalah Sungai Komering dengan lebar rata-rata 236 meter, Sungai
Ogan dengan lebar rata 211 meter, dan Sungai Keramasan dengan lebar
rata-rata 103 meter. Disamping sungai-sungai besar tersebut terdapat sungai-sungai
kecil lainnya terletak di Seberang Ilir yang berfungsi sebagai drainase perkotaan
(terdapat ± 68 anak sungai aktif). Sungai-sungai kecil tersebut memiliki lebar
berkisar antara 3 - 20 meter. Pada aliran sungai-sungai tersebut ada yang dibangun
kolam retensi, sehingga menjadi bagian dari sempadan sungai. Permukaan air
Sungai Musi sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada musim kemarau
terjadi penurunan debit sungai, sehingga permukaan air Sungai Musi mencapai
ketinggian yang minimum.3
Kota Palembang juga dikenal sebagai kota industri dan kota perdagangan.
Dari data Badan Lingkungan Hidup Daerah Palembang, 2011 terdapat sekitar 24
industri yang berada di pinggiran Sungai Musi (Lampiran 5). Industri tersebut
3