I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan sektor agribisnis yang hingga saat ini masih memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Dari keseluruhan total ekspor produk perikanan, udang memberikan kontribusi sebesar 19 persen dari segi volume sebesar US$ 2.699.764.700 dan 43,3 persen dari segi nilai atau sebesar US$ 1.168.940.664 (Ditjen Perikanan Budidaya, April 2009)1. Perikanan dapat memberikan nilai strategis, diantaranya sumbangan terhadap ekspor, pendapatan nasional, ketahanan pangan serta penyediaan bahan pangan bergizi untuk dikonsumsi masyarakat2. Adapun beberapa negara pengekspor komoditi perikanan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Indonesia dan Beberapa Negara-Negara Eksportir Komoditi Perikanan Negara
Luas Wilayah
(km2)
Jumlah Penduduk Tahun 2001
Eksport Ikan (US $)
2001 2004
Thailand 513.515 61.251.000 4.039.127 4.034.003
China 9.572.900 1.274.915.000 3.999.274 6.636.839
Norwey 323.758 4.516.000 3.363.955 4.132.147
USA 9.518.323 286.067.000 3.316.056 3.850.629
Canada 9.970.610 31.081.900 2.797.933 3.487.477
Denmark 43.096 5.358.000 2.660.563 3.566.149
Chile 756.626 15.402.000 1.939.295 2.483.628
Spain 505.990 40.144.000 1.844.257 2.564.977
China, Taiwan 36.188 22.340.000 1.809.358 1.800.504
Indonesia 1.922.570 212.195.000 1.533.061 1.654.112 Sumber :Year Book Of Fisheries FHO, Webster s New International Atlas, Jawa
Barat Dalam Angka 2006
Dilihat dari Tabel 1 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan luasan wilayah yang tergolong besar jika dibandingkan dengan negara Thailand, tetapi hal ini berbeda jauh dengan nilai ekspor yang didapat oleh Indonesia. Dengan luasan wilayah yang besar, Indonesia masih memiliki potensi
1
http://pheyodiccaps.blogspot.com/2010/12/potensi-bahari-Indonesia-udang.html (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]
2
untuk meningkatkan hasil perikanan khususnya ekspor. Salah satu komoditi unggulan adalah udang windu yang merupakan indegeneous species Indonesia di tahun 1980-an. Udang windu adalah primadona produk perikanan karena dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, khususnya pada perusahaan. Volume ekspor udang pada tahun 2000-2006 mengalami peningkatan sebesar 6,65 persen, yaitu tahun 2000 produksi udang mencapai 116.188 ton dan pada tahun 2006 telah meningkat menjadi 169.581 ton. Negara tujuan ekspor komoditi udang saat ini adalah ke Jepang, USA dan Uni Europa. Volume dan nilai ekspor udang tahun 2000-2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Volume dan Nilai Ekspor Udang Tahun 2000-2006
No. Tahun Volume (ton) Nilai Ekspor (US$)
1. 2000 116 188 1 002124
2. 2001 128 830 934989
3. 2002 124 765 836563
4. 2003 137 636 850222
5. 2004 139 450 887127
6. 2005 153 906 948130
7. 2006 169 581 1 098 651
Sumber : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, 2008
Tabel 3.Pengekspor Udang Ke Beberapa Negara Tahun 2009
No. Pengekspor Negara Tujuan Juni 2009
Volume Ekspor (MT)
Nilai Ekspor (juta yen)
1. Indonesia Jepang 2.894 2.561
Amerika Serikat 5.680
-2. Thailand Jepang 1.074
-Amerika Serikat 15.264
-3. Vietnam Jepang 2.968 2.532
Amerika Serikat 3.348
-4. Ekuador Amerika Serikat 5.338
-5. China Amerika Serikat 2.973
-Indonesia masih memegang peranan yang penting dalam menyediakan komoditi udang bagi negara jepang. Walaupun hasil yang didapatkan pada bulan Juni 2009 tidak jauh beda dengan negara Vietnam, tetapi nilai ekspornya lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain. Sedangkan untuk pasar Amerika Serikat, Indonesia berada di urutan ke-2 sebagai negara pengekspor. Potensi udang windu juga dimiliki beberapa daerah di Jawa Barat, salah satunya adalah Kabupaten Karawang. Daerah ini terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Barat yang secara geografis berada diantara 107°2-107°40 BT dan 5°56-6°34 LS. Kabupaten Karawang termasuk daerah daratan yang relatif rendah, mempunyai variasi kemiringan 0-2 persen, 2-15 persen dan diatas 40 persen. Potensi ikan dan udang di Kabupaten Karawang cukup beragam dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena didukung oleh panjang pantai yang terbentang dari bagian Utara sepanjang 84,23 km dan hutan mangrove seluas 8.736 ha. Adapun luas areal perikanan budidaya di Kabupaten Karawang Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Luas Areal Perikanan Budidaya Kabupaten Karawang Tahun 2010 No. Areal Perikanan Potensi (ha) Dimanfaatkan (ha) Persentase (%)
1. Tambak 18.273,300 13.405,00 73,36
2. Sawah 10.580,80 179,05 1,69
3. Kolam 1.188,19 636,01 53,53
4. KJA (Keramba
Jaring Apung) 99 79 79,79
Daerah-daerah di Pantura terdiri dari beberapa wilayah, antara lain : Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang dan Bekasi. Dari beberapa wilayah yang ada, Karawang merupakan tiga wilayah terbesar yang masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan dan ini merupakan potensi yang besar untuk meningkatkan produksi perikanan. Adapun data mengenai Rumah Tangga Perikanan (RTP) pantura tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.Rumah Tangga Perikanan Pantura Tahun 2009
No. Wilayah RTP Pantura 2009
1. Kota Cirebon 204
2. Kabupaten Cirebon 8.025
3. Indramayu 6.101
4. Subang 726
5. Karawang 1.088
6. Bekasi 713
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, 2009
Luas dan produksi tambak di Pantura tahun 2009 Karawang masih menghasilkan perikanan dalam jumlah yang besar setelah Indramayu. Dengan luasan yang cukup besar membuat produksi juga semakin besar dan ini merupakan potensi yang harus terus ditingkatkan. Luas dan produksi tambak Pantura tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6.Luas dan Produksi Tambak Pantura Tahun 2009
No. Lokasi Luas (ha) Produksi (ton) Jumlah
Pembudidaya
1. Kota Cirebon 91 47,08 200
2. Kabupaten Cirebon 7.500 16.067,3 431
3. Indramayu 22.800 50.588,03 6.565
4. Subang 10.000 18.810,14 548
5. Karawang 18.348 33.848,60 3.887
6. Bekasi 12.000 21.820,89 1.167
Sumber : Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut, 2009
tambak yang luas, membuat Karawang menghasilkan cukup tinggi hasil perikanan tambaknya. Salah satu komoditi perikanan tambak yang dibudidayakan adalah udang windu yang merupakan komoditi yang memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran. Tidak hanya udang windu saja yang dibudidayakan, ada beberapa jenis komoditi perikanan yang cocok untuk dibudidayakan di tambak. Tingginya pemanfaatan areal tambak di Kabupaten Karawang dibandingkan dengan areal perikanan yang lain disebabkan oleh lokasi tambak yang dekat dengan sumber air, yaitu air laut di Pantai Utara (Pantura). Hasil produksi ikan tambak cukup besar dengan potensi luas areal yang cukup memadai dibandingkan dengan tempat budidaya lainnya. Disamping itu, beberapa jenis ikan maupun udang-udangan yang memiliki peran yang cukup besar di Kabupaten Karawang ini adalah udang windu sebagai salah satu komoditas utama. Udang windu masih banyak dibudidayakan karena memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan serta memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan jenis udang dan ikan-ikan lainnya. Adapun produksi ikan, RTP (Rumah Tangga Perikanan), luas areal yang dimanfaatkan menurut tempat budidaya Tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.Produksi Ikan Menurut Tempat Budidaya Tahun 2007-2010
No. Tempat
Produksi Ikan
Produksi (ton)
2007 2008 2009 2010
1. Tambak 32.952,40 33.985,91 35.005,49 35.101,19
2. Sawah 2.093,40 2.156,58 671,47 611,92
3. Kolam 632,90 651,91 2.221,28 2.225,35
4. KJA (Keramba
Jaring Apung) 155,50 160,16 164,98 165,17
Jumlah 34.311,30 36,954,56 38.063,22 38,103.63 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang, 2011
Harga udang windu dengan size 30 (1 kg = 30 ekor) memiliki harga Rp 60.000,00 per kg. Sedangkan harga udang vanname yaitu Rp 45.000,00 dengan
nila, rumput laut dan beberapa ikan-ikan lain dalam meningkatkan produksi perikanan tambak di Kabupaten Karawang. Adapun produksi ikan tambak berdasarkan jenisnya Tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.Produksi Ikan Di Tambak Berdasarkan Jenis Ikan Tahun 2007-2010 di Kabupaten Karawang
No. Jenis Ikan Jumlah (ton)
2007 2008 2009 2010
1. Bandeng 28.159,10 15.514,63 15.980,07 17.038,27
2. Mujaer 1.140,30 4.140,30 4.246,27 4.320,54
3. Blanak 22,40 2.249,90 2.317,38 2.402,08
4. Udang windu 1.430,70 5.415,90 5.578,37 3.481,43 Jumlah 30.752,50 27.320,73 28.122,09 27.242,32 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang, 2011
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa produksi udang windu mengalami peningkatan yang cukup tajam di tahun 2008 mencapai tiga kali lipat dari tahun 2007. Peningkatan jumlah produksi disebabkan oleh bebarapa hal salah satunya adalah pemanfaatan lahan tambak yang digunakan untuk membudiayakan udang windu sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Karawang. Selain itu, keadaan atau lingkungan yang baik juga mempengaruhi kehidupan udang windu. Penurunan yang signifikan di tahun 2010 mencapai 2.096,94 ton, dimana hasil yang didapat pada tahun 2009 sebesar 5.578,37 ton. Beberapa jenis ikan tambak lainnya mengalami kenaikan tiap tahunnya, kecuali bandeng telah mengalami penurunan produksi di tahun 2008.
dinilai dapat meningkatkan pendapatan para petambak seperti udang vanname, bandeng, kepiting dan beberapa jenis ikan lainnya seperti ikan nila dan ikan mas.
Kabupaten Karawang yang menjadi sentral perikanan khususnya udang windu mengalami kemunduran pada beberapa periode yang lalu. Untuk dapat meningkatkan produksinya, para petambak melakukan berbagai macam cara untuk dapat mempertahankan komoditas yang dibudidayakan. Berdasarkan data yang ada, produksi perikanan budidaya pembesaran tambak pada kuartal 1 sampai kuartal 4 tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9.Produksi Perikanan Budidaya Pembesaran Tambak Kuartal 1-4 Tahun 2008 Kabupaten Karawang
No Komoditas Kuartal (dalam ton)
1 2 3 4
1. Udang windu 530,40 1.479,20 1.589,40 1.665,20
2. Udang putih 257,80 695,70 699,70 772
3. Udang api-api 348 864,50 864,70 1.109,90
4. Udang vanname - - -
-Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, 2010
Dalam satu kuartal (tahun 2008), udang windu masih memegang peranan pertama sebagai salah satu komoditas yang paling besar diproduksi dalam tambak. Hal ini terlihat dari peningkatan yang terjadi tiap kuartalnya. Peningkatan ini didasari bahwa udang windu masih menjadi primadona bagi para petambak di Kabupaten Karawang. Adapun Nilai produksi perikanan budidaya pembesaran tambak kuartal 1-4 dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.Nilai Produksi Perikanan Budidaya Pembesaran Tambak Kuartal 1 Kuartal 4 Tahun 2008 Kabupaten Karawang
No Komoditas Kuartal (satuan Rp 1.000)
1 2 3 4
1. Udang windu 31.824.000 88.752.000 95.364.000 99.912.000 2. Udang putih 6.702.800 19.479.600 19.591.600 21.616.000 3. Udang api-api 6.960.000 17.290.000 17.294.000 22.198.000
4. Udang vanname - - -
Udang memiliki kandungan protein yang dapat dikategorikan sebagai protein lengkap karena kadar asam amino yang tinggi. Dalam 100 gram udang mentah mengandung 20,3 gram protein untuk memenuhi kebutuhan protein sebesar 41 persen. Adapun kandungan asam amino yang baik untuk tubuh dalam 100 gram udang (Lampiran 8) sedangkan untuk dapat melihat kandungan udang windu yang tertinggi berturut-turut sesuai dengan persentase kebutuhan harian (daily value) (Lampiran 9).
Desa Pusakajaya Utara merupakan salah satu desa yang berada dalam lingkup Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang yang memiliki luas sebesar 9.111.140 m2 serta potensi yang cukup besar terhadap komoditas udang, khususnya udang windu. Sebagian besar masyarakatnya membudidayakan udang windu secara tradisional dalam tambak. Komoditas udang windu masih menjadi produk unggulan karena selain memiliki bentuk yang bisa mencapai size15 (1 kg = 15 ekor), harga jual tinggi, serta udang windu juga masih menjadi incaran pasar di dalam maupun luar negeri. Di dalam persaingan yang semakin ketat, para petambak udang windu di desa ini masih tetap mengusahakan udang windu sebagai produk andalan karena dinilai memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan jenis ikan tambak lainnya.
Penelitian mengenai Analisis Risiko Faktor-Faktor Produktivitas Udang Windu (Penaeus monodon) pada Petambak Tradisional di Desa Pusakajaya Utara Kabupaten Karawang penting dilakukan karena untuk melihat kondisi nyata petambak udang windu tradisional di Desa Pusakajaya Utara sehingga para petambak dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menjalankan usaha di bidang budidaya udang windu sehingga dapat meminimalkan risiko yang akan terjadi. Selain itu, dapat memberikan masukan serta saran yang berguna ke depannya.
1.2 Perumusan Masalah
untuk diusahakan adalah udang windu. Budidaya udang windu secara tradisional tidak menggunakan pakan buatan sehingga hanya memakan biaya operasi sebesar 40 persen saja. Biaya terbesar dalam usaha budidaya adalah biaya pakan yang memerlukan biaya tinggi untuk meningkatkan produksi, yaitu sekitar 60-70 persen. Selain itu, penggunaan input-input produksi tidak terlalu banyak dengan luasan lahan yang dimiliki para petambak tidak terlalu besar. Penggunaan biaya yang kecil membuat banyak pembudidaya mengembangkan usaha budidaya udang windu karena dinilai memiliki nilai jual tinggi dan komoditi yang cepat berkembang.
Penurunan kualitas lingkungan tambak yang terjadi di desa ini menjadi salah satu penyebab beralihnya para petambak udang windu ke komoditas perikanan lain yang dianggap memiliki prospek yang baik demi tercapainya peningkatan pendapatan para petambak. Permasalahan ini berdampak kepada produksi udang windu yang semakin menurun. Dengan teknologi yang sederhana masih belum bisa menangani permasalahan terhadap lingkungan tambak. Pokok permasalahan juga terdapat pada keseimbangan lahan yang mulai menurun di lokasi. Lahan tambak saat ini sudah terkontaminasi dengan virus yang masuk ke areal tambak melalui media air. Dimana tidak jauh dari tempat lokasi budidaya terdapat pengeboran kilang minyak yang membuat keseimbangan lingkungan menjadi terganggu. Tapi sebagian petambak lain masih tetap bertahan membudidayakan udang windu dengan alasan bahwa udang windu masih memiliki nilai jual yang tinggi. Walaupun produksi udang windu yang berfluktuatif membuat sebagian petambak yang masih bertahan saat ini berharap bahwa bisa mendapatkan hasil yang besar.
mengatasi hal ini adalah dengan mengganti air sebagian atau seluruhnya apabila terlihat kondisi di lingkungan tambak yang menurun. Kondisi tambak yang menurun dapat dilihat dari kelainan udang yang berakibat produksi menurun dan kualitas udang yang dihasilkan tidak sesuai atau kurang baik. Salah satu gejala yang dialami oleh udang adalah insang hitam. Penanggulangannya adalah dengan mengganti air baru sampai air menjadi jernih. Adapun produktivitas udang windu di Desa Pusakajaya Utara Tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1.Produktivitas Udang Windu Di Desa Pusakajaya Utara Tahun 2010 (2 siklus penanaman)
Grafik diatas menggambarkan bahwa dari 30 responden yang dianalisis menujukkan sebesar 19 responden yang produktivitasnya berada di bawah garis standar atau rata-rata, yaitu 143,22 kg/ha. Banyaknya responden yang berada dibawah garis standar dikarenakan bahwa kurangnya penanganan dalam mengatasi berbagai kemungkinan yang terjadi di areal tambak karena pangetahuan yang dimiliki cukup terbatas. Selain itu, benur yang ditebar ke tambak tidak terlalu banyak dengan tingkat kehidupan (Survival Rate) yang rendah karena menggunakan sistem budidaya tradisional (teknologi yang digunakan sederhana).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusan permasalahan dapat dikaji lebih dalam lagi, antara lain :
0 50 100 150 200 250 300 350
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1. Bagaimana sumber-sumber risiko yang dihadapi oleh para petambak udang windu di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang?
2. Bagaimana faktor-faktor dalam kegiatan budidaya udang windu dapat mempengaruhi risiko dalam produktivitas udang windu bila dikaitkan dengan fungsi produktivitas rata-rata dan variance yang dihadapi petambak di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini, yaitu : 1. Identifikasi sumber-sumber risiko.
2. Menganalisis faktor-faktor dalam kegiatan budidaya udang windu dilihat dari tingkat produktivitasnya dan dikaitkan dengan fungsi produktivitas rata-rata danvariancesecara signifikan pada komoditas udang windu.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup berharga dan bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, diantaranya : 1. Bagi petambak udang, hasil kajian yang dilakukan dapat digunakan sebagai
literatur untuk meminimalkan risiko, memahami faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha udang windu dalam tambak tradisional agar dapat meningkatkan hasil produksi yang berdampak pada keuntungan yang diterima oleh petambak di Desa Pustakajaya Utara, Kabupaten Karawang.
2. Bagi penulis, sebagai sarana dalam peningkatan kompetensi diri, baik dalam pengetahuan dan keterampilan dalam hal menganalisis potensi dan permasalahan yang terdapat dalam sektor perikanan khususnya budidaya tambak tradisional.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini difokuskan pada Analisis Risiko Faktor-Faktor Produktivitas Udang Windu (Penaeus monodon) pada Petambak Tradisional di Desa Pusakajaya Utara Kabupaten Karawang dengan ruang lingkup penelitian, antara lain :
1. Menganalisis faktor-faktor produktivitas pada usaha budidaya udang windu secara tradisional.
II
.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prospek Perikanan Di Indonesia
Sektor perikanan di Indonesia masih dipandang memiliki prospek yang cerah untuk terus dikembangkan karena potensi yang dimiliki tidak hanya dari luasan lahan, melainkan dari produk perikanan yang cukup beragam serta dapat memberikan nilai tambah bagi negara maupun pembudidayanya. Salah satu dari tiga komoditas program revitalisasi perikanan yang dilakukan pemerintah adalah udang windu. Udang windu merupakan komoditas asli Indonesia yang mengalami kelangkaan pada waktu-waktu tertentu karena semakin maraknya penangkapan yang dilakukan di alam. Kelangkaan tersebut membuat semakin menipisnya pasokan udang di alam sehingga harga di pasaran melambung tinggi. Hal inilah yang mendasari untuk digalakkannya usaha budidaya udang dengan tujuan agar produksi udang windu tidak mengalami penurunan yang signifikan serta menjadi tumpuan dalam meningkatkan devisa ekspor. Panjang pantai Indonesia yang mencapai 81.000 km2 pada tahun 2004 serta luas tambak yang mencapai 960.000 ha, memiliki tiap arti setiap satu km panjang pantai rata-rata memiliki luas tambak 11,9 persen. Mempertimbangkan bahwa, bumi tempat kita bernaung ini dianugrahi dengan 3 persen air tawar, maka secara kasar Indonesia dapat membuat tambak seluas 1.215.000 ha atau 15 ha setiap km panjang pantai.
tidak hanya dapat meningkatkan produksi tetapi dapat memberikan peningkatan hasil perikanan, seperti ikan bandeng, mujair, bawal dan udang jenis lain.
Penelitian yang sama juga dijelaskan oleh Panjaitan (2009) dan Zepriana (2010) yang memaparkan mengenai prospek perikanan di Indonesia yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar pada pembangunan nasional, khususnya pada perikanan budidaya. Panjaitan (2009) menganalisis komoditas ikan bandeng di Desa Muara Baru Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang. Penelitian ini lebih membahas mengenai analisis tataniaga ikan bandeng. Potensi ikan bandeng di daerah ini cukup besar karena Desa Muara Baru merupakan sentral ikan bandeng terbesar di Indonesia. Ikan bandeng dapat dibudidayakan di tambak maupun di keramba jaring apung. Selain mudah untuk dikembangkan atau dibudidayakan, ikan bandeng juga merupakan salah satu hasil perikanan tambak yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Ikan Bandeng dapat dipelihara tanpa pemberian pakan, yaitu dengan memanfaatkan klekap (lumut) yang tumbuh di dasar tambak sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi para petambak.
Ikan bandeng juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu mengandung asam lemak omega-3, dimana asam lemak ini bermanfaat mencegah terjadinya penggumpalan keping-keping darah sehingga mengurangi risiko terkena
arteriosklerosis dan mencegah jantung koroner. Asam lemak juga bersifat
hipokolesteromik yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Ikan bandeng juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta berperan dalam pertumbuhan otak pada janin serta pendewasaan sistem saraf.
2.2 Produksi Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Pada Komoditas Udang
faktor-faktor produksi yang diduga dalam budidaya udang galah terdiri dari sembilan faktor, antara lain : (1) luas lahan, (2) benih, (3) tenaga kerja dalam keluarga, (4) tenaga kerja luar keluarga, (5) pupuk urea, (6) pupuk TSP, (7) pupuk kandang, (8) pupuk buatan, (9) kapur. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan model Cobb-Douglas, dimana dalam fungsiCobb-Douglasnilai sekaligus menunjukkan nilai elastisitas X terhadap Y. adapun kelebihan dari model ini, antara lain : (1) penyelesaian fungsi produksi relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi lain, karena dapat diubah ke dalam bentuk linier, (2) hasil pendugaan garis fungsi akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas, (3) besaran elastisitas tersebut juga sekaligus menunjukkanreturn to scale.
2.3 Penelitian Yang Terkait Dengan Risiko Produksi
Bila dilihat dengan pengukuran risiko tersebut penelitian Lestari (2009) mengenai Manajemen Risiko Dalam Usaha Pembenuran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), Studi Kasus di PT. Suri Tani Pemuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten menggunakan analisis-analisis tersebut. Analisis yang digunakan adalah berawal dari mengidentifikasi sumber-sumber risiko yang ada dan terjadi di dalam perusahaan, lalu mengklasifikasikan sumber risiko ke dalam peta risiko. Analisis lain yang digunakan adalah mengidentifikasi strategi penanganan risiko perusahaan dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Analisis yang dilakukan selanjunya adalah analisis probabilitas dan dampak dari risiko produksi naupli, produksi benur, risiko derajat kelangsungan hidup benur, dan risiko penerimaan perusahaan. Pengukuran probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian dapat dilakukan dengan analisis nilai standar atau analisis z-score. Sedangkan pengukuran dampak risiko dilakukan dengan menggunakan analisisValue at Risk(VaR).
Berbeda dengan penelitian Ginting (2009), Tarigan (2009) dan Wisdya (2009). Ketiga penelitian ini menggunakan analisis penilaian terhadap risiko produksi berdasarkan ukuran yang menggunakan pendekatan Expected Return. Dimana risiko produksi ini dapat diukur berdasarkan penilaian hasil perhitungan
mengidentifikasi tentang strategi pengelolaan risiko produksi terhadap perusahaan dengan menerapkan strategi preventif yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Indikasi risiko produksi pada budidaya jamur tiram putih dapat dilihat dengan adanya fluktuasi atau variasi jumlah produksi ataupun produktivitas yang dialami perusahaan. Hasil dari ukuran Coefficient Variation
didapat sebesar 0,32 artinya adalah setiap satu satuan hasil produksi yang diperoleh perusahaan, maka risiko atau kerugian yang dihadapi adalah sebesar 0,32 satuan. Sedangkan penelitian Tarigan (2009) melakukan portofolio pada beberapa komoditas. Komoditas yang dianalisis pada spesialisasi adalah brokoli, bayam hijau, tomat, dan cabai keriting. Sedangkan kegiatan portofolio yang dilakukan adalah komoditas tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan brokoli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi, risiko produksi berdasarkan keempat komoditas yang diteliti diperoleh hasil risiko tertinggi adalah bayam hijau sebesar 0,225 artinya setiap satu satuan yang dihasilkan, maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,225. Risiko terendah adalah cabai keriting sebesar 0,048 artinya setiap satu satuan yang dihasilkan, maka risiko yang dihadapi sebesar 0,048. Analisis risiko produksi yang dilakukan pada kegiatan portofolio menunjukkan bahwa kegiatan diversifikasi dapat meminimalkan risiko.
1,319 artinya setiap satu rupiah yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 1,319.
Penelitian Fariyanti (2008) menjelaskan mengenai model ekonomi rumah tangga petani sayuran yang difokuskan pada dua komoditi secara monokultur, yaitu kentang dan kubis dimana kedua komoditi ini ditanam pada waktu yang bersamaan dengan areal yang berbeda. Penelitian ini juga membahas mengenai dua aspek, yaitu risiko produksi dan harga produk. Penentuan model analisis dengan Garch (1,1) yang dapat menjelaskan risiko dalam produksi serta data yang digunakan adalah data produktivitas kentang dan kubis dalam tiga musim tanam. Fungsi produksi yang digunakan dalam menganalisis variance produksi yaitu fungsi produksi logaritman Cobb-Douglas. Hasil pendugaan model Garch (1,1) menunjukkan R2 pada komoditi kentang sebesar 32,94 persen yang memiliki arti bahwa variabel-variabel independent hanya mampu menjelaskan variabel
dependent(produktivitas kentang) sebesar 32,94 persen dan sisanya sebesar 67,06 dijelaskan oleh error. Error kuadrat musim sebelumnya dan variance error
produksi musim sebelumnya menunjukkan tanda positif yang berarti risiko sekarang dipengaruhi oleh risiko sebelumnya.
Pada persamaan produksi menunjukkan bahwa variabel pupuk phospor dan pupuk kalium menunjukkan tanda negatif, berarti variabel tersebut dapat menurunkan produksi kentang karena pemakaian pupuk phospor dan kalium sudah melebihi batas normal pemakaian. Sedangkan lahan, benih kentang, pupuk nitrogen, tenaga kerja dan obat-obatan menunjukkan tanda positif yang berarti penggunaan variabel tersebut dapat meningkatkan produksi kentang. Pada fungsi
varianceterdapat beberapa variabel yang dapat mengurangi risiko adalah variabel lahan, benih kentang dan obat-obatan. Variabel yang dapat menimbulkan risiko, antara lain pupuk nitrogen, pupuk phospor, pupuk kalium dan tenaga kerja.
variance yang bertanda positif ditunjukkan oleh variabel lahan dan obat-obatan dan sisanya variabel yang bertanda negatif ditandai oleh variabel benih kubis, pupuk nitrogen, pupuk NPK dan tenaga kerja.
Jurnal Forum Pascasarjana Vol. 33 No. 2 April 2010 yang berjudul Pengaruh Preferensi Risiko Produksi Petani Terhadap Produktivitas Tembakau : Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik Dengan Struktur Error Heteroskedastis menunjukkan hasil penelitian preferensi risiko produksi petani tembakau di Kabupaten Pamekasan menunjukkan hasil bahwa preferensi risiko produksi petani dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu petani yang selalu menghindari risiko (risk averse), petani yang netral terhadap risiko (risk neutral) dan petani yang menyukai risiko (risk seeker/risk taker). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pemekasan menghasilkan bahwa petani di daerah ini tergolong ke dalam kategori petani yang menghindari risiko (risk averse). Adapun beberapa faktor penyebabnya, yaitu keterbatasan sumber daya yang dimiliki untuk membeli input-input produksi dan mengupah tenaga kerja dari luar keluarga, terbatasnya akses informasi karena sebagian besar petani tidak tergabung dalam kelompok tani dan ketidakpastian harga tembakau di pasaran karena petani bertindak sebagaiprice taker serta saluran pemasaran dikuasai oleh bandol dan juragan yang menjadi kepanjangan tangan dari pabrik rokok. Gambaran tersebut dipengaruhi oleh risiko dan inefisiensi. Di daerah pegunungan bentuk organisasi produksi usaha tani adalah dengan kemitraan, gambaran ini menghasilkan bahwa preferensi risk taker petani disana dalam mengalokasikan input-input produksi lebih dipengaruhi oleh inefisiensi teknis dibandingkan oleh risiko yang mereka hadapi. Sedangkan pada petani swadaya yang berada di tegalan preferensi risk averse pada kedua kelompok menunjukkan alokasi input-input produksi lebih dipengaruhi oleh risiko daripada inefisiensi teknis (ketakutan dalam risiko produksi menjadi pertimbangan utama dalam alokasi input).
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penting untuk dibahas karena untuk mempermudah dalam pembahasan teori-teori yang terkait dengan risiko dalam suatu kegiatan usaha. Adapun beberapa teori yang perlu dibahas, antara lain : konsep risiko, sumber-sumber risiko, teori produksi dan risiko produksi.
3.1.1 Konsep Risiko
Kegiatan usaha yang kini semakin beragam dan kompleks dapat menimbulkan berbagai risiko di dalamnya. Risiko-risiko tersebut tidak hanya terjadi di dalam melainkan di luar perusahaan, dengan kata lain semakin kompleksnya suatu aktifitas yang dilaksanakan, maka akan semakin besar pula risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan tersebut. Kountur (2006) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan kejadian yang merugikan. Selain itu, risiko mengandung tiga unsur penting, yaitu kejadian, kemungkinan, dan akibat. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain. Jika dilihat dari unsur-unsur tersebut, kejadian merupakan unsur yang utama karena kejadian memiliki unsur kemungkinan dan akibat. Dalam kejadian tersebut tidak hanya ada unsur kemungkinan dan akibat melainkan ada tiga unsur lagi yang menjadi penentu besar kecilnya risiko yang dihadapi, antara lain :
1. Eksposur
Eksposur berhubungan dengan peluang terlibat pada suatu kejadian. Semakin besarnya suatu kejadian terekspos, maka semakin besar pula risiko yang akan dihadapi. Eksposur dapat dikelompokkan ke dalam akibat. Semakin terekspos sesuatu akan semakin besar akibat yang akan diderita jika terjadi sesuatu. 2. Waktu
3. Rentan
Begitu pula dengan rentannya suatu produk yang diproduksi suatu perusahaan, maka semakin berisikonya barang tersebut. Rentan dapat dikelompokkan kedalam kemungkinan.
Gambar 2.Tiga Unsur Penting Dalam Risiko Sumber : Kountur (2006)
Djohanputro (2008) mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya atau ketidakpastian yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau kehilangan. Perbedaan risiko dan ketidakpastian, antara lain :
Tabel 11.Perbedaan Antara Risiko Dan Ketidakpastian
No Risiko Ketidakpastian
1. Subjek memiliki ukuran kuantitas. Subjek tidak ada ukuran kuantitas. 2. Diketahui tingkat probabilitas
kejadiannya.
Tidak dapat diketahui tingkat probabilitas kejadiannya.
3. Ada data pendukung mengenai kemungkinan kejadiannya.
Tidak ada data pendukung untuk mengukur kemungkinan kejadiannya. Sumber : Djohanputro (2008)
Kemungkinan Akibat
Kejadian
Waktu Eksposur
Rentan
Risiko yang ada dalam usaha harusnya dikelompokkan menurut kemiripan satu sama lain. Dengan pengelompokan tersebut, risiko-risiko yang ada akan lebih mudah ditangani dengan baik. Risiko-risiko yang dikelompokkan tersebut tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Hal ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, antara lain : melihat risiko dari akibat yang ditimbulkan dan melihat risiko dari penyebabnya. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan, risiko dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu :
1. Risiko Murni
Risiko murni merupakan risiko yang akibatnya tidak memungkinkan untuk memperoleh keuntungan dan yang ada hanyalah kemungkinan rugi.
2. Risiko Spekulasi
Risiko spekulasi merupakan jenis risiko yang akibatnya selain merugikan dapat pula memberikan keuntungan. Jadi risiko spekulasi adalah kemungkinan kejadian yang bisa berakibat merugikan atau jika tidak merugikan sebaliknya bisa memberikan keuntungan.
Risiko dapat juga dikelompokkanberdasarkan penyebabnya, yaitu : 1. Risiko Keuangan
Risiko keuangan adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor keuangan, seperti perubahan harga, perubahan mata uang, dan perubahan tingkat bunga.
2. Risiko Operasional
Risiko operasional adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor operasional, seperti faktor manusia, teknologi, dan alam.
risiko. Menurut teori tentang utility (Utility theory), sikap seseorang dalam menghadapi risiko dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Kelompok orang yang tidak menyukai risiko (Risk Aversion)
Sikap seseorang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan, maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan tingkat kepuasan. Hal ini ditunjukkan pada gambar A yang dikenal dengan istilah diminishing marginal utility of wealth, dimana semakin banyak kekayaan yang diperoleh, pertambahan manfaat dari kekayaan ini semakin kecil.
2. Kelompok orang yang tidak terpengaruh dengan adanya risiko (Risk Neutral)
Sikap sesorang ini menunjukkan bahwa juka terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan atau menaikkan keuntungan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan pada gambar B yang dikenal dengan constant marginal utility of wealth, dimana orang tidak berpengaruh dengan adanya risiko.
3. Kelompok orang yang senang menghadapi risiko (Risk Taker)
Sikap seseorang ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan pada gambar C yang dikenal dengan increasing marginal utility of wealth, dimana semakin meningkatnya kekayaan, semakin besarutilityyang diterima.
Total Utility (util)
C B
12 A
10 6
Kekayaan (Rp) 5 10 15
Gambar 3. Utility Theory Of Risk
3.1.2 Sumber-Sumber Risiko
Kasidi (2010) sumber risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga sumber, yaitu :
1. Risiko sosial
Sumber utama risiko ini adalah masyarakat, yaitu tindakan orang-orang menciptakan kejadian yang menyebabkan penyimpangan merugikan. Sebagai contoh : pencuiran, peperangan, huru-hara.
2. Risiko fisik
Risiko fisik sebagian merupakan fenomena alam dan sebagian karena tingkah laku manusia.
3. Risiko ekonomi
Banyak risiko yang dihadapi oleh manusia itu bersifat ekonomi, misalnya : inflasi, resesi, fluktuasi harga.
Sedangkan menurut Hardwood (1999) sumber risiko dapat dibagi menjadi lima3, yaitu :
1. Risiko Produksi
Risiko produksi seperti gagal panen, produksi rendah, kualitas kurang baik. Hal ini bisa disebabkan oleh hama dan penyakit, curah hujan, maupun teknologi.
2. Risiko Pasar (harga)
Risiko pasar bisa terjadi karena produk tidak dapat terjual. Disebabkan oleh perubahan harga output, permintaan rendah, ataupun banyak produk substitusi.
3. Risiko Kelembagaan
Risiko kelembagaan terjadi karena perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah, baik dari segi penggunaan saponin dan obat-obatan, pajak, kredit.
3
4. Risiko Finansial
Risiko finansial terjadi karena tidak mampu membayar hutang jangka pendek, kenaikan tingkat suku bunga pinjaman, piutang tak tertagih sehingga menyebabkan penerimaan produksi menjadi rendah.
5. Risiko Manajemen
Risiko manajemen merupakan memilih diantara alternatif untuk mengurangi efek risiko.
3.1.3 Teori Produksi
Dalam teori produksi ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bentuk fungsi produksi, yaitu : (1) bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati keadaan yang sebenarnya, (2) bentuk fungsi produksi yang dipakai harus mudah diukur atau dihitung secara statistik, (3) fungsi produksi dapat dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun fungsi produksi tersebut. Selain itu untuk dapat meningkatkan produksi dapat dilakukan dengan cara, antara lain : (1) menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan, (2) menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang digunakan. Dalam fungsi produksi berlaku hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang atau The Law of Diminishing Return. Hukum tersebut mempunyai arti bahwa jika suatu faktor produksi terus ditambah dalam suatu proses produksi sedangkan faktor produksi lainnya tetap maka tambahan jumlah produksi per satuan faktor produksi pada akhirnya akan menurun. Hukum ini menggambarkan adanya kenaikan hasil yang negatif dalam kurva fungsi produksi.
elastisitas produksi dari faktor-faktor produksi, antara lain daerah produksi I, daerah produksi II, daerah produksi III.
1. Daerah I
Daerah dengan elastisitas Ep > 1 sampai Ep = 1 dinamakan daerah tidak rasional (irrasional stage of production) dan ditandai sebagai daerah I dari produksi. Daerah ini belum akan tercapai keuntungan maksimum sehingga keuntungan masih dapat diperbesar dengan adanya penambahan input.
2. Daerah II
Daerah II terjadi ketika PM menurun dan lebih rendah dari PR. Pada keaadaan ini PM sama atau lebih rendah dari PR. Daerah II berada diantara X2 dan X3. Daerah ini memiliki nilai Ep antara 1 dan 0 (0 < Ep < 1), artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum, sehingga daerah ini disebut daerah rasional dalam produksi.
3. Daerah III
Keterangan :
X = Faktor Produksi
Y = Hasil Produksi
PR = Produk Rata-rata
PM = Produk Marjinal
PT = Produk Total
Daerah I = Daerah produksi irasional Daerah II = Daerah produksi rasional Daerah III = Daerah produksi irasional Gambar 4.Tahapan Proses Produksi
Sumber : Soekartawi (2003)
3.1.4 Risiko Produksi
Robison dan Berry (1987) diacu dalam Fariyanti (2008) menjelaskan terdapat perbedaan antara risiko dengan ketidakpastian. Jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat keputusan, yang didasarkan pada pengalaman, maka hal tersebut menunjukkan konsep risiko. Sedangkan jika peluang suatu kejadian tidak dapat diketahui oleh pembuat keputusan, maka hal tersebut menunjukkan konsep ketidakpastian. Risiko merupakan kejadian yang
D a e r a h 2 D
a e r a h 1
dapat merugikan. Pada dasarnya pengukuran risiko dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode yang digunakan untuk megukur kemungkinan dan akibat dari suatu kejadian. Kemungkinan dapat diukur dengan z-score, poisson, binomial,
weighted-average approximation. Sedangkan metode yang mengukur akibat bisa menggunakan VaR (Value at Risk).
Fahmi (2010) menerangkan mengenai risiko yang terkandung dalam berbagai sektor usaha, salah satunya adalah sektor perikanan. Dalam sektor ini risiko produksi yang terkandung didalamnya, diantaranya :
1. Produk yang dimiki mudah mengalami pembusukan atau cepat mengalami kadaluarsa.
2. Harus memiliki tempat penyimpanan yang aman, bersih, dan nyaman guna membuat produk tersebut tetap segar.
3. Produk perikanan, khususnya harus dihindari masuknya berbagai bentuk bakteri, dan penyakit lainnya karena sangat sensitif.
4. Membutuhkan perawatan yang intensif agar produk perikanan selalu dalam keadaan baik.
5. Naik turunnya harga akan memberi pengaruh pada harga jual serta keuntungan yang akan diperoleh.
6. Berhubungan dengan cuaca dan perubahan iklim global.
7. Mengikuti standar mutu yang berlaku baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut Just (1974) diacu dalam Fariyanti (2008) penelitian mengenai risiko sangat penting dilakukan terkait dengan pengambilan keputusan terhadap petani, khususnya pada kegiatan produksi. Dengan mengetahui risiko yang terjadi sebelumnya membuat petani dalam mengambil keputusan yang terkait dengan proses produksi dapat mengurangi atau meminimalkan terjadinya risiko dalam proses produksi. Just and Pope (1979) diacu dalam Fariyanti (2008) mengemukakan di dalam analisis risiko, fungsi produksi merupakan fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan produksi variance (variance production function) yang masing-masing dipengaruhi oleh penggunaan input dalam kegiatan produksi.
dilakukan terpisah antara fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan produksi variance (variance production function). Baik fungsi produksi rata-rata maupun produksi variance dipengaruhi oleh variabel input faktor, seperti lahan, benih, pupuk, tenaga kerja, dan saponin.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Karawang merupakan salah satu sentral perikanan untuk komoditas udang windu di Propinsi Jawa Barat yang saat ini mengalami penurunan yang diakibatkan oleh penurunan kualitas air sehingga sudah tidak ada lagi keseimbangan lahan tambak. Salah satu Kecamatan yang menghasilkan produksi udang windu yang cukup tinggi adalah Kecamatan Cilebar. Kecamatan ini memiliki 10 desa dan salah satunya adalah Desa Pusakajaya Utara yang merupakan lokasi penelitian. Desa Pusakajaya Utara adalah desa yang dekat dengan Pantai Utara dan sebagian masyarakatnya membudidayakan udang windu secara tradisional. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa lahan tambak yang ada disana sudah kurang memberikan hasil yang maksimal bagi produktivitas udang windu. Penggunaan input-input yang dipakai juga dapat mempengaruhi fluktuasi produktivitas. Tidak hanya air saja yang menjadi salah satu sumber risiko yang mempengaruhi fluktuasi produksi udang windu yang ada di daerah ini, hama dan penyakit, cuaca, hingga human error juga menjadi sumber risiko yang perlu menjadi perhatian penting. Penerapan budidaya udang windu dengan sistem tambak yang tradisional membuat produksi udang berbeda-beda tiap siklusnya.
dari fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan fungsi produksi
variance (variance production function). Adapun alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 5.
Keterangan :
[image:30.595.85.526.118.766.2]= Ruang Lingkup Penelitian Gambar 5.Kerangka Pemikiran Operasional
Sumber-sumber risiko : 1. Cuaca 2. Hama dan
penyakit 3. Virus 4. Kualitas air
5. Human error
Produksi udang windu di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten
Karawang
Fluktuasi produktivitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
udang windu, yaitu : 1. Benur
2. Pupuk urea 3. Obat-obatan 4. Saponin 5. Tenaga Kerja
Rekomendasi Alternatif Strategi Penanganan Risiko
Analisis Fungsi Produksi Just
and Pope Analisis Fungsi
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah Karawang merupakan sentral perikanan, khususnya udang windu sebagai komoditas perikanan asli Indonesia serta Karawang dapat memberikan kontribusi hasil perikanan tambak sebesar 60 persen. Desa Pusakajaya Utara dipilih karena merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang yang rata-rata masyarakatnya membudidayakan udang windu dengan media tambak secara tradisional sebagai mata pencaharian. Kecamatan Cilebar juga merupakan salah satu kecamatan yang menghasilkan udang windu dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Karawang. Desa ini juga sangat dekat dengan sumber air laut sehingga memungkinkan dengan mudah memperoleh sumber air langsung dari laut. Akses jalan ke Desa Pusakajaya Utara juga cukup terjangkau sehingga memudahkan dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2011.
4.2 Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan para petambak tradisional yang mengusahakan komoditas udang windu. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, baik dari buku, jurnal, maupun hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai data pelengkap atau penunjang dalam penelitian. Data sekunder juga didapat dari berbagai instansi, seperti Dinas Kelautan dan PerikananKabupaten Karawang dan Badan Pusat Statistik (BPS).
4.3 Metode Pengambilan Data
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan judgment sampling
Pusakajaya Utara. Responden yang akan diambil adalah 30 orang petambak tradisional yang membudidayakan udang windu (Penaeus monodon) karena untuk memenuhi aturan umum data statistik dengan jumlah 30 orang petambak sehingga sebaran terdistribusi normal. Responden-responden tersebut merupakan responden yang ahli di bidangnya sehingga data yang didapat mendapatkan kesahihan. Data yang digunakan dalam penelitian adalahcross sectiondantime series(panel) pada tahun 2010 dengan 2 siklus produksi. Hal ini didasarkan karena petambak udang windu tidak memiliki catatan khusus mengenai penggunaan input-input yang dibutuhkan dan produksi yang dihasilkan sehingga menggunakan tahun sebelumnya agar memudahkan petambak dalam mengingatnya. Lalu, dasar penentuan titik dengan 2 siklus (1 tahun = 2 kali panen) adalah dalam 1 tahun petambak rata-rata membudidayakan udang windu sebanyak 2 kali mulai dari persiapan lahan hingga panen udang windu yang bisa mencapai 6 bulan.
Data dan informasi yang telah didapat akan langsung diolah dengan menggunakan Minitab versi 14, Eviews seri 6, Microsoft Excel 2010. Penelitian ini juga dilakukan dengan analisis kualitatif dan kuantatif dimana analisis kualitatif dilakukan melalui pendekatan deskriptif. Analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum dan alternatif strategi apa yang cocok untuk diterapkan oleh para petambak tradisional khusus komoditas udang windu di Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang.
4.4 Metode Analisis
Pengolahan serta analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan analisis deskriptif yang merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
petambak tradisional udang windu secara subjektif yang dilakukan untuk melihat apakah manajemen risiko yang diterapkan sudah cukup efektif untuk meminimalkan risiko. Metode analisis deskriptif untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berpengaruh serta diterapkan para petambak tradisional. Hal ini dilakukan secara observasi, wawancara dan diskusi dengan para petambak udang windu di Desa Pusakajaya Utara.
4.4.1 Analisis Model Fungsi Produksi Just And Pope
Soekartawi (1995) menjelaskan bahwa analisis fungsi produksi adalah kelanjutan dari aplikasi analisis regresi, yaitu analisis yang menjelaskan hubungan sebab-akibat. Jadi bila produksi (Y) dipengaruhi oleh pakan (X), maka pakan akan selalu mempengaruhi produksi dan tidak akan terjadi sebaliknya (produksi mempengaruhi jumlah pakan yang dipakai). Hubungan Y dan X dapat berupa regresi berganda dimana jumlah variabel X lebih dari satu, yaitu :
Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn)
Terdapat lima variabel X (variabel yang mempengaruhi produksi) yang penting dalam budidaya udang windu, yaitu :
X1 = Benur (ekor) X2 = Pupuk urea (Kg) X3 = Obat-obatan (Kg) X4 = Saponin (Kg)
X5 = Tenaga kerja (HOK)
Y = f (x, ) + h (x, ) Dimana :
Y = Hasil produktivitas
f = Bentuk hubungan yang mentranformasikan faktor-faktor produksi dalam rata-rata hasil produktivitas
h = Bentuk hubungan yang mentranformasikan faktor-faktor produksi dalam
variancehasil produktivitas
x = Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi (input) , = Besaran yang akan diduga
=Error
Model risiko fungsi produksi Just And Pope secara sistematis, yaitu :
Y = f (x)
Ln Y =Ln + 1LnX1+ 2LnX2+ 3LnX3+ 4LnX4+ 5LnX5+
dan 2
= f (x)
Ln 2y=Ln + 1LnX1+ 2LnX2+ 3LnX3+ 4LnX4+ 5LnX5+
Dimana :
Y = Produktivitas udang windu (kg/ha)
X1 = Jumlah benur per siklus (ekor/ha)
X2 = Pupuk urea per siklus (kg/ha)
X3 = Obat-obatan per siklus (kg/ha)
X4 = Saponin per siklus (kg/ha)
X5 = Tenaga Kerja per siklus (HOK/ha)
=Mean intercept
=Variance intercept
=Error term
1, 2,.., 5 = Koefisien parameter dugaanX1,X2,X3,X4,X5 1, 2,.., 5 = Koefisien parameter dugaanX1,X2,X3,X4,X5
Hipotesis :
Jika 1, 2,..., 5 > 0, artinya semakin banyak input X yang digunakan dalam
Jika 1, 2,..., 5 > 0, artinya semakin banyak input X yang digunakan dalam
proses produksi maka variasi hasil produktivitas udang windu dalam tambak tradisional semakin meningkat.
4.4.2 Model Analisis Regresi Berganda
Model analisis regresi berganda merupakan model yang bertujuan untuk merepresentasikan pola hubungan fungsional, 1 variabel dependent (metrik) yang dipengaruhi oleh > 1 variabelindependent(metrik). Model terbaik untuk :
1. Memprediksikan arah, besar dan sensitifitas perubahan variabel dependent
sebagai respon atas perubahan variabelindependent.
2. Peramalan nilai variabeldependent, berdasarkan atas variabelindependent. Adapun unsurerror( t) dalam model mewakili, antara lain :
1. Variabel yang tidak dimasukkan ke model.
2. Komponen nonlinearitas hubungan variabelindependentdengandependent. 3. Salah ukur saat observasi dilakukan.
4. Kejadian yang sifatnyarandom.
5. Hubungan parameter variabeldependent.
6. Errormenyebar normal,mean= 0 ragam darierrorhomogen.
4.4.3 Multikolinearitas Pada VariabelIndependent
Multikolinier pada variabel independent adalah kondisi dimana terdapat hubungan linier diantara variabelindependent.
1. Variabelindependentberkorelasi.
Sempurna tidak mungkin mengestimasi koefisien regresi. 2. Variabelindependentsaling bebas.
Tidak perlu regresi berganda karena estimasi dapat dilakukan untuk masing-masing variabelindependent.
Adapun penyebab multikolinier dikarenakan adanya kecenderungan variabel-variabel ekonomi yang bergerak secara bersamaan. Selanjutnya perlu dilakukan tindakan perbaikan model, seperti :
1. Tambah observasi akan menyebabkan ragam (b) jadi turun.
2. Mengeluarkan variabel-variabel independent yang berkorelasi kuat dengan variabelindependentlainnya.
3. Gunakan teknik pendugaan regresi kompenen utama (principal component rgression).
4. Gunakan teknik pendugaanpartial least square.
4.4.4 KomponenError Heteroscedaticity
Homoskedastisitas adalah kondisi dimana komponen error pada model regresi memiliki ragam yang sama, untuk setiap nilai variabel independent. Lalu, akibat heteroskedastisitas, antara lain : koefisien regresi dugaan masih konsisten dan tidak bias, namun ragam koefisien regresi underestimate maka uji T tidak valid. Deteksi Heteroskedastisitas bisa dilakukan dengan menggunakan grafik, yaitu plot komponen error kuadrat menurut dependent variabel dugaan atau menurut masing-masing independent variabel, yaitu jika tidak berpola berarti
homoskedastisitas.
4.4.5 Uji Durbin Watson dStatistics
Uji Durbin Watson digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel bebas. Untuk ukuran sampel besar, d akan mendekati nilai 2 (1-p). Nilai d=0 bila ada autokorelasi positif sempurna. Nilai d=4 bila ada autokorelasi negatif sempurna. Nilai d=0 bila tidak ada autokorelasi. Statistik d dibawah H0 menyebar Durbin-Watson, untuk n, , dan k (banyak variabelindependent) tertentu, dari tabel tersebut didapat dudan di
Bila, d < ditolak H0.
Bila, d > (4-d1)tolak H0.
Bila, di< d < duatau (4-du) < d(4-di)tidak ada keputusan.
4.4.6 Perhitungan Dengan Uji F.
Uji Signifikansi Model Regresi Dugaan Hipotesis :
H0: 1 = 2 = ... = j = ... = k = 0. H1 : minimal ada satuslope( ) yang 0. Statistik Uji :
=
[ ] − − 1
=
Statistik Fhit di bawah H0 menyebar F, dengan derajat bebas pembilang = Dfregression = v1 = k, dan derajat bebas penyebut =Dferror= Dferror= v2= (n-k-1).
Dari Tabel F, untuk taraf nyata = , v1= k dan v2= (n-k-1), diperoleh nilai F (v1=k, v2=(n-k-1)) > Fhit).
Kriteria uji :
Bila Fhit > f (v1,v2) atau P < . Simpulkan tolak H0pada taraf nyata .
Pengujian dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keterkaitan masing-masing variabel bebas (X) yang digunakan berpengaruh signifikan terhadap variabel yang tidak bebas (Y). Uji statistik yang dilakukan adalah uji t.
4.4.7 Perhitungan Dengan Uji T.
1. Hipotesis dan Uji t Untuk Fungsi Produktivitas Rata-Rata Hipotesis :
H0: i = 0.
H1: i > 0 ; 1,2,3,4. Statistik Uji :
Dimana :
i = koefisien regresi ke-i yang diduga. S i = standar deviasi dari i.
Kriteria Uji :
t-hitung > t-tabel ( /2, n-k), maka tolak H0. t-hitung < t-tabel ( /2, n-k), maka terima H0.
Jika tidak menggunakan tabel, maka dapat dilihat dari nilai P dengan kriteria sebagai berikut :
P-value < , maka tolak H0. P-value > , maka terima H0.
Jika nilai t-hitung > t-tabel atau P-value < , maka variabel faktor-faktor produksi yang diuji berpengaruh secara nyata terhadap variabel hasil produksi. Sedangkan jika nilai t-hitung < t-tabel atau P-value > , maka variabel faktor- faktor produksi yang diuji tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel hasil produksi.
2. Hipotesis dan Uji T Untuk Fungsi Produktivitas Varian (Variance) Hipotesis :
H0:θ = 0.
H1:θ > 0 ; j = 1,2,3,...,6. Statistik Uji :
− =
Dimana :
= koefisien regresi ke j yang diduga. = standar deviasi .
Kriteria Uji, sebagai berikut :
n = jumlah variabel. k = jumlah data.
Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y), dan jika terima H0 maka variabel bebas (X) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Apabila tidak menggunakan tabel, maka dapat dilihat dari nilai P, dengan kriteria sebagai berikut:
P value / 2 < , maka tolak H0. P value / 2 > , maka terima H0.
Jika nilai P value / 2 < , maka variabel bebas (X) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y), sedangkan jika nilai P value / 2 > , maka variabel bebas (X) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y).
4.4.8 Hipotesis
1. Hipotesis Fungsi Produktivitas Rata-Rata
Hipotesis ini digunakan sebagai pertimbangan bahwa semua faktor produksi yang ada berpengaruh positif terhadap rata-rata hasil produksi udang windu. Penjelasan hipotesis ini, antara lain :
a. Jumlah Benur (X1)
Benur atau benih udang merupakan faktor produksi yang juga penting untuk diperhatikan. Jumlah benur yang ditebar dalam tambak mempengaruhi hasil produksi. Padat tebar benur pada tiap tambak berbeda-beda tergantung pada dua hal, yaitu luasan yang dimiliki oleh petambak dan teknologi apa yang digunakan. Dalam konsep penggunaan teknologi secara tradisional, jumlah benur yang optimal untuk ditebar adalah 20.000-50.000 benur/ha. Jika 1 > 0 artinya semakin banyak benur yang digunakan dalam proses produksi maka rata-rata hasil produksi udang windu akan meningkat.
b. Pupuk Urea (X2)
produksi maka rata-rata hasil produksi udang windu akan semakin meningkat.
c. Obat-obatan (X3)
Obat-obatan yang sering digunakan oleh sebagian besar petambak yang ada di Desa Pusakajaya Utara adalah jenis lodan. Manfaat pemakaian obat-obatan ini adalah untuk memperkuat daya tahan tubuh udang dengan lingkungan tambak yang sudah mulai mengalami ketidakseimbangan. Jika 3 > 0 artinya semakin banyak obat-obatan yang digunakan dalam proses produksi maka rata-rata hasil produksi udang windu akan meningkat. d. Saponin (X4)
Saponin bermanfaat untuk membunuh hama-hama yang ada di dalam tambak, agar tidak mengganggu perkembangan dari udang windu yang sedang dibudidayakan. Jika 4 > 0 artinya semakin banyak saponin yang digunakan dalam proses produksi maka rata-rata hasil produksi udang windu akan meningkat.
e. Tenaga kerja (X5)
2. Hipotesis Fungsi ProduksiVariance
Hipotesis ini digunakan sebagai pertimbangan bahwa semua faktor produksi yang ada berpengaruh positif terhadap variasi hasil produksi udang windu. Penjelasan hipotesis ini, yaitu : 1, 2, 3, 4, 5> 0, artinya semakin banyak benur (X1), pupuk urea (X2), obat-obatan (X3), saponin (X4) dan tenaga kerja (X5) maka variasi hasil atau risiko produktivitas udang windu akan semakin meningkat.
4.4.9 Definisi Operasional a. Produksi (Y)
Produksi adalah jumlah total dari keseluruhan hasil panen udang windu yang diukur dengan satuan kilogram per siklus. Dalam satu tahun terdapat dua siklus penanaman yang masing-masing siklus terdiri dari enam bulan. b. Jumlah benur (X1)
Jumlah benur yang digunakan diukur dalam satuan ekor benur per hektar. Sebagian besar petambak menggunakan satuan laksa. Jika dikonversi 1 laksa sama dengan 10.000 ekor.
c. Pupuk urea (X2)
Pupuk urea digunakan oleh para petambak untuk meningkatkan jumlah pakan alami yang ada di tambak. Pupuk urea diukur dalam satuan kilogram (kg).
d. Obat-obatan (X3)
Obat-obatan merupakan salah satu input yang digunakan oleh petambak untuk meningkatkan pH tanah dan meningkatkan kualitas air. Obat-obatan ini diukur dalam satuan kilogram (kg). Jenis obat-obatan yang dipakai ada Lodan, Raja Bandeng, dll. Bentuk dari obat-obatan adalah padat.
e. Saponin (X4)
f. Tenaga kerja (X5)
Tenaga kerja diukur dalam bentuk HOK (Hari Orang Kerja). Satu HOK sama dengan delapan jam per hari.
4.5 Model ARCH-GARCH
ARCH adalah singkatan dari Autoregressive Conditional Heteroscedasticity. Model ini dikembangan terutama untuk menjawab persoalan adanya volatilitas pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan. Hal ini menyebabkan model-model peramalan sebelumnya kurang mampu mendekati kondisi aktual. Volatilitas tercermin dalam varians residual yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas (varians residual konstan sepanjang waktu). Selain itu, model ARCH juga mampu memperhitungkan heteroskedastisitas dalam analisis deret waktu. Varian terdiri dari dua komponen yaitu varians yang konstan dan varians yang tergantung dari besarnya volatilitas di periode sebelumnya. Jika volatilitas pada periode sebelumnya besar, baik negatif atau positif, maka varians pada saat ini akan besar pula. Sehingga model ARCH dapat dirumuskan sebagai berikut :
ht = + 2t+ 1 2t-1+ 2 2t-2+ + m 2t-m Dimana :
ht = Variabel terikat pada periode t. = Variabel yang konstans. 2
t-m = ARCH/volatilitas pada periode sebelumnya. , 1, 2, m = Koefisien orde m yang diestimasikan.
ht = k + 1ht-1+ 2ht-2+ . + rht-r+ 1 2t-1+ 2 2t-2+ + m 2t-m Dimana :
ht = Variabel respon pada waktu t.
K = Varians yang konstan.
2
t-m = Arch/volatilitas pada periode sebelumnya. , 1, 2, m = Koefisien orde m yang diestimasikan. , 1, 2, .. r = Koefisien orde r yang diestimasikan.
ht-r = Suku Garch.
Adapun prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH, yaitu : 1. Identifikasi Efek ARCH
Dalam pemodelan ARCH-GARCH dahului dengan identifikasi apakah data yang diamati mengadung heroskedastisitas atau tidak. Ini dapat dilakukan antara lain dengan mengamati beberapa ringkasan statistik dari data.
2. Estimasi Model
Tahapan ini dilakukan simulasi beberapa model ragam dengan menggunakan model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan dengan pendugaan parameter model. Tahap ini dilakukan pemilihan model terbaik.
3. Evaluasi Model
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Potensi Umum Desa Pusakajaya Utara
Potensi umum Desa Pusakajaya Utara masih cukup besar, hal ini dilihat dari lokasi desa yang dekat dengan pantai utara dan potensi tambak yang luas sehingga sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petambak tradisional.
5.1.1 Batas Wilayah Desa Pusakajaya Utara
Kabupaten Karawang terletak di Provinsi Jawa Barat yang memiliki ketinggian relatif rendah, yaitu sekitar 25 meter diatas permukaan laut khususnya bagi daerah-daerah yang berada di bagian utara, sedangkan di sebagian daerah lainnya memiliki ketinggian antara 26-1.200 meter diatas permukaan laut. Di Pantai Utara (Pantura) tertutup pasir pantai yang merupakan batuan sedimen yang dibentuk oleh bahan-bahan lepas terutama endapan laut dan aluvium vulkanik. Dibagian tengah ditempati oleh perbukitan terutama dibentuk oleh batuan sedimen sedangkan bagian selatan terletak Gunung Sanggabuana dengan ketinggian kurang lebih 1.291 meter diatas permukaan laut yang mengandung endapan vulkanik4. Luas wilayah Kabupaten Karawang adalah 1.753,27 km2 dan hampir sekitar 3,73 persen merupakan bagian dari luasan Provinsi Jawa Barat. Desa Pusakajaya Utara merupakan desa yang berada di salah satu Kecamatan Cilebar, Kabupaten Karawang. Desa ini terletak diantara 107 02 BT-107 40 BT dan 05 56 LS-06 34 LS. Curah hujan yang ada tergolong tinggi dengan suhu rata-rata 30 C. Topografi atau kemiringan wilayah di Desa Pusakajaya Utara adalah dataran rendah memiliki topografi seluas 50 Ha, desa/kelurahan tepi pantai/pesisir seluas 100 ha, desa/kelurahan aliran sungai seluas 8 ha dan desa/kelurahan bentaran sungai seluas 5 ha. Adapun batas wilayah Desa Pusakajaya Utara dapat dilihat pada Tabel 12.
4
Tabel 12.Batas Wilayah Desa Pusakajaya Utara Tahun 2010
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
Utara Laut Jawa
-Selatan Pusakajaya Selatan Cilebar
Timur Mekar Pohaci Cilebar
Barat Sungai Buntu atau Kendaljaya Pedes
Sumber : Desa Pusakajaya Utara, 2010
5.1.2 Luas Wilayah Menurut Penggunaan
Wilayah yang ada di Desa Pusakajaya Utara ini terdiri dari 5 wilayah yang cukup besar penggunaannya, antara lain wilayah pemukiman, wilayah persawahan, wilayah perkebunan, wilayah taman dan wilayah tambak. Sebagian besar penggunaan wilayah ini adalah tambak karena secara garis besar masyarakat Desa Pusakajaya Utara bermatapencaharian sebagai petambak dan petani. Berdasarkan data potensi Desa Pusakajaya Utara, Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa :
Tabel 13.Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tahun 2010
Wilayah Luas (ha)
Pemukiman 42
Persawahan 370
Perkebunan 0,9
Taman 6
Tambak (Prasarana Umum) 460
Total (ha) 879,9
Sumber : Desa Pusakajaya Utara, 2010
memiliki harga jual yang tinggi yaitu bisa mencapai harga Rp 60.000,00 per kilogram di tingkat petani dengansizeudang mencapai 30.
5.1.3 Potensi Perikanan Desa Pusakajaya Utara
Keberadaan wilayah yang dekat dengan laut utara membuat masyarakat mencari rezeki dengan menjadi petambak. Beberapa jenis ikan yang cukup banyak dibudidayakan di daerah ini, antara lain udang, bandeng, kerang, rajungan, mujair, patin dan nila. Adapun produksinya pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14.Potensi Perikanan Desa Pusakajaya Utara Tahun 2010
No. Jenis Ikan Produksi (ton)
1. Udang 15
2. Bandeng 30
3. Kerang 15
4. Rajungan 30
5. Mujair 15
6. Patin 15
7. Nila 9
Sumber : Desa Pusakajaya Utara, 2010
Tahun 1980-an udang menjadi komoditas andalan yang banyak dicari dan dibudidayakan oleh masyarakat pesisir. Tapi semenjak munculnya White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang membuat tidak seimbangnya lahan tambak maka produksi udang windu semakin menurun tiap tahunnya.
5.2 Budidaya Udang Dalam Tambak
di dasar tambak. Kanibalisme merupakan kondisi dimana terjadi kegiatan saling memangsa antara udang itu sendiri. Moulting adalah pergantian atau penanggalan rangka luar untuk diganti dengan yang baru dan biasanya diikuti dengan pertumbuhan bada pada udang windu. Udang yang masih muda mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat daripada udang dewasa sehingga frekuensi moulting udang muda lebih banyak. Saat moulting, kondisi udang dalam lemah sehingga memungkinkan terjadinya kanibalisme antar udang itu sendiri. Sifat daya tahan tubuh benur udang windu yang sehat senantiasa tahan terhadap perubahan salinitas disebut juga denganEuryhaline5.
Budidaya udang di tambak adalah kegiatan usaha pemeliharaan atau pembesaran udang di tambak mulai dari ukuran benih (benur) sampai menjadi ukuran yang layak untuk dikonsumsi. Benih udang secara alami masuk ke dalam tambak bersama dengan air pasang yang mengairi tambak. Produksi udang yang diperoleh tidak menentu tergantung dari banyak sedikitnya benih udang yang ada secara alamiah di laut sekitar pertambakan. Hasilnya bisa mencapai antara 50-300 kg/ha/tahun. Perkembangan perdagangan komoditi udang di pasaran dunia semakin membaik. Permintaan udang bertambah besar sehingga harga udang menjadi tinggi. Hal ini membuat petambak semakin sadar bahwa udang harus ditingkatkan produksinya karena dapat mendatangkan keuntungan yang besar dibandingkan dengan komoditi tambak lainnya. Untuk dapat meningkatkan produksinya, baiknya petambak memperbaiki teknik budidaya udang tersebut. Banyak teknik yang dapat diperbaiki, diantaranya benih udang dapat dipilih adalah benih yang cepat tumbuh dan jenisnya banyak dibutuhkan (udang windu). Kesuburan tambak dapat ditingkatkan dengan cara pemupukan dan pengelolaan air yang baik sehingga daya dukung untuk memelihara udang lebih besar. Pemberantasan hama lebih diintensifkan dengan cara konstruksi cetakan tambak, konstruksi tanggul dan saluran pengairannya diperbaiki sehingga kualitas air tambak dapat dikendalikan secara lebih baik dan cocok untuk kehidupan udang yang dipelihara.
5
Sistem budidaya yang dikenal ada tiga jenis, diantaranya budidaya secara ekstensif atau tradisional, budidaya secara semi intensif dan budidaya secara intensif. Pada sistem budidaya secara ekstensif atau tradisional memiliki bentuk dan ukuran yang tidak teratur. Luas tambak berkisar antara 3-10 ha per petak dan setiap petakan memiliki saluran keliling (caren) yang lebarnya sekitar 5-10 meter di sepanjang keliling petakan sebelah dalam. Bagian tengah dibuat caren dari sudut ke sudut atau diagonal. Kedalaman caren sekitar 30-50 cm lebih dalam daripada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran. Bagian pelataran hanya dapat berisi air sedalam 30-40 cm. Tempat ini akan tumbuh kelekap sebagai pakan alami bagi udang. Adapun petak tunggal tipe Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6.Tambak Petak Tunggal Tipe Jawa Barat Sumber : Mujiman (1989)
Petakan yang berada di tengah dibuat lebih kecil dan dangkal sebagai petak untuk menyebarkan nener yang berasal dari tempat lain. Nener dipelihara di dalam pelak peneneran sehingga cukup kuat untuk dibuyarkan ke petak pembesaran yang luas. Cara membuyarkannya cukup dengan membuka tanggul petak peneneran tersebut lalu nener berenang sendiri ke petak besar.
Sistem budidaya semi intesif merupakan peningkatan atau perbaikan dari sistem budidaya tradisional atau ekstensif dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaa