MODEL SISTEM DINAMIS SEDIAAN
BERAS NASIONAL
ABDUL BASITH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya nyatakan bahwa disertasi berjudul Model Sistem Dinamis Sediaan Beras Nasional adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka di bagian akhhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
iii
ABSTRACT
ABDUL BASITH. Dynamics System Modeling for Rice Stock. Under direction of IRAWADI JAMARAN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, MOHAMMAD SYAMSUL MA’ARIF, AMRIL AMAN and SUDARSONO HARDJOSOEKARTO.
Rice production in Indonesia is characterized by large number of people and institutions involved in the business and wide spread of distribution area. There are two kinds of rice sources namely in country farmers production and the imported one. From these two sources rice is distributed throughout the country through many channels of marketing and distribution. The dynamics of rice supply and its distribution is mainly affected by factors of season, harvest field availability and its productivity, rate of harvesting failure, in country prices, import barrier, government involvement, and quality of infrastructure. A system dynamics model of rice stock was constructed using ithinkTM software. The model attempts to figure out the behaviour of rice stock system by simulation technique. The system was represented by ten subsystems which are interacting one to another. These ten subsystems were farmers, rice millings, KUD, collector traders, Bulog, grociers, importers, national stock. The interaction between each subsystem is depicted by a causal diagram, following the systems dynamics approach. The sensitivity of the model can be tested by running the model under certain set of values of key parameters and variables. The simulation resulted in two important findings. First, the model was able to picture the dynamics of rice distribution among ten subsystems assigned. Second, the value of stocks at each subsystem were considerably resembling the actual stocks at each subsystem. These results enabled the model to be used as a predicting tool or simulation tool for rice stock distribution.
iv
RINGKASAN
ABDUL BASITH. Model Sistem Dinamis Sediaan Beras Nasional. Di bawah bimbingan IRAWADI JAMARAN, ENDANG GUMBIRA SA’ID, MOHAMMAD SYAMSUL MA’ARIF, AMRIL AMAN, dan SUDARSONO HARDJOSOEKARTO.
Produksi beras di Indonesia dicirikan oleh banyaknya pihak yang terlibat dan luasnya wilayah distribusi. Terdapat dua sumber utama pengadaan beras di Indonesia, yaitu produksi dalam negeri dan beras impor. Dua jenis beras tersebut didistribusikan ke seluruh negeri melalui berbagai pemasaran dan alat distribusi. Dinamika pasokan beras dan distribusinya terutama dipengaruhi oleh musim, luas panen, produktifitas lahan, harga di dalam negeri, harga beras di luar negeri, bea masuk, tindakan pemerintah melalui Perum BULOG, dan kualitas infrastruktur.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model sistem dinamis yang dapat digunakan untuk mempelajari perilaku sediaan beras di Indonesia sepanjang tahun. Metode yang digunakan adalah metoda simulasi dengan memanfaatkan perangkat lunak ithinkTM.
Sistem distribusi beras diuraikan menjadi sepuluh subsistem yang meliputi sub sistem petani, pedagang pengumpul, penggilingan padi, Koperasi Unit Desa (KUD), grosir/swasta, importir, Bulog, stok nasional, pengecer dan subsistem konsumen atau pengguna akhir. Interaksi antar subsistem divisualkan dengan diagram kausal (causal diagram) yang disusun mengikuti pendekatan sistem. Sensitifitas model dapat diperiksa dengan menjalankan model menggunakan satu set nilai awal parameter dan peubah utama, serta memvariasikan nilai salah satu peubah.
v © Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vi
MODEL SISTEM DINAMIS SEDIAAN
BERAS NASIONAL
ABDUL BASITH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vii Ujian Tertutup:
Penguji luar komisi:
1. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MSc. 2. Dr. Ir. Sam Herodian, MS.
Ujian Terbuka: Tanggal 31 Januari 2012 Penguji luar komisi:
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Weleri-Kendal Jawa Tengah, pada tanggal 9 Juli 1957 sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan ibu Siti Maemunah dan bapak Achmad. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di kota Weleri pada tahun 1973, kemudian menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta pada tahun 1976.
Setamat SMA penulis melanjutkan kuliah di IPB, dan pada tahun 1981 penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Hasil Pertanian dari Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1984 penulis menerima beasiswa TMPD - Dep. P&K dan diterima di Program Studi Teknik dan Manajemen Industri pada Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung dan berhasil menyelesaikan program pendidikan pasca sarjana strata kedua pada tahun 1987. Pada tahun 1988 sampai 1992 penulis atas beasiswa PAU Bioteknologi IPB, melanjutkan studi strata tiga di University of Queensland-Australia, namun karena sakit pada tahun terakhir dan kehabisan beasiswa, penulis tidak dapat menyelesaikan program doktornya. Pada tahun 1995 dengan mentransfer beberapa kredit dari
UQ dan dengan biaya sendiri penulis mendaftarkan diri pada Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1984 sampai pertengahan tahun 2000 penulis bekerja dan tercatat sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fateta IPB, dan mengasuh
beberapa mata ajaran antara lain Pengantar Sistem Informasi Manajemen, Teknik Optimasi dan Perencanaan Proyek Industri. Pada tahun 2000, dengan dibukanya fakultas baru yaitu Fakultas Ekonomi dan Manajemen, penulis atas kehendak sendiri pindah ke Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, dan disetujui dengan SK Rektor IPB Nomor: 140/K13.12.1/KP/2001. Selama di Jurusan Manajemen penulis mengasuh mata ajaran Dasar-dasar Manajemen, Metode Kuantitatif dan Manajemen Produksi dan Operasi.
x
PRAKATA
Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini setelah tertunda dan terselang beberapa kegiatan lain sekian lama. Semangat tinggi dan rasa hampir putus asa datang silih berganti, tetapi pada akhirnya muncul alasan yang lebih kuat yang mendorong penulis terus berjalan.
Penulis yakin keberhasilan ini terwujud karena kombinasi doa dan dukungan all out dari istri dan anak-anak, sindiran dan cibiran dari beberapa teman dekat, serta dukungan dan cambukan dari ibu Prof. Tun Teja dan Prof. Irawadi Jamaran yang tidak mengenal kata surut bahkan menyediakan tempat bagi penulis di H-14 untuk ”bertapa”. Tanpa bantuan itu, sulit sekali penulis menghindar dari berbagai gangguan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Irawadi Jamaran yang telah bersedia menjadi Ketua Komisi Pembimbing. Kesabaran dan bantuan beliau begitu besar artinya bagi penulis dalam menyelesaikan program S3 ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Gumbira Sa’id, MADev., Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng, Dr. Ir. Amril Aman, MSc. dan Dr. Ir. Sudarsono Hardjosoekarto, MA yang telah bersedia menjadi anggota komisi pembimbing.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada para rekan sekerja di Jurusan Teknologi Industri Pertanian yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi saya terutama kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, selaku kepala laboratorium yang tanpa diminta telah berupaya membebaskan penulis dari berbagai kegiatan pada tahun-tahun terakhir.
Kepada Ir. Wan Karter tak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan beliau membantu penulis dalam pengumpulan data dan pengetikan naskah. Demikian pula kepada Ir. Warcito, Msi. dan saudara Sugeng yang membantu saya membuat softcopy naskah ini dengan scanner dari hardcopy terakhir yang masih ada. Terima kasih juga kepada rekan-rekan sekantor di FEM serta para handai taulan yang diam-diam juga mendoakan saya agar dapat menyelesaikan studi secepat-cepatnya.
Semoga disertasi ini bermanfaat bagi para pembacanya.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
1 PENDAHULUAN... 1
Simulasi Kuantitatif ... 36
Perangkat Lunak... 50
Dasar Pemikiran ... 52
METODOLOGI PENELITIAN ... 53
Tempat dan Waktu ... 53
Kerangka Konseptual Penelitian ... 53
Metoda Pengembangan Model ... 54
PEMBANGUNAN MODEL ... 56
Deskripsi Model ... 56
Subsistem Konsumen (Rumah Tangga)... 72
Subsistem Stok Nasional ... 73
SIMULASI MODEL SEDIAAN BERAS NASIONAL... 74
xii Halaman
Subsistem Grosir ... 85
Subsistem Bulog ... 87
Subsistem Importir ... 89
Subsistem Stok Nasional ... 90
Subsistem Pengecer ... 91
Subsistem Konsumen (Rumah Tangga) ... 92
KETERBATASAN SISTEM ... 94
7 VERIFIKASI DAN VALIDASI... 94
Verifikasi ... 94
Validasi ... 95
Subsistem Petani ... 95
Subsistem Penggilingan ... 95
Subsistem Bulog ... 97
Subsistem Importir ... 98
Subsistem Stok Nasional ... 99
Prediksi Sepuluh Tahun ke Depan ... 99
Implikasi Kebijakan... 101
8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
Kesimpulan ... 103
Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 105
xiii DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Daftar Asumsi ... 6
Tebel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011) ... 9
Tabel 3. Produksi beras beberapa negara dan dunia, 2003 – 2009 ... 11
Tabel 4. Contoh data pertumbuhan penduduk ... 37
Tabel 5 . Taksiran jumlah penduduk setiap tahun dengan hitungan tangan. (dengan dt = 1 tahun) ... 39
Tabel 6. Luas panen padi per bulan, tahun 2011 ... 56
Tabel 7. Luas sawah di Jawa dan Luar Jawa beserta tingkat perubahannya (Ha) 57 Tabel 8. Hasil simulasi produksi padi tahun 2011 ... 72
Tabel 09. Hasil simulasi , taksiran jumlah petani, kebutuhan GKG untuk dikonsumsi dan beras yang dibeli petani pada bulan-bulan tertentu, 2011 ... 76
Tabel 10. Hasil simulasi subsistem pengumpul tahun 2011 ... 77
Tabel 11. Hasil simulasi pengadaan GKG subsistem KUD ... 79
Tabel 12. Hasil simulasi subsistem penggilingan tahun 2011 ... 81
Tabel 13. Hasil simulasi subsistem grosir tahun 2011 ... 83
Tabel 14. Hasil simulasi subsistem Bulog tahun 2011 ... 84
Tabel 15. Hasil simulasi subsistem importir tahun 2011 ... 86
Tabel 16. Hasil simulasi subsistem stok nasional tahun 2011... 87
Tabel 17. Hasil simulasi subsistem pengecer tahun 2011 ... 89
Tabel 18. Proyeksi permintaan beras pada tahun 2001-2004 ... 90
Tabel 19. Hasil simulasi kebutuhan konsumen beras tahun 2011 ... 91
Tabel 20. Pengaruh perubahan parameter model terhadap total hasil panen 92
Tabel 21. Kapasitas produksi penggilingan beras Indonesia ... 96
Tabel 22. Hasil simulasi stok di Bulog per bulan tahun 2011 ... 97
Tabel 23. Bulan defisit dan bulan surplus beras (Hasil simulasi, 2009) ... 98
xiv DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional ... .... 11
Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten... . 12
Gambar 3. Paradigma sistem dinamis : Informasi/Aksi/Konsekuensi... 30
Gambar 4. Proses sistem dinamis ... 32
Gambar 5. Struktur umpan balik negatif dan positif ... 33
Gambar 6. Beberapa bentuk modul umum untuk menyusun diagram pengaruh 35
Gambar 7. Grafik contoh pertumbuhan penduduk ... 37
Gambar 8. Perbandingan data asli dnegan hasil perhitungan tangan ... 40
Gambar 9. Diagram ithink untuk pertumbuhan populasi ... 40
Gambar 10. Contoh grafik pertumbuhan populasi ... 41
Gambar 11. Jalur evolusi perangkat lunak sistem dinamis ... 47
Gambar 12. Kerangka konseptual pemikiran ... 50
Gambar 13. Diagram sebab akibat antar faktor sediaan beras ... 53
Gambar 14. Model agregat sistem distribusi beras ... 55
Gambar 15. Model subsistem petani ... 58
Gambar 16. Model subsistem pedagang pengumpul ... 60
Gambar 17. Model subsistem KUD ... 61
Gambar 18. Model subsistem penggilingan padi ... 63
Gambar 19. Model subsistem grosir ... 64
Gambar 20. Model subsistem Bulog ... 66
Gambar 21. Model subsistem importir ... 67
Gambar 22. Model subsistem pengecer ... 68
Gambar 23. Model subsistem konsumen ... 69
Gambar 24. Model subsistem stok nasional ... 70
Gambar 25. Hasil simulasi produksi GKG, 2011 ... 73
Gambar 26. Pola luas panen petani (tahun 2011) ……….. . 74
Gambar 27. Model perhitungan perluasan sawah petani ... 75
Gambar 28. Model dinamis untuk menghitung kebutuahan beras di tingkat petani 75 Gambar 29. Tingkat kebutuhan petani akan GKG dan ketersediaan GKG hasil panen ... 76
Gambar 30. Perkembangan volume GKG pedagang pengumpul ... 78
Gambar 31. Simulasi perkembangan pengadaan GKG KUD ... 80
Gambar 32. Dinamika stok beras di subsistem penggilingan ... 82
Gambar 33. Perilaku dinamis subsistem grosir/swasta/koperasi ... 83
Gambar 34. Simulasi perkembangan stok beras di subsistem Bulog ... 85
Gambar 35. Perilaku dinamis subsistem importir... 87
Gambar 36. Perilaku subsistem stok nasional ... 88
Gambar 37. Perilaku subsistem konsumen ... 90
Gambar 38. Model dinamis perhitungan produksi subsistem petani ... 94
Gambar 39. Dinamika stok beras nasional dalam 10 tahun ke depan 100
xv DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1. Listing model dinamis distribusi dan sediaan beras nasional 114 Lampiran 2. Surat Menteri Perdagangan RI tentang larangan impor beras Tahun
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. (1997). Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sek. BP Bimas Deptan. Jakarta.
Abbot, J.C. (1990). Agricultural marketing enterprises for the developing world. Cambridge University Press. Cambridge
Adiyatna H. (1995). Rancang bangun sistem penunjang keputusan pengembang produk unggulan agroindustri komoditi hortikultura buah-buahan olahan (studi kasus di Jawa Barat). ThesisT. IP-PPS,IPB.
Alexander, M. (2000). Perspektif Manajemen Logistik Suatu Pendekatan Pemasaran Terhadap Struktur Saluran Distribusi BULOG. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Nopember 2000.
Alexander, M. (2000). Pasokan Beras Menjelang Hari Raya. Warta Intra BULOG, No.04/Th.XXVI/ Desember 2000.
Alexander,M . (2000). Kebijaksanaan Pangan Nasional Pada Era Globalisasi. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXIV/Desember 2000.
Amang, B. dan M.H. Sawit (1999). Kebijakan Beras dan Pangan Nasional, Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. IPB Press. Jakarta.
Amrullah (2000). Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Terhadap Komoditi Pangan. Warta Intra BULOG, No. 04l/Th.XXVI/Desember 2000.
Amrullah (2000). Indikator Pasar Gabah dan Beras Desember 2 000. Warta Intra BULOG, No. 04l/Th.XXVI/Desember 2000.
Amrullah (2001). Sekilas Gambaran Produksi Beras 2001 dan Impor. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.
Amrullah (2001). Prospek Pasar Beras Dunia 2001 dan Pengaruhnya Bagi Indonesia. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.
Amrullah (2001). Indikator Pasar Gabah dan Beras Januari 2001. Warta Intra BULOG, No. 06/Th.XXVI/Januari 2001.
Andayani, W. (1998). Sistem distribusi dan penetapan harga kayu bulat jati di Jawa. Disertasi. IPB.
Andrida, R. (2000). Indikator Pasar Gabah dan Beras Nopember 2000. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Nopember 2000.
Anonim (1997). Marketing systems for Agricultural Products, Asian Productivity Organization, Tokyo.
Anonim (2005 ). Demografi Indonesia. Wikipedia. org
Arifin, B. (1997). Distribusi komoditas strategis: Catatan Reflektif. Bisnis& Ekonomi Politik, Vol 1 (2). Hal 1-8
Askin, R.G. and Standridge, C R (1993). Modelling and Analysis of Manufacturing System. John Wiley & Sons Inc. New York
BPS (2003). Statistik Indonesia. Jakarta
BPS (2009). Statistik Indonesia. Jakarta
BPS (2009). Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta
Cakravastia, A dan L. Diawati (1999). Development of system dynamic model to diagnose the logistic chain performance of shipbuilding industry in Indonesia. ITB.
Bandung. The proceedings of the 17th International Conference of the System
Dynamics Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.
Chong, C.L., J. Lee, L. P Tan (1999) Applying system thinking to a strategic simulation
of service quality. The Proceedings of the 17 th International Conference of the
System Dynamici Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.
Coyle, R.G. (1979) Management System Dynamics, John Wiley & Sons, Chichester.
Coyle, R.G. (1996). System Dynamics Modelling; A Practical Approach, Chapman & Hall, London.
Deptan (2001). Analisis Permintaan dan Produksi Beras di Indonesia, 2001-2004.
FAO – Rice Market Monitor, December 2006
FAO – Rice Market Monitor, December 2007
Gopal, C and Cypress, H (1993) Integrated Distribution Management - Competing on customer service, time, and cost. Irwin PP. New York.
Gottfried, B.S. (1984). Elements of Stochastic Process Simulation. Prentice-Hall, Inc. Englewood Clifffs, New Jersey 07632
Graham, AK dan Sharon A E (1999). System Dynamics and System Thinking: It takes all
kinds. The Proceedings of the 17th International Conference of the System
Dynamics Society and 5 th Australian & New Zealand Systems Conference.
Harahap, S.M. (2000). Perkembangan Pasar Dunia Beras. Warta Intra BULOG, No.06/Th.XXV/ Januari 2000
Harahap, S.M. (2000). Harga Beras Duia Bervariasi Walaupun Permintaan Dunia Masih Terbatas. Warta Intra BULOG, No.06/Th.XXV/ Januari 2000
Hidaka, S. (1999) System dynamics: A new tool for TQM. The Proceedings of the 17 th
International Conference of the System Dynamics Society and 5 th Australian &
New Zealand Systems Conference.
Kamaluddin, L .A. (2000). Eksistensi BULOG di Era Perdagangan Global. Warta lntra BULOG, No. 12/Th.XXV/Juli 2000.
Kennedy, M . (1999) Some issues in Building System dynamic Modelds designed to improve the Information Systems Investment Appraisal Process. The Proceedings
of the l7th Intemational Confeience of the System Dynamics Society and 5 th
Australian & New Zealand Systems Conference.
Lintang, M. (2000). Riset Pemasaran Mensahihkan Beras Kualitas Premium Menjadi Strategi Bisnis Unit BULOG di Dolog dan Sub BULOG. Warta Intra BULOG, No.12/Th.XXV/Juli 2000.
Martinelli, D.P. and Almeida A.P. (1998). Negot iation, Management and System Thinking. Systemic Pract. and Action Res.Vol. 11, No 3, hal 319-335.
Marquez, A.C. (2010) Dynamic Modelling for Supply Chain Management. Springer-Verlag London Limited.
Mulyono (l999). Masalah distribusi dan perdagangan beras. Paper pada diskusi panel YPST. Tidak dipublikasikan
Nasution,S . (2000). Dapatkah Fungsi BULOG Sebagai LPND dipertahankan. Warta Intra BULOG. No. 06/Th.XXV/ Januari 2000
Rusastra, I.W. dkk (2002). Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. PPPSEP, Bogor.
Saad, L.P.M. (2000). Telaah Kebijakan Swasembada Beras Sebagai Kebijakan Publik. Warta Intra BULOG, No. 04/Th.XXVI/Desember 2000.
Santoso, D.U. (1999). Distribusi dalam persaingan bisnis. Komoditas No. 04, Th.1. Hal.52
Sapuan (2000). Arah Kebijakan Kelembagaan Produksi dan Distribusi Beras Aspek Kelembagaan dan Distribusi. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI
Sawit, H. (2000). Arah Kebijaksanaan Distribusi/Perdagangan Beras Dalam Mendukung Ketahanan pangan: Perdagangu Dalam Negeri. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI
SeperichG, .J, M.W. Woolvertond, an J.G. Beierlein( 1994). Introductionto Agribusiness Marketing. Prentice Hall Career& Technology Englewood Cliffs. NJ
Setiadi, B . (1933). Toward a conceptual food as a system and flow model for rice in Indonesia Contributed paper on Workshop on Systems Analysis, BPPT, Jakarta.
Simangunsong, E.P. (1997). Distribution Requirement Planning (DRP): Metode Pengendalian Persediaan pada usaha eceran. Usahawan No. 08, Th xxvi, al. 29-31.
Skyttner, L. (1998). The future of systems thinking. System Practice and Action Research, Vol 11, No 2, hal.193-205
Siregar, M . (2000). Pemasaran yang Efektif Bagi Beras Produksi Dalam Negeri. Warta Intra BULOG, No. 11/Th.XXV/ Juni 2000
Siregar, M . (2000). Pasokan Beras ke ASEAN Meningkat. Warta Intra BULOG, No. 12/Th.XXV/ Juni 2000
Siregar, M . (2000). Harga Dasar Gabah sebagai Harga Transaksi. Warta Intra BULOG, 12/Th.XXV/ Juni 2000
Stoep, J.V.D. dan Bas Kee (1997). Hypermobility as a Challenge for Systems Thinking and Goverment Policy. Syst. Res. Behav. Sci. Vol 14. Hal. 399-408
Subroto, B., Maqdisa dan Imam Budi. (2000). Situasi Pasar Gabah dan Beras di Indonesia pada Kuartal I Tahun 2000. Warta Intra BULOG, No. 11/Th.XXV/Juni 2000
Sudaryanto, T., Benny Rachman dan Sjaeful Bachri (2000). Arah Kebijakan Distribusi/perdagangan Beras Dalam Mendukung Ketahanan Pangan : Aspek Perdagangan Luar Negeri. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI
Suwarno. (2000). Pengadaan Beras/Gabah Dalam Paradigma Baru BULOG. Warta Intra BULOG, No. 1l/Th.XXV/ Juni 2000.
Syaifulrachim. (2000). Produksi, Perdagangan Biji-bijian Dunia dan Perkembangan Harga Komoditi di Luar Negeri Bulan Nopember 1999. Warta Intra BULOG, No- 06/Th.XXV/Januari 2000
Taff, A.C. (1988). Manajemen transportasi dan distribusi fisis (terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta.
Tampubolon, S.M.H. (2000). Arah Kebijakan/Program Divertifikasi Pangan dalam Ketergantungan Pada Beras : Aspek Produksi/Suplai. Makalah Seminar-Lokakarya, 14-15 Maret 2000 Bogor kerjasama PSKPG LP- IPB dengan Deptan RI
Waries, Abdul (2004). Kondisi dan Permasalahan Pengolahan Padi di Indonesia. Makalah seminar, “Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi”. Bulog. Jakarta.
Woodford, K.B. (1999). Modelling system dynamics for new pastoral industries. The
proceeding of the 17th Internasional Confence of the system Dynamics Society and
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada tahun 2011, Indonesia dengan sekitar 237,56 juta penduduk
negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia setelah Cina, India dan
Amerika Serikat. Hampir separuh dari jumlah penduduk tersebut (sekitar 110 juta jiwa)
berada di Pulau Jawa, dan selebihnya tersebar di empat pulau besar (Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua Barat) dan di ratusan pulau kecil lainnya.
Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang tersebar tersebut sangatlah besar dan
untuk itu diperlukan sejumlah besar bahan pangan, terutama beras, yang harus tersedia
sepanjang tahun, di setiap lokasi dengan mutu yang baik dan harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat. Akan tetapi, karena beras adalah komoditas yang bersifat musiman dan yang
volume produksinya berfluktuasi mengikuti musim maka pada musim panen raya,
produksinya melimpah, dan sebaliknya pada saat musim tanam, produksi menurun. Dari
sinilah muncul persoalan klasik mengenai kecukupan pangan dan distribusi pangan, terutama
beras.
Beras merupakan produk pertanian yang sangat penting di Indonesia baik sebagai
makanan pokok bagi penduduknya maupun sebagai komoditas perdagangan. Sebagai
makanan pokok, beras harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang besar untuk mencukupi
kebutuhan harian penduduk di seluruh pelosok negeri. Dilain pihak, sebagai komoditas
perdagangan, beras diproduksi oleh berjuta-juta petani dan diperdagangkan oleh banyak
pihak, serta melibatkan banyak pelaku, terutama pemerintah. Selain itu, beras sering dikaitkan
dengan kondisi sosial politik dan stabilitas nasional (Mulyono, 1999).
Berdasarkan sensus pertanian 2007, beras di Indonesia diproduksi oleh sekitar 25 juta
rumah tangga petani, yang sekitar 52,7 persen di antaranya adalah petani kecil dengan lahan
(milik sendiri atau sewa) kurang dari 0,5 Ha / keluarga. Sensus tersebut juga menunjukkan
bahwa jumlah petani gurem meningkat dari sekitar 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7
juta jiwa pada tahun 2007. Jumlah petani tersebut mencapai 44 persen dari total angkatan
kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Lebih dari separuhnya merupakan petani gurem
dan buruh tani dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar atau mencapai 38 juta keluarga
2
Kebutuhan penduduk Indonesia akan beras selalu meningkat, sementara produksi
dalam negeri berfluktuasi, sehingga hampir setiap tahun harus didatangkan beras impor untuk
menutupi kekurangannya. Kontinyuitas pasokan, ketepatan waktu tanam, efisiensi produksi,
dan permodalan dengan demikian sangat mempengaruhi ketersediaan beras di masyarakat
(Arifin, 1997).
Sebagai contoh, produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) pada tahun
1996 mencapai 51,10 juta ton, kemudian menurun pada tahun 1997 dan 1998 sampai
masing-masing mencapai 49,37 juta ton dan 49,26 juta ton, dan meningkat lagi pada tahun 1999
mencapai 50,86 juta ton. Dalam kurun waktu tersebut telah terjadi penurunan produktivitas
lahan, dari nilai pada tahun 1997 sebesar 4,43 ton/ha menjadi 4,19 ton/ha dan 4,25 ton/ha
berturut-turut pada tahun 1998 dan 1999. Penurunan tersebut antara lain disebabkan turunnya
rendemen GKG ke beras yang cukup besar yaitu dari 63,2 persen pada tahun 1996, menjadi
maksimum 62,0 persen pada tahun 1998.
Sampai penghujung tahun 1998, perdagangan beras di Indonesia diatur oleh
pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diberi mandat untuk menjalankan
fungsi pengadaan, pemindahan stok, penyimpanan dan penyaluran. Pada saat produksi
melimpah, misalnya, Bulog melakukan pembelian (pengadaan dalam negeri) kemudian
menjualnya pada masa paceklik, dengan operasi pasar. Bila produksi dalam negeri kurang,
maka Bulog melakukan impor.
Saat ini dengan diberlakukannya mekanisme pasar bebas, peran Bulog menjadi sangat
terbatas. Antara lain Bulog masih melakukan operasi pasar bila terjadi kelangkaan beras atau
lonjakan harga, tetapi tidak lagi memonopoli hak untuk mengimpor. Terlebih lagi dengan
tidak tersedianya KLBI (Kredit Lunak Bank Indonesia), Bulog harus menggunakan dana
dengan bunga komersial untuk membeli beras dari petani dalam rangka mengamankan harga
beras.
Sebagai akibatnya sebagian besar petani Indonesia menderita dua kesulitan sekaligus.
Dari segi sarana produksi mereka harus membayar mahal, sedangkan dari segi produksi
mereka tidak dapat memperoleh harga jual yang layak. Mereka terpaksa menjual sebagian
besar produk mereka pada saat panen dengan harga rendah. Program pemberdayaan petani
yang dapat membuat para petani mampu menahan produknya (tidak menjual pada saat panen)
3
seyogyanya mampu mengolah hasil panennya agar umur simpannya bertambah dan peluang
mendapatkan nilai tambah meningkat. Artinya kehadiran lembaga seperti BULOG yang dapat
berperan dalam pendistribusian beras dari sentra produksi ke sentra konsumen dengan efektif
dan efisien masih dibutuhkan.
Kecenderungan pemerintah mengatur perdagangan beras tidak hanya terjadi di
Indonesia, melainkan juga terjadi di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
mengkonsumsi beras. Alasan utama mereka adalah untuk menjadi negara yang
berswasembada beras dan untuk menjaga kestabilan harga. (Amang dan Sawit, 1999 )
Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Pada saat
terjadi penurunan produksi dari tahun 1996 sebesar 3,4 persen (1997), pemerintah
meningkatkan impor sampai 480 persen (1998) dan ketika produksi meningkat lagi 3,25
persen pemerintah menurunkan impor dari tahun sebelumnya hanya sebesar 31 persen.
Dengan demikian, pola pengaturan perdagangan beras oleh pemerintah belum jelas arahnya,
apalagi importir swasta juga sangat berperan (Amang dan Sawit, 1999; Tabor dan Soekirman,
2000).
Pemerintah ingin tetap mengontrol harga beras dalam negeri dengan cara mengimpor
dalam jumlah besar, meskipun mengalami kesulitan akibat krisis moneter dan kemudian
berlanjut ke krisis pangan karena berlangsung bersamaan dengan kemarau panjang akibat El
Nino. Pada tahun 1998, pemerintah mengalami kesulitan impor beras karena keterbatasan
devisa dan diperburuk oleh tidak dipercayanya letter of credit (LC) yang dikeluarkan oleh
Bank di Indonesia di luar negeri sehingga impor pangan sebagian besar berasal dari hutang
lunak (soft loan) dan bantuan cuma-cuma negara sahabat. Sisanya berasal dari impor
komersial (Amang dan Sawit, 1999).
Tujuan impor beras dalam jumlah besar adalah untuk menumpuk stok kemudian
memasok ke pasar pada tingkat harga 50-60 persen lebih rendah dari harga paritas. Namun
harga beras dalam negeri tetap tidak mampu dikendalikan, sementara inflasi terus meningkat.
Kebijakan konvensional berupa manajemen stok dan penyaluran tidak mampu lagi
membendung kenaikan harga beras dalam negeri, karena kenaikan harga beras dalam negeri
lebih dominan ditentukan oleh pengaruh merosotnya nilai rupiah yang selama ini tidak pernah
4
Kebijakan di atas dinilai gagal karena biayanya sangat mahal (yang harus ditanggung
oleh produsen) dan tidak adil terhadap pihak konsumen yang berpendapatan rendah
(kelompok miskin). Subsidi harga umum 1997/98 – 1998/99 diperkirakan mencapai Rp. 14
triliun yaitu dengan menjual beras 60 persen lebih murah dari harga border ( Sawit, 2000).
Produser padi yang umumnya petani dengan lahan sempit dan miskin menanggung
beban nasional, sehingga kebijakan tersebut telah memperburuk distribusi pendapatan di
perdesaan. Implikasi lain dari kebijakan subsidi harga ini ternyata tidak efektif dalam
mencegah terjadinya kerawanan pangan dalam negeri (Sawit, 2000).
Petani sebagai produsen beras seharusnya memiliki kemampuan untuk mengolah hasil
pertaniannya sekaligus mendapatkan informasi yang jelas tentang kapan dan apa yang
sebaiknya ditanam, dalam jumlah berapa, serta akan dijual kemana hasilnya nanti setelah
diolah, tetapi dalam kenyataannya mereka belum memiliki hal-hal tersebut.
Keinginan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan beras sebanyak 52 juta ton
GKG per tahun perlu dipertahankan. Namun, apabila jumlah tersebut sudah terpenuhi dengan
perbaikan sistem produksi sedangkan beras impor masih dijumpai masyarakat di wilayah lain
yang sulit mendapatkan beras, maka berarti ada faktor lain yang mempengaruhi ketahanan
pangan.
Beberapa sub sistem yang mempengaruhi ketahanan pangan, adalah (1) sub sistem
penunjang (sarana dan pra sarana), (2) sub sistem ketersediaan pangan (produksi), (3) sub
sistem konsumsi dan (4) subsistem distribusi (Suryana, 2001). Selain itu, pada kesempatan
seminar Ketahanan pangan di Yogyakarta, Menteri Pertanian Bungaran Saragih menegaskan
adanya tiga masalah utama ketahanan pangan, yaitu (1) kemiskinan, (2) distribusi dan (3)
kurangnya perlindungan pemerintah terhadap kepentingan petani padi (Pidato Mentan, 28/6/
03).
Distribusi adalah salah satu variabel penentu keberhasilan dalam konsep marketing
mix selain produk, harga dan promosi (Santoso, 1999). Distribusi menjadi semakin penting
untuk produk yang bersifat musiman, cepat rusak dan yang diproduksi oleh banyak produsen
berskala kecil seperti beras.
Distribusi memiliki pengertian pemindahan produk agar terjangkau oleh seluruh
masyarakat di seluruh wilayah, baik secara fisik maupun secara ekonomi dari waktu ke waktu.
Dengan adanya sistem pendistribusian produk diharapkan akan terjamin aksesibilitas antar
5
Menyerahkan sepenuhnya sistem distribusi beras kepada mekanisme pasar bebas dapat
berakibat pada tertekannya posisi produsen (petani) akibat lemahnya daya tawar mereka. Oleh
karena itu intervensi pemerintah (regulasi) sampai batas tertentu masih sangat dibutuhkan
agar petani tidak selalu dalam posisi lemah. Ketidak mampuan petani untuk menterjemahkan
meningkatnya jumlah produksi menjadi peluang-peluang yang menguntungkan merupakan
bukti kegagalan sistem pemasaran tradisional dalam menyesuaikan diri terhadap cepatnya
perubahan kondisi ekonomi. Peran pemerintah untuk melindungi para petani terutama dalam
keadaan sulit tetap diperlukan denga melakukan intervensi sampai derajat tertentu asalkan
tetap berpegang pada aturan main yang berlaku (Arifin, 1997).
Perbaikan sistem pemasaran hasil pertanian harus menjadi prioritas dalam
pembangunan sektor pertanian. Tanpa perbaikan sistem pemasaran (termasuk didalamnya
sistem distribusi) produksi komersial tidak akan dapat dikembangkan. Kondisi di atas
mendorong perlunya dikembangkan sistem distribusi yang dapat menjamin ketersediaan beras
di setiap daerah pada setiap saat dan adanya pembagian margin yang adil bagi setiap pelaku
pemasaran produk pertanian yaitu dari produsen sampai ke konsumen.
Pengembangan sistem di atas dapat dilakukan secara efisien dengan terlebih dahulu
membangun model yang dapat dijalankan mengikuti berbagai skenario mewakili kurun waktu
tertentu. Pendekatan tersebut dikenal sebagai pendekatan simulasi yang dapat menghindarkan
pembuat model dari konsekuensi aktual apabila pada saat dijalankan model memberikan
hasil-hasil yang menyimpang. Sampai saat ini belum tersedia model distribusi beras yang
dapat digunakan untuk mernprediksi berbagai ketidak seimbangan pasokan dan permintaan
beras di berbagai wilayah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan model dinamis sediaan beras di Indonesia.
Model sediaan beras ini dirancang-bangun agar dapat digunakan untuk memprediksi
keberadaan beras di setiap subsistem distribusi dan dapat dijadikan sebagai salah satu alat
manajemen untuk keperluan pengendalian sistem maupun antisipasi terhadap perubahan
6 Ruang lingkup
Ruang lingkup penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:
1. Distribusi beras dari produsen sampai ke konsumen dengan mengambil sampel di pulau
Jawa.
2. Sediaan beras pada setiap mata rantai saluran distribusi beras.
3. Pengembangan model sistem dinamis sediaan beras menggunakan perangkat lunak ithink.
4. Model sistem dinamis yang dibangun bersifat agregat Indonesia.
Asumsi
Adapun asumsi-asumsi yang dipergunakan di dalam studi ini dicantumkan di dalam
tabel berikut ini.
Tabel 1. Daftar asumsi
No Variabel/parameter Nilai Keterangan
1 Luas Lahan panen tahun 2011 12,883 Juta Ha
2 Persen perubahan luas sawah 0,75 % / th
3 Produktivitas rata-rata 4,944 Ton GKG/ha
4 Benih 2,5 %
5 Susut pasca panen 4,5 %
6 Jumlah RT petani 41 juta orang
7 Porsi gabah petani yang dijual ke
pengumpul
60 – 70 %
8 Porsi gabah petani yang dijual ke
Koperasi
10 – 20 %
9 Porsi gabah petani yang dijual ke
penggiling
5 – 10 %
10 Porsi gabah petani yang dijual ke
Bulog
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Distribusi
Distribusi adalah upaya untuk menghantarkan produk (barang dan jasa) ke
tempat-tempat yang paling mudah untuk dijangkau konsumen, pada saat yang tepat. Distribusi
merupakan kegiatan yang tidak menimbulkan nilai tambah secara langsung kepada barang
dan jasa tetapi mutlak diperlukan. Barang dengan kualitas baik yang gagal disampaikan ke
tangan konsumen pada saat yang tepat pada akhirnya tidak akan mendatangkan keuntungan.
Sistem distribusi didefinisikan sebagai rangkaian dan keterkaitan secara menyeluruh
dari sub-sub sistemnya yang mencakup sub sistem utama yaitu bahan, fasilitas, manusia dan
lingkungan. Sub sistem bahan yang harus diperhatikan yaitu unsur mutu, jumlah, waktu,
harga dan jenisnya. Sub sistem distribusi perlu didukung oleh fasilitas bangunan, alat angkut,
jalan, alat komunikasi dan pasar. Sistem distribusi juga selayaknya ditunjang oleh adanya
sumberdaya manusia yang handal, cakap, terampil bersikap baik dan berpengetahuan. Sub
sistem lingkungan yang terdiri dari lingkungan mikro dan makro memberikan kontribusi
kelancaran sistem distribusi (Anwar, 1998).
Dalam kaitannya dengan beras, distribusi terkait dengan tingkat kualitas beras yang
ternyata berbeda-beda untuk pasar lokal, pasar supermarket, dan pasar stok nasional
Seringkali beras ditolak di pasar karena derajat sosoh kurang dari 90 persen (Suwamo, 2001).
Kualitas tersebut sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku, mesin pengolah, dan manusia
sebagai pengelolanya.
Di samping subsistem bahan sebagai penentu sistem distribusi, fasilitas merupakan
unsur pendukung yang sangat penting. Jika suatu daerah tidak terhubung jaringan transportasi
dengan daerah lainnya atau biaya transportasi sangat tinggi, maka daerah tersebut terpaksa
menggantungkan dirinya pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri.
Beras sebagian besar diangkut dengan kapal laut yang mencakup lebih dari 80 persen
total pemindahan beras antar daerah. Di daerah Kalimantan distribusi beras banyak dilakukan
melalui sungai. Distribusi melalui darat menggunakan truk biasa dilakukan untuk pemindahan
antar sub Dolog atau antar Dolog yang prasarana angkutan daratnya memadai (Amang dan
Sawit, 1999).
Transportasi berkaitan erat dengan pergudangan karena keduanya meningkatkan
8
barang dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak memilikinya. Di lain pihak, penyimpanan
memungkinkan barang disimpan sampai pada saat dibutuhkan yang berarti menciptakan
manfaat waktu. Sistem distribusi mencakup transportasi dan penyimpanan. Sistem distribusi
yang baik dapat menjamin terjadinya pengiriman barang secara efisien (biaya murah dan tepat
waktu), sekaligus menjamin tersedianya persediaan yang mencukupi kebutuhan untuk setiap
sentra konsumen (Nasution, 2000).
Distribusi beras di Indonesia diatur oleh pemerintah, karena karakteristik kegiatan
produksi dan pemasarannya tidak sama dengan produk dari sektor industri dan jasa. Sejak
tahun 1983, program peningkatan produksi padi dalam negeri mengalami keberhasilan,
sehinggap roduksi dan persediaan beras mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sudah lama
pemerintah memiliki kebijakan untuk melindungi pendapatan riil Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dan Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia (ABRI), oleh karenanya sebagian upah PNS dan
ABRI diberikan dalam bentuk natura (beras), sekaligus kebijakan distribusi ini difungsikan
sebagai outlet penyaluran untuk persediaan Bulog dalam rangka mempertahankan harga dasar
untuk merangsang pertumbuhan produksi. Bulog pada prinsipnya didirikan untuk
menguntungkan produsen dan sekaligus tidak merugikan konsumen (Amang dan Sawit,
1999).
Pada dasarnya ada empat golongan distribusi yang pada waktu itu dilayani oleh Bulog
yaitu golongana anggaran (PNS dan ABRI), BUMN, Operasi Pasar Murni (OPM) dan
distribusi lain-lain. Distribusi tersebut ada yang memiliki kepastian dalam jumlah seperti
distribusi untuk PNS dan ABRI ada juga yang tidak memiliki kepastian seperti untuk OPM
yang ditujukan untuk menjaga batas harga beras tertinggi. Distribusi lain-lain yang dimaksud
adalah untuk persediaan bencana alam dan sejenisnya.
Namun sejak tahun 2000 pemerintah merubah struktur Bulog dan melalui Keppres No
29/2000 ditegaskan bahwa tugas Bulog adalah melaksanakan tugas umum Pemerintah dan
pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan distribusi dan
pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini Bulog dapat memainkan dua peranan yaitu pengamanan harga gabah
dan subsidi beras ke kelompok sasaran. Disamping ini, monopoli Bulog atas distribusi beras
telah dihentikan sehingga Bulog harus mencari pelanggan baru yang dikenal dengan istilah
effective marketing yaitu membeli beras dengan mutu baik, merawat dengan lebih baik, dan
9 Beras
Beras adalah produk utama hasil penggilingan gabah kering. Beras merupakan salah
satu di antara tiga jenis biji-bijian terpenting di dunia, di samping gandum dan jagung. Di
Indonesia sekitar 95 persen penduduk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, sehingga
kebutuhan Indonesia terhadap beras sangat besar. Kebutuhan ini secara nasional hampir dua
setengah kali jumlah beras yang beredar di pasar dunia. Tabel 1 menunjukkan perkembangan
produksi beras di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2011. (BPS, 2009).
Tabel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011)
Tahun Luas Panen
Keterangan: GKG = Gabah Kering Giling. Konversi GKG ke beras = 63,2 (sampai th 2007) Konversi GKG ke beras = 62,74% (sejak 2009)
Beras diperoleh dari tanaman padi (Oryza) yang terbagi menjadi dua jenis spesies
utama yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Jenis yang paling banyak ditanam di seluruh dunia
adalah O. sativa, yang berasal dari daerah tropis Asia dan memiliki ribuan sub species. O.
10
Pihak yang terlibat dalam budidaya dan perdagangan beras membedakan beras
berdasarkan kriteria yang berbeda. Kelompok pemulia tanaman (breeder) mengelompokkan
beras ke dalam tiga varietas yaitu Indika, Javanika dan Japonika. Jenis Indika tersebar
didaerah tropis berkelembaban tinggi, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Jenis Javanika yang
berbiji gemuk dan berbatang tinggi tersebar di sebagian Asia dan kepulauan terdekat meliputi
Indonesia, Filipina, Jepang, dan Taiwan, sedangkan jenis musim dingin Japonika, semula
dikembangkan di lembah sungai Yangse di China kemudian pertama kali diperkenalkan ke
Korea, Jepang dan belakangan ke Eropa Selatan, Rusia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan
(FAO, 2006).
Kelompok pedagang beras (traders), di lain pihak, menggunakan bentuk biji atau
kernel untuk membedakan varitas. Bentuk kernel tersebut sangat penting dalam perdagangan
internasional karena untuk setiap kegunaan memerlukan bentuk kernel yang spesifik.
a. Long grain rice. Beras ini mempunyai bentuk kernel panjang dan ramping yang
akanmenghasilkan nasi yang kering dan lepas-lepas (pera). Jenis ini disukai di Eropa,
Amerika Utara dan Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.
b. Medium grain rice. Beras ini memiliki bentuk kernel panjang dan gemuk, yang akan
menghasilkan nasi lebih pulen (sticky and softer). Ini merupakan jenis yang disukai di
RR Cina, Jepang, Korea,Italia dan Spanyol.
c. Round grain rice. Beras ini berbentuk kernel mendekati bulat. Jenis ini juga disukai di
daerah yang menyakai medium grain rice.
Pada umumnya data statistik konsumsi dan perdagangan padi dinyatakan dalam
bentuk beras. Sebaliknya data produksi pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jumlah
gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan faktor
konversi gabah ke beras atau sebaliknya maka dua jenis data tersebut dapat dengan mudah
dimanfaatkan.
11
Beras dan gabah di Indonesia secara tradisional dipasarkan dari petani ke konsumen
melalui beberapa saluran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Saluran tataniaga ini
tidak mengalami banyak perubahan sampai saat ini.
Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional (BULOG, 1993)
Beras dikumpulkan dari sejumlah petani yang masing-masing menjual hasil panennya
kepada sejumlah pedagang perantara, penggilingan padi dan koperasi. Petani pada umumnya
tidak mempunyai dana dan fasilitas untuk mengolah atau menyimpan hasil panennya sehingga
harus cepat-sepat melepas produknya pada saat panen. Akibatnya petani tidak mempunyai
daya tawar yang cukup kuat. Apalagi pada umunnya mereka telah terikat kepada pedagang
12
Variasi saluran pemasaran gabah dari petani ke pihak lain sampai menjadi beras di
tangan konsumen dapat terjadi di setiap wilayah. Sebagai contoh, Gambar 2 memperlihatkan
saluran pemasaran gabah dan beras di beberapa kabupaten.
Keterangan Kabupaten: 1=Indramayu, 2=Majalengka, 3=Klaten, 4=Kediri, 5=Ngawi, 7=Sidrap
Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten, 2002. (Rusastra dkk., 2002)
Pengaruh Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan telah mengubah peta produksi pangan dan peta impor
pangan. Pasokan pangan termasuk beras bergeser dari negara-negara LDC (less Developing
Countries) ke DC (Developed Countries). Laju impor pangan/ beras Negara – Negara LDC
semakin meningkat, sedangkan laju ekspor negara-negar DC semakin pesat akibat dari
terbukanya pasar yang selama ini ditutup dengan berbagai cara seperti adanya hambatan TB
13
Liberalisasi perdagangan juga telah menyebabkan surplus di sejumlah negara seperti
Uni Eropa, AS, Kanada dan Australia. Pada umumnya surplus tersebut dilempar ke pasar
dunia sehingga menyebabkan harga terus merosot. Penurunan harga tersebut tentu telah
menguntungkan konsumen secara global tidak terkecuali konsumen di negara-negara miskin
yang menikmati penurunan harga ini. Sebaliknya terjadinya penurunan harga bagi petani
berskala sempit seperti Jepang, Korsel, Indonesia yang luas usaha taninya tidak lebih dari 1,5
Ha, tidak akan mampu bersaing dengan petani AS/Kanada/Australia yang rata-rata luas usaha
taninya 100 - 200 Ha/petani.
Negara-negara terakhir ini di samping telah menggunakan teknologi produksi yang
cukup efisien, mereka juga diperkuat oleh infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang
cukup baik dan efisien, sehingga mereka mampu menghemat biaya pemasaran/ekspor.
Kecuali Jepang, Taiwan dan Korsel, pada umumnya negara-negara importir beras didukung
oleh infrastruktur pertaniannya yang buruk terutama untuk pengolahan dan distribusi hasil,
sehingga telah meningkatkan ongkos transaksi seperti kerugian akibat kerusakan, waktu
menunggu dan sebagainya, yang akhimya meningkatkan ongkos pemasaran atau perdagangan
sehingga berpengaruh kepada nilai jualnya (Sawit, 2000).
Posisi perdagangan beras dalam kerangka GATT atau WTO sangat unik mengingat
kompleksnya masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan
politik suatu negara. Dalam perdagangan beras dunia Indonesia mengikuti ketentuan GATT
dengan melakukan tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani.
Kesepakatan GATT atau WTO masih memberi kesempatan Indonesia untuk memberlakukan
tarif impor untuk komoditas beras. Bea masuk impor yang diperbolehkan adalah 90 persen
untuk volume impor hingga 70 ribu ton dan 160 persen untuk volume impor diatas 70 ribu
ton. Dengan demikian, sambil mempelajari perkembangan harga internasional dan dalam
upaya meningkatkan daya saing beras di pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan
strategi pembatasan beras impor melalui pemberlakuan tarif, sehingga harga paritas impor
beras setara dengan harga beras domestik (Sudaryanto, et al.,, 2000).
Dalam satu dekade terakhir, volume beras yang diperdagangkan meningkat sekitar 2
kali lipat dibandingkan pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984 misalnya, volume beras
yang diperdagangkan hanya 11,7 juta ton, kemudian naik menjadi 19,3 juta ton tahun 1994.
Volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia pada tahun 1999 menjadi 25,2 juta ton.
14
dibandingkan dengan periode 1984-1995 yaitu masing-masing tumbuh 1,99 persen/tahun dan
5,25 persen/tahun (Sawit, 2000).
Pasar beras internasional masih belum berubah dari pasar tipis (thin market), yaitu
pasar yang perdagangannya didominasi oleh sekitar enam negara eksportir penting dan tetap
belum dapat disebut sebagai pasar persaingan bebas. Harga beras pasar dunia di masa
mendatang tetap masih tidak stabil, dan pada tahun 2000 harga beras kualitas sedang tetap
rendah yaitu sekitar US$ 190/ton.
Dalam kaitan itulah maka untuk negara yang berpenduduk banyak seperti Indonesia,
ketahanan pangan nasional dan pengurangan jumlah orang miskin hanya mungkin dapat
dicapai serta resikonya lebih kecil apabila Indonesia mampu meningkatkan produktivitas dan
efisieni produksi beras, dan tidak terlalu banyak bergantung pada beras impor. Angka impor
beras yang aman untuk Indonesia oleh karena itu tidak boleh melebihi 5 persen dari jumlah
produksi dalam negeri dan harus ditangani dengan lebih serius di masa mendatang. Misi
seperti ini jelas akan sangat berat bila ditimpakan kepada satu sektor atau satu departemen
teknis saja seperti Departemen Pertanian. Ini adalah tugas nasional dan harus dipikul oleh
banyak pihak dalam kerangka memperkuat ketahanan pangan nasional (Sawit, 2000).
Perkembangan Pasar Beras Dalam Negeri
Sasaran kebijakan pangan merupakan bagian dari sasaran pembangunan nasional yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Konsisten dengan hal tersebut, maka sasaran kebijakan pangan dapat digolongkan
sebagai berikut.
(i). Meningkatkan produksi pangan sampai dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri
(aspek kecukupan)
(ii). Meningkatkan pendapatan petani tanaman pangan (aspek pendapatan),
(iii). Mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah dalam waktu
dan jumlah yang cukup serta dalam batas harga yang layak bagi masyarakat (aspek
stabilitas harga, dan
15
Usaha yang berkaitan dengan sasaran tersebut dilakukan secara serentak. Yaitu, di
bidang peningkatan produksi sebagai komoditas pangan yang bersumber dari nabati maupun
hewani, pengendalian konsumsi terutama yang berhubungan dengan kecukupan dan mutu
gizi, serta kelancaran distribusi untuk menjamin tersedianya pangan secara merata di berbagai
tempat (Amang dan Sawit, 1999).
Gabah produksi dalam negeri yang dibeli oleh pemerintah adalah gabah kering giling
yang harus memenuhi persyaratan yang ditentukan seperti dipaparkan dibawah ini.
1. Persyaratan umum
a. Bebas hama dan penyakit yang hidup; yaitu ada tidaknya kehadiran hama (serangga hama,
ulat, dan sebagainya) dan/atau penyakit (cendawan dan sebagainya) yang hidup dan
terdapat pada contoh gabah yang diperiksa. Bebas hama/penyakit berarti secara visual
tidak ditemui hama/penyakit yang hidup dalam contoh gabah yang diperiksa (contoh
primer).
b. Bebas bau busuk, asaln atau bau-bau asing lainnya, yaitu bau yang dapat ditangkap oleh
indra penciuman (hidung) pada contoh gabah yang diperiksa. Bau yang ditolak adalah bau
busuk, asam atau bau-bau asing lainnya yang jelas berbeda dengan bau gabah yang sehat.
c. Bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan baik secara visual
maupun secara organoleptik yaitu, sisa-sisa bahan kimia seperti pupuk, insektisida,
fungisida dan bahan-bahank imia lainnya yang membahayakan kesehatan/
keselamatmaann usia.
Indonesia termasuk negara berkembang yang sangat berani dalam mengarahkan
kebijaksanaan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Hal ini ditandai dengan
16
(a) Ikut sertanya Indonesia dalam meratifikasi kesepakatan perdagangan baik dalam konteks
global (WTO) maupun regional (APEC, AFTA, dll);
(b) Sejalan dengan butir (a) deregulasi sektor perdagangan domestik telah ditakukan dengan
sangat dalam dan meluas. Sejalan dengan arah perdagangan secara umum, perdagangan
beras Indonesia juga telah menunjukkan perubahan yang fenomenal. Di masa lalu,
sebagai bagian dari kebijaksanaan stabilitas harga dasar dalam negeri, Bulog memegang
monopoli dalam impor beras Indonesia. Dengan kewenangan tersebut, BULOG dapat
mengatur kapan dan berapa harus mengimpor beras untuk mengamankan cadangan
beras dalam negeri. Dengan demikian pengaruh fluktasi harga Internasional terhadap
harga beras dan gabah dalam negeri dapat dihindarkan. Hasil analisis menunjukan
bahwa koefisien variasi harga beras di pasar dunia lebih tinggi (23 persen ) dari
koefisien variasi harga beras dalam negeri (9 persen). Dalam hal ini Bulog berhasil
mengendalikan harga beras dan gabah dalam negeri (Sudaryanto, et al., ,2000).
Impor beras bukan hal yang baru bagi Indonesia akan tetapi volumenya sangat kecil
pada tahun 1980-an. Indonesia adalah salah satu Negara yang berhasil dalam memacu
produksi padi selama awal revolusi hijau tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an. Namun
demikian sejak 1990-an, suplai beras dalam negeri tidak lagi dianggap mampu memenuhi laju
permintaan beras dalam negeri karena meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk, yang
berakibat impor beras terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 1985-1990, impor
beras per tahun rata-rata mencapai 101 ribu ton, tetapi sejak tahun 1991 impor beras telah
mencapai angka yang lebih tinggi. Pada tahun 1992 mencapai 634 ribu ton. Impor beras
dihentikan pada tahun 1993, karena diramalkan bahwa produksi dalam negeri akan
mencukupi kebutuhannya, tetapi ramalan tersebut ternyata meleset akibat kemarau panjang
tahun 1993-1994, sehingga pada tahun 1995 impor melonjak menjadi tiga juta ton (Sawit,
2000)
Sebagai bagian dari paket kebijakan pemerintah dalam perberasan pada Desember
1998 peran monopoli Bulog dalam hal impor beras dihapuskan sehingga importir swasta
dapat mengimpor beras sesuai dengan mekanisme pasar. Pada tahun 1999, impor beras oleh
pihak swasta telah memegang peran 64 persen dari total impor. Stok beras yang berlebih
17
ini, walaupun bea masuk telah ditetapkan sejak Januari 2000. Dampak penetapan tarif impor
beras adalah sebagai berikut.
1. Atas dasar kesepakatan IMF, ditetapkan tarif impor beras Rp. 430/kg atau setara dengan
30 persen. Dari perspektif makro, pengenaan tarif impor beras tidak bersifat inflatoir.
Setiap kenaikan 1 persen tarif impor beras hanya akan menaikkan harga beras domestik
sebesar 0,04 persen, sehingga bea masuk sebesar 30 persen hanya meningkatkan harga
beras domestik 1,2 persen dengan sumbangan inflasinya sebesar 0,07 persen. Suatu
indikasi bahwa penetapan tarif berdampak sangat kecil terhadap inflasi dan relatif tidak
mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Hal senada diungkap oleh Dawe (1999)
bahwa bea masuk 25 persen tidak akan berdampak inflasi, sedangkan bea masuk 30
persen hanya menaikan harga beras domestik 5 persen serta dampak inflasi 0,32 persen.
2. Dengan penetapan tarif impor yang realistik dan efektif, maka harga beras domestik
relatif stabil dan petani dapat menikmati harga dasar gabah yang diberlakukan karena
mereka masih berstatus net producer dengan mengkonsumsi sekitar 20 - 60 persen dari
total produksinya.
3. Manfaat lain yang timbul dengan diberlakukannya kebijaksanaan tarif impor beras adalah
(a) peningkatan pendapatan petani dan produksi beras nasional, (b) tercapainya tingkat
harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah, (c) stabilitas harga dalam negeri, dan (d)
mengurangi beban anggaran pemerintah untuk pengamanan harga dasar gabah.
4. Elastisitas produksi terhadap harga gabah sebesar 0,04 persen. Hal ini mengindikasikan
bahwa petani merespon untuk meningkatkan produksi melalui perbaikan manajemen
usahatani yang disebabkan oleh kenaikan harga gabah (Sudaryanto et al., 2000).
Beras juga harus dipandang sebagai bahan semi publik, karena tidak saja berfungsi
sebagai bahan privat, tetapi juga barang publik. Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh
komoditas beras dan juga lahan sawah. Beras memberikan sumbangan besar terhadap ketahan
pangan, stabilitas ekonomi, dan lapangan kerja. Sementara itu sawah juga memberikan andil
yang juga sangat banyak seperti sebagai penyerap air, pencegah erosi, pengatur suhu udara,
produsen udara segar, diversitas biota, pemandangan indah, dan penahan arus urbanisasi
(Sawit, 2000).
Konsumsi beras dalam negeri terus meningkat terutama didorong oleh pertumbuhan
18
bawah. Pada tahun 2000 diperkirakan konsumsi beras telah mencapai 35 juta ton. Sayangnya,
produksi gabah cenderung menurun dan variasi pertumbuhan produksi gabah semakin besar
khususnya dalam 1990-an sehingga menyebabkan ketidakstabilan pasokan gabah dalam
negeri. Demikian juga rendemen gabah ke beras semakin menurun sehingga berpengaruh
negatif pada persediaan beras dalam negeri.
Stagnansi pertumbuhan produksi padi/beras diindentifikasikan oleh Dillon et al.,
(1999) sebagai berikut (a) Stagnasi dan degradasi teknologi, (b) kesuburan tanah yang
semakin merosot, (c) kejenuhan intensitas tanam, (d) Rendemen penggilingan yang semakin
menurun, (e) Serangan hama dan penyakit, dan (f) Iklim yang tidak normal.
Oleh karena itu masih banyak peluang untuk memacu produksi beras ke tingkat yang
lebih tinggi apabila kita semua serius memecahkan konstrain tersebut dan perlu dilaksanakan
secara terencana dan serius.
Perkembangan politik dan ekonomi yang semakin membaik belakangan ini,
diharapkan memberikan kesempatan dan peluang untuk diversifikasi produksi
pangan/padi/beras yang lebih besar, terutama dipacu oleh mekanisme pasar. Faktor yang perlu
diperhatikan adalah agar tidak ada lagi intervensi pasar yang distortif dan harus ada
pengawasan secara transparan melalui berbagai lembaga pengawasan yang sudah ada
termasuk DPR-MPR.
Menurut Tampubolon (2000) dalam kondisi yang lebih terbuka ini, ada beberapa
faktor yang patut diperhitungkan yang akan mempengaruhi produksi beras dalam negeri
sebagai berikut.
1. Pengaruh sisi permintaan terutama yang berkaitan dengan selera. Dengan
membaiknya ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, akan ada perubahanyang
sangat berarti dalam konsumsi beras dari segi jumlah dan mutu. Petani akan lebih berorientasi
pada peningkatan pendapatan, dari pada peningkatan produksi.
2. Faktor kemampuan alamiah juga patut dipertimbangkan. Tidak banyak lagi lahan
tersedia untuk dikembangkan menjadi lahan sawah beririgasi yang produktif. Jika
mengandalkan impor juga dimasa depan akan menimbulkan banyak masalah dan mahal.
3. Gerakan produksi beras dan konsumsi beras, serta program diversifikasi pangan
dimasa depan akan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh kita berhasil dalam mengembangkan
sistem perdagangan yang canggih pada komoditas pertanian agar nilai tambah dari
19
Penentuan kebutuhan beras bagi Indonesia pada saat ini dilakukan dengan
menggunakan rumus jumlah penduduk dikalikan kebutuhan rata-rata perkapita (113,5 kg
perkapita). Untuk itu kebutuhan beras tahun 2011 dihitung sebesar 237 juta x 113,5 kg
perkapita = 26,899 juta ton
Menurut BPS produksi GKG Indonesia tahun 2011 adalah 65,385 juta ton yang setara
dengan 41,02 juta ton beras (rendemen 62,74 persen). Perkiran produksi tersebut masih
dianggap jumlah kotor karena belum dikurangi gabah untuk bibit dan pakan dan persentasi
susut pasca panen yang angkanya diperkirakan mencapai 10,5 persen, sehingga diproduksi
beras bersih kurang lebih 36,71 juta ton. Angka ini menunjukkan adanya kelebihan produksi
beras di dalam negeri. Akan tetapi ternyata, kelebihan produksi ini tidak serta merta dapat
menyetop masuknya beras impor baik secara legal maupun ilegal.
Produksi beras dan kualitas beras harus dapat ditingkatkan yaitu dengan cara
memperbaiki angka rendemen yang terus merosot menjadi 62 persen pada tahun 1998
(rendemen pada tahun 1950 mencapai 71 persen), karena setiap penurunan satu persen
rendemen setara dengan kehilangan sekitar 0,5 juta ton beras.
Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi nilai rendemen, akan tetapi perhatian
perlu diberikan pada penggilingan padi. Penggilingan padi saat ini didominasi oleh penggiling
skala kecil dan umumnya telah tua sehingga berpengaruh buruk terhadap rendemen dan
kualitas beras. Oleh karena itu, perlu pula dipertimbangkan pemberian sanksi misalnya
pengenaan pajak apabila tidak mampu memenuhi standar minimum rendemen. Produksi beras
lokal yang berkualitas baik, seperti Rojolele, Solok, beras Cianjur dan sebagainya yang punya
karakteristik tertentu harus pula digalakkan guna memenuhi kebutuhan kelompok
berpendapatan menengah ke atas yang terus bertambah jumlahnya, dengan memperbaiki
aspek pemasaran seperti grading, packing, labelisasi yang transparan dan jaminan
kualitas/mutu.
Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan pangan yang berkaitan dengan tugas Bulog adalah sebagai berikut (i) subsidi input
produksi, (ii) kebijakan harga, dan (iii) pembenahan kelembagaan pangan.
Pemerintah menetapkan sistem harga baik untuk output maupun input pertanian.
Khusus untuk input pupuk, bahan kimia serta benih unggul pemerintah menetapkan harga
subsidi kepada petani dengan harapan agar petani dapat menerapkan teknologi tersebut ke
20
penggunaan pupuk yang merupakan pelengkap input produksi terhadap varietas unggul (HW).
Dengan pemberian pupuk lebih banyak sampai batas tertentu, akan meningkatkan produksi
beras. Sayangnya kebijakan ini tidak dapat sepenuhnya dinikmati petani, karena banyak
pupuk dengan harga subsidi dijual ke pihak non pertanian pangan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Lembaga distribusi beras
Lembaga pangan yang berkaitan dengan distribusi dan logistik khususnya beras telah
lama dikenal di tanah air. Pada zaman Belanda lembaga tersebut dinamai VMF (Voeedings
Middelen Fonds) dan zaman jepang dikenal dengan nama Sangyobu-Nannyo Kohatsu Kaisha
(SKK). Pemerintah Belanda merasa perlu campur tangan dalam perdagangan beras untuk
kepentingan politik serta ekonominya. Campur tangan ini didasari pada pengalaman pahit,
karena kerajaan Mataram pernah memonopoli perdagangan beras dan menutup pelabuhan di
pantai Utara Jawa sehingga telah melumpuhkan perdagangan VOC dan merugikan
pemerintah Belanda. VMF kemudian mengatur impor beras dengan memberikan lisensi dan
kuota kepada swasta. Pada masa pemerintahan Jepang, campur tangan pemerintah bergeser.
Lembaga tersebut dipakai untuk mendukung logistik bala tentara Jepang dalam perang
Pasifik. SSK menjadi satu-satunya lembaga yang diperbolehkan membeli padi. Peran swasta
dalam aktivitas perdagangan beras antar pulau dibatasi. Swasta hanya diberi peran oleh
pemerintah Jepang terbatas pada kegiatan penggilingan padi milik pemerintah (Sapuan,
2000).
Harga beras pernah meningkat tajam setelah Indonesia merdeka, yaitu pada akhir
tahun 1957, sehingga menurunkan pendapatan riil kelompok masyarakat berpendapatan tetap.
Kemudian ditempuh kebijakan distribusi fisik beras yang semula hanya untuk kelompok
pendapatan tetap (PNS dan TNI), selanjutnya meluas kepada rakyat sehingga telah
merepotkan pemerintah yaitu tidak mampu menyediakan beras untuk memenuhi kebutuhan.
Selanjutnya pemerintah membentuk YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi) untuk
mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan beras ke konsumen. Pada saat inflasi
melanda Indonesia begitu dahsyat, maka beras dipakai sebagai alat untuk meredam inflasi,
karena beras berperan sebesar 65 persen dalam perhitungan index harga komoditas (IHK)
untuk 9 bahan pokok, dan 31 persen dalam IHK umum. Pemerintah perlu campur tangan yaitu
21
beras baik berasal dari dalam negeri maupun dari impor kemudian dijual pada tingkat harga
separohnya (Sapuan, 1991) .
Lembaga yang ditugaskan untuk melaksanakannya adalah Badan Urusan Pangan
(BPUP), kemudian diubah menjadi Kolognas. Mubyarto (1975) menyebutkan bahwa
kebijakan beras murah pada masa Orde Lama (Orla) telah membunuh insentif petani untuk
meningkatkan produktivitas padi/ beras. Pergantian rezim dari Orla beralih ke Orba telah
mengubah pula kebijakan pangan khususnya beras.
Pada tahun 1967, lembaga Kolognas diganti menjadi Bulog dengan tugas pokok
sebagai lembaga stabilitas harga beras, gabah, gandum serta bahan pokok lainnya. Sejak
itulah lembaga ini telah menjadi lembaga stabilitas harga pangan khususnya beras dengan
instrumen kebijakan bufferstock. Tujuan kebijakan stabilitasi harga beras untuk melindungi
keduanya sekaligus yaitu konsumen dan produsen padi/ beras, disamping tentunya
mengendalikan inflasi. Seperti diketahui insentif petani padi telah diabaikan dalam masa Orla
(Mubyarto,1975).
Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen, sekaligus tidak
merugikan konsumen, sedangkan secara makro, tujuan pembentukannya adalah untuk
menciptakan kesejahteraan petani produsen dan melindungi konsumen secara ekonomi yang
sekaligus menciptakan stabilitas yang kondusif untuk peningkatan produksi dan pendapatan
petani dari usaha tani padi. Tujuan tersebut dalam prakteknya selalu menimbulkank
epentingan yang berlawanan. Produsen di satu sisi mengharapkah harga yang cukup tinggi
untuk hasil produksinya sedangkan konsumen disisi lain menginginkan harga yang rendah
untuk mempertahankan nilai riil pendapatannya. (Amang dan Sawit, 1999).
Keberhasilan program produksi padi dalam negeri pada tahun 1983 menyebabkan
pasokan beras melonjak tajam sehingga surplus tersebut perlu diserap agar harga padi/beras
tidak jatuh. Bulog dalam hal ini terpaksa membeli beras dalam jumlah yang lebih banyak dari
biasanya, sehingga terjadi penumpukan stok beras yang berlebih. Hal ini berdampak langsung
pada peningkatan biaya penyimpanan yang mencakup biaya penurunan mutu, susut, biaya
bunga bank, biaya perawatan, dan lain-lain. Pada saat itulah dirancang suatu outlet tambahan
yaitu penyaluran untuk PNS dan TNI/Polisi, di samping tetap mempertahankan outlet yang
telah ada seperti OPM. Era keterlibatan dari penyaluran beras untuk kelompok anggaranpun
dimulai. Para pegawai sipil dan militer dijadikan sebagai salah satu saluran penting
pemasaran beras pemerintah dalam rangka mengemban stabilitas harga beras. Disamping itu,